TANDA WAQAF DAN TANDA TAJWID
DALAM MUSHAF KUNO NUSANTARA
*)Oleh: Asep Saefullah
Peneiti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Jl. M.H. Thamrin No. 6 Jakarta; email: asepfm@yahoo.com
A. Pendahuluan
Kajian mushaf kuno (naskah Al-Qur’an kuno) di Indonesia
mengalami perkembangan yang menggembirakan. Penelitian
tentang bidang ini pernah dilakukan oleh Puslitbang Lektur
Keagamaan (Skr. Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan;
selanjutnya disebut Lektur) antara 2003-2006, yang selanjutnya
diteruskan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an
(selanjutnya disebut Lajnah) sejak 2007 sampai sekarang.
Aspek-aspek yang menjadi sasaran penelitian mushaf kuno antara lain
aspek teks dan perwajahan. Aspek teks umumnya meliputi rasm,
qira’at, tanda waqaf dan tanda tajwid. Sedangkan aspek
perwajahan di antaranya meliputi iluminasi dan kaligrafi.
Kajian mengenai aspek perwajahan dapat dikatakan cukup
banyak mendapat perhatian, misalnya oleh Annabel Teh Gallop,
Ali Akbar, dan M. Gazali, walapun aspek kaligrafinya belum
banyak tersentuh kecuali oleh Ali Akbar.
1Sementara itu, aspek
*)*) Tulisan ini merupakan pengembangan dari beberapa artikel penulis
baik yang sudah terbit maupun yang belum dengan beberapa tambahan data dan elaborasi lebih dalam, baik tentang mushaf kuno secara umum maupun tentang tanda bacanya, yakni tanda waqaf dan tanda tajwid secara khusus. Disajikan pada “Seminar Nasional Qur’an”, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, yang dilaksanakan pada 21 – 24 Mei 2013, di Hotel Le Dian, Serang Banten.
1
Tentang kaligrafi Nusantara, lihat antara lain tesis Ali Akbar, “Kaligrafidalam Mushaf Kuno Nusantara: Telaah Naskah-naskah Koleksi Perpustakaan Nasional RI”. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia, 2005 dan tulisannya yang berjudul “Tracing individual styles Islamic
Calligraphy from Nusantara”, Jurnal Lektur Keagamaan, 5(2), 2007: 244–255.
Adapun tentang seni mushaf, antara lain dua tulisan Annabel Teh Gallop, “Seni
121-teks masih kurang mendapat perhatian, kecuali aspek rasm.
Belakangan, aspek qira’at mulai mendapat perhatian serius
terutama setelah pemekaran Lajnah dari Lektur tahun 2007.
Penerimaan pegawai Lajnah dari unsur huffàî (para penghafal)
Al-Qur’an dan ahli Al-Qur’an memberikan angin segar bagi
pengkajian aspek qira’at dalam mushaf kuno. Beberapa orang
yang pernah membahas aspek qira’ah adalah Fathoni, Mustofa,
dan Zaenal Arifin, dan beberapa bagian dalam hasil-hasil
penelitian mushaf kuno oleh sebagian peneliti Lajnah tahun
2012 lalu.
Adapun aspek tanda baca, khususnya tanda waqaf dan
tanda tajwid tampaknya belum menjadi perhatian khusus kecuali
disinggung sekilas sebagai bagian dari penelitian mushaf kuno.
Oleh karena itu, kedua aspek ini masih menyisakan berbagai hal
yang perlu diungkap. Misalnya, sebagaimana pada Mushaf
Standar Indonesia (selanjutnya disebut Mushaf Standar) terdapat
enam buah tanda waqaf, yaitu mim (
م
) untuk waqaf lazim, jim (
ج
)
untuk waqaf jaiz, qalà (
ىلق
) untuk waqaf jaiz pula, tetapi berhenti
lebih baik, êalà (
ىلص
) juga untuk waqaf jaiz tetapi terus lebih
baik, lam alif (
ل
) tanda tidak boleh berhenti kecuali pada akhir
ayat, dan mu’anaqah ( ... ) tanda berhenti pada salah satu
tanda dan tidak boleh berhenti pada tanda yang lain.
2Sedangkan
tanda tajwid yang terdapat pada Mushaf Standar adalah tanda
iqlab, yaitu huruf mim (
م
) setelah nun sukun atau tanwin yang
bertemu huruf ba (
ب
) yang diletakkan di atas huruf ba (
ب
),
143 dan “The Art of the Qur’an in Java”, Suhuf, 5(2), 2012, h. 215-229, serta
artikel Asep Saefullah, “Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan
Museum Istiqlal, Jakarta”, Jurnal Lektur Keagamaan, 5(1), 2007, h. 39-62.
2 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi pada
Mushaf-Mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal Jakarta”, Suhuf, 1(1),
seperti (
دمعنبب
مننمم
) dan tanda idgam dengan syiddah (
ّ
) sesudah nun
sukun atau tanwin pada huruf sesudahnya, seperti (
للونقليّب ننمب
).
Sesungguhnya, kedua aspek ini, yakni tanda waqaf dan
tanda tajwid mengalami perkembangan terus menerus hingga
dilakukan standardisasi oleh Kementarian Agama RI (dl.
Departemen Agama) melalui Musyawarah Kerja Ulama Ahli
Tashih Al-Qur’an sebanyak 9 kali, mulai tanggal 5 Pebruari 1974
s.d. 25 Pebruari 1983.
3Dan, untuk tanda tajwid hampir hilang
dari penulisan mushaf Al-Qur’an saat ini kecuali tanda iqlab
dengan huruf mim (
م
). Di sisi lain, kita menyaksikan kreasi dalam
pencetakan Al-Qur’an yang menggunakan sistem warna untuk
tanda tajwid.
4Perkembangan ini dapat dikatakan memiliki akar
tradisi dalam sejarah penyalinan mushaf Al-Qur’an di masa
lampau, yang memiliki tujuan yang sama, antara lain untuk
mempermudah pengajaran dan pembacaan Al-Qur’an.
Berdasarkan pemikiran di atas, tulisan ini mencoba
mengangkat tema terkait dengan tanda waqaf dan tanda tajwid
pada mushaf kuno Nusantara. Pembahasan tentang tanda tajwid,
secara umum menyangkut bacaan nun sukun dan tanwin,
walaupun sebagian mushaf kuno menggunakan tanda-tanda
tertentu untuk hukum bacaan mad dan mim sukun. Sementara
itu, pembahasan tanda waqaf meliputi tanda-tanda sebagaimana
tanda-tanda waqaf pada Mushaf Standar dan beragam tanda
lainnya pada mushaf-mushaf kuno yang kini tidak dijumpai lagi
3
Pembahasan tentang tanda waqaf dilakukan pada Muker V, tanggal 5dan 6 Maret 1979 bertepatan dengan tanggal 6 dan 7 Rabi’ulakhir 1399 H., bertempat di Jakarta oleh Tim Lanjah yang pada saat itu sebagai Tim Ad Hoc pada Lembaga Lektur (Skr. Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan). Maidir Harun, dkk. (Eds.), Profil Puslitbang Lektur Keagamaan: Puslitbang Lektur Keagamaan dari Masa ke Masa. (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2009), h. 183-186, lebih khusus h. 185.
4 Fahrur Rozi, “Standardisasi Mushaf Al-Qur'an Tajwid Warna di
Indonesia”,
pada Mushaf Standar. Sebagai bahan untuk sekadar
menunjukkan adanya perubahan dan kesinambungan pada
penggunaan tanda waqaf dan tanda tajwid tersebut, penulis
membandingkan beberapa mushaf kuno dengan Mushaf Standar
dan mushaf terbitan Al-Ma’arif Bandung tahun 1957,
5dan Mushaf
Madinah.
B. Perkembangan Penulisan Mushaf di Nusantara
Pada awal milenium ke-3, atau tahun 2000-an, kajian
mengenai mushaf kuno Nusantara dan khususnya di Indonesia
mulai berkembang. Puslitbang Lektur Keagamaan (Skr. Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan) Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama telah melakukan serangkaian pendataan
dan penelitian tentang mushaf kuno di berbagai wilayah di
Indonesia. Beberapa hasil penelitian tersebut telah
dipublikasikan oleh Lektur tahun 2005.
6Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, perkembangan penulisan mushaf Al-Qur’an
di Indoensia digambarkan sebagai berikut:
Penulisan Al-Qur'an di Nusantara diperkirakan telah ada sekurang-kurangnya sejak sekitar akhir abad ke-13, ketika Pasai, di ujung laut Pulau Sumatra, menjadi kerajaan pesisir pertama di Nusantara yang memeluk Islam secara resmi melalui pengislaman sang raja. Meskipun demikian, mushaf dari masa ini tidak ditemukan, dan mushaf tertua yang diketahui sampai saat ini berasal dari akhir abad ke-16, tepatnya Jumadilawal 993 H (1585), dari koleksi William Marsden.
Dalam penelitiannya mengenai mushaf koleksi berbagai lembaga di
Inggris, Gallop memeriksa naskah-naskah koleksi William Marsden―pernah
bekerja di Bengkulu pada akhir abad ke-18―yang sekarang disimpan di perpustakaan School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Di antaranya sebuah mushaf nomor MS 12716 yang berkolofon bahasa Arab, Jumadilawal 993 (1585). Berdasarkan kertas, bentuk buku dan kaligrafinya, Gallop berkesimpulan bahwa naskah tersebut dari Indonesia, mungkin dari Sumatra. Sebuah mushaf tua di Masjid Agung Banten diklaim ditulis pada 1553 M—seperti yang tertulis pada keterangan naskah—namun bukti tertulis atau bukti pendukung mengenai kepastian angka tahun tersebut belum ada.
5 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, h. 101.
6 Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar (Eds.), Mushaf-mushaf Kuno di
Mushaf tertua kedua bertanggal 7 Zulqa’dah 1005 H (1597), ditulis oleh seorang ulama al-Faqih as-Salih Afifuddin Abdul Baqi bin Abdullah al-Adni, di Ternate, Maluku Utara. Naskah mushaf tua lainnya ditemukan di Belanda, yang diperoleh di Johor pada tahun 1606, dengan kolofon berbahasa Jawa. Penyalinan Al-Qur’an secara tradisional terus berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berlangsung di berbagai kota atau wilayah penting masyarakat Islam masa lalu, seperti Aceh, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Madura, Lombok, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, dan Ternate. Warisan penting masa lampau tersebut kini tersimpan di berbagai perpustakaan, museum,
pesantren, ahli waris, dan kolektor, dalam jumlah yang cukup banyak.7
Perlu disampaikan pula, mengapa penyalinan mushaf
Al-Qur’an menjadi penting dan banyak dilakukan pada masa lalu.
Salah satu alasannya adalah untuk kepentingan dakwah dan
pengajaran Al-Qur’an. Alasan lain adalah karena adanya sponsor
dari para tokoh, raja/sultan, atau orang-orang Muslim yang kaya.
Ini merupakan salah satu kesimpulan yang dirangkum dari hasil
penelitian Lektur seperti penjelasan berikut:
Penyalinan mushaf kuno sejak awal didorong oleh semangat dakwah dan mengajarkan Al-Qur'an. Karena pada masa itu belum ada teknologi untuk penggandaan naskah dalam jumlah besar, semua naskah mushaf ditulis tangan. Tetapi, di penghujung abad ke-19 M minat penulisan mushaf al-Qur’an di Indonesia semakin berkurang. Bahkan, diperkirakan pembuatan seni mushaf al-Qur’an di Nusantara mulai terhenti pada awal abad ke-20. Kenyataan ini diperkirakan merupakan akibat dari penjajahan yang berkepanjangan, sehingga menghambat penyalinan dan penyebaran al-Qur’an, dan belum ada teknologi percetakan yang dapat memproduksi mushaf secara cepat dalam jumlah banyak.
Penulisan mushaf al-Qur’an, dalam sejarah, lazimnya disponsori oleh salah satu dari tiga pihak sebagai berikut: kerajaan, pesantren dan elite sosial. Pada zaman dahulu banyak mushaf al-Qur’an ditulis oleh para ulama atau seniman atas perintah raja-raja atau sultan di suatu tempat. Mushaf-mushaf kuno yang ada di bekas pusat-pusat kerajaan lama membuktikan hal tersebut. Di samping itu, pesantren, yang merupakan pusat pendidikan Islam tradisional sejak berabad lalu, juga memegang peranan penting dalam penulisan al-Qur’an, seperti mushaf yang ada di Pesantren Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur, Pesantren Buntet di Cirebon, dan lain-lain. Pihak lain yang merupakan sponsor penulisan mushaf adalah elite sosial, mereka yang sejahtera secara sosial-ekonomi. Ini terjadi pada zaman dahulu, dan
7
Ibid., h. vii-viii. Dalam buku ini dijelaskan bahwa mushaf yang ditemukan di Johor telah dikaji oleh Peter G. Riddell dengan judul “Rotterdam MS 96 D 16: The Oldest Known Surviving Qur’an from The Malay World”,dimuat dalam Indonesia and the Malay World, 30(86), 2002. Sedangkan
tentang Mushaf Sultan Ternate, khususnya kolofonnya, telah ditelaah ulang oleh Ali Akbar dengan judul “Mushaf Sultan Ternate Tertua di Nusantara?:
Menelaah Ulang Kolofon” yang dimuat dalam Jurnal Lektur Keagamaan, 8(2),
sekarang, seperti Mushaf Ibnu Sutowo, dan terakhir Mushaf at-Tin atas
perintah HM Soeharto, mantan Presiden RI.8
Dalam perkembangan lebih lanjut terkait penelitian mushaf
kuno, Ali Akbar telah mengumpulkan berbagai data baru dan
mengoleksi foto-foto mushaf kuno dari berbegai daerah dan
bahkan dari manca negara. Terkait perkembangan penyalinan
mushaf Al-Qur’an di Indonesia, terutama sejak abad ke-19, ia
menjelasakan:
Pada abad ke-19, dengan berkembangnya teknologi percetakan litografi (cetak batu), penyalinan Al-Qur'an di Nusantara secara tradisional pelan-pelan mulai ditinggalkan, dan beralih pada Al-Qur'an cetak. Al-Qur'an cetak
awal (early printed Qur'an) berasal dari India, Singapura dan Palembang,
sejak pertengahan abad ke-19, di samping Turki dan Mesir. Namun, karena distribusi Al-Qur'an cetak awal pada waktu itu tidak merata di seluruh wilayah Nusantara, penyalinan Al-Qur'an secara manual diperkirakan masih berlangsung hingga penghujung abad ke-19, atau tahun-tahun awal abad ke-20. Sejak saat itu, seiring dengan perkembangan teknologi percetakan yang sangat pesat, penyalinan Al-Qur'an secara manual ditinggalkan, dan tradisi seni Mushaf yang telah berlangsung selama berabad-abad di Nusantara bisa dikatakan telah terhenti.
Setelah hampir satu abad terhenti, sejak akhir abad ke-19, era baru
dalam kreativitas seni mushaf tumbuh kembali sejak pembuatan Mushaf
Istiqlal pada tahun 1991, yang diprakarsai oleh beberapa ahli dari ITB Bandung, seperti Mahmud Buchari, Prof. AD Pirous, Ir. Ahmad Noe’man, dan
beberapa sarjana serupa lainnya. Pembuatan Mushaf Istiqlal itu
berbarengan dengan penyelenggaraan Festival Istiqlal tahun 1991 dan 1995 di Jakarta. Mulai saat itu, gairah dalam pembuatan mushaf indah tampak tumbuh kembali, dan sampai saat ini telah ada beberapa mushaf, dalam bentuk naskah asli dan cetakan, yaitu Mushaf Sundawi (prakarsa
Pemda Jawa Barat, 1997), Mushaf at-Tin (prakarsa keluarga mantan
Presiden Soeharto untuk mengenang Ibu Tien, 2000), Mushaf Jakarta
(prakarsa Pemda DKI Jakarta, 2002), Mushaf Kalimantan Barat (prakarsa Pemda Kalbar, 2003), dan Mushaf al-Bantani (prakarsa Pemda Banten, 2010). Semangat itu juga melahirkan gagasan untuk merekonstruksi dan
memodifikasi mushaf lama seperti Mushaf Karaton Yogyakarta Hadiningrat
(2011) yang didasarkan pada sebuah mushaf pusaka keraton.
Berbeda dengan seni mushaf pada zaman dahulu yang keseluruhannya dibuat secara manual, “mushaf-mushaf kontemporer” ini dibuat dengan memanfaatkan teknologi komputer. Namun, keduanya sama-sama indah,
mencerminkan kekayaan khazanah budaya bangsa Indonesia.9
8Ibid. (Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar [Eds.], Mushaf-Mushaf Kuno ...), h.ix-x.
9
Ali Akbar, “Seni Mushaf Nusantara dari Masa ke Masa”,Kutipan di atas menjelaskan secara ringkas perkembangan
penulisan mushaf Al-Qur’an sampai dengan lahirnya apa yang
disebut oleh Ali Akbar sebagai “era baru kreativitas seni mushaf”
di Indonesia. Kembali kepada sejarah penulisan mushaf Al-Qur’an
pada masa lalu, sesungguhnya banyak sekali peninggalan
Al-Qur’an kuno yang tersebar di seluruh Nusantara. Bahkan di Pulau
Dewata, Bali, yang nota bene muslimnya minoritas, juga
ditemukan puluhan mushaf kuno.
10Untuk itu, sekadar
memberikan ilustrasi mengenai mushaf-mushaf kuno tersebut,
beberapa contoh akan disajikan pada pembahasan berikut.
C. Deskripsi Mushaf Kuno: Beberapa Contoh
Penelitian terhadap mushaf kuno Indonesia semakin banyak
dilakukan sehingga naskah Al-Qur’an kuno pun semakin banyak
ditemukan. Ali Akbar adalah salah seorang yang mendedikasikan
dirinya untuk penelusuran Al-Qur’an kuno. Untuk
mempublikasikan beberapa temuannya, ia rela membuka blog
gratisan
tetapi sangat bermanfaat, yaitu
http://quran-nusantara.blogspot.com. Sebagai contoh, ada baiknya penulis
memberikan beberapa gambaran umum tentang Al-Qur’an kuno,
10
Asep Saefullah dan M. Adib Misbachul Islam, “Beberapa AspekKodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali: Sebuah Penelusuran Awal”, Jurnal
setidaknya yang pernah penulis kaji,
11sebagaimana diuraikan di
bawah.
Beberapa mushaf kuno koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum
Istiqlal (BQMI) penulis jadikan contoh agar lebih mudah untuk
memverifikasi dan melihat ulang koleksi tersebut, ditambah
dengan beberapa mushaf kuno dari Pulau Sumbawa NTB dan
Bali. Mushaf kuno BQMI dibatasi pada mushaf-mushaf yang
ditulis di atas kertas Eropa dan ber-watermark
12atau daluang
13,
berusia lebih dari 50 tahun serta dalam bentuk manuskrip
(tulisan tangan). Pada tahun 2007, penulis mendata 22 mushaf
kuno dengan kategori demikian yang ada di BQMI, dan sepuluh
mushaf di antaranya masih lengkap (30 juz). Empat buah mushaf
ditulis di atas daluang, dan selebihnya ditulis di atas kertas Eropa
dengan watermark bermacam-macam, seperti Pro Patria, John
Hayes, dan lain-lain.
1411 Beberapa artikel penulis dijadikan sumber deskripsi ini, dengan beberapa perbaikan, yaitu: “Kesucian dalam Keindahan: Seni Mushaf Al-Qur’an dari Pulau Sumbawa”, Jurnal Lektur Keagamaan, 3( 2), 2005, h. 234-260; “Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal
Jakarta”, Jurnal Lektur Keagamaan, 5(1), 2007: 39 – 62; “Mushaf Kuno dari
Pulau Sumbawa NTB: Telaah Aspek Teks dan Perwajahan” Makalah disajikan
dalam Seminar Hasil Diklat Fungsional Peneliti Tingkat Pertama, Pusbindiklat LIPI, Cibinong, 2007; “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi pada
Mushaf-Mushaf Kuno Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal Jakarta”, Suhuf,1(1),
2007, h. 87-110, dan satu artikel ditulis bersama M. Adib Misbachul Islam, “Beberapa Aspek Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali: Sebuah
Penelusuran Awal”, Jurnal Lektur Keagamaan, 7(1), 2009, h. 53-90.
12 “Watermar (cap kertas): gambar, tulisan, atau tanda tertentu pada kertas naskah, yang dibuat sebagai identitas kertas tersebut, dan bisa dilihat dengan cara menerawangnya di depan cahaya”, lihat Oman Fathurahman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, h. 100.
13 Daluang adalah “kain atau kertas yang dibuat dari kulit pohon”. Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka, 2003, Cet. Ke-3, h. 233. Dalam Kamus Bahasa Sunda, daluang (kw)
adalah “kertas buatan baheula tina kulit kai jsb ‘kertas buatan jaman dahulu
dari kulit kayu, dsb”. Tedi Permadi, “Asal-Usul Pemenfaatan dan Karakteristik
Daluang”, dalam Oman Fathurahman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, h.
216.
14 Asep Saefullah “Ragam Hiasan Mushaf Kuno...”, h. 44. Lihat juga beberapa mushaf lain dalam Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar [Eds.],
Dalam penelitian penulis tahun 2007 tersebut diambil enam
naskah Al-Qur’an kuno sebagai sampel deskripsi, yaitu: (1)
Mushaf Lalino, Bima-NTB, (2) Mushaf Sarung Batik, Cirebon, (3)
Mushaf Solo, (4) Mushaf Kauman Timur, Semarang, (5) Mushaf
Pandeglang, dan (6) Mushaf Cipete. Nama-nama mushaf ini
didasarkan pada keterangan dari BQMI, kecuali Mushaf
Pandeglang dan Mushaf Cipete yang merujuk pada tempat
terakhir ketika mushaf-mushaf tersebut ditemukan.
15Berikut
gambaran umum keenam mushaf tersebut dan beberapa mushaf
lain dari NTB dan Bali.
161. Mushaf Lalino Bima
Mushaf Lalino merupakan wakaf dari keluarga Kesultanan Bima Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui Hj. Siti Maryam Rahmat Salahuddin, puteri ketujuh Sultan Bima, lengkap 30 juz. Mushaf ini ditulis di atas kertas Eropa dengan tanda air (watermark) JOHN HAYES 1815. Ukuran 35 x 22 cm... Jumlah halaman mushaf ini adalah 598 halaman. Warna tinta hitam dan merah. Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Sistem penulisan
menggunakan sistem pojok. Kata alihan (catchword) terdapat pada akhir
kuras.
2. Mushaf Sarung Batik Cirebon
Mushaf Sarung Batik berasal dari Kesultanan Cirebon Jawa Barat, lengkap 30 juz dan dijilid ulang. Mushaf ini ditulis di atas kertas Eropa yang
memiliki watermark Pro Patria. Ukuran 42 x 27 cm, .... Warna teks adalah
hitam. Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Sistem penulisan mushaf ini
“mengalir” apa adanya. Pada bagian verso dari setiap folio terdapat kata
alihan (catchword).
3. Mushaf Solo
Mushaf ini diidentifikasi berasal dari Solo. Sampulnya berwarna coklat dari kulit imitasi polos (tanpa hiasan), lengkap 30 juz. Mushaf ini ditulis di atas kertas dluang, tetapi tidak ada kolofon. Ukuran 31,5 x 22 cm.... Warna tinta hitam. Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Sistem penulisan
mushaf ini masih ditulis apa adanya. Kata alihan (catchword) terdapat pada
setiap akhir kuras. Pada permulaan surah at-Taubah dalam mushaf ini tidak terdapat basmalah, seperti juga pada mushaf-mushaf lain, tetapi terdapat
ta‘awwuž khsusus untuk surah ini seperti yang terdapat pada Mushaf Standar Indonesia, yang berbunyi: (ةزعلا رابجلا بضغ نمو رافكلا رش نمو رانلا نم هللاب ذوعا نينمؤمللو هلوسرلو هلل).
15 Asep Saefullah “Ragam Hiasan Mushaf Kuno...”, h. 44 dan 44-46.
4. Mushaf Kauman Timur
Mushaf ini berasal dari Kauman Timur Kotamadya Semarang, lengkap 30 juz. Sampul mushaf berwarna coklat dari karton tebal dan dilapisi kulit imitasi polos berwarna coklat. Mushaf ini ditulis di atas kertas Eropa
dengan watermark Pro Patria dan coutermark Pannekoek. Ukuran 31,5 x 20
cm... Jumlah halaman mushaf ini adalah 518 halaman. Warna tinta hitam. Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Sistem penulisan apa adanya. Kata
alihan (cacthword) terdapat pada halaman verso dari setiap folio.
5. Mushaf Pandeglang
Mushaf ini diperoleh dari Kampung Maluku Labuan Pandeglang Banten. Kondisi mushaf tidak lengkap, tetapi sudah dikonservasi, dan ditulis di atas
kertas Eropa dengan watermark Pro Patria, macan membawa pedang dan
seorang kesatria di dalam pagar. Ukuran 30 x 19,5 cm.... Jumlah halaman mushaf ini adalah 548 halaman. Warna tinta hitam. Pada mushaf ini terdapat penjelasan qiraat lain. Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Pada mushaf ini juga terdapat “judul lari” di sebelah kanan atas pada setiap
halaman verso, berupa “awal juz” dan “nama surah” dan di sebelah
kiri-bawah pada halaman yang sama terdapat kata alihan (catchword) juga dengan tinta hitam dan khat Naskhi.
6. Mushaf Cipete
Mushaf diperoleh dari Cipete Utara Jakarta dan ditulis di atas dluang dengan sampul dari kulit beriluminasi. Kondisi mushaf ini masih lengkap 30 juz.... Ukuran 20,5 x 18 cm.... Jumlah halaman 600 halaman. Warna tinta hitam. Jumlah baris rata-rata adalah 15 baris. Sistem penulisan mushaf ini
menggunakan sistem pojok. Kata alihan (catchword) hanya terdapat pada
setiap akhir juz dengan khat Naskhi warna hitam.
Pada mushaf ini ditemukan tanda nun êilah (sambung), yakni huruf /ن/
kecil yang diletakkan di atas setelah harakat tanwin yang bersambung
mushaf-mushaf lain dan terdapat ta‘awwuž yang berbunyi: نمو رانلا نم هللاب ذوعا
masih lengkap terdapat di ahli waris Kesultanan Bima. Al-Qur’an
ini dikenal dengan sebutan La Nontogama, yang berarti “jalan
agama”. Empat mushaf lainnya berada di tangan ahli waris
Kesultanan Sumbawa. Satu mushaf milik keluarga Abdul Majid
Daeng Matutu, saudara Sultan Sumbawa terakhir. Satu mushaf
lain berasal dari Lalu Muhammad Resyad atau Dae Bawa, yang
juga saudara Sultan Sumbawa terakhir. Pada tahun 2005, mushaf
ini berada di tangan putranya di Kompleks Istana Tua di
Sumbawa Besar. Dua mushaf lagi, saat itu, berada di tangan Putri
terakhir Sultan Muhammad Kaharuddin, di Balla Kuning,
Sumbawa, yang merupakan rumah kediaman Sultan Sumbawa
terakhir.
17Mushaf-mushaf kuno yang ditemukan di Sumbawa tersebut
antara lain ditulis di Sumbawa tahun 1199 H/1784 M oleh
Muhammad bin Abdullah Al-Buqisi, yang lahir dan dibesarkan di
Sumbawa (Mushaf Sumbawa 02). Mushaf-mushaf lainnya juga
ditulis di Sumbawa, tetapi sebagian tidak diketahui penulis dan
tahun penulisannya. Misalnya, Mushaf Datu Ranga juga ditulis
tahun ha, hari Jum’at, 15 Syawal 1282 H/1865 M, oleh Abu Na’im
bin Al-Hajj Abdul Karim Al-Imam Negeri Sumbawa dan Mushaf
Dea Bawa ditulis pada hari Kamis, 24 Muharam 1254 H/1838 M,
oleh Abdurrahman bin Ayyub bin Abdul Baqi As-Sumbawi, juga
seoarang yang berasal dari Sumbawa. Satu mushaf lagi ditulis di
Mekah tahun 1280 H/1863 M, oleh Abdurrahman bin Musa
As-Sumbawi, seorang yang berasal dari Sumbawa.
18Berdasarkan angka tahun pada mushaf-mushaf tersebut
diketahui bahwa penyalinannya terjadi antara abad ke-18 dan 19
M. Contoh salah kolofon terdapat pada halaman akhir mushaf
dari Sumbawa (Mushaf Sumbawa 02) sebagai berikut:
17 Asep Saefullah, “Mushaf Kuno dari Pulau Sumbawa NTB...”, h. 5.
Gambar 01: Mushaf Sumbawa 02
(Foto milik penulis, 2005)
Kolofon terdapat dalam lingkaran: Wa kànal-faràg min taëêìli hàžal-muêëafil-karìm nahàral-aëad fì waqti-ýuëà maýat êamàniyah wa ‘isyrùn yauman min syahr žilqa‘dati-mubàrakah fì baladis-sumbàwà fì zamàni maulànà as-sulíàn Muëammad Hàrùn ar-Rasyìd ibn as-sulíàn Muëammad Iqàmud-dìn... sanah 1199 H. bi khaíí al-faqìr al-ëaqìr... Muëammad ibn ‘Abdullàh al-Jàwì al-Bùqìsì wasy-Syìfi‘ì mažhaban as-Sumbàwa baladan wa maulidan wa waíanan...
(Maksudnya kurang lebih: Mushaf ini ditulis di Sumbawa pada zaman Sultan Muhammad
Harun ar-Rasyid bin Sultan
Muhammad Iqamuddin tahun
1199 H/1784 M oleh Muhammad bin Abdullah al-Jawi al-Buqisi, yang lahir dan besar di Sumbawa, bermazhab Syafi’i)
(Sumber: Asep Saefullah, “Mushaf Kuno dari Pulau Sumbawa...”, h. 6)
Contoh lain adalah sebuah mushaf dari Bali yang diduga
tergolong mushaf tertua di Nusantara. Mushaf ini ditemukan di
Kampung Jawa, Singaraja. Mushaf ini memiliki kolofon yang
menunjukkan waktu penyalinannya pada 21 Muharram 1035 H
atau sekitar 1625-an M oleh ‘Abd Ëafiyyuddìn. Bunyi teks pada
kolofon tersebut sebagaimana di bawah:
malam dua puluh satu pada tahun seribu tiga puluh lima [21 Muharram
Mushaf ini secara umum masih baik dan dapat dibaca. Mushaf ini berukuran 24 X 16 cm, dengan jumlah halaman 769 halaman. Sampulnya terbuat dari kulit berwarna coklat bermotif floral. Teks ayat
ditulis dengan menggunakan khat
naskhi. Jumlah baris setiap halaman 13, kecuali halaman awal yang terdiri atas 7 baris dan halaman akhir yang terdiri atas 10 baris. Tinta yang digunakan berwarna hitam. Untuk bagian yang berisi
keterangan awal surah, tinta yang digunakan berwarna merah.
Mushaf lain dari Bali adalah Mushaf Masjid Agung Jamik,
Singaraja yang tergolong istimewa karena memiliki iluminasi
yang khas, yakni berupa rangkaian dari kalimat Là Ilàha Illallàh
Muëammadur Rasùlullàh yang dihias sedemikian rupa sehingga
membentuk bingkai hiasan yang mengelilingi teks ayat Al-Qur’an
(Gambar 03). Desain hiasan dan motif pewarnaannya memiliki
19
Asep Saefullah dan M. Adib MI, “Beberapa Aspek Kodikologi NaskahKeagamaan Islam di Bali..., h. 69 dan 90. Foto di atas, lihat h. 90. Lihat pula Ali
Akbar, “Mushaf Al-Qur'an Tertua di Indonesia”,
http://quran-
nusantara.blogspot.com/2012/04/mushaf-al-quran-tertua-di-indonesia.html#more, di-upload Senin, 16 April 2012, dan diakses 17 April 2013. Ia menulis demikian:
unsur-unsur daerah lain, yakni Sulawesi dan Aceh. Bahannya
atau kertasnya adalah kertas Eropa dengan cap kertas (water
mark) yang termasuk kelompok Cressent buatan Italia. Kertas
jenis ini umumnya digunakan di Afrika. Asapun di Indonesia,
kertas jenis ini banyak digunakan di Aceh.
20Gambar 03: Mushaf Masjid
Agung Jamik, Singaraja, Bali (Foto Milik Penulis, 2008)
Keterangan Fisik Mushaf:
Al-Qur’an ini terdiri atas 682 halaman. Setiap halaman terdiri atas 14 baris, kecuali halaman awal yang terdiri atas 7 baris. Ukurannya sekitar 27 X 21 cm, dengan sampul
berukuran 33,5 X 22 cm, yang terbuat dari kulit berwarna merah maron dengan motif floral. Bagian dalam sampul naskah dilapisi kain saten. Sampul naskah memakai tutup (plup).
Dari segi kaligarafinya, teks ayat ditulis dengan
menggunakan
khat Naskhi. Tinta yang digunakan berwarna
hitam. Pada bagian tertentu, seperti untuk menandai bacaan
mad, tinta yang digunakan berwarna merah. Secara umum,
naskah sudah lapuk, beberapa halaman kertas tampak sobek
dan bolong. Meskipun demikian, tulisan masih terbaca dengan
jelas. Pada halaman pelindung terdapat catatan yang tertulis:
“hàžal-waqf muêëaf masjid jàmi‘”. Menurut keterangan pengurus
takmir masjid, Muhlis Sanusi, yang juga Lurah Kampung Islam di
Singaraja tahun 2008, naskah mushaf ini ditulis oleh Gusti
Ngurah Ketut Jelantik Selagi, salah seorang keturunan Raja
Buleleng yang masuk Islam.
2120 Asep Saefullah dan M. Adib MI, “Beberapa Aspek Kodikologi Naskah
Keagamaan Islam di Bali..., h. 73.
D. Tanda Waqaf dan Tanda Tajwid dalam Mushad Kuno
Nusantara
Sebelum melihat tanda waqaf dan tanda tajwid pada
mushaf-mushaf kuno Nusantara, ada baiknya diuraikan terlebih
dahulu tanda-tanda tersebut, setidaknya dari dua mushaf di
Indonesia, yaitu: 1) Mushaf Standar Indonesia, dan 2) Mushaf
yang tergolong tua, yakni mushaf cetakan Al-Ma’arif Bandung
tahun 1957 (selanjutnya disebut “Mushaf Al-Ma’arif”). Hal ini
diperlukan untuk melihat perkembangan mutakhir penggunaan
tanda waqaf dan tanda tajwid. Di samping itu, sebagai pelengkap
kajian ini, penggunaan “warna” sebagai “penanda” hukum
bacaan tajwid akan disertakan pula dalam tulisan ini.
1. Gambaran Umum Perkembangan Tanda Waqaf dan Tanda
Tajwid
Gambar 04:
Tanda Waqaf Mushaf Standar Indonesia (Cetakan 2012)
Dalam Mushaf Al-Ma’arif yang terbit tahun 1957, terdapat
sepuluh rumus tanda waqaf, yaitu: 1) mim ( ) untuk waqaf lazim,
2) ía ( ) untuk waqaf mutlak, 3) jim ( ) untuk waqaf jaiz, 4) zai (
) untuk waqaf mujawwaz, 5) êad (
) untuk waqaf
murakhkhaê, 6) Qif (
) untuk waqaf lebih baik, 7) Qaf ( ) untuk
waqaf menurut sebagian ulama, 8) êalà (
) untuk boleh waqaf
tetapi terus lebih baik, 9) lam alif ( ) untuk tanda tidak boleh
berhenti, dan 10) Kaf ( ) untuk waqaf sebagaimana waqaf yang
sebelumnya. Kesepuluh rumus ini terdapat pada halaman 549
Mushaf Al-Ma’arif tersebut, sebagaimana gambar di bawah.
2222 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, khususnya
h. 99-100, dan 107.
waqfi aulà (tanda waqaf jaiz boleh berhenti atau terus, tetapi lebih baik berhenti/waqaf)
4 ‘alàmatul-waqfil-jà’iz ma‘a
Mad Wajib
Mad Jaiz Iqlab
Keternganan lengkap mengenai tanda-tanda waqaf tersebut
juga dijelaskan pada bagian “mulëaq” (lampiran) Mushaf ini,
setelah pembahasan Kitab Tajwid, yaitu pada halaman 16-18,
dengan empat tambahan, yaitu: 11) saktah (
), 12) Mu‘ànaqah
(
), 13) tanda seperti “sin riq‘ah” (
), dan 14) kepala ‘ain ( ).
Di dalam kedua mushaf di atas, hampir tidak ditemukan
simbol untuk menendai hukum bacaan tajwid kecuali hukum
bacaan iqlab dengan simbol huruf mim (م) seperti pada kalimat (
ن
ن مم
م
دمعنبب
). Tanda lainnya adalah tanda mad wajib berupa garis
meliuk ( ) seperti pada kalimat (
); dan tanda mad jaiz
berupa berupa garis meliuk juga tetapi dengan ekor kecil ke
bawah di sebelah kiri ( ), seperti pada kata (
) (Lihat
Gambar 06 di bawah).
Gambar 06: Surah al-Baqarah/2: 158-159 (Mushaf Al-Ma’arif, 1957, h. 23)
Beberapa tahun belakangan ini, sebagian penerbit Al-Qur’an
menggunakan sistem warna sebagai tanda tajwid. Pada tahun
2011, Lajnah melakukan standardisasi penggunaan warna
sebagai tanda tajwid dengan diterbitkan dan disahkannya
Pedoman Tajwid Sistem Warna seperti dilaporkan Fahrur Rozi.
Dalam laporannya, ia menjelaskan tiga hal, yaitu: 1) Sistem
Pewarnaan, 2) Warna yang digunakan dan penerapannya dalam
Gambar 05:
hukum tajwid, dan
3) Sistem pewarnaan pada tajwid.
23Penjelasan ringkas mengenai ketiga hal tersebut adalah sebagai
berikut:
Hal-hal yang diputuskan dan ditetapkan dalam buku Pedoman Tajwid Sistem Warna, antara lain meliputi:
A. Sistem pewarnaan dirumuskan menjadi empat kelompok:
1. Kelompok hukum bacaan huruf, meliputi: idgam bilagunnah, idgam
mutamasilain, idgam mutajanisain, idgam mutaqaribain, idgam bigunnah, idgam mimi, gunnah, iqlab, ikhfa', dan ikhfa' syafawi.
2. Kelompok hukum bacaan panjang, meliputi: madd lazim dan madd
farq, madd wajib muttasil, madd ja’iz munfasil, silah tawilah.
3. Kelompok tanda waqaf, meliputi: waqaf lazim, al-waqfu aula, waqaf
mu‘anaqah, waqaf ja’iz, al-waslu aula, dan la waqfa fih. 4. Huruf yang tidak dilafalkan.
B. Warna yang digunakan adalah enam warna: Merah (C:0, M:100, Y:100,
K:0), Magenta (C:0, M:100, Y:0, K:0), Biru (C:100, M:100, Y:0, K:0),
Cyan (C:100, M:0, Y:0 K:0), Hijau (C:100, M:0, Y:100, K:0), Grey (C:0,
M:0, Y:0, K:30).
Penerapannya dalam hukum-hukum tajwid disesuaikan dengan pengelompokan pada poin A di atas, yaitu:
1. Kelompok hukum bacaan huruf: a. Warna magenta: idgam
bigunnah, idgam mimi, dan gunnah; b. Warna merah: idgam bilagunnah, idgam mutamasilain, idgam mutajanisain, idgam mutaqaribain; c. Warna cyan: iqlab; d. Warna hijau: ikhfa', dan
ikhfa' syafawi; dan e. Warna biru: qalqalah.
2. Kelompok hukum bacaan panjang: a. Warna magenta: madd lazim
dan madd farqi; b. Warna cyan: madd wajib muttasil; dan c. Warna
hijau: madd ja’iz munfasil dan madd silah tawilah.
3. Kelompok tanda waqaf: a. Warna merah: waqaf lazim dan al-waqfu
aula; b. Warna biru: waqaf mu‘anaqah dan waqaf ja’iz; dan c.
Warna hijau: al-waslu aula dan la waqfa fih.
4. Huruf yang tidak dilafalkan diberi warna grey.
C. Sistem pewarnaan pada tajwid warna bisa menggunakan salah satu dari tiga model:
1. Model Akademik; adalah pola pewarnaan berdasarkan kaidah
tajwid, yaitu pewarnaan pada huruf-huruf dan harakat yang menimbulkan sebuah hukum bacaan tajwid .
2. Model Fonetik; adalah pola pewarnaan berdasarkan pelafalan, yaitu
pewarnaan pada huruf dan harakat yang dilafalkan karena mengandung hukum tajwid.
3. Model Praktis; adalah pola pewarnaan berdasarkan pada tanda baca
penggunaan tanda tajwid dan juga tanda waqaf adalah untuk
mempermudah para pembaca Al-Qur’an dan agar terhindar dari
bacaan yang salah, yang mungkin dapat mengakibatkan
pemaknaan yang salah pula. Oleh karena itu, dalam melacak
akar sejarah penggunaan tanda waqaf dan tanda tajwid, tulisan
ini mengulas penggunaan tanda-tanda tersebut dalam
mushaf-mushaf kuno.
2. Tanda Waqaf
Dalam mushaf-mushaf kuno koleksi BQMI, banyak ditemukan
tanda waqaf dengan huruf-huruf tertentu, seperti ta (
ت
) untuk
wakaf tàm, kaf (
ك
) untuk waqaf kàfì, jim (
ج
) untuk waqaf jaiz, êad
(
ص
) untuk waqaf murakhkhaê (diberi kelonggaran berhenti), dan
ía (
ط
) untuk wakaf muílaq (lebih baik berhenti). Selain itu,
ditemukan pula tanda-tanda dengan huruf zai (
ز
) untuk waqaf
mujawwaz, lam alif (
ل
) tanda tidak boleh berhenti, êalà (
ىلص
)
untuk waqaf mustaëab waêluhu (lebih disukai diteruskan), qaf (
ق
)
untuk tanda waqaf yang tidak ditetapkan oleh sebagian ulama,
dan qif (
فق
) untuk waqaf mustaëab (boleh berhenti) tapi tidak
salah bila disambung. Penjelasan mengenai makna tanda-tanda
waqaf tersebut dicantumkan di bagian belakang salah satu
mushaf kuno dari Pulau Sumbawa sebagaimana pada gambar di
bawah, dan juga pada Mushaf dari Pandeglang koleksi BQMI.
2525 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, h. 99-100.
Artinya kurang lebih:
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan seluruh alam semesta, kepada keluarganya dan sekalian sahabat-sahabatnya. Adapun kemudian daripada itu, saya telah melakukan pengujian mushaf yang mulia ini untuk menverivikasi dan mencocokkannya dengan (bacaan) tiga orang Syaikh, yakni Imàm Nàfi‘ dari riwayat Qàlùn, Imam Abì ‘Amr dari riwayati ad-Dùrì, dan Imam ‘Aêim dari riwayati Hafê. Maka, apa yang saya tulis dengan tinta hitam itu adalah bacaan Qàlun dari Imam Nàfi‘, apa yang saya tulis dengan tinta merah itu adalah bacaan ad-Dùri dari Imam Abì ‘Amr, dan apa yang saya tulis dengan tinta hijau itu adalah bacaan Hafê dari Imam ‘Aêim. Jika kedua imam sepakat mengenai suatu bacaan maka saya memberi tanda begini 2 (angka dua) kadang-kadang dengan warna merah dan ada kalanya dengan warna hijau. Ketika saya membiarkan (tidak diberi tanda) untuk suatu bacaan yang disepakati dua imam, baik
Gambar 07:
Contoh penjelasan tanda tajwid
dan tanda waqaf dalam Mushaf
tashìl26 maupun isqàí27, maka maksud saya adalah bacaan Imam Qàlùn
dan Imam ad-Dùrì. Kemudian saya membuat tanda (simbol) izhar begini ظ (îa) atau ikhfa begini خ (kha) atau idgam begini مغ (gin dan mim) atau
junjungan kita Nabi Muhammad, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya.
Pada bagian awal penjelasan di atas terdapat keterangan
tentang berbagai macam bacaan (qira’at)
29yang digunakan
dalam mushaf Sumbawa tersebut, yang merujuk pada tiga imam,
yaitu Imam Nàfi‘ dari riwayat Qàlùn, Imam Abì ‘Amr dari riwayati
ad-Dùrì, dan Imam ‘Aêim dari riwayat Hafê. Keterangan
26 “Tashìl” maksudnya bunyi bacaan antara hamzah dan alif, sepertikaliman (يبرعو يمجعاء). Lihat Lajnah Muraja‘ah Muêëafi-lmadìnatil-munawwarati,
Ta‘rìf bi hàžal-Muêëafisy-Syarìf, (Madinah: Mujamma‘ul-Malik Fahd liíabà‘atil-muêëafisy-syarìf, 1420), h. ز. (Mushaf terbitan Madinah selanjutnya disebut Mushaf Madinah. Lihat E. Badri Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, h. 8-9.
27 “Isqàí”maksudnya membuang atau mengugurkan. Istilah ini biasanya
digunakan pada bab Hamzah, baik Hamzah itu terdiri dari dalam dua kalimat maupun dalam satu kalimat. Misalnya: دحأ ءاجوأ dibaca دحأ اج وأ . Lihat Omar bin
Mokti, (Hàfiî Al-Qur’an dan Ahli Qiraat di Ma’had Tahfiz Al-Qur’an Negeri Johor,
Malaysia), “Asas Manhaj Imam-Imam Al-Qiraat”, http://omartahfiz.
blogspot.com/2010/05/ringkasan-ilmu-qiraat.html, di-upload 20 Mei 2010, dan diakses 20 April 2013.
28
Imàlah ada dua macam, yaitu Imalah Kubra, atau terkadang disebutimàlah, yaitu bunyi fathah yang hampir sama dengan bunyi kasrah, contohnya: اهــ رجم(majréhà) , dan Imàlah Sugrà, biasa disebut juga taqlìl, yaitu
bunyi di antara Fathah dan Imàlah. Lihat Omar bin Mokti, “Asas Manhaj
Imam-Imam Al-Qiraat”.
29 Dalam qira’at dikenal antara lain qira’at tujuh (al-qira’atus-sab‘ah). Adapun Imam-Imam Qira’at Tujuh dan Perawi-Perawinya: 1) Imam Nàfi’, Perawinya: Qàlùn dan Warasy; 2) Imam Ibn Kaêìr, Perawinya: Al-Bazì dan Qunbul; 3) Imam Abu ‘Amr, Perawinya: Ad-Dùrì dan As-Sùsì; 4) Imam Ibn Amir, Perawinya: Hisyàm dan Ibn Zakwàn; 5) Imam ‘Àêim, Perawinya: Syu‘bah dan Hafê; 6) Imam Hamzah, Perawinya: Khalaf dan Kallàd; dan 7) Imam Al-Kisà’i,
Perawinya: Abu al-Hariê dan Ad-Dùrì. Lihat Ibid.
Di Indonesia dapat dikatakan bahwa ilmu qira’at kurang popular dan masih terbatas pada kalangan spesialis sehingga buku-buku dan bahan bacaan dalam bidan ini masih terbatas dan belum ada pengajarannya secara luas. Peter Riddell mengatakan:
So how do Indonesian Muslims learn about the qira’at in the present era? In fact, the study of the qira’at has come to be viewed very clearly as an area for specialists, with the result that little information on this object is available in popular publications. This fact becomes clear when we consider where information on the qira’at can be found.
Lihat Peter Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission
berikutnya adalah tentang tanda tajwid dan tanda waqaf,
sebagaimana diuraikan di atas.
Tanda-tanda waqaf yang terdapat dalam mushaf dari
Sumbawa tidak dijelaskan secara lebih terinci. Akan tetapi,
tanda-tanda yang sama dapat dijumpai pada Mushaf Al-Ma’arif
disertai penjelasan dan contoh-contohnya. Ada 14 tanda waqaf
yang terdapat dalam Mushaf Al-Ma’arif ini, yaitu:
301. Mim ( ) untuk waqaf lazim: harus berhenti (waqaf) pada kata (kalimat) yang terdapat tanda itu di atasnya;
2. Ía ( ) untuk waqaf mutlak: lebih baik berhenti pada kata (kalimat) yang terdapat tanda itu di atasnya daripada disambung (wasal) dengan kata (kalimat) berikutnya;
3. Jim ( ) untuk waqaf jaiz: boleh berhenti pada kata (kalimat) yang terdapat tanda itu dan boleh juga disambung (wasal) dengan kata (kalimat) berikutnya;
4. Zai ( ) untuk waqaf mujawwaz: boleh berhenti pada kata (kalimat) yang
terdapat tanda itu, akan tetapi jika disambung (wasal) dengan kata (kalimat) berikutnya lebih baik;
5. Ëad ( ) untuk waqaf murakhkhaê: diberi kelonggaran berhenti pada kata
(kalimat) yang terdapat tanda itu karena ýarùrah (darurat/terpaksa) yang
disebabkan oleh panjangnya ayat atau kehabisan nafas;
6. Qaf ( ): tanda berhenti (waqaf) yang tidak ditetapkan oleh sebagian besar ulama; 31
7. Qif ( ): tanda waqaf mustaëab (baik berhenti) tapi tidak salah bila disambung (wasal) dengan suku kata yang berikutnya;
8. Lam alif ( ): tanda tidak boleh waqaf, kecuali kalau di bawahnya terdapat tanda awal ayat yang membolehkan waqaf secara mutlak, maka boleh berhenti tanpa diulangi lagi bagi yang membolehkan waqaf;
9. Ëalà ( ): tanda waqaf mustaëab waêluhu (baik disambung, wasal);
10. Kaf ( ): suatu tanda untuk menerangkan hukum waqafnya seperti
waqaf yang sesudahnya;
11. Saktah ( ): tanda berhenti sejenak tanpa mengeluarkan nafas (tidak
bernafas);32
30
Bandingkan tanda-tanda tersebut dengan “The Key for the Signs Usedin the Qur'an” (Singkatan untuk Tanda-Tanda yang Digunakan dalam
Al-Qur’an), dalam http://tajweedstudy.com/ index.php?
option=com_content&view=article&id=116&Itemid=138, di-upload 10 May 2008, dan diakses 19 April 2013 (lihat Lampiran). Bandingkan pula dengan
Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, 98-101 dan E. Badri
Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, h. 7.
31 Huruf qaf ( ) adalah singkatan dari qìla ‘alaihil-waqfu (lihat Lampiran).
32 Tanda saktah sesungguhnya juga terdapat dalam Mushaf Standar,
tetapi dalam penjelasan mengenai “alamàtul-waqfi” tidak terdapat tanda ini
12. Mu‘ànaqah ( ): tanda waqaf mu‘ànaqah boleh berhenti pada salah
satu kata (kalimat) yang ada tanda itu di atasnya;33
13. Sin riq’ah” ( ): tanda waqaf samà’i, yaitu tempat waqaf Nabi, waqaf
gufràn, dan waqaf munzal (waqaf Jibril);
14. Kepala ‘ain ( ): tanda rukuk, tanda pembagian setiap hari untuk orang
yang ingin menghafal Al-Qur’an dalam jangka dua tahun.34
Gambar 08: Mushaf Al-Ma’arif, 1957
(Foto milik Penulis, 2013)
Tanda waqaf dari ketiga macam mushaf kuno tersebut, yakni
dari koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal, Mushaf
Sumbawa, dan Mushaf Al-Ma’arif banyak menunjukkan
kesamaan. Tanda waqaf yang sama adalah kaf (
ك
) untuk waqaf
kàfì, ta (
ت
) untuk wakaf tàm, êad (
ص
) untuk waqaf murakhkhaê,
33 Tanda waqaf no. 1 ( ), 3 ( ), 8 ( ), 9 ( ), dan 12 ( ), saat ini
masih digunakan dalam Mushaf Standar (lihat Gambar 04).
34 Tanda Rukuk dalam Mushaf Standar digunakan huruf ‘ain (ع), tetapi
ía (
ط
) untuk wakaf muílaq, zai (
ز
) untuk waqaf mujawwaz, qaf (
ق
)
untuk waqaf yang tidak ditetapkan oleh sebagian besar ulama,
dan qif (
فق
)
untuk waqaf
mustaëab.
35Selebihnya, yaitu jim (
ج
)
untuk waqaf jaiz, lam alif (
ل
) untuk tanda tidak boleh berhenti,
dan êalà (
ىلص
) untuk waqaf mustaëab waêluhu (lebih disukai
diteruskan), sampai saat ini masih dapat ditemukan dalam
Mushaf Standar.
Berikut ini disajikan tabel perbandingan tanda waqaf pada
ketiga mushaf tersebut, yaitu mushaf-mushaf kuno, Mushaf
Al-Ma’arif, dan Mushaf Standar.
Tabel 2
Tanda Waqaf pada Mushaf Kuno Nusantara, Mushaf Al-Ma’arif, dan Mushaf Standar
Lazim Tanpa keterangan. Bisa jadi sebagai tanda harus berhenti seperti waqaf lazim dalam
Waqaf sempurna (perfect), yaitu
waqaf pada kata (kalimat) yang
35 Lihat Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, h. 99
dan 108.
36 Muëammad al-Maëmùd Abù Rìmah, Hidàyatul-Mustafìd, (Surabaya:
6 Waqaf Jaiz boleh berhenti atau terus, sama
membolehkan waqaf
11 Waqaf
Samà’i tempat waqaf Nabi, waqaf gufràn, dan waqaf munzal
(waqaf Jibril)
12 يوبن Waqaf
Nabawi Tidak ada keterangan. Bisa jadi waqaf ini sama dengan waqaf
samà‘i dalam Mushaf Al-Ma’arif
13 Mu‘ànaqa
h tanda berhenti/waqaf pada salahsatu tanda dan tidak sah waqaf pada tanda lainnya
mustaëab tanda waqaf baik berhenti tapi tidak salah bila disambung (wasal) dengan suku kata yang
18 هتكس Saktah tanda berhenti sejenak tanpa
mengeluarkan nafas (tidak bernafas)
19 (عوكرلا )
ع Kepala
‘ain /‘ain sebagai tanda rukuk, tanda pembagian setiap hari untuk orang yang ingin menghafal Al-Qur’an dalam jangka dua tahun.
3. Tanda Tajwid
Dalam mushaf-mushaf kuno Nusantara ditemukan lebih
banyak tanda tajwid, antara lain: tanda mad jaiz dan mad wajib
yang beruma simbol garis meliuk (~), dengan jumlah bervariasi,
satu, dua, atau tiga. Sebagian mushaf membedakan antara mad
jaiz dengan mad wajib dengan warna yang berbeda, yakni mad
jaiz dengan warna merah dan mad wajib dengan warna hitam.
Sebagian yang lainnya dengan jumlah garisnya yang berbeda,
yaitu dengan garis meliuk (~) bersusun dua untuk mad jaiz, dan
bersusun tiga untuk mad wajib. Demikian juga dengan tanda
mad jaiz dan wajib dalam mushaf-mushaf kuno koleksi BQMI.
Tanda ini juga digunakan untuk tanda panjang untuk alif
misalnya kata (
لا تـيأب
).
39Selain tanda mad di atas, tanda tajwid yang umum dijumpai
adalah terkait hukum bacaan nun sukun atau tanwin dan hukum
bacaam mim. Ada empat macam bacaan terkait hukum nun mati
atau tanwin, yaitu izhar, ikhfa, idgam, dan iqlab. Dalam kutipan
penjelasan Mushaf Sumbawa di atas dijelaskan demikian:
... Kemudian saya membuat tanda (simbol) izhar begini ظ (îa) atau ikhfa begini خ (kha) atau idgam begini مغ (gin dan mim) atau idgam bigunnah
begini هنغ (gunnah) atau tanda iqlab begini ب (ba) serta al-imàlatal-kubrà
begini م (mim) dan aê-êugrà begini ى (ya tanpa titik)...
Keempat tanda tajwid untuk hukum bacaan nun sukun atau
tanwin, yaitu îa (
ظ
) untuk izhar, kha (
خ
) untuk ikhfa, gin dan mim
(
مغ
) untuk idgam, dan ba (
ب
) untuk iqlab, hampir dijumpai dalam
setiap mushaf kuno Nusantara. Ada sedikit perbedaan dalam
beberapa mushaf kuno terkait tanda idgam dan iqlab. Tanda
idgam yang umum digunakan adalah gin dan mim (
مغ
) untuk
idgam, tetapi sebagian membedakan antara idgam bigunnah dan
idgam bilà gunnah dengan tanda gin dan mim (
مغ
) dan gunnah (
39 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, h. 98-99
idgam
هنغ
). Dalam Mushaf La Nontogama koleksi BQMI yang asalnya dari
Bima NTB digunakan tanda
مزل مغ
dan
ك مغ
untuk membedakan
keduanya. Tampaknya,
مزل مغ
adalah tanda untuk idgam
bigunnah sedangkan
ك مغ
untuk idgam bilà gunnah.
40Sedangkan
tanda iqlab, sebagian menggunakan ba (
ب
) dan ada juga yang
menggunakan mim (
م
) karena dibaca gunnah (bunyi mim sukun).
Berikut contoh penggunaan tanda-tanda tersebut dalam
mushaf-mushaf kuno Nusantara.
Gambar 09: Naskah S8, (Mushaf Museum Negeri Mulawarman Tenggarong
Kalimantan Timur)
(Foto: Zaenal Arifin, 2012, h. 13 [deskripsi mushaf, h. 7])41
40 Asep Saefullah, “Mushaf Kuno dari Pulau Sumbawa NTB...”, h. 9. Tanda
idgam dengan مزل مغ sebagai idgàm làzim barangkali yang dimaksud sebagai
idgàm kàmil dalam Mushaf Madinah (bigunnah). Adapun tanda ك مغ sebagai
idgàm kàfì yang dalam Mushaf Madinah disebut idgàm nàqiš (bilà gunnah).
Lihat Ta‘rìf bi hàžal-Muêëafisy-Syarìf, dalam Mushaf Madinah, h. د
41 Zaenal Arifin, “Ragam Qira’at Mushaf Kuno Di Samarinda Kalimantan
Timur”, Laporan Hasil Peneitian Mushaf Kuno, Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2012, h. 7 dan 13.
Lihat juga Munawiroh, “Mushaf Kuno di Kalimantan Timur,” dalam,
Mushaf-Mushaf Kuno di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan litbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2005), cet-1, h. 220-236. Munawiroh mendata sepuluh naskah Qur’an dari Kalimantan Timur dalam. Mengenai asal usul naskah-naskah Qur’an tersebut dan deskripsinya, lihat h. 222-230.
Gambar 10: Naskah S9 (Mushaf dari Masjid Sirathal Mustaqim Samarinda Seberang)
(Foto: : Zaenal Arifin, 2012, h. 13 [deskripsi mushaf h. 7-8])
Tanda izhar selain menggunakan huruf îa (ظ) digunakan
pula huruf nun (ن). Sedangkan untuk iqlab, sebagaiamana
sekarang digunakan pada Mushaf Standar, digunakan huruf mim
(م) yang diletakkan di atas huruf ba (ب) sesudah nun sukun atau
tanwin, dan sebagian yang lain menggunakan huruf ba (ب) itulah
sebagai tanda iqlab.
42Akan tetapi, pada contoh di atas, tanda
iqlab digunakan gin (
غ
) karena dibaca gunnah mengikuti hukum
bacaan mim sukun (
من
), yang dalam Mushaf Madinah dijelaskan
“yadullu ‘alà qalabit-tanwìn awin-nùni mìman” (menunjukkan
perubahan [bunyi] tanwin ataun nun menjadi [bunyi] mim).
43Dalam hukum bacaam mim sukun juga digunakan simbol
yang hampir sama, antara lain huruf îa (ظ) untuk izhar dan kha (
خ) untuk ikhfa.
44Misalnya, huruf îa (ظ) digunakan untuk izhar
syafawi, seperti pada kalimat (
هللا ن
ن ا
ظمهراصباو
ظمهعمسب
...),
yang dibaca jelas tanpa gunnah. Tanda idgam bigunnah, yakni
gunnah (هنغ) terkadang digunakan untuk idgam mìmì (mim
sukun ketemu mim) atau untuk ikhfa syafawi seperti pada
kalimat (
نينمؤمب
هنغمهامو
).
4542 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, h. 99.
43 Lihat Ta‘rìf bi hàžal-Muêëafisy-Syarìf, dalam Mushaf Madinah, h. د . Bandingkan dengan foto-foto naskah Al-Qur’an kuno BQMI dalam “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, h. 109.
44 Penjelasan ringkas tentang hukum bacaan mim sukun antara lain lihat
Abù Rìmah, Hidàyatul-Mustafìd, h. 9. Penjelasan tajwid juga dapat dibaca di
bagian belakang Mushaf Standar Indonesia setelah bacaan Khatm al-Qur’àn
(h. 10-11). Di dalamnya dijelaskan demikian:
1. Apabila di belakang huruf mim mati (م) ada huruf mim pula, maka ia harus dibaca dengan idgam dan gunnah, biasa disebut “idgam mimi”...
2. Apabila di belakang huruf mim mati (م) ada huruf ba (ب), maka ia harus dibaca dengan ikhfa dan gunnah... biasa disebut “ikhfa syafawi”.
3.Apabila di belakang huruf mim mati (م) ada huruf selainnya mim (م) dan mim ba ( ب), maka semuanya dibaca dengan izhar dan tidak dengan gunnah, ...
45 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, h. 99. Penjelasan sederhana atau semacam manual tentang ilmu tajwid yang disusun dalam bentuk tanya jawab, antara lain dapat dilihat pada Muëammad
Tanda tajwid lainnya yang ditemukan dalam mushaf kuno
adalah huruf alif setelah fathah yang tidak dibaca, yakni tanda
qaêr (رصق), seperti pada kalimat (
هنم ريخ
رصقانا لاق
). Tanda qaêr
(رصق) diletakkan di atas alif.
46Terkait hukum bacaan alif seperti
ini, dalam Mushaf Standar sekarang dikenal dua tanda, yaitu: 1)
êifr mustadìr (o [lingkaran bulat]) untuk alif sukun setelah fathah
yang tidak dibaca panjang; dan 2) êifr mustaíìl (0 [lingkaran
lonjong]) untuk alif sukun yang dibaca panjang hanya ketika
berhenti. Contoh bacaan demikian dapat dilihat pada gambar di
bawah yang diambil dari Mushaf Standar.
Gambar 11: Contoh êifr mustadìr dan êifr mustaíìl dalam Mushaf Standar
(2012, h. 4, dari Ma‘lùmàt)
Beberapa contoh tanda tajwid di atas banyak ditemukan
dalam mushaf-mushaf kuno Nusantara. Secara lebih sederhana
tanda tajwid yang umum digunakan pada mushaf-mushaf kuno
Nusantara dapat dilihat pada tabel berikut:
47Tabel 3
Tanda Tajwid Mushaf Kuno Nusantara
No Simbol Keterangan
1
ظ
Tanda Izhar (hukum bacaan nun sukun dan tanwin); sebagaian mushaf menggunakannya juga untuk izhar syafawi
2
ن
huruf nun terkadang digunakan izhar3
خ
Tanda Ikhfa4
غ
Tanda Idgam5
مغ
Tanda Idgam; terkadang digunakan untuk iqlabbaik mim sukun maupun mim bertasydid. Catatan kaki no. 43-45, bandingkan dengan dan E. Badri Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, h. 10-12.
46 Asep Saefullah, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi...”, h. 99. Lihat
juga dan E. Badri Yunardi, “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, h. 9-10.
6
هنغ
Gunnahsyafawì dan idgam ; terkadan digunakan pula sebagai tanda ikhfa mìmì7
مزل مغ
Tanda Idgam bigunnah
8
ك مغ
Tanda Idgam bilà gunnah9
ب
Tanda Iqlab10
م
Imàlah Kubràiqlab ; huruf mim terkadang digunakan pula untuk11
ى
Imàlah Ëugrà12
رصق
Tanda alif setelah fathah tidak dibaca; Dalam Mushaf Standar sekarang digunakan êifr mustadìr (lingkaran bulat), dan dikenal juga êifr mustaíìl (lingkaran lonjong)E. Penutup
dibandingkan antara simbol-simbol huruf hijaiah dengan
penggunaan warna, masing-masaing memiliki kekurangan dan
kelebihan. Hanya saja, jika boleh dikatakan, pengunaan huruf
hijaiah sebagai tanda tajwid bisa jadi akan mempermudah
pembaca membuat “asosiasi”, misalnya huruf îa (
ظ
) sebagai
izhar (
راهظا
), gin (
غ
) sebagai idgam (
ماغدا
), kha (
خ
) sebagai ikhfa (
ءافخا
), dan ba (
ب
) atau mim (
م
) sebagai iqlab (
بلقا
). Proses
mužàkarah (mengingat) dengan “asosiasi” seperti itu barangkali
lebih mudah dibandingkan dengan menghafal warna-warna,
meskipun bagi sebagian orang, “asosiasi” hukum bacaan tajwid
dengan warna, bisa jadi lebih mudah. Semuanya tentu
merupakan usaha kreatif dan inovatif, yang dapat dipastikan
memiliki prinsip yang sama, yakni memberikan kemudahan bagi
orang yang ingin mempelajari Al-Qur’an.
masyarakat dalam membaca dan mempelajari Al-Qur’an,
khususnya terkait dengan hukum bacaannya.
Sebagai penutup tulisan ini, berikut disampaikan beberapa
saran:
1. Upaya kreatif dan inovatif untuk mempermudah masyarakat
dalam membaca dan mempelajari Al-Qur’an perlu terus
ditingkatkan. Pada saat yang sama, tradisi baca-tulis Al-Qur’an
yang telah berurat berakat selama ratusan tahun di Nusantara
(Indonesia) dapat sekaligus dilestarikan dengan melakukan
berbagai penyederhanaan dan penyempurnaan, misalnya
dalam hal penggunaan tanda waqaf dan tanda tajwid, dengan
tetap merujuk pada sumber/rujukan yang otoritatif, yakni
kutubut-turàš fì ‘ulùmil-qur’àn (kitab-kitab warisan ulama
klasik dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an).
2. Kajian terhadap aspek-aspek substansif dari mushaf kuno
Indonesia, seperti tanda waqaf dan tanda tajwid, serta qira’at
dan rasm, perlu terus digalakkan dan diperdalam lagi,
khususnya oleh para ahlinya yang kini sebagian mereka
berada di Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
3. Dalam rangka mengenalkan sejarah penyalinan dan
pengajaran Al-Qur’an kepada generasi muda dan sekaligus
“mengingatkan” dan “mengembalikan” mereka pada akar
budayanya sendiri, kiranya penerbitan dan penyebarluasan
hasil-hasil kajian tentang mushaf kuno Indonesia perlu
mendapat perhatian yang lebih serius sehingga dapat dibaca
oleh kalangan yang lebih luas.
konteks tulisan ini—kiranya dapat diusulkan kembali kepada
pihak yang berkepentingan, khususnya Kementerian Agama
dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengenai
pengajaran huruf Jawi bagi para pelajar Muslim mulai dari
tingkat dasar hingga perguruan tinggi, wa bil-khuêùê pada
madrasah dan perguruan tinggi agama, baik negeri maupun
swasta. Wallàhu a‘lam... ihdinaê-siraíal-mustaqìm...@sep413
Ucapan Tarima Kasih
Penulis mengucapkan tarima kasih kepada Dr. Ahmad Rahman, M.Ag. untuk foto-foto naskah Al-Qur’an kuno dari keluarga Kesultanan Sumbawa NTB, Dr. H. Fathoni, tempat bertanya penulis dalam bidang qira’at, dan para peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, khususnya melalui Ali Akbar, M.Hum, Zarkasyi, M.A., dan Joni Syatri, M.Phil, yang telah memberikan data baru tentang naskah Al-Qur’an Kuno hasil penelitian tahun 2012. Juga terima kasih kepada panitia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mempresentasikan makalah ini, dan pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, walaupun tidak disebutka bukan berarti mengurangi rasa terima
kasih. Terima kasih untuk semua, jazàkumullàh khairan kašìran…
Daftar Pustaka
Abù Rìmah, Muëammad al-Maëmùd, Hidàyatul-Mustafìd, Surabaya: S.A.A.I,
1408.
Akbar, Ali, “Kaligrafi dalam Mushaf Kuno Nusantara: Telaah Naskah-naskah
Koleksi Perpustakaan Nasional RI”. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005.
---, “Khazanah Mushaf Kuno Nusantara”, dalam Oman Fathurahman, dkk.,
Filologi dan Islam Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagaman, 2010, h. 181-208.
---, “Mushaf Al-Qur'an Tertua di Indonesia”,
http://quran-
nusantara.blogspot.com/2012/04/mushaf-al-quran-tertua-di-indonesia.html#more, di-upload Senin, 16 April 2012, dan diakses 17 April 2013.
---, “Mushaf Sultan Ternate Tertua di Nusantara?: Menelaah Ulang Kolofon”
yang dimuat dalam Jurnal Lektur Keagamaan, 8(2), 2010, h. 283-296.
---, “Seni Mushaf Nusantara dari Masa ke Masa”, http://quran-nusantara.
blogspot.com2013/03/seni-mushaf-nusantara.html, di-upload 17 Maret 2013, dan diakses 17 April 2013.
---, “Tracing individual styles Islamic Calligraphy from Nusantara”, Jurnal
Arifin, Zaenal, “Ragam Qira’at Mushaf Kuno Di Samarinda Kalimantan Timur”,
Laporan Hasil Peneitian Mushaf Kuno, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2012.
Bafadal, Fadhal AR dan Anwar, Rosehan (Eds.), Mushaf-mushaf Kuno di
Indonesia I. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005.
Fathurahman, Oman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagaman, 2010
Gallop, Annabel Teh, “Seni Mushaf di Asia Tenggara” dalam Jurnal Lektur Keagamaan, 2(2), 2004, h. 121-143 dan “The Art of the Qur’an in Java”,
Suhuf, 5(2), 2012, h. 215-229,
Harun, Maidir, dkk. (Eds.), Profil Puslitbang Lektur Keagamaan: Puslitbang Lektur Keagamaan dari Masa ke Masa. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2009.
Krajinic, Edo, “The Key for the Signs Used in the Qur'an” (Singkatan untuk Tanda-Tanda yang Digunakan dalam Al-Qur’an), dalam
http://tajweedstudy.com/index.php?option=com_ content&view= article&id= 116&Itemid=138, di-upload 10 May 2008, dan diakses 19 April 2013.
Lajnah Muraja‘ah Muêëafi-lmadìnatil-munawwarati, Ta‘rìf bi
hàžal-Muêëafisy-Syarìf, Madinah: Mujamma‘ul-Malik Fahd liíabà‘atil-muêëafisy-syarìf, 1420.
Munawiroh, “Mushaf Kuno di Kalimantan Timur,” dalam, Mushaf-Mushaf Kuno
di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan litbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2005), cet-1, h. 220-236.
Mushaf Standar Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama, 2012.
Omar bin Mokti, “Asas Manhaj Imam-Imam Al-Qiraat”,
http://omartahfiz.blogspot.com/2010/05/ ringkasan-ilmu-qiraat.html,
di-upload 20 Mei 2010, dan diakses 20 April 2013.
Permadi, Tedi, “Asal-Usul Pemenfaatan dan Karakteristik Daluang”, dalam
Oman Fathurahman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, Jakarta:
Puslitbang Lektur Keagaman, 2010, h. 209-232.
Riddell, Peter, Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Respons, Singapura: Horizon Books, 2003, cet. ke-2.
Rozi, Fahrur, “Standardisasi Mushaf Al-Qur'an Tajwid Warna di Indonesia”,
http://lajnah.kemenag.go.id artikel/44-mushaf-standar/84-standardisasi-mushaf-al-quran-tajwid-warna-di-indonesia.html, di-upload Kamis, 29 September 2011. Diakses 23 Maret 2013.
Saefullah, Asep “Kesucian dalam Keindahan: Seni Mushaf Al-Qur’an dari Pulau
Sumbawa”, Jurnal Lektur Keagamaan, 3( 2), 2005, h. 234-260.
---, “Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi pada Mushaf-Mushaf Kuno
Koleksi Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal Jakarta”, Suhuf,1(1), 2007, h.
87-110
---, “Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt Al-Quran dan Museum
Istiqlal Jakarta”, Jurnal Lektur Keagamaan, 5(1), 2007, h. 39 – 62.
--- dan Misbachul Islam, M. Adib, “Beberapa Aspek Kodikologi Naskah Keagamaan Islam di Bali: Sebuah Penelusuran Awal”, Jurnal Lektur Keagamaan, 7(1), 2009, h. 53-90.
Yunardi, E. Badri, “Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”, Jurnal Lektur Keagamaan, 5(1), 2007, h. 1-18.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: