• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vol 13 No 1 | AlQisthu 453 1 10 20180106

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Vol 13 No 1 | AlQisthu 453 1 10 20180106"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

DEMOKRASI DAN ETNISITAS:

Studi Politisasi Kelompok Etnik pada Pemilihan Walikoto/ Wakil

Walikota Jambi Tahun 2013

Jafar Ahmad

Mahasiswa Program Doktoral Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta

[email protected]

Abstrak

Sistem politik Indonesia yang telah mengalami pelbagai perubahan sejak runtuhnya rezim Orde Baru di bawah Soeharto menunjukkan terjadi pergeseran kekuasaan dari pemerintah pusat ke masing-masing daerah. Pergeseran ini membuka peluang bagi kelompok etnik untuk memainkan peran dalam merebut kekuasaan tersebut. Beberapa peristiwa perebutan kekuasaan yang mengandalkan sentimen etnik terjadi di banyak tempat. Pertanyaan pentingnya apakah pergeseran kekuasaan dengan mengandalkan sentimen etnis juga terjadi di Kota Jambi?

Penelitian ini memberi catatan bahwa tidak selalu sentiment primordial bisa diandalkan untuk memperoleh dukungan politik seperti yang dijelaskan dalam teori Jame S Scout seperti terlihat di bawah. Sentimen primordial bekerja di daerah tertentu, tapi tidak bekerja di daerah yang lain. Struktur masyarakat Kota Jambi yang sangat heterogen memberi peluang hilangnya sekat-sekat sosiologis yang membuat satu etnis berjarak dengan etnis yang lain. Di Jambi, persoalan asimilasi etnisisitas sudah berjalan cukup Panjang, bahkan sepanjang sejarah berdirinya Jambi seperti yang terungkap dalam BAB II.

(2)

2 PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Sejak tahun 1998 di mana runtuhnya kekuasaan Soeharto yang telah berkuasa

selama 32 tahun, menandakan dimulainya demokrasi yang relative terbuka.1 Keterbukaan yang terjadi pada awal era reformasi membangkitkan kembali nilai-niai

lokal pada arena terbuka, misalnya menguatnya keinginan untuk membentuk

federalisme. Gagasan federalisme pada awal zaman reformasi sempat muncul menjadi

wacana politik Indonesia kala itu, namun seiring dengan perkembangannya, upaya itu

tidak berlanjut.Hal itu disebabkan oleh respon pemerintah dengan memberikan

otonomi daerah yang dikuatkan dengan Undang-undang no. 22 tahun 1999, yang

kemudian diubah menjadi Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah.Undang-undang ini memungkinkan dan malah menguatkan keinginan

masyarakat lokal untuk memiliki pimpinan daerah yang berasal dari kalangan mereka

sendiri, tidak seperti pada era Orde Baru, yang terkadang kepemimpinan kepala daerah

dikirim dari Jakarta.Masyarakat lokal hanya bisa menerima dan mengikuti keinginan

dari Jakarta.

Perubahan yang mendasar ini terjadi pada banyak daerah.Bahkan,

daerah-daerah tertentu, seperti Aceh, Papua, dan Yogyakarta diberikan status otonomi

khusus.Kewenangan khusus dalam kontek otonomi khusus pada beberapa daerah juga

berarti berhak secara khusus mengelola hal-hal yang berhubungan dengan

politik.Misalkan adanya partai lokal di Aceh atau Gubernur Yogyakarta adalah Sultan

Yogyakarta sendiri.Meskipun di daerah lain tidak diberikan otonomi khusus,

perubahan signifikan juga terjadi dalam banyak hal, salah satunya adalah penguatan

nilai-nilai etnik dalam pelbagai bidang, termasuk politik.

Garry Van Klinken menyebutkan dalam salah satu artikelnya yang diberi

judul Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam Politik Lokal,

bahwa telah terjadi peningkatan keterlibatan etnik lokal untuk kembali muncul sebagai

1Khusus untuk ikatan etnik menguat, beberapa contoh peneiltian tentang politik lokal menampakkan itu.

(3)

3 simbol etnik yang pernah berkuasa di wilayahnya dulu. Maka bermuncullah keturunan

para raja/ sulthan, mulai dari Sumatera sampai Maluku dalam pentas politik baru, dan

berusaha mengambil peran politik yang mulai tersedia cukup luas di masing-masing

wilayah.Daerah mendapat hak untuk lebih leluasa dalam mengambil kebijakan

dibandingkan dengan era Orde Baru.Upaya kembalinya elit lokal untuk menguasai

wilayahnya bisa ditemukan di Sulawesi Tengah, Sumba Barat, Kalimantan Tengah,

Banten, Sumatera Barat, dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia.2

Di Jambi, hal ini juga terlihat dengan jelas. Kelompok-kelompok etnik seperti

Melayu Jambi, Jawa, Minang, Sunda, Bugis, dan sebagainya membentuk

perkumpulan, yang beberapa di antaranya terbentuk karena ada kepentingan politik,

seperti momen pemilihan kepala daerah, meskipun beberapa yang lain terbentuk hanya

karena ada kebutuhan untuk merekatkan hubungan etnis yang selama ini tidak

berlangsung dengan lebih terbuka.

Beberapa pertanyaan bisa diajukan untuk mengarahakan penelitian di antaranya:

Upaya-upaya dalam bentuk apa saja yang dilakukan oleh pasangan calon

Walikota-Wakil Walikota Jambi dalam Pemilukada Kota Jambi tahun 2013 untuk mempolitisasi

elite dan anggota etnik dalam rangka memenangkan mereka?Dan, mengapa elit atau

enggota etnik bisa mencapai persekapatan atas upaya-upaya yang dilakukan oleh

pasangan calon dalam hal memberi dukungan terhadap pemenangan pasangan calon

Walikota-Wakil walikota Jambi pada Pemilukada Kota Jambi tahun 2013?; Untuk

melihat apa saja yang dilakukan oleh elit dan anggota etnik setelah mobilisasi politik

berhasil dilakukan, bagaimana wujud politisasi yang terjadi setelah elit atau kelompok

etnik menjadi tim pemenangan pasangan calon? Karena masing-masing etnik memiliki

karakter yang berbeda-beda, bagaimana interaksi internal kelompok-kelompok elit ini

dalam memberi dukungan kepada pasangan calon?; Bagaimana bentuk interaksi antar

satu elit dan anggota etnik dengan elit dan anggota etnik lainnya setelah mobilisasi

berlangsung? Karena mobilisasi yang berlangsung pasti berhubungan dengan

kepentingan, bagaimana interksi tersebut terjadi saat kepentingan-kepentingan itu

2Beberapa artikel hasil penelitian yang digabungkan dalam Henk Sculte Nordholt menunjukkan bahwa

(4)

4 bertemu dalam ruangan yang sama tapi dengan aktor elit dan etnik yang berbeda? Dan

mengapa interaksi kelompok etnik dengan kepentingannya masing-masing tersebut

tidak menimbulkan konflik terbuka?; Bagaimana proses interaksi elit dan anggota

etnik yang sudah termobilisasi tersebut berpengaruh terhadap iklim demokrasi dalam

Pemilukada Kota Jambi tahun 2013? Apakah interaksi itu yang memberi nilai terhadap

demokrasi atau sebaliknya demokrasi yang memengaruhi proses interaksinya dan atau

terjadi tumpang tindih antara keduanya?; Bagaimana iklim politik bisa terbangun

dengan aman sehingga interaksi antar etnis dalam memperjuangkan kepentingan

politik mereka masing-masing bisa sesuai dengan nilai-nilai yang bisa

mempromosikan demokrasi, bukan justeru merusak atau menjadi sesuatu yang

berbahaya bagi demokrasi?

ETNISITAS DALAM PROSES PILKADA KOTA JAMBI

Berdasarkan penjelasan pada bagian pengantar, pada bagian ini akan fokus

menjelaskan tentang iklim demokrasi3 yang melingkupi Pemilukada Kota Jambi tahun 2013. Iklim demokrasi ini telah berkembang ke arah yang lebih baik pasca mundurnya

Soeharto tahun 1998. Prof. Dr. Kacung Marijan (2012) mengemukakan bahwa pasca

jatuhnya Soeharto, telah membawa perubahan-perubahan berarti dalam sistem politik

Indonesia. Di tingkat makro perubahan itu terlihat dari adanya transformasi sistem

politik Indonesia, dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang lebih

demokratis.Paling tidak pintu menuju demokrasi terbuka lebih lebar dan partisipasi

politik warga negara terbuka juga dengan luas.4 Iklim yang relatif terbuka ini memungkinkan bangkitnya kelompok-kelompok kepentingan yang pada masa

3Secara sederhanan Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat.Dalam banyak negara dan sistem pemerintahan “demokrasi” mengambil berbagai bentuk. Menurut Support for East European Democracy (SEED), sebagaimana dikutip A. Rahman Zaunuddin, dalam Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya Jilid II (terjemahan), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992, hal. xxiv-xxv, ada beberapa ciri yang menjadi penanda bahwa sebuah sistem atau negara itu demokratis atau tidak, yakni: (1) didirikan sistem politik yang sepenuhnya demokratis dan representatif, berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan adil; (b) diakui secara efektif kebebasan-kebebasan fundamental dan kemerdekaan pribadi, termasuk kebebasan berbicara, beragama, dan berkumpul; (c) dihilangkannya semua perundang-undangan dan peraturan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik; (d) diciptakan suatu badan kehakiman yang bebas; dan (e) berdirinya kekuatan-kekuatan militer, keamanan dan kepolisian yang tidak memihak.

4 Prof. Dr. Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru,

(5)

5 sebelumnya tidak berani berekspresi lebih terbuka lantaran ada kekhwatiran dicap

sebagai kelompok yang mendukung gerakan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan

(SARA) yang dilarang waktu itu. Kelompok baru ini mengambil berbagai bentuk,

misal komunitas profesi, organisasi non pemerintah, dan kelompok etnik.

Praktik demokrasi yang berlangsung di Kota Jambi dalam kontek Pemilihan

Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Jambi tahun 2013 berjalan sesuai dengan

amanat Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Proses

pelaksanaannya berlangsung secara demokratis. Dari penyelenggara ada Komisi

Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwslu) Kota Jambi. Peserta

pemilihan Walikota-Wakil Walikota Jambi tahun 2013 adalah calon

Walikota-Wakil-Walikota yang telah ditunjuk oleh partai politik pengusung.5Peserta yang mengikuti pemilihan mendaftar melalui partai pengusung.6

5 Calon Walikota-Wakil Walikota Jambi tahun 2013 terdiri dari empat pasang calon, yakni: pertama adalah pasangan M Sum Indra dan dr Maulana. Kandidat ini diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), dan Partai Demokrasi Kebangsaan. M Sum Indra saat itu menjabat sebagai Wakil Walikota Jambi dan mendaftar sebagai calon walikota bersawa calon wakil walikota, dr. Maulana. "Maulana ini pemilik Rumah Sakit Annisa Jambi,", Selasa 19 Maret 2013. Kandidat kedua yang mendaftar adalah Efendi Hatta dan Asnawi AB pada Sabtu 16 Maret 2013.Ketua DPRD Provinsi Jambi dan Kepala Kantor Satpol PP Provinsi Jambi ini diusung Partai Demokrat dan Partai Hanura.Kedua pasangan ini sama-sama pernah maju di Pilwako Jambi tahun 2009.Waktu itu tidak berpasangan.Kandidat ketiga yang mendaftar Sy Fasha dan Abdullah Sani pada Minggu 17 Maret 2013. Mereka adalah Pengusaha dan akademisi diusung Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Barisan Nasional, dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Pasangan ini mendapatkan dukungan partai parlemen paling banyak.Terakhir, calon petahana ikut mendaftar di detik-detik terakhir masa pendaftaran, Senin 18 Maret 2013. Bambang Priyanto, Walikota Jambi saat itu bersama Yeri Muthalib sebagai calon wakil walikota, anggota DPRD Provinsi Jambi. Bambang-Yeri diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Pemuda Indonesia (PPI).Pasangan ini sama-sama tidak diusung partainya. Bambang Priyanto merupakan kader Partai Demokrat, sedangkan Yeri Muthalib kader Partai Hanura..Semua pasangan calon diusung oleh Partai Politik, tidak ada pasangan calon yang mendaftar perseorang. Diakses dari

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/398538-empat-kandidat-calon-walikota-daftar-ke-kpu-kota-jambi atau bisa melalui alamat website

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Wali_Kota_Jambi_2013diakses tanggal 04 Juni 2014,

6 Pada masa pendaftaran sebenarnya ada calon perseorangan atau calon independen yang mendaftar,

(6)

6 Selama proses pemilihan sampai pemungutan suara yang dilanjutkan dengan

pengumuman hasil perolehan suara, tidak ada konflik berarti yang terjadi. Singkatnya

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Jambi tahun 2013 berjalan relatif

lancar dalam lingkungan politik yang demokratis, yakni semua yang memiliki hak

memilih dalam proses pemilihan langsung tersebut tidak memperoleh hambatan dalam

melakukan pilihan. Begitupun dengan para calon dan penyelenggara tidak

memperoleh intimidasi oleh pihak tertentu dalam proses-proses tersebut. Media massa

bebas memberitakan atau tidak memberitakan. Masyarakat tidak dibatasi untuk

mengakses informasi yang ada di media Massa. Dalam pandangan Robert A. Dahl,

tujuh lembaga poliarki yang mendukung berjalannya demokrasi, secara sekilas,

kelihatannya telah berfungsi dengan baik dalam keseluruhan proses penyelenggaran

Pemilukada Kota Jambi tahun 2013.7

Perlu juga dijelaskan, kondisi lain yang mewarnai pelaksanaan Pemilukada ini.

Etnik mayoritas, yakni Melayu Jambi yang terdiri dari berbagai subetnik tidak

mengambil peran dominan dan memaksa kehendak dalam proses pemenangan salah

satu calon. Dalam pemilukada Kota Jambi tahun 2013, etnik Melayu Jambi tampil

sebagai etnik yang memiliki sumber daya pemilih mayoritas, yakni 36 persen dari

jumlah penduduk, yang berarti pula, jika dirata-ratakan, juga memiliki jumlah pemilih

sebanding dengan persentase jumlah penduduk tersebut. Namun, karena Melayu Jambi

tidak menunjukkan soliditas etnik yang tinggi dan tidak mendominasi kegiatan

Pemilukada Kota Jambi dengan memaksa kelompoknya untuk mendapat dukungan

tunggal, etnik lain yang berdomisili di Kota Jambi, terlihat leluasa memainkan peran

politik dalam pelaksanaan Pilwako Jambi tahun 2013 yang lalu.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pengurus adat Melayu Jambi,

Junaidi T Noor dan wawancara dengan Pahmi Sy, salah seorang penulis Budaya

Jambi, menjelaskan bahwa dalam hal politik, sebenarnya warga Melayu Jambi

memiliki hasrat yang sangat tinggi. Misalkan keikutsertaan dalam politik praktis,

menjadi tim sukses pasangan calon Walikota/ wakil walikota. Hanya saja, dalam

7 Lihat Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid II (terjemahan oleh A. Rahman

(7)

7 melakukan kegiatan politik praktis seperti ini, para anggota Etnik Melayu

kadang-kadang merasa tidak terikat dengan unsur etnisitasnya, meskipun ada sebagian yang

lain tetap menyadari identitas etnisnya dan menempatkannya di atas identitas yang

lainnya. Dalam beberapa kesempatan lainnya, para Etnik Melayu Jambi kadang

mengidentifikasikan dirinya dengan warga Kabupaten.8Jika ditanya mereka hanya memberi jawaban, bahwa mereka orang Jambi saja, atau orang dari Kabupaten tertentu

saja, tanpa peduli identitas ke-Melayuannya.9

Beberapa studi menyebutkan bahwa dalam proses pemilihan yang berlangsung

secara demokratis dan para pemilihnya terdiri dari unsur-unsur etnik yang beragam,

maka pemilihan akan cenderung mengalami kecurangan dan memicu konflik terbuka

ketika kelompok-kelompok etnik saling bersaing merebut dominasi politik. Hussin

Muthalib, menegaskan bahwa realitas dan kekuatan kelompok-kelompok etnis dalam

proses politik saling berkaitan dengan dipertahankannya secara terus menerus

ikatan-ikatan primordial di kalangan komunitas-komunitas etnis, dan juga politisasi etnisitas

dalam masalah-masalah kenegaraan, terutama melalui proses penekanan, ideologisasi,

pemerkuatan, dan modifikasi warisan-warisan budaya kelompok-kelompok etnis yang

khas dan unik.10 Dalam kondisi seperti ini memang memungkinkan terjadi gesekan yang akan menimbulkan konflik antar etnik yang telah terpolitisasi oleh para calon

walikota sebagai kelompok pendukung untuk mengalahkan para calon lain yang

menjadi lawan pasangan calon yang mereka dukung.

Jika dikategorikan elit dan anggota etnik dalam merespon Pemilukada Kota Jambi

tahun 2013 mengambil beberapa bentuk atau model: pertama, kelompok etnik yang

anggota etniknya adalah calon dalam satu pasangan saja; kedua, kelompok etnik yang

anggota etniknya berada dalam dua atau lebih pasangan calon; ketiga, kelompok etnik

yang tidak memiliki calon sama sekali. Sikap yang ditunjukkan oleh kelompok etnik

berdasarkan kategori ini juga tidak sama. Pasangan dari etnik tertentu yang mampu

8Dalam keadaan ini, warga kabupaten ini menjadi subetnik Melayu Jambi.Mereka adalah Melayu Jambi

yang dalam keadaan tertentu mengidentifikasi diri dengan asal daerah/ kabupaten mereka berasal.

9 Wawancara dengan Pahmi Sy, 16 Februari 2014 dan dengan Junaidi T Noor pada tanggal 17 Februari

2014

(8)

8 memobilisir kelompok etniknya langsung dengan efektif berbeda dengan pasangan

yang mencoba memobilisir kelompok etnik yang tidak satu etnik dengannya.

Merunut pendapat Horowitz di atas, bahwa memang terjadi ekspresi identitas

melalui simbol etnisitas, namun seperti yang diamati sementara di Kota Jambi,

kecenderungan mengarah pada proses merosotnya demokrasi tidak berlangsung

dengan serius.Demokrasi, dalam pengertian persamaan hak dalam menentukan pilihan

politik, berjalan dengan relatif baik.Dalam wawancara yang dilakukan dengan anggota

KPU Kota Jambi sebagai penyelenggara dan tim sukses masing-masing pasangan

calon, dan pengamatan penulis sendiri yang berada di Kota Jambi dalam rangkaian

proses Pemilukada itu berlangsung, tidak terlihat upaya yang serius pada beberapa

aktor etnik tersebut untuk mengganggu perjalanan Pemulikada tersebut.

Mobilisasi kelompok etnik sebagai pendulang suara dalam Pemilukada Kota

Jambi tahun 2013 memang terjadi. Proses ini telah menggeser fungsi kelompok etnik,

yang pada awalnya merupakan kelompok primordial yang tidak berafilisasi dengan

politik, menjadi kelompok yang menjalankan fungsi politik, yaitu menjadi bagian dari

pendulang suara pasangan calon yang mereka dukung. Namun berbeda dengan yang

dikatakan oleh Letitia di atas, dalam praktik yang diamati di Kota Jambi, bahwa

mobilisasi etnis yang terjadi membentuk berbagai pola. Bisa saja terjadi silang

dukungan etnik.Dukungan etnik tidak selalu berbanding lurus antara etnik pemilih

dengan etnik pasangan calon Walikota-WakilWalikotanya.Etnik Jawa bisa saja

memilih Pasangan calon Etnik Melayu, atau Etnik Melayu bisa memilih Etnik Jawa

sebagai pasangan calon yang mereka dukung.

Dinamika dukungan ini tergambar dari bagaimana upaya-upaya yang dilakukan

oleh para calon Walikota-Wakil Walikota dalam mendekati elit Etnik untuk

memperoleh dukungan. Upaya ini biasanya berbentuk ajakan dengan berbagai

keuntungan yang dijanjikan atau ditawarkan kepada elit etnik tertentu agar menjadi

pendukung.

Pasangan calon Efendi Hatta dan Asnawi AB (perpaduan Etnik Minang dan

(9)

9 Panjaitan.11Pasangan calon Sayyid Pasya dan Abdullah Sani (Warga asal Palembang dan Jawa) didukung oleh etnik Melayu Jambi asal Batanghari.12Sum Indra dan dr. Maulana sebagai warga subetnik Melayu Kota Jambi didukung oleh masyarakat

Sumatera Selatan yang satu etnik dengan Sayyid Fasha. Hal ini terbukti dengan

banyaknya warga dari berbagai lapisan masyarakat, himpunan, kerukunan dan suku

pada deklarasi pasangan SIMPATIK (Sum Indra – Maulana Pemimpin Amanah,

Tabligh, Intelektual & Karismatik) sabtu tanggal 23 Maret 2013. Himpunan

Masyarakat Jambi Asal Sumatera Selatan (HIMJASS) melalui Ketua Pengurus

HIMJASS Provinsi Jambi Ir. Sayuti, Imron TB, Ir. Yudimargestian dan Helmi SH

serta Ketua dan Pengurus HIMJASS Kota Jambi, Jauwari, Rizal SH dan pengurus

lainya mengadakan pertemuan guna menyatakan dukungan kepada pasangan calon

yang tidak berasal dari satu daerah yang sama dengan mereka ini.13Itupun terjadi pada calon pasangan walikota-wakil walikota yang lainnya.Pergeseran pemilihan tidak

langsung ke sistem pemilihan langsung kepada masyarakat memang menunjukkan

gejala ‘liar’nya dukungan, karena masing-masing individu memiliki hak memilihnya masing-masing.

Pemilukada Kota Jambi 2013 yang berlangsung dalam suasana demokratis yang

diisi oleh politisasi etnik dengan mobilisir kelompok etnik dan elit sekaligus sebagai

pemberi suara dalam pemilihan, menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran

kepentingan antar etnik ini. Sesuai dengan konsep Dealder (1974) dan Lijphart (1968),

etnisitas dapat berperan konstruktif dalam mempromosikan akomodasi antar

kelompok. Para pendukung aliran integrasi (concociational school) sejak lama

berpendapat bahwa mempromosikan kemunculan partai-partai etnis dan kemudian

mempresentasikannya secara luas akan memfasilitasi integrasi subkultur sebanyak

mungkin ke dalam permainan politik, sehingga menciptakan kondisi-kondisi yang

11 Akses webisite http://www.jambiekspres.co.id/berita-5615-benhard--effendi-hatta-sosok-pemersatu.html 03 Juni 2014

12 Ketua tim sukses pasangan Sayyid Pasya dan Abdullah Sani adalah Chalid Saleh, mantan Sekda

Provinsi Jambi, berasal dari subetnik Melayu Batanghari

13 Akses website

(10)

10 mendukung kerjasama antar etnis.14Sehingga dalam jangka panjang kerjasama seperti ini, alih-alih merusak demokrasi, justeru menjadi pendukung demokrasi. Interaksi

demokrasi dan politisasi etnik dalam Pemilukada Kota Jambi tahun 2013, sejauh ini

nampak seperti pandangan Dealder dan Lijphart di atas.

KESIMPULAN

Demokrasi yang merupakan salah satu sistem yang dibangun untuk memberi

kesempatan kepada rakyat banyak menentkan pilihan mereka telah berjalan cukup

baik ketika Era Reformasi tiba. Era ini ditandai dengan runtuhnya Rezim Soeharto

yang mempromsikan kemanan dan kenayaman pembangunan, sehingga satu proses

penting dalam demokrasi harus dikorbankan, yakni kebebasan berpendapat. Era

Reformasi membuka kesempatan warga untuk berpendapat lebih berani dalam

menyuarakan kepentingan mereka masing-masing.

Pada Orde Baru pula terjadi praktik monopoli kekuasaan, sampai tingkat yang

paling kecil. Semua yang berhubungan dengan pemerintah, termasuk pegawai negeri

sipil, diwajibkan masuk ke dalam satu golongan (baca: partai) Golkar yang telah

dirancang sedemikian rupa untuk selalu memenangkan Pemilihan dalam bentuk

apapun. Pada Era Orde Baru, banyak orang tidak memiliki pilihan dalam berpolitik,

kecuali bergabung dan menjadi pendukung Golkar. Mekanisme ini memungkinkan

terjadinya sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan, yakni Soeharti seorang. Secara

logika, tentu Soeharto tidak memiliki kemampuan untuk mengelola sendiri Republik

yang sangat besar ini. Tentu, Soeharto sangat membutuhan para pembantu yang

bertugas menjalan programnya di daerah. Karena Soeharto berasal dari Jawa, tentu

orang dekat dan orang kepercayaan banyak yang berasal dari kelompok ini. Karena di

samping sebagai orang Jawa, Soeharto juga adalah tantara, maka orang dekat Seharto

juga pasti kebanyakan dari kalangan tantara. Sehingga, pada masa Orde Baru banyak

sekali kepala daerah, mulai dari Gubernur dan Bupati/ Walikota berasal dari kalangan

tantara yang beretnis Jawa. Logika politik memberi pembenaran kepada Soeharto

untuk mengambil langkah tersebut.

(11)

11 Runtuhnya era sentralisasi seperi tergambar pada alenia sebelumnya, itu juga

berarti meruntuhkan struktur birokrasi pemerintahannya. Banyak tuntutan warga yang

dilayangkan kepada Pemerintah untuk mengkomodir kepala daerah berasal dari putra

daerah atau warga asli setempat. Kasus seperti ini terjadi di banyak tempat. Di Jambi

juga terjadi upaya-upaya seperti ini. Peristiwa yang menunjukkan terjadinya

pembangkangan warga terhadap calon kepala daerah yang bukan berasal dari daerah

setempat terdapat d Provinsi Jambi, tepatnya Kabupaten Kerinci.

Sebelum berhenti menjadi Presiden RI, melalui mekanisme pemilihan kepala

daerah, sudah ada calon bupati yang dikirim ke Kabupaten Kerinci, namana Imam

Santoso, seorang tantara yang bertugas di Sumatera Selatan dan berasal dari etnis

Jawa. Dalam prosesnya Imam Santoso mendapat protes dan penolakan dari warga

Kerinci. Hampir semua masyarakat Kerinci menolak. Hal ini terlihat dari kelompok

gerakan yang melalukan penolakan berasal dari berbagai kalangan. Penolakan ini

dimulai dari kelompok mahasiswa, kelompok Himpunan Keluarga Kerinci (HKK),

baik yang berada di Kerinci maupun yang berada di luar daerah.

Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kota Jambi dalam Era

Reformasi yang sudah berjalan sekitar 15 tahun pada 2013, tidak terlihat ada upaya

yang sangat besar untuk menolak etnis lain yang berasal dari luar etnis Melayu Jambi

untuk menjadi kepala daerah. Bahkan, sejak dimulainya Pemilihan Walikota secara

langsung sejak tahun 2008, belum pernah etnis Melayu yang memenangkan Pilkada.

Hasil Pilkada seperi tergambar di atas menunjukkan bahwa senitimen primordial

berdasarkan asal etnis tidak cukup berpenaruh dalam mendapatkan dukungan dalam

Pilkada Jambi. Asnawi AB pada tahun 2008, kalah dari dr. Bambang yang berasal dari

Jawa. Sum Indra pada 2013 kalah dari Sy Fasha yang berasal dari etnis Palembang

Hasil ini memberi catatan bahwa tidak selalu sentiment primordial bisa

diandalkan untuk memperoleh dukungan politik seperti yang dijelaskan dalam teori

Jame S Scout di atas. Sentimen primordial bekerja di daerah tertentu, tapi tidak

(12)

12 seperti yang telah dijelaskan dalam tabel persentase jumlah etnik pada BAB I,

memberi peluang hilangnya sekat-sekat sosiologis yang membuat satu etnis berjarak

dengan etnis yang lain. Di Jambi, persoalan asimilasi etnisisitas sudah berjalan cukup

Panjang, bahkan sepanjang sejarah berdirinya Jambi seperti yang terungkap dalam

BAB II.

Hasil penelitian ini memberikan penjelasan bahwa demokrasi yang tidak

menjadikan sentimen primordial berdasarkan etnis sebagai sumber dukungan, bisa

menunjukkan kualitas demokrasi yang lebih terbuka dan aman. Hampir tidak ada

konflik berarti yang menimbulkan keributan besar yang mengiringi hajatan pemilihan

Walikota Jambi tahun 2013 lalu. Semua kalangan merasa tidak ada yang salah dengan

kehadiran Sy Fasha yang dari Sumatera Selatan menjadi Walikota Jambi dan Abdullah

Sani yang berasal dari etnis Jawa menjadi Wakil Walikota Jambi. Agaknya

kesimpulan penelitian ini mendukung teori Dealder (1974) dan Lijphart (1968), yang

menyebutkan bahwa etnisitas dapat berperan konstruktif dalam mempromosikan

akomodasi antar kelompok. Para pendukung aliran integrasi (concociational school)

sejak lama berpendapat bahwa mempromosikan kemunculan partai-partai etnis dan

kemudian mempresentasikannya secara luas akan memfasilitasi integrasi subkultur

sebanyak mungkin ke dalam permainan politik, sehingga menciptakan kondisi-kondisi

yang mendukung kerjasama antar etnis. Meski tidak ada partai etnis di Jambi,

kelompok etnis yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain, telah mampu

mempromosikan integrase baik dalam kehidupan social sehari-hari, juga dalam

(13)

13 DAFTAR BACAAN

Budiardjo, Miriam, Prof. Dasar-Dasar Ilmu politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013

Bogdan, Robert dan Steven J Taylor, Metode Kualitatif: Dasar-Dasar Penelitian,

Surabaya: Usaha Nasional, 1993

Creswel, John W, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed,

Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012

Dahl, A. Robert, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1992

Davidson, Jamie S., Ddavid Henley, Sandra Moniaga (editor), Adat dalam Politik Indonesia, Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010

Geertz, Clifford (eds), Old Sicieties and New State: The Quest for Modernity in Asia and Africa, New York, The Free Ress, 1963

Halim, Abd. Dr. MA, Politik Lokal: Pla Aktor dan Alur Dramatikalnya (Perspektif teori Powercube, Dinamika Politik Era Otonomi Daerah), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Isiyama, John T. dan Marijke Breuning, Ilmu Politik:Dalam Paradigma Abad ke-21Sebuah Referensi Panduan Tematis (terjemahan dari judul asli: 21st Century Political Science: A Reference Handbook), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2013

Keller, Suzanne, Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit Penentu dalam Masyarakat Modern, Jakarta, Rajawali Grafindo Persada, 1995

Marijan, Kacung, Prof. Dr., Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi pasca-Orde Baru, Jakarta: Kencana, 2012

Mar’iyah, Chusnul dan Reni Suwarso, dkk, Belajar dari Politik Lokal, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2014

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta, UI Press, 1992

(14)

14 Mutalib, Hussin, Islam dan Etnikitas: Perspektif Politik Melayu (terjemahan dari

judul asli: Islam and Ethnicity in Malay Politics), Jakarta: LP3ES, 1996.

Nordholt, Henk Sculte dan Garry van Klinken (editor), Politik Lokal di Indoensia,

Jakarta:KITLV-Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014

Putra, Fadilla, Devolusi: Politik Desentralisasi sebagai Media Rekonsiliasi Ketegangan Politik Negara-Rakyat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Rauf, Maswadi, Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis, Jakarta, Dirjen Dikti Depdiknas, 2000Rondinelli, Dennis A. and G. Shabbir Shema, Decentralization, Development and Directions, Ch. 10. Sage Publication, Baverly Hills, California

S, Ubed Abdillah, Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas,

Magelang: Indonesiatera, 2002

Sjaf, Sofyan, Politik Etnik: Dinamika Politik Lokal di Kendari, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2014.

Vredenbergt, J., Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1983

Yin, Robert K., Case Study Research: Design and Methods,USA, Sage Publication

Jurnal/ Disertasi/ Hasil Penelitian Lainnya

Ahmad, Saiful, Politik dan Etnik: Studi Kasus Konflik Politik dalam Pemilihan Gubernur – Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara Tahun 2007 (disertasi),

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik, Program Pascasarjana Ilmu Politik, 2012 .

M.D. La Ode, Etnik Cina di Era Reformasi, Studi Kasus Keterlibatan Etnik Cina di Indonesia dalam Politik di Kota Pontianak dan Singkawang, Kalimantan Barat 1998-2008, Jakarta, FISIP UI (Disertasi, tidak diterbitkan)

S , Wallman, Ethnicity Research in Britain, Current Antropology, Vol. 18, no. 33, 1977

Wawancara

(15)

15 Wawancara pada hari Senin,.Hasib Kalimudin Syam adalah ketua Lembaga Adat

Jambi dan ketua perhimpunan adat Melayu Se-Sumatera, 17 Maret 2014

Wawancara dengan Pahmi Sy, Penulis buku Melayu, anggota KPU Provinsi Jambi, Minggu 16 Maret 2014.

Wawancara dengan Hasan Mabruri, Ketua Tim Pemenangan Effendi Hatta, Rabu 04 Juni 2014

Laporan Konferensi

Proceeding, The First International Conference in Jambi Studies: History, Art & Culture, Religion and Social Change, Jambi, Jurnal Budaya Jambi Seloko, 2014

Website

http://migas.bisbak.com/1571.html

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/398538-empat-kandidat-calon-walikota-daftar-kpu-kota-jambi

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum-Wali_Kota_Jambi_2013

http://www.jambiekspres.co.id/berita-5615-benhard--effendi-hatta-sosok-pemersatu.html

Referensi

Dokumen terkait

perancangan yang meliputi lokasi pabrik dan bangunan, tata letak dan penanganan material.8. Definisi

Pemetaan antara Enterprise Goals dengan IT-related Goals terhadap Proses COBIT 5 yang bertujuan untuk menyelaraskan antara tujuan bisnis dengan tujuan teknologi

Pengaruh Metode TSTS (Two Stay Two Stray) Terhadap Hasil Belajar 82

Sebagaimana diketahui diatas bahwa setiap kegiatan atau aktifitas tersebut saling berhubungan antara satu dengan lainnya ditinjau dari beberapa

Metode iterative incremental bermula dari suatu proses perencanaan dan berakhir pada proses penempatan (deployment) yang di dalamnya terdapat interaksi. Metode ini dapat

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Sebagaimana diketahui diatas bahwa setiap kegiatan atau aktifitas tersebut saling berhubungan antara satu dengan lainnya ditinjau dari beberapa

Member Find Suitable Package Test to pass unit testing O22-01 Check detail package Test to pass unit testing O22-02 Create new order package Test to pass unit testing