• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL INTEGRASI SAINS DAN ISLAM SEYYED H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MODEL INTEGRASI SAINS DAN ISLAM SEYYED H"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL INTEGRASI SAINS DAN ISLAM SEYYED HOSSEIN NASR:

Penelitian ini akan membahas mengenai pemikiran seorang tokoh filosof Islam di masa kontemporer, Seyyed Hossein Nasr. Sebagai seorang pemikir Nasr merupakan salah satu tokoh Islam yang menguasai sains yang berkembang di abad ini, dasar keilmuannya yang banyak meneliti sains secara murni menjadi salah satu alasan yang tepat untuk melihat bagaimana prinsip sains modern berkembang dari perspektif pengkajinya secara langsung, disisi lain latar belakang keilmuan keislaman yang ia miliki menjadi identitas yang jelas akan jati diri sebagai seorang muslim. Atas dasar bidang keilmuannya tersebut Nasr mendapati permasalahan-permasalahan yang dialami oleh sebagian besar wilayah barat sebagai konsekuensi penerapan prinsip sains yang hanya berfokus pada sisi fisiknya belaka, untuk itu Nasr berusaha menguraikan permasalahan tersebut dengan mengulas kembali tradisi-tradisi luhur yang diwariskan agama dalam memandang agama sebagai sebuah kesatuan antara aspek fisik dan non fisik. Oleh karena itu, Nasr kemudian merumuskan sebuah model integrasi sains dan Islam pada beberapa aspek, dalam pembahasan kali ini aspek yang ditawarkan Nasr yaitu dengan pendekatan Kosmologi Islam, sebuah konsep kosmologi yang tak memilah dan membedakan antara kosmologi yang dikaji secara fisik dengan metafisik, terlebih arah yang akan menuntunnya lebih pada harmonisasi antara prinsip fisik dengan non fisik. Solusi inilah yang Nasr tawarkan untuk para pegiat pengkaji krisis ekologi dengan identitas muslim utamanya.

Kata kunci : Integrasi, Sains, Agama, Kosmologi Islam, Krisis Ekologi.

Abstract

(2)

science evolved from the perspective of the study directly, on the other hand the background of scholarship the Islam he possesses becomes a clear identity of identity as a Muslim. On the basis of his scientific field Nasr found the problems experienced by most of the western region as a consequence of the application of the principle of science that only focuses on the physical side alone, for that Nasr trying to describe the problem by reviewing the noble traditions inherited religion in view of religion as a unity between physical and non-physical aspects. Therefore, Nasr then formulated a model of integration of science and Islam in several aspects, in this discussion Nasr offered the aspect of the approach of Islamic Cosmology, a cosmological concept that does not sort and distinguish between cosmology which is studied physically with metaphysics, which will lead to more harmony between physical and non-physical principles. It is this solution that Nasr offers to ecologist ecological crisis strategists with its main Muslim identity.

Keywords: Integration, Science, Religion, Islamic Cosmology, Ecological Crisis

A. Pendahuluan

Integrasi agama dan sains merupakan sebuah isu global, tidak hanya dalam

wilayah dunia Islam, dalam tradisi agama lain, terutama agama Kristen, sebuah

model integrasi agama dan sains telah dikaji secara sistematis dan menghasilkan

teori perjumpaan antara keduanya, sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh

ilmuan sekaligus agamawan, Ian G Barbour. Dengan sistematis ia merumuskan 4

tipologi pertemuan antara agama dan sains, diantaranya konflik, independen,

dialog dan integrasi.1

Dalam 4 tipologi ini Ian menjelaskan bahwa antara sains dan agama

berjumpa dalam sebuah relasi atau hubungan yang terkadang menuai konflik,

(3)

namun disisi lain Ian melihat hubungan keduanya meskipun secara kesejarahan

terlibat permusuhan namun pada tataran tertentu mereka memiliki domainnya

masing-masing yang tak bisa di campur adukkan antara kepentingan domain

agama dan domain sains, berlanjut pada tipologi berikutnya, yaitu dialog, setelah

ia mengategorikan sains dan agama dalam ranahnya masing-masing, Ian melihat

dari sisi tersebut ada suatu perjumpaan yang menghasilkan pertemuan yang

membimbing sains dan agama ke arah dialog. Dan yang terakhir, tiplogi integrasi,

dalam tipologi ini Ian menghendaki kedekatan antara sains dan agama yang tidak

hanya bersifat semu, namun dapat dengan benar berintegrasi sehingga

menghasilkan sebuah kajian yang lebih produktif untuk kalangan agamawan

sekaligus ilmuan.

Dari pemikiran tokoh Kristen, setidaknya model integrasi tersebut yang

dipakai oleh para pemikir Kristen dalam melihat pola hubungan sains dan agama,

selain itu sarjana barat yang memang mengajinya banyak menjadikan tipologi

integrasi Barbour sebagai role model. Tak kalah menarik dengan apa yang terjadi

di dunia barat, dalam dunia Islam, memiliki latarbelakang sejarah integrasi agama

dan sains yang agak berbeda, sains dan agama dalam pandangan Islam bukanlah

hal terpisah yang berjalan sendiri-sendiri. Sains dan agama merupakan hal yang

padu, dilihat dari permukaan, wajah Islam yang ditampilkan dalam keragaman

paham didalamnya tampak menyetujui akan kesatuan sains dan agama, namun

(4)

integrasi sains dan agama, diantaranya ada yang menilai integrasi berarti

penyatuan dua wilayah tersebut secara definitif, kemudian ada yang menilai

penyatuan antara keduanya berarti memandang adanya kebenaran wahyu qur’an

oleh karena tebukti secara saintis dan dapat di buktikan. Selain itu adapula yang

mengolah integrasi agama dan sains dalam sebuah bentuk nyata terwujudnya

sekolah yang semula berbasis sekuler kemudian di integrasikan dengan

pendidikan agama.

Dan yang mungkin terakhir yaitu proses integrasi sains dan agama yang

lebih mengarah kepada harmonisasi kerangka sains global dengan nilai-nilai

esensial agama. Pada pola integrasi inilah yang menurut penulis, pemikiran tokoh

ini berada, Seyyed Hossein Nasr yang dikenal sebagai seorang filosof perennialis

yang secara tekun menggeluti bidang sains dan agama yang kemudian

direkonstruksi dalam sebuah model integrasi yang bernuansa mistik-filosofis.

Pada pembahasan ini pemikiran Nasr terhadap integrasi sains akan diarahkan pada

pendekatan kosmologi Islam yang diterapkan dalam permasalahan ekologi

modern. Pada bagian pembahasan didalamnya akan mengkaji pemikiran Nasr

kedalam beberapa aspek, diantaranya yang pertama jenis model integrasi sains

Seyyed Hossein Nasr: Kosmologi Islam sebagai sebuah pendekatan, pemikiran

nasr terhadap wacana sains modern: teori evolusi Darwin dan etika lingkungan,

dan model integrasi sains dan Islam Seyyed Hossein Nasr: pendekatan kosmologi

(5)

B. Biografi Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr seorang tokoh ilmuan sekalgus filosof dalam dunia

Islam yang menguasai bidang-bidang keagamaan dan cabang sains yang jarang

dikuasai orang pada umumnya, yaitu bidang fisika dan paleontologi dari sebuah

universitas dengan peringkat pertama di dunia, Massacheusetts Institutte of

Technology. Nasr lahir di Iran, tepatnya di kota Teheran pada tanggal 7 april 1933.

Nasr bernasabkan keluarga yang ahli bidang keislaman, kakek buyutnya adalah

Syaikh yang disegani oleh masyarakat Iran, sedangkan ayahnya merupakan ahli

filsafat dan bahasa yang memiliki banyak jabatan penting di dunia akademik di

Iran.2

Selama masa hidup Nasr tidak hanya menetap di negara asalnya, ia

berpindah-pindah antara Iran dan Amerika Serikat. Pendidikan masa kecil Nasr

lewat cara formal dan non formal dengan berguru langsung kepada ahlinya.

Setelah selesai studi di negaranya ia melanjutkan berkuliah di MIT untuk gelar

sarjana dan master dibidang fisika, sedangkan gelar doktoralnya berasal dari

Harvard University.

Dalam proses pembelajarannya yang banyak dihabiskan di dunia barat,

Nasr banyak mendapat hal-hal baru yang menantang daya nalarnya atas kemajuan

sains dan teknologi dewasa ini, Nasr tak hanya memandang sains sebagai alat

(6)

dalam mewujudkan kehidupan dunia yang berbudaya lebih maju, lebih jauh ia

memandang bahwa sains yang dikembangkan dewasa ini memiliki akar peradaban

dan kesejarahan yang sangat dipengaruhi oleh nilai historis barat yang banyak

bertentangan dengan prisnsip Islam. Melihat fakta tersebut, Nasr kemudian

memberikan pemikirannya terhadap rekonstruksi sains yang dinilainya lebih

sesuai dengan dunia Islam.

Setelah lulus dari program doktoralnya, Nasr memutuskan untuk

bengembangkan karirnya di Amerika, ia pernah mengajar di beberapa kampus

kenamaan disana. Tercatat telah puluhan dan ratusan artikel telah ia hasilkan, ia

juga kerap mendapatkan penghargaan bergengsi di bidang hubungan sains dan

Islam, dan ia pun pernah mendapatkan penghargaan templeton prize.3

C. Kosmologi Islam sebagai pendekatan integrasi sains dan Islam

Dalam disertasinya, Nasr mengkaji bentuk integrasi sains dan Islam yang

mengarah pada masa kejayaan intelektual Islam, zaman ketika Islam mendapatkan

kejayaannya dengan tokoh filosof seperti Ibnu sina, Ibnu rusyd. Penelitian Nasr

ini kemudian diterbitkan oleh pihak Harvard University Press dan berjudul, An

Introduction to Islamic Cosmological Doctrines : conception of nature and methods used for its study by the Ikhwan Al-Shafa, Al-Biruni and Ibn Sina.

(7)

Dalam buku yang diterbitkan tersebut, Nasr mengenalkan kosmologi sains

yang terwakili dalam pemikiran para tokoh Ikhwanul Shafa, Al-Biruni dan Ibnu

Sina. dari pemikiran ketiga tokoh ini, menurut Nasr kosmologi Islam akan

berkembang, pemilihan ketiga tokoh ini sebagai tokoh yang mengenalkan

kosmologi Islam karena pemikiran mereka akan menjadi sumber rujukan

kosmlogi Islam di masa yang akan datang, selain itu dari kosmologi dalam konsep

mereka juga mewakili pemikiran pada zamannya.4

Dalam bukunya tersebut, Nasr menerangkan tentang awal mula Islam

menghadapi berbagai pemikiran sains dan filsafat yang berkembang dan

bersumber dari berbagai tempat. Sikap Islam dalam menerima berbagai pemikiran

tersebut cukup terbuka, dan bahkan dalam beberapa masa pemerintahan di zaman

Abasyiyah, ilmu pengetahuan yang bersumber dari luar Islam tengah

gencar-gencarnya dikaji, hal ini terlihat pada banyaknya buku-buku komentar terhadap

karya-karya filosof yunani, seperti aristoteles, phytagoras. Bentuk dukungan

pemerintah atas kemajuan ilmu juga terlihat lewat megahnya bait al-hikmah

sebagai pusat pengkajian serta penerjemahan karya-karya para pemikir dari

berbagai daerah. Pada masa ini, Islam menyerap ilmu-ilmu tersebut dan

mengintegrasikannya dengan pengajaran Islam.

Ketertarikan dunia Islam terhadap pemikiran-pemikiran luar tersebut

berlanjut hingga abad ke 4 dan 5, kali ini ilmu matematika dan juga ilmu alam

(8)

menjadi fokus sentral atau menjadi bidang yang paling banyak dikaji. Cara

penerapan dalam mengkaji bidang ilmu ini juga mendapat pengaruh dari pola atau

aturan sebagaimana yang diterapkan oleh sumber ilmu tersebut. Di masa-masa

inilah banyak melahirkan pemikir-pemikir cemerlang dunia Islam, seperti

Ikhwanul Shafa, Al-Biruni dan Ibnu Sina, yang mana pemikiran mereka

merangkumkan seluruh perspektif penting ilmu kosmologi dalam Islam. Untuk

mengetahui lebih jelasnya pemikiran masing-masing tokoh tersebut, berikut akan

diuraikan pemikiran serta signifikansi dari tiga tokoh diatas:

1. Ikhwan al-Shafa

Ikhwan Al-Shafa merupakan nama sebuah kelompok yang didalamnya

terdiri dari beberapa orang pemikir yang bermadzhabkan Syiah Ismailiyyah. Para

pemikir yang tergabung dalam kelompok ini mewakili pemikiran perspektif syiah

Ismaili. Kosmologi mereka lebih bernuansa pada kajian sufistik, sehingga

perkembangan selanjutnya lebih banyak disebar oleh para sufi.

Ikhwan Al-Shafa memiliki visi untuk mengembangkan kosmologi tidak

hanya berada pada tataran yang bersifat keilahian semata dengan pendekatan

metafisisnya, jauh lebih dari itu mereka ingin memahamkan konsep kosmologi

menjadi sebuah konsep umum yang dapat diajarkan pada sebuah wadah

pendidikan bagi orang umum.

Unsur metafisik yang sangat kental dalam teori-teori mereka ini, berprinsip

(9)

dengan ketuhanan, pengkajian lebih mendalam tentang alam semseta menurtu

mereka merupakan salah satu langkah kedepan yang dapat diambil sebagai

seorang ilmuan dalam mengetahui realitas tuhan.

2. Al-Biruni

Al-Biruni merupakan seorang tokoh yang luar biasa, sebagai seorang saintis

dan juga filosof. Ia lahir di Khiva, di abad 973 M, kecintaannya pada bidang sains,

menjadikannya tak hanya ahli pada salah satu bidang, melainkan hamper seluruh

bidang yang berkaitan dengan perhitungan matematis dapat ia kuasai, seperti

halnya bidang astronomi. Tidak hanya itu, ia juga mengauasai kajian kesejarahan

dan kronologi. Adapun bidang lain yang ia kuasai yaitu, obat-batan, optik,

mineralogi dan farmakologi.

Pada kajian Nasr, Al-Biruni mewakili pemikiran kosmologi Islam

perspektif para pelajar dan penghimpun pengetahuan dalam dunia Islam, seperti

para ahli matematika dan astronomi. Perwakilan Al-Biruni dalam golongan

pemikir ini, merupakan suatu perlambang seorang ilmuan yang tak hanya dituntut

untuk memproduksi ilmu-ilmu alam namun juga menunjukkan bukti keshalihan

atau ketaatan mereka kepada tuhan disamping sebagai seorang ilmuan yang selalu

(10)

Dalam memandang alam semesta, Al-Biruni memiliki pemikiran bahwa

semua alam semesta ini merupakan rancangan agung Tuhan, yang dengannya

menurut Al-Biruni manusia dapat mengkajinya dan mengobservasinya, tidak

hanya sebagai sebuah jalan untuk menuju pengetahuan atas alam semesta,

melainkan juga sebagai sebuah kewajiban bagi seorang yang beriman dengan

adanya tuhan.

3. Ibnu Sina

Ibnu Sina atau yang lebih dikenal di dunia barat dengan sebutan Avicenna

lahir di dekat Bukhara di tahun 980 M. Ia lahir dari keluarga yang menganut

madzhab Ismaili, terlahir dari keluarga yang memilki andil dalam pemerintahan

membuatnya tumbuh dan berkembang menjadi seorang yang terpelajar, proses

pembelajaran yang ia dapatkan biasanya langsung dari para ahli di bidangnya. Ia

belajar matematika, algoritma, literatur, hukum, teologi, qur’an, fisika, metafisika,

filsafat dan masih banyak yang lainnya yang kesemuanya dapat ia kuasai.

Dengan penguasaan hampir seluruh bidang keilmuan tersebut, tak

diragukan lagi kemampuannya dalam menganalisis permasalahan yang ada di

dalam bidang-bidang tersebut. Pemikiran Ibnu Sina terhadap kosmologi dalam

Islam sepertinya mewakili dari para pengkaji sains belakangan atau paling akhir

yang menyusun bidang kosmologi dalam Islam ke dalam suatu rumusan yang jauh

lebih sistematis dalam dua kerangka pembelajaran yang saling melengkapi,

(11)

Pada bentuk eksoteris atau secara formalnya, kajian kosmologi didekati

dengan cara sebagaimana berjalannya sekolah paripatetik sebagaimana yang

dilakukan oleh para neoplatonis. Peripatetik yang dimaksudkan oleh Ibnu Sina,

tidak hanya terpaku pada pola yang berjalan pada masa Aristotelian, melainkan

dipadukan dengan sentuhan Islam yaitu monoteistik dalam perspektif Islam. Pada

bentuk eksoterik ini, Ibnu Sina memasukkan kajian tentang alam semesta dengan

satu prinsip bahwa segala sesuatu yang ada akan kembali pada sumber yang satu.

Pada bentuk kedua, filsafat esoterik. Dalam bentuk ini nantinya akan mirip

dengan teosofi ishraqi, yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan sebuah

proses yang akan mengubah seorang pengkaji alam menjadi seorang yang dapat

mengetahui hakikat terdalam dari pengetahuan yang akan menuntunnya pada

pengetahuan terhadap tuhan. Oleh karena banyak menyinggung tentang

permasalahan yang lebih mengarah pada penyingkapan alam semesta, maka

pendekatan ini akan lebih digunakan oleh para sufi.

Para pemikir yang telah diuraikan diatas, bagi Nasr telah cukup untuk

menggambarkan bagaimana pola pemikiran Islam dalam memandang ilmu

kosmologi atau yang lebih umum dalam memandang alam semesta lewat

kacamata sains yang mereka kembangkan lewat perspektif atau latarbelakang

Islam dengan konsep monoteistiknya.

Kesamaan pemikiran antara ketiga tokoh yang dikaji Nasr, tidak hanya

(12)

lebih jauh mereka juga memiliki kesepakatan dalam menilai bahwa penciptaan

dan pemeliharaan alam semesta secar konsisten dilakukan oleh sang pencipta atau

makhluknya yang ia perintahkan untuk ikut andil di dalamnya, seperti malaikat.

Sehingga dengan begitu terdapat keterkaitan yang erat antara keberadaan manusia

dengan alam lingkungan sekitarnya.

Dasar filsafat yang telah dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut

berlanjut pada pemikir-pemikir berikutnya seperti Ibnu Rusyd, sebagai seorang

dokter sekaligus filosof, Ibnu Rusyd juga dapat dijadikan sebuah model pemikiran

Islam masa klasik yang tidak hanya ahli di bidang sains namun juga menunjukkan

identitas keshalihan seorang muslim.5

D. Nasr dan wacana sains modern: teori evolusi Darwin dan etika lingkungan

Pemikiran Nasr terhadap sains modern terlihat dalam karya-karyanya yang

sering mengkritik prinsip dasar sains dan teknologi modern yang menggunakan

teori Darwinian sebagai basisnya, secara ringkasnya, pemikiran Nasr terhadap dua

hal ini dapat dilihat dalam artikel jurnalnya yang berjudul The Spiritual and

Religious Dimensions of The Environmental Crisis.

(13)

Dalam artikelnya tersebut Nasr menjelaskan krisis yang terjadi pada

manusia di Barat, mereka kehilangan prinsip dasar sudut pandang tradisi agama.

Tradisi agama yang mereka tinggalkan, mengandung tidak hanya nilai spiritualitas

namun juga mengatur kehidupan manusia serta ketersambungannya dengan alam

(kosmos). Contoh tradisi agama tersebut dapat dilihat dalam berbagai ajaran

agama, diantaranya pada china kuno, dikenal adanya Tao, dalam Hindu dan

Buddha dikenal adanya r’ta dan dhamma. Dalam Islam, dikenal adanya shariah

sebagai sebuah hukum tuhan yang mengatur alam. Semua ajaran agama tersebut,

tidak hanya mengatur kehidupan manusia namun juga mengatur alam semesta,

sehingga harmoni antara manusia dan alam menurut konsepsi ajaran agama dapat

terus berlangsung.6

Bagi orang-orang non barat, kehidupan mereka telah tertata dalam tatanan

kepercayaan agama yang beriringan antara kehidupannya dengan alam dan

kehidupannya secara spiritual dengan tuhan. Hal ini sebaliknya terjadi dalam

dunia barat yang tengah mengalami krisis spiritual dan berakibat pada krisis etika

lingkungan. Sebuah realitas tidak terlepas dari apa yang telah dijalani sejarah

barat yang cukup panjang dengan berbagai peristiwa tragis (dark ages) yang memengaruhi pola pikir mereka dengan sistem rasionalitas hingga mencapai

kemajuan.7

6 Seyyed Hossein Nasr, “The Spiritual and Religious Dimensions of The Environmental Crisis” in http://traditionalhikma.com/wp-content/uploads/2015/03/The-spiritual-andreligiousdimensions-of-the-environmental-crisis-Seyyed-Hossein-Nasr.pdf, 2 November 2015.

(14)

Berbagai usaha dijalankan oleh para saintis yang mengakui adanya krisis

lingkungan ini, beberapa diantara para saintis tersebut berargumen sebaiknya ada

satu jembatan yang dapat menghubungkan antara kemanusiaan dan sains, dalam

hal ini satu diantara saintis tersebut berargumen bahwa permasalahan tersebut

sebaiknya di dekati dengan pendekatan biologis, tepatnya biology yang

didasarkan pada teori evolusi Darwin.

Melihat fakta upaya para saintis tersebut, Nasr merasa langkah yang

mereka lakukan jelas tidak tepat, karena sebagai seorang saintis, Nasr mengetahui

dengan benar bagaimana teori Darwin tersebut dibentuk dan dikembangkan dalam

sebuah pola yang berlawanan dengan ajaran tradisional agama dan lebih

mengarah pada sudut pandang mekanistik. Selain itu bagi Nasr, teori evolusi

Darwin yang telah menjadi pondasi sains dan teknologi modern yang memiliki

konsep dasar atau pandangan alam seperti hukum rimba, dengan prinsipnya saling

makan dan memakan, dan akan selalu berlangsung sebagaiamana prinsip seleksi

alam, mereka yang bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi, sehingga

alam seperti sebuah pertarungan yang di dalamnya tak ada aturan yang mengatur

manusia secara harmonis.

Konsep sederhana “hukum rimba” yang diterapkan dalam manusia modern

di barat terlihat dalam penguasaan sains dan teknologi digunakan sebagai tameng

dan alat untuk mendapatkan kekuasaan diluar dari yang ia miliki. Untuk mendapat

(15)

menjalankan segala upaya tanpa memikirkan konsekuensi etika, spiritual dan

lingkungan. Konsep inilah yang membuat Nasr jelas tak setuju dengan teori

Evolusi terlebih untuk diaplikasikan lebih jauh untuk menjembatani hubungan

kemanusiaan dan sains. Meskipun dalam dunia barat mereka telah

mengembangkan dasar filosofis terhadap etika lingkungan, contohnya filsafat

proses, namun hal ini masih bergulir pada tataran filosofis dan belum terefleksi

secara sempurna dalam wajah sains dan agama.8

Kecenderungan akan dasar filosofis sains modern yang mekanistik ini

kemungkinan dapat menyebar pada orang-orang non barat karena kecenderungan

akan dibangunnya peradaban sains modern yang telah menyebar ke seluruh sudut

dunia. Namun menurut Nasr, bagi orang-orang non barat yang masih menganut

sistem kepercayaan agama dengan konsep pemahaman yang suci di alam.

E. Model Integrasi Sains dan Islam Seyyed Hossein Nasr: pendekatan kosmologi Islam terhadap krisis ekologi modern

Sebelumnya telah dibahas mengenai sains dalam pandangan Nasr dari segi

kosmologi dan juga mengenai kritik Nasr terhadap krisis ekologi yang telah

terjadi pada masyarakat barat, untuk itu pada pembahasan ini akan diulas kembali

bagaimana argument Nasr terhadap krisis tersebut dari kacamata kosmologi Islam

yang berkembang di masa Ikhwan Al-shafa, Al-Biruni dan Ibnu Sina.

(16)

Krisis ekologi yang berkembang saat ini dihampir seluruh bagian dunia

yang disebabkan oleh pengabaian para pelaku pengembang sains dan teknologi

yang telah dibutakan dengan kepentingan-kepentingan politik negaranya

masing-masing, latarbelakang ekonomi menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan sains,

dengan kuatnya faktor ekonomi secara langsung berpengaruh pada geopolitik

negara pemimpin sains yang tentunya akan menjadi kiblat bagi negara-negara

yang tengah berkembang. Sehingga akar krisis ekologi yang terjadi di dunia barat

nantinya akan menyebar dengan pola yang sama, negara-negara lain beranggapan

bahwa negara yang kuat secara ekonomi serta teknologi merupakan contoh ideal

yang harus dipanut, terkadang mereka tak memahami dengan benar konsep dasar

yang telah dibangun oleh orang-orang barat yang jika terlihat di permukaan

tengah berada pada masa adidayanya, namun jika lebih jauh ditelussuri, konsep

dasar kemajuan dan termasuk didalamnya sains yang mereka kembangkan

memiliki kecacatan yang akan terungkap diakhir kejayaan ketika mereka tengah

mengejar hal-hal fisik dan mengabaikan unsur-unsur non fisik diluarnya.

Konsep mekanistik pada orang-orang barat yang materialisme juga

tercermin pada pemikiran para saintis serta ilmuan lainnya yang secara tegas

menggunakan keahlian mereka untuk menyerang kepercayaan religius, tokoh

saintis tersebut diantaranya Francis Crick, Carl Sagan, Richard Dawkin, serta

beberapa tokoh lainnya.9

(17)

Untuk itu Nasr berpendapat diperlukan adanya pembongkaran secara

radikal apa yang telah menjadi ajaran baku para pengagum barat, sains mereka

yang didasarkan pada traumatis masa lalu yang panjang semenjak filsafat muncul

sebagai ilmu yang menyatu hingga pola filsafat yang bergerak menuju pembagian

ranah pembelajaran, kemudian masa silam yang dirasakan para saintis pada masa

kekuatan agama yang dogmatis, kebebasan mereka terkekang dengan dogma

hitam putih tanpa ada toleransi terhadap pembedaan, kemudian lagi berlanjut pada

masa kebangkitan sains semenjak revolusi industri, sehingga berkembang lagi

menjadi lebih terstruktur dengan landasan filosofis yang berbeda-beda sampai

sekarang pada pola yang lebih positifis dan mekanistis.

Nasr yang juga mengenal dengan baik peristiwa sejarah di Barat

mengungkapkan bahwa, pemahaman metafisika setidaknya dapat menjelaskan

fakta yang sering terlupakan bahwa masuk akalnya teori evolusi didasarkan pada

beberapa faktor non ilmiah akibat suasana filosofis umum di Eropa. Sehingga

pada dunia barat mngenal sebuah doktrin yang mengajarkan bahwa Tuhan

menciptakan dunia dan hukum-hukum alam, tetapi tidak lagi berperan dalam

fungsi selanjutnya, yang melepaskan tangan pencipta dari ciptaanNya dan

mereduksi realitas menjadi dua tingkatan, akal dan materi.10

(18)

Atas dasar hal ini Nasr menginginkan adanya kesadaran oleh orang-orang

non barat yang masih memiliki nilai keagamaan yang kuat serta keterhubungan

spiritualitasnya yang masih kental terhadap tuhan dan juga sifat bijaknya terhadap

alam, merupakan sebuah tameng yang dapat membantu membendung pemikiran

luar yang tak sesuai dengan landasan kesejarahan dan yang telah tersekularisasi

tersebut agar dapat mengadaptasikan kemajuan zaman dengan filter dan sudut

pandang yang berbeda.

Seruan Nasr untuk kembali pada ajaran tradisional masing-masing

berdasar pada argumennya sebagai seorang filosof perennial yang menyetujui

pendapat Leibnisz, bahwa pada agama diluar Islam juga telah tertanam dan

dikembangkan sebuah konsep metafisis yang mengandung ajaran etika sebagai

tujuan akhir serta tentang yang transenden dan imanen dalam dunia yang

immemorial dan universal ini.11

Sebagaimana pada tradisi Islam, para saintis dan ilmuan lainnya Islam di

zaman Abbasyiyah, pada mulanya mereka mengkaji karya-karya filsafat yunani,

kegiatan menerjemahkan karya-karya tersebut menjadi proses dalam mempelajari

filsafat tersebut, kemudian memberikan komentar atas karya-karya mereka hingga

memberikan sebuah kemajuan-kemajuan baru, semua prosese tersebut dijalani

hingga mendapatkan hasil yang bervarian dari apa yang mereka pelajari dari

filsafat, mereka tidak menelan bulat apa yang dipelajari, lebih jauh mereka

(19)

mengadaptasikannya dalam prinsip-prinsip nilai keislaman serta nilai-nilai

kebijakan lain yang mereka peroleh dari berbagai macama tradisi agama dan

budaya namun tetap pada koridor Islam, meskipun mungkin ada yang berpendapat

bahwa tradisi keilmuan Islam hanya sebagai penyambung lidah dari apa yang

disampaikan oleh para filsuf, namun hal ini terbukti salah karena penelitian serta

penemuan yang luar biasa yang dihasilkan oleh para saintis muslim jelas

mengalami loncatan sejarah intektual yang tak terbayangkan sebelumnya.12

Oleh karena itu, Nasr ingin membangkitkan kembali semangat pengkajian

serta kesadaran akan masa gemilang dalam Islam ini untuk menunjukkan identitas

sebenarnya yang dimiliki muslim yang mana mereka disisi lain menjunjung

tinggia nilai profesionalitas dalam ranah keilmuan namun juga mendasarkan

semangat dan rasa keingintahuan mereka pada doktrin agama sehingga bagi

mereka menuntun sebuah ilmu adalah kewajiban bagi para penganut muslim,

kewajiban yang sama halnya dengan pelaksanaan shalat fardhu serta ibadah

lainnya.

Kosmologi Islam dalam hal ini menawarkan sebuah integrasi yang jelas,

mereka membedakan bidang atau aspek fisik dan non fisik bukan untuk

menghilangkan salah satu atau mengunggulkan salah satu, lebih jauh kosmologi

Islam yang mempelajari tentang angka-angka serta hal fisik lainnya tidak berjalan

sendiri-sendiri dengan kosmologi yang sifatnya metafisis yang menguraikan

(20)

makna dalam setiap benda alam yang ada, kosmologi ini jelas lebih

menghidupkan alam semesta yang dianggap secara fisik hanya sebagai objek

kajian, namun dalam aspek ini ia merupakan bagian dari kehidupan yang

memberikan pengaruh pada jalannya keteraturan alam. Nilai-nilai inilah yang

ingin dicapai Nasr, sebuah integrasi yang bukan berarti mencampur adukkan atau

sekadar pendefinisian namun lebih kepada menghubungkan kembali apa yang

terpisah dalam pikiran manusia modern tentang lingkungan dengan yang

dibaliknya, lebih jauh ia mengharmonisasikan kembali antara sains fisik dengan

kosmologi metafisik.

F. Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian-uraian diatas mengenai pemikiran model

integrasi sains dan Islam sebagai landasan pendekatan kosmologi Islam terhadap

krisis ekologi modern, berikut beberapa hal yang dapat disimpulkan :

1. Seyyed Hossein Nasr mencoba untuk memberikan nuansa baru dalam

mendekati sains modern, salah satunya dengan adanya sebuah kajian

kosmologi Islam yang telah dikembangkan oleh para saintis seperti

Ikhwan Al-Shafa, Al-Biruni dan Ibnu Sina, ketiga tokoh tersebut menurut

Nasr dapat mewakili pemikiran Islam pada bidang kosmologi, mereka

mewakili pemikiran pihak saintis serta mistikus dalam memandang

kosmologi. Selain itu sikap konsistensi mereka dalam mengembangkan

(21)

senantiasa mengkaji alam semesta secara objektif atau dalam ranah saintis,

ajakan ini menurut para tokoh tersebut tidak hanya berupa anjuran

melainkan menjadi sebuah kewajiban layaknya kewajiban dalam

melaksanakn ibadah fardhu.

2. Pandangan serta kekhawatiran Nasr terhadap sains yang berkembang

didasarkan atas prinsip Darwinian berdampak pada krisis ekologi bagi

Nasr merupakan satu hal yang harus dihindari, karena teori evolusi Darwin

telah menjadi sebuah dasar yang tidak relevan dengan identitas

negara-negara non barat yang masih sangat berpegang teguh pada nilai-nilai

keagamaan spiritual yang telah mengharmonisasi dalam setiap pola

tindakannya.

3. Kosmologi Islam menurut Nasr adalah sebuah kajian yang relevan serta

ideal dalam rangka membentuk pemikiran-pemikiran Darwinian yang

bersifat mekanistik serta sekularis yang telah mewabah di hamper seluruh

sudut bumi. Disisi lain bagi penganut agama non Islam ia menganjurkan

agar selalu berpegang teguh pada ajaran mereka masing-masing dan tidak

terpengaruh pada prinsip dasar perkembangan sain dan teknologi yang

telah melakukan banyak pengabaian dan menganggap realitas alam hanya

sebagai objek sumber dari kekuatan perekonomiannya. Pengkajian sains

harus lah tetap memperhatikan aspek non fisik dibaliknya, karena

kehidupan manusia tidak hanya berkutat pada hal-hal materiil tapi juga

(22)

Islam sangat ideal untuk melengkapi dan mengiringi kemajuan sains dan

teknologi modern.

REFERENSI

Barbour, Ian G. Juru Bicara Tuhan: antara Sains dan Agama terj. E.R Muhammad. Bandung: Mizan, 2002.

Hadariansyah. Pengantar Filsafat Islam. Banjarmasin: Kafusari Press, 2013.

Huxley, Aldous. Filsafat Perennial (The Perennial Philosophy) , terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam, 2001.

Januri, Moh Fauzan & Muhammad Alfan, Dialog Pemikiran Timur-Barat. Bandung: Pustaka Setia, 2011.

Lyons, Jonathan. The Great Bait Al-Hikmah: Kontribusi Islam dalam peradaban dunia barat, terj. Maufur. Jakarta: Noura Books, 2013.

Nasr, Sayyed Hossein. In Search of The Sacred: A conversation with Seyyed Hossein Nasr on his life and thought. California: ABC-CLIO,LLC, 2010.

Nasr, Seyyed Hossein. “An Introduction to Islamic Cosmological doctrines” dalam

http://ebooksclub.org_An_Introduction_to_cosmological_doctrines_copy, diakses tanggal 2 November 2015.

Nasr, Seyyed Hossein. “The Spiritual and Religious Dimensions of The Environmental

Crisis”dalamhttp://The_Spiritual_and_Religious_Dimensions_of_T

(23)

Nasr, Seyyed Hossein. “Evolusi: Sebuah Kemustahilan Metafisika” dalam Osman Bakar, ed. Evolusi Ruhani: Kritik Perennialis atas Teori Darwin terj. Eva Y Nukman. Bandung: Mizan, 1996.

Nasution, Andi Hakim. Pengantar ke Filsafat Sains. Bogor: pustaka lentera antarnusa, 1989.

(24)

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh pemikir-pemikir sosial abad ke 19 seperti Aguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx dan Sigmund

Integrasi yang diharapkan antara pendidikan agama Islam dengan Sains dan Teknologi bukan dipahami dengan memberikan materi pendidikan agama Islam yang diselingi

Hal tersebut dikarenakan guru belum menguasai nilai-nilai keislaman serta belum tersedianya bahan ajar ataupun modul fisika yang berbasis integrasi sains dan Islam,

Akibatnya, pendidikan baru yang membawa semangat sains modern yang memiliki pandangan yang minus terhadap agama tidak terintegrasi dengan baik pada sistem pendidikan

Standard Kurikulum Sains bertujuan untuk memenuhi cita- cita murni dan semangat Falsafah Pendidikan Kebangsaan bertujuan melahirkan murid yang seimbang serta berkembang

Pemikiran Nasr dalam perkembangan relasi agama dan sains dalam tradisi Islam jelas memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan relasi agama dan sains,

Pandangan yang menyatakan bahwasanya agama dan ilmu sains adalah satu kesatuan yang bersifat integral dan tak dapat dipisahkan ini menunjukkan bahwa islam

Sementara sains Fisika, Biologi, Kimia dengan karakteristik keilmuannya berhubungan erat dengan kehidupan, fenomena alam semesta, serta hakikat pembelajarannya yang mengedepankan 4