• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No 6.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No 6."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang

Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi

Village Financial Management After Implementation of Law No. 6/2014:

Potential Problems and Solutions

Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis

Peneliti dan Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara

Abstrak:

Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan desa pengakuan dan ke-kuasaan baru kepada desa yang selama ini diabaikan dalam pembangunan. Di antara berbagai hal yang tercakup di dalamnya, dana desa merupakan isu yang paling hangat dibicarakan. Desa akan me-nerima uang dalam jumlah besar tanpa ada presedennya. Sementara sebagian kalangan meragukan kesiapan desa dalam mengelola dana sebesar itu, sebagian lainnya meyakini bahwa desa telah siap. Sesungguhnya, dengan menengok kondisi riil pemerintah dan masyarakat desa saat ini, memang ada risiko bahwa pengelolaan keuangan desa tidak dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel. Kompetensi kepala desa dan pendamping desa menjadi dua faktor kunci krusial dari sisi SDM yang memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa. Agar keuangan desa dapat terkelola dengan baik, dibutuhkan pemeriksaan atas kebijakan yang ada, pengawasan yang kuat, dan peningkatan kapasitas serta kesadaran aparatur desa.

Kata-kata kunci: UU Desa; Desa; Dana desa; Pengelolaan keuangan

Abstract:

The birth of Law No. 6 of 2004 on Village gives village recognition and power to village which until then has been neglected in development. Among many things covered in it, village fund is the most talked about issue. Village will receive money in big size without precedent. While some people hesitate the readiness of village to manage such a big fund, others believe that village is ready.

Actually, by visiting the real condition of village s government and society today, there are risks that village finance management cannot be done in transparent and accountable manner. The competency of village head and village facilitator are two crucial key factors from human resources perspective which affect the success of village finance management. In order to manage village finance properly, policy checking, strong monitoring, and capacity and consciousness development are needed. Keywords: Law on Village; Village; Village fund; financial management

PENDAHULUAN

Disahkannya Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa) pada 15 Januari 2014 merupakan se-buah tonggak bersejarah dalam sejarah kebi-jakan mengenai desa. UU tersebut merupa-kan balimerupa-kan paradigmatis (paradigmatic turn) dari pendekatan atau cara pandang pe-merintah terhadap desa sebagai satuan masyarakat terkecil, di mana desa kini dipan-dang sebagai subjek pembangunan dengan kewenangan yang luas. Melalui asas rekog-nisi, hak asal-usul desa sebagai self governing community dan self local government diakui. Sementara melalui asas subsidiaritas, desa

diberi kewenangan untuk menyelenggarakan empat domain urusannya secara penuh, yakni penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

(2)

Potensi Permasalahan dan Solusi Widodo-Jusuf Kalla, yang dalam

Nawacita-nya memuat ikhtiar membangun )ndonesia dari pinggiran dengan memperkuat Daerah-daerah dan Desa dalam kerangka Negara Kesatuan.

(http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_J okowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015). Misi tersebut berusaha membalik desa yang selama ini menjadi alas kaki kekuasaan dan obyek pembangunan yang pasif sebagai penonton pembangunan menjadi entitas yang menjadi lebih mandiri, berdaulat, demokratis, dan sejahtera.

Tetapi setelah UU Desa lahir, bukan berarti perdebatan selesai. Banyak pakar, pengamat, dan praktisi yang mempersoalkan hakikat sesungguhnya dari UU Desa: apakah roh yang ada di dalamnya didorong oleh pilihan democratic driven (pokoknya proses demokratisasi pembagian kue pembangunan sudah didistribusikan hingga tingkat desa) atau economic driven (berorientasi mencari pengungkit pemberdayaan ekonomi yang berasal dari desa)? (Huseini, 2015: 7), apakah UU Desa mengadopsi paradigma desa membangun atau membangun desa atau gabungan dari keduanya?, apakah UU Desa dapat diartikan sebagai otonomi desa dan dengan demikian memunculkan rezim desentralisasi tingkat tiga yang lebih kom-pleks? Muncul juga kekhawatiran pada tata-ran implementasi: sudahkah pemerintah desa dan tingkatan pemerintah di atasnya benar-benar siap melaksanakannya?

Sementara pada aras kelembagaan, per-debatan diwujudkan melalui rebutan kewe-nangan antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trans-migrasi (Kemendes PDTT). Masing-masing merasa yang paling berhak mengurus desa dengan mangajukan logika dan argumennya masing-masing. Akhirnya, setelah percekco-kan selama hampir enam bulan, polemik ter-sebut baru dapat diakhiri, atau demikianlah kelihatannya, setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres No. 11 Tahun 2015 tentang Kemendagri dan Perpres No. 12 Tahun 2015 tentang Kemendes PDTT sebagai pelengkap atas Perpres No. 165 Tahun 2014

tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja. Melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri berwe-nang mengurusi pembinaan pemerintahan desa dan melalui Direktorat Jenderal Pemba-ngunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa serta Direktorat Jenderal Pembangunan Ka-wasan Perdesaan, Kemendes PDTT berwe-nang mengurusi hal-hal lain di luar pemerin-tahan desa. Diharapkan, dengan pembagian kerja semacam ini, tidak muncul lagi instrumen kebijakan dari kementerian yang menerobos lingkup wewenangnya, seperti misalnya Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa format pembagian kerja semacam itu sesungguhnya mengingkari prinsip pengelo-laan desa dalam UU Desa yang bersifat siste-mik-integratif (Jaweng, 2015: 6). Sementara menurut Hasani (2015: 7), karena Kemenda-gri tetap memiliki kaki hingga ke desa, maka otonomi desa dibonsai dengan tetap menjadi-kannya unit pemerintahan paling rendah. Padahal, rezim UU Desa tegas mengatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang otonom dalam NKRI.

(3)

merupakan amanat UU Desa. Ketertarikan terhadap iming-iming dana desa juga dite-ngarai menyebabkan terjadinya lonjakan usulan pemekaran desa. Kemendagri menca-tat, jumlah desa meningkat dari 72.944 pada awal 2013 menjadi 74.093 pada awal 2015

(http://www.koran- sindo.com/read/964858/149/dana-desa-picu-tingginya-pemekaran-1424055604, diakses 9 Juli 2014).

Kenyataannya, hal yang terjadi tidaklah demikian. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa menyebutkan bahwa Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top secara bertahap. Artinya, pemberian dana dalam hitungan miliar untuk tiap desa baru akan diberlakukan di masa depan setelah melalui tahapan waktu tertentu. Pada APBN Perubahan (APBN-P) 2015, total dana desa sebesar Rp 20,766 triliun atau 3,1 persen dari jumlah APBN-P sekitar Rp 2.000 triliun (naik dari APBN 2015 yang hanya mengalokasikan Rp 9,1 triliun) yang disalurkan selama tiga tahap pada minggu kedua bulan April, Agustus, dan Oktober. Rata-rata desa yang jumlahnya 74.093 mendapat Rp 280 juta. Baru pada tahun 2017 persentase 10 persen tersebut akan dipenuhi. Dalam Pasal 30A ayat (1) PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, dinyatakan bahwa pengalokasian dana desa untuk tahun anggaran 2015 paling sedikit sebesar 3 persen, pada tahun anggaran 2016 paling sedikit sebesar 6 persen, dan baru pada tahun 2017 dan seterusnya sebesar 10 persen dari anggaran transfer ke daerah.

Meskipun dana desa yang diperoleh desa pada tahun ini masih terbatas, isu tentang pengelolaannya tidak boleh dikesampingkan karena sebesar apa pun dana publik yang diterima oleh sebuah entitas harus diperta-nggungjawabkan secara transparan dan akuntabel. Lagipula dana desa sebenarnya hanyalah sebagian saja dari total pendapatan yang diterima desa untuk dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

(APBDes). Dana desa adalah salah satu jenis dari kelompok pendapatan desa yang digolongkan sebagai transfer bersama dengan alokasi dana desa (ADD), bagian dari hasil pajak daerah kabupaten/kota dan retribusi daerah (PDRB), dan bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain itu, masih ada juga pos pendapatan asli desa (PAD) dan pendapatan lain-lain. Salah satu jenis pendapatan dari kelompok transfer yang besar, bahkan lebih besar dari dana desa, adalah ADD yang dalam APBN-P dialokasikan sebesar Rp 33,2 triliun. Berdasarkan data yang dikumpulkan IRE (2015) sebagaimana dikutip Muhammad (2015: 6), misalnya, Kabupaten Sleman tahun 2015 ini mengirimkan dana ke desa Rp 1,2 miliar per desa, Kabupaten Gunung Kidul Rp 650 juta per desa, dan Kabupaten Lombok Tengah Rp 300 juta per desa. Sementara dari PDRB tahun ini sebesar Rp 2,1 triliun sehingga total dana yang akan masuk ke desa tahun ini di luar PAD dan pendapatan lain-lain sebesar Rp 53,6 triliun (Kompas, 27 Februari 2015).

Total pendapatan desa akan semakin bertambah setiap tahunnya. Dari pos dana desa, diperkirakan bahwa pada tahun 2016 jumlahnya meningkat menjadi sekitar Rp 47 triliun dan tahun 2017 sekitar Rp 81 triliun.1

Adapun menurut data yang dimiliki Jaweng (2015: 6), rencana pertumbuhan dana desa di masa depan berturut-turut sebesar Rp 44 triliun (2016), Rp 74 triliun (2017), Rp 88,6 triliun (2018), Rp 103,7 triliun (2019). Sementara Farouk Muhammad mengkalkula-si bahwa pada 2017 minimum per desa akan memperoleh pendapatan Rp 1,5 miliar atau lebih (Muhammad, 2015: 6).

1 Informasi disampaikan oleh Direktur Bina

(4)

Potensi Permasalahan dan Solusi Jumlah pendapatan yang diterima desa,

baik pada tahun ini dan terlebih di tahun-tahun mendatang, dengan demikian dapat dikatakan cukup besar. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kesiapan desa dalam menggunakan dana tersebut secara bertang-gungjawab dan berkeadilan. Banyak kala-ngan yang skeptis dan meremehkan kemam-puan desa. Pengamat ekonomi Didik J. Rach-bini misalnya, mengatakan bahwa kebijakan dana desa bak memberi uang dari langit ke kerumunan massa di mana masyarakat akan saling berebut dan bertengkar untuk menda-patkan uang itu. Birokrasi desa menurutnya tak punya tradisi akuntabilitas

(http://www.koran- sindo.com/read/964587/149/salah-kelola- dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-1423968895, diakses 9 Juli 2015).

Karena khawatir bahwa dana desa dapat menjadi jebakan yang menjerat kepala desa untuk korupsi, baik secara sengaja maupun tidak sengaja akibat ketidaktahuan akan mekanisme pengelolaan dan pertanggungja-waban anggaran, maka berbagai pihak pun menyerukan solusi, misalnya dengan usulan agar pada masa transisi (tahun pertama dan kedua) pemerintah dan penegak hukum jangan terlalu kaku dalam menerapkan pengawasan dan penegakan hukum, harus ada langkah persuasif jika pelanggaran sifatnya administratif (Muhammad, 2015: 6). Ada juga usulan untuk mempertanggungja-wabkan dana desa cukup dengan bukti yang menunjukkan dana telah masuk ke rekening kas desa (RKD) dengan memperlakukan dana itu sebagai anggaran dalam kelompok mata anggaran kegiatan (MAK) bantuan sosial. Selanjutnya, urusan selesai begitu dana diterima desa (Padjung, 2015: 7).

Kementerian yang mengurusi desa juga melakukan berbagai upaya untuk mencegah dana desa disalahgunakan atau dikelola dengan tidak mengikuti kaidah yang benar. Dalam pernyataannya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bah-wa pihaknya berkoordinasi dengan Kemen-des PDTT telah melatih para aparat Kemen-desa se-cara terpadu mengenai tata kelola dan siste-matika dalam membuat laporan penggunaan

keuangan desa secara benar. Kemendagri juga akan memberikan pelatihan kepada ke-pala desa dan aparat desa untuk peningkatan kapasitas dalam penyusunan anggaran dan pengelolaan anggaran. Satu desa minimal mengirimkan tiga perwakilan sehingga seluruhnya ada 273.000 orang yang akan ditingkatkan kapasitasnya. Selain itu, Menda-gri juga telah meminta Badan Pemeriksa Keu-angan (BPK) selaku pihak yang akan mengau-dit dana desa secara langsung agar mengizin-kan penyederhanaan pelaporan keuangan bagi desa sehingga dalam membuat laporan tidak perlu tebal-tebal, cukup satu lembar saja (http://www.koran- sindo.com/read/1012635/149/bpk-akan-audit-anggaran-desa-1434331148, diakses 10 Juli 2015). Di sisi lain, Kemendes PDTT menjalin kerjasama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pendampingan audit dan pelaporan serta pelatihan administrasi kepada aparat desa agar dana desa terkelola secara akuntabel dan transparan (http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838-penanggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa, diakses 9 Juli 2015), selain juga menyiapkan perekrutan untuk pendamping desa yang dapat membantu pemerintah desa mengelola keuangannya.

(5)

sesungguhnya mampu mengelola keuangan. Pada tahun 2009, total jumlah pendapatan yang diterima desa sebesar Rp 8,569 triliun. Jumlah ini kemudian meningkat pada tahun 2010 menjadi Rp 10,612 triliun (Sukasmanto, 2014: 5). Hal ini menyiratkan bahwa desa mampu mengelola dana dengan baik karena bila tidak maka secara logis tidak mungkin pendapatan yang diberikan kepadanya me-ningkat.

Tulisan ini menyoroti isu pengelolaan keuangan desa pasca-UU Desa berlaku. Tuju-annya adalah untuk memberikan pemaham-an secara komprehensif mengenai pengelola-an keupengelola-angpengelola-an desa, substpengelola-ansi peraturpengelola-an ypengelola-ang mengaturnya, potensi permasalahan, dan solusi untuk menghindari problem yang mungkin muncul. Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini distrukturkan sebagai berikut. Pertama, dipaparkan mengenai keuangan desa secara rinci, mulai dari peraturan yang menjadi landasannya dan alur atau mekanisme pengelolaannya, mulai dari awal sampai akhir. Dengan demikian, pembaca dapat memahami kerangka legal, aturan main, dan logika dari pengelolaan keuangan desa secara menyeluruh. Selanjut-nya, dipaparkan mengenai potensi risiko dari pengelolaan keuangan desa yang dilihat dari berbagai aspek, mulai dari tata laksana, kelembagaan, regulasi, dan SDM. Pemahaman atas risiko ini memampukan pembaca untuk melihat celah yuridis, sosiologis, dan politis dari konstruksi yang membentuk tatanan pengelolaan keuangan desa. Bagian ini banyak memanfaatkan hasil kajian yang telah dibuat oleh berbagai lembaga. Selanjutnya, dituliskan mengenai dua isu penting yang menjadi kunci dan faktor determinan yang secara krusial memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa dari sisi SDM, yakni isu kompetensi kepala desa selaku kuasa pengguna anggaran di desa dan isu pendamping desa sebagai fasilitator yang membantu segala permasalahan di desa, termasuk pengelolaan keuangan.2 Tulisan

2Keberhasilan pengelolaan keuangan desa tentu

tidak hanya ditentukan dari sisi SDM yang menjadi fokus dari tulisan ini, melainkan juga dipengaruhi oleh sisi sistem, di antaranya regulasi yang baik

diakhiri dengan penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.

METODE

Data dan analisis yang menjadi bagian dari hasil kajian ini didapatkan dengan metode kajian pustaka (literary studies) dan diskusi terbatas. Kajian pustaka dilakukan dengan mempelajari UU dan berbagai peraturan terkait lain yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan desa, juga berbagai artikel dan tulisan yang membahas mengenai isu tersebut. Sementara diskusi terbatas dilakukan untuk mendapatkan data primer yang relevan dengan isu pengelolaan keuangan desa dengan mengundang nara-sumber dari kalangan kementerian, SKPD, dan kepala desa. Diskusi terbatas dilakukan oleh Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lem-baga Administrasi Negara (LAN) selama dua kali kesempatan pada 26 Juni 2015 dan 9 Juli 2015 dengan peserta para peneliti di lingku-ngan LAN.3

KEUANGAN DESA DAN PENGELOLAANNYA

Ihwal keuangan desa diatur dalam Pasal 71-75 UU Desa. Dalam Pasal 71 ayat (1), dinyatakan bahwa Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Selanjutnya, pengaturan mengenai keuangan desa dan hal lain yang terkait

(lengkap, jelas, dan tidak tumpang tindih) dan mekanisme pengawasan yang efektif, ketat, dan menyeluruh. Tentang hal ini, lihat Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015.

3 Diskusi terbatas tanggal 26 Juni 2015

(6)

Potensi Permasalahan dan Solusi dengannya dijabarkan lebih lanjut dalam

berbagai peraturan, di antaranya PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersu-mber dari APBN, PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 60 Tahun 2014, PP No. 47 Tahun 2015 tentang Peru-bahan atas PP No. 43 Tahun 2014, Permen-dagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelola-an Keuangan Desa, Permenkeu No. 241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa, Permenkeu No. 250/PMK.07/-2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa, Permenkeu No. 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalo-kasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantau-an, dan Evaluasi Dana Desa, dan Permendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa.

Mengenai pendapatan desa, seturut Per-mendagri No. 113 Tahun 2014 Bab IV Bagian Kesatu (Pasal 9-11), dinyatakan bahwa pendapatan desa terdiri atas tiga elemen, yakni 1) PAD (yang terdiri atas hasil usaha; hasil aset; swadaya, partisipasi, dan gotong-royong; dan lain-lain PAD); 2) transfer (terdiri atas dana desa; PDRB; ADD; bantuan keuangan APBD provinsi; dan bantuan keuangan APBD kabupaten/kota); dan 3) pendapatan lain-lain (terdiri atas hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat dan lain-lain pendapatan desa yang sah).

Terkait dengan nomenklatur jenis-jenis pendapatan desa di atas, perlu dicatat bahwa Permendagri No. 113 Tahun 2014 membeda-kan antara dana desa dengan ADD. Dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer me-lalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerin-tahan, pelaksanaan pembangunan, pembina-an kemasyarakatpembina-an, dpembina-an pemberdayapembina-an masyarakat. Sementara itu, dinyatakan bah-wa ADD adalah dana perimbangan yang dite-rima kabupaten/kota dalam APBD kabupa-ten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khu-sus (DAK). Pembedaan ini sesungguhnya

tidak dikenal dalam UU Desa sehingga berpo-tensi menimbulkan kebingungan dan kesa-lahpahaman meskipun istilah ADD sebenar-nya pernah muncul dan diatur dalam PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Agusta memba-ca bahwa pembedaan kedua jenis dana tersebut bermotif politik, yakni sebagai upa-ya Kemendagri mengamankan dana desa sesuai peruntukannya, yakni untuk pemerin-tahan, pembangunan, pembinaan, dan pem-berdayaan. Dengan demikian, Kemendagri yang menangani urusan pemerintahan masih mempunyai ruang yang luas untuk bekerja karena dana desa tidak melulu dititikberat-kan pada urusan pembangunan dan pember-dayaan masyarakat sesuai ketentuan Per-mendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Pe-netapan Prioritas Penggunaan Dana Desa (Agusta, 2015a: 7). Argumen ini, bagaimana-pun, terlalu tipis kekuatannya mengingat Pa-sal 19 ayat (2) PP No. 60 Tahun 2014 sudah mengunci bahwa dana desa memang harus diprioritaskan untuk membiayai pembangun-an dpembangun-an pemberdayapembangun-an masyarakat.

Terlepas dari masalah tersebut, dana desa dalam pengertian keseluruhan rupa-rupa pendapatan desa yang dikelola dalam APB-Des harus dikelola secara transparan, akun-tabel, partisipatif serta dilakukan dengan ter-tib dan disiplin anggaran (Pasal 2 Permenda-gri No. 113 Tahun 2014). Karena bersumber dari negara, maka pengelolaannya harus mengikuti aturan main yang berlaku terkait pengelolaan dana publik. Dalam Permendagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, ihwal pengelolaan dan desa telah diatur dalam Bab V. Di dalamnya, diatur bahwa pengelolaan dana desa terdiri atas lima hal, yakni perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggung-jawaban.

(7)

pemba-ngunan perencanaan desa (musrenbangdes) yang diselenggarakan kepala desa dan pe-rangkatnya. Musren-bangdes inilah yang me-mbahas mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) tiap enam tahun sekali dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) serta APBDes tiap setahun se-kali. Setelah Raperdes tentang APBDes dise-pakati bersama oleh kepala desa dan BPD paling lambat bulan Oktober dan hasil eva-luasi dari bupati/walikota atau camat (yang mendapat delegasi untuk mengevaluasi Ra-perdes APBDes) menyatakan bahwa Raper-des APBDes tidak bertentangan dengan ke-pentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, APBDes dapat ditetapkan.

Sebelum desa dapat menerima pencairan dana desa, terlebih dahulu kabupaten/kota harus mengesahkan APBD kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran dana desa (Pasal 17 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2014 dan Pasal 16 ayat (2) Permenkeu No. 93/PMK.07/2015). Sebelum peraturan bupa-ti/walikota itu dibuat, desa menyelesaikan terlebih dahulu APBDes-nya. Keharusan ada-nya peraturan kepala daerah tersebut seba-gai indikasi bahwa kabupaten telah siap untuk menyalurkan dana sesuai peraturan. Per 1 Juli 2015, masih ada 16 kabupaten/ kota yang belum menerima pencairan dana desa tahap pertama senilai Rp 8,306 triliun karena belum menyerahkan persyaratan tersebut, di antaranya Kabupaten Biak Num-for, Kabupaten Merauke, Kabupaten Paniai, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Tolikara, Kabu-paten Waropen, KabuKabu-paten Supiori, Ka-bupaten Mamberamo Raya, KaKa-bupaten Mam-beramo Tengah, Kabupaten Puncak, Kabu-paten Teluk Bintuni, KabuKabu-paten Bekasi, Ka-bupaten Majalengka, Kota Batu, KaKa-bupaten Kepahiang, dan Kabupaten Konawe (Kompas, 2 Juli 2015).4

4 Menurut Eko Prasetyanto, keterlambatan

penyerahan dokumen tersebut disebabkan karena beberapa hal, di antaranya terlambatnya revisi PP No. 60 tahun 2014 yang memuat pengubahan formula pembagian dana desa sehingga membuat daerah harus menghitung ulang alokasi dana desa

Penggunaan dana desa dikelola oleh pe-merintah desa melalui kuasa kepala desa dan digunakan sesuai RPJMDes, RKPDes, dan AP-BDes. Adapun laporan realisasi pelaksanaan APBDes disampaikan kepala desa kepada bupati/walikota berupa laporan semester pertama yang harus disampaikan paling lambat akhir bulan Juli dan laporan semester akhir tahun paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya (Pasal 37 Permen-dagri No. 113 Tahun 2014). Selain pelaporan, kepala desa juga harus menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi pelak-sanaan APBDes dalam bentuk peraturan desa kepada bupati/walikota setiap akhir tahun anggaran (Pasal 38 Permendagri No. 113 Tahun 2014).

Lalu, siapa yang mengawasi pengelolaan keuangan desa? Pengawasan memegang ranan penting dalam memastikan agar pe-ngelolaan dana desa berjalan dengan akun-tabel, transparan, dan partisipatif demi ke-maslahatan umum masyarakat desa. Penga-wasan yang ketat, terkontrol, profesional, dan berintegritas menjadi prasyarat penting. Pengelolaan keuangan desa sesungguhnya diawasi secara berlapis oleh banyak pihak. Pada Pasal 44 Permendagri No. 113 Tahun disebutkan bahwa Pemerintah Kabu -paten/Kota membina dan mengawasi pelak-sanaan pengelolaan keuangan desa. Dalam hal ini, Inspektorat Daerah akan berperan penting sebagai leading institution ihwal pe-ngawasan pengelolaan keuangan desa. Se-mentara di tingkat pusat, BPK dan Badan Pe-ngawasan Keuangan dan Pembangunan (BP-KP) juga akan mengawasi pengelolaan keu-angan desa secara sampling. Dana desa menjadi ranah pengawasan mereka karena

(8)

Potensi Permasalahan dan Solusi dana desa adalah uang negara yang

bersum-ber dari APBN sehingga pengelolaannya harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Untuk memantau pelak-sanaan pembinaan dan pengawasan dana desa, pemerintah pusat juga telah mem-bentuk tim pengendali dana desa yang bera-nggotakan pejabat lintas kementerian

(http://www.koran- sindo.com/read/1005329/149/penyerapan-dana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180, diakses 10 Juli 2014).

POTENSI PROBLEMATIK PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

Sebagaimana telah disinggung sebelum-nya, para pengamat terbelah dalam penilai-annya atas pembagian dana desa, yakni me-reka yang percaya bahwa dana desa dalam jumlah yang besar belum tepat diberikan ke-pada desa saat ini dan mereka yang percaya bahwa desa telah mampu mengelola dana desa dengan baik dan benar. Menurut Sofyan Sjaf, keterbelahan tersebut berkaitan dengan paradoks dari ketentuan mengenai dana desa tersebut. Ada tiga paradoks yang diidentifi-kasinya (Sjaf, 2015: 7). Pertama, pemberian dana desa menciptakan birokratisasi alih-alih pemberdayaan desa. Beberapa peraturan yang mengatur dana desa dipandang sebagai bentuk birokratisasi baru karena terlalu me-ngatur secara teknis dan prosedural hal-hal seperti dasar alokasi dana desa, pengelolaan dan pertanggungjawaban dana desa, priori-tas penggunaan dana desa, pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan sebagainya. Makna pemberdayaan desa yang menjadi in-tensi normatif dari UU Desa menjadi poten-sial terlupakan. Sejatinya, apa yang lebih sub-stantif adalah penguatan pengetahuan aparat dan warga desa dalam pengambilan keputu-san penggunaan dana desa sesuai kebutuhan dan kondisi yang dihadapi desa, juga monito-ring serta evaluasi penggunaan dana desa yang partisipatif melibatkan warga desa. Pada titik ini, paradigma membangun desa yang bernuansa top-down menjadi terasa lebih dominan daripada paradigma desa me -mbangun yang lebih bottom-up sifatnya.

Kedua, dana desa meretas kesenjangan struktural antara negara dengan desa tetapi menciptakan kesenjangan antarwilayah, atau lebih tepatnya kesenjangan antarpulau. Dari Rp 20,766 triliun dana desa yang didistribu-sikan tahun ini, 61,49 persennya alias lebih dari separuh berada di Pulau Jawa dan Suma-tra. Sisanya berada di Pulau Kalimantan (8,73 persen), Sulawesi (11,44 persen), Bali dan Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku dan Papua (12,08 persen). Ini terjadi karena dana desa setiap kabupaten/kota dihitung berdasarkan jumlah desa (Pasal 11 ayat (1) PP No. 22 tahun 2015), dan jumlah desa tidak berbanding lurus dengan luas pulau. Di Jawa ada 22.400 desa dan di Sumatra 20.910 desa. Artinya, dua per tiga jumlah desa berada di kedua pulau tersebut.5

Padahal, sesungguhnya desa yang terting-gal lebih banyak berada di luar kedua pulau ini sehingga dana desa seharusnya lebih banyak terdistribusi di luar keduanya. Dengan fakta ini, maka problem pemerataan masih belum dapat diatasi.

Ketiga, perencanaan desa tidak sesuai antara harapan dan kenyataan. Dokumen yang disyaratkan untuk pencairan dana desa seperti RPJMDes dan RKPDes tidak disusun secara partisipatif dan transparan. Karena keterburu-buruan, dokumen tersebut dibuat secara elitis, tidak jarang menggunakan jasa konsultan, sehingga hanya segelintir warga desa yang mengetahuinya. Ini tentu berten-tangan dengan harapan pemerintah bahwa perencanaan desa hendaknya dilakukan se-cara partisipatif, akuntabel, dan transparan. Eksesnya, apa yang tertuang dalam dokumen perencanaan juga belum tentu sesuai dengan kebutuhan aktual masyarakat desa.

Berbagai paradoks di atas membuka tili-kan kepada proposisi bahwa pengelolaan dana desa rentan disalahgunakan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kaji-annya menemukan 14 persoalan dana desa yang berpotensi menjadi korupsi yang terbagi dalam empat aspek, yakni regulasi

5Informasi dari Eko Prasetyanto dalam diskusi

(9)

dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan, dan sumber daya manusia (http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-

pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7 Juli 2015).

Pada aspek regulasi dan kelembagaan, persoalan tersebut antara lain: 1) belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pe-laksanaan yang diperlukan dalam pengelo-laan keuangan desa; 2) potensi tumpang tin-dih kewenangan antara Kemendes PDTT dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri; 3) formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 Tahun 2015 yang tidak cukup trans-paran dan hanya didasarkan atas pemerata-an; 4) pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD dalam PP No. 43 Tahun 2014 yang kurang adil; dan 5) kewajiban penyusunan laporan pertanggung-jawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih.

Pada aspek tata laksana, terdapat lima persoalan, antara lain: 1) kerangka waktu si-klus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa; 2) satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam me-nyusun APBDes belum tersedia; 3) transpa-ransi rencana penggunaan dan pertanggung-jawaban APBDes masih rendah; 4) laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi, salah satunya disebabkan karena ketidakjela-san sistem akuntansi yang akan dipakai; ser-ta 5) APBDes yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa karena penyusunan tidak dilakukan secara partisipatif.

Sementara pada aspek pengawasan, ter-dapat tiga potensi persoalan, yakni 1) efekti-vitas inspektorat daerah dalam melakukan pe-ngawasan terhadap pengelolaan keuang-an di desa masih rendah; 2) salurkeuang-an pengadu-an masyarakat tidak dikelola dengpengadu-an baik oleh semua daerah dan mekanisme pengadu-annya tidak jelas; dan 3) ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas.

Sedangkan pada aspek sumber daya manusia, terdapat potensi persoalan berupa tenaga pendamping yang berpotensi melaku-kan korupsi dengan memanfaatmelaku-kan lemahnya pengetahuan aparat desa. Hal ini berkaca pa-da program sejenis sebelumnya, PNPM Per-desaan, di mana tenaga pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparat desa justru melakukan korupsi dan kecurangan.

Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), juga melakukan kajian yang serupa dengan KPK. Dalam kajian FITRA, terdapat enam potensi penyimpangan dana desa, di antaranya: 1) adanya mafia anggaran dari pusat dan kabupaten; 2) dana desa dipakai untuk anggaran pilkada seren-tak yang tidak teralokasi di APBD; 3) peng-gunaan dana desa tidak sesuai peruntukan di desa; 4) aset desa tidak terinventarisir dengan baik; 5) ketidakmampuan adminis-trasi dan rumitnya pertanggungjawaban yang berdampak pada potensi penyalahgunaan wewenang dan melanggar hukum; dan 6) minimnya pengawasan dari masyarakat dan pendamping (Kompas, 3 Juli 2015).

(10)

Keten-Potensi Permasalahan dan Solusi tuan ini kemudian dikunci lebih lanjut pada

pasal 100 ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015, di mana disebutkan bahwa paling banyak 30 persen dari APBDes digunakan untuk penghasilan tetap dan tunjangan kepa-la desa dan perangkat desa, operasional pe-merintah desa, tunjangan dan operasional BPD, dan insentif rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW).

Kemudian, terkait dengan formula pem-bagian dana desa juga diadakan perubahan seiring dengan hadirnya PP No. 22 Tahun 2015 menggantikan PP No. 60 Tahun 2014. KPK menilai bahwa formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten/kota pada PP No. 22 Tahun 2015 tidak adil karena lebih condong didasarkan pada pertimbangan pe-merataan, dengan alokasi dasar sebesar 90 persen dibagi secara merata kepada setiap desa (rata-rata Rp 280 juta) dan hanya 10 persen sisanya yang memperhitungkan variabel jumlah penduduk, angka kemiskin-an, luas wilayah, dan indeks kesulitan geo-grafis (IKG). Maka tak heran apabila jumlah dana yang diterima setiap desa dalam satu kabupaten tidak jauh berbeda, padahal kon-disi demografis, geografis, dan sosiologis an-tara desa satu dengan yang lain bisa jadi sangat berbeda. Namun, sesungguhnya aloka-si dasar sebesar 90 persen yang dibagi secara merata tersebut sesungguhnya hanya berla-ku untuk tahun 2015 saja (lihat Pasal 29 PP No. 22 tahun 2015). Menurut keterangan Eko Prasetyanto, hal tersebut dilakukan demi pertimbangan kepraktisan karena dikejar waktu. Kemendagri bersama dengan Kemen-terian Keuangan (Kemenkeu) dan kementeri-an terkait tidak skementeri-anggup untuk menghitung dana desa untuk lebih dari 74 ribu desa sesuai formula yang ditetapkan PP No. 60 Tahun 2014 sebelum pencairan tahap pertama dilakukan. Data yang paling susah adalah data yang menyangkut IKG.

KOMPETENSI KEPALA DESA SEBAGAI PENJAMIN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA YANG BAIK.

Kepala desa memegang peranan penting dalam pengelolaan keuangan desa karena dia merupakan pemegang kekuasaan

pengelola-an keupengelola-angpengelola-an desa (Pasal 3 ayat (1) Permen-dagri No. 113 Tahun 2014). Dengan posisinya tersebut, dia memiliki kewenangan yang luas, antara lain: menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDes; menetapkan Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) yang terdiri atas sekretaris desa, kepala seksi, dan bendahara; menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan desa; menyetujui pengeluaran atas kegiatan yang ditetapkan dalam APBDes; dan melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDes (Pasal 3 ayat (2) Permendagri No. 113 Tahun 2014).

Jelaslah di sini bahwa kepala desa menjadi tumpuan utama untuk memastikan apakah pengelolaan keuangan desa sudah dijalankan sesuai dengan asas-asas dan prinsip-prinsip yang ditentukan. Apakah ke-pala desa sanggup menanggung tanggungja-wabnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa saja beragam mengingat kualitas kepala desa berbeda di desa satu dengan yang lain. Dalam diskusi terbatas yang diadakan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN pada tanggal 26 Juni 2015, salah satu narasumber yaitu Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD Kabupaten Tangerang Tifna Purnama mem-berikan kesaksian bahwa banyak kepala desa di Kabupaten Tangerang yang kualitasnya di bawah standar. Ada kepala desa yang korup (menggunakan ADD untuk menutup hutang kampanye pemilihan kepala desa), berkonflik terus dengan BPD sehingga telat atau gagal menghasilkan APBDes dan perdes lainnya, tidak paham perencanaan, bahkan ada yang buta huruf.

(11)

adminis-tratif seperti bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memegang teguh dan mengamal-kan Pancasila, berpendidimengamal-kan paling rendah tamat sekolah menengah pertama (SMP) atau sederajat, berusia paling rendah 25 tahun pada saat mendaftar, terdaftar sebagai pen-duduk dan bertempat tinggal di desa setem-pat paling kurang satu tahun sebelum pen-daftaran, tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara, berbadan sehat, tidak pernah sebagai kepala desa selama tiga kali masa jabatan, dan sebagainya.

Dengan persyaratan seperti di atas, tentu tidak ada jaminan bahwa calon-calon kepala desa yang lulus seleksi merupakan orang-orang dengan kualitas dan kapasitas mumpu-ni.6

Seharusnya, kepala desa dituntut dan di-persyaratkan untuk memiliki kompetensi dalam hal teknis dan manajerial terkait pe-nyelenggaraan pemerintahan desa agar dana desa dapat dioptimalkan sebaik mungkin untuk peningkatan kesejahteraan masyara-kat dengan tanpa mengorbankan kualitas pe-ngelolaannya. Seiring dengan titik berat pem-bangunan yang semakin bertumpu kepada desa, seharusnyalah persyaratan untuk pen-calonan kepala desa juga ditingkatkan kuali-fikasinya.

Penjaringan calon kepala desa yang ber-kualitas sedikit banyak akan ditentukan oleh masyarakat desa itu sendiri. Setiap masyara-kat mendapatkan pemimpin yang pantas dia dapatkan. Jika dinamika dan tatanan masya-rakat desa berkembang secara organis dan demokratis, maka akan muncul

6 Terkait dengan syarat pencalonan kepala desa

yang cukup berpendidikan SMP diakui menjadi masalah di Kabupaten Bekasi. Salah satu narasumber dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015 menyatakan bahwa lebih dari 30 persen kepala desa di Bekasi merupakan lulusan SMP, dan keterbatasan pendidikan tersebut membuat mereka tidak dapat memahami manajemen penyelenggaraan pemerintahan desa dengan baik. Pihaknya pernah ingin membuat peraturan daerah yang mensyaratkan pendidikan minimal kepala desa adalah SMA, namun hal itu terbentur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi, yakni Permendagri No. 112 tahun 2014.

pemimpin alamiah yang bijak sekaligus kom-peten. Sebaliknya, jika masyarakat tersebut telah diinfiltrasi oleh nilai-nilai yang merusak modal sosialnya seperti individualisme, kese-rakahan, pemaksaan, dan kekerasan, maka akan sulit untuk mengharapkan lahirnya ca-lon-calon pemimpin asli yang berkualitas.

PENDAMPING DESA SEBAGAI AGEN PEMBERDAYA

Pendampingan desa merupakan aspek la-in yang berperan krusial dalam menentukan terjaminnya pengelolaan keuangan desa se-cara transparan, akuntabel, dan partisipatif. Pasal 128 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pendampingan masya-rakat desa dilaksanakan oleh satuan kerja pe-rangkat daerah (SKPD) kabupaten/kota dan dapat dibantu oleh tenaga pendamping pro-fesional, kader pemberdayaan masyarakat desa, dan/atau pihak ketiga. Sementara itu, ayat 3 pasal yang sama menyebutkan bahwa camat atau sebutan lain melakukan koor-dinasi pendampingan masyarakat desa di wilayahnya. Ini artinya, pendampingan dapat dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, dan bahkan swasta. Pendampingan oleh jajaran pemerintah diko-ordinasikan oleh Kemendagri dan pendam-pingan oleh masyarakat dikoordinasikan Ke-mendes PDTT.

(12)

me-Potensi Permasalahan dan Solusi ningkatkan kapasitas, efektivitas dan

akunta-bilitas pemerintahan desa dan pembangunan Desa; b) meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan desa yang partisipatif; c) meningkatkan sinergi program pembangun-an Desa pembangun-antarsektor; dpembangun-an d) mengoptimalkpembangun-an aset lokal Desa secara emansipatoris (Pasal 2 Permendes PDTT No. 3 Tahun 2015). Ada pun pendamping desa terdiri atas tenaga pendamping profesional (yang terdiri atas pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan, pendamping teknis yang berke-dudukan di kabupaten, dan tenaga ahli pem-berdayaan masyarakat yang berkedudukan di pusat dan provinsi), kader pemberdayaan masyarakat desa yang berkedudukan di desa dan diperoleh melalui mekanisme musya-warah desa, dan pihak ketiga (terdiri dari LSM, perguruan tinggi, organisasi masyara-kat, dan perusahaan).

Pendamping desa profesional memiliki tugas dalam ruang lingkup yang luas, di mana fasilitasi dan bimbingan pengelolaan keuang-an hkeuang-anya salah satu di keuang-antarkeuang-anya, meskipun hal itu tak disebutkan secara ekplisit di dalam Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.7

Rekrutmen pendamping profesional dilaku-kan secara terbuka. Mengingat tugas dan tanggungjawabnya yang luas, maka wajar bila ditetapkan bahwa mereka harus memili-ki kualifikasi yang tinggi. Untuk pendamping desa misalnya, disebutkan bahwa mereka harus memiliki kompetensi yang sekurang-kurangnya memenuhi unsur kualifikasi anta-ra lain: memiliki pengetahuan dan kemampu-an dalam pemberdayakemampu-an masyarakat; memi-liki pengalaman dalam pengorganisasian ma-syarakat desa; mampu melakukan pendam-pingan usaha ekonomi masyarakat desa; mampu melakukan teknik fasilitasi kelom-pok-kelompok masyarakat desa dalam mu-syawarah des; dan/atau memiliki kepekaan terhadap kebiasaan, adat-istiadat, dan nilai-nilai budaya masyarakat desa (Pasal 24 Permendes PDTT No. 3 tahun 2015). Khusus untuk tenaga pendamping profesional,

7 Tugas pendamping desa profesional secara rinci

dapat dilihat dalam Bab II (Pasal 11-17) Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.

ka bahkan harus memiliki sertifikasi kompe-tensi yang diterbitkan oleh lembaga sertifi-kasi profesi (Pasal 27 ayat (1)). Sebelum terjun ke lapangan, tenaga pendamping profesional juga diberikan pembekalan pe-ningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan (Pasal 28 ayat (1)). Dalam catatan Kemendes PDTT, dibutuhkan lebih dari 44.030 pendam-ping desa di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Dari jumlah tersebut, 12.442 orang merupakan eks fasilitator PNPM dan 31.558 sisanya merupakan tenaga baru lulusan sar-jana dan pendamping lokal desa yang dire-krut dari kalangan masyarakat desa sendiri.8

Meskipun telah diatur dalam suatu instrumen kebijakan yang cukup ideal secara normatif, namun bukan berarti isu pendam-ping desa bebas dari masalah dan risiko. Sya-rat kualifikasi yang tinggi bisa jadi terpaksa dikompromikan mengingat kebutuhan akan pendamping desa dalam jumlah yang banyak perlu segera dilakukan, padahal jumlah calon pendamping yang benar-benar kompeten dan berpengalaman terbatas. Salah satu poin dalam kajian KPK mengenai risiko pengelola-an dpengelola-ana desa juga menyoroti mengenai pelu-ang korupsi ypelu-ang dilakukan oleh pendamping desa. Dengan otoritas pengetahuan dan pe-ngalamannya, mereka dapat memanipulasi aparatur desa sehingga penggunaan dana desa disetir sedemikian rupa untuk kepenti-ngan pribadinya. Ada juga kekhawatiran bah-wa pendamping desa menjadi lahan profesi yang dijatahkan untuk kader partai politik atau sukarelawan pendukung calon presiden pemenang pemilu, dengan demikian mengor-bankan tuntutan profesionalitas.

Keterpakuan berlebihan akan dimensi profesionalitas pendamping desa juga harus dijaga agar jangan sampai membawa kerja pendampingan sebagai usaha yang melulu bernapaskan teknokratis. Pengalaman dalam program PNPM Mandiri Perdesaan dapat di-petik sebagai pelajaran. Di luar cerita dan ci-tra keberhasilan yang sering digembar-gem-borkan pemerintah, sesungguhnya banyak

8 Informasi disampaikan Bito Wikantosa dari

(13)

hal defektif yang berada di baliknya. Persen-tase dana yang macet atau tidak bergulir memang rendah, namun pembelajaran akan pengembangan demokrasi dan pemberdaya-an mpemberdaya-andiri masyarakat desa rendah. Fasilita-tor lebih banyak perperan sebagai perancang yang mendikte alih-alih transformator. Dana secara seragam lebih banyak dihabiskan un-tuk pembangunan infrastruktur dengan sedi-kit alokasi untuk kegiatan-kegiatan pember-dayaan dan peningkatan produktivitas mas-yarakat. Terjadi eksploitasi warga lewat tira -ni partisipasi Agusta, dengan me -maksa warga membangun proyek secara gotong-royong, padahal di sisi lain orang kota mendapatkan fasilitas serupa secara gratis. Dana yang berasal dari hutang lembaga do-nor lebih banyak mengalir ke pendamping in-ternasional, nasional, kabupaten, hingga ke-camatan sehingga tak heran bahwa menurut BPS, hanya 14 persen desa yang melaporkan rumah tangga miskin mendapatkan manfaat PNPM (Agusta, 2015b: 7). Lebih jauh, Carroll (2010) secara kritis menilai bahwa program PNPM mengintrodusir nilai-nilai good governance (partisipasi, akuntabilitas) dan kompetisi yang kompatibel dengan neoliberalisme.

Dengan berpijak pada pengalaman terse-but, ada yang khawatir bahwa pendampingan desa akan terjebak pada logika yang sama, yakni berorientasi teknokratis-birokratis. Meminjam istilah James Ferguson (1990), pendamping desa berpotensi menjadi mesin antipolitik yang melakukan depolitisasi war -ga, di mana hak warga desa akan edukasi po-litik dan penguatan representasi popo-litik di-blok oleh rasionalitas instrumental (Eko, 2015: 7). Ini patut menjadi peringatan yang diantisipasi dengan serius, mengingat sebagi-an besar eks fasilitator PNPM Msebagi-andiri sejum-lah 13 ribu orang yang kontraknya berakhir pada 31 Desember 2014 inilah yang menjadi pendamping desa dalam era UU Desa.9

9 Bito Wikantosa dari Kemendes PDTT

menginformasikan bahwa eks fasilitator PNPM Mandiri telah dimobilisasi sebagai pendamping desa pada awal Juli 2015. Jumlahnya yang berada di kecamatan 10.604 orang dan di tingkat kabupaten 1.834 orang.

cara dan paradigma lama mereka dalam me-lakukan pendampingan dan fasilitasi harus diubah. UU Desa mentransformasi dimensi keproyekan ala PNPM menjadi lebih tersistematisir dalam kerangka pembangun-an desa ypembangun-ang holistik. Oleh karenpembangun-anya, pen-damping tidak boleh menyisihkan pemerin-tah desa sebagaimana terjadi dalam PNPM, melainkan mendudukkannya sebagai aktor pembangunan bersama dengan warga (Agusta, 2015b: 7).

PENUTUP

Dana desa menjadi tema yang paling euforis sejak UU Desa disahkan. Wajar saja, melalui dana desa, desa akan mendapatkan dana dalam jumlah yang besar tanpa prese-den. Berbagai kekhawatiran pun mencuat di kalangan publik pada umumnya dan pemer-hati desa pada khusunya. Sosiolog Viviana Zelizer berpendapat bahwa uang dapat di-maknai secara jamak dan cair. Cara dalam mana masing-masing pihak memberikan makna tertentu kepada uang disebutnya se-bagai pencirian (earmarking) (Zelizer, 1994). Pemerintah pusat yang mengalokasikan dana desa dalam jumlah tertentu kepada desa memandang uang tersebut sebagai instru-men untuk membuat desa lebih sejahtera dan otonom, anggota DPR memandang persetu-juannya atas dana desa dalam APBN sebagai modal politik yang dapat dipromosikan kepa-da konstituen di desa bahwa dirinya akepa-dalah pihak yang berjasa, demikian pula macam-macam aktor yang berkecimpung di desa akan memandang dana desa dalam pers-pektifnya masing-masing, entah apakah itu sebagai amanah, bonus cuma-cuma, peluang mencari untung, dan sebagainya.

(14)

pe-Potensi Permasalahan dan Solusi ngusaha setempat. Sementara di Sulawesi

Se-latan ada pengusaha menyumbang dana kampanye pada pemilihan kepala desa agar mendapat proyek pengadaan dari dana desa (Kompas, 3 Juli 2015) dan di Bekasi ada desa yang menerima sumbangan dua mobil ambu-lans dari perusahaan sebelum dana desa turun.10 Fenomena kolusi dan praktik

perbu-ruan rente (rent-seeking) yang selama ini marak di pemerintah daerah pasca-desentra-lisasi bisa jadi akan mengalir turun ke desa. Pemilihan kepala desa juga diperkirakan akan semakin sengit dan diintervensi oleh politik uang dan manipulasi, antara lain kare-na tergiur oleh dakare-na desa yang besar. Jika ke-pala desa yang terpilih memiliki kaitan dengan partai politik, maka dana desa bisa dikorupsi tidak saja untuk menutupi biaya kampanye dan kepentingan pribadi namun juga untuk sumbangan ke partainya.

Sebagai rekomendasi untuk mencegah pengelolaan dana desa dapat dilakukan dengan baik dan berintegritas, maka diperlu-kan pencermatan atas poin-poin berikut. Per-tama, berbagai peraturan yang mengatur ten-tang dana desa mulai dari tingkat UU, PP, Permen, Perda dan Perbup/Perwal harus dicek keselarasan dan koherensinya. Jangan sampai ada peraturan yang tumpang tindih dan bertentangan dan jangan sampai ada pe-raturan yang substansinya bukan menjadi urusan dari pihak yang mengeluarkan pera-turan. Dengan demikian, tidak akan ada ceri-ta pelanggaran pengelolaan dana desa akibat peraturan yang bertentangan atau tidak jelas. Lebih jauh, peraturan tersebut juga hendak-nya dievaluasi agar jangan terlalu restriktif dan kaku (dengan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik) karena itu hanya akan memperluas birokratisasi dan ujung-ujungnya ruang gerak desa menjadi terbatas. Kemungkinan untuk perubahan atau revisi juga harus dibuka setiap saat se-bagai respons atas feedback dan dinamika yang terjadi di lapangan, atau manakala pera-turan yang ada di dalamnya tidak sesuai dengan aspirasi otentik masyarakat desa. Ke-sediaan pemerintah untuk merevisi PP No.

10 Informasi disampaikan Beni Yusnandar (BPMPD

Kab. Bekasi) dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015.

43 Tahun 2014 dan PP No. 60 Tahun 2014 merupakan contoh yang baik bahwa peme-rintah mau mendengar aspirasi tersebut.11

Kedua, sistem pengawasan dan monev yang tegas dan cermat perlu diterapkan. Saat ini, pengelolaan dana desa dikawal dan dia-wasi secara berlapis oleh banyak pihak, mulai dari pemerintah pusat (melalui BPK dan BPKP), pemerintah daerah (melalui Inspekto-rat Daerah, BPKD), dan KPK. BPD hendaknya juga melakukan penguatan dalam fungsi ngawasan internal, termasuk dalam hal pe-ngelolaan keuangan desa. Semua pihak terse-but harus memiliki kesamaan persepsi me-ngenai apa yang dimaksud dengan penge-lolaan keuangan desa yang baik dan benar. Di luar lembaga-lembaga pemerintah tersebut, masyarakat desa sendiri juga harus dibekali dengan kesadaran kritis mengenai penting-nya dana desa dikelola dengan transparan dan akuntabel. Untuk itu, pendamping desa dan organisasi masyarakat sipil harus aktif memberikan pelatihan mengenai cara dan strategi melakukan pengawasan. Penciptaan model-model pengawasan yang efektif harus diujicoba dengan seksama.

Ketiga, penguatan kapasitas dan kesada-ran bagi aparatur desa mutlak diperlukan. Kepala desa dan jajarannya perlu diberikan pemahaman dan pelatihan mengenai hal ih-wal pengelolaan keuangan desa, mulai dari awal (perencanaan dan penganggaran) sam-pai akhir (laporan pertanggungjawaban). Pe-ran pendamping desa yang memfasilitasi desa berperan krusial di sini. Mereka harus mampu untuk melakukan transfer pengeta-huan dan pembimbingan intensif. Selain itu, pendamping pada aras pemerintahan

11 Misalnya, Pasal 100 PP No. 47 Tahun 2015

(15)

desa juga harus mampu untuk melakukan kerja peningkatan kapasitas dan pelatihan. Untuk ini, salah satu hal yang dapat direko-mendasikan adalah memperlengkapi keca-matan dengan keberadaan tenaga fungsional yang paham dalam aspek-aspek teknis dan sektoral tata kelola desa (keuangan, teknik, pengembangan usaha, pertanian, dan seba-gainya), jadi tidak hanya diisi oleh staf admi-nistrasi, agar pemerintah desa dapat berkon-sultasi kepada kecamatan. Dalam perencana-an pembperencana-angunperencana-an dperencana-an pengperencana-anggarperencana-an yperencana-ang ha-sil akhirnya tertuang dalam RPJMDes, RKP-Des, dan APBRKP-Des, aparat desa tidak cukup hanya paham mengenai teknis mekanisme pelaksanaannya, melainkan juga mampu un-tuk melakukannya secara berkeadilan dan demokratis, yakni disusun dengan benar-be-nar memperhatikan kebutuhan aktual ma-syarakat dan melibatkan partisipasi otentik (bukan partisipasi semu dan mobilisasi) dari masyarakat desa seluas-luasnya. Dengan de-mikian, pembelanjaan desa dapat diaranse-men agar mampu diaranse-meningkatkan kesejahtera-an, kemandirikesejahtera-an, dan keberdayaan masyara-kat desa. Untuk mencapai ini, peningmasyara-katan kapasitas hanya akan melahirkan keahlian teknis yang mekanis jika tidak diiringi dengan perubahan kesadaran. Diperlukan peningkatan kesadaran agar kepala desa dan aparat benar-benar memahami bahwa dana desa adalah amanah besar yang harus diper-tanggungjawabkan secara akuntabel, bukan-nya hadiah yang dapat digunakan secara be-bas oleh elite desa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, dan Artikel

Agusta, )vanovich, , Kritik Paradigma PNPM Mandiri (Critique on Paradigm of PNPM Mandiri , dalam

http://iagusta.blogspot.com/200 8/11/kritik-paradigma-pnpm-mandiri-critique.html, diakses 10 Juli 2015.

_______________, a, Memandirikan Keuangan Desa , Kompas, April, hal. 7.

_______________, b, Membalik Pendamping Desa , Kompas, 4 Mei, hal. 7. Carroll, Toby, , Pembangunan Sosial

sebagai Kuda Troya Neoliberal , Prisma, Vol. 29, No. 3, hal. 84-101. Eko, Sutoro, , Pendampingan Desa ,

Kompas, 2 Juli 2015, hal. 7. (asani, )smail, , Mantra Membangun

Desa , Kompas, 22 April, hal. 7. (useini, Martani, , Saemaul Undong ,

Semua Berawal dari Desa , Koran Sindo, 25 Juni 2015, hal. 7. Jaweng, Robert Endi, , Setahun UU

Desa , Kompas, Februari, hal. 6.

Muhammad, Farouk, , Menjaga Momentum UU Desa , Kompas, 3 Juli, hal. 6.

Padjung, Rusnadi, , Khawatir Dana Desa Dikorupsi , Kompas, Juli, hal. 7.

Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015, Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca-UU No. 6 Tahun , Jakarta: Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN. Sjaf, Sofyan, , Menjawab Kekhawatiran

Dana Desa , Kompas, Juni, hal. 7.

Sukasmanto, , Potensi Penyalahgunaan Dana Desa dan Rekomendasi . Disampaikan dalam 4th Indonesia Anti-Corruption Forum, Jakarta, 10-12 Juni 2014.

Zelizer, Viviana A., 1994, The Social Meaning of Money, Princeton: Princeton University Press.

Undang-undang dan Peraturan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.

(16)

Potensi Permasalahan dan Solusi Nomor 3 Tahun 2015 tentang

Pendampingan Desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Peraturan Menteri Keuangan Republik

Indonesia Nomor 241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Bela-nja Negara.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksa-naan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 165 Tahun 2014 tentang

Penataan Tugas dan Fungsi Kabi-net Kerja.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri. Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmi-grasi.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Berita

Dana Besar Akan Banjiri Desa , Kompas, Februari 2015, hal. 5.

Pendulum Anggaran Mulai ke Daerah , Kompas, 15 Agustus 2015, hal. 1. Persyaratan (ambat Pencairan , Kompas,

Juli 2015, hal. 5.

Tantangan di Balik Janji Manis , Kompas, 3 Juli 2015, hal. 5.

Laman Website

http://www.koran-sindo.com/read/964587/149/sal ah-kelola-dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-1423968895, diakses 9 Juli 2015.

http://www.koran-sindo.com/read/964858/149/da

na-desa-picu-tingginya-pemekaran-1424055604, diakses 9 Juli 2015.

http://www.koran-sindo.com/read/1005329/149/p enyerapan-dana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180, diakses 10 Juli 2015.

http://www.koran-sindo.com/read/1012635/149/b pk-akan-audit-anggaran-desa-1434331148, diakses 10 Juli 2015.

http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_J okowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015.

http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran- pers/2731-kpk-temukan-14- potensi-persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7 Juli 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memastikan pelanggan percaya dan puas hati dengan hasil kerja kami.Kami menawarkan jaminan selama sebulan daripada tarikh kereta itu di servis , jika berlaku keroskkan yang

Kajian Ini akan melihat persepsl pelajar yang belajar di sekolah menengah luar bandar berkaitan dengan motivasl dan kebimbangan pelajar terhadap pencapaian dalam ujian dan

material, jika logika formal berbicara konsistensi premis-premis dan kesimpulan, maka logika material berbicara tentang kebenaran premis dengan fakta yang ada. Secara

Berdasarkan hasil penelitian maka peneliti berpendapat, bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan teknik menyusui pada ibu primipara, ku-

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh investasi, Tenaga Kerja, dan tingkat Pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di provinsi Jawa

Sedangkan pada kasus komunitas petani pesisir, pola adaptasi yang dikembangkan guna mengatasi masalah kerawanan pangan cenderung bersifat jangka pendek (coping mechanism) terutama

Teori ini dikenal juga dengan teori peluru, bila komunikator dalam hal ini media massa menembakan peluru yakni pesan kepada khalayak, dengan mudah khalayak

Tugas akhir ini diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.. Penulis menyadari tugas akhir ini masih jauh