• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN STRATEGI PEMBIAYAAN KAPAL GUNA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIJAKAN STRATEGI PEMBIAYAAN KAPAL GUNA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Daftar Isi

Daftar Isi ... 1

1. Pendahuluan: Definisi Permasalahan (Isssue Definition) ... 2

2. Latar Belakang ... 4

2.1 Kebutuhan Armada Laut Nasional di Masa Mendatang ... 4

2.2 Kapabilitas Perusahaan Pembiayaan Kapal terhadap Pelayaran ... 4

2.3 Regulator dan Regulasi ... 5

2.4 Aktor dan Kepentingan Disekitar Industri Pelayaran ... 6

3. Konflik dan Persolan Utama (Conflicts And Key Concerns) ... 6

3.1 Hambatan Dalam Mengunakan Kapal Sebagai Jaminan Hutang (Hipotek Kapal) ... 6

4. Alternatif Kebijakan yang diusulkan (Alternative Proposed Policies) ... 7

4.1 Ratifikasi Konvensi “Arrest of Ship” tahun 1999 ... 7

4.2 Pemberdayaan Lembaga Pembiayaan Pemerintah ... 10

5. Rekomendasi: Kebijakan Strategi Pembiayaan Kapal ... 11

(2)

1.

Pendahuluan: Definisi Permasalahan (

Isssue Definition

)

Pemberdayaan perusahaan pelayaran nasional sudah dilakukan pemerintah melalui berbagai

usaha antara lain berupa deregulasi di bidang angkutan laut dengan menerbitkan Keputusan

Menteri Perhubungan Nomor KM. 14 Tahun 1996 tentang Penyederhanaan Tata Cara

Pengadaan dan Pendaftaran Kapal. Keputusan ini dimaksudkan untuk memberikan

kemudahan kepada perusahaan pelayaran nasional membeli kapal dari luar negeri baik

bangunan baru maupun bekas berbendera asing. Namun setelah sepuluh tahun berjalan,

perusahaan pelayaran nasional masih tetap belum bisa bangkit dan menjadi tuan rumah di

negeri sendiri. Sebab tanpa didukung permodalan yang kuat tetap saja tidak bisa memiliki

kapal sendiri sebagai alat usaha utama walaupun sudah diberikan kemudahan dalam tata cara

pengadaan kapal. Permasalahan pokok yang dihadapi oleh dunia usaha pelayaran adalah

kesulitan untuk memperoleh dana untuk pembiayaan kapal (ship financing).

Memang sejak 2005, pasca pemberlakuan Instruksi Presiden (Inpres) No 5 Tahun 2005

Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, dunia pelayaran memang menggeliat.

Dengan Inpres No 5 Tahun 2005 asas cabotage kembali direvitalisasi yang kemudian secara

formal diadopsi oleh UU No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Telah diratifikasi pula

International Convention on Maritime Liens and Mortgage (Konvensi International tentang

Piutang Maritim dan Mortgage, 1993) melalui Peraturan Presiden No. 44 tahun 2005. Namun

masih ada yang belum terselesaikan yakni mengenai Konvensi Asas Penahanan Kapal atau

Internationaal Convention on Arrest of Ships, 1999 yang belum diratifikasi. Apabila aturan

main yang terakhir bisa diratifikasi oleh Indonesia, maka lengkaplah sudah aspek legal

pembiayaan kapal di Tanah Air. Kalangan perbankan, termasuk lembaga pembiayaan, tidak

perlu khawatir lagi dalam memberikan kredit kepada perusahaan pelayaran. Dan, berhenti

menganggap industri ini berisiko tinggi. (Rusdi, 2011)

Perusahaan pelayaran atau usaha angkutan laut merupakan bidang usaha yang membutuhkan

modal besar (padat modal). Usaha ini membutuhkan kapal sebagai alat usaha utama dan

sumber daya manusia dibidang maritim yang memenuhi standar kompetensi baik nasional

maupun internasional terutama tenaga pelaut. Untuk memenuhi kebutuhan ini perlu modal

besar agar kelangsungan usaha tetap terjamin. Masalah permodalan inilah yang membuat

(3)

berjalan terpaksa mencarter kapal milik asing dan berbendera asing. Sehingga akhirnya

pangsa pasar angkutan dalam negeri dikuasai oleh kapal berbendera asing.

Saat ini lembaga pembiayaan dari luar negeri banyak yang menawarkan pembiayaan

pengadaan kapal berbendera Indonesia dengan bunga rendah, padahal lembaga keuangan di

dalam negeri masih mengenakan bunga tinggi. Perbankan atau lembaga pembiayaan di luar

negeri seperti Caterpillar Service di Singapura siap mengucurkan kredit pengadaan kapal

dengan bunga 6% kepada pelayaran nasional, jauh dibawah bunga bank dalam negeri sebesar

13% --16 %. (Tularji, Ratifikasi Asas Penahanan Kapal Terkatung-katung, 2010)

Retifikasi arrest of ship merupakan kelanjutan dari ratifikasi konvensi internasional tentang

hipotek atas kapal (mortgage law). Arrest of ship merupakan ketentuan internasional tentang

penahanan kapal yang disepakati dalam konvensi internasional pada 1999. Yang berarti

Ketentuan ini memberikan kewenangan kepada lembaga pembiayaan atau perbankan

melakukan penahanan kapal milik debitur yang melanggar ketentuan atau wanprestasi dalam

melaksanakan kewajiban kepada kreditur. Sebenarnya lembaga pembiayaan dalam negeri

maupun asing sudah mulai berminat untuk membiayai sektor pelayaran. Permasalahaan saat

ini sebagian operator masih kesulitan mendapatkan kontrak sewa kapal untuk jangka panjang

yang menjadi salah satu persyaratan untuk mendapatkan pembiayaan dari bank. Melalui

langkah pemerintah mempercepat ratifikasi arrest of ship dan dibarengi dengan upaya

membantu operator mendapatkan kontrak jangka panjang karena hal itu merupakan

permintaan dari perbankan.

Sumber untuk memperoleh modal yang besar adalah dari bank atau lembaga keuangan non

bank berupa kredit untuk modal kerja atau investasi. Setiap pemberian kredit apalagi dalam

jumlah yang besar tentu harus dengan jaminan yang seimbang dari debitur. Dalam

perusahaan pelayaran, asset yang bernilai dan dapat dijadikan jaminan adalah kapal. Kredit

yang diperoleh untuk membeli kapal, diharapkan dapat dijamin dengan kapal itu sendiri

dengan cara pembebanan hipotek atas kapal. Sementara ini pihak bank atau lembaga

keuangan non bank dengan berbagai alasan masih enggan menerima kalau hanya kapal

sebagai jaminan, mereka masih meminta jaminan tambahan. Hal ini sulit dipenuhi oleh

(4)

2.

Latar Belakang

2.1 Kebutuhan Armada Laut Nasional di Masa Mendatang

Pemerintah Jepang telah menggelontorkan pinjaman untuk pemberdayaan industri maritim

nasional senilai 400 juta dolar AS. Nomun komitmen ini terganjal birokasi dalam negeri yang

masih belum memutuskan siapa yang akan bertindak sebagai penyalur dan penerima alias

debitur dana tersebut.

Berdasarkan data Indonesian National Shipowners’ Association (INSA), bisnis pelayaran

nasional butuh sekitar 2.7 hingga 3.38 miliar dolar AS untuk pengadaan kapal baru/bekas

dalam beberapa tahun ke depan. Dalam 10 tahun ke depan, kebutuhan kapal baru di Indonesia

meningkat tajam. Diperkirakan ada 5.000 unit kapal yang harus disediakan selama periode

tersebut, baik baru maupun bekas.

Pengadaan kapal ke depan diarahkan untuk menggantikan kapal yang kini sudah berusia tua

serta menambah ruang kapal dalam rangka mengantisipasi perkembangan muatan. Jumlah

kapal berusia tua hasil studi tentang kemungkinan pembiayaan kapal oleh pemerintah atau

study on public ship finance and shipping industry yang dilakukan Konsultan SRG dan SAP

pada Maret 2010 mencapai 521 unit.

Dalam studi tersebut, kapal berusia tua tercatat 521 unit dari total 1.076 kapal yang

dibutuhkan sedangkan untuk penambahan kapal dalam rangka mengantisipasi pertumbuhan

muatan sebanyak 555 unit. Maka dengan begitu tuntutan adanya peremajaan kapan akan

meningkatkan investasi yang dikeluarkan sehingga diperlukan dukungan pembiayaan kapal

dari pihak bank maupun non-bank guna memperlancar pelayaran nasional

2.2 Kapabilitas Perusahaan Pembiayaan Kapal terhadap Pelayaran

Perlu diketahui bahwa dalam bidang penyaluran kredit pembiayaan kapal selain Perbankan

terdapat lembaga non-bank yang didirikan sejak 1974 yakni PT Pengembangan Armada

Niaga Nasional atau disingkat atau disebut PT PANN. Perusahaan Plat merah yang didirikan

oleh pemerintah era kepemimpinan Presiden Soeharto ini merupakan alternatif lembaga

keuangan non-bank yang bergerak di bidang pembiayaan kapal(shipfinancing), dengan tujuan

(5)

Karena lembaga khusus untuk bisnis pelayaran, diharapkan suku bunga yang ditawarkan oleh

perusahaan ini kepada debiturnya kompetitif dibanding yang ditawarkan oleh bank. Salah

satu yang menjadi program PT PANN adalah proyek kapal kargo Caraka Jaya Niaga.

Namun, pada 1991, dengan alasan untuk membiayai berbagai jenis barang modal, PT PANN

mengubah namanya menjadi PT PANN Multi Finance. Kebijakan ini bertahan hingga 2004.

Selama tiga belas tahun perusahaan ini disebut-disebut terlibat dalam pembiayaan

pengembangan lapangan golf hingga industri penerbangan (IPTN). Hanya sedikit sekali dari

dana yang mereka miliki dialokasikan kepada bisnis pelayaran.

Pada 2004, dengan alasan bisnis pembiayaan niaga ternyata menguntungkan PT PANN

kembali fokus pada core business-nya sebagai perusahaan pembiayaan kapal. Hal ini

diperkuat dengan komitmen kredit perbankan kepada PT PANN. Salah satunya dari Bank

BRI. Sejak 2007, bank pelat merah ini telah memberikan kredit jutaan dolar AS kepada PT

PANN yang selanjutnya dikucurkan kepada perusahaan pelayaran.

Dari segi bisnis, adanya perubahan misi PT PANN tersebut merupakan hal yang terlihat

wajar. Namun demikian perlu adanya kritisi lebih lanjut karena publik masih akan

mempertimbangkan kapabilitas PT PANN. Terutama pada waktu pengerjaan proyek Caraka

Jaya III dimana perusahaan ini merupakan leading sector-nya. Pemerintah berpotensi merugi

AS$ 98,41 juta akibat 14 unit kapal eks-Caraka Jaya III, yang diimpor dari Jepang dan

Jerman 14 tahun lalu, terancam menjadi besi tua.

2.3 Regulator dan Regulasi

Hingga saat ini belum adanya perumusan kebijakan yang integral dan dilaksanakan secara

terkoordinasi telah menyebabkan bidang seperti pembiayaan kapal belum mampu

dimanfaatkan secara optimal. Suatu pendekatan dan upaya terpadu perlu diambil untuk

menilai kondisi hukum di bidang-bidang tersebut.

Sampai saat ini Pemerintah tampak sangat hati-hati dalam merampungkan proses ratifikasi

konvensi asas penahanan kapal dengan dalih supaya tidak menghambat perkembangan

industri pelayaran nasional. Dalam hal ini, Kementerian Perhubungan terus melakukan kajian

(6)

17/ 2008 tentang Pelayaran. Dalam hal ini yang menajadi regulator utama dalam mengontrol

peraturan yang berhubungan dengan pelayaran nasional dipegang Kementrian Perhubungan.

Dengan dibawahnya Ditjen Perhubungan Laut yang lasung mengawasi pelaksanaan dan

penerapan apabila telah berlaku kebijakan semisal adopsi regulasi internasional dari

Organisasi Maritim Internasional

2.4 Aktor dan Kepentingan Disekitar Industri Pelayaran

Pada umumnya, aktor dalam industri pelayaran dapat dikelompokkan menjadi yaitu Operator

(sebagian besar dipegang swasta), Regulator (Pemerintah), Pengguna Jasa (Shipper) dan

Lembaga Keuangan(Perbankan maupun non-bank). Tentunya masing-masing aktor memiliki

kepentingan yang berbeda-beda sesuai dengan nilai yang melekat pada karakter dasar mereka

terkait dengan industri pelayaran.

3.

Konflik dan Persolan Utama (

Conflicts And Key Concerns

)

3.1 Hambatan Dalam Mengunakan Kapal Sebagai Jaminan Hutang (Hipotek Kapal)

Pasal 1209 KUH Perdata mengatur bahwa hapusnya hipotek disebabkan karena (a) hapusnya

perikatan pokoknya; (b) pelepasan hipotek oleh si berpiutang; dan (c) karena penetapanhakim.

Hal ini berarti bahwa musnahnya kapal yang menjadi obyek hipotek tidak termasuk dalam

hal yang menyebabkan hapusnya hipotek. Oleh karena tidak ada pengaturan yang jelas

mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal laut yang menjadi obyek hipotek, hal tersebut

tentunya dikembalikan pada kesepakatan antara debitur dengan kreditur pada perjanjian

hipotek (sebagai perjanjian accesoir) atau perjanjian kredit (sebagai perjanjian pokok).

Apabila dalam perjanjian tersebut diatur mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal,

maka dapat pula diatur mengenai asuransi atas musnahnya kapal sebagai jaminan terhadap

pembayaran utang debitur. (Dr. Ramlan Ginting, 2008)

Bank dan lembaga keuangan non bank baik nasional maupun asing tidak tertarik untuk

memberi pinjaman kepada perusahaan pelayaran dengan jaminan kapal (Hipotek kapal)

karena :

1. Usaha pelayaran di Indonesia dianggap tidak fleksibel secara ekonomi.

(7)

3. Perusahaan Pelayaran sulit memenuhi equity debt ratio yang umumnya diisyaratkan dan

menyediakan kolateral tambahan.

4. Tingkat suku bunga yang relative sulit untuk dipenuhi oleh perusahaan pelayaran.

5. Eksekusi Hipotek sulit dilakukan karena kapal dapat berlayar melampui yuridiksi

Indonesia sehingga sulit dijangkau kalangan perbankan untuk memperoleh pelunasan dari

kapal yang dibebani hipotek

6. Peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai penahanan kapal (arrest of ship) baik

untuk sita jaminan maupun sita eksekusi yang tidak menunjang kepastian eksekusi hipotek.

7. Walaupun Grosse Akta Hipotek mempunyai kekuatan eksekutorial, namun dalam praktek

masih tetap memerlukan fiat eksekusi dari pengadilan negeri dan harus melalui proses

gugatan.

Kondisi ini menyebabkan perusahaan pelayaran nasional sulit untuk berkembang karena

untuk penambahan atau peremajaan armada kapalnya diperlukan dana yang besar, sementara

mereka tidak mampu menyediakan jaminan tambahan (kolateral) yang diminta oleh kreditur.

Sehingga hanya perusahaan pelayaran nasional yang besar saja yang dapat memperoleh

fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan non bank.

4.

Alternatif Kebijakan yang diusulkan (

Alternative Proposed Policies

)

4.1 Ratifikasi Konvensi Arrest of Ship tahun 1999

Untuk melengkapi Undang-Undang Hipotek kapal dan untuk memudahkan pelaksanaan

eksekusi atas kapal yang dihipotekan harus segera diselesaikan proses ratifikasi International

Convention on Arrest of Ship dan dilanjutkan dengan membuat Undang-Undang Penahanan

Kapal. Konvensi Penahanan Kapal mengandung 17 Pasal didalamnya. Pasal-pasal yang

terkandung merupakan pasal-pasal penting yang berpotensi dan berpengaruh bagi kegiatan

baik lembaga pembiayaan maupun industri maritim. Diluar dari pasal tersebut mengatur

tentang implementasi dan penerapannya.

Pasal-pasal yang termuat dalam Konvensi Penahanan Kapal memberikan jalan bagi lembaga

pembiayaan utuk bisa memberikan jaminan kepada pemilik kapal dengan bunga yang rendah

karena kapal sudah tidak sulit lagi untuk ditahan apabila terjadi gagal dalam membayar kredit

(8)

Dalam Pasal 1 mengenai Definisi Konvensi Penahan Kapal dijelaskan bahwa penahanan atau

pembatasan atas penghapusan kapal atas perintah Pengadilan bertujuan untuk mengamankan

Gugatan Maritim. Namun tidak termasuk penyitaan kapal dalam pelaksanaannya atau

penegakan dari instumen lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada gugatan lain

terhadap kapal karena kapal hanya dapat ditahan sehubungan dengan Gugatan Maritim saja.

Disini telah jelas adanya tindakan dan kuasa hukum yang kuat apabila terjadi gugatan

sehingga bisa digunakan dasar hukum lembaga pembiayaan untuk bisa memberikan pinjaman

kepada pemilik kapal, galangan maupun perusahaan pelayaran.

Sedangkan untuk peraturan yang membahas tentang Pembebasan Penahan Kapal terdapat

pada Pasal 4. Sebuah kapal harus dibebaskan ketika jaminan yang cukup telah dipenuhi

sesuai dengan kontrak perjanjian. Namun demikian, hal ini tidak dapat diterapkan dalam

kasus-kasus sengketa tentang kepemilikan kapal dan sengketa antara kepemilikan bersama

dari kapal yang menyangkut pekerjaan atau pendapatan kapal. Dalam kasus ini, Pengadilan

dapat mengizinkan orang yang memiliki kapal untuk melanjutkan perdagangan kapal, saat

orang tersebut menyediakan jaminan yang cukup, atau dapat menangani pengoperasian kapal

selama periode penahanan.

Kontrak perjanjian memiliki arti bahwa akan ada kesepakatan atau usulan penyelesaian yang

disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan tidak adanya perjanjian tersebut, Mahkamah

berwenang untuk menentukan sifat dan jumlah kontrak perjanjian. Meskipun demikian,

kondisi dan jumlah tersebut tidak akan melebihi nilai kapal yang ditahan. Setelah pihak yang

bertanggung jawab atas kapal telah memberikan jaminan yang cukup sesuai kontrak

perjanjian, orang tersebut dapat sewaktu-waktu melaporkan ke Pengadilan yang menetapkan

jumlah jaminannya supaya bisa dikurangi,dirubah , atau dibatalkan.

Berdasarkan peraturan tersebut pembebasan atas kapal yang telah ditahan hanya bisa

dilakukan apabila pihak penahan maupun dari keputusan Pengadilan sudah

memperbolehkannya. Dan jika Pengadilan menemukan sengketa atas nilai gugatan maka

penggugat harus bersedia untuk membayar semua biaya permintaan yang berhubungan

dengan penahan kapal. Oleh karenanya peraturan ini memberikan fleksibilitas kepada

peminjam kredit yang menjaminkan kapalnya apabila terjadi gagal membayar sehingga

kapalnya harus ditahan. Dan jika dia sudah siap membayar semua biaya yang diminta

(9)

Kemudian dalam Konvensi Penahan Kapal juga mengatur adanya Hak Penahanan Kembali

Dan Penahan Ganda yang termuat dalam Pasal 5. Pada dasarnya, kapal tidak dapat

ditahan sesudahnya untuk jaminan yang cukup yang diberikan oleh orang yang bertanggung

jawab untuk mengamankan Gugatan Maritim yang sama. Meskipun demikian, hal ini

tidak berlaku di beberapa situasi. Pertama, sifat atau jumlah jaminan tidak cukup,

atau kedua, orang yang telah bersedia meberikan jaminan tidak atau akan atau sulit

berhasil memenuhi kewajibannya, atau ketiga, kapal yang ditahan atau jaminan yang

diberikan bebas atas persetujuan dari Pemohon (orang yang mengajukan Guagatan Maritim)

dimana tindakannya atas dasar rasional, atau karena Pemohon tidak bisa mengambil

langkah-langkah yang rasional untuk mencegah pembebasan kapal. Dengan begitu sudah cukup jelas

apabila terjadi permasalahan dalam hal ini jaminan yang sudah disepakati antara lembaga

pembiayaan dan peminjam, maka lembaga pembiayaan tidak akan merasa khawatir dalam

memberikan kreditnya kepada peminjam untuk pendanaan kapal.

Selanjutnya Pada Pasal 6 Konvensi Penahan Kapal mengenai Perlindungan Pemilik

dan Demise Charterers dari Kapal yang Ditahan. Peratuaran Ini berlaku

sejak Konvensi Penahanan Kapal memberikan kewajiban bagi Pemohon, dimana (1) telah

salah atau tidak beralasan dalam melakukan penahanan, atau (2) meminta atau menyediakan

jaminan yang berlebihan, supaya memberikan jaminan untuk setiap kerugian atau

kerusakan yang timbul sebagai akibat penahanan. Jumlah jaminan tersebut

harus dikenakan dan ditentukan oleh Pengadilan yang mempersalahkan panahanan

tersebut. Pengadilan juga berwenang untuk menentukan jumlah kompensasi untuk kerugian

atau kerusakan yang muncul dari dua kondisi di atas. Jadi orang harus berhati-hati dalam

meneliti alasannya sewaktu akan melakukan Penahanan Kapal. Karena jika tidak maka

mereka harus memberikan ganti rugi atas penahan kapal yang dilakukan. Sehingga dalam hal

ini pihak seperti perusahaan pelayaran maupun galangan kapal akan merasa terlindungi dan

aman apabila terjadi kesalahan dalam penahan kapal oleh Penggugat atau Pemohon Gugatan

Maritim.

Untuk itu Pemerintah lndonesia perlu segera meratifikasi konversi tersebut. Mengingat

ketentuan-ketentuan Undang-undang No. 21/192 sebagian besar merupakan hukum publik

maka penjabaran lebih lanjut ketentuan konvensi-konvensi internasional yang dimaksudkan

di atas seyogianya dituangkan dalam undang-undang tersendiri, sehingga akan terdapat

(10)

khususnya dalam rangka pengembangan hukum privat maritim nasional, lebih-lebih

mengingat hukum privat maritim yang terdapat dalam KUHD sudah sangat ketinggalan

jaman.

4.2 Pemberdayaan Lembaga Pembiayaan Pemerintah

Penyerapan kredit untuk sektor perkapalan dan pelayaran masih sangat kecil dibandingkan

dengan sektor lain. Hal ini karena tidak ada transparansi dan komunikasi antara pelaku usaha

dengan perbankan. Akibatnya, bank belum terlalu terbuka untuk mengucurkan kreditnya ke

dalam sektor usaha yang satu ini. Sampai saat ini, porsi kredit untuk sektor perkapalan dan

pelayaran hanya sebesar 2% dari total pinjaman industri perbankan yang hingga akhir

Februari 2009 mencapai angka Rp1.334 triliun. Untuk sektor pelayaran sendiri hanya

mendapatkan kucuran kredit sebesar Rp 19,7 triliun. Tetapi sebenarnya angka tersebut cukup

besar karena jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, telah terjadi

kenaikan kucuran kredit sebesar 80%.

Dengan melihat peluang pinjaman Jepang senilai US$400 juta untuk program pemberdayaan

industri maritim nasional maka diperlukan lembaga penyalur kredit kepada operator

pelayaran maupun industri galangan indonesia. Selain bisa menyalurkan kredit dengan baik

tapi juga perlu memiliki ship management yang handal.

Lembaga Pembiayaan milik BUMN seperti PT PANN bisa menjadi alternatif lembaga

penyalur kredit untuk mendukung kelancaran pembiayaan kapal nasional. Dengan begitu

perusahaan plat merah tersbut memiliki kewenangan untuk menarik kapal dari debitur yang

mengalami gagal bayar sekaligus mengoperasikannya sendiri sehingga kapal tidak pernah

menganggur. Diharapkan dengan adanya audit persoalan sesungguhnya yang ada di dalam PT

PANN dan kaitannya dengan upaya BUMN itu turut serta dalam pemberdayaan pelayaran

dalam negeri dapat dipetakan dengan baik. Sehingga, wacana pendirian bank khusus maritim

yang digulirkan oleh sebagian kalangan pemerhati kemaritiman bisa diwujudkan dengan

cukup meng-upgrade PT PANN tanpa perlu membuat lembaga baru.

Mendirikan lembaga baru berarti mengeluarkan biaya modal baru, kantor baru dan merekrut

orang-orang baru. Terlepas dari persoalan yang meliputinya, harus diakui PT PANN

(11)

5.

Rekomendasi: Kebijakan Strategi Pembiayaan Kapal

Untuk menjadikan pelayaran sebagai leading sector dalam pembangunan, maka pendekatan

kebijakan yang dilakukan harus mempertimbangkan keterkaitan antar sektor ekonomi dalam

lingkup bidang pelayaran. Dalam hal perencanaan pembangunan serta implementasinya

dirasakan pentingnya peran koordinasi antar institusi pemerintah yang membidangi pelayaran

yakni Ditjen Perhubungan Laut agar dapat membantu dan melancarkan regulasi internasional

yang terkait dalam usaha pelayaran dalam mendukung perekonomian nasional dalam era

yang sangat kompetitif.

Dari dua alternatif tersebut yakni ratifikasi konvensi “arrest of ship” dan pemberdayaan

lembaga pembiayaan pemerintah bisa ditindaklanjuti dan diselesaikan sesegera mungkin.

Karena dua kebijakan tersebut bersifat mempengaruhi peraturan lain dan berdampak lasung

(12)

6.

Daftar Pustaka

Dr. Ramlan Ginting, S. L. (2008). TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN , 24-34.

Rusdi, S. (2011, Agustus 2011). Menyoal komitmen perusahaan pembiayaan kapal terhadap pelayaran. Dipetik Juni 2012, 13, dari ANTARANEWS.com:

http://www.antaranews.com/berita/1314280591/menyoal-komitmen-perusahaan-pembiayaan-kapal-terhadap-pelayaran

Tularji. (2010, 02 16). Ratifikasi Asas Penahanan Kapal Terkatung-katung. Dipetik 12 18, 2011, dari Portal Maritim Indonesia:

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan secara langsung mengenai mekalisme transfer debet cek dan bilyet giro melalui Sistem Nasional Bank Indonesia pada

Populasi dalam penelitian ini adalah konsumen Planet Swalayan yang memiliki kartu member (member card) sebanyak 258 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan incidental

Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai pengaruh dari ukuran roda terhadap jarak pengereman khususnya ukuran diameter dan

JSP (Java Server Pages) merupakan teknologi yang didasarkan pada bahasa java, yaitu dapat digunakan untuk membentuk halaman-halaman web yang bersifat

Hasil yang diperoleh pada penelitian yang bertujuan untuk memperoleh varietas buncis baru hasil penggabungan keunggulan sifat lokal dan introduksi berupa varietas berdaya

Peranan Notaris dalam pembuatan suatu akta Perjanjian bisnis adalah menerjemahkan transaksi bisnis yang hendak dilakukan oleh para pihak dan dapat mengakomodasikan

Pada tahap pekerjaan ini, jumlah blok yang telah direncanakan dalam desain penanaman disesuaikan dengan luas tapak yang telah diukur dan jumlah bibit yang tersedia..

Dari hasil analisis regresi linier berganda diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,001 dan uji parsial variabel Free cash flow diperoleh nilai t hitung sebesar