• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asuransi Kapal Laut Yang Dibebani Dengan (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Asuransi Kapal Laut Yang Dibebani Dengan (1)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1 1. Latar Belakang Masalah dan Rumusannya

Perkembangan dan pembangunan perekonomian di Indonesia dewasa ini dapat dikatakan sebagai bagian dari pembangunan nasional yang mana adalah suatu upaya untuk masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan perekonomian juga terlihat dari meluasnya bidang usaha diantara masyarakat, dengan semakin meluasnya bidang usaha, semakin banyaknya SDM (Sumber Daya Manusia) dan demi memelihara keseimbangan dan kelanjutan pembangunan, maka pelaku usaha baik itu pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum, sangat memerlukan dana dalam jumlah yang sangat besar.

Upaya pemenuhan kebutuhan dana yang sangat besar ini sangat didukung oleh kegiatan perkreditan, hadirnya dan terus berkembangnya kegiatan perkreditan ditengah maraknya bidang-bidang usaha yang sedang berkembang dewasa ini, menunjukkan bahwa kredit sebagai salah satu sumber pembiayaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam era pembangunan ini.

(2)

pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut.1 Maka sudah sepantasnya jika pemberi dan penerima kredit, serta pihak lain yang terkait dalam suatu kegiatan perkreditan mendapat perlindungan melalui suatu lembaga jaminan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak tersebut.

Salah satu bentuk kegiatan usaha di Indonesia yang juga tidak luput dari kegiatan perkreditan dan perlunya penjaminan, adalah kegiatan yang berhubungan dengan kapal, yaitu kegiatan pelayaran, tentu saja hal ini karena Indonesia merupakan Negara kepulauan. Republik Indonesia merupakan Negara maritime yang memiliki dua pertiga wilayah laut dibandingkan dengan seluruh daratan pulau atau tepatnya luas wilayah laut seluas 3.166,163 km2, sedangkan luas wilayah daratan pulau seluas 2.027.087 km2.2 Dengan kata lain, bahwa dua pertiga dari seluruh wilayah Indonesia merupakan wilayah lautan. Dengan fakta tersebut dapat diketahui bahwasanya dengan lebih banyaknya wilayah laut, maka pulau-pulau yang terbentang di wilayah Indonesia ini banyak terpisahkan oleh air, yaitu laut, selat atau samudra. Dengan jumlah penduduk yang sangat banyak dan terpisahnya pulau-pulau itu oleh air, maka hal inilah yang membuat sarana-sarana infrastruktur seperti sistem transportasi, terutama transportasi laut mempunyai peranan yang sangat vital dan penting. Pelayaran merupakan tatanan transportasi laut yang mempunyai karakteristik sebagai penghubung wilayah baik antara

1 Sri Soedewi Sofyan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,Liberty Offset, Yogyakarta, 1980, h. 1

(3)

daerah satu dengan daerah yang lainnya maupun Negara satu dengan Negara yang lainnya dalam lalu lintas perdagangan internasional.

Dengan fakta seperti ini, dalam menanggapi kebutuhan yang berkembang di masyarakat, pemerintah tidak tinggal diam, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, dan dalam hal perkreditan ini, yang menjadi perhatian serius adalah lembaga jaminan.

Fungsi jaminan sebenarnya merupakan suatu sarana perlindungan hukum bagi pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian jaminan, antara lain debitor / kreditor, dengan memberikan suatu kepastian bahwa tidak akan ada pihak yang wanprestasi. Jaminan yang diharapkan adalah jaminan yang berdaya guna, yaitu jaminan yang memberikan kepastian kepada kreditor (pemberi dana), agar mudah mendapatkan pelunasan hutang untuknya, apabila debitor cidera janji. Pada prinsipnya obyek jaminan yang baik harus mempunyai ketentuan sebagai berikut : 1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang

memerlukannya.

2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya.

3. Memberikan kepastian kepada si kreditor, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit. 3

(4)

Sesuai namanya, yaitu jaminan, maka dibutuhkan adanya suatu benda yang akan dijaminkan demi mendapatkan dana dari penjamin (kreditor). Pada waktu permulaan Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku, memang lembaga jaminan gadai dan hipotek sudah cukup memenuhi kebutuhan praktik penjaminan. 4, hal ini berlangsung cukup lama, hingga akhirnya kebutuhan akan adanya lembaga jaminan, yang mana dapat dibebankan tanpa adanya penguasaan atas obyek jaminan oleh penjamin (kreditor), sangat besar dirasakan oleh para pelaku usaha yang membutuhkan modal yang lebih untuk kelangsungan usahanya, namun tidak mempunyai benda lain yang dapat dijadikan sebagai obyek jaminan, kecuali benda yang digunakan dalam kegiatan usahanya tersebut. Kapal laut yang menjadi pembahasan dalam tesis ini, tentunya para pelaku usahanya juga memerlukan dana yang besar, dan dengan didampinginya kegiatan perkreditan dengan penjaminan gadai, maka para pelaku usaha yang sesungguhnya hanya mempunyai kapal sebagai benda yang dapat dijaminkan, maka usahanya akan terhenti bila kapal tersebut dijaminkan demi keluarnya dana dari kreditor, karena memang dengan gadai, benda ada dalam penguasaan kreditor.

Namun masalah ini teratasi dengan hadirnya hipotek, dalam Pasal 1162 BW, hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan bagi suatu perikatan. Konstruksi hukum ini mengacu pada pembebanan pada benda tidak bergerak. Benda tidak bergerak tidak hanya atas kapal laut yang berukuran 20 m3, tetapi juga pada pembebanan atas tanah, namun hipotek atas tanah kini tidak berlaku

(5)

lagi karena Buku II BW yang berkaitan dengan hipotek atas tanah telah dicabut dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Hak Tanggungan. Perjanjian hipotek ini merupakan bentuk jaminan khusus, yaitu timbul karena adanya perjanjian khusus dan melekat pada benda yang ditunjuk secara khusus oleh kreditor dan debitor. Maksudnya perjanjian yang diikuti perjanjian tersendiri yang merupakan tambahan (accessoir) yang dikaitkan dengan perjanjian pokok tersebut. 5 Ini berarti kalau pihak yang bersangkutan tidak memenuhi kewajiban perikatannya, maka secara paksa, hukum dapat menyuruh jual lelang benda-benda milik orang tersebut guna mengganti pelunasan kewajiban perikatan yang dilalaikan itu.6 Oleh karena tidak ada perpindahan secara nyata kekuasaan atas benda, maka akta jaminan hipotek dan dokumen-dokumen pelengkapnya seperti sertifikat jaminan, dapat dijadikan bukti telah terbentuknya suatu kesepakatan. Untuk itu pihak debitor hipotek harus dinyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa ia adalah orang yang bertindak bebas atas benda yang di hipotekkan, serta benda itu bebas dari segala beban.

Jaminan yang diharapkan adalah jaminan yang berdaya guna, seperti yang telah dijelaskan diatas, maka begitu juga dengan kapal laut. Lembaga jaminan hipotek dikhususkan kepada kapal laut yang terdaftar, isi kotor sekurang-kurangnya 20m3, dan dengan berat kotor diatas GT 7 (Grosse Tonnage) yang mana dengan ini dinyatakan sebagai benda tidak bergerak. Kapal laut mempunyai beberapa aspek hukum yang cukup beragam misalnya saja pendaftaran, asuransi,

5 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit., h. 37

(6)

kepemilikan, cara menjaminkannya, dan sebagainya, juga kapal laut mempunyai nilai ekonomis yang besar karena dapat dipergunakan untuk mendukung pengembangan armada pelayaran. Pengembangan armada pelayaran yang sifatnya membutuhkan banyak dana, dan pembiayaan yang dilakukan dengan berjangka serta membutuhkan dana investasi yang juga cukup besar itu dapat memperoleh pengadaan dana dengan jalan memperoleh jaminan kredit atau loan yang dibutuhkan, dari lembaga keuangan bank maupun nonbank yang ada diluar negeri, yang mana tentu saja kapal laut tersebut harus dijadikan agunan atau jaminan dari pinjaman tersebut.

Dengan memahami karakter bagaimana kapal bekerja, diatas perairan, bukan merupakan hal yang tidak mungkin akan terjadinya suatu peristiwa yang tidak terduga, seperti hanyutnya kapal, tenggelamnya kapal, terbakarnya kapal, rusak beratnya kapal, dan peristiwa tak terduga lainnya yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan nilai ekonomis dari kapal tersebut, dan pastinya hal ini dapat menimbulkan kerugian pada pihak kreditor. Seperti hal nya pada saat penulisan tesis ini sedang berlangsung, di Negara Indonesia ini telah terjadi peristiwa tak tertuga yang memilih kapal laut sebagai mangsanya, ada yang memakan korban, ada pula yang tidak memakan korban jiwa, kecelakaan kapal tersebut antara lain :

(7)

2. Pada 21 September 2011, Kapal Motor Sri Murah Rezeki tenggelam di perairan Nusa Lembongan, Klungkung, Bali, dan menyebabkan 14 orang tewas.

3. 24 September 2011, Kapal Motor Tunggal Putri tenggelam di perairan Pulau Raas, Kepulauan Kangean, Sumenep, Madura, dan menyebabkan 13 orang tewas.

4. 26 September 2011, Kapal Motor Marina Nusantara tenggelam di perairan Pulau Kadap, perairan Barito, Kalimantan Selatan.

5. 28 September 2011, Kapal Motor Kirana IX terbakar di Pelabuhan Tanjung Perak, kapal tersebut terbakar, dan akibatnya sebanyak 8 penumpang tewas terinjak-injak di tengah kepanikan. 7

Untuk mencegah terjadinya kerugian yang besar, kerapkali para pelaku bisnis membebankan asuransi pada obyek jaminan, yang mana disepakati dan dicantumkan dalam bentuk awal berupa janji-janji yang tertuang dalam dokumen penjaminan kapal laut.

Hukum jaminan dengan segala perkembangannya, melahirkan beberapa keistimewaan yang mana juga bersumber pada BW, salah satunya adalah kreditor privilege, yang mana juga merupakan suatu keistimewaan seperti halnya hak kebendaan dalam hal hukum jaminan ini. Dalam hukum jaminan, diantara orang-orang yang berpiutang yang diberi keistimewaan, tingkatannya diatur menurut berbagai-bagai sifatnya hak-hak istimewa. Semakin berkembangnya hal ini, semakin menimbulkan kenyamanan dan rasa percaya yang lebih bagi para pelaku

(8)

bisnis dalam mencari dana segar untuk kegiatan bisnisnya melalui penjaminan, namun bukanlah hal yang tidak mungkin bahwa dari beberapa hak yang lahir tersebut dapat berbenturan. Termasuk dalam penyelesaian sengketa dan imbasnya pada pembagian santunan dalam hal pelunasan hutang.

Berdasarkan dari apa yang telah diuraikan tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang dikaji dalam tesis ini adalah :

a. Bagaimana implikasi janji-janji yang tertuang dalam perjanjian jaminan hipotek kapal laut?

b. Apabila kapal laut musnah karena force majeure, bagaimana kedudukan pemegang hipotek kapal laut atas santunan yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi?

2. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisa lebih lanjut mengenai adanya pencantuman janji-janji yang tertuang dalam SKMH (Surat Kuasa Memasang Hipotek), maupun dalam surat penjaminan hipotek, yang nantinya juga dapat mengikat pihak ketiga

(9)

3. Manfaat Penelitian

a. Adapun manfaat penelitian ini adalah agar dapat menambah bahan kepustakaan hukum tentang hipotek di Indonesia, serta dapat melengkapi hasil penelitian yang telah dilakukan oleh pihak lain dalam bidang yang sama.

b. Untuk lebih mendalami mengenai hipotek kapal laut, khususnya perlindungan hukum para pihak dan pembebanan kapal laut sebagai obyek hipotek. Serta dapat dijadikan sumbangan pikiran bagi mereka yang ingin mendalami hipotek sebagai lembaga penjaminan dalam hukum jaminan di Indonesia.

4. Kajian Pustaka

Definisi kapal menurut Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di laut atau yang diperuntukkan untuk itu, sedangkan pengertian kapal dalam Pasal 1 angka (36) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (selanjutnya disebut UU Pelayaran), kapal adalah :

Kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energy lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah

Inti definisi kapal dalam definisi ini adalah bahwa kapal merupakan kendaraan air dengan bentuk dan jenis apa pun. Kendaraan air dapat digerakkan dengan :

1. Tenaga mekanik;

(10)

4. Kendaraan dibawah permukaan laut; dan 5. Alat apung dan bangunan terapung; 8

Berdasarkan Pasal 309 ayat 1 WvK, tercantum juga definisi kapal yaitu semua perahu dengan nama apapun dan dari macam apapun. Sedangkan menurut Pasal 310 WvK, dijabarkan definisi kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di laut atau yang diperuntukkan untuk itu. Vollmar berpendapat bahwa “alat yang berlayar adalah tiap benda yang dapat berlayar (yang dapat berpindah atau dapat dipindahkan di atas air) atau benda itu diperuntukkan untuk kegiatan berlayar.”

Sedangkan menurut Dorhout Mess, dikemukakan olehnya bahwa :

kapal adalah segala sesuatu yang dapat berlayar, mempunyai pengertian luas disatu pihak karena meliputi apa yang terapung, tetapi dilain pihak mempunyai arti sempit karena kapal yang sedang dibangun dan dibeli dan dapat berlayar dianggap sebagai kapal. 9

Dalam pengertian “alat berlayar atau kapal” tersebut, unsur “dapat berlayar” bukanlah merupakan unsur yang mutlak, sebab ada benda-benda tertentu yang tidak diperuntukkan bagi pelayaran, akan tetapi digolongkan sebagai alat berlayar seperti misalnya perahu tempat tinggal, kapal karam, mesin penggeruk lumpur, alat pengangkut terapung, dok apung, mesin penyedot pasir, jembatan perahu, dan sebagainya. Mengenai hal ini, H.M.N Purwosutjipto berpendapat bahwa “Hal ini didasarkan pemikiran para pembentuk Undang-Undang negeri Belanda yang

8 H. Salim HS, OP. Cit.,h. 196

(11)

berpendapat bahwa semua benda, yang dapat berlayar atau bergerak dilaut, bagaimanapun disusun dan tak peduli tentang keperuntukannya.” 10

Disebutkan dalam Pasal 155 ayat 3 UU Pelayaran, bahwa sebelum digunakan dalam suatu pelayaran, setiap kapal laut wajib diukur untuk diterbitkannya surat ukur untuk kapal laut dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya GT 7 (7

Grosse Tonnage). Mengenai pengukuran tersebut, dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 158 ayat 1 Undang-Undang Pelayaran, bahwa kapal laut yang telah diukur itu dapat didaftarkan di Indonesia kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat balik Nama Kapal yang ditetapkan oleh menteri. Kapal laut yang dapat didaftar di Indonesia berdasarkan Pasal 158 ayat 2 Undang-Undang Pelayaran adalah :

a. Kapal dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya GT 7 (Tujuh Grosse Tonnage);

b. Dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

c. Kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia;

Pendaftaran kapal tersebut dilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia, dan kemudian sebagai bukti kapal telah didaftar, pemilik diberikan surat tanda pendaftaran yang berfungsi pula sebagai bukti hak milik kapal yang didaftar dan pada kapal yang telah didaftar wajib dipasang tanda bukti pendaftaran, sebagaimana terlah dijelaskan dalam Pasal 158 ayat 3, 4, 5 Undang-Undang Pelayaran.

Dalam hal kapal laut sebagai benda jaminan, Moch. Isnaeni dalam bukunya menegaskan bahwa “kapal-kapal yang telah terdaftar dan akan dijadikan agunan, oleh Pasal 314 ayat 4 WvK dinyatakan dengan tegas tidak dapat dibebani

(12)

dengan gadai, dan Pasal 1977 BW tidak dapat berlaku padanya.” 11 Pasal 314 WvK (KUHD) menegaskan bahwa kapal Indonesia yang dapat dibukukan dan telah didaftar dalam register kapal menurut peraturan yang berlaku, yang mana dalam hal ini adalah Pasal 158 Undang-Undang Pelayaran, apabila dijadikan agunan, maka lembaga jaminan hipotek yang dipergunakan, dapat dibebani hipotek dan menjadi obyek hipotek.

Istilah hipotek berasal dari hukum Romawi yaitu hypoteca (dalam hukum Belanda terjemahannya adalah onderzetting) yang artinya adalah penjaminan atau pembebanan. Gadai dan hipotek timbul melalui perjanjian yang dilakukan oleh para pihak dan merupakan lembaga jaminan kebendaan yang keberadaannya masing-masing diatur dalam Buku II Bab ke XX Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 dan bab XXI Pasal 1162 BW sampai dengan Pasal 1232 BW. Dalam Pasal 1162 BW tercantum pengertian hipotek, yaitu hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya begi pelunasan suatu perikatan.

Batasan akan obyek hipotek juga dijabarkan dalam Pasal 29 Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa hipotek dan crediet verband sepanjang menyangkut benda tanah dan segala sesuatu yang melekat dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Keberadaan hipotek sendiri tetap eksis dengan obyeknya yaitu benda tidak bergerak yang tidak menyangkut benda tanah, dan benda-benda yang terkait dengan tanah, contoh pesawat terbang, helicopter dan kapal laut, kapal laut sesuai dengan pengaturan di Pasal 314 KUHD. Kapal laut

(13)

sebagai benda tidak bergerak dengan isi kotor sekurang-kurangnya 20 m3, dapat dijadikan obyek hipotek. 12 Hal ini juga diungkapkan oleh Moch. Isnaeni dalam bukunya :

Sesuai kewenangan yang dimiliki oleh pembentuk Undang-Undang, maka ditetapkanlah bahwa kapal dengan bobot kotor tidak kurang dari 20m3, kalau dijadikan agunan, lembaga hipotek yang digunakan. Seluk beluk jaminan kapal ini dalam KUHD (Wetboek van Koophandel yang masih berlaku atas dasar Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, untuk selanjutnya disebut WvK) diatur mulai Pasal 314 sampai dengan 315e. 13

dan dalam KUHD, diatur bahwa kapal yang dibukukan dalam register kapal dapat diletakkan hipotek.14 Unsur-unsur yang tercantum dalam hipotek kapal adalah :

1. Adanya hak kebendaan

2. Objeknya adalah kapal yang beratnya diatas 20 m3 3. Kapal tersebut harus dibukukan

4. Diberikan dengan akta autentik 5. Menjamin tagihan hutang

Hipotek tidak bisa diletakkan selain oleh siapa yang berkuasa memindah tangankan benda yang dibebani, dan hipotek hanya dapat diletakkan pada benda-benda yang sudah ada, hipotek atas benda-benda-benda-benda yang akan ada dikemudian hari adalah batal.15 Beberapa sifat hipotek juga dijabarkan oleh Gunawan Widjaja dalam bukunya, yaitu :

12 Vide Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Perkapalan 13 Moch. Isnaeni, OP. Cit.,h.76.

(14)

1. Hipotek bersifat memaksa (absolute)

2. Hipotek dapat beralih atau dipindahtangankan 3. Hipotek bersifat individualitet

4. Hipotek bersifat menyeluruh (totaliteit)

5. Hipotek tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid)

6. Hipotek berjenjang (ada prioritas yang satu atas yang lainnya) 7. Hipotek harus diumumkan

8. Hipotek mengikuti bendanya (droit de suite) (Pasal 1136 ayat (2), Pasal 1198 BW)

9. Hipotek bersifat mendahulu (droit de preference) (Pasal 1132 BW)

10. Hipotek sebagai Jura In Re Alinea (yang terbatas) 16 Hipotek juga mempunyai cirri khas tersendiri, yaitu :

1. Accessoir, yaitu hipotek merupakan perjanjian tambahan yang

keberadaannya tergantung pada perjanjian pokoknya yaitu hutang-piutang.

2. Ondeelbaar, yaitu hipotek tidak dapat dibagi-bagi, karena hipotek terletak diatas seluruh benda yang menjadi obyeknya, artinya sebagian hak hipotik tidak menjadi hapus dengan di bayarnya sebagian hutang (Pasal 1163 ayat (1) BW)

3. Verhaalsrecht, yaitu mengandung hak untuk pelunasan hutang saja, jadi tidak mengandung hak untuk memiliki bendanya. Namun jika diperjanjikan, kreditor berhak menjual benda jaminan yang bersangkutan atas kekuasaan sendiri yaitu dengan parate eksekusi (eigenmachttigeverkoop) jikalau debitor lalai atau wanprestasi (Pasal 1178 ayat (1) dan (2) BW).

(15)

Melekat juga beberapa asas pada hipotek, antara lain Asas Publisitas (Openbaarheid), yang berarti bahwa pengikatan hipotek harus didaftarkan dalam register umum agar masyarakat khususnya pihak ketiga dapat mengetahuinya. Dan juga Asas Spesialitas, yaitu pengikatan hipotik hanya dapat dilakukan atas benda yang ditunjuk secara khusus.

Dengan memahami karakteristik dari pembebanan kapal laut sebagai obyek jaminan, yang mana berdasarkan ukuran adalah 20m3, Hadi Supriyono menjabarkan jenis kapal laut yang ditujukan sebagai kegiatan perniagaan, dan kerapkali dijadikan obyek jaminan hipotek, jenis-jenis kapal laut tersebut antara lain :

7. Kapal Peti Kemas (Container Ship) 8. Kapal Keruk 17

Dari penjabaran tersebut, Wartini Soegeng menambahkan mengenai jenis baru dari kapal barang (Cargo Vessel) yaitu :

Dinamakan Cargo-Vessel With Limited Accomodation For Passengers, bilamana sebuah kapal barang diberi ijin untuk mengangkat penumpang juga, namun dalam jumlah terbatas (12 orang). Keterbatasan disini 12 orang bukanlah kelas dek, namun kelas kamar, maka bilamana terdapat akomodasi untuk lebih dari 12 orang penumpang, sebuah kapal dikategorikan dalam

(16)

Jenis kapal ini kerapkali digunakan oleh masyarakat Indonesia dewasa ini, dalam kegiatan bisnis yang juga kerapkali dibebani dengan jaminan hipotek.

Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidestelling atau

security of law. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan mengemukakan bahwa hukum jaminan adalah :

Mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah, besar, dengan jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah.19

Menurut J.Satrio, diartikan bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap debitor. 20 Sementara Salim HS menarik kesimpulan dari kedua definisi diatas dengan “Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan dan penerima jaminan, dalam kaitannya dengan pemberian jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.” 21

Tempat pengaturan hukum jaminan dapat dibedakan menjadi dua tempat, yaitu ada dalam Buku II BW dan juga di luar Buku II BW. Ketentuan-ketentuan hukum yang masih erat hubungannya dengan hukum jaminan, yang masih berlaku dalam BW, antara lain adalah gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 BW), dan juga hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 BW). Sedangkan

19 Sri Soedewi Machsoen Sofwan, OP. Cit., h. 5

20 Satrio J, Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, (selanjutnya disebut J. Satrio II), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. h. 3

(17)

ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang terdapat di luar Buku II BW, terdapat dalam pengaturan sendiri yang mana dalam pengaturan tersebut secara otomatis juga menghapuskan pengaturan jaminan yang bersangkutan dalam BW, antara lain adalah :

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (UUPA) 2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (UUHT) 3. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fiducia (UUJF) 4. Undang-Undang No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

Terdapat perbedaan sistem pengaturan hukum jaminan dan hukum perjanjian, mengenai perbedaan ini, Salim HS mengemukakan

Yang diartikan dengan sistem tertutup adalah orang tidak dapat mengadakan hak-hak jaminan baru, selain yang telah ditetapkan Undang-Undang. Sedangkan sistem pengaturan hukum perjanjian adalah sistem terbuka. Sistem terbuka artinya bahwa orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apapun juga, baik yang sudah ada atturannya didalam BW maupun yang tidak tercantum didalam BW. Jenis perjanjian yang dikenal dalam BW adalah jenis nominaat dan innominaat (perjanjian yang tidak diatur dalam BW namun tetap dikenal dalam praktik. 22

Jaminan dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu (1) jaminan materiil (kebendaan), yaitu jaminan kebendaan, dan (2) adalah jaminan immateriil (perorangan), yaitu jaminan perorangan. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dalam bukunya mengemukakan pengertian dari kedua ini, yaitu :

Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat

(18)

dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap harta kekayaan debitor umumnya.23

Hak Jaminan perorangan diatur dalam Buku III BW, dan mempunyai obyek yaitu prestasi atau personal guarantee atau corporate guarantee dimana perjanjian ini akan melahirkan suatu hak yaitu hak persoonlijk yang sifatnya relatif, artinya bahwa hak itu hanya dapat ditegakkan khususnya kepada rekan sekontrak saja.

Sedangkan jaminan kebendaan adalah jaminan yang obyeknya benda yang mana benda ini milik debitor yang diikat secara khusus dan didaftar oleh pihak kreditor, dan akan menimbulkan hak kebendaan yang sifatnya mutlak (zakelijke

zekerheidsrechten), dan juga memberikan kedudukan preferen kepada para

kreditor pemegangnya sehingga hak kebendaan tersebut memiliki keunggulan-keunggulan bila dibandingkan dengan hak jaminan lainnya termasuk juga hak perorangan. Timbulnya hak kebendaan harus melalui perjanjian accessoir yaitu perjanjian tambahan dari perjanjian awalnya (induknya), dengan kata lain, harus diperjanjikan terlebih dulu mengenai benda yang akan dijaminkan secara khusus (Pasal 1132 BW). Ciri-ciri yang istimewa yang dimiliki oleh hak jaminan kebendaan yaitu

1. Bersifat mutlak

Hak itu dapat ditegakkan terhadap siapapun juga, termasuk rekan-rekan sekontrak atau pihak-pihak lain yang ikut terkait di kemudian hari

(19)

2. Droit de Suite

Hak tersebut akan tetap mengikuti (melekat) bendanya ke tangan siapapun benda itu berada. Jika benda tersebut berpindah tangan, maka yang bersangkutan juga wajib menghormati hak kebendaan tersebut. 3. Terdapat preferensi (Pasal 1132 BW)

Jika obyek jaminan telah laku dilelang, maka kreditor preferen harus didahulukan pelunasannya daripada piutang kreditor-kreditor lainnya (konkuren).

4. Mengandung asas prioritas

Hak kebendaan yang lahir terlebih dahulu akan didahulukan pelunasan piutangnya daripada hak kebendaan yang lahir belakangan, yang tentunya pelunasan piutangnya akan dibayar belakangan. Asas prioritas ini digunakan apabila terjadi benturan antara sama-sama pemegang hak kebendaan.

5. Mengandung asas separatis

Dalam hal terjadi kepailitan, pada umumnya, pemegang hak kebendaan terpisah dari kreditor konkuren lainnya. Serta pelaksanaan eksekusi benda jaminan dapat dilakukan secara langsung (parate eksekusi). 6. Terdapat gugat kebendaan (zakelijk actie)

(20)

Mengenai ciri hak kebendaan, Sri Soedewi Machsoen mengemukakan bahwa sekurangnya ditemukan 10 ciri hak kebendaan, antara lain :

1. Hukum kebendaan merupan hukum yang bersifat memaksa 2. Hak kebendaan dapat dipindah tangankan

3. Individualiteit

4. Totaliteit

5. Onsplitsbaarheid (asas tidak dapat dipisahkan) 6. Prioriteit

7. Asas Vermenging (percampuran) 8. Asas Publicitiet

9. Asas perlakuan yang berbeda atas kebendaan bergerak dan kebendaan tidak bergerak

10. Adanya sifat perjanjian dalam setiap pengadaan atau pembentukan hak kebendaan.24

Dalam hukum jaminan, diantara hak-hak yang mempunyai keunggulan, diantaranya juga terdapat hak privilege, hak ini juga dinamakan sebagai hak istimewa, hak privilege ini berdasar pada Pasal 1139 dan 1149 BW, dimana terdapat dua macam dari hak ini, yaitu :

1. Privilege Khusus (Pasal 1139 BW)

Hak didahulukan terhadap benda tertentu milik debitor (9 macam) 2. Privilege Umum (Pasal 1149 BW)

Hak didahulukan terhadap semua harta benda milik debitor (7 macam)

Seperti halnya hak kebendaan, hak privilege ini merupakan hak yang memberikan jaminan untuk didahulukan (preference), meski mempunyai sifat yang mirip dengan hak kebendaan, namun bukanlah merupakan hak kebendaan, dan bukanlah hal yang tidak mungkin untuk adanya benturan dengan hak kebendaan atau hak lainnya. Pengaturan privilege ini juga tertuang dalam Pasal 316 jo. 318 KUHD.

(21)

Kreditor privilege ini juga dapat mendapatkan preferensinya bila diminta, hal ini berdasar pada Pasal 1209 BW, yaitu terjadi pada saat berakhirnya hipotek.

Peristiwa tak terduga (force majeure) adalah keadaan dimana seorang debitor terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitor, sementara si debitor tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk, dan acapkali peristiwa yang merupakan force majeure tersebut tidak termasuk kedalam asumsi dasar (basic assumption) para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Hal ini sungguh merupakan suatu penghalang terciptanya hubungan baik kreditor dan debitor, dan tentunya juga berimbas pada pemenuhan prestasi pada perjanjian hipotek yang bersangkutan.

Keadaan memaksa secara fragmentis tertuang dalam BW, namun demikian BW tidak merumuskan batasan keadaan memaksa ini. 25 Suryodiningrat memberian batasan sebagai berikut :

Keadaan memaksa ialah peristiwa yangn terjadi diluar kesalahan debitor setelah dibuat perikatan yang debitor tidak dapat memperhitungkannya terlebih dahulu pada saat dibuatnya perikatan, atau sepatut-patutnya tidak dapat memperhitungkannya, dan yang merintangi pelaksanaan perikatan.26 Serupa dengan Agus Yudha Hernoko yang memberikan batasan sebagai berikut :

Dapat disimpulkan merupakan peristiwa yang tidak terduga yang terjadi diluar kesalahan debitor setelah penutupan kontrak yang menghalangi debitor untuk memenuhi prestasinya, sebelum ia dinyatakan lalai dan

25 R.M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1991. h. 31.

(22)

karenanya tidak dapat dipersalahkan serta tidak menanggung resiko atas kejadian tersebut.27

Mengenai pengaturan dalam BW, Agus Yudha Hernoko juga menjabarkannya dengan lebih detail dalam bukunya :

Terkait dengan overmacht, Buku III BW mengaturnya secara fragmentis (tersebar) dalam beberapa Pasal, yaitu bagian IV tentang Penggantian Biaya, Rugi dan Bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan (Pasal 1244-1245 BW) dan Bagian VII tentang Musnahnya Barang yang terutang (Pasal 1444-1445 BW). 28

Dalam hal pendalilan force majeure, overmacht, Yohanes Sogar Simamora mengemukakan pendapatnya dalam bukunya :

Dalam perspektif Hukum Perikatan, dalil keadaan memaksa yang diajukan oleh debitor terkait dengan tidak dipenuhinya suatu perikatan. Oleh sebab itu klausula keadaan memaksa hanya relevan untuk executory contract dan tidak untuk executed contract. 29.

Kedua hal ini berkaitan dengan pemenuhan prestasinya, keberlakuan keadaan memaksa ini tidak berlaku dalam perikatan yang mana pemenuhannya dengan bentuk prestasi tidak berbuat sesuatu, dan pada karakteristiknya, keadaan memaksa itu menghapus perbuatan wanprestasi pada debitor. J.H. Niuwenheis yang dalam bukunya hasil terjemahan D.Saragih juga mengemukakan bilamana :

Terdapat dua unsur yang harus dipenuhi oleh debitor dalam menggunakan dalil keadaan memaksa ketika ia tidak dapat memenuhi kewajibannya, yakni : pertama, pemenuhan prestasi harus tercegah, dalam arti debitor secara patut memang tidak mampu mencegah terjadinya peristiwa yang menghalangi perikatan itu, dan kedua, pencegahan itu tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada debitor, dalam hal ini debitor harus

27 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Media, Jakarta, 2010. h. 270-271

28 Ibid. h.270

(23)

bertindak selaku kepala keluarga yang baik dan telah menjaga terhadap kemungkinan pencegahan prestasi yang terutang. 30

Memang benar bilamana dicermati, tidak terdapat suatu Pasal pun yang mengatur force majeure secara umum untuk suatu kontrak bilateral (prestasinya timbal balik), yang dapat kita lakukan adalah menarik kesimpulan-kesimpulan umum dari pengaturan-pengaturan khusus, yaitu pengaturan khusus tentang force majeure yang terdapat dalam bagian pengaturan tentang ganti rugi, atau pengaturan resiko akibat force majeure untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian kontrak-kontrak khusus (kontrak bernama). Disamping tentunya juga menarik kesimpulan dari teori-teori hukum tentang force majeure, doktrin dan yurisprudensi.

Asuransi yang memang ditujukan untuk kapal laut, biasanya mencakup 2 hal, yang pertama adalah General Average, dan yang kedua adalah Particular

Average, mengenai kedua hal tersebut Imam Musjab mengemukakan :

kedua hal ini berbeda lingkupnya, General Average ditujukan untuk melindungi dari tabrakan, karam, kandas, dan kejadian ekstrim yang lain, sedangkan Particular Average lebih ditujukan untuk kejadian yang dapat diklasifikasikan sebagai kejadian ringan, contohnya pencurian loading-unloading risk, dan accidental damage lainnya. 31

Jadi, bila digabungkan, asuransi kapal laut antara lain melindungi atas :

1. bahaya laut seperti cuaca buruk, tenggelam, tabrakan dll (perils of the seas)

2. kebakaran, ledakan

3. pencurian dengan kekerasan 4. pembuangan kargo kelaut (jettison)

30 J.H. Nieuwenhuis, Hoofdstukken Verbintenissencrecht, terjemahan D. Saragih, Surabaya, 1985. h. 91-92.

(24)

5. perompakan (piracy)

6. tabrakan dengan pesawat udara

7. gempabumi letusan, gunung berapi, sambaran petir 8. kelalaian nahkoda dan crew

9. pemberontakan atau pengambilalihan paksa oleh nahkoda dan crew 10. tanggung jawab hukum akibat tabrakan kapal (Collission Liability) 11. kontribusi General Average and Salvage

12. biaya-biaya penyelamatan 32

Hal ini setara dengan yang disebutkan juga dalam Undang-Undang Pelayaran, bahwasanya hal-hal yang membutuhkan asuransi, antara lain :

1. Jaminan akan diangkatnya bangkai kapal (Pasal 203) 2. Jaminan akan dibayarnya bila ada pencemaran (Pasal 231) 3. Jaminan akan perlindungan crew (Pasal 151)

Asuransi hipotek ini, diatur juga dalam pasal 297 KUHD, dan klausula pengasuransian ini kerapkali dicantumkan dalam bentuk janji-janji dalam SKMH (Surat Kuasa Memasang Hipotek), yang mana nantinya akan diwujudkan dalam perjanjian jaminan hipotek.

5. Metode Penelitian

5.1. Pendekatan Masalah

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah Statute Approach dan Conceptual Approach.33 Statute

Approach (pendekatan perundang-undangan) yaitu pendekatan yang bertolak dari

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan Hukum Jaminan khususnya mengenai Hipotek kapal laut. Conceptual Approach

(pendekatan konsep) yaitu pendekatan dengan mengkaji dan menelaah

32 Ibid.

(25)

konsep yang ada dan berkaitan dengan Hukum Jaminan khususnya mengenai Hipotek kapal laut. Dengan menggunakan dua pendekatan tersebut diharapkan diperoleh jawaban yang jelas atas permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

5.2. Bahan Hukum

Bahan hukum dalam penulisan tesis ini diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu mengenai Hukum Jaminan khusus nya mengenai hipotek kapal laut, antara lain Undang-Undang Pelayaran, Undang-Undang Perbankan, BW dan WvK. Bahan hukum sekunder yang dipakai dalam penulisan tesis ini merupakan bahan yang diperoleh dari berbagai artikel, literatur, karya ilmiah, makalah, situs internet, wawancara dan juga karya tulis dari para sarjana hukum yang tentunya relevan dengan judul dan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

5.3. Prosedur Pengumpulan dan Analisa Bahan Hukum

(26)

pada peraturan perundang-undangan, buku-buku atau literatur-literatur, tesis, dan karya tulis dari para ahli hukum yang disusun secara sistematis sesuai obyek penelitian, guna memperoleh gambaran sinkronisasi dari semua bahan hukum dan akhirnya dianalisa secara normatif.

6. Pertanggungjawaban Sistematika

Penulisan tesis ini akan terdiri dari empat bab yang disusun dengan sistematika sebagai berikut :

Sebagai awal penulisan ini, pada Bab I, berisi Pendahuluan. Pada bagian ini diuraikan mengenai hal-hal yang mendasar yang berkaitan dengan penulisan tesis, antara lain : latar belakang masalah dan rumusannya, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian yang terdiri dari pendekatan masalah, sumber bahan hukum dan prosedur dan pengumpulan sumber bahan hukum, kemudian diakhiri dengan pertanggungjawaban sistematika.

Oleh karena, pencantuman janji-janji dan penggunaan SKMH sebelum lahir perjanjian hipotek serta asuransi adalah hal pentingnya penulisan ini, dalam Bab II akan dibahas mengenai tinjauan dan analisis mengenai implikasi janji-janji tersebut, serta proses terkaitnya pihak ketiga dalam perjanjian hipotek tersebut, hingga bahasan mengenai pengasuransian kapal laut.

(27)

terjadi hal tak terduga, mengenai musnahnya obyek hipotek dan akibat hukumnya, serta pentingnya pembahasan mengenai pembagian santunan asuransi sebagai pelunasan hutang, maka pembahasan-pembahasan tersebut akan tertuang dalam Bab III.

Referensi

Dokumen terkait

Observasi yakni mengamati aktivitas guru dan aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung, sedangkan tes hasil belajar IPS dilakukan setelah proses pembelajaran

n Hasil interpretasi peta anomali Bouguer daerah Sumatra Selatan yang memperlihatkan anomali tinggi pada umumnya menempati daerah bagian selatan dan barat yang di

Adapun pengangkatan anak (adopsi) menurut ukum adat, maka dalam pengangkatan anak terdapat banyak sistem yang berlaku tergantung epada hukum adat set em pat

model tempat tinggal dan tempat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Lomba perbaikan rumah sebagai program CSR PT. Aneka Tambang di bidang perumahan memiliki alur layaknya

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

bahwa berdasarkan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Pasal 23 ayat (2) Peraturan Darah Nomor 13 Tahun 2011

Aspek kedua yang menjadi indikator kurangnya kepuasan kerja karyawan pada Perusahaan X adalah pengembangan diri, dari hasil wawancara dijelaskan bahwa pengembangan

Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak dalam kanalis vertebralis, dikel ilingi oleh t iga lapis selaput pembungkus yang disebut