• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH EMPAT MACAM PUPUK ORGANIK TERHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH EMPAT MACAM PUPUK ORGANIK TERHA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH EMPAT MACAM PUPUK ORGANIK TERHADAP

PERTUMBUHAN SAWI (

BRASSICA JUNCEA

L.) (THE EFFECTS OF

FOUR ORGANIC FERTILIZERS ON THE GROWTH OF

BRASSICA

JUNCEA

L.)

Eko Setiawan Dosen Jurusan Agroekoteknologi Universitas Trunojoyo

Abstract

The aim of this research was to study the potential of organic fertilizer in order to increase growth and yield of Brassica juncea L. Research was conducted at Soil Laboratory of BPTP Malang and Perum Jasa Tirta Malang in 2000. The experiment was divided into two stages, the first stage was the method to make organic fertilizer and the second one was to test the response of Brassica juncea L. plant to the fertilizer. Factorial Randomized Blok Design with three replications was applied with the following treatments: Eichornia crassipes; Eichornia

crassipes + Lumbricus rubellus; Eichornia crassipes + EM4; Eichornia crassipes + manure; Organic market

waste; Organic market waste + Lumbricus rubellus; Organic market waste + EM4; Organic market waste +

cow manure; Musa textillis Nee; Musa textillis Nee + Lumbricus rubellus; Musa textillis Nee + EM4; Musa

textillis Nee + cow manure. After the first experiment, all organic fertilizers were applied to Brassica juncea L. planted in polybags. Research results showed i) the different decomposer resulted in different decomposition

speed and C/N of the product, ii) the application of organics market waste + Lumbricus rubellus had the best

growth of the plant.

Key word : Eichornia crassipes, organic waste, Lumbricus rubellus, EM4,Musa textillis Nee.

PENDAHULUAN

Penanganan sampah organik salah

satunya dengan memprosesnya menjadi pupuk

organik. Penggunaan pupuk organik dapat

mengurangi ketergantungan terhadap

penggunaan pupuk kimia. Bahan organik dari

kegiatan pertanian di negara berkembang sangat

melimpah, misalnya sekam, sisa-sisa tanaman,

sampah pasar dan lain sebagainya. Bahan

organik yang mudah didapat merupakan

alternatif untuk meningkatkan kesuburan tanah

dan meningkatkan kesuburan tanah serta

meningkatkan efisiensi biaya. Penambahan

bahan organik ke dalam tanah sangat diperlukan

untuk kehidupan mikroorganisme di dalam tanah

(Handajanti, 1999). Penelitian ini bertujuan

untuk mencari teknologi pembuatan pupuk

organik dari beberapa limbah dan untuk

mengetahui apakah pupuk organik dengan cara

pembuatan dan sumber yang berbeda akan

mempengaruhi pertumbuhan tanaman sawi

(Brassica juncea L.). Hasil akhir dari

pengomposan ini merupakan bahan yang sangat

dibutuhkan untuk kepentingan tanah-tanah

pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk

memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi

tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih

tinggi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April

(2)

penelitian ini disusun dengan menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3

ulangan. Penelitian terdiri dari perlakuan A1B1

(Eichornia crassipes); A1B2 (Eichornia

crassipes + Lumbricus rubellus); A1B3

(Eichornia crassipes + EM4); A1B4 (Eichornia

crassipes + pupuk kandang); A2B1 (Limbah

pasar organik); A2B2 (Limbah pasar organik +

Lumbricus rubellus); A2B3 (Limbah pasar

organik+EM4); A2B4 (Limbah pasar organik+

pupuk kandang); A3B1 (Musa textillis Nee);

A3B2 (Musa textillis Nee+ Lumbricus rubellus);

A3B3 (Musa textillis Nee+EM4); A3B4 (Musa

textillis Nee + pupuk kandang). Analisis

kandungan bahan oganik dilakukan di

Laboratorium BPTP Malang. Pupuk organik

tersebut dicampur dengan tanah dengan

perbandingan 1:1 dimasukkan ke dalam polibag

dan ditanami sawi (Brassica juncea L.).

Pengamatan meliputi pertumbuhan tanaman dan

bobot kering. Data yang diperoleh dianalisis

ragam dengan menggunakan uji F pada taraf 5%

atau 1%, jika terdapat perbedaan yang nyata

antar sektor percabangan, analisis dilanjutkan

dengan Uji Jarak Berganda Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa

antara macam bahan organik dengan cara

dekomposisi yang berbeda memberikan interaksi

terhadap suhu pelapukan (Tabel 1). Pada

pengamatan Minggu I perbedaan antar perlakuan

berbeda nyata, yang paling tinggi suhunya adalah

perlakuan A2B3, sedangkan suhu terendah

adalah perlakuan A1B1, A1B4, dan A3B4. Pada

Minggu II suhu tertinggi pada perlakuan A2B4

dan A3B2 sedangkan suhu terendah pada

perlakuan A1B2, A3B1, dan A3B3. Pada

Minggu III suhu tertinggi pada perlakuan A2B4

dan terendah pada A2B1 dan A3B3. Pada

Minggu IV suhu tertinggi pada perlakuan A3B2.

Pada Minggu V suhu tertinggi pada perlakuan

A3B2 dan terendah pada A1B4 dan A3B3. Pada

Minggu VI suhu tertinggi pada perlakuan A3B1.

Pada minggu VII suhu tertinggi pada perlakuan

A1B1 dan A3B2.

Proses pengomposan akan segera

berlansung setelah bahan-bahan mentah

dicampur. Proses pengomposan secara sederhana

dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif

dan tahap pematangan. Hasil Analisis kandungan

bahan organik disajikan pada Tabel 2. Selama

tahap-tahap awal proses, oksigen dan

senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera

dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu

tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat.

Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan

pH kompos. Dari Tabel 2 diketahui bahwa N

total semua bahan organik tergolong tinggi yaitu

diatas 0.51. Dekomposis dengan menggunakan

EM4 dan cacing Lumbricus rubellus lebih cepat

jika dibandingkan dengan penambahan pupuk

kandang pada bahan organik. C/N rasio yang

sudah tergolong rendah adalah perlakuan A2B2

(3)

Tabel 1. Suhu (oC) selama proses dekomposisi bahan organik menjadi pupuk organik.

Enceng gondok –Kontrol A1B1 28.00 a 27.33 b 26.67 cd 25.67 bc 25.67 bc 25.67 cd 25.67 c

Enceng gondok – Cacing A1B2 28.33 a b 26.00 a 26.00 b 25.67 bc 25.00 a b 24.33 a 24.33 a

Enceng gondok – EM4 A1B3 28.33 a b 26.67 a b 26.00 b 25.00 a 25.00 a b 25.00 b 25.00 bc

Enceng gondok – Pupuk  A1B4 27.67 a 26.67 a b 25.67 a b 25.00 a 24.33 a 24.00 a 24.00 a

Limbah Pasar ‐ kontrol A2B1 28.33 a b 27.67 bc 25.55 a 23.33 bc 25.00 a b 25.00 b 25.00 bc

Limbah Pasar ‐ Cacing A2B2 29.33 bc 27.00 b 26.33 bc 25.67 bc 25.33 b 25.00 b 24.67 b

Limbah Pasar ‐ EM4 A2B3 33.67 d 26.67 a b 26.67 cd 25.67 bc 25.33 b 25.33 bc 25.00 bc

Limbah Pasar ‐ Pupuk  A2B4 29.33 bc 28.33 c 27.67 e 25.67 bc 25.00 a b 25.00 b 25.00 bc

Abaca ‐ Kontrol A3B1 27.33 a 26.33 a 26.00 b 26.00 cd 26.00 cd 26.00 d 25.00 bc

Abaca ‐ Cacing A3B2 29.33 bc 28.67 c 27.33 de 27.00 d 26.67 d 25.33 bc 25.33 c

Abaca ‐ EM4 A3B3 30.67 c 25.67 a 25.00 a 24.33 a 24.33 a 24.00 a 24.00 a

Abaca ‐ Pupuk kandang A3B4 28.00 a 27.33 b 25.67 a b 25.33 bc 25.00 ab 25.00 b 25.00 bc Mi nggu V Mi nggu VI Mi nggu VI I

Perlakuan Suhu  ba ha n orga ni k (de ra ja t Ce l ci us )

Mi nggu I Mi nggu I I Mi nggu I I I Mi nggu I V

Tabel 2. Hasil analisis laboratorium pupuk organik dari berbagai perlakuan

pH  % C Organik N Total C/N Rasio

Enceng gondok –Kontrol A1B1 7.28 16.20 0.90 18.00 14

Enceng gondok – Cacing A1B2 6.80 16.10 1.10 14.64 14

Enceng gondok – EM4 A1B3 6.80 12.10 0.76 15.92 5

Enceng gondok – Pupuk kandang A1B4 7.18 11.80 0.92 12.87 6

Limbah Pasar ‐ kontrol A2B1 6.80 14.40 2.84 17.14 14

Limbah Pasar ‐ Cacing A2B2 6.81 8.00 1.00 8.00 5

Limbah Pasar ‐ EM4 A2B3 6.64 8.50 0.58 14.66 3

Limbah Pasar ‐ Pupuk kandang A2B4 6.70 13.00 0.70 18.57 14

Abaca ‐ Kontrol A3B1 6.72 14.40 0.71 20.28 14

Abaca ‐ Cacing A3B2 6.70 10.40 0.66 15.76 4

Abaca ‐ EM4 A3B3 6.72 12.90 0.68 18.97 3

Abaca ‐ Pupuk kandang A3B4 6.74 13.80 0.67 20.60 14 Keterangan

Rendah sekali : < 4.1 < 1 <0.10 < 5.0

Rendah  : 4.0 ‐ 5.5 1.1 ‐2.0 0.11 ‐ 0.20 5.0 ‐ 10.0

Sedang : 5.6 ‐ 7.5 2.1 ‐ 3.0 0.21 ‐ 0.50 11.0 ‐ 15.0

Tinggi : 7.5 ‐ 8.0 3.1 ‐ 5.0 0.51 ‐ 0.75 16.0 ‐20.0

Tinggi sekali : > 8.0 > 5.0 > 0.75 >20

Perlakuan Hasil Analisis Laboratorium Tanah Lama Dekomposisi 

(minggu)

Selama proses pengomposan akan terjadi

penyusutan volume maupun biomassa bahan.

Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari

volume/bobot awal bahan.

Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba.

Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu

dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi

temperatur akan semakin banyak konsumsi

oksigen dan akan semakin cepat pula proses

dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi

dengan cepat pada tumpukan kompos.

(4)

menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat.

Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan

membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba

thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup.

Suhu yang tinggi juga akan membunuh

mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih

gulma.

Tinggi Tanaman

Hasil analisis ragam menunjukkan

interaksi yang nyata antara jenis bahan organik

(A) dengan cara dekomposisi yang berbeda (B)

terhadap parameter tinggi tanaman pada semua

umur tanaman (Tabel 3). Pada umur 10 hst

perbedaan antar perlakuan berbeda nyata, yang

paling baik adalah perlakuan A1B2, A1B3,

A2B2, A3B2 dan A3B3. Namun mulai

pengamatan 15 hst perbedaan antar perlakuan

sangat nyata. Pada umur 15 hst tinggi tanaman

tertinggi pada perlakuan A3B2 dan tanaman

terendah adalah A1B1, A3B1, dan A3B4. Pada

umur 20 hst tanaman tertinggi pada perlakuan

A2B2 dan terendah pada A3B3. Pada umur 25

dan 30 hst tanaman tertinggi pada perlakuan

A2B2 dan terendah pada A1B2.

Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman (Cm) akibat penggunaan pupuk organik

Ence ng gondok –Kontrol A1B1 7.83 a 16.17 a 22.33 bc 23.43 b 25.17 c 27.50 cd

Hasil analisis ragam menunjukkan

terdapat interaksi yang sangat nyata antara

macam bahan organik (A) dengan cara

dekomposisi yang berbeda (B) terhadap

parameter jumlah daun pada umur pengamatan

10 hst, 25 hst, 30 hst, 35 hst (Tabel 4). Tanaman

pada umur 10 hst jumlah daun antar perlakuan

berbeda nyata, terbanyak pada perlakuan A1B3,

A2B1, dan A3B2. Pada umur 15 hst tidak

terdapat interaksi antara macam bahan organik

dengan cara dekomposisi. Pada 25 hst, jumlah

daun terbanyak pada perlakuan A1B4, A2B2,

A2B3, A3B2, dan A3B3, sedangkan yang

terendah adalah perlakuan A1B2. Pada umur 30

hst jumlah daun terbanyak pada perlakuan A1B4

dan A2B2, sedang yang terendah adalah

perlakuan A1B2. Pada umur 35 hst daun

terbanyak pada perlakuan A1B4 dan yang

(5)

Tabel 4. Rata-rata jumlah daun akibat penggunaan pupuk organik

Enceng gondok – Kontrol A1B1 3.33 a 5.83 a 6.33 ab 7.50 bc 8.00 b Enceng gondok – Cacing A1B2 3.67 ab 6.00 ab 6.00 a 6.00 a 6.33 a Enceng gondok – EM4 A1B3 4.00 b 5.67 a 7.00 b 8.50 de 10.33 e

Enceng gondok – Pupuk  A1B4 3.67 ab 5.83 a 8.00 c 9.67 f 11.00 f Limbah Pasar ‐ kontrol A2B1 3.83 b 6.00 ab 6.33 ab 7.17 b 8.00 b Limbah Pasar ‐ Cacing A2B2 3.33 a 6.67 b 7.67 c 9.33 f 10.50 ef Limbah Pasar ‐ EM4 A2B3 3.00 a 6.67 b 7.33 c 8.17 cd 9.67 de

Limbah Pasar ‐ Pupuk  A2B4 3.00 a 5.17 a 7.17 bc 8.00 c 9.33 de

Abaca ‐ Kontrol A3B1 3.00 a 5.50 a 7.00 b 8.00 c 8.83 cd

Abaca ‐ Cacing A3B2 4.00 b 6.0 ab 7.50 c 9.00 f 10.00 e

Abaca ‐ EM4 A3B3 3.67 ab 6.17 b 7.33 c 8.17 cd 9.00 d

Abaca ‐ Pupuk kandang A3B4 3.33 a 5.17 a 6.33 ab 7.17 b 7.50 b 30 hst 35 hst Perlakuan

10 hst 20 hst 25 hst

Rata‐rata Jumlah Daun (helai)

Berat Basah

Hasil analisis ragam menunjukkan

interaksi yang sangat nyata antara macam bahan

organik (A) dengan cara dekomposisi yang

berbeda (B) terhadap parameter berat basah pada

semua umur pengamatan (Tabel 5). Pada 10 hst

berat basah yang tertinggi pada perlakuan A1B3

dan A3B2. Pada umur 15 hst sampai 25 hst berat

basah tertinggi adalah A2B2. Pada umur 30 hst

dan 35 hst berat basah tertinggi pada perlakuan

A2B2 sedangkan berat basah terendah pada

perlakuan A1B2.

Tabel 5. Rata-rata berat basah (gram) akibat penggunaan pupuk organik

Ence ng gondok –Kontrol A1B1 0.86 a 3.74 a 10.28 a 23.40 c 44.49 b 50.12 b

Ence ng gondok – Ca ci ng A1B2 0.95 b 3.63 a 9.98 a 15.83 a 27.38 a 38.90 a

Ence ng gondok – EM4 A1B3 1.29 e 5.97 cd 10.86 a 29.33 f 58.60 e f 69.16 e

Ence ng gondok – Pupuk  A1B4 0.96 bc 5.94 c 14.64 b 30.21 g 69.99 k 82.84 h

Li mba h Pa s a r ‐ kontrol A2B1 0.83 a 5.35 b 10.85 a 21.62 b 45.87 c 54.57 c

Li mba h Pa s a r ‐ Ca ci ng A2B2 1.25 de 8.84 g 19.09 e 35.14 j 66.48 j 79.73 g

Li mba h Pa s a r ‐ EM4 A2B3 0.85 a 7.09 e 15.96 c 34.01 i 61.47 g 75.80 f

Li mba h Pa s a r ‐ Pupuk  A2B4 0.90 a b 4.56 b 10.24 a 25.73 d 58.82 f 65.33 d

Aba ca ‐ Kontrol A3B1 0.78 a 5.08 b 10.80 a 26.35 d 48.69 d 52.99 c

Aba ca ‐ Ca ci ng A3B2 1.28 e 7.56 f 16.95 d 32.74 h 62.58 h 74.36 f

Aba ca ‐ EM4 A3B3 1.09 cd 6.54 de 14.90 b 33.66 h 65.76 l 75.20 f

Aba ca ‐ Pupuk ka nda ng A3B4 0.88 a 5.40 bc 10.66 a 28.27 e 58.00 e 69.64 e

30 hs t 35 hs t

Perlakuan

10 hs t 15 hs t 20 hs t 25 hs t

Ra ta‐ra ta Be ra t Ba s a h (gra m)

Luas Daun

Hasil analisis ragam menunjukkan

interaksi yang sangat nyata antara macam bahan

organik (A) dengan cara dekomposisi yang

berbeda (B) terhadap parameter luas daun

tanaman pada semua umur pengamatan (Tabel

6). Pada umur 10 hst luas daun tertinggi adalah

(6)

sedangkan luas daun terendah pada perlakuan

A3B1. Pada umur 15 hst sampai 25 hst luas daun

tertinggi adalah A2B2 sedangkan luas daun

terendah pada perlakuan A1B2. Pada umur 30

hst luas daun tertinggi adalah perlakuan A1B3,

A1B4, dan A2B2, sedangkan luas daun terendah

adalah perlakuan A1B2. Pada umur 35 hst luas

daun tertinggi pada perlakuan A1B4 dan A2B2

sedangkan luas daun terendah pada perlakuan

A1B2.

Tabel 6. Rata-rata luas daun tanaman (Cm2) akibat penggunaan pupuk organik

Ence ng gondok –Kontrol A1B1 4.46 bc 60.18 b 177.21 a 247.88 c 461.90 c 670.23 d

Ence ng gondok – Ca ci ng A1B2 5.80 cd 47.49 a 145.30 a 167.90 a 228.00 a 273.83 a

Ence ng gondok – EM4 A1B3 9.27 e 97.34 d 197.52 bc 298.91 de 666.10 e 752.77 f

Ence ng gondok – Pupuk  A1B4 7.27 d 88.60 d 233.45 c 382.42 fg 747.10 e 1030.83 g

Li mba h Pa s a r ‐ kontrol A2B1 4.50 b 85.72 d 187.24 b 220.03 b 320.00 a b 503.65 b Li mba h Pa s a r ‐ Ca ci ng A2B2 8.14 e 142.23 f 299.23 e 494.86 h 738.30 e 995.27 g

Li mba h Pa s a r ‐ EM4 A2B3 2.98 a 96.57 d 245.66 d 408.28 g 341.50 b 789.35 f

Li mba h Pa s a r ‐ Pupuk  A2B4 5.13 c 82.70 cd 191.84 b 280.15 d 416.50 bc 673.32 d

Aba ca ‐ Kontrol A3B1 1.17 a 85.05 d 195.31 b 209.90 b 345.50 b 513.22 b

Aba ca ‐ Ca ci ng A3B2 9.39 e 124.97 e 279.75 d 324.03 e 644.80 de 736.10 e f

Aba ca ‐ EM4 A3B3 8.45 e 121.79 e 237.26 cd 320.14 e 506.80 c 688.52 d

Aba ca ‐ Pupuk ka nda ng A3B4 4.03 b 69.84 bc 178.19 a 221.67 bc 360.20 b 679.77 c

30 hs t 35 hs t

Perlakuan

10 hs t 15 hs t 20 hs t 25 hs t

Ra ta‐ra ta Lua s Da un Ta na ma n (Cm2) 

Berat Kering

Hasil analisis ragam menunjukkan

interaksi yang sangat nyata antara macam bahan

organik (A) dengan cara dekomposisi yang

berbeda (B) terhadap parameter berat kering

tanaman (gram) pada semua umur pengamatan

kecuali umur 10 hst (Tabel 7). Pada umur 10 hst

berat kering yang tertinggi pada perlakuan A2B2,

dan A3B2. Pada umur 15 hst berat kering

tertinggi pada perlakuan A2B2 dan terendah

pada perlakuan A1B1. Pada umur 20 hst berat

kering tertinggi pada perlakuan A2B2 dan yang

terendah A2B4, A3B1, dan A3B4. Pada umur 25

hst berat kering tertinggi adalah A1B4 dan

A2B2, sedangkan berat kering terendah adalah

perlakuan A1B2, A3B1, dan A3B4. Pada umur

30 hst dan 35 hst berat kering tertinggi adalah

perlakuan A2B2, sedangkan berat kering

(7)

Tabel 7. Rata-rata berat Kering tanaman (gram) akibat penggunaan pupuk organik

Jumlah karbon dalam bahan organik

segar sangat banyak, sedangkan jumlah nitrogen

relatif sedikit. Dengan demikian nisbah C dan N

tinggi. Nisbah karbon dan nitrogen mempunyai

arti penting bagi tanah, yaitu adanya persaingan

bila bahan organik mempunyai C/N rasio tinggi.

Bila bahan oganik dengan C/N rasio tinggi

dimasukkan ke dalam tanah, maka nitrat dalam

tanah akan tidak tersedia karena perkembangan

jasad mikro membutuhkan banyak membutuhkan

nitrogen untuk pembentukan dirinya

(perkembangbiakan).

Adanya panas/sumber energi dalam

bahan organik dapat dilihat dengan adanya

perubahan suhu yang diamati setiap minggu.

Tinggi rendahnya suhu dipengaruhi oleh

jumlah/banyaknya baha. Semakin banyak bahan

organik maka energi yang tersimpan/tersedia

semakin tinggi. Penurunan suhu bahan organik

merupakan indikator adanya perombakan atau

dekomposisi bahan organik dan hilanya energi

atau panas dari bahan organik. Pembebasan CO2

dan gas-gas lainnya dapat diketahui dengan

adanya bau busuk yang menyengat hidung.

Menurut Crawford (2003) kompos

didefinisikan sebagai berikut: kompos adalah

hasil dekomposisi parsial/tidak lengkap,

dipercepat secara artifisial dari campuran

bahan-bahan organik oleh pupulasi berbagai macam

mikroba dalam konsisi lingkungan yang hangat,

lembab, dan aerobik.

Laju dekomposisi C-organik akan

meningkat pada tahap awal proses dekomposisi

dan kemudian cenderung menurun dengan waktu

dikarenakan pada tahap akhir kandungan

C-organik yang tinggal relatif resisten terhadap

proses dekomposisi. Setelah energi yang ada

dalam bahan organik (makanan pengurai) habis,

maka suhu akan konstan. Kegiatan pengurai

berkurang dan banyaknya (jumlah pengurai)

kembali sedikit seperti semula karena banyak

yang mati (energi atau makanan tidak cukup).

Pada perlakuan cacing Lumbricus rubellus L.,

habisnya energi (makanan) menyebabkan banyak

(8)

(2006), melaporkan bahwa pemberian seresah

dan cacing telah meningkatkan kesuburan tanah

secara menyeluruh. Peningkatan kesuburan tanah

ini tercermin pada pertumbuhan tanaman, yaitu

diameter, tinggi, dan berat. Diduga fermikompos

mengalami dekomposisi lanjutan sehingga

hara-hara yang dikandungnya terbebaskan (Bertham,

2002).

Transformasi dari residu organik

menjadi bahan organik yang stabil (humus) atau

disebut pupuk organik akan memberikan

hubungan yang konsisten antara C dan N. Hal

tersebut menunjukkan proses dekomposisi telah

berlangsung sempurna dan hasil dekomposisi

tersebut (pupuk organik) dapat dipakai sebagai

pupuk organik alternatif yang ditunjukkan

dengan nisbah C/N tanah yaitu 10-12.

Untuk mengetahui pengaruh dari

perlakuan macam pupuk organik pada tanaman

sawi maka dapat diamati beberapa parameter

seperti tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun,

berat basah dan berat kering. Tanaman yang

tercukupi kebutuhan unsur haranya akan

tumbuhbaik. Hal tersebut dibuktikan dengan

pertambahan tinggi tanaman, pertambahan

biomasa tanaman. Luas dau sangat berhubungan

erat dengan fotosintesis tanaman yang akan

disimpan dan dapat dilihat hasilnya dengan

pertambahan berat basah dan berat kering

tanaman.

KESIMPULAN

1. Pada teknik pembuatan pupuk organik,

waktu atau lama dekomposisi

dipengaruhi oleh jenis mikroorganisme

pengurai.

2. Terdapat interaksi antara pemberian

pupuk organik dari bahan serta teknik

pembuatan terhadap pertumbuhan

tanaman sawi.

3. Limbah pasar organik dan Abaca

terdekomposisi dengan baik oleh cacing

dan EM4.

4. Enceng gondok terdekomposisi secara

baik dengan menggunakan pupuk

kandang sapi dan EM4.

5. Perlakuan limbah pasar organik + cacing

Lumbricus rubellus L. memberikan

pengaruh positif terhadap pertumbuhan

tanaman sawi pada semua parameter dan

semua umur pengamatan.

DAFTAR PUSTAKA

Bertham, Y.H. 2002. Potensi Pupuk Hayati dalam peningkatan Produktivitas Kacang Tanah dan Jedelai pada Tanah Seri Kandanglimun Bengkulu. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. Vol 4 (1) : 18-26.

Crawford. J.H. . Composting of Agricultural Waste. in Biotechnology Applications and Research, Paul N, Cheremisinoff and R. P.Ouellette (ed). p. 68-77.

Handajani, T. 1999. Mengenal Teknologi Mikroorganisme Efektif. BLPP Ketindan. Malang

Wiryono. 2006. Pengaruh Pemberian Seresah dan Cacing Tanah Terhadap Pertumbuhan Tanaman Lamtoro (Leucaena leucocephala Lam De Wit)

dan Turi (Sesbania grandiflora) pada

Gambar

Tabel 1. Suhu (oC) selama proses dekomposisi bahan organik menjadi pupuk organik.
Tabel 3. Rata-rata tinggi tanaman (Cm) akibat penggunaan pupuk organik
Tabel 4. Rata-rata jumlah daun akibat penggunaan pupuk organik
Tabel 6. Rata-rata luas daun tanaman (Cm2) akibat penggunaan pupuk organik
+2

Referensi

Dokumen terkait

 Penjelasan tentang lingkungan sehat, digunakan sebagai awalan untuk pembahasan iklan media elektronik layanan masyarakat tentang lingkungan sehat “Iklan Elektronik

Setelah bumi semakin dingin maka bermunculanlah makhluk hidup lain di dalam air, seperti fi toplankton yang bisa bersifat autotrof karena bisa menghasilkan makanan

Area fokus otomatis dari sensor AF deteksi fase khusus Sensor AF Deteksi fase khusus dengan 79 titik fokus digunakan untuk fokus otomatis bila lensa yang tidak mendukung sistem

Segundo Picard, esta zona terá mantido um grande nível de autonomia, “ a troco de um pagamento de um tributo anual aos governadores árabes, o acolhimento de guarnições árabes

Skripsi ini di tulis sebagai syarat yang harus di penuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Akuntansi pada Fakultas Bisnis Jurusan Akuntansi Universitas Katolik Widya Mandala

Mara'dia a/(au raja tersebut dipecat oleh dewan adat kaiyang atau adat besar kerajaan sebab dianggap telah melakukan perbuat- an yang melanggar aturan adat yang ditetapkan

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan masih terdapat respon- den pasien PKMS Gold maupun pasien PKMS Silver yang tidak puas pada pertanyaan mengenai kesem- buhan