• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dialektika Budaya Dayak Inkulturasi Agam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dialektika Budaya Dayak Inkulturasi Agam"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

87 Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.2: 87-93

Jurnal Studi Kultural

https://journals.an1mage.net/index.php/ajsk

Laporan Riset

Dialektika Budaya Dayak:

Enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan

Kristianus*

Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak

Info Artikel Abstrak

Sejarah artikel: Dikirim 14 Mei 2017 Direvisi 9 Juni 2017 Diterima 22 Juni 2017

Kata Kunci Budaya Dayak Kayaan Agama Katolik Enkulturasi

1.Pendahuluan

Suku Dayak Kayaan merupakan salah satu subsuku bangsa di Dayak yang bermukim di Kabupaten Kapuas Hulu. Dayak Kayaan sering kali menggunakan identifikasi yang lebih spesifik yaitu Dayak Kayaan Mendalam, karena mereka bermukim di daerah aliran sungai Mendalam[3].

Identifikasi tersebut digunakan untuk menyatukan tiga kelompok sub-subsuku bangsa yaitu Umaa’ Pagung, Umaa’

Suling, Umaa’ Aging. Orang Dayak Kayaan mengaku berbeda dengan Dayak Apo Kayan[4].

Kabupaten Kapuas Hulu merupakan salah satu daerah otonom yang ada di Provinsi Kalimantan Barat. Terletak di ujung paling Timur dengan jarak dari Pontianak sejauh ± 657 km jalan darat atau ± 842 km melalui Sungai Kapuas.

Kabupaten Kapuas Hulu merupakan kabupaten terjauh dari Ibukota Provinsi Kalimantan Barat tersebut. Secara geografis terletak di antara 0008’ LU sampai 1036’LU dan 111032’ sampai 114009’ BT.

Orang Kayaan di Kalimantan Barat sebagian besar mendiami daerah sekitar aliran di Sungai Mendalam. Sedangkan di Sarawak mendiami Daerah Aliran Sungai (DAS) Rajang Telaang Usaan, Tubau dan Baram.

Daerah asal mereka sebelumnya adalah hulu di Sungai Kayan di Kalimantan Timur. Karena suatu sebab mereka berimigrasi ke arah Barat sampai di Kapuas Hulu bagian Timur sekarang. Suku ini cukup besar. Dalam grupnya ada berbagai sub-Kayaan, antara lain Punan, Kenyah dan Kayaan sendiri.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendalam berada di posisi pertengahan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) Orang Dayak Kayaan mengikuti liturgi misa dalam Bahasa Kayaan sudah selama tiga dekade. Penulis mengkaji pengaruh inkulturasi ini terhadap Budaya Dayak Kayaan dalam hal sistem kepercayaannya. Penelitian ini menggunakan metode ethnografi, data diambil melalui wawancara yang mendalam dan tinggal bersama responden. Temuan penelitian ini adalah bahwa terjadinya enkulturasi pada Budaya Dayak Kayaan telah mengubah Ritual Adat Kayaan. Ritual Adat Kayaan saat ini menyerupai ritual dalam Agama Katolik. Studi ini juga memperlihatkan bahwa proses enkulturasi ini telah menghilangkan Agama Kayaan (agama asli), yang tersisahanyalah sebutan Tanangaan untuk sebutan tuhan dalam bahasa asli.

Penggunaan Bahasa Kayaan yang sebelumnya terbatas pada acara-acara tertentu saja sekarang mewarnai proses liturgi . Yang paling menarik dari proses enkulturasi ini adalah adat dan sastranya menggunakan padanan kata yang berbunyi mirip dalam doa-doa di Katolik.Pesta Budaya Dange walaupun menyajikan sesajian ala Dayak Kayaan tetapi doa-doa yang disampaikan bermuatan ajaran agama yaitu Katolik. Jadi dialektika enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Kayaan, Ibarat kontestasi yang tidak seimbang, kemenangan berada dalamGereja Katolik.

Reproduksi nilai dasar Katolisisme dalam bidang pendidikan dan pembangunan sosial, sudah merembet ke bidangyang sangat mendasar yakni agama tradisional. Bahkan Agama Kayaan sudah hilang. Penelitian iniperlu dilanjutkan mengingat aspek enkulturasi itu luas dan telah menampilkan Orang Kayaan yang baru.

© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

∗ Peneliti koresponden: Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak |

(2)

tepatnya di Kabupaten Kapuas Hulu yang terletak pada titik kordinat 1110 32’ sampai 1140 09’ BT- 00 08’ sampai dengan 10 36’ LU dengan luasanya 29,842 KM2 (20,33% dari luas Provinsi Kalimantan Barat)[14].

Di sepanjang DAS ini berdiam empat kelompok subetnis yaitu Etnis Melayu Sambus yang berdiam bagian hilir, Sungai Mendalam, kemudian Etnis Taman Semangkok (Ariung Mandalam) dilanjutkan oleh Etnis Kayaan yang relatif lebih banyak penduduknya kemudian sebagai Etnis yang paling jauh perkampungannya adalah Etnis Bukat dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit.

Sebagaimana catatan sejarah seperti yang dituturkan oleh beberapa orang tokoh adat di DAS Mendalam bahwa suku tertua yang mendiami DAS Mendalam adalah Suku Taman dan dapat dibuktikan dengan masih adanya sisa peninggalan nenek moyang mereka di dekat Kampung Suku Bukat juga di daerah Suku Kayaan seperti tiang besar dengan corak Suku Taman namun pada saat ini kita berfokus pada Suku Kayaan Mendalam .

Citra 1. Lokasi penelitian.

Menurut sejarah Suku Kayaan merupakan suku yang berasal dari keturunan Indochina yang menetap di Apo Kayaan di Hulu Sungai Kayaan provinsi Kalimantan Timur kemudian sekitar 500 tahun yang lalu terjadi perpecahan antar mereka sehingga sebagian melakukan perpindahan keberbagai tempat, ada yang di Batang Rajang Serawak Malaysia, sebagian lagi di Beram Malaysia Timur, ada juga yang di Sungai Mahakam Kalimantan Timur dan sebagian di Sungai Mendalam Kalimantan Barat (citra 1).

Yang kita kenal sekarang dengan sebutan Kayaan Mendalam dengan bahasa yang digunakan yaitu Kayaan yang terbagi dalam dua bahasa sebelah hulu tepatnya di Desa Datah Dian Dusun Pagung menggunakan Bahasa Pagung dan sedangkan sebelah hilir tepatnya Dusun Uma Suling, Tanjung Kuda, Padua, Teluk Telaga, Sui Ting, dan Tanjung Karang mengunakan bahasa yang disebut Bahasa Uma Aging.

Kayan mendalam ini memiliki delapan kampung meliputi dari Hilir Sui Ting, Tanjung Karang, Padua, Teluk Telaga,

Tanjung Kuda, Uma Suling, Uma Belua, dan Pagung yang tergabung dalam Ketemengungan Kayan Mendalam dengan sebutan Hengkung Kayaan Mendalam dan kesemuanya itu terbagi dalam 2 desa yaitu Desa Padua Mendalam dan Desa Datah Diaan Kecamatan Putussibau Utara dengan jumlah penduduk 1622 jiwa (BPS/Data Kecamatan 2015) dengan luas wilayah 4.122.00 km2.

Adapun infrastruktur yang dimiliki berupa Gedung SD, Gereja, Gedung SMP dan Puskesmas Pembantu dengan tenaga mantri 1 orang. Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan hari-hari Masyarakat Kayaan berladang, menoreh getah, berkebun kopi, berkebun coklat (Desa Padua), memungut hasil hutan, berburu, mengambil kayu di hutan, beternak (sapi, ayam dan babi), menjala dan memancing ikan. Masyarakat Kayaan masih kental dengan Adat atau

tradisi ”Dange” ini selalu dilakukan Suku Kayaan dan menjadi kalender tahunan.

Kegiatan ini dimaksudkan untuk mensyukuri kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen. Dalam kegiatan ini akan terlihat representasi kebudayaan mereka dalam bentuk khas seperti: tarian, khasanah sastra lisan, keindahan motif perisai/karawit dan tato, aksesoris pakaian adat, keunikan

motif topeng ”Hudo” dan prosesi upacara adat yang sarat

dengan makna kehidupan .

Perbincangan antara agama dan budaya, khususnya proses enkulturasi agama dan budaya selalu saja menarik [5].

Fenomena ini akan “dibaca” (dipersepsikan) seolah-olah proses enkulturasi antara agama dan budaya adalah sesuatu yang mudah dan harus terjadi [6].

Hal demikian, terdapat pada Komunitas Dayak Kayaan di Kapuas Hulu. Informasi awal yang diperoleh peneliti, bahwa enkulturasi dimulai oleh pastor A.J. Ding Ngo, SMM yang pernah bertugas di tengah komunitas Dayak Kayaan hingga beliau meninggal dan dimakamkan di perkampungan tersebut. Semasa hidupnya, beliau melakukan enkulturasi Agama Katolik dan budaya serta dianggap berhasil.

Berhasil sebagaimana yang dikatakan Geertz [7]. Kini, keberhasilan tersebut dipersepsikan sebagai salah satu identitas bagi Komunitas Dayak Kayaan di Kecamatan Putussibau Selatan, Kota Putussibau, Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang dialektika budaya: enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan.

(3)

Itulah sebabnya diperlukan terus menerus diskusi yang sifatnya luas, mendalam dan interdisipliner untuk semakin menemukan arahnya yang jelas. Sehingga, meneliti enkulturasi agama ke dalam budaya lokal (Budaya Dayak) di Kabupaten Kapuas Hulu terjauh dari wilayah Provinsi Kalimantan Barat ini, menjadi sangat menarik untuk diteliti. Enkulturasi tersebut, bahkan telah mempertegas identitas Budaya Dayak Kayaan Mendalam.

Penelitian ini berangkat dari fakta empiris bahwa selama ini ada beberapa pandangan umum tentang enkulturasi budaya dan agama, antara lain:

(1) Orang sering memikirkan enkulturasi hanya dalam konteks entah soal pakaian, musik, tata ruang saja. Padahal masalah enkulturasi itu juga bisa menyangkut berbagai ranah kehidupan bersama dalam kehidupan beragama.

(2) Masalah makna enkulturasi itu sendiri. Kebanyakan orang menggambarkan enkulturasi sebatas pada

“kulitnya” saja. Bila orang sudah menggunakan musik tradisional dalam beribadah, memakai pakaian adat, orang sudah menganggap: “Inilah enkulturasi”. Padahal enkulturasi bermakna lebih luas dan lebih dalam lagi. Enkulturasi itu meliputi seluruh pengungkapan, penghayatan dan perwujudan iman itu sendiri dalam seluruh kehidupan kita.

(3) Banyak orang yang mengharapkan agar segala unsur budaya setempat bisa dimasukkan ke dalam khazanah kehidupan iman gereja.

Pandangan-pandangan umum itu tentu saja bias dalam artian mengabaikan pandangan warga masyarakat setempat (native’s point of view), fakta-fakta empiris lapangan dan sejarah lokalitas. Berdasarkan kesadaran di atas, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah mengenai proses enkulturasi agama dan budaya untuk eksis dan dinamikanya sebagai satu entitas agama, dan sosial-budaya. Sehubungan dengan itu, maka rumusan permasalahan penelitian adalah:

Bagaimana perubahan budaya masyarakat sebagai dampak dari enkulturasi yang sudah terjadi sejak 30 tahun lalu pada Budaya Dayak Kayaan di Paroki Padua Mendalam. Rumusan ini diperinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana dialektika enkulturasi Agama Katolik pada Budaya Dayak Kayaan di Padua Mendalam.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perubahan Budaya Dayak Kayaan sebagai dampak dari enkulturasi dengan Agama Katolik. Secara khusus penelitian ini ingin mengetahui bagaimana perubahan ritual Budaya Dayak Kayaan.

Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk mengisi kelangkaan kajian tentang Agama Suku Dayak yang dikenal

dengan Agama Kaharingan namun tidak bisa eksis dengan kehadiran agama global.

2.Telaah Pustaka

Budaya dalam pemahaman sederhana merupakan kebiasaan turun temurun yang menjadi suatu tradisi dalam suatu peradaban, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung kepercayaan, adat istiadat, hukum, pengetahuan, kesenian, moral dan kemampuan lainnya yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat [9].

Dari pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa seni merupakan bagian dari kebudayaan yang sampai saat ini tetap dipertahankan sebagai cara untuk memperkenalkan atau menunjukan suatu golongan suku, agama, ras dan lainya yang tergolong dalam identifikasi budaya pada umumnya.

3.Metode

Penelitian ini melingkupi penelitian pustaka dan penelitian lapangan. Penelitian dimulai dengan pengumpulan data-data sekunder yaitu dengan melakukan penelitian pustaka yang dilakukan di perpustakaan, pusat-pusat penelitian atau tempat-tempat yang menyimpan buku-buku, artikel-artikel, tulisan-tulisan akademik, laporan-laporan penelitian dan sebagainya., yang relevan dengan penelitian [10].

Sebagai penelitian kualitatif, instrumen utama dalam penelitian ini adalah diri penulis sendiri. Hal ini mengandung makna bahwa sebagai seorang peneliti kualitatif penulis harus melakukan kerja lapangan secara langsung untuk mengumpulkan data dengan metode pengamatan dan wawancara [11].

Dengan melakukan pengamatan terlibat (Participant observation, atau ethnographic fieldwork) yang adalah fondasi dari antropologi budaya, berarti menggunakan teknik pengumpulan data yang menjadi sentral dari proses etnografi [12].

Bahwa mendefinisikan pengamatan terlibat sebagai “a research “strategy that simultaneously combines document analysis, interviewing of respondents and informants, direct participation and observation, and introspection”. Dalam

proses ini dikenal istilah “pembenaman diri” (immerson)

dalam rangka mendapatkan data emic si peneliti masuk ke dalam cara hidup, cara bicara, cara berlaku, dan cara berfikir masyarakat yang ditelitinya [13].

Wawancara mendalam (in-depth interview) pertama-tama

(4)

Teknik life history akan dipergunakan untuk melacak balik sejarah dan pengalaman pribadi para anggota dan elite komunitas Dayak Kayaan.

Wawancara mendalam juga ditujukan kepada informan kedua yang mungkin tidak mengalami langsung namun mendapat cerita dari para tokoh terdahulu.

Pengamatan dilakukan untuk mengamati peralatan yang digunakan untuk melaksanakan upacara dalam Tradisi Kayaan Mendalam. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan unsur-unsur enkulturasi.

4.Diskusi

Unsur Katolisisme dalam Sistem Kepercayaan Dayak Kayaan (SKDK): analisis struktur doa dalam Liturgi. Kalau memerhatikan doa SKDK memohon keturunan yang banyak, maka struktur doanya mirip dengan apa yang dilakukan dalam Agama Katolik. Hubungan antara manusia dan Allah bersifat tidak langsung.

Pertama, hubungan antara orang hidup dan orang mati (roh) digambar dalam struktur horizontal, untuk memerlihatkan sistem kepercayaan pada Orang Kayaan yang menganggap bahwa ada dua dunia kehidupan dengan komunitasnya sendiri-sendiri yakni komunitas orang hidup dan komunitas orang mati yang tinggal di seberang sana (Telaangjulaan).

Kedua, dalam struktur itu, Tanangaan tidak dapat didekati secara langsung, kecuali melalui perantara yakni nenek moyang orang yang bersangkutan. Terjemahannya: supaya kalian nenek moyanglah yang menjembatani kami dengan Allah Bapa. Kalianlah yang mewakili kami menghadap Allah Bapa Pencipta, supaya kami tinggalkan kesendirian (tidak punya keturunan), dan mengharapkan banyak keturunan.

Ketiga, Tanangaan itu adalah Allah Bapa seperti yang terdapat dalam Agama Katolik yang dianutnya, dengan karakteristiknya sebagai pencipta. Menurut penulis, doa ini mempunyai struktur SKDK tetapi isinya Katolik.

Keempat, yang tidak sesuai dengan Agama Katolik adalah fungsi korban binatang. Dalam pandangan SKDK, permohonannya dikabulkan lewat tanda yang diberikan tuhan pada organ binatang yang disembelih. Hingga saat ini, Gereja Katolik Paroki Padua Mendalam membiarkan praktek SKDK berjalan tanpa suatu penjelasan resmi.

Kelima, untuk interaksi sosial yang menyangkut urusan-urusan penting, Orang Kayaan selalu menggunakan perantara yang disebut dayung (penyambung lidah). Atau orang yang berkepentingan dalam doa itu menilai dirinya tidak mampu untuk berbicara langsung dengan Allah Bapa.

Yang mampu untuk melaksanakan tugas perantara itu adalah nenek moyang yang memiliki kata-kata yang berkenan pada tuhan.

Keenam, dalam Agama Katolik, struktur doa seperti ini juga ada. Dibedakan dengan tegas liturgi ekaristi dan bukan ekaristi. Dalam liturgi ekaristi, Kristuslah satu-satunya perantara kepada Allah Bapa. Tetapi dalam devosi khusus kepada Bunda Maria (Ibu Yesus) dan para kudus yang diakui Gereja Katolik, mereka juga dilihat sebagai perantara.

Bunda Maria dipercayai sebagai perantara antara pendoa dan Yesus. Sedangkan para kudus dipercayai karena doa mereka di surga didengar oleh Allah Bapa. Orang Katolik percaya bahwa perantaraan Bunda Maria dan para orang kudus kepada Allah dapat meningkatkan keyakinan orang akan terkabulnya permohonan. Nampaknya dalam konteks inilah peran nenek moyang itu ditempatkan.

Unsur Katolisisme dalam SKDK: analisis struktur doa Dayung

Struktur doa SKDK seperti yang dilakukan oleh dayung

Umaa Aging untuk Upacara Dange. Doa mereka

ditujukan kepada nenek moyang, sedangkan Tuhan Maha Kuasa (Tanangaan) disebut belakangan. Namun demikian, penulis tidak berani untuk mengatakan bahwa Tuhan tidak utama dalam struktur doa ini. Penjelasan penulis sebagai berikut:

Pertama, awal doa dimulai dengan seruan minta perhatian dan perkenanan “... Terjemahan bebasnya: dengarkanlah kami, hai nenek moyang sekalian. Setelah itu baru dikemukakan alasan mengapa mereka melakukan upacara kurban ini.

Kedua, sengaja ne’.... tidak diterjemahkan. Menurut

Umaa Aging Ne’ itu adalah mata air, yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Dia mengatakan bahwa manusia itu dikandung dalam air, seperti yang terlihat dalam mimpi menimba air.

Tidak ada penjelasan yang menghubungkan Ne’.... dengan Tuhan Maha Kuasa itu. Tetapi jelas dalam doa itu, Ne’.... adalah sesuatu yang mengatur rejeki dalam kehidupan. Kegagalan usaha bertani disebabkan karena Ne’.... tidak dihormati.

Ketiga, kegagalan memperoleh hasil tani juga disebabkan oleh kelalaian manusia untuk memuji dan mensyukuri Tuhan Maha Kuasa (Tanangaan). Dalam rumusan ini jelas Ne’... bukan Tuhan. Tetapi bagaimana hubungannya belum jelas. Intinya kedua mahluk ini pengaruh terhadap usaha tani.

(5)

Kalau penjelasannya seperti itu, maka ada kemungkinan bahwa struktur doa menurut Apiu sama dengan struktur doa Katolik.

Struktur doa untuk keselamatan dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, semua arwah disebut, diundang untuk datang berpesta bersama mereka yang masih hidup. Keluarga masing-masing mengundang juga para leluhurnya, dan secara bersama dalam kampung semua leluhur yang ada di kubur dan juga di mata air datang menikmati hidangan pesta.

Kedua, bagan itu digambar dalam bentuk horizontal hanya untuk menggambarkan adanya dunia sini (komunitas yang masih hidup) dan dunia sana

(Telaangjulaan). Melalui korban kedua komunitas itu disatukan.

Dalam upacara tolak bala (menolak bala kebakaran total rumah dalam satu kampung), struktur doa sama dengan struktur doa tahun baru, tetapi di dalamnya ditambah dengan tuhan. Dengan tambahan ini strukturnya menjadi lain. Struktur doa untuk keselamatan dan penolakan mara bahaya dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, doa tetap dialamatkan ke nenek moyang, sesudah itu baru mereka menyapa tuhan. Begini doanya: Dengarkanlah kami sekalian nenek moyang. Dengarkanlah kami tuhan yang maha kuasa, yang menciptakan langit dan bumi. Kami sudah memperoleh biaya untuk pelaksanaan upacara menolak bala kebakaran.

Kedua, strukturnya digambar dalam bentuk horizontal, karena sebelum babi dipotong, ada upacara khusus untuk mengundang semua arwah dari kubur komunitas dan penjaga mata air (tetap tidak jelas, apakah nenek moyang atau ada mahluk/roh khusus). Malah dalam upacara itu ada dialog antara orang hidup dan orang mati (yang diwakili oleh kelompok tertentu.

Unsur Katolisisme dalam SKDK: analisis struktur doa dalam pesta dange

Struktur doa menurut Umaa Aging sedikit lain. Dalam Upacara Dange, alamat doa atau seruannya ditujukan secara berturut-turut ke nenek moyang, mula-mula seruan awalnya dialamatkan ke nenek moyang, tuhan, mata air, kampung, rumah, keluarga, dan tikar.

Begini doanya. Terjemahan bebas: Datanglah hai sekalian nenek moyang... Dengarkanlah pula tuhan pencipta alam semesta, begitu pula mata air, kampung halaman, rumah, keluarga, dan tikar.

Struktur doa Upacara Dange, dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, kesuksesan acara tergantung pada perlindungan nenek moyang, tuhan maha kuasa, mata air, kampung halaman, rumah, dan tikar dan tentu saja orang yang bertanggungjawab pada acara ini sendiri.

Kedua, tidak dijelaskan secara sistematis oleh informan, tempat tuhan dalam struktur doa itu. Sangatlah sulit dibayangkan kalau tuhan itu disamakan begitu saja dengan pelindung-pelindung lainnya.

Dampak Enkulturasi pada Budaya Dayak Kayaan Proses enkulturasi seperti pada paparan terdahulu telah berdampak pada kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan ritual kehidupan. Penulis menggambarkannya sebagai berikut:

Sikap Ritual SKDK

Kemampuan untuk membacakan dan membawakan doa SKDK pada suatu upacara ritual, tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Orang yang mampu membawakan acara ritual seperti ini disebut

panyangahatn (harafiah: orang yang mampu

membawakan doa SKDK). Pada umumnya setiap kampung memiliki satu atau lebih pelalu iman ini.

Sebelum upacara dilangsungkan harus melakukan persiapan batin/hati dengan baik. Inti dari persiapan itu adalah supaya dia tidak berkata salah, tidak bersikap salah, memohon bimbingan dari roh nenek moyang yang dalam hal ini secara khusus roh semangat, supaya mampu melaksanakan tugas itu dengan baik. Pada saat membawakan doa, tidak boleh ada kata-kata yang ketinggalan.

Urutan harus jelas, dan harus berakhir dengan penutupan yang standar. Sehubungan dengan ini, si pelaksana sering meminum alkohol (brem) terlebih dahulu untuk menghilangkan rasa canggung, malu dan meningkatkan percaya diri saat melantunkan alunan kata-kata doa itu. Pada saat upacara ritual dilaksanakan semua orang-orang penting dalam kampung itu harus duduk bersila di sekelilingnya. Mereka harus diam, dan pada saat tertentu dapat berpartisipasi sejauh menyangkut dirinya.

Pengaruh Katolisisme dalam SKDK

Pertama, proses mengubah struktur SKDK menjadi lebih akomodatif terhadap Ajaran-ajaran Katolik masuk akal dan tidak dapat dihindari lagi.

(6)

penyesuaian itu tidak terlalu banyak. Malah ada yang tidak menyebut tuhan sama sekali.

Kedua, tuhan yang dimaksudkan pasti menunjuk pada tuhan yang diajarkan dalam Agama Katolik. Pastor Ding menyebutnya dengan konsep eksplisit sebagai Allah Bapa, namun di balik konsep tuhan itu, pribadi Yesus sebagai bagian dari Allah Tritunggal masuk dalam kategori berpikir mereka.

Ketiga, walaupun penyesuaian itu sudah terjadi pada SKDK untuk hal yang sangat mendasar, kedua sistem religi itu tetap otonom. Hingga saat ini sebagian besar Orang Kayaan masih menggunakan doa-doa SKDK itu, terutama untuk keselamatan orang mati, walaupun sesudah itu diadakan perayaan ekaristi untuk peristirahatan jiwa (misa requiem).

Keempat, dalam proses penyesuaian itu tetap ada unsur-unsur asli yang masih kelihatan yakni hubungan antara manusia dan nenek moyangnya yang selalu menjadi awal suatu doa: dengarkanlah hai kalian nenek moyang. Unsur ini tetap mengganggu pikiran penulis tentang adanya Agama Asli Kayaan sebagai agama nenek moyang.

Kecenderungan Umum Pengaruh SKDK dalam Agama Katolik

Pertama, yang paling menonjol adalah penggunaan Bahasa Kayaan yang terbatas pada acara-acara tertentu saja. Yang paling menarik bagi Orang Kayaan yang mengenal adat dan sastranya adalah penggunaan padanan kata yang berbunyi mirip dalam doa-doa. Para ahli liturgi melihat hal ini sebagai variasi belaka yang membuat doa dan liturgi itu menjadi lebih menarik.

Kedua, penulis tidak melihat adanya enkulturasi dalam pengembangan doa-doa dalam Bahasa Kayaan. Malah sebaliknya, pengaruh Agama Katolik begitu besar sehingga semua peristiwa penting dalam Tradisi Kayaan di-Katolikkan.

Ketiga, doa-doa dalam SKDK yang berhubungan dengan tahun baru, pesta dan tolak bala, karena sudah sangat Katolik, lebih utuh dalam pengungkapannya sehingga mungkin lebih kena dalam perasaan beragama Katolik Orang Kayaan.

Saling Terima Yang Tidak Seimbang

Kalau A adalah SKDK dan B adalah Agama Katolik maka yang terjadi sekarang setelah keduanya bertemu menghasilkan B yang semakin hidup dan mendominasi A, walaupun keduanya tetap mandiri. Jadi dalam formulanya A + B tetap menjadi A + B. Salah satu inti perbedaan keduanya adalah korban persembahan binatang (babi, ayam).

Tentang hewan korban ini nampaknya Gereja Katolik Kayaan tidak bisa tawar menawar, tetapi juga tidak mencegah berjalannya upacara SKDK yang campur aduk tidak karuan dengan unsur-unsur penting (seperti

Tipang Tanangaan) dalam Agama Katolik.

5.Konklusi

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa terjadinya enkulturasi pada Budaya Dayak Kayaan telah mengubah jantung di Budaya Dayak Kayaan yaitu ritual Adat Kayaan. Ritual Adat Kayaan saat ini menyerupai ritual dalam Agama Katolik.

Studi ini juga memerlihatkan bahwa proses enkulturasi ini telah menghilangkan Agama Kayaan (agama asli), yang tersisa hanyalah sebutan Tanangaan untuk sebutan untuk tuhan dalam bahasa asli . Penggunaan Bahasa Kayaan yang sebelumnya terbatas pada acara-acara tertentu saja sekarang mewarnai proses liturgi .

Yang paling menarik dari proses enkulturasi ini adalah adat dan sastranya menggunakan padanan kata yang berbunyi mirip dalam doa-doa di Agama Katolik.Pesta Budaya Dange walaupun menyajikan sesajian Dayak Kayaan tetapi doa-doa yang disampaikan bermuatan ajaan Agama Katolik.

Jadi dialektika enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Kayaan, Ibarat kontestasi yang tidak seimbang, kemenangan berada dalam Gereja Katolik. Reproduksi nilai dasar Katolisisme dalam bidang pendidikan dan pembangunan sosial, sudah merembet ke bidang yang sangat mendasar yakni agama tradisional. Bahkan Agama Kayaan sudah hilang

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Bimas Katolik Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah mendanai penelitian ini pada tahun anggaran 2015 melalui Sekolah Tinggi Pastoral Santo Agustinus Keuskupan Agung Pontianak.

Referensi

[1] S. B. Bevans. 1996. “Inculturation of Theology in Asia (The

Federation of Asian Bishops’ Conferences, 1970-1995),”

Stud. Mission. Stud. Mission., vol. 45, pp. 1–23.

[2] M. I. (Universitas T. Jumarang, M. (Universitas Tanjungpura), N. S. (Institut T. B. Ningsih, and S. (Institut T. B. Hadi. 2012. “Perubahan Dasar Perairan Estuari Sungai Kapuas Kalimantan Barat (Studi Kasus: Bulan Januari s.d.

April),” SIMETRI, vol. 1, no. D, pp. 42–46.

[3] R. L. Wadley and M. Eilenberg. 2005. “Autonomy, Identity, and ‘Illegal’ Logging in the Borderland of West

Kalimantan, Indonesia,” Asia Pacific J. Anthropol., vol. 6,

no. 1, pp. 19–34.

(7)

[5] C. F. Starkloff. 1994. “Inculturation and cultural systems

(Part 2),” Theol. Stud., vol. 55, no. 2, p. 274.

[6] M. Poplawska. 2008. “Christian music and inculturation in Indonesia,”.

[7] C. Geertz.1993. "Religion as a cultural system" vol. 6862608, no. 6.

[8] Sriti Mayang Sari. 2007. “Wujud Budaya Jawa Sebagai Unsur Enkulturasi Interior Gereja Katolik,”Dimens. Inter., vol. 5, no. 1, p. pp.44-53.

[9] M. A. Luardini.2016.“Socio-Cultural Values of Traditional

Communities: A Case Study of the Dayak in Kalimantan,”

Asian Cult. Hist., vol. 8, no. 2, p. 1.

[10] Sugiyono. 2011. “Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R & D,” Bandung Alf., p. 90.

[11] L. Moleong.2006. “Metodologi penelitian,” Kualitalif

Sasial, pp. 31–44.

[12] M. McMullen. 1998. “The Religious Construction of a

Global Identity : An Ethnographic Look at the Atlanta Bahai Community,” in Contemporary American Religion :

An Ethnographic Reader, pp. 221–243.

[13] A. Belanger-Vincent. 2011. “Multisited Ethnography. Theory, Praxis, and Locality in Contemporary Research,”

Anthropologica, vol. 53, no. 1, pp. 181–182.

[14] B. Shantiko, E. Fripp, T. Taufiqoh, T. Heri, and Y. Laumonier. 2013. “Socio-economic considerations for

land-use planning; The case of Kapuas Hulu, West Kalimantan,”

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melakukan perencanaan dan pembuatan sistem kemudian melakukan pengujian terhadap sistem pengaman kendaraan bermotor, maka dapat disimpulkan bahwa sistem yang

Perguruan tinggi raharja memiliki website resmi yaitu raharja.ac.id sebagai tempat berbagai informasi yang ada di perguruan tinggi raharja untuk mengoptimalkan website

Perbedaan hasil belajar ini dapat disebabkan karena dalam proses pembelajaran di kelas yang menerapakan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, siswa terlihat

Manfaat imunisasi adalah untuk melindungi anak dan balita dari beberapa penyakit infeksi yang berbahaya.Yang perlu mendapatkan pelayanan imunisasi adalah anak umur

Media pembelajaran merupakan salah satu unsur penting dalam suatu proses belajar mengajar. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain mendefinisikan media sebagi alat bantu

Kinerja pegawai pada Dinas Bina Marga, Cipta Karya, Tata Ruang, Pertanahan, dan Perumahan Rakyat Kabupaten Sidenreng Rappang, meliputu tujuh indikator yakni, ketetapan

Jedini ispravan i potpun odgovor na pitanje svrhe života može dati samo Stvoritelj života, Uzvišeni Allah:.. Džine i ljude sam stvorio samo zato da Mi se

pula lemahnya arus informasi dan rendahnya kemampuan lembaga pelaksana di lapangan tidak mendapat prioritas penanganan yang cukup. Setiap proses pekerjaan dapat dipastikan