• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kasus Perbuatan Melawan Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Kasus Perbuatan Melawan Hukum"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Kasus Perbuatan Melawan Hukum

No.21 / Pdt. G/ 2014/ PN. Jkt Tim.

PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Oleh :

Reni Ayu Wulandari

E1A014078

Kelas B

Universitas Negeri Jenderal Soedirman

Fakultas Hukum

(2)

Bab 1

Keterangan Kasus:

a.

Para Pihak

-

Penggugat :

PT.SUZUKI INDOMOBIL SALES

Berkedudukan di Jakarta beralamat di Jalan MT.Haryono Kav.8 Wisma Indomobil

Lantai 8 Biadara Cina Jatinegaraa Jakarta Timur

-

Tergugat I :

CV.DISCOVERY INDUSTRI KAROSERI

beralamat di Jalan Raya Wanaherang Cikuda Kp Jampang No.9

Gunung Putri Bogor

-

Tergugat II :

Tn.Drs.H.YAHYA DADANG

Selaku Direktur CV.DISCOVERY INDUSTRI KAROSERI beralamat diJalan Wana

Umur 40 Tahun, Pekerjaan Pegawai Swasta, Alamat Jl. Jalan Raya Wanaherang

Cikuda Kp Jampang No.9 Gunung Putri Bogor

b.

Duduk Perkara

TENTANG DUDUK PERKARANYA.

Menimbang, bahwa Penggugat dalam surat gugatannya tertanggal Jakarta 13 Januari 2014, yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam daftar Register Nomor : 21/Pdt.G/2014/PN.JKT.Tim,tanggal 21 Januari 2014 telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

(3)

2. Bahwa, pada tanggal 07 Agustus 2000 PENGGUGAT menerima order dari TERGUGAT I dengan dasar hubungan baik dan saling

menguntungkan PENGGUGAT menerima order dari TERGUGAT untuk menyediakan 10 (sepuluh) unit Kendaraan Roda Empat Merk Suzuki Type Caribian untuk MABES TNI AU.

3. Bahwa untuk melaksanakan order tersebut diatas, PENGGUGAT telah memproses order senilai sebesar Rp.945.000.000,- (sembilan ratus empat puluh lima juta rupiah), pada tanggal 18 Agustus 2006 PENGGUGAT memerintahkan kepada CV. SURYA RAYA untuk

mengeluarkan 10 (sepuluh) unit Surat Jalan kendaraan in casu kepada TERGUGAT I,

4. Bahwa, PENGGUGAT telah memenuhi prestasinya dengan telah

mengirimkan 10 (sepuluh) unit kendaraan in casu kepada TERGUGAT I, oleh karenanya mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus dalam perkara ini menyatakan bahwa PENGGUGAT I adalah penjual yang beritikad baik yang telah memenuhi syarat jual beli antara PENGGUGAT dan TERGUGAT I adalah sah menurut peraturan perundang undangan yang berlaku.

5. Bahwa, setelah TERGUGAT I menerima 10 (sepuluh) unit kendaraan in casu, maka TERGUGAT I mengirimkan kembali kendaran in casu kepada Mabes ·AU, terdiri dari beberapa pengiriman, yaitu :

a. Tangggal 22 Agustus 2000 Tanda Terill'ul Chassis' Kendarllatl dliri TERGUGAT I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka 700655, No. Mesin 700655; (BuktiP - 11)

b. Tanggal 23 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis! Kendaraan dari TERGUGA T I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka 700668, No. Mesin 700668; (BuktiP = 12)

c. Tanggal 24 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis/Kendaraan dari TERGUGAT I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka 700664, No. Mesin 700664; (BuktiP - 13)

d. Tanggal 25 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis/Kendaraan dari TERGUGA T I kepada MABES AU, Suzuki Caribian No. Rangka 700(j(jO,NQ,M~sin 700660; (Bukti P -14)

e. Tanggal 26 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis/Kendaraan dari TERGUGAT I kepada MABES AU, Suzuki Carlbian 13, No. Rangka 700669, No. Mesh. 700669~ (BuktiP - 15)

(4)

g. Tanggal 28 Agustus 2006 Tanda Tsrima Chassis! Kendaraan dari TEROUGA T I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka 700655, No. Mesin 700655; (Bukti P - 17)

h. Tanggal 29 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis! Kendaraan dari TERGUGA T I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka 700656, No. Mesin 700656; (Bukti P - 18)

i. Tanggal 30 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis! Kendaraan dari TERGUGAT I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka 700666, No. Mesin 700666; (Bukti P - 19)

J. Tanggal 31 Agustus 2006 Tanda Terima Chassis! Kendaraan dari TERGUGAT I kepada MABES AU, Suzuki Caribian 1.3, No. Rangka 700662, No. Mesin 700662; (Bukti P - 20)

6. Bahwa, selanjutnya pada tanggal 30 September 2006, PENGGUGAT memproses permintaan order dari TERGUGAT I Nomor DO : 4823634 sampai dengan 4823643 untuk menyediakan 10 (sepuluh) unit kendaraan in casu, dimana setiap kendaraan in casu masing-masing seharga Rp.93.500.000,- (sembilan puluh tigajuta lima ratus ribu rupiah) dengan demikian total order dari TEGUGAT I adalah 10 (sepuluh) unit x Rp.93.500.000,- (sembiIan puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah) sebesar Rp, 935.000,000, (sembilan ratus tiga puluh lima juta rupiah) ditambah dengan biaya lain-lain sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) sehingga total dari kendaraan in casu yang diorder oleh TERGUGAT I sebesar Rp. 945.000.000,- (sembilan ratus empat puluh lima juta rupiah). (Bukti P - 21)

7. Bahwa, pada bulan Oktober 2006 PENGGUGAT meminta kepada TERGUGAT I untuk pembayaran 10 (sepuluh) unit kendaraan in casu, namun pembayaran tidak dapat terlaksana dengan alasan bahwa TERGUGAT I belum menerima pembayaran dari MABES TN! AU. 8. Selanjutnya pada bulan Desember 2006 PENGGUGAT menerima

informasi bahwasannya MABES TN! AU telah melakukan pembayaran kepada TERGUGAT I melalui TERGUGAT II, oleh karena itu PENGGUGAT kembali meminta pembayaran kepada TERGUGAT II

9. Bahwa, pada tanggal 19 Januari 2007 TERGUGAT II melakukan pembayaran dengan Bilyet Giro (BG) Nomor 793805 pada PT. Bank International Indonesia KCU Thamrin sebesar Rp. 945.000.000,- (sembilan ratus empat puluh lima juta rupiah) melalui Bank Cei:ltl'al ASia. (Bukti P - 22)

10.Selanjutnya pada tanggal 23 Januari 2007 PENGGUGAT berusaha untuk mencairkan pembayaraan uang yang diterima oleh TERGUGAT II, namun pada saat akan mencairkan ternyata BG tersebut ditolak oleh Bank BCA dengan alasan penolakan Saldo Rekening Giro atau

(5)

11.Bahwa, mengetahui BG nya ditolak oleh Bank BCA maka PENGGUGAT meminta kembali kepada TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk

melakukan pembayaran terhadap 10 (sepuluh) unit kendaraan in casu. 12.Bahwa, pada tanggal 29 Mei 2007 TERGUGAT I mengeluarkan Cek No;

CF 27]876 pada Bank Negara Indonesia (persero) Tbk sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) kepada PENGGUGAT melalui Bank Central Asia. ( Bukti P - 24)

13.Bahwa, pada tanggal 05 Juni 2007 PENGGUGAT kembali mencairkan Cek yang di berikan o!eh TERGUGAT I melalui Bank BCA, namun lagi-lagi cek tidak dapat dicairkan dengan alasan bahwasannya penolakan Saldo Rekening Giro atau Rekening Giro Khusus tidak cukup. (Bukti P - 25)

14.Bahwa, pada tanggal 11 Juni 2007 diadakan pertemuan antara

PENGGUGAT dengan TERGUGAT I dan TERGUGAT II dalam pelaksanaan pembayaraan 10 (sepuluh) unit kendaraan in casu. Dimana dalam perternuan tersebut TERGUGA T II telah sepakat dan menandatangani Perjanjian Pembayaran Hutang (Bukti P - 26) serta Surat Pengakuan Hutang (Bukti P-27) kepada PENGGUGAT, dimana TERGUGAT II dalam Surat Pengakuan Hutang akan melunasi pembayaraan 10 (sepuluh) unit in casu pada tanggal18 JUDi 2007. Yang pada intinya apabila ternyata pada tanggal 18 Juni 2007 tidak melunasi pembayaran tersebut maka TERGUGAT II memberikan Kuasa Khusus kepada PENGGUGAT untuk menarik kembali 10 (sepuluh) unit kendaraan in casu dari MABES TN! AU.

15.Bahwa, selanjutnya pada tanggal 04 Juli 2007 diadakan pertemuan antara PENGGUGAT dengan pejabat-pejabat TNI AU untuk

membicarakan wanprestasi TERGUGAT I dan TERGUGAT II pembayaraan 10 (sepuluh) unit in casu, dimana PENGGUGAT

menyatakan kepada pejabat-pejabat TN! AU akan ditarik 10 (sepuluh) unit in casu sesuai dengan Surat Pengakuan Hutang TERGUGAT II tertanggal 15 Juni 2007. Didalam pertemuan dengan pejabat-pejabat TNl AU diketahui bahwasannya TNI AU telah membayar lunas sebesar Rp. 945.000.000,- (sembilan ratus empat puluh lima juta rupiah) kepada PENGGUGAT dan dalam pertemuan tersebut TNI AU bersedia membantu PENGGUGAT untuk melakukan penagihan kepada

TERGUGAT I dan TERGUGAT II. Bahwa, oleh karenanya mohon kepada Majelis Hakim yang merneriksa dan rnemutus dalam perkara ini menyatakan bahwa TERGUGAT I dan TERGUGAT II adalah pembeli yang beritikad tidak baik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(6)

TERGUGAT I dan TERGUGAT II tetap tidak melaksanakan kewajiban pembayarannya, meskipun TERGUGAT I dan TERGUGAT II telah di tegur maupun di peringatkan melalui surat maupun lisan;

17.Bahwa sebagaimana disebutkan diatas yakni order dilakukan oleh TERGUGAT I adalah semata-mata demi kepentingan saling

menguntungkan PENGGUGAT dengan TERGUGA T II.

18.Bahwa oleh karena itu pada tempatnya bila PENGGUGAT mahan kehadapan Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur melalui Maielis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini berkenan untuk menyatakan TERGUGAT I dan TERGUGAT II telah melakukan perbuatan wanprestasi terhadap PENGGUGAT.

19.Bahwa untuk rnenjamin dilaksanakan pembayaran tersebut dan untuk menjamin agar TERGUGA T I tidak menghindar dari kewajibannya serta agar putusan dalam perkara ini tidak illusoir (sia-sia) maka pada

tempatnya bila PENGGUGAT mahan kehadapan Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur berkenan untuk meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta tidak bergerak milik TERGUGAT II, sebagai berikut : Sebuah rumah tinggal milik TERGUGAT II yang terletak di Jalan Raya Wanaherang,Cikuda Kp. Jarnpang No.9, Gunung Putri Bogur. Yang kemudian dinyatakan sah dan berharga. 20.Bahwa karena gugatan ini diajukan berdasarkan bukti-bukti yang

akurat, sah dan berdasarkan hukum maka pada tempatnya bila Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur berkenan untuk berkenan untuk menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada bantahan (verzet) banding maupun kasasi. Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah disampaikan seperti tersebut diatas, tidaklah berlebihan dan cukup alasan hukum kiranya bila Bapak ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menerima, memeriksa dan mengadili perkara in-casu untuk sependapat dengan PENGGUGAT dan kernudian berkenan untuk rnemberikan putusan sebagai berikut: 1. Menerima gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya;

2. Menyatakan TERGUGAT I dan TERGUGAT II telah melakukan perbuatan wanprestasi terhadap PENGGUGAT;

3. Meletakkan sita jarninan (Conservatoir Beslag) terhadap harta tidak bergerak rnilik TERGUGAT I dan TERGUGAT II sebagai berikut: Sebuah rumah tinggal milik TERGUGAT yang terletak di Jalan Raya

Wanaherang, Cikuda Kp. Jampang No.9, Gunung Putri Bogor. Yang kemudian dinyatakan sah dan berharga;

4. Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk membayar ganti kerugian kepada PENGGUGAT sebesar Rp. 945.000.000,-(sembilan ratus empat puluh lima juta rupiah) secara tunai dan kontan dari sejak saat dibacakan putusan pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur;

5. Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk melakukan

(7)

Rp. 945.000.000,- (sembilan ratus empat puluh lima juta rupiah) secara tunai dan kontan sejak putusan dalam perkara in-casu memperoleh kekuatan hukum tetap;

6. Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk membayar denda keterlambatan (dwangsom) sebesar 2.5% (dua koma lima persen) pertahun dari sebesar Rp. 945.000.000, (sembilan ratus empat puluh lima juta rupiah) apabila TERGUGAT I dan TERGUGAT II lalai terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur;

7. Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada bantahan (verzet) banding maupun kasasi;

8, Menghukum TERGUGAT I dan TERGUGAT II untuk mernbayar bjaya perkarai

Menimbang, bahwa pada hari persidangan pertama Penggugat hadir kuasanya seperti tersebut diatas akan tetapi untuk Tergugat I dan II tidak pernah hadir dipersidangan dikarenakan berdasarkan surat dari Panitera/ sekretaris Pengadilan Negeri Bogor dijelaskan bahwa alamat para Tergugat

seperti yang tertera dalam gugatan berada diwilayah hukum Pengadilan Negeri Cibinong maka atas hal ini kuasa Penggugat mengajukan revisi terhadap perubahan alamat para Tergugat seperti dalam suratnya tertanggal

20 Febuari 2014 dan kemudian dilakukan pemanggilan terhadap para Tergugat tersebut akan tetapi sebagaimana relaas panggilan sidang tanggal

10 Febuari 2014 yang menyatakan para Tergugat I dan II tidak beralamat pada alamat dimaksud maka selanjutnya Majelis melakukan panggilan umum

lewat Kantor Pemerintah Daerah dan media masa seperti pada relas tanggal 3 Maret 2014 ,tanggal 4 April 2014, tanggal 18 Maret 2014 dan tanggal 22

April 2014 akan ternyata pihak Tergugat I dan II pun tetap tidak hadir dan tidak ternyata ketidak hadiran Tergugat I dan II tersebut disebabkan suatu halangan yang sah, maka Tergugat I dan II harus dinyatakan tidak hadir dan

(8)

dipersidangan walaupun telah dipanggil secara sah sebagaimana yang diuraikan diatas, maka menurut pasal 125 ayat 1 HIR gugatan tersebut dapat

diterima, kecuali jika nyata bagi Pengadilan Negeri bahwa gugatan itu melawan hukum atau tidak beralasan ;

Menimbang, bahwa selanjutnya pemeriksaan perkara ini dimulai dengan pembacaan surat gugatan Penggugat, dan selanjutnya Penggugat

menyatakan tetap pada surat gugatannya ;

Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil gugatannya Penggugat telah mengajukan bukti-bukti surat berupa Foto Copy yang telah diberi

meterai secukupnya yaitu :

1. Foto copy Surat Jalan No : 108193 Untuk Do : 4029618 di beri tanda ...

(P-1). 11 Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun

belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11

Mahkamah Mahkamah Agung Republik Mahkamah Agung Republik Indonesia Mahkamah Agung Republik Indonesia

Republik Indonesia

(9)

2. Foto copy Surat Jalan No : 108198 untuk DO : 4029614, di beri tanda ...

(P-2).

3. Foto copy Surat Jalan No : 108157 Untuk Do : 4029623 di beri tanda ...

.(P-3).

4. Foto copy Surat Jalan No : 108195 untuk DO : 4029619, di beri tanda ...

(P-4).

5. Foto copy Surat Jalan No : 108349 Untuk Do : 4029615 di beri tanda ...

..(P-5).

6. Foto copy Surat Jalan No : 108351 untuk DO : 4029616, di beri tanda ...

(P-6).

7. Foto copy Surat Jalan No : 108197 Untuk Do : 4029621 di beri tanda ...

.(P-7).

8. Foto copy Surat Jalan No : 108352 untuk DO : 4029617, di beri tanda ...

(P-8).

9. Foto copy Surat Jalan No : 108196 Untuk Do : 4029620 di beri tanda ...

(P-9).

(10)

(P-10).

11. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes AU No.rangka 700655 tanggal 22 Agustus 2006, diberi

tanda ... (P-11).

12. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes AU No. Rangka 700668 tanggal 22 Agustus 2006, diberi tanda ...

(P-12) 12 Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun

belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12

Mahkamah Mahkamah Agung Republik Mahkamah Agung Republik Indonesia Mahkamah Agung Republik Indonesia

Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id

13. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes AU No.rangka 700664 tanggal 22 Agustus 2006, diberi

(11)

14. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes AU No. Rangka 700608 tanggal 22 Agustus 2006, diberi tanda ...

(P-14)

15. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes AU No.rangka 700669 tanggal 22 Agustus 2006, diberi

tanda ... (P-15).

16. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes AU No. Rangka 700651 tanggal 22 Agustus 2006, diberi tanda ...

(P-16)

18. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes AU No.rangka 700656 tanggal 22 Agustus 2006, diberi

tanda ... (P-18).

19. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes AU No. Rangka 700666 tanggal 22 Agustus 2006, diberi tanda ...

(P-19)

20. Foto copy tanda terima chassis/ kendaraan dari Tergugat I kepada Mabes AU No.rangka 700662 tanggal 22 Agustus 2006, diberi

tanda ... (P-20).

(12)

(P-21)

22. Foto copy Bilyet Giro No. 793805 PT.Bank International Indonesia KCU Thamrin, diberi tanda ... (P-22). 23. Foto copy surat penolakan BG dari Bank BCA tanggal 23 Januari 2007, diberi tanda ... (P-23).

13 Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun

belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13

Mahkamah Mahkamah Agung Republik Mahkamah Agung Republik Indonesia Mahkamah Agung Republik Indonesia

Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id

24. Foto Copy cek No. CF 273876 Bank Negara Indonesia tanggal 29 Mei 2007, diberi tanda ... (P-24). 25. Foto copy Surat perjanjian pembayaran hutang tanggal 11 Juni 2007, diberi tanda ... (P-25). 26. Foto copy surat dari Penggugat kepada Mabes AU No.1241/IMNI/GALLST/

(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perbuatan Melawan Hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdt. Rumusan norma dalam pasal ini unik, tidak seperti

ketentuan-ketentuan pasal lainnya. Perumusan norma Pasal 1365 KUHPerdt. Lebih merupakan struktur norma daripada substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap. Oleh karenanya substansi ketentuan Pasal 1365 KUPerdt. senantiasa memerlukan materialisasi di luar KUHPerdt.[1] Oleh karena itu perbuatan melawan

hukum berkembang melalui putusan-putusan pengadilan dan melalui undang-undang. Perbuatan Melawan Hukum dalam KUHPerdt.[2] diatur dalam buku III tentang Perikatan. Perbuatan melawan hukum Indonesia yang berasal dari Eropa

Kontinental diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdt. sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdt. Pasal-pasal tersebut mengatur bentuk tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum.[3] Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdt. pada

awalnya memang mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme.[4] Pengertian yang dianut adalah bahwa perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum

(14)

Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sama dengan melawan undang-undang (onwetmatige daad). Aliran ini ditandai dengan

Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 dalam perkara Singer Naaimachine. Perkara bermula dari seorang pedagang menjual mesin jahit merek “Singer” yang telah

disempurnakan. Padahal mesin itu sama sekali bukan produk Singer. Kata-kata “Singer” ditulis dengan huruf yang besar, sedang kata-kata yang lain ditulis

kecil-kecil sehingga sepintas yang terbaca adalah “Singer” saja. Ketika pedagang itu digugat di muka pengadilan, H.R. antara lain mengatakan bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan tindakan melawan hukum karena tidak setiap

tindakan dalam dunia usaha, yang bertentangan dengan tata krama dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum. Pada putusan berikutnya,

Hoge Raad berpendapat sama dalam kasus Zutphense Jufrouw. Perkara yang diputuskan tanggal 10 Juni 1910 itu bermula dari sebuah gudang di Zutphen. Iklim

yang sangat dingin menyebabkan pipa air dalam gudang tersebut pecah, sementara kran induknya berada dalam rumah di tingkat atas. Namun penghuni di

tingkat atas tersebut tidak bersedia memenuhi permintaan untuk menutup kran induk tersebut;sekalipun kepadanya telah dijelaskan, bahwa dengan tidak ditutupnya kran induk, akan timbul kerusakan besar pada barang yang tersimpan

dalam gudang akibat tergenang air. Perusahaan asuransi telah membayar ganti kerugian atas rusaknya barang-barang tersebut dan selanjutnya menggugat penghuni tingkat atas di muka pengadilan. Hoge Raad memenangkan tergugat

dengan alasan, bahwa tidak terdapat suatu ketentuan undang-undang yang mewajibkan penghuni tingkat atas tersebut untuk mematikan kran induk guna kepentingan pihak ketiga. Dengan kata lain Hoge Raad di Belanda memandang perbuatan melawan hukum secara legistis. Pemandangan legistis itu kemudian berubah pada tahun 1919 dengan putusan Hoge Raad 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen v. Lindenbaum yang dikenal sebagai drukkers arrest. Pada perkara

ini Hoge Raad mulai menafsirkan perbuatan melawan hukum secara luas. Dalam perkara ini, Cohen seorang pengusaha percetakan telah membujuk karyawan percetakan Lindenbaum untuk memberikan copy-copy pesanan dari

langganan-langganannya. Cohen memanfaatkan informasi ini sehingga Lindenbaum mengalami kerugian karena para langganannya lari ke perusahaan Cohen. Selanjutnya Lindenbaum menggugat Cohen untuk membayar ganti kerugian kepadanya. Gugatan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri (rechtbank). Pengadilan Tinggi (Hof) sebaliknya membatalkan keputusan Pengadilan Negeri dengan pertimbangan bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, yakni telah melanggar suatu kewajiban

hukum, namun tidak berlaku bagi Cohen karena undang-undang tidak melarang dengan tegas bahwa mencuri informasi adalah melanggar hukum. Hoge Raad membatalkan keputusan Hof atas dasar pertimbangan, bahwa dalam keputusan Pengadilan Tinggi makna tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)

(15)

perbuatan-perbuatan ini bertentangan dengan keharusan dan kepatutan, yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat bukan merupakan perbuatan melawan

hukum.

Dengan adanya arrest ini maka pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas. Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan

yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yaitu (a) perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku[6] dan (b) melanggar hak subyektif orang lain,

[7] tetapi juga (c) perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaedah yang mengatur tata susila,[8] (d) kepatutan,[9] ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau

terhadap harta benda warga masyarakat. Penilaian mengenai apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum, tidak cukup apabila hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi perbuatan tersebut

harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi

sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.

1.2 Masalah

1.3 Tujuan

(16)

1.1 Pengertian Perbuatan Melawan hukum

1. R. Wirjono Projodikoro mengartikan kata onrechtmatigedaad sebagai perbuatan melanggar hukum[10]. Menurutnya perkataan “perbuatan” dalam

rangkaian kata-kata “perbuatan melanggar hukum” dapat diartikan positif melainkan juga negatif, yaitu meliputi juga hal yang orang dengan berdiam diri saja

dapat dikatakan melanggar hukum karena menurut hukum seharusnya orang itu bertindak. Perbuatan negatif yang dimaksudkan bersifat “aktif” yaitu orang yang diam saja, baru dapat dikatakan melakukan perbuatan hukum, kalau ia sadar, bahwa ia dengan diam saja adalah melanggar hukum. Maka yang bergerak bukan

tubuhnya seseorang itu, melainkan pikiran dan perasaannya. Jadi unsur bergerak dari pengertian “perbuatan” kini pun ada. Perkataan “melanggar” dalam rangkaian

kata-kata “perbuatan melanggar hukum” yang dimaksud bersifat aktif, maka menurut beliau perkataan yang paling tepat untuk menerjemahkan

onrechtmatigedaad ialah perbuatan melanggar hukum karena istilah perbuatan melanggar hukum menurut Wirjono Prodjodikoro ditujukan kepada hukum yang pada umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan hukum

adat.[11]

2. Subekti juga menggunakan istilah perbuatan melanggar hokum dalam menerjemahkan BW, ini bisa dilihat pada terjemahan bahasa Indonesia untuk Pasal

1365.[12]Terminologi “perbuatan melawan hukum” antara lain digunakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, dengan mengatakan: “Pasal 1365 KUHPerdt. menentukan bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut” Selanjutnya dikatakan bahwa “Pasal 1365 KUHPerdt. ini sangat penting artinya karena melalui pasal ini hukum yang

tidak tertulis diperhatikan oleh undang-undang.[13]

3. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dan I.S. Adiwimarta dalam menerjemahkan buku H.F.A. Vollmar juga mempergunakan istilah perbuatan melawan hukum. Selain

itu istilah yang sama juga digunakan oleh M.A. Moegni Djojodirjo dalam bukunya yang berjudul Perbuatan Melawan Hukum. Digunakannya terminologi Melawan hukum.[14] bukan Melanggar Hukum oleh M.A. Moegni Djojodirjo karena dalam kata

“melawan” melekat sifat aktif dan pasif.[15] Sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga nampak dengan jelas sifat aktifnya

dari istilah “melawan tersebut”. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam saja atau dengan sengaja diam saja atau dengan lain perkataan apabila ia dengan sikap

(17)

4. Rosa Agustina sependapat dengan Mariam Darus Badrulzaman bahwa terminologi melawan hukum mencakup substansi yang lebih luas, yaitu baik perbuatan yang didasarkan pada kesengajaan maupun kelalaian.[17] Mariam Darus

Badrulzaman dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perikatan berusaha merumuskannya secara lengkap sebagai berikut:

1. Suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau kelalainnya menerbitkan

kerugian itu mengganti kerugian tersebut;

2. Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan

kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda orang lain;

3. Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan wajib dilakukannya, disamakan dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan

karenanya melanggar hukum.

Perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah mengabsorpsi perkembangan pemikiran yang baru mengenai perbuatan melawan

hukum. Sebab dalam konsep itu pengertian melawan hukum menjadi tidak hanya diartikan sebagai melawan undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan

masyarakat (hukum tidak tertulis).

5. Menurut Sudargo Gautama istilah perbuatan melawan hukum telah lama memusingkan para ahli hukum yang harus mempergunakan undang-undang. Dalam

hukum Barat, pengertian perbuatan melawan hukum semakin lama

memperlihatkan sifat semakin meluas. Semakin banyak perbuatan-perbuatan yang dahulu tidak termasuk “melawan hukum” sekarang termasuk istilah itu.[18] Indonesia telah menganut pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti yang luas. Hal ini dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung RI No. 3191 K/Pdt./1984 tentang kasus Masudiati v I Gusti Lanang Rejeg.[19] Mahkamah Agung memutuskan

mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan pertimbangan bahwa Tergugat telah melanggar

norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat sehingga menimbulkan kerugian terhadap diri Penggugat. Dengan mendasarkan pada norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat yang merupakan hukum tidak tertulis maka dapat

disimpulkan bahwa Pengadilan Indonesia telah menganut penafsiran luas mengenai perbuatan melawan hukum.

1.3 Kriteria Perbuatan Melawan Hukum

Sejak putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum Cohen, konsep perbuatan melawan hukum telah berkembang. Sejak itu terdapat 4

(18)

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2. Melanggar hak subyektif orang lain;

3. Melanggar kaidah tata susila;

4. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat

atau terhadap harta orang lain. Kriteria pertama dan kedua berhubungan dengan hukum tertulis sedangkan kriteria ketiga dan keempat berhubungan dengan hukum tidak terulis. Hofman menerangkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan melawan

hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu:

1. Er moet een daad zijn verricht (harus ada yang melakukan perbuatan); 2. Die daad moet onrechtmatig zijn (perbuatan itu harus melawan hukum); 3. Die daad moet aan een ander schade heb bentoege bracht (perbuatan itu harus

menimbulkan kerugian pada orang lain);

4. De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena kesalahan yang dapat ditimpakan kepadanya).

Sejalan dengan Hofman, Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan

melawan hukum adalah sebagai berikut:

1. Harus ada perbuatan. Yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat poitif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak

berbuat;

2. Perbuatan itu harus melawan hukum; 3. Ada kesalahan;

4. Ada kerugian;

5. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;

Berikut ini penjelasan bagi masing-masing unsur dari perbuatan melawan hukum tersebut, yaitu sebagai berikut:[20]

1. Adanya Suatu Perbuatan

(19)

berbuat sesuatu (aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif). Oleh karena itu, terhadap perbuatan melawan hukum tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan”sebagaimana yang

terdapat dalam kontrak”.

2. Perbuatan Tersebut Melawan Hukum

Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi

hal-hal sebagai berikut:

a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku; b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum si pelaku;

c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden); e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid,

welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzein van ander person of goed)

3. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku

Agar dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdt. tentang Perbuatan Melawan Hukum, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Dengan dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdt,

pembuat undang-undang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum, hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya. Suatu tindakan dianggap

oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Ada unsur kesengajaan;

b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa);

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.

4. Adanya Kerugian Bagi Korban

(20)

karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil, yurisprudensi juga

mengakui konsep kerugian immaterial yang juga akan dinilai dengan uang.

5. Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian

Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan

sebab akibat ada 3 macam teori, yaitu: a. Teori Hubungan Faktual

Hubungan sebab akibat secara factual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara factual telah terjadi. Setiap penyebab yang

mengakibatkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam

hukum tentang perbuatan melawanhukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai “sine qua non”. Von Buri merupakan salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini.[21]

b. Teori Penyebab Kira-Kira

Teori ini bertujuan agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep proximate cause atau sebab

kira-kira. Proximate cause merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. Kadang-Kadang untuk penyebab jenis ini disebut juga dengan istilah legal

cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya.

c. teori adequate veroorzaking

yang dikemukakan oleh von kries, menurut teori ini, yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal sepatutnya dapat

diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini akibatnya adalah kerugian. Jadi, antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung

(hubungan sebab akibat).[22] d. teori sebab akibat dalam ilmu sosial

(21)

1. Causal mechanism

Teori ini menyatakan bahwa meskipun disertai dengan serangkaian peristiwa, namun peristiwa yang disyaratkan dalam teori ini haruslah berada dalam suatu keteraturan yang pasti, yang berada dalam satu rangkaian yang dapat diperkirakan

sebelumnya, teori ini tidak hanya membatasi pada hal-hal yang tampak nyata sebagai akibat langsung, melainkan juga pada hal-hal yang dapat saja menjadi akibat tidak langsung, selama dan sepanjang semua sebab akibat tersebut masih

berada dalam suatu keteraturan yang pasti.

2. Inductive regularity, inilah yang akan menentukan ada tidaknya hubungan causal atau sebab akibat.

3. Necessary dan sufcient conditions.

Dengan mengetahui Necessary dan sufcient conditions ini orang akan lebih mudah memahami apakah memang suatu akibat adalah karena sebab tertentu, apakah sebab yang dikemukakan tersebut hanyalah semata-mata pencetus atau sesuatu

sebab yang mempermudah atau mempercepat terjadinya akibat tersebut, dan bukan merupakan sebab pokok kenapa suatu akibat tertentu dapat terjadi. 1.4 Teori Relativitas (Schutznormtheorie) Dalam Perbuatan Melawan Hukum Teori relativitas berasal dari hukum Jerman yang dibawa ke negeri Belanda oleh Gelein Vitringa.65 Kata “schutz” secara harafah berarti “perlindungan”, sehingga

dengan istilah “schutznorm” secara harafah berarti “norma perlindungan”. Teori relativitas atau schutznormtheorie merupakan pembatasan dari ajaran yang luas dari perbuatan yang melawan hukum. Schutznormtheorie mengajarkan, bahwa

perbuatan yang bertentangan dengan kaidah hukum dan karenanya adalah melawan hukum, akan menyebabkan si pelaku dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan tersebut, bilamana norma yang dilanggar

itu dimaksudkan untuk melindungi penderita.[24] Contoh penerapan schutznormtheorie dapat dilihat pada keputusan Hoge Raad Belanda tanggal 17 Januari 1958.[25] Schutznormtheorie tidak hanya mengenai norma hukum yang diatur dalam undang-undang saja tetapi juga hukum yang tidak tertulis seperti norma kepatutan, norma kesusilaan dan sebagainya. Schutznormtheorie berasal

dari suatu relativitas dari perbuatan yang melawan hukum, dengan pengertian umpamanya, bahwa perbuatan tertentu dari A adalah melawan hukum terhadap B,

tetapi tidak melawan hukum terhadap C. Ada kemungkinan bahwa C menderita kerugian karena perbuatan A, tetapi ia tidak dapat meminta ganti kerugian kepada

A karena perbuatannya itu melawan hukum terhadap B dan tidak terhadap C. Schutznormtheorie sungguh kental dengan pro dan kontra. Di negeri Belanda, para

ahli hukum yang mendukung diterapkannya teori ini antara lain Telders, Van der Grinten, dan Molengraaf. Bahkan Putusan Hoge Raad lebih banyak yang mendukung schutznormtheorie. Adapun para ahli hukum Belanda yang menentang

(22)

Meyers berpendapat bahwa Schutznorm hanya tepat diberlakukan terhadap perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Namun demikian, penerapan schutznormtheorie sebenarnya dalam kasus-kasus tertentu sangat bermanfaat

karena alasan-alasan sebagai berikut:[27]

1. Agar tanggung gugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdt. tidak diperluas secara tidak wajar;

2. Untuk menghindari pemberian ganti rugi terhadap kasus di mana hubungan antara perbuatan dengan ganti rugi hanya bersifat normatif atau kebetulan saja;

3. Untuk memperkuat berlakunya unsur “dapat dibayangkan” (forseeability) terhadap hubungan sebab akibat yang bersifat kira-kira (proximate causation). Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa karena KUHPerdt. tidak memberikan indikasi tentang berlaku atau tidaknya teori schutznorm ini, hakim tidak harus bahkan tidak

selamanya layak untuk menerapkan teori ini. Setidaknya hakim hanya cocok untuk menggunakan teori ini kasus per kasus dan menjadi pedoman bagi hakim serta menjadi salah satu dari sekian banyak alat penolong dalam mewadahi eksistensi unsur keadilan dalam putusannya yang menyangkut dengan perbuatan melawan

hukum.[28]

Berdasarkan penafsiran luas tersebut di atas, pelanggaran hukum perdata tidak saja

meliputi pelanggaran terhadap undang-undang tetapi meliputi pula pelanggaran terhadap hukum tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Melanggar hak

subyektif orang lain dan melanggar kewajiban hukum pelaku merupakan pelanggaran yang tercakup dalam undang-undang (absolute) sedangkan bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan merupakan pelanggaran terhadap

hukum tidak tertulis (relatif). Setelah adanya Arrest tanggal 31 Januari 1919, pengadilan-pengadilan selalu menganut penafsiran luas mengenai perbuatan melawan hukum. Pembuat undang modern menyadari bahwa

undang-undang tidak dapat mengatur semua hal dan karena itu menyerahkan kepada penilaian hakim untuk mengambil keputusan. Membuat peraturan-peraturan secara

terinci, suatu hal yang tidak mungkin dilakukan karena tidak dapat menampung semua hal yang mungkin timbul kemudian hari. Peraturan yang terlalu rinci akan memungkinkan bagi peneliti yang rajin untuk mencari kelemahan-kelemahannya sebagai bahan argumentasi. Oleh karenanya bidang di mana hakim memberikan

(23)

BAB III HASIL PENELITIAN

1. Posisi Kasus

PT. Atriumasta sakti menyatakan Bank syariah mandiri telah melakukan wanprestasi dengan tidak mencairkan pembayaran tahap kedua dan menyatakan perjanjian batal demi hukum karena perjanjian tersebut tidak sesuai dengan prinsip

syariah. Permasalahan ini diajukan kepada Badan Syariah Nasional (BASYARNAS) oleh PT Atriumasta sakti yang membuahkan hasil putusan Basyarnas Nomor 16/2008/Basyarnas/Ka.Jak yang menyatakan bahwa Bank Syariah Mandiri telah melakukan wanprestasi dengan tidak mencairkan pembayaran tahap kedua dan

menyatakan perjanjian tersebut batal demi hukum. Lalu, Bank Syariah Mandiri mengajukan pembatalan putusan Basyarnas tersebut kepada pengadilan Agama

Jakarta Pusat yang menunjuk pada permohon I (Basyarnas) dan termohon II (PT. Atriumasta Sakti) dengan hasil putusan bahwa putusan Basyarnas dilakukan dengan adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak atas kasus terkait dan sesuai dengan pasal 70c Undang-undang Republik Indonesia nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (APS), putusan tersebut harus dibatalkan. Kemudian Bank Syariah Mandiri tidak dapat dinyatakan wanprestasi atas pelaksanaan akad pembiayaan murabahah Nomor 53/2005 yang dinyatakan batal demi hukum dan putusan yang sama. PT Atriumasta sakti dan Basyarnas kemudian mengajukan banding ke mahkamah Agung (MA) melawan Bank Syariah Mandiri yang telah mengajukan pembatalan putusan Basyarnas sesuai

putusan pengadilan agama Jakarta pusat Nomor 792/Pdt.G/PA.JP. pokok dari banding yang diajukan adalah mengenai yurisdiksi pengadilan agama jakarta pusat untuk membatalkan putusan Basyarnas dan mengenai pertimbangan mengenai tipu

muslihat dalam pengambilan putusan Basyarnas yang membuahkan hasil putusan MA Nomor 387/K/Pdt.Sus/2010 tentang perkara perbuatan melawan hukum.

(24)

a. Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 387/K/Pdt.Sus/2010 menyatakan Bank Syariah Mandiri melakukan perbuatan

melawan hukum sesuai dengan rumusan diatas agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, maka harus memenuhi

unsur-unsur perbuatan sebagai berikut:

1) Adanya suatu perbuatan. Dikaitkan dengan putusan hukum hakim Mahkamah Agung yang menyatakan Bank Syariah Mandiri melakukan perbuatan melawan hukum adalah benar adanya karena bank syariah mandiri menuduh PT. Atriumasta

Sakti melakukan tipu muslihat yang tidak terbukti dengan putusan pengadilan, maka hal tersebut bertentangan dengan norma kesusilaan.

2) Perbuatan tersebut melawan hukum manakala pelaku tidak melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Undang-undang, ketertiban umum dan/atau kesusilaan, maka perbuatan pelaku dalam hal ini dianggap telah melanggar hukum, sehingga mempunyai konsekuensi tersendiri yang dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa

dirugikan. Bank syariah mandiri menarik pihak majelis arbiter Basyarnas sebagai pihak dalam perkara a quo sebagai pihak termohon bersama dengan PT. Atriumasta

Sakti. Hal ini dikategorikan sebagai cacat hukum formil error in persona dalam bentuk diskualifkasi in person

3) Adanya kerugian bagi korban. PT Atriumasta Sakti telah mengeluarkan uang sebesar Rp878.791.366.00 (delapan ratus tujuh puluh delapan juta tujuh ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus enam puluh enam rupiah) untuk pembayaran

provinsi bank, pembayaran uang asuransi proyek (PT asuransi Dayin Mitra), pembayaran uang muka iuran Jamsostek, pembayaran uang retribusi kepada dinas

penataan dan pengawasan bangunan pemerintah propinsi DKI Jakarta, serta uang pengembalian cicilan margin (nominal dapat dilihat pada amar putusan Basyarnas)

pada saat Bank syariah mandiri tidak mencairkan pembayaran tahap kedua berdasarkan akad pembiayaan murabahah nomor 53 tahun 2005 dan juga PT.Atriumasta Sakti telah mengalami kerugian immateril berupa waktu, tenaga dan

pikiran dengan tersedatnya Ruko Soho Marbella Square.

4) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. Dalam kasus, Bank Syariah Mandiri memenuhi unsur adanya kerugian yang ditanggung PT. Atriumasta Sakti, maka dengan sendirinya unsur adanya hubungan sebab akibat

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan transformasional dan pemberdayaan psikologis terhadap kinerja karyawan dengan kreativitas

Puristemehun keltaisuutta kuvaavassa b*-arvossa oli Malling Opal –lajikkeella satokauden alussa suurempi arvo käsittelyssä 2,3 mS/cm kuin käsittelyissä 1,5 mS/cm ja 2,3 mS/cm

MEMENUHI Auditee melakukan pembelian bahan baku dari pengepul berupak kayu rakyat dengan disertai Kwitansi pembelian bahan baku, dokumen angkutan hasil hutan yang

Selanjutnya dalam perhitungan koefisen determinasi menunjukkan r 2 = 0,517 yang berarti bahwa sebesar 51,7 % variabilitas mengenai Motivasi Kerja pegawai pada Kantor

Terkait dengan hal tersebut, interaksi antara ekosistem padang lamun dengan lingkungannya mampu menciptakan kondisi lingkungan yang dapat menopang proses kehidupan

Bar adalah suatu tempat yang menyediakan atau menyajikan minuman beralkohol dan minuman tidak beralkohol, disamping itu bar juga digunakan oleh tamu untuk berkumpul, santai

Pendayagunaan harta benda wakaf di wilayah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Trenggalek yang berbentuk sarana kegiatan ibadah, sarana kegiatan pendidikan, sarana

Apabila dosen pengasuh mata kuliah tidak menyerahkan nilai sesuai dengan batas waktu yang ditentukan setelah Ujian Akhir Semester (UAS), maka keputusan Nilai Akhir akan ditentukan