• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Teori 2.1.1 Teori Neo-Fungsionalisme (transnational cooperation) - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Penanganan People Smuggling oleh Sekretariat NCB-Interpol Indonesia dan Australian Federal Police Tahun 2015 – 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "2.1 Teori 2.1.1 Teori Neo-Fungsionalisme (transnational cooperation) - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Penanganan People Smuggling oleh Sekretariat NCB-Interpol Indonesia dan Australian Federal Police Tahun 2015 – 2017"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini peneliti menjelaskan teori Neo-Fungsionalisme khususnya konsep transnational cooperation dan konsep-konsep yang mendukung dalam penelitian ini berupa konsep national interest dan Transnational Organized Crime (TOC).

2.1Teori

2.1.1 Teori Neo-Fungsionalisme (transnational cooperation)

Neo-Fungsionalisme adalah bagian dari teori integrasi regional yang menempatkan penekanan utama pada peran aktor non-negara terutama “sekretariat” organisasi regional, asosiasi kepentingan dan gerakan sosial yang telah terbentuk di tingkat wilayah dalam memberikan dinamika untuk intergrasi lebih lanjut. Negara anggota tetap menjadi aktor penting dalam prosesnya. Mereka akan menetapkan persyaratan kesepakatan awal, namun tidak menentukan arah dan tingkat perubahan selanjutnya. Menurut teori ini, integrasi regional bersifat sporadis dan adanya proses konflik, namun dalam demokrasi dan refresentasi pluralistik, pemerintah nasional akan semakin terjerat dalam tekanan regional dan akhirnya konflik diselesaikan dengan memperluas cakupan dan memberikan wewenang kepada organisasi regional yang telah dibuat. Pada akhirnya warga akan mulai mengalihkan harapan

mereka ke wilayah tersebut (Schmitter, 2002: 2).

(2)

Inti dari konsep “transnational cooperation” adalah “ramification” yang memiliki arti layaknya sejenis “kap” yang diatasnya ada sebuah kerjasama dalam sektor pemerintah dan kemudian akan diperluas dengan beberapa sektor lainnya. Seiring berjalannya waktu negara akan lebih melekat dalam proses intergrasi dan akan memerlukan “biaya” untuk meningkatkan kerjasama (Dunne, 2011: 106)

Manfaat positif yang bisa didapatkan dari konsep “transnational cooperation” menurut para ilmuwan di tahun 1960an dan 1970an lebih ditujukan kepada para pedagang yang mendapatkan banyak keuntungan, namun sisi negatif yang harus dihadapi adalah kedaulatan negara-negara akan terancam. Dari sudut pandang kelompok pluralis perpolitikan dunia tidak lagi menjadi arena yang eksklusif untuk beberapa negara di belahan dunia lainnya. Robert Keohane dan Joseph Nye menambahkan bahwa sentralitas aktor lainnya seperti interest groups, transnational corporations dan International Non-Governmental Organizations (INGOs) harus diperhatikan karena posisi mereka akan semakin mendapatkan peranan penting dan hubungan internasional akan menjadi saluran interaksi antar berbagai aktor. Namun, meskipun konsep ini secara mutlak penting untuk di lihat dalam teori liberal khususnya dalam hubungan internasional, konsep “transnational cooperation” masih jarang untuk diperbincangkan dan banyak para pemikir masih

menggunakan pemikiran pluralisme untuk mengelaborasikan interdepedensi diantara negara-negara, ini disebabkan oleh pluralisme memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam perluasan kapitalisme dan kemunculan budaya-budaya global.

(3)

2.2Konsep

2.2.1 National Interest

Hans Morgenthau melalui konsep “national interest” berangkat dari konstitusi Amerika Serikat tentang kesejahteraan umum dan proses hukum serta termasuk “a residual meaning” yang tetap ada dalam konsep tersebut, sehingga pada akhirnya ada dua faktor yang terdapat dalam konsep “national interest” yaitu rasional dan kebutuhan. Dalam konsep “national interest” negara di lihat sebuah produk yang dapat berubah-ubah selama dunia diatur secara politis. Unsur utama dalam konsep “national interest” adalah kelangsungan hidup negara tersebut dan yang ada didalamnya, sehingga kebijakan luar negeri didukung dengan beranjak dari upaya mempertahankan kelangsungan hidup itu sendiri (Pham, 2008).

Hans Morgenthau mempercayai bahwa negara di dunia tidak ada yang memiliki kekuatan (power) tanpa batas, oleh karena itu setiap kebijakan harus menghormati kekuatan dan kepentingan negara lain. Selain itu Morgentahu menekankan bahwa ini tidak hanya sekedar kebutuhan politik tetapi juga merupakan kewajiban moral bagi sebuah negara dalam menjalin hubungannya dengan negara lain dengan berpegang pada satu panduan, satu standar dalam berpikir dan satu peraturan dalam bertindak yang disebut national interest (Pham, 2008). Dengan melihat situasi dan kondisi dunia yang begitu dinamis

membuat kemungkinan perubahan akan tetap terjadi secara terus menerus sehingga pada akhirnya lingkungan akan memainkan peran utama yang membentukan kepentingan yang akan menentukan aksi politik.

(4)

1. Defense Interest adalah kepentingan yang ditujukan untuk melindungi Negara atau rakyat dari ancaman fisik (kekerasan) dari negara lain atau

perlindungan ancaman terhadap sistem suatu negara.

2. Economic Interest adalah kepentingan dalam bidang ekonomi berupa penambahan nilai secara ekonomi dalam hubungannya dengan negara lain dimana transaksi perdagangan yang dilakukan dengan negara lain akan memberikan keuntungan.

3. World Order Interest adalah kepentingan tata dunia dengan memberikan jaminan pemeliharaan terhadap sistem politik dan ekonomi internasional agar suatu negara dapat merasakan keamanan sehingga rakyat dan badan usahanya dapat beroperasi dengan aman diluar pengawasan negara.

4. Ideological Interest adalah perlindungan terhadap serangkaian nilai-nilai tertentu yang dapat dipercaya dan dapat dipegang masyarakat dari suatu negara yang berdaulat.

Baik Indonesia maupun Australia dalam kerjasamanya memiliki

kepentingan masing-masing yang mewakili kehendak masyarakat sipil, tentunya tujan utama adalah kesejahteraan dan oleh karena itu maka harus ada sebuah bentuk kerjasama yang berisi upaya untuk menangani kasus People Smuggling yang masih saja terjadi sampai pada saat ini dan juga telah memberikan kerugian kepada kedua belah pihak yaitu Indonesia dan Australia. Kerjasama yang telah ada atau yang akan direalisasikan tentunya akan mengalami perubahan mengingat dunia mengalami perkembangan dan bersifat dinamis sehingga pada akhirnya perkembangan tersebut akan mempengaruhi serta mengambil peran utama di dalam kepentingan kedua negara tersebut dan penanganan kasus People Smuggling.

2.2.2 Transnational Organized Crime

(5)

ini dimana tiap-tiap negara mulai memberikan arti TOC. Pada akhir tahun 2003 yang lalu PBB mengeluarkan sebuah konvensi yaitu “United Nations

Convention Against Transnational Organised Crime, dimana dalam konvensi tersebut berisi sebuah kesepakatan-kesepakatan mengenai pemberantasan tindak pidana TOC, namun tidak berisikan definisi pasti tentang TOC melainkan berisi penjelasan mengenai definisi kelompok-kelompok penjahat teroganisir, kerena menurut sudut pandang konvensi tersebut pendefinisian terhadap kelompok diperlukan untuk menghukum para pelaku TOC oleh para penegak hukum baik masing-masing negara atau secara internasional (UNODC, 2004:5). Adapun definisi dari kelompok TOC menurut Konvensi tersebut adalah sekelompok yang berisikan tiga atau lebih orang yang dibentuk secara acak dimana mereka beroperasi dalam waktu yang ditentukan dan bertindak sesuai dengan tujuan atau melakukan suatu tindak kejahatan yang memiliki masa tahanan paling sedikit empat tahun penjara.

Para pelaku TOC didominasi oleh tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kejahatan transnasional yang mereka lakukan dan maksud dari transnasional tersebut adalah suatu bentuk operasi kejahatan yang dilakukan secara luas yang tidak hanya terjadi di satu negara melainkan direncanakan dan dikendalikan oleh beberapa aktor yang berada di negara lain. TOC pada awal mulanya berupa Arms Smuggling, Sea Piracy, Terrorism, Cybercrime, Illicit

Drugs dan Trafficking In Persons. Dengan seiringnya perkembangan zaman dan dipengaruhi oleh globalisasi menyebabkan adanya penambahan terhadap bentuk kejahatan yaitu International Economic Crime, Money Laundering dan People Smuggling dan yang terbaru ini adalah Wildlife and Timber Crime yang merupakan inisiasi dari Thailand dalam pertemuan SOMTC ke 16 di Jakarta tahun 2016 yang lalu.

(6)

tujuan yang bukan secara sah sebagai warga negara tersebut atau illegal (United Nations Convention on Transnational Organized Crime, Protocol to Prevent,

Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children (the Trafficking Protocol, Pasal 3)). Pada kasus People Smuggling korban yang tertangkap dan diamankan di Indonesia ini sendiri merupakan imigran gelap yang hendak menuju ke Australia agar mendapatkan suaka dari negera tersebut. Australia memiliki UU “anti-smuggling” yang sangat ketat dimana akan dijatuhkan pidana selama 20 tahun.

2.3Penelitian Terdahulu

No Penelitian Hasil Penelitian

1 UPAYA

• Penelitian ini merupakan

(7)

Imigrasi dan Kementerian Luar Negeri, pemerintah Indonesia melakukan dialog bilateral dan kerjasama dengan Australia dalam

menangani permasalahan imigran ilegal dengan menyepakati Bali Process dan menerima bantuan “Aus AID” untuk imigran illegal, pemerintah Indonesia melakukan kerjasama dengan Badan PBB yang menangani masalah pengungsi internasional (UNHCR) dalam mengawasi imigran illegal yang masuk ke Indonesia, dan pemerintah Indonesia melakukan kerjasama dengan lembaga Internasional Organization for Migratrion (IOM) dalam melakukan pengawasan, pendataan dan preventif

terhadap imigran ilegal yang transit ke Indonesia.

2 PERANAN

• Penelitian ini melihat hal yang

(8)

Universitas Hasanudin Makasar 2014.

manusia ke Australia dan bentuk upaya yang dilakukan oleh Indonesia dalam mengatasi aksi kejahatan penyelundupan manusia

tersebut.

• Dalam hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa: Indonesia memiliki daya tarik sebagai tempat transit para imigran gelap untuk menuju Australia, UNHCR tidak begitu tertarik dengan permasalahan imigran gelap sehingga tindak kejahatan tersebut menjadi bernilai tinggi. Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah

meningkatkan kerjasama dengan Australia dan lembaga internasional dibidang migrasi, seperti UNHCR, IOM, dan BASARNAS dari Indonesia.

3 Tindak Pidana Kejahatan Penyelundupan Manusia (People

• Penelitian merupakan salah

(9)

Smuggling) di Indonesia: Tanggug Jawab Indonesia dan Australia. Jurnal Hukum Internasional

Universitas Padjajaran, Bandung.

memiliki tanggung jawab kasus People Smuggling. • Dalam hasil penelitian ini

menyimpulkan bahwa: Pihak Indonesia dan Australia

belum sepenuhnya

melaksanakan kewajiban yang didasarkan pada UNTOC (United Nations Convention against Transnational Organised Crime) dan Palermo Protocol untuk mencegah dan memberantas tindak kejahatan People Smuggling dan sebagai bentuk tanggung jawab. Selain itu diperlukan adanya upaya serius di masing-masing negara dan

juga kerja sama yang bersifat bilateral, regional dan internasional.

(10)

tetapi juga melihat dari pihak Australia yang dianalisis dengan menggunakan konsep national interest.

Demikian pula pada penelitian yang kedua, dimana hanya mengulas upaya penanganan kasus di tahun 2014. Dalam penelitian ini peneliti memberikan informasi yang terbaru baik mengenai kasus ataupun upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak, terlebih adanya trend modus operandi terbaru yang digunakan para pelaku sehingga pihak Sekretariat NCB-INTERPOL Indonesia dan Australian Federal Police (AFP) membuat upaya penanganan terhadap tindak kejahatan People Smuggling.

(11)

2.4Kerangka Berpikir

Transnational Organized Crime

(TOC)

People Smuggling

(Kasus 2015-2017)

Sekretariat NCB-INTERPOL

Indonesia Australian Federal Police (AFP)

Upaya penanganan kasus People Smuggling

• Teori Neo-Fungsionalisme (transnational

cooperation).

• Konsep national interest dan Transnational Organized Crime (TOC).

Referensi

Dokumen terkait