• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V UPAYA PENANGANAN KASUS PEOPLE SMUGGLING OLEH SEKRETARIAT NCB-INTERPOL INDONESIA DAN AUSTRALIAN FEDERAL POLICE PERIODE 2015-2017 - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Penanganan People Smuggling oleh Sekretariat NCB-In

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB V UPAYA PENANGANAN KASUS PEOPLE SMUGGLING OLEH SEKRETARIAT NCB-INTERPOL INDONESIA DAN AUSTRALIAN FEDERAL POLICE PERIODE 2015-2017 - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Penanganan People Smuggling oleh Sekretariat NCB-In"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

UPAYA PENANGANAN KASUS PEOPLE SMUGGLING OLEH SEKRETARIAT NCB-INTERPOL INDONESIA DAN AUSTRALIAN

FEDERAL POLICE PERIODE 2015-2017

Dalam bab V peneliti menjelaskan upaya penanganan kasus People

Smuggling yang dilakukan oleh Sekretariat NCB-INTERPOL dan Australian

Federal Police (AFP) periode 2015-2017 dan menganalisis upaya-upaya tersebut

dengan menggunakan teori Neo-Fungsionalisme khususnya dalam konsep

transnational cooperation dan konsep National Interest

5.1 Upaya-Upaya Penanganan People Smuggling

Pada bab sebelumnya peneliti telah memaparkan kasus-kasus tindak

kejahatan People Smuggling yang telah berhasil ditangani oleh kedua belah pihak

meskipun masih ada pelaku yang dalam tahap pencarian pada periode 2015-2017

yaitu kasus tindak kejahatan People Smuggling yang dilakukan oleh jaringan

Kapten Bram dan Jaringan Saleh. Adapun dengan berdasarkan wawancara yang

dilakukan oleh peneliti bersama salah satu pegawai Sekretariat NCB-INTERPOL

Indonesia, beliau mengatakan penanganan kasus tindak kejahatan People

Smuggling pada periode waktu 2015-2017 terlihat pada pertemuan Bali Process dan

bilateral meeting1 yang rutin dilakukan setiap tahunnya selain penanganan ini juga

tak lepas dari bantuan pihak Badan Reserse Kriminal Polri Direktorat Tindak

Pidana Umum Sub Direktorat III Unit People Smuggling yang ikut memberikan

informasi terkini terkait perkembangan kasus dan saran penanganan. Data-data

penanganan tersebut juga peneliti dapatkan dari wawancara terhadap salah satu

petugas AFP melalui WhatsApp yang mana menyampaikan bahwa data yang

diberikan oleh Badan Reserse Kriminal Polri Direktorat Tindak Pidana Umum Sub

Direktorat III Unit People Smuggling kurang lebih sama dengan data yang dimiliki

1

(2)

oleh pihak AFP karena dibentuk sesuai dengan kejadian di lapangan selama upaya

penanganannya2 dan berikut peneliti akan paparkan beberapa butir upaya-upaya

penanganan People Smuggling yang telah dilakukan oleh Sekretartiat

NCB-INTERPOL Indonesia dan Australian Federal Police.

5.1.1 Bali Process

Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related

Transnational Crime atau yang dikenal dengan Bali Process didirikan pada

tahun 2012 telah terbukti efektif dalam meningkatkan kesadaran negara dalam

satu regional terhadap dampak atau konsekuensi dari People Smuggling,

Trafficking in Persons and Related Transnational Crime. Bali Process

merupakan sebuah forum dialog untuk membicarakan dan membuat sebuah

kebijakan, sebagai wadah untuk berbagi informasi serta untuk bekerja sama

antar negara untuk menangani kasus-kasus yang terkait dengan

penyelundupan, perdagangan dan kejahatan transnasional. Dalam forum ini

terdapat sebuah strategi yang digunakan dalam kerjasama yang dikenal dengan

The Bali Process Strategy for Coorperation, dalam startegi tersebut

menerapkan prioritas-prioritas dari masing-masing negara anggota yang

dipimpin oleh seorang Menteri.

Indonesia dan Australia merupakan kedua negara yang menjadi pemimpin

dalam pertemuan Bali Process setiap tahunnya dan sampai pada saat ini jumlah

negara anggota adalah 48 anggota dimana United Nations High Commissioner

for Refugees (UNHCR), the International Organization for Migration (IOM)

dan the United Nations Office of Drugs and Crime (UNODC) termasuk

didalamnya. Sebagian negara anggota adalah negara-negara yang terkena

dampak dari tindak kejahatan tersebut. Bali Process memiliki kantor pusat

yaitu The Regional Support Office (RSO). RSO dibentuk untuk mendukung dan

2 Pihak AFP tidak memberikan ijin kepada peneliti untuk menyampaikan data dalam penelitian ini

(3)

memperkuat kerja sama dan untuk melindungi para pegungsi dan international

migration, termasuk korban perdagangan manusia dan penyelundupan.

Pada bulan April tahun 2009 dalam Bali Ministerial Conference Menteri

meminta co-chairs dari Bali Process Sterring Group membuat sebuah

mekanisme Ad Hoc Group (AHG) yang mana nantinya akan berguna sebagai

pedoman untuk masing-masing negara anggota menangani kasus-kasus dan

untuk melaporkan perkembangan dalam keanggotaan Bali Process, selain itu

para menteri membuat sebuah kerangka acuan untuk AHG, kerangka tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Dari hasil yang didapatkan dari setiap negara anggota akan dikembangkan

untuk membantu menangani pergerakan atau perpindahan masyarakat sipil

yang tidak teratur.

2. Berbagi informasi antara negara-negara yang terkena dampak.

3. Melaporkan kepada co-chairs melalui Sterring Group dengan

memberikan saran dan rekomendasi untuk menginformasikan kerjasama

regional kedepannya mengenai People Smuggling dan Trafficking in

Persons.

Dalam Fourth Ministerial Conference yang berlangsung di Bali pada bulan

Maret 2011 menyepakati AHG dipertahankan sebagai sebuah mekanisme yang

efektif unutk mengembangkan dan mengupayakan rekomendasi yang nyata

guna menginformasikan dalam kerjasama regional untuk masa mendatang,

selain itu konferensi tersebut juga menyepakati dan memperluas partisipasi

AHG tidak hanya pada negara-negara yang terkena dampak tetapi juga kepada

negar-negara yang memiliki kepentingan (Bali Process, 2002). Para penjabat

di AHG diberitugas untuk mengoperasionalkan Regional Cooperation

Framework bersama dengan UNHCR dan IOM3.

Pada bulan Maret tahun 2016 lalu telah dilangsungkan pertemuan Sixth Bali

Process Ministerial Conference dimana paara Menteri kembali bertemu dan

(4)

kembali menegaskan tujuan dari Bali process serta melihat adanya

peningkatkan terhadap beberapa kejahatan yang telah menjadi fokus utama

serta adanya tantangan yang harus segera ditanggapi dengan cermat mengenai

arus irregular migrant baik yang terjadi didalam ataupun diluar kawasan Asia

Pasifik, selain itu dalam pertemuan tersebut para negara anggota mendukung

langkah-langkah dan strategi jangka panjang dalam menangani kejahatan lintas

negara terutama People Smuggling dan Trafficking in Persons (Anonim,

2016:2).

Dalam pertemuan tersebut para negara akan tetap menghormati hak

kedaulatan dan kepentingan setiap negara terutama regulasi atau

perundang-undangan migrasi, selain itu pertemuan tersebut memberikan solusi untuk

penanganan kasus People Smuggling, Trafficking in Persons and Related

Transnational Crime dimana mengharapkan setiap negara anggota membentuk

sebuah pemerintahan yang baik, adanya supremasi hukum, menghormati Hak

Asasi Manusia dan kebebasan fundamental, memberikan rasa aman kepada

masyarakat sipil, adanya peluang mata pencaharian, akses yang mudah dalam

birokrasi, toleransi dan mencegah aksi diskriminasi dan upaya perpecahan.

Dalam hal pengelolaan sektor migrasi para negara sepakat untuk tidak hanya

berfokus dalam penjagaan wilayah darat, udara dan laut namun juga melihat

kondisi para korban dan membentuk strategi perlindungan karena pada

dasarnya para korban menurut hukum internasional harus dilindungi (ibid,

2016:3).

Dalam Bali Process terdapat sebuah kebijakan yang berguna untuk

mengkriminalisasikan para pelaku People Smuggling dan Trafficking in

Persons yaitu Bali Process Policy Guides on Criminalizing Migrant Smuggling

and Trafficking in Persons. Pada dasarnya kebijakan ini dikeluarkan karena

melihat negara-negara memerlukan undang yang kuat selain

undang-undang yang berlaku dalam negeri untuk memberantas dan memerangi tindak

kejahatan People Smuggling dan melindungi para migran yang telah menjadi

(5)

internasional yang berkaitan dengan tindak kejahatan People Smuggling yaitu

Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air(Smuggling

of Migrants Protocol) yang dibuat untuk melengkapi United Nations

Convention Transnational Organized Crime (Organized Crime Convention)

dalam protokol tersebut dijelaskan bahwa negara-negara berhak menghukum

para pelaku tindak kejahatan tersebut dan memastikan para pelaku dikenakan

hukuman pidana yang maksimal karena telah mengancam kehidupan para

migran. Tindak kejahatan People Smuggling sejatinya bersifat transnasional

dan telah terbukti illegal bila melintasi batas negara dan oleh karena itu

negara-negara harus memiliki yuridiksi ekstrateritorial4 agar negara-negara dapat

menargetkan dan memberikan sanksi kepada para penyelundup yang

melakukan tindak kriminal di beberapa negara agar di masa mendatang para

pelaku tidak mengulangi tindak kejahatan tersebut serta tindak kejahatan

People Smuggling dapat berhasil diberantas dan dihentikan (Bali Process 2014

:13).

Kebijakan yang dibuat dalam Bali Process ini telah ditandatangani oleh

pihak Australia, Indonesia, Thailand, New Zealand, Srilanka, UNODC dan

IOM pada bulan Maret 2014 lalu. Dengan keluarnya kebijakan tersebut telah

berkontribusi dalam menurunkan angka penyelundupan migran di wilayah

negara anggota Bali Process termasuk Indonesia dan Australia. Penting untuk

diketahui berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap

perwakilan dari Sekretariat NCB-INTERPOL Indonesia, dalam proses

pembuatan kebijakan ini yaitu dari tahun 2013 dan kebijakan-kebijakan lainnya

yang berhubungan dengan penanganan Transnational Organized Crime (TOC)

pihak Sekretariat NCB-INTERPOL Indonesia juga ikut dalam perundingan

yang dilakukan di Indonesia.

Negara-negara di dunia pada dasarnya tidak dapat mempertahankan

kelangsungan hidupnya hanya dengan seorang diri, tentu membutuhkan sebuah

4

(6)

hubungan kerjasama dengan beberapa negara lainnya dalam upaya

memecahkan masalah-masalah yang mana penyelesaiannya diluar kapasitas

yang dimiliki oleh negara tersebut dan karena itu adanya sebuah hubungan

kerjasama baik dalam berupa hubungan kerjasama secara bilateral, trilateral

ataupun multilateral.

Indonesia mengalami permasalahan yang telah mengacam kedaulatannya

dan telah memutuskan untuk bergabung dalam sebuah hubungan kerjasama

dalam bentuk forum yang bernama Bali Process hal ini disebabkan kapasitas

yang dimiliki oleh Indonesia kurang cukup memadai dalam memberantas aksi

kejahatan lintas negara berupa People Smuggling. Hal demikian juga dialami

oleh negara Australia yang mengalami permasalahan yang sama dalam

menangani People Smuggling yang kerap terjadi di negaranya. Pada dasarnya

kasus People Smuggling merupakan kasus yang memerlukan penanganan tidak

hanya terdiri dari dua pihak namun disarankan untuk ditangani oleh beberapa

pihak yang mana dalam hal ini pihak tersebut adalah negara ataupun organisasi

internasional yang memiliki berkompeten dalam menangani kasus people

smuggling seperti UNHCR dan IOM (Bali Process: 2017).

Dengan adanya Bali Process baik Indonesia dan Australia terbantu dalam

upaya penanganan kasus people smuggling, hal ini dibuktikan dengan hasil

wawancara dan dalam rangka mengikuti rapat-rapat yang pernah peneliti ikuti

selama menjalankan kegiatan magang di Sekretariat NCB-INTERPOL

Indonesia, Bali Process secara efektif ikut membantu menurunkan angka kasus

People Smuggling dimana perwakilan Indonesia yang berasal dari Sekretariat

NCB-INTERPOL menjelaskan bahwa dengan bergabung nya Indonesia dalam

forum Bali Process, Indonesia mendapatkan banyak keuntungan terutama

dengan mempelajari upaya-upaya negara lain dalam menangani kasus People

Smuggling yang mengancam wilayah kedaualatan negara tersebut, selain

adanya keuntungan dari mempelajari tata cara penanggulangan kasus dari

(7)

lainnya khususnya negara-negara yang berdekatan dengan wilayah kedaulatan

Indonesia.

Australia mengalami hal yang serupa namun Australia lebih dikenal dengan

negara pendonor di dalam forum Bali Process5, dimana Australia seringkali

memberikan bantuan berupa pelatihan dan peralatan penunjang dalam

memberantas People Smuggling dan People Smuggling salah satunya kepada

Indonesia6, namun sampai pada saat ini peralatan penunjang dihibahkan

kepada upaya penanggulangan Trafficking in Persons.

Dalam Bali Process melalui Bali Process Policy Guides on Criminalizing

Migrant Smuggling and Trafficking in Persons telah membantu negara-negara

yang berada di dalamnya untuk menekan angka kasus People Smuggling dan

Trafficking in Persons, karena seperti yang dibahas mengenai esensi dari

kebijakan ini adalah untuk mengkriminalisasi para pelaku dengan

menambahkan hukuman terhadap para pelaku tersebut atau menjadi referensi

bagi hukum masing-masing negara anggota dari forum Bali Process.

Dalam penelitian terdapat sebuah konsep yang diterapkan dan terlihat dari

aktifitas kerjasama yang berlangsung dalam forum Bali Process yang peneliti

gunakan untuk menganalisis kerjasama tersebut yaitu konsep National Interest.

Setiap negara anggota dalam Bali Process termasuk Indonesia yang diwakili

oleh Lembaga penegak hukum seperti Sekretariat NCB-INTERPOL dan tidak

hanya dari pihak Kementerian Luar Negeri Indonesia serta pihak dari Australia

yang mana Australian Federal Police (AFP) kerap mengikuti pertemuan

tersebut, tentunya memiliki kepentingan nasional masing-masing yang harus

disampaikan dan dipertahankan kepada negara lain agar kedua negara ini dapat

mempertahankan kelangsungan hidup negaranya. Dalam konsep National

Interest yang disampaikan oleh Donald E. Nuchterlain yang mana beliau

membaginya menjadi empat butir yaitu defense interest, economic interest,

5 Hasil dari kegiatan wawancara dengan pihak Badan Reserse Kriminal Mabes Polri pada tanggal

16 Oktober 2017

6 Bantuan yang diberikan oleh Australia kepada negara lain selain Indonesia tidak dapat peneliti

(8)

word order interest dan ideological interest. Fenomena kerjasama ini lebih

memperlihatkan adanya upaya untuk menyampaikan defense interest dan

ideological interest, peneliti dapat mengatakan demikian dengan melihat

dampak yang bisa dihasilkan bila kejahatan People Smuggling dibiarkan terjadi

dalam sebuah negara. Ancaman yang dirasakan oleh negara tersebut adalah

terhadap pertahanan kedaulatan wilayah negara tersebut, dengan memasukan

orang asing kedalam sebuah wilayah tanpa adanya surat atau dokumen

perpindahan secara resmi tentunya akan menciptakan masalah baru kepada

wilayah negara tersebut yaitu ideologi yang berbeda sehingga dapat

mengancam keuntuhan sebuah negara dan ini lah yang membuat peneliti

melihat adanya ideological interest dalam kerjasama forum Bali Process.

Perbedaan ideologi ataupun adanya ideologi yang radikal dapat menyebabkan

adanya bermunculan kelompok-kelompok radikal lain yang dapat melakukan

tindak kriminal yang mengancam kehidupan warga negara didalamnya7.

Guna menghindari ancaman tersebut dengan ikut bergabung dalam forum

Bali Process memberikan dampak positif bagi Indonesia dan Australia yaitu

dapat dilihat dengan menurunnya tindak kejahatan lintas negara People

Smuggling pada tahun 2015-2017 yang lalu. Hasil positif yang telah didapatkan

tentu tidak membuat negara-negara dalam forum Bali Process berhenti

berinovasi, pada pada tanggal 28-29 November 2017 yang lalu telah diadakan

pertemuan negara-negara anggota Bali Process untuk mengadakan adanya aksi

konkret dalam menindak lebih lanjut para pelaku People Smuggling,

Trafficking in Persons dan kejahatan lintas negara lainnya melalui sebuah

kampanye dan pertemuan tersebut bernama “Techical Advisory Group Meeting

for the Pilot Training on Developing Effective Information Campaigns

dimana hasilnya adalah para negara anggota menyadari bahwa pentingnya

diadakan sebuah kampanye dan bertukar pikiran, negara anggota harus

berkejasama dalam memberikan panduan pelatihan serta memberikan masukan

(9)

terkait upaya penanganan kejahatan People Smuggling, Trafficking in Persons

dan kejahatan lintas negara lainnya. (Bali Process 2017: 1).

5.1.2 Bilateral Meeting

Pihak Sekretariat NCB-INTERPOL dan Australian Federal Police setiap

tahunnya rutin melakukan pertemuan secara bilateral di Indonesia ataupun di

Australia. Dari pihak Indonesia pertemuan ini tidak hanya diikuti oleh pihak

Sekretariat NCB-INTERPOL tetapi juga diikuti oleh rekan Kepolisian

Republik Indonesia lainnya seperti dari Badan Reserse Kriminal dan

Baharkam, namun yang menjadi pelaksana kegiatan bilateral meeting tersebut

adalah pihak Sekretariat NCB-INTERPOL terutama dari Bagian Konvesi

Internasional karena dalam tupoksi (tugas pokok dan fungsi), dimana

bagkonvinter melaksanakan working group meeting untuk merumuskan

perjanjian kerjasama.

Bilateral meeting yang dilakukan pada tahun 2015 lalu dengan melihat

adanya peningkatan negara-negara yang membuat kebijakan bebas visa dari

pihak Indonesia telah membuat adanya kemungkinan meningkatnya kasus

penyelundupan manusia, oleh karena itu pihak dari Kepolisian Indonesia akan

memperkuat koordinasi dengan rekan Kepolisian termasuk Sekretariat

NCB-INTERPOL dan Kementerian serta lembaga-lembaga pemerintahan yang

memiliki kewenangan dalam penanganan tindak kejahatan People Smuggling

(Bagkonvinter, 2015:2). Kepolisian Indonesia dan jajaran juga mengaharapkan

AFP ikut turut aktif dalam penanganan tindak kejahatan People Smuggling,

tidak hanya berfokus pada kasus-kasus People Smuggling yang mengancam

negara nya tetapi juga kasus-kasus yang sedang ditangani oleh pihak Kepolisan

Indonesia berserta jajarannya. Pertemuan ini juga menyepakati adanya berjalan

komponen key word yang berbasis kepada joint task, sharing information,

capacity building dan adanya pembinaan strategis tidak hanya dalam skala

regional namun juga internasional dan yang terkahir adalah adanya Upgrading

(10)

Pada bulan Maret 2016 yang lalu pihak Indonesia yang bergantian

mengunjungi Australia di Gold Coast. Bilateral meeting diikuti oleh

perawakilan dari Indonesia National Police (Kepolisian Republik Indonesia)

dan perwakilan Sekretariat NCB-INTERPOL juga termasuk dalam perwakilan

Kepolisian Republik Indonesia. Pertemuan ini sepenuhnya dilakukan untuk

memperkuat komitmen kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah pihak

terutama dalam penanganan kejahatan terorgansir (transnational organized

crime). Mengingat People Smuggling juga termasuk kedalam kejahatan

terorganisir dan juga menjadi salah satu fokus dalam kerjasama yang dilakukan

oleh Kepolisian Republik Indonesia dan Australia maka pertemuan ini juga

dilaksanakan guna memperkuat kerjasama kedua belah pihak yang tidak hanya

sebatas pada joint task tetapi juga melakukan sebuah capacity building dan

sharing information agar tindak kejahatan People Smuggling dapat dengan

bersama-sama diberantas agar tidak memakan banyak korban jiwa dan

merugikan negara-negara yang menjadi negara pemberangkatan, transit dan

tujuan (ibid, 2016:3).

Pada tanggal 26 April 2017 lalu pertemuan kembali dilaksanakan oleh

kedua belah pihak di Yogyakarta, Indonesia. Pertemuan ini dipimpin oleh

Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia, Komisioner

Jenderal Polisi Ari Dono Sukmanto. Dari pertemuan ini menghasilkan banyak

butir-butir penting yang membahas tentang penanganan kejahatan terorganisir

seperti korupsi, eksploitasi seksual anak lintas negara, counter terrorism,

People Smuggling dan strategic intelligence assessment 2016 berupa

penanganan kasus cybercrime (ibid, 2017:2). Dalam penelitian ini peneliti

tidak membahas hasil dari kerjasama dalam penanganan terhadap beberapa

kejahatan tersebut, namun peneliti lebih berfokus dalam memaparkan

penanganan kasus tindak kejahatan People Smuggling.

Pihak Kepolisian Republik Indonesia mengajak pihak AFP untuk

meningkatkan kerjasama yang sudah terjalin sejak lama, ajakan tersebut

(11)

Komisioner Polisi Leanne Close dan jajaran dengan bersedia memberikan

fasilitas dalam peningkatan kapasitas agar pihak Kepolisian berserta jajaran

dapat optimal dalam memberantas tindak kejahatan People Smuggling di

Indonesia, selain itu adanya bentuk upaya pemberantasan People Smuggling

yang dibuat yaitu dengan melibatkan negara Malaysia khususnya para penegak

hukum di negara tersebut dan negara-negara yang seringkali menjadi lokasi

transit para pelaku People Smuggling.

David Mitrany melalui konsep transnational cooperation (1943) yang

merupakan anak dari teori Neo-Fungsionalisme menerangkan bahwa sebuah

negara memerlukan adanya hubungan kerjasama dengan negara di sekitarnya

guna menangani masalah yang dpat mengancam kawasan regional.

Transnational Organized Crime (TOC) pada saat ini merupakan ancaman

terhadap beberapa negara didalam sebuah kawasan ataupun yang berdekatan,

People Smuggling yang merupakan bagian dari TOC telah menyebabkan

wilayah Indonesia dan Australia sebagai korban dari tindak kejahatan

penyelundupan manusia tersebut, dan oleh karena itu diperlukan upaya

penangangan yang efektif dalam menekan angka kejahatan People Smuggling

sehingga Indonesia dan Australia melalui pihak Sekretariat NCB-INTERPOL

dan Australian Federal Police (AFP) mengadakan hubungan kerjasama

berupaa bilateral meeting yang dilakukan setiap tahunnya seperti yang telah

peneliti sampaikan pada beberapa paragraf diatas.

Upaya kerjasama yang dilakukan berupa bilateral meeting telah

menyebabkan adanya hubungan yang baik yang dilakukan oleh kedua belah

pihak dengan melihat langkah yang diambil oleh pihak AFP yaitu mengadakan

pelatihan-pelatihan personel di JCLEC (Jakarta Center for Law Enforcement

Cooperation) Semarang, Jawa Tengah. Tidak hanya adanya pelatihan namun

dilakukan operasi bersama (joint task) di daerah perairan perbatasan Indonesia

dan Australia serta upaya sharing information yang dilakukan secara intens

(12)

Kedua belah pihak melalui Sekretariat NCB-INTERPOL Indonesia dan

Australian Federal Police (AFP) berharap tindakan kerjasama yang mereka

lakukan dapat memberikan hasil positif meskipun ketika Australia

mengeluarkan kebijakan mengenai pemberantasan People Smuggling yaitu

JATF OSB (Joint Agency Task Force Operation Sovereign Borders)

menyebabkan hubungan kerjasama kedua belah pihak mengalami

permasalahan, namun dengan mengingat kembali Hak Imunitas sebuah negara,

Indonesia harus menghormati dan tidak melakukan intervensi terhadap

kebijakan yang dikeluarkan oleh Australia, terlebih Indonesia membutuhkan

bantuan dari Australia (Anonim 2016: 1).

Tidak dapat dipungkiri Indonesia pernah mengalami kerugian dimana pada

tahun 2013 terjadi 48 kasus People Smuggling, melihat fenomena demikian

menyebabkan Indonesia memerlukan jalinan kerjasama kembali dengan pihak

Australia sehingga pada tahun 2015 hingga tahun 2017 terjadi penurunan

signifikan yaitu 10 kasus, tahun 2016 berjumlah 3 kasus dan tahun 2017

berjumlah 2 kasus (Bareskrim 2017: 13). Hasil positif didapatkan tidak hanya

kepada pihak pihak Indonesia namun juga pihak Australia telah membuat

adanya MoU8 antara kedua belah pihak.

5.3.3 Sharing Information

Di era globalisasi saat ini telah banyak memberikan dampak kepada kondisi

dunia termasuk berdampak dalam peningkatan kejahatan transnasional

(Transnational Organized Crime) berbagai modus operandi dilakukan dengan

menggunakan hasil dari globalisasi seperti yang dilakukan oleh jaringan

penyelundup manusia Kapten Bram dan Saleh, contohnya dimana mereka

menggunakan dokumen pribadi yang palsu untuk mengelabui para petugas di

lapangan.

Para penegak hukum belajar dari berbagai modus operandi tersebut dalam

menanganinya dimana dalam penelitian ini peneliti mengambil Sekretariat

(13)

NCB-INTERPOL Indonesia dan Australian Federal Police sebagai subyek

penelitian, dalam kerjasama yang mereka lakukan adanya upaya untuk saling

bertukar infomasi. Pihak dari Badan Reserse Kriminal Polri Direktorat Tindak

Pidana Umum Sub Direktorat III Unit People Smuggling memberikan

data-data terkait penanganan tindak kejahatan People Smuggling dimana mereka

telah melakukan pengembangan sistem dalam berbagi informasi secara online

ataupun offline baik antar rekan Kepolisian Indonesia yang mana termasuk

Sekretariat NCB-INTERPOL dan kemudian akan disalurkan ke pihak

Australian Federal Police (Satuan Tugas People Smuggling, 2015:25).

Sharing information yang mulai dilakukan pada tahun 2015 tertuju kepada

setiap aktifitas di perbatasan agar setiap tindakan mencurigakan dapat secara

cepat dideteksi. Pihak dari AFP menerima upaya tersebut yaitu dapat dilihat

dalam outcome bilateral meeting di tahun 2015 yang dilakukan antara

Indonesia dan Australia yaitu capacity building yang tidak hanya dalam

pemberian fasilitas kepada Indonesia namun juga informasi-informasi yang

terkait dengan penanganan tindak kejahatan People Smuggling. Adapun hasil

positif dari sharing information ini adalah dapat kita lihat dalam kasus

penyelundupan manusia yang dilakukan oleh Kapten Bram. Pihak AFP melalui

petugas yang beroperasi di laut telah menginformasikan kepada pihak

Indonesia terkait para penyelundup yang tertangkap menajalankan aksinya dan

kapal tersebut didorong kembali ke perairan Indonesia yang menjadi lokasi

pemberangkatan sebelum menuju Australia.

Dengan adanya upaya-upaya penanganan tindak kejahatan People Smuggling

yang dilakukan melalui bentuk kerjasama oleh pihak Sekretariat NCB INTERPOL

Indonesia dan Australian Federal Police (AFP) dalam Bali Process, bilaterall

meeting dan sharing information. Dari upaya-upaya penanganan tersebut telah

memberikan hasil positif yang tentunya menguntungkan kedua belah pihak yang

dapat dilihat dari adanya penurunan secara signifikan terhadap angka tindak

kejahatan People Smuggling dimana pada tahun 2015 terdapat 10 kasus dan

(14)

ditangani oleh kedua belah pihak yang mana sebelumnya dari tahun 2010 terdapat

27 kasus, tahun 2011 berjumlah 23 kasus, tahun 2012 berjumlah 49 kasus, tahun

2013 berjumlah 48 kasus dan tahun 2014 berjumlah 8 kasus (Bareskrim, 2017).

Bukti lain dari efektivitas penerapan upaya-upaya penanganan tersebut dapat dilihat

dalam penanganan kasus jaringan Jaringan Kapten Bram dan Jaringan Saleh yaitu

melalui upaya sharing information yang dilakukan kedua belah pihak untuk

melaporkan adanya tindak kejahatan People Smuggling dan kondisi terkini yang

terjadi di lapangan, selain itu outcomes dari kesepakatan pertemuan bilateral

meeting para oknum yang diberikan pelatihan dan melalui peningkatan kapasitas

dapat menangani kasus-kasus tindak kejahatan People Smuggling dengan optimal

termasuk dalam menangani kasus People Smuggling yang dilakukan oleh Jaringan

Kapten Bram dan Jaringan Saleh sedangkan Bali Process telah membantu dalam

menangani kasus tindak kejahatan People Smuggling karena dalam pertemuan

tersebut tidak hanya negara anggota memberikan laporan kejahatan setiap

tahunnya, setiap negara anggota juga menghasilkan beberapa kebijakan yang telah

menjadi landasan hukum yang mana menjadi referensi dalam memberikan

hukuman kepada para negara-negara anggota terhadap para smuggler guna mampu

menjerat dengan hukuman yang maksimal sehingga memberikan efek jera dan

menekan angka kejahatan People Smuggling dengan harapan dimasa mendatang

kejahatan People Smuggling telah mampu diberantas. Menurut informasi yang

peneliti dapatkan melalui Bali Process setiap negara anggota telah berhasil

melakukan kerjasama untuk menangkap para pelaku yang masuk dalam Daftar

Pencarian Orang (DPO) yang berhasil melarikan diri ke luar negeri.9

Dengan merujuk pada teori yang digunakan oleh peneliti yaitu teori

neo-fungsionalisme yang merupakan sebuah teori intergrasi regional yang lebih

menekankan kepada peran aktor non-negara berupa “sekretariat” organisasi

regional yang terlibat dalam beberapa kepentingan sehingga memberikan adanya

dinamika terhadap wilayah regional tersebut menjadikan Sekretariat

9

(15)

INTERPOL Indonesia dan Australian Federal Police memiliki peranan yang

penting dalam menyampaikan national interest kedua belah pihak. Tentunya

keberadaan Sekreatriat NCB INTERPOL di Indonesia sangat diperlukan untuk

membantu para penegak hukum seperti Kepolisian Republik Indonesia, TNI,

BNPT, dan rekan-rekan penegak hukum yang berada di Indonesia yang memiliki

kewenangan terhadap penanganan kasus tindak kejahatan lintas negara atau

Transnational Organized Crime (TOC) dimana memerlukan perlakuan berbeda

dari tindak kejahatan dalam negara.

Dalam teori neo-fungsionalisme terdapat sebuah konsep yang telah

dikemukakan oleh David Mitrany yaitu transnational cooperation dimana sangat

diperlukan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh

negara-negara. Kasus People Smuggling yang terjadi di Indonesia dan telah peneliti

paparkan pada bab iv tidak lepas dari kinerja Sekretariat NCB INTERPOL baik

yang dilakukan oleh Bagian Kejahatan Internasional (Bagjatinter) ataupun Bagian

Konvensi Internasional (Bagkonvinter) serta bantuan dari rekan-rekan penegak

hukum di Indonesia. Peneliti lebih menekankan kepada Bagkonvinter dalam

Sekretariat NCB INTERPOL. Kinerja, tugas dan fungsi dari Bagian Konvensi

Internasional telah peneliti paparkan bersama pada bab iv setelah peneliti

menjelaskan mengenai kasus-kasus People Smuggling, dimana Bagkonviter

mengurusi dan membawahi setiap pertemuan antara Polri dengan Kepolisian negara

asing guna merumuskan sebuah MoU (Memorandum of Understanding) dalam

menangani TOC.

Bersama dengan Kepolisian dari Australia (Australian Federal Police),

Indonesia melalui Sekretariat NCB INTERPOL telah melakukan kerjasama berupa

bilaterall meeting, terlibat dalam forum Bali Process atau saling berbagi informasi

(sharing information) serta telah memberikan dampak berupa penurunan angka

kejahatan People Smuggling yang mengancam keamanan dan kedaulatan kedua

belah pihak. Kerjasama tersebut mencerminkan adanya penerapan dari konsep

transnational copperation, dimana baik Indonesia dan Australia meyakini bahwa

(16)

hanya mengancam keamanan dan kedaulatan tetapi juga mengancam

keberlangsungan hidup para korban yang diselundupkan oleh para aktor

(smuggler).

Bila dilihat dari sisi kedaulatan negara yang menjadi lokasi tujuan dari tindak

kejahatan penyelundupan manusia ini sendiri telah melanggar batas kedaulatan

negara tersebut yaitu dengan memasuki wilayah dan membawa warga negara asing

masuk yang mana berstatus imigran gelap tanpa seizin dari pihak yang berwenang.

Kehadiran para imigran gelap yang memasuki negara tersebut tersebut dapat

memicu ancaman bagi negara tersebut. Penting untuk diketahui bahwa ancaman

terhadap kedaulatan juga dialami oleh negara yang menjadi lokasi transit.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah peneliti lakukan sebelumnya kepada salah

satu penyidik dari Badan Reserse Kriminal Polri Direktorat Tindak Pidana Umum

Sub Direktorat III Unit People Smuggling perbedaan ideologi dalam sebuah negara

akan memicu hadirnya kelompok-kelompok radikal yang dapat melakukan tindak

kejahatan terorisme dan pemberontakan serta berujung pada ketidakstabilan dalam

sebuah negara dan oleh karena itu juga pemerintahan di setiap negara harus

mengantisipasi kehadiran para imigran gelap, namun akan menjadi sebuah masalah

terhadap negara yang telah menandatangani 1951 Refugee Convention. Masalah

tersebut adalah terhadap negara-negara yang telah meratifikasi dan menandatangi

konvensi tersebut dimana mereka harus menerima dan memberikan perlindungan

kepada para refugee yang telah tiba di negaranya (UNHCR, 1953:270).

Dalam analisa peneliti dengan melihat tindakan yang diambil oleh Australia

melalui Australian Federal Police dengan Indonesia sebagai negara tetangga dalam

melakukan kerjasama baik melalui forum Bali Process, Bilateral meeting dan

sharing information, sebenarnya Australia telah melakukan aksi cheating dengan

menghentikan terlebih dahulu kapal yang mengangkut para imigran khususnya

imigran gelap tersebut sebelum tiba di batas kedaualatan negara Australia. Berbagai

upaya dalam negeri yang dilakukan oleh Australia contohnya adalah operasi yang

sebelumnya telah dijelaskan di bab iv yaitu JATF (Joint Agency Task Force) dan

(17)

Adapun yang dilakukan oleh Sekretariat NCB-INTERPOL dan Australian

Federal Police adalah salah upaya untuk mengingkatkan intergrasi diantara kedua

negara tersebut. Dengan menggunakan peranan aktor non-negara seperti Sekretariat

NCB-INTERPOL sebagai sebuah IGO yang berada di Indonesia dan Australian

Federal Police sebagai lembaga penegak hukum di Australia, kedua aktor ini telah

berkontribusi aktif dalam turut memberikan dinamika lebih lanjut dalam setiap

proses hubungan kedua negara. Tentunya ada beberapa persyaratan yang harus

dipatuhi oleh kedua belah pihak seperti dalam setiap bilateral meeting yang

dilakukan dimana outcomedari pertemuan tersebut harusnya menghormati aturan

yang berlaku contohnya adalah hak-hak kedaulatan masing-masing negara yang

tidak diperkenankan untuk dilaggar.

Dalam konsep integrasi para pihak yang melakukan kerjasama akan mengadopsi

strategi tindakan dalam membentuk beberapa institusi regional permanen untuk

mencapai tujuan bersama. Hal serupa terlihat yang dilakukan oleh pihak Indonesia

dan Australia melalui Bali Process, adapun terbentuknya forum tersebut juga

disebabkan oleh semakin berkembangnya zaman dan diikuti oleh arus globalisasi

saat ini kerjasama tersebut diperluas dalam cakupan yang lebih luas telah memaksa

adanya sebuah forum berupa institusi regional dalam menangani tindak kejahatan

People Smuggling.

Bila kita melihat sejarah dari konsep transnasional cooperation yang mana

menjelaskan bahwa kerjasama dilakukan bila adanya situasi darurat atau

terancamnya sebuah kedaulatan suatu negara, kejadian tersebut lah yang ikut

mendasari terjalinnya kerjasama antara Indonesia dan Australia yang diwakili oleh

Sekretariat NCB-INTERPOL dan Australian Federal Police, dimana kedaulatan

masing-masing negara tercancam akibat tindak kejahatan People Smuggling yang

dilakukan oleh para pelaku dalam hal ini seperti kasus yang terjadi dalam periode

2015-2017 adalah jaringan Kapten Bram dan jaringan Saleh yang telah banyak

memberikan kerugian Indonesia dan Australia. Kerjasama sangat diperlukan oleh

kedua negara karena melihat tindak kejahatan People Smuggling merupakan tindak

(18)

1.2 Hambatan-Hambatan Dalam Upaya Penanganan People Smuggling

Dalam upaya penanganan tindak kejahatan People Smuggling yang

dilakukan oleh pihak Sekretariat NCB-INTERPOL dan Australian Federal Police

tentunya memiliki hambatan-hambatan yang terkadang mempersulit penyidikan

dan penyelidikan yang dilakukan oleh para petugas yang telah diutus oleh

Sekretariat NCB-INTERPOL dan Australian Federal Police. Berdasarkan data

yang diperoleh peneliti dari salah satu Penyidik Pembantu Badan Reserse Kriminal

Polri Direktorat Tindak Pidana Umum Sub Direktorat III Unit People Smuggling

hambatan-hambatan selama penyidikan dan penyelidikan diantaranya adalah

sebagai berikut

• Banyaknya agen lintas negara. Dalam setiap kali operasi yang dilakukan oleh

para smuggler tentunya mereka telah bekerja sama dengan beberapa agen di

negara asal para korban People Smuggling dan jumlah agen bergantung pada

jumlah para korban yang akan diselundupkan dalam setiap operasi. Meskipun

telah banyak dilakukan penggagalan setiap upaya penyelundupan, namun

untuk memberantas para pelaku akan terbilang sulit dilakukan karena masih

banyak agen smuggler yang masih ada yang belum berhasil diamankan

sehingga kemungkinan untuk terjadi penyelundupan masih bisa dapat

dilakukan.

• Bahasa. Kendala atau hambatan kedua ini berkaitan erat dengan hambatan pada butir pertama, dimana oleh karena banyaknya agen dari luar negara Indonesia

dan Australia berdampak pada bermasalahnya kemampuan berkomunikasi

yaitu perbedaan bahasa, seringkali para petugas mengeluhkan kesulitan

mencari translator yang mampu menerjemahkan bahasa yang disampaikan

oleh para korban People Smuggling dalam tahap penyelidikan untuk

mengungkap identitas para agen yang dimana mereka mendaftarkan diri untuk

diselundupkan. Contohnya adalah ketika dilakukan penyelidikan terhadap

salah satu korban People Smuggling yang berasal dari negara Arab dan Sri

Lanka yang mana masing-masing dari kedua negara memiliki beberapa bahasa

(19)

• Undang-undang. Penurunan kasus People Smuggling yang terjadi ditahun

2015-2017 berkaitan dengan dimasukkan dan berlakunya undang-undang baru

yaitu dari Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang RI No. 06 Tahun 2011 tentang

Keimigrasian yang telah memberikan dampak berupa sanksi tahanan yang

telah terbukti membuat jera para smuggler. Pada tahun-tahun sebelumnya

dimana angka tindak kejahatan People Smuggling mengalami peningkatan

telah berlaku Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,

namun tidak memiliki dampak yang signifikan dalam upaya penanganan tindak

Referensi

Dokumen terkait

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atau wawasan serta bahan referensi bagi penelitian kualitatif

Bagi pihak dokter, prestasi berbuat sesuatu adalah kewajiban hukum untuk berbuat dengan se- baik dan secara maksimal (perlakuan medis) bagi kepentingan kesehatan

Satu dari dua elemen JSP yang akan Kita pelajari dalam bab ini adalah JSP Expression Language(EL).Expression Language ini diperkenalkan dengan spesifikasi JSP 2.0 dan disediakan

Jalur kereta api Kunming-Singapura dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi (Djankov, 2016). Negara- negara Asia Tenggara pasalnya memiliki pertumbuhan ekonomi yang

(a) Kerja-kerja pembaikan lebuh raya tiga lorong sehala telah menyebabkan berlakunya pergentingan di atas lebuh raya berkenaan. Aliran maksimum lalu lintas di

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, pada tahun 2009 ditemukan 48–49 genus dari lima kelas fitoplankton yaitu Chlorophyceae, Cyanophyceae, Bacillariophyceae, Desmidiaceae,

Penggunaan metode pembiasaan dalam pengembangan sikap sosial anak dapat lebih berkembang lagi dengan baik sesuai perkembangan zaman. Sehingga dapat lebih meningkatkan

Berdasarkan uraian dalam latar belakang dapat diidentifikasi problem yang seringkali timbul dalam proses estimasi, yaitu berapakah kebutuhan tulangan dalam setiap