• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tekstual, Kontekstual dan Liberal (4).doc 35KB Jun 13 2011 06:28:11 AM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tekstual, Kontekstual dan Liberal (4).doc 35KB Jun 13 2011 06:28:11 AM"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Tekstual, Kontekstual dan Liberal (4)

Jalan Ketentuan Illah

1. Berdasarkan pada Nash:

a) Yang tegas dengan menggunakan ciri-ciri seperti kata min ajli (karena itu), seperti firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32:

Artinya: “Oleh karena itu membunuh manusia Kami tetapkan hukum bagi Bani Israil (termasuk umat Islam) bahwa barangsiapa yang membunuh manusia bukan karena membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya”.

Juga kata kai seperti pada surat Hasyr ayat 7:

Artinya: “….supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu”.

b) Yang tidak begitu tegas, seperti:

1) Menggunakan Lam ta’lil seperi pada ayat 56 surat adz-Dzariat:

Artinya: “Dan tidak lahg Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”

Dan surat al-A’raf ayat 179:

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka) jahannam kebanyakan dai jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah, dan mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat dan mempunyai telinga tetapi tidak untuk mendengarkan ayat-ayat Allah”.

2) Dengan huruf Ba, seperti dalam surat al Anfal ayat 13:

Artinya: “Ketentuan yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaannya.“

3) Dengan menggunakan huruf inna, seperti tersebut dalam hadits riwayat Abu Huzaimah, Ibnu Hibban dan al Hakim dalam pemberian argumentasi kesucian air liur kucing yang berbunyi:

Artinya: „Sesungguhnya kucing itu termasuk hewan-hewan yang selalu berada di sekeliling kita“.

4) Dengan An, seperti tersebut pada ayat 14 surat al-Qalam, yang berbunyi: Artinya: „Karena ia mempunyai banyak harta dan anak“.

2. Berdasarkan pada ISYARAH atau IMA A, seperti:

Huruf FA yang masuk pada nash syara’, sebagai contoh tersebut pada ayat 38 surat al-Maidah: artinya: “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dst.”

Dalam hadits dicontohkan seperti tersebut pada riwayat Muslim:

Artinya: “Nabi saw lupa (dalam shalat) maka (kemudian) sujudlah Nabi (sujud sahwi).”

Kata FASAJADA, itu ucapan perawwi, namun dalam periwayatan tersebut dapat dimasukkan pada hadits fi’li yang mengandung fa’lilul ahkam.

Hasil Dari Pemikiran Tentang Ta’lilul Ahkam

(2)

terkandung didalamnya. Pendapat ini sesuai dengan penta’rifan terhadap Islam sebagai agama. Dahulu sebagian ulama menta’rifkan agama Islam dengan Norma Ketuhanan yang mengarahkan orang yang berakal menuju kemaslahatan dunia dan akhirat. Dari definisi ini Majlis Tarjih menegaskan sumbernya dengan menyebutkan bahwa agama adalah apa yang berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah (maqbullah) berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk yang baik untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat.

Dari definisi ini, ada petunjuk pelaksanaan pemahaman baik secara tekstual, kontekstual maupun pengembangan pemikiran yang disebut manhaj. Dalam manhaj itu termasuk memahami dalil-dalil dengan ta’lilul ahkam seperti yang kita bicarakan. Dasar pemikirannya adalah:

a. Bahwa agama itu diberikan kepada manusia agar menjadi rahmayan lil ’alamien. b. Sebagai agama yang bersumber pada wahyu, ada yang bersifat tekstual seperti cara

pelaksanaan shalat, puasa dan haji, ada pula yang bersifat kontekstual seperti masalah yang bertalian dengan mu’amalah madiyah (kebendaan), maliyah (keuangan) dan madaniyah (politik dan sosial budaya).

Contoh dari pemahaman tekstual seperti bacaan shalat dalam tahiyyat tidak memakai sayyidina tetapi di luar bacaan shalat dapat saja dengan membaca sayyidina Muhammad. Dari ta’lilun nash pemahaman dan pengamalan yang telah melalui Keputusan Muktamar atau Munas dapat dicontohkan kesenian. Hukum kesenian sesuai dengan illahnya. Seni yang mendatangkan kerusakan haram hukumnya dan seni yang membawa kemanfaatan boleh (ibalah) hukumnya.

Gambar atau patung kalau membawa kesesstan akidah haram hukumnya, tetapi kalau bermanfaat seperti untuk alat peraga/mempelajari ilmu pengetahuan dibolehkan.

Dalam hal ini banyak hadits yang mengingatkan agar orang jangan membuat gambar maupun patung tetapi adanya hadits yang membolehkan bermacam boneka kecil, kebolehan gambar yang tidak dipajang yang menimbulkan dorongan untuk disembah-sembah. Dengan mendasarkan ta’lilul ahkam seperti diterangkan di atas itulah Majlis Tarjih menetapkan hukum-hukum kesenian di atas.

Ta’lilul Ahkkam Dalam Pengembangan Pemikiran

Sebagian kita ada yang tidak setuju bahwa hukum Islam atau umumnya syari’at itu dipikirkan pengembangannya. Buktinya, ada yang menuntut dikembalikannya Majlis Tarjih dan Penhgembangan Pemikiran menjadi Majlis Tarjih saja seperti semula. Karena ditambahkannya nama pengembangan pemikiran menelorkan buku Tafsir Thematik yang menimbulkan kontroversial, bahkan ada yang khawatir Muhammadiyah akan menuju pada Islam Liberal. Masalah pemikiran liberal ini akan kita bicarakan pada seri akhir pembicaraan nanti. Tentang tafsir tematik yang telah diterbitkan masih dalam wacana dan akan disempurnakan. Mengenai ta’lilul ahkam dalam arti pengembangan pemikiran tentang syari’at Islam khususnya hukum Islam bukan suatu yang berlebihan. Hal ini mengingat dorongan al-Qur’an agar manusia memahami fenomena alam, ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang tersirat di samping ayat-ayat yang tersurat dalam teks-teks al-Qur’an maupun as-Sunnah. Dari pemahaman terhadap ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang tersirat maupun yang tersurat dapat disimpulkan bahwa Allah mensyari’atkan agama mengandung hikmah, maksud dan tujuan. Hikmah dan tujuannya dapat difahami oleh akal manusia.

(3)

Qaidah-qaidah ushuliyah atau ushul fiqih adalah satu cabang dari Fisafat Islam, demikian menurut Mushthafa Abdur Raziq. Ulama Hukum Islam masa kini dapat memandang bahwa ushul fiqih itu dikatakan Filsafat Hukum Islam (Falsafatut Tasyri). Seperti kitab yang ditulis oleh Shubhi Mahmashani dengan judul „Falsafatut Tasyri“, isinya adalah Ilmu Ushul Fiqih. Menurut Mushthafa Abdur Raziq, Filsafat Hukum itu isinya adalah ushulul ahkam, qawa’idul ahkam dan maqashidul ahkam. Prof. Hasbi, menulis buku Filsafat Hukum Islam, didalamnya ditulis:

a. Falsafah Tasyri, falsafah yang memancarkan pemikiran hukum Islam, menguatkan dan memeliharanya yang menurut penulis rubrik ini filsafat tasyri ini berisi manhaj istimbath, ijtihad dan pengambangannya untuk dapat mengantisipasi kebutuhan hukum masyarakat yang selalu berkembang.

b. Falsafah Syari’ah, mengungkap (hikmah) materi hukum ibadah, muamalah, jinayah dan seterusnya.

Dalam kitabnya Ta’lilul AhkamDr. Adil Asy Syuwaij, mengemukakan antara lain:

1. Dalam ta’lilul (ahkam) Asy Syar’iyyah, cara istimbath didalamnya tidak asal-asalan atau menurut hawa nafsu.

2. Melakukan ta’lilul ahkam bukan sekedar teoritis, tetapi merupakan prinsip-prinsip dalam pembinaan syari’ah (menghadapi perkembangan masa).

3. Dasar ta’lilul ahkam adalah pengembangan pemikiran ijtihad, yakni usaha yang sungguh-sungguh memahami dalil nash dengan metode yang diambil dari prinsip-prinsip bahasa dan syara’.

Dari pemikiran itu kita dapati beberapa rumusa qaidah ushuliyah ataupun qaidah fiqhiyyah, seperti:

1. Semua yang membawa kerusakan harus dihilangkan

Dari qaidah umum ini kita dapati qaidah:

Dalam keadaan dlarurat, dibolehkan yang semula dilarang, dan

Kerusakan itu tidak boleh dihilangkan dengan cara yang mendatangkan kerusakan (yang sama, apalagi lebih).

Dan beberapa qaidah: Kebolehan menghilangkan kerusakan yang ada itu terpaksanya dengan menempuh kerusakan yang lebih kecil. Dan dalam menghilangkan atau menghindari kerusakan itu harus didahulukan dari sekedar melihat adanya sedikit kemaslahatan.

2.

Adat kebiasaan (yang baik yang tidak bertentangan nash) dapat ditetapkan sebagai ketentuan hukum.

3.

Berubahnya fatwa (nasehat) hukum karena berubahnya masa, tempat dan keadaan.

4. Dibolehkannya ijtihad istishiahiy, yakni menentukan hukum sesuatu atas dasar kemaslahatan, seperti:

a. Istihsan, membolehkan sesuatu sebagai pengecualian dari hukum umum yang melarang, seperti mengeluarkan bayi dari kandungan dengan melakukan operasi. b. Saddudz dzari’ah, melarang sesuatu yang hukum asalnya dibolehkan, seperti fatwa

melarang pemuda muslim yang imannya masih lemah menikahi wanita ahli kitab, yang karakternya kuat.

(4)

Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Instalasi pelabuhan semacam itu bisa digunakan sebagai bagian dari garis pangkal untuk delimitasi laut territorial dan yurisdiksi maritim lainnya.Seandainya reklamasi pantai

Pada hari ini Jumat tanggal Empat belas Bulan Desember tahun Dua ribu dua belas, Pokja/ULP Kemensos Bekasi Dalam rangka Pemilihan Penyedia Barang/Jasa paket pekerjaan

Pengolahan data, Dalam perancangan interior ini data yang didapat berupa data hasil survey, observasi lokasi, observasi tipologi, wawancara dan literatur dikumpulkan dan

Diberikan untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap dokter, pemberian obat dengan dosis yang tepat dapat menimbukan kadar terapi yang optimal bagi pasien sehingga dokter

Pesan error akan ditampilkan jika format email yang digunakan salah saat melakukan tambah data admin.. Pesan error akan ditampilkan jika dalam melakukan tambah data tidak

1) Bertindak sebagai Verifikator I adalah Kepala OPD/Pejabat Yang Berwenang. Pada saat Unggah kembali Lembar Kerja yang telah ditulis ke dalam E LKPJ, sekaligus menyatakan

Penelitian ini mengangkat tema tentang dampak kegiatan yang dilakukan oleh para Jamaah Tabligh terhadap keharmonisan keluarga di Desa Celuak Kecamatan