TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA
(Pemahaman Hadis dalam Kitab Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446)
Skripsi :
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata
Satu (S-1) Dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
SITI SHARIFATUL MUFTIMAH NIM: E03213083
JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Siti Sharifatul Muftimah, “Turunnya Allah ke Langit Dunia (Pemahaman
Hadis dalam Kitab Sunan al-Tirmidhi>Nomor Indeks 446).”
Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang akidah atau kepercayaan kepada Allah dengan didasarkan pada dalil-dalil yang benar, Tidak ada yang menyamainya dan tak ada padanan bagi-Nya. Namun dengan adanya hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia ini kita bisa menyakini bahwasannya Allah memang benar-benar turun dan Allah SWT itu fana serta tidak ada yang sepadan dengan-Nya. Sehingga dari sini masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana kualitas sanad dan matan, kehujjahan hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia dalam Sunan Tirmidhi>; 2) Bagaimana pemaknaan hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia dalam Sunan Tirmidhi>; 3) Bagaimana implikasi hadis dalam kehidupan manusia.
Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research). Jadi, pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab Sunan Tirmidhi> dan dibantu dengan kitab standart lainnya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode takhrij, kritik sanad dan kritik matan, metode ma’ani serta diperoleh dari hasil penelitian.
Dari proses penelitian, didapatkan hasil bahwa status sanad hadis ini adalah s}ah}i>h},karena sanadnya muttasil dan semua perawinya thiqah. walaupun ada perawi yang bernama Suhai>l ibn Abi> S{a>lih} ada yang mengatakan bahwa dia adalah s}odu>q, dan al-Nasa’i mengatakan lai>sa bihi ba’thun, akan tetapi al-Ijliy mengatakan thiqah. Maka peneliti menggunakan teori al-ta’di>l muqoddamun ‘ala al-jarhi}, sehingga apabila seorang perawi itu ada yang memuji dan ada juga yang mencelanya, maka yang dipilih adalah pujian atas rawi tersebut. Sedangkan dari segi matannya status hadis ini adalah s}ah}i>h}, karena dalam kandungan matannya tidak ditemukan sha>dh (kejanggalan) dan ‘illat (cacat). Serta tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat dan rasionalitas (akal). Sehingga kehujjahan hadis tersebut berkualitas s}ah}i>h}, akan tetapi hadis ini bisa memenuhi klasifikasi sebagai hadis mutawatti>r ma’nawi, ditinjau dari banyak jalur sanad. Dengan demikian hadis ini bisa dijadikan hujjah atau landasan dalam pengambilan hukum serta bisa diamalkan. Turunnya Allah ke langit dunia ini bila dikaitkan dengan pendekatan bahasa bermakna hakiki dan masuk dalam tasawuf akhlaqi yang tajalli al-Af’al jika dikaitkan dengan pendekatan tasawuf. Salat malam adalah ibadah yang biasa dikerjakan orang-orang saleh, penghapus kesalahan dan pencegah dari perbuatan dosa. Seseorang-orang yang menginginkan do’anya diijabahi Allah maka ia akan sadar dan mau melaksanakan salat malam dengan ikhlas. Karena salat yang dilaksanakan pada waktu malam dengan khusyu’ akan ridho Allah SWT. Akan mampu meningkatkan terhadap ketahanan tubuh imunolog dan menghilangkan rasa nyeri pasien yang terkena kanker.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
ABSTRAK ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xii
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Kegunaan Penelitian ... 7
F. Penegasan Judul ... 7
G. Telaah Pustaka ... 9
H. Metode Penelitian ... 9
I. Sistematika Pembahasan ... 13
BAB II: METODE KRITIK HADIS DAN TEORI PEMAKNAAN HADIS A. Status Hadis ... 15
b. Kesahihan Matan ... 30
B. Kehujjahan Hadis ... 34
a. Kehujjahan Hadis S{ah}i>h} ... 35
b. Kehujjahan Hadis H{asan ... 37
C. Pemaknaan Hadis ... 38
a. Pendekatan Bahasa ... 38
b. Pendekatan Tasawuf ... 40
c. Pendekatan Psikologi ... 46
BAB III: KITAB SUNAN AL-TIRMIDHI< DAN HADIS TENTANG TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA ... 51
A. Biografi Imam al-Tirmidhi> ... 51
B. Kitab Sunan al-Tirmidhi> ... 55
C. Hadis Tentang Turunnya Allah Ke Langit Dunia ... 61
D. I’tiba>r dan Skema Hadis ... 67
E. Syarah Hadis Tentang Turunnya Allah Ke Langit Dunia ... 99
BAB IV: ANALISA HADIS TENTANG TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA ... 103
A. Kualitas dan Kehujjahan Hadis ... 103
B. Pemaknaan Hadis ... 114
C. Implikasi Hadis ... 119
BAB V : PENUTUP ... 131
A. Kesimpulan ... 131
B. Saran ... 132
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tauhid menurut bahasa adalah meng-Esakan. Sedangkan menurut
syariat adalah meyakini keesaan Allah di dalam rububiyah, uluhiyah, nama dan
sifat serta hukum-Nya.1 Adapun yang disebut ilmu tauhid adalah ilmu yang
membicarakan tentang akidah atau kepercayaan kepada Allah dengan didasarkan
pada dalil-dalil yang benar, Tidak ada yang menyamainya dan tak ada padanan
bagi-Nya. Mustahil jika ada yang mampu menyamai-Nya, sebagaimana firman
Allah dalam Surah Al-Ikhlas ayat 1-42 :
ٌدَحَأ ُهللٱ َوُ ْلُق
)
1
(
ُدَمصلٱ ُهللٱ
)
2
(
َو ْدِلَي ََْ
ْدَلوُي ََْ
)
3
(
ُهل نُكَي َََْو
ۥ
ٌدَحَأاًوُفُك
) 4 (“Katakanlah, Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Setiap muslim wajib mengimani tiga pilar tauhid, yaitu tauhid
rububiyyah, tauhid uluhiyyah, tauhid asma’ wash shifat, dan tauhid mutaba’ah.
Keempat macam ini semuanya terdapat dalam Surat Al-Fatihah.3 Kita imani
bahwasannya Allah itu maha mendengar, melihat, dan berbicara kapanpun yang
1 Asy Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Wushobiy, Al-Qoulul Mufid: Penjelasan Tentang Tauhid Cet. 1 (Sleman: Darul ‘Ilmi, 2005), 103.
2 Al-Qur’a>n, 112:1-4.
2
Allah kehendaki dan dengan apapun yang Allah kehendaki; dan bahwasannya
Allah itu beristiwa’ (tinggi) di atas ‘Arsy-Nya dengan istiwa’ yang sesuai dengan
(kemuliaan)-Nya sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Thoha ayat 54 :
:هطُ ىَوَ تْسا ِشْرَعْلا ىَلَع ُن ّْْرلا
5
َ
“Yang Maha Pengasih beristiwa di atas ‘Arsy.”Nama dan sifat Allah itu taufiqiyah (berdasarkan wahyu); yaitu kita
tidak menamai Rabb kita kecuali dengan nama-nama yang Dia atau Rasul-Nya
SAW menamai diri-Nya, dan kita tidak mensifati Rabb kita kecuali dengan
sifat-sifat yang Dia atau Rasul-Nya SAW mensifat-sifati diri-Nya.5
Seluruh kaum muslimin telah bersepakat bahwa semua pemahaman
yang menyimpang terkait dengan tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah adalah
perbuatan kufur. Namun, masih banyak syubhat-syubhat seputar tauhid asma’
wash shifat yang bermunculan di tengah kaum muslimin demi mengkaburkan
kemurnian tauhid seorang muslim.
Diantara syubhat yang ada di tengah majelis kaum muslimin adalah
masalah turunnya Allah ke langit dunia (sifat an-Nuzul). Terdapat banyak dalil
yang berbicara tentang hal ini, namun sebagian kaum muslimin pada masa
sekarang merasa kebingungan dalam menerima khabar ini. Di antara mereka ada
4 Al-Qur’a>n, 20:5.
3
yang melakukan takwil dengan hawa nafsu dan ra’yu (akal) mereka. Hal tersebut
berdasarkan hadis Nabi SAW:
ِلاَص َِِأ ِنْب ِلْيَهُس ْنَع ، ِِاَرَدْنَكْسِإا ِنَْْرلا ِدْبَع ُنْب ُبوُقْعَ ي اَنَ ثدَح :َلاَق ُةَبْيَ تُ ق اَنَ ثدَح
ْنَع ،ٍح
َراَبَ ت ُهللا ُلِزْنَ ي " :َلاَق َملَسَو ِهْيَلَع ُهللا ىلَص ِهللا َلوُسَر نَأ ،َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع ،ِهيِبَأ
ِءاَمسلا ََِإ ََاَعَ تَو َك
َف ِِوُعْدَي يِذلا اَذ ْنَم ،ُكِلَما اَنَأ :ُلوُقَ يَ ف ،ُلوَأا ِلْيللا ُثُلُ ث يِضََْ َنِح ٍةَلْ يَل لُك اَيْ ندلا
َبيِجَتْسَأ
ْغَأَف ُِِرِفْغَ تْسَي يِذلا اَذ ْنَم ،ُهَيِطْعُأَف ُِِلَأْسَي يِذلا اَذ ْنَم ،ُهَل
َءيِضُي ََح َكِلَذَك ُلاَزَ ي َََف ،ُهَل َرِف
" ُرْجَفلا
6“Qutai>bah menyampaikan kepada kami dari Ya'qu>b bin Abdurrahman al-Iskandara>ni, dari Suhai>l bin Abu> S{a>lih, dari ayahnya, dari Abu> Hurai>rah bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Allah Tabara>ka wa Ta'a>la turun ke langit dunia setiap malam ketika sepertiga malam pertama berlalu. Lalu dia berfirman, "Aku adalah penguasa, Siapa yang berdo’a kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya. Siapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya. Siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya. Hal itu berlangsung hingga fajar menyingsing."
Namun ada beberapa ulama yang menulis risalah tentang hadis di atas, berikut ini
adalah komentar mereka:
1. Imam al-Baihaqi berkata, “pendapat yang paling selamat adalah beriman
kepadanya tanpa mencari hakikat serta maksudnya, kecuali Rasulullah
SAW telah menerangkannya, maka itulah yang dijadikan pegangan. Hal itu
berdasarkan kesepakatan ulama yang tidak mewajibkan takwil tertentu, dan
menyerahkan maknanya kepada Allah adalah selamat.” 7
6Imam al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi> Vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 444-445.
7 Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar al-Asqala>ni>, Fath}ul Ba>ri Vol. 3 (Kairo: Maktabah
4
2. Ibnu al-Arabi telah menakwilkan kata “turunnya Allah SWT” dengan dua
sisi; bisa saja bermakna perintah-Nya, dan bisa juga kata itu adalah
isti’arah (penggunaan kalimat yang tidak dalam arti sebenarnya, ed.) untuk
mengungkapkan sikap lembut terhadap orang orang yang berdo’a serta
mengabulkan permohonan mereka.8
3. Abu Bakar ibn Faurak meriwayatkan dari sebagian syaikh bahwa kata
yanzilu (turun) sebenarnya adalah yunzilu (diturunkan), yakni malaikat
diturunkan. Pendapat ini didukung oleh riwayat an-Nasa>’i melalui jalur al
-Aghar dari Abu> Hurai>rah dan Abu> sa’i>d dengan lafaz “innalla>ha yumhilu
h}atta yumd}i> shat}ra al-Lai>l, thumma ya’muru muna>diya>n yaqu>lu: hal min
da>’in fayustaja>bu lahu” (sesungguhnya Allah SWT menangguhkan hingga
berlalu separuh malum, kemudian dia memerintahkan penyeru untuk
mengatakan, “adakah yang berdoa maka akan dikabulkan
permohonannya.”) dalam hadis Uthma>n bin Abi> al-Ash disebutkan
“yuna>di muna>din hal min da>’in yustaja>bu lahu” (penyeru menyerukan,
“adakah yang berdoa agar dikabulkan untuknya.”).9
4. Al-Baidhawi berkata, “setelah jelas berdasarkan nash-nash qath’i (pasti)
bahwa Allah tidak sama dengan materi dan ruang, serta tidak mungkin Dia
“turun” dalam arti berpindah dari satu tempat ke tempat yang lebih rendah
8Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar al-Asqala>ni>, Fath}ul Ba>ri Vol. 3 (Kairo: Maktabah
al-Taufiqiyyah, 2008), 40.
5
darinya, maka yang dimaksud dengan “turunnya Allah SWT” adalah
turunnya cahaya rahmat-Nya, yakni berpindah dari sifat keagungan yang
berkonsentrasi kemurkaan dan kemarahan kepada sifat kemurahan yang
berkonsekuensi kelembutan dan kasih sayang.10
Akan tetapi hadis di atas kiranya perlu untuk diteliti mengingat Hadis
berkedudukan sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Hadis merupakan
penafsiran al-Qur'an dalam bentuk praktek atau penerapan ajaran Islam secara
faktual dan ideal. Banyak hukum-hukum di dalam al-Qur'an yang diantaranya
sulit dipahami atau dijalankan bila tidak diperoleh keterangan (penjelasan) yang
diperoleh dari hadis Nabi SAW.
Di samping itu, dalam perspektif historis terungkap bahwa tidak seluruh
hadis tertulis di zaman Nabi Muhammad SAW, adanya pemalsuan hadis yang
disebabkan adanya perbedaan madzhab dan aliran, proses penghimpunan hadis
yang memakan waktu lama, jumlah kitab hadis dan metode penyusunan yang
beragam serta adanya periwayatan bi al-ma'na dan periwayatan bi al-Lafd}i.
Sebab-sebab itulah yang mendorong pentingnya melakukan penelitian hadis ini.
Tujuan pokok penelitian hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia
ini, baik dari segi sanad maupun dari segi matan adalah untuk mengetahui
kualitas hadis ini. Sehingga diketahui tentang kehujjahan hadis ini. Sampai
10 Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-Asqala>ni>, Fath}ul Ba>ri Vol. 3 (Kairo: Maktabah
6
akhirnya di dalam penelitian ini melakukan analisis mengenai pemaknaan Hadis
Turunnya Allah ke Langit Dunia dan implikasi hadis dalam kehidupan manusia.
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diketahui identifikasi
masalah sebagai berikut:
1. Pandangan Ulama mengenai hadis turunnya Allah ke langit dunia.
2. Waktu turunnya Allah ke langit dunia
3. Pemaknaan an-Nuzul.
4. Implikasi hadis dalam kehidupan manusia.
5. Kualitas hadis turunnya Allah ke langit dunia.
6. Kehujjahan hadis turunnya Allah ke langit dunia.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah
yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.Bagaimana kualitas dan kehujjahan Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit
Dunia dalam Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446?
2.Bagaimana pemaknaan Hadis Turunnya Allah ke Langit Dunia dalam Sunan
al-Tirmidhi> No Indeks 446?
3.Bagaimana implikasi hadis dalam kehidupan manusia?
D. Tujuan Penelitian
7
1.Untuk mengidentifikasi kualitas dan kehujjahan Hadis Tentang Turunnya
Allah ke Langit Dunia dalam Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446.
2.Untuk menemukan pemaknaan Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit
Dunia dalam Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446.
3.Untuk menemukan implikasi hadis dalam kehidupan manusia.
E. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada
realitas sosial, adapun kegunaannya antara lain:
1.Dari segi teoritis: untuk menambah wawasan, wacana dan khazanah ilmu
pengetahuan keislaman pada umumnya, dan dalam bidang hadis pada
khususnya.
2.Dari segi praktis: hasil penelitian ini diharapkan agar mendapatkan kepastian
tentang nilai pada hadis-hadis tersebut untuk dijadikan landasan atau
pedoman dalam kehidupan.
F. Penegasan Judul
Agar penulisan penelitian ini jelas serta terhindar dari kesalahpahaman,
maka sekilas masing-masing kata dalam judul tersebut akan dijelaskan secara
8
Turun :Bergerak ke arah bawah; bergerak ke tempat yang lebih rendah
daripada tempat semula.11
Allah :Nama Tuhan dalam Bahasa Arab; pencipta alam semesta yang
mahasempurna; Tuhan yang Maha Esa yang disembah oleh
orang yang beriman.12
Langit Dunia :Ruang luas yang terbentang di atas bumi, tempat beradanya
bulan, bintang, matahari, dan planet yang lain; dimana bumi
di pijak; Bumi dengan segala sesuatu yang terdapat di
atasnya; planet tempat kita hidup.13
Kitab Sunan al-Tirmidhi>: Imam al-Tirmidhi>, Vol.1, Beirut: Dar al-Fikr, 1994,
No 446.
Ma’ani hadis :Ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memaknai dan
memahami hadis Nabi Muhammad SAW.14
Dari penjelasan judul di atas bahwa yang dimaksud dalam judul adalah
untuk mencari makna hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia dalam Sunan
al-Tirmidhi> No Indeks 446.
11 Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Cet. 1 (Surabaya: Amelia, 2002), 577. 12 Ibid,. 29.
13 Ibid,. 264.
9
G. Telaah Pustaka
Sebelum melakukan penelitian ini, penulis telah membaca beberapa
sumber-sumber rujukan baik yang primer maupun yang sekunder, seperti
al-Qur'a>n, dan kitab-kitab hadis. Penulis juga telah membaca literatur yang menjadi
telaah pustaka diantaranya:
1. Jurnal "Mengenal Allah: Cara dan Manfaatnya" yang ditulis oleh Abudin
Nata, edisi mimbar agama dan budaya volume: 17 nomer: 3 2000, IAI.
Dalam jurnal tersebut dijelaskan tentang cara mengenal Allah dan
manfaat mengenal Allah.
2.
Skripsi dengan judul Konsistensi Status Hasan Imam Tirmidhi> dalamKitab Sunan al-Tirmidhi. Skripsi ini disusun oleh Hosnol Khotimah,
mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin di Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2016. Dalam skripsi ini
fokus pembahasannya pada kajian kitab Sunan al-Tirmidhi>.
H. Metode Penelitian
Yang dimaksud metode adalah suatu cara tentang bagaimana menyelidiki,
mempelajari dan melaksanakan sesuatu cara sistematis, efektif dan terarah.15
Sehingga metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut:
10
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library
research). Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Data kualitatif adalah Data yang dinyatakan dalam bentuk
kata-kata atau bukan dalam bentuk angka. Oleh karena itu sumber-sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis baik
berupa literatur berbahasa Arab maupun Indonesia yang mempunyai
relefansi dengan permasalahan penelitian ini.
Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis untuk memberikan
gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan
hasil penelitian. Sehingga penulisan ini menggunakan model penelitian
kualitatif. Dalam penelitian dilakukan dengan menelusuri secara langsung
dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>, juga beberapa kitab hadis yang dinilai masih
terkait.
2. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian, menurut
Suharsimi Arikunto adalah subyek dari mana data dapat diperoleh. Adapun
sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen
11
a. Sumber primer adalah rujukan utama yang dipakai, yaitu: Kitab Sunan
Tirmidhi> karya Abu> Isa> ibn Saurah ibn Mu>sa ibn al-Dhah}ak al-Sulami
al-Tirmidhi> beserta syarahnya.
b. Sumber sekunder yakni kitab hadis standar lainnya yang dijadikan
sebagai pelengkap dalam penelitian ini antara lain:
1) Kitab S{ahih Al-Bukha>ri> karya Abu> Abdulla>h Muh}ammad ibn Isma>il ibn al-Mughi>rah ibn Bardhibah.
2) Kitab S{ahih Muslim karya Abu H{usai>n Muslim ibn H{ajja>j al-Qusyairi> al-Nasaiburi.
3) Kitab Sunan Abu> Da>wu>d karya Sulai>ma>n Ibn al-Ash’as ibn Ish}a>q ibn Shida>d ibn Amr al-Azdi al-Sijista>ni.
4) Kitab Sunan Ibnu Ma>jah karya Abu> Abdulla>h Muh}ammad ibn Yazi>d ibn Ma>jah al-Rabi’I al-Qazwini.
5) Kitab al-Muwat}t}a>’ Ima>m Ma>lik karya Abu> Abdulla>h Ma>lik bin Anas bin Ma>lik bin Abi> Ami>r H{ari>th al-Asbah}i.
6) Tahdibu>t tahdi>b karya Ibnu Ha>jar al-Asqola>ni.
7) Tahdhi>b al-Kama>l Fi> Asma>’i al-Rija>l karya Jam>aluddi>n al-H{ajja>j
Yu>suf al-Mizzi>.
12
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi.
Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal
ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya.
Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan
dengan dua teknik pengumpulan data, yaitu: pertama Takhri>j al-H{adi>th,
secara singkat dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengeluarkan hadis
dari sumber asli. Maka Takhri>j al-H{adi>th merupakan langkah awal untuk
mengetahui kuantitas jalur sanad dan kualitas suatu hadis. Dan kedua I’tiba>r
al-H{adi>th dalam istilah ilmu hadis adalah menyertakan sanad lain untuk
suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya
terdapat seorang periwayat saja.16 Dengan dilakukannya I’tiba>r, maka akan
terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga
nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh
masing-masing periwayat yang bersangkutan.
4. Analisis Data
Analisa data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui
penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua
komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data dan hadis akan
meliputi dua komponen tersebut.
13
Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan
pendekatan keilmuan rija>l al-h}adi>th dan al-jarh}} wa al-ta’di>l, serta
mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut
(Tah}}ammu>l wa ada’). Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan
tingkatan intelektualitas seorang rawi serta validitas pertemuan antara
mereka selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.
Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan
menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas
matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan
ekspilit al-Qur’an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis
-hadis lain yang kualitasnya sahih serta hal-hal yang oleh masyarakat umum
diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.17 Selain itu juga digunakan
metode memahami matan dengan menggunakan metode ma'ani al-h}adi>th
dengan pendekatan-pendekatan untuk memahami kandungan yang ada di
dalam matan hadis tersebut, agar dapat memahami hadis tersebut secara
benar dan tepat.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mudah, jelas dan dapat
dimengerti, maka di dalam proposal ini secara garis besar akan penulis uraikan
pembahasan pada masing-masing bab sebagai berikut :
14
Bab satu berisi pendahuluan yang mencakup tentang gambaran umum
yang memuat pola dasar penulisan proposal ini, meliputi : latar belakang,
identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
penegasan judul, telaah pustaka, metode penelitian serta pada akhir bab tentang
sistematika pembahasan.
Bab dua merupakan landasan teori yang membahas tentang kriteria status
hadis, teori kehujjahan hadis, dan teori pemaknaan hadis. Bab ini merupakan
landasan teori yang akan dijadikan tolak ukur dalam penelitian ini.
Bab tiga merupakan data Kitab Sunan al-Tirmidhi> dan Hadis Tentang
Turunnya Allah ke Langit Dunia, merupakan penyajian data tentang Imam
Mukharij dan kitabnya yang meliputi Biografi Ima>m al-Tirmidhi>, Kitab Sunan
al-Tirmidhi>, Data Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia, Skema
Sanad dan l'tibar, Syarah Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia.
Sedangkan bab empat merupakan analisis data yang menjadi tahapan
setelah seluruh data terkumpul, terdiri dari kualitas dan kehujjahan Hadis
Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia, didalamnya termasuk membahas
analisa sanad dan matan hadis. Kemudian pemaknaan Hadis Tentang Turunnya
Allah ke Langit Dunia dan implikasi hadis dalam kehidupan manusia.
Bab lima merupakan bagian penutup, yang meliputi: kesimpulan dan
saran yang berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, serta
15
BAB II
METODE KRITIK HADIS DAN TEORI PEMAKNAAN HADIS
A. Status Hadis
Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan argumen yang kuat (hujjah)
apabila memenuhi syarat-syarat ke-sahih-an, baik dari aspek sanad maupun
matan. Ibnu al-Shalah menyatakan sebuah definisi hadis sahih yang disepakati
oleh para muh>}addithi>n, sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Isma’il:
اهتنم َإ طباضلا لدعلا لقنب دانسإ لصتي يذلا دنسما ثيدْا وهف :حيحصلا ثيدْا امأ
َلعم لو اذاش نوكي لو
"Adapun hadis shahih ialah hadis yangbersambung sanadnyasampai kepadaNabi
diriwayatkanolehperiwayatyang 'adildanz}a>bit}sampaiakhirsanad, (di dalam hadis tersebut) tidak terdapat kejanggalan (sha>dh) dan cacat ('illat)."1
Dari definisi di atas, maka hadis yang berkedudukan sahih baik dari segi
sanad maupun matan adalah jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Ketersambungan sanad
2. Periwayat bersifat 'adil dan z}a>bit} 3. Terhindar dari sha>dh
4. Terhindar dari 'illat
16
Syarat-syarat terpenuhinya kesahihan ini sangatlah diperlukan, karena
penggunaan atau pengamalan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat dimaksud
berakibat pada realisasi ajaran Islam yang kurang relevan atau bahkan sama
sekali menyimpang dari apa yang seharusnya dari yang diajarkan Nabi
Muhammad SAW.2
a. Kesahihan Sanad
Salah satu keistimewahan periwayatan dalam Islam adalah
mengharuskan adanya persambungan sanad, mulai dari periwayat yang
disandari oleh mukharij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang
menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi Muhammad SAW yang
semua itu harus diterima dari para periwayat yang 'adil dan z}a>bit}.3
Sanad atau isnad ini diyakini sebagai jalan yang meyakinkan
dalam rangka penerimaan hadis. Beberapa pernyataan ulama berikut ini
menjadi bukti atas pernyataan tentang pentingnya sanad ini. Muhammad
Ibn Sirin menyatakan bahwa "sesungguhnya isnad merupakan bagian dari
agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambilnya". Abdullah ibn
Al-Mubarak menyatakan bahwa "isnad merupakan bagian dari agama jika
tanpa isnad, mereka akan berkata sesuka hatinya".
Oleh karena itu, maka penelitian terhadap sumber berita mutlak
diperlukan. Imam Nawawi juga menegaskan apabila sanad suatu hadis
2 Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis Cet. 1 (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 13.
17
berkualitas sahih, maka hadis tersebut bisa diterima, tetapi apabila tidak
maka hadis tersebut harus ditinggalkan.
Nilai dan kegunaan sanad tampak jelas bagi seseorang untuk
mengetahui keadaan para perawi hadis dengan cara mempelajari
keadaannya dalam kitab-kitab biografi perawi. Demikian juga untuk
mengetahui sanad yang muttas}il dan munqat}i'. Jika tidak terdapat sanad,
tidak dapat diketahui hadis yang sahih dan yang tidak sahih.4
Dalam hubungannya dalam penelitian sanad, maka unsur-unsur
kaedah kesahihan yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan.
Unsur-unsur itu ada yang berhubungan dengan rangkaian atau
persambungan sanad dan ada yang berhubungan dengan keadaan pribadi
para periwayat.5
Agar suatu sanad bisa dinyatakan sahih dan dapat diterima, maka
sanad tersebut harus memenuhi syarat-syarat yaitu sanadnya bersambung,
memiliki kualitas pribadi yang 'adil dan memiliki kapasitas intelektual
z}a>bit}, terhindar dari sha>dh dan ‘illat.
a) Persambungan Sanad
Sanad yang bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam
sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat
4Mahmud al-T{ah}h}a>n, Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridlwan Nasir (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), 99.
18
sebelumnya yang mana hal ini terus berlangsung sampai akhir
sanad. Jadi, seluruh rangkaian periwayat mulai yang disandari
mukharij sampai perawi yang menerima hadis dari Nabi, saling
memberi dan menerima dengan perawi terdekat.
Untuk mengetahui bersambung atau tidak bersambungnya
suatu sanad, muh>}addithi>n menempuh langkah-langkah sebagai
berikut: pertama, mencatat semua nama periwayat dalam sanad
yang diteliti. Kedua, mempelajari sejarah hidup masing-masing
periwayat melalui kitab rija>l al-h}adi>th (kitab yang membahas
sejarah hidup periwayat hadis) dengan tujuan untuk mengetahui
apakah setiap periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu
terdapat satu zaman dan hubungan guru murid dalam periwayatan
hadis. Ketiga, meneliti lafad yang menghubungkan antara periwayat
dengan periwayat terdekatnya dalam sanad.6 Al-Khatib al-Baghdadi
memberikan term sanad bersambung adalah seluruh periwayat
thiqah ('adil dan z}a>bit}) dan antara masing-masing periwayat terdekatnya betul-betul telah terjadi hubungan periwayatan yang sah
menurut ketentuan tahammul wa al-'adalah al-h}adi>th yaitu kegiatan
penyampaian dan penerimaan hadis.
19
Berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas periwayat
terbagi kepada thiqah dan tidak thiqah. Dalam penyampaian riwayat,
periwayat yang thiqah memiliki akurasi yang tinggi karena lebih
dapat dipercaya riwayatnya. Sedangkan bagi periwayat yang tidak
thiqah, memerlukan penelitian tentang keadilan dan ke-z}a>bit}-an-nya yang akurasinya di bawah perawi yang thiqah.
b) Kualitas Pribadi periwayat ('adil)
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kualitas pribadi
periwayat haruslah adil. Dalam memberikan pengertian istilah 'adil
yang berlaku dalam ilmu hadis, ulama berbeda pendapat. Dari
berbagai perbedaan itu dapat disimpulkan kriterianya pada empat
hal, yaitu: Pertama, beragama Islam. Kedua, Mukallaf yakni baligh
dan berakal. Ketiga, melaksanakan ketentuan agama yang dimaksud
adalah teguh dalam agama, tidak berbuat bid'ah, tidak berbuat dosa
besar, tidak berbuat maksiat dan berakhlaq mulia. Keempat,
memelihara muru'ah yaitu kesopanan pribadi yang membawa
pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan
kebiasaan-kebiasaan.7
Sifat-sifat keadilan para perawi dapat dipahami melalui
popularitas kepribadian yang tinggi tampak dikalangan ulama hadis.
20
Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan
kekurangan yang terdapat dalam kepribadiannya. Penerapan kaidah
al-jarh} wa ta'di>l, apabila tidak ditemukannya kesepakatan diantara
kritikus perawi mengenai kualitas pribadi para perawi.8
c) Kapasitas Intelektual Periwayat (z}a>bit)
Periwayat yang kapasitas intelektualnya memenuhi syarat
keshahihan sanad hadis disebut sebagai periwayat yang z}a>bit}
.
Artiharfiah z}a>bit} ada beberapa macam, yakni dapat berarti kokoh, yang
kuat, yang tepat dan yang hafal dengan sempurna. Ulama hadis
memang berbeda pendapat dalam memberikan pengertian istilah
z}a>bit}, namun perbedaan itu dapat dipertemukan dengan
memberikan rumusan sebagai berikut: Pertama, periwayat yang
bersifat z}a>bit} adalah periwayat yang hafal dengan sempurna hadis
yang diterima dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang
dihafalnya. Kedua, periwayat yang bersifat z}a>bit} adalah periwayat
yang selain disebutkan di atas juga dia mampu memahami dengan
baik hadis yang dihafalnya.9
d) Terhindar dari sha>dh
8 Manzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 131.
21
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian sha>dh
suatu hadis. Dari berbagai pendapat yang ada, yang paling popular
dan banyakdiikuti sampai saat ini adalah pendapat Imam al-Syafi’I
(wafat 204 H/ 820 M), yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang
yang thiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang
dikemukakan oleh banyak riwayat yang lebih thiqah.10
Dari pendapat Imam Syafi’I tersebut dapat dinyatakan
bahwa kemungkinan suatu hadis mengandung sha>dh, apabila hadis
tersebut memiliki sanad lebih dari satu. Apabila suatu hadis hanya
diriwayatkan oleh seorang thiqah saja, dan pada saat yang sama
tidak ada perawi yang lain yang meriwayatkan, maka hadis tersebut
tidak dikatakan sha>dh. Artinya hadis yang hanya memiliki satu
sanad saja tidak tidak dikenal kemungkinan mengandung sha>dh.11
Salah satu langkah penting untuk menetapkan kemungkinan
terjadinya sha>dh dalam hadis adalah dengan cara
membanding-bandingkan suatu hadis dengan hadis lain yang satu tema.
Dengan demikian sha>dh adalah kejanggalan riwayat,
dimana kejanggalan riwayat itu bertentangan dengan riwayat
banyak perawi lain yang lebih thiqah. Dengan demikian, di
10 Abu Abdullah al-Hakim al-Nasaiburi, Ma’rifatu Ulum al-Hadith (Kairo: Maktabah al-Muntanabbi, t.th), 119.
22
samping ukurannya adalah kualitas riwayat, juga secara kuantitas
sanadnya, perawi thiqah itu kalah banyak dengan perawi thiqah
lain yang mempunyai riwayat yang menyelisihinya.
e) Terhindar dari ‘illat
Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa pengertian ‘illat
disini bukanlah pengertian ‘illat secara umum, yakni cacat yang
disebut sebagai tha’nu al-hadis atau jarh. Maksud ‘illat dalam hal
ini adalah sebab-sebab tersembunyinya yang merusak kualitas hadis.
Keberadaannya menyebabkan hadis yang secara lahiriyah tampak
berkualitas sahih, menjadi tidak sahih.12
Langkah-langkah yang perlu ditempuh adalah menghimpun
seluruh sanad untuk matan yang satu tema, kemudian diteliti untuk
membandingkan sanad satu dengan yang lainnya. Demikian juga
dengan matannya ia perlu dibandingkan dengan matan-matan yang
lain. Apabila bertentangan dengan mata-matan hadis lainnya yang
senada, atau kandungannya bertentangan dengan al-Qur’an, maka
berarti mengandung ‘illat.
Dengan demikian ‘illat adalah suatu sebab yang samar dan
tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis, meskipun secara
dhahir kelihatannya selamat dari cacat. Seperti periwayatan anak
12Nuruddin ‘Itr,
23
kepada bapaknya sendiri. Secara dhahir dihukumi muttasil
(bersambung), namun setelah diadakan penelitian lebih lanjut
ternyata tidak ditemukan indikasi anak meriwayatkan hadis itu dari
bapaknya, karena anak lahir ketika bapaknya telah meninggal
dunia.13
Dalam melakukan penelitian kualitas sanad hadis dikenal
cabang keilmuan yang disebut ilmu rija>l al-h}adi>th, yaitu ilmu yang
secara spesifik mengupas keberadaan para perawi hadis. Ilmu ini
berfungsi untuk mengungkap data-data para perawi yang terlibat
dalam civitas periwayatan hadis dan dengan ilmu ini juga dapat
diketahui sikap ahli hadis yang menjadi kritikus terhadap para
perawi hadis tersebut.14
Ilmu rijal al-hadith itu terbagi menjadi dua macam ilmu
yang utama, yaitu ilmu Tari>kh al-Ruwah dan ilmu al-Jarh} wa
Ta'di>l.15
1. Ilmu Tari>kh al-Ruwah
Muhammad 'Ajjaj al-khatib mendefinisikan ilmu
Tari>kh al-Ruwah ialah ilmu untuk mengetahui para rawi dalam
hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadis.16
13Zainuddin dkk., Studi Hadis Cet. 3 (Surabaya: UINSA Press, 2013), 162.
14 Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis Cet. 1 (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003), 6.
24
Dengan ilmu ini, dapat diketahui informasi yang
terkait dengan semua rawi yang menerima, menyampaikan atau
yang melakukan tranmisi hadis Nabi Saw sehingga para rawi
yang dibahas adalah semua rawi baik dari kalangan sahabat,
tabi'in sampai mukharij hadis.17
2. Ilmu al-Jarh} wa Ta'di>l.
Dalam terminologi ilmu hadis, al-Jarh} berarti
menunjukkan sifat-sifat tercela bagi seorang perawi sehingga
merusak atau mencacatkan keadilan dan ke-z}abit}-an-nya.
Adapun ta'di>l diartikan oleh al-Khatib sebagai upaya mensifati
perawi dengan sifat-sifat tercela sehingga tampak keadilan agar
riwayatnya diterima.
Berdasarkan definisi di atas, maka ilmu al-Jarh} wa
Ta'di>l adalah ilmu yang membicarakan masalah keadaan
perawi, baik dengan mengungkapkan sifat-sifat yang
menunjukkan keadilan maupun sifat-sifat yang menunjukkan
kecacatan yang bermuara pada penerimaan atau penolakan
terhadap riwayat yang disampaikan.18
16Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalah al-Hadith (Bandung: Al-Ma’arif, 1974), 295.
17 Suryadi, Metodologi Ilmu, 18.
25
Dalam ilmu al-Jarh} wa Ta'di>l dikenal beberapa kaidah
dalam men-jarh dan men-ta'di>l -kan perawi, diantaranya:19
حرْا ىلع مدقم ليدعتلا
"Penilaianta'di>ldidahulukanataspenilaian Jarh}”.Dalam kaidah ini apabila ada kritikus yang memuji
seorang rawi dan ada juga yang mencelanya, maka yang dipilih
adalah pujian atas rawi tersebut. Alasannya karena sifat terpuji
itu merupakan sifat dasar perawi dan sifat tercela adalah sifat
yang datang kemudian. Kaidah ini digunakan al-Nasa>'i namun
umumnya ulama hadis tidak menerima.
ليدعتلا ىلع مدقم حرْا
"Penilaian Jarh}didahulukanataspenilaianta'di>l”.
Kaidah ini didasarkan pada asumsi bahwa pujian itu
timbul karena persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis,
sehingga harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang
ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.
Kaidah ini didukung oleh ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama
ushul fiqh.
كْاف لدعماو حراْا ضراعت اذإ
م
رسفما حرْا تبث اذإ لإ لدعملل
19M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,
26
"Apabila terjadi pertentangan antara pujian dan celaan ,maka yang
harus dimenangkan adalah pujian, kecuali bila celaan itu disertai dengan penjelasan tentang sebab-sebabnya".
Kaidah ini dikemukakan oleh jumhur ulama kritikus
hadis dengan cacatan, penjelasan tentang ketercelaan itu harus
relevan dengan upaya penelitian.
إ
ل هحرج لبقي َف افيعض حراْا ناك اذ
ل
ةقث
"Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah golongan
orang yang d}a'if, maka kritikannya terhadap orang yang thiqah tidak diterima".
Kaidah ini juga banyak didukung ulama kritik hadis.
ى ابشأا ةيشخ تبثتلا دعب لإ حرْا لبقيل
نحورجا
"Al-jarh} tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti cermat)
dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya".
Hal ini terjadi bila ada kemiripan nama antara
periwayat yang dikritik dengan periwayat yang lain. Sehingga
harus diteliti secara cermat agar tidak terjadi kekeliruan.
Kaidah ini juga banyak digunakan para ulama ahli kritikus
hadis.
انلا حرْا
ش
هب دتعي ل ةيويند ةوادع نع ئ
27
Hal ini jelas berlaku, karena pertentangan pribadi
dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian
yang tidak obyektif. Pada dasarnya banyak sekali muncul
kaidah-kaidah yang berkenaan dalam hal ini, namun enam
kaidah di atas yang banyak terdapat dalam kitab hadis. Akan
tetapi pada intinya, tujuan penelitian adalah bukan untuk
mengikuti kaidah tertentu melainkan penggunaan kaidah
tersebut harus disesuaikan dalam upaya memperoleh hasil
penelitian yang lebih mendekati kebenaran.
3. Lambang-lambang Metode Periwayatan.
Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa
sanad hadis selain memuat nama-nama periwayat, juga memuat
lambing-lambang atau lafal-lafal yang memberi petunjuk
tentang metode periwayatan yang digunakan oleh
masing-masing periwayat yang bersangkutan.20
Lambang-lambang atau lafal-lafal yang digunakan
dalam periwayatan hadis, dalam hal ini untuk kegiatan
tah}ammulul hadis, bentuknya bermacam-macam, misalnya
sami'tu, sami'na>, h}addathani>, h}addathana>, 'an dan anna>.
20M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,
28
Sebagian dari lambing-lambang itu ada yang disepakati
penggunaannya dan ada yang tidak disepakati.
Sebagian ulama menyatakan bahwa sanad yang
mengandung huruf 'an sanadnya terputus. Tetapi mayoritas
ulama menilai bahwa sanad yang menggunakan lambang
periwayatan huruf 'an termasuk dalam metode al-sama' apabila
memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Dalam sanad yang mengandung huruf 'an itu tidak
terdapat penyembunyian cacat (tadli>s) yang digunakan
oleh periwayat.
b. Antara periwayat dengan periwayat terdekat yang
diantara huruf 'an itu dimungkinkan terjadi pertemuan.
c. Periwayat yang menggunakan lambing ‘an ataupun anna
itu adalah periwayat yang terpecaya (thiqah).21
Sehingga mayoritas para ulama telah menetapkan
bahwa metode periwayatan hadis ada delapan macam, yakni:22
1) Sama' yaitu seorang murid mendengar langsung dari
gurunya. Lafad yang biasa digunakan adalah
ن خأ ،ينثدح ، نثدح ،تع س
21M. Syuhudi Isma’il, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Cet. 1(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 62-63.
22M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,
29
2) 'Ardl yaitu seorang murid membacakan hadis (yang
didapatkan dari guru lain) di depan gurunya. Lafad yang
biasa digunakan adalah
هيلع أ ق ،ع سأ نأو اف ىلع أ ق
3) Ija>zah yaitu pemberian izin oleh seorang guru kepada
murid untuk meriwayatkan sebuah hadis tanpa membaca
hadis tersebut satu persatu. Lafad yang biasa digunakan
adalah
وأ ىت ع و سم عي ج كل زجأ ،ىنع ىنافلا تكلا ياور كل زجأ
يت يو م
4) Munawalah yaitu guru memberikan sebuah materi tertulis
kepada seseorang yang meriwayatkannya. Dalam
munawalah ada yang disertai ijazah, lafad yang
digunakan جإ نثدح ، نأ نأ ، جإ ،ىنأنأsedangkan
munawalah yang tanpa ijazah menggunakan lafad ، نلو ن
ىنلو ن
5) Kitabah/muka>tabah yaitu seorang guru menuliskan
rangkaian hadis untuk seseorang. Lafad yang digunakan
30
6) I'la>m yaitu memberikan informasi kepada seseorang
bahwa ia memberikan izin untuk meriwayatkan materi
hadis tertentu. Lafad yang digunakan ماعإ ن خأ
7) Was}iyah yaitu seorang guru mewariskan buku-buku
hadisnya. Lafad yang digunakan يلإ ىصوأ
8) Wijadah yaitu menemukan sejumlah buku-buku hadis
yang ditulis oleh seseorang yang tidak dikenal namanya.
Lafad yang digunakan
اف نع ىنغلب / اف نع دجو ، اف نثدح اف طخب دجو
Sedangkan kata yang sering dipakai dalam
meriwayatkan hadis antara sanad satu dengan sanad yang lain
adalah ىنأ نأ ، نأ نأ ،ىن خأ ،ىنثدح ، ن خأ ، نثدح
b. Kesahihan Matan
Matan secara etimologi berarti punggung jalan atau bagian tanah
yang keras dan menonjol ke atas. Secara terminologi matan adalah
cerminan konsep ideal yang diberikan dalam bentuk teks, kemudian
difungsikan sebagai sarana perumus keagamaan menurut hadis.23
Mayoritas ulama hadis sepakat bahwa penelitian matan hadis
menjadi penting untuk dilakukan setelah sanad bagi matan hadis tersebut
31
diketahui kualitasnya. Ketentuan kualitas ini adalah dalam hal kesahihan
sanad hadis atau minimal tidak termasuk berat ke-d}a'if-an-nya.24
Apabila merujuk pada definisi hadis sahih yang diajukan Ibnu
al-Shalah, maka keshahihan matan hadis tercapai ketika telah memenuhi dua
kriteria, antara lain:25
1) Matan hadis tersebut harus terhindar dari kejanggalan (sha>dh)
2) Matan hadis tersebut harus terhindar dari kecacatan ('illat)
Maka dalam penelitian matan, dua unsur tersebut harus menjadi
acuan utama tujuan dari penelitian. Karakteristik keshahihan matan
dikalangan ulama hadis sangat bercorak. Corak tersebut disebabkan oleh
perbedaan latar belakang, keahlian, alat bantu dan persoalan serta
masyarakat yang dihadapinya. Sebagaimana pendapat Khatib
al-Baghdadi, bahwa satu matan hadis dapat dinyatakan maqbul sebagai hadis
yang sahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a) Tidak bertentangan dengan al-Qur'an yang telah muhkam (ketentuan
hukum yang telah tetap).
b) Tidak bertentangan dengan hadis mutawattir.
c) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan
para ulama masa lalu.
24 M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 123.
32
d) Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti.
e) Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya
lebih kuat.
f) Tidak bertentangan dengan akal sehat.
Butir-butir tolak ukur yang dikemukakan oleh al-Baghdadi itu
terlihat ada tumpang tindih. Masalah bahasa, sejarah dan lain-lain yang
oleh sebagian ulama disebut sebagai tolak ukur.26
Secara singkat Ibn al-Jauzi memberikan tolak ukur kesahihan
matan, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal maupun
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pokok agama, pasti hadis
tersebut tergolong hadis maudu'. Karena itulah Nabi Muhammad SAW
telah menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian
pula terhadap ketentuan pokok agama yang menyangkut aqidah dan
ibadah.27
Dalam prakteknya, ulama hadis memang tidak memberikan
ketentuan yang baku tentang tahapan-tahapan penelitian matan. Karena
tampaknya, dengan keterikatan secara letterlick pada dua acuan di atas,
akan menimbulkan beberapa kesuliatan. Namun hal ini menjadi kerancuan
juga apabila tidak ada kriteria yang lebih mendasar dalam memberikan
26 M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 126.
33
gambaran bentuk matan yang terhindar dari sha>dh dan 'illat. Dalam hal ini,
S{alah} al-Di>n al-Adhlabi dalam kitabnya Manh}aj Naqd Matan cinda>
al-Ulama’ al-H{adi>th al-Nabawi mengemukakan beberapa kriteria yang
menjadikan matan layak untuk dikritik, antara lain:28
1) Lemahnya kata pada hadis yang diriwayatkan.
2) Rusaknya makna.
3) Berlawanan dengan al-Qur'an yang tidak ada kemungkinan ta'wil
padanya ataupun hadis mutawattir yang telah mengandung suatu
petunjuk secara pasti.
4) Bertentangan dengan kenyataan sejarah yang ada pada masa Nabi.
5) Sesuai dengan madzhab rawi yang giat mempropagandakan
madzhabnya.
6) Hadis itu mengandung sesuatu urusan yang mestinya orang banyak
mengutipnya, namun ternyata hadis tersebut tidak dikenal dan tidak
ada yang menuturkannya kecuali satu orang.
7) Mengandung sifat yang berlebihan dalam soal pahala yang besar
untuk perbuatan yang kecil.
8) Susunan bahasanya rancu.
9) Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit
diinterpretasikan secara rasional.
34
10) Isinya bertentangan dengan tujuan pokok agama Islam atau tidak
sesuai dengan shari>'at Islam.
11) Isinya bertentangan dengan hukum dan Sunnatullah.
Selanjutnya, agar kritik matan tersebut dapat menentukan
keshahihan suatu matan yang benar-benar mencerminkan keabsahan suatu
hadis, para ulama telah menentukan tolak ukur tersebut menjadi empat
kategori, antara lain:29
1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an.
2) Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat.
3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra dan fakta sejarah.
4) Susunan pernyataannya yang menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Dengan kriteria hadis yang perlu dikritik serta tolak ukur
kelayakan suatu matan hadis di atas, dapat dinyatakan bahwa pada
dasarnya unsur-unsur kaidah kesahihan matan hadis tersebut hanya dua
item saja, tetapi aplikasinya dapat meluas dan menuntut adanya pendekatan
keilmuan lain yang cukup banyak dan sesuai dengan keadaan matan yang
diteliti.
B. Kehujjahan Hadis
Hadis adalah segala perkataan, perbuatan serta hal-hal yang berkaitan
dengan Nabi SAW. Hadis yang seperti itulah yang kemudian oleh kebanyakan
35
ulama dijadikan sebagai hujjah dalam menentukan hukum syariat. Dalam
kedudukannya yang sangat penting tersebut, hadis haruslah benar-benar valid
dan dapat dipertanggungjawabkan dari Nabi Muhammad SAW. Hal ini
dikarenakan adanya kenyataan tentang rentang waktu yang cukup panjang antara
masa nabi dengan masa pembukuan hadis itu sendiri.
Seperti yang telah diketahui, syarat-syarat yang merupakan komponen
ukuran untuk mengetahui dapat diterima atau harus ditolaknya suatu hadis
dilengkapi dengan teknik penerapannya atas keadaan sanad dan matan hadis.
hadis yang dapat diterima (al-H{adith al-Maqbu>l) terbagi sebagai berikut, yaitu:
hadis s}ah}i>h} dan hadis hasan,. Mengenai teori kehujjahan hadis, para ulama
mempunyai pandangan sendiri antara tiga macam hadis di atas. Bila dirinci,
maka pendapat mereka adalah sebagai berikut:
1. Kehujjahan Hadis S}ah}i>h}
Hadis s}ah}i>h} adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil,
sempurna hafalannya (z}a>bit}), sanadnya bersambung, tidak ber’illat dan sha>dh. klasifikasi hadis s}ah}i>h} terbagi dalam dua bagian yakni hadis s}ah}i>h}
lidha>tihi dan s}ah}i>h} lighayrihi. Hadis s}ah}i>h} lidha>tihi yaitu hadis s}ah}i>h} yang
syarat-syaratnya seperti yang saya sebutkan di atas. Sedangkan hadis
s}ah}i>h} lighayrihi adalah hadis h}asan lidha>tihi apabila diriwayatkan melalui
jalur lain yang semisal atau yang lebih kuat, baik dengan redaksi yang
36
tersebut menjadi kuat dan meningkat kualitasnya dari tingkat hasan
ketingkatan yang sahih.30
Bila ditinjau dari sifatnya, klasifikasi hadis s}ah}i>h} terbagi dalam
dua bagian yakni hadis maqbu>l ma'mulin bihi dan hadis maqb>ul ghai>ru
ma'mulin bihi. Dikatakan sebuah hadis itu hadis ma>qbul ma'mulin bihi
apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:31
a. Hadis tersebut muhkam yakni dapat digunakan untuk memutuskan
hukum, tanpa shubhat sedikitpun.
b. Hadis tersebut mukhtalif (berlawanan) yang dapat dikompromikan,
sehingga dapat diamalkan kedua-duanya.
c. Hadis tersebut rajih yaitu hadis tersebut merupakan hadis terkuat
diantara dua buah hadis yang berlawanan maksudnya.
d. Hadis tersebut nasikh, yakni datang lebih akhir sehingga mengganti
kedudukan hukum yang terkandung dalam hadis sebelumnya.
Sebaliknya, hadis maqb>ul ghai>ru ma'mulin bihi yang memenuhi
kriteria antara lain: mutashabbi>h (sukar dipahami), mutawaqqaf fihi
(saling berlawanan namun tidak dapat dikompromikan), marjuh (kurang
kuat dari pada hadis maqbul lainnya), mansukh (terhapus oleh hadis
maqbul yang datang berikutnya) dan hadis maqbu>l yang maknanya
37
berlawanan dengan al-Qur'an, hadis mutawattir, akal sehat dan ijma>' para
ulama.32
2. Kehujjahan Hadis H{asan
Hadis H{asan adalah hadis yang sanadnya bersambung,
periwayatnya ‘adil, akan tetapi tingkat kekuatan hafalannya rendah dan
tidak terdapat ‘illat dan sha>dh. Ibnu al-Shalah berkata, rawi hadis hasan
adalah orang yang dikenal jujur dan dapat dipercaya, tetapi tidak
mencapai tingkatan para rawi hadis sahih, karena tingkat hafalannya
masih dibawa mereka.33
Klasifikasi hadis h}asan terbagi dalam dua bagian yakni h}asan
lidha>tihi dan h}asan lighayrihi. Hasan lidha>tihi adalah hadis yang
memenuhi syarat hadis di atas. Sedangkan hadis h}asan lighayrihi adalah
hadis yang kualitasnya meningkat menjadi hadis hasan karena diperkuat
oleh hadis lain. Jenis hadis inilah yang dimaksud oleh Imam al-Tirmidhi>
dalam definisinya tentang hadis hasan.34
Akan tetapi para muhaddithin tetap menganggap hadis hasan
sebagai suatu jenis tersendiri, karena hadis yang dapat dipakai hujjah itu
32 M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 145-147.
38
adakalanya berada pada tingkat tertinggi, yakni hadis sahih; atau pada
tingkat terendah yakni hadis hasan.
Menurut seluruh fuqaha, hadis hasan dapat diterima sebagai
hujjah dan diamalkan, karena telah diketahui kejujuran rawinya dan
keselamatan perpindahannya dalam sanad. Demikian pula pendapat
kebanyakan muhaddithin dan ahli ushul.
C. Pemaknaan Hadis
Pada dasarnya, teori pemaknaan dalam sebuah hadis timbul tidak hanya
karena faktor keterkaitan dengan sanad, akan tetapi juga disebabkan oleh adanya
faktor periwayatan secara makna. Secara garis besar, penelitian matan dapat
dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni dengan pendekatan Bahasa, Tasawuf
(sufistik), dan Psikologi.
1. Pendekatan Bahasa
Periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian
matan dengan pendekatan bahasa tidak mudah dilakukan. Karena matan
hadis yang sampai ke tangan mukharrij masing-masing telah melalui
sejumlah perawi yang berbeda generasi dengan latar budaya dan
kecerdasan yang juga berbeda. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan
terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun
istilah. Sehingga bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, penelitian matan
39
pemaknaan yang komprehensif dan obyektif. Beberapa metode yang
digunakan dalam pendekatan bahasa ini adalah:
a. Mendeteksi hadis yang mempunyai lafal yang sama.
Pendeteksian lafal hadis yang sama ini dimaksudkan untuk
mengetahui beberapa hal, antara lain:35
1) Adanya idraj (sisipan lafal hadis yang bukan berasal dari
Rasulullah SAW).
2) Adanya Idtirab (pertentangan antara dua riwayat yang sama
kuatnya sehingga tidak memungkinkan dilakukan tarjih).
3) Adanya al-Qalb (pemutarbalikan matan hadis).
4) Adanya penambahan lafal dalam sebagian riwayat (ziya>dah
al-thiqah).
b. Membedakan makna hakiki dan makna majazi.
Bahasa Arab telah dikenal sebagai bahasa yang banyak
menggunakan ungkapan-ungkapan. Ungkapan majaz menurut ilmu
balaghah lebih mengesankan daripada ungkapan makna hakiki.
Rasulullah Saw juga sering menggunakan ungkapan majaz dalam
menyampaikan sabdanya.
40
Majaz dalam hal ini mencakup majaz lughawi, 'aqli,
isti'arah, kinayah dan isti'arah tamthiliyyah atau ungkapan lainnya
yang tidak mengandung makna sebenarnya. Makna majaz dalam
pembicaraan hanya dapat diketahui melalui qarinah yang
menunjukkan makna yang dimaksud.
Dalam ilmu hadis, pendeteksian atas makna-makna majaz
tersebut termasuk dalam pembahasan ilmu ghari>b al-h}adi>th. Karena
sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Shalah
bahwa ilmu ghari>b al-h}adi>th adalah ilmu pengetahuan untuk
mengetahui lafal-lafal dalam matan hadis yang sulit dipahami
karena jarang digunakan.36 Tiga metode di atas merupakan sebagian
dari beberapa metode kebahasaan lainnya yang juga harus
digunakan seperti ilmu nahwu dan sharaf sebagai dasar keilmuan
dalam bahasa Arab.
2. Pendekatan Tasawuf
Periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian
matan dengan pendekatan tasawuf tidak mudah dilakukan. Karena matan
hadis yang sampai ke tangan mukharrij masing-masing telah melalui
sejumlah perawi yang berbeda generasi dengan latar budaya dan
kecerdasan yang juga berbeda. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan
41
terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun
istilah. Sehingga bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, penelitian matan
dengan pendekatan tasawuf perlu dilakukan untuk mendapatkan
pemaknaan yang komprehensif dan obyektif. Beberapa metode yang
digunakan dalam pendekatan tasawuf ini adalah:
a. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi
moral dari seorang hamba dalam rangka melakukan taqorrub kepada
tuhannya, dengan cara mengadakan Riyyadah pembersihan diri dari
moral yang tidak baik, karena tuhan tidak menerima siapapun dari
hamba-Nya kecuali yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit
hati).37 Isi dari ajaran Tasawuf Akhlaqi,yaitu: 38
1) Takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela).
Takhalli berarti mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela,
kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang
harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari betapa
buruknya, tercela sifat-sifat tersebut. Adapun sifat-sifat tercela
yang harus dihilangkan antara lain syirik, hasad, marah, riya’, dan
ujub. Untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut, perlu dilakukan
cara seperti berikut:
42
a)Menghayati segala bentuk akidah dan ibadah.
b)Muh}a>sabah (koreksi).
c)Riya>d}ah (latihan) dan mujahadah (perjuangan).
d)Berupaya mempunyai kemauan dan daya tangkal yang kuat
terhadap kebiasaan yang buruk dan menggantinya dengan
kebiasaan baik.39
2) Tahalli (menghiasi diri dari sifat-sifat terpuji).
Tahalli yaitu menghias diri dengan jalan membiasakan
sikap dan sifat serta perbuatan yang baik. Langkahnya membina
pribadi agar memiliki akhlak karimah dan senantiasa konsisten
dengan langkah yang dirintis sebelumnya (dalam bertakhalli).
Langkah ini perlu ditingkatkan dengan tahap mengisi dan
menyinari hati dengan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat ketuhanan,
seperti mengesakan Allah, taubat, zuhud, wara', sabar, syukur, rida,
tawakkal dan qana’ah.
3) Tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih
sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).
Tajalli adalah hati seseorang terbebaskan dari tabir
(hijab), yaitu sifat-sifat kemanusiaan atau nur yang selama ini
tersembunyi (ghaib) atau fana selain Allah ketika tampak (tajalli)
43
wajah-Nya. Al –Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan,
diantaranya:40
a) Tajalli al-Af’al, yaitu tajallinya pada perbuatan seseorang,
artinya segala aktivitas itu disertai kudrat dan iradat-Nya
serta ketika itu ia melihat-Nya. Hal ini dapat berarti bahwa
gerak dan diam itu adalah atsar (bekas) dari kudrat dan
iradat-Nya.
b) Tajalli al-Asma’, yaitu lenyapnya seseorang dari dirinya dan
bebas dari sifat-sifat kebaharuan serta lepas dari ikatan
tubuh kasarnya.
c) Tajalli al-Sifat, yaitu seorang hamba menerima sifat-sifat
ketuhanan, artinya tuhan mengambil tempat padanya tanpa
hulu dzat-Nya. Tajalli Dzat, yaitu apabila Allah SWT
menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang
memfanakan dirinya, bertempatlah Dia padanya yang dapat
berupa sifat dan dzat.
b.Tasawuf Amali.
Tasawuf Amali adalah tasawuf yan membahas tentang
bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian ini,
40Abdul Karim Al-Jilli, Insa>n al-Ka>mil Fi> Ma’rifah al-Awa>khir wa al-Awa>’il (Beirut: Dar
44
tasawuf amali berkonotasikan tarekat. Tarekat dibedakan antara
kemampuan sufi yang satu dengan yang lain. Ada seseorang yang
dianggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah dan
ada seseorang yang memerlukan bantuan orang lain yang dianggap
memiliki otoritas dalam masalah itu. Dari sinilah muncul strata-strata
berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan yang
kemudian dikenal istilah murid, mursyid, dan wali.41
Dalam tasawuf amali yang berkonotasi tarekat ini mempunyai
aturan, prinsip, dan sistem khusus. Oleh karena itu, ia mempunyai
keistimewaan yang khusus seperti jiwa yang bersih.
c. Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi intuitif dan visi rasional. Terminologi filosofis
yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya, namun orsinalitasnya sebagai tasawuf
tidak hilang.42 Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Tasawuf
falsafi tidak bisa hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan
metodenya didasarkan pada rasa (dhauq), tetapi tidak dapat pula
45
dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena
ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.
Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para
sufi falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar
dikenal dengan syatahiyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit dipahami,
yang sering mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar dan
menimbulkan tragedi. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Abu Yazid
al-Bustami, Al-Hallaj, dan Ibnu Arabi.
Abu Yazid al-Bustami mempunyai teori ittihad, yaitu suatu
tingkatan tasawuf dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang
dicintai telah telah menjadi satu sehingga salah satu dari mereka dapat
memanggil dengan kata-kata “Hai Aku”. Dalam ijtihad, identitas telah
menjadi satu. Karena fananya, sufi yang bersangkutan tidak
mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Tokoh
lainnya adalah al-Hallaj dengan ajaran hulul, yaitu suatu paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu dan
mengambil tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan
yang ada di dalam tubuh dilenyapkan. Menurut al-Hallaj, dalam diri
manusia terdapat dua unsur yaitu unsur nasut (kemanusiaan) dan unsur
lahut (ketuhanan). Teori hulul ini lebih jauh dikembangkan oleh Ibnu
46
mengubah nasut menjadi al-Khalq dan lahut menjadi al-haq. Kedua
unsur tersebut pasti ada pada setiap makhluk sebagai aspek lahir dan
batin.43
Paham yang dibawa oleh para sufi Falsafi menghadirkan pro
dan kontra karena perbedaan latar belakang sudut peninjauan dan
analisisnya. Dalam dunia tasawuf dikenal istilah fana dan baqa. Ketika
seseorang telah mencapai keadaan demikian, seorang sufi telah
mencapai puncak tujuan yang diinginkannya, yaitu ma’rifat dan
hakikat hingga muncul kesadaran bahwa al-ma’rifah (pengetahuan),
al-‘arif (orang yang mengetahui), dan al-ma’ruf (yang diketahui/Tuhan)
adalah satu.
3. Pendekatan Psikologi
Untuk mengetahui dan memahami kandungan hadis ini. Ada
beberapa faktor yang digunakan dalam pendekatan psikologi, yaitu:
a. Faktor Sosial dalam Agama
Faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh
terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, dari pendidikan yang
kita terima pada masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap
47
orang-orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi yang kita terima
dari masa lampau.44
Tidak hanya keyakinan-keyakinan kita yang terpengaruh
oleh factor-faktor sosial, pola-pola ekspresi emosional kita pun,
sampai batas terakhir, bisa dibentuk oleh l