• Tidak ada hasil yang ditemukan

TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA : PEMAHAMAN HADIS DALAM KITAB SUNAN AL TIRMIDHI NO INDEKS 446.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA : PEMAHAMAN HADIS DALAM KITAB SUNAN AL TIRMIDHI NO INDEKS 446."

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA

(Pemahaman Hadis dalam Kitab Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446)

Skripsi :

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata

Satu (S-1) Dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

SITI SHARIFATUL MUFTIMAH NIM: E03213083

JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Siti Sharifatul Muftimah, “Turunnya Allah ke Langit Dunia (Pemahaman

Hadis dalam Kitab Sunan al-Tirmidhi>Nomor Indeks 446).”

Ilmu tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang akidah atau kepercayaan kepada Allah dengan didasarkan pada dalil-dalil yang benar, Tidak ada yang menyamainya dan tak ada padanan bagi-Nya. Namun dengan adanya hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia ini kita bisa menyakini bahwasannya Allah memang benar-benar turun dan Allah SWT itu fana serta tidak ada yang sepadan dengan-Nya. Sehingga dari sini masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana kualitas sanad dan matan, kehujjahan hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia dalam Sunan Tirmidhi>; 2) Bagaimana pemaknaan hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia dalam Sunan Tirmidhi>; 3) Bagaimana implikasi hadis dalam kehidupan manusia.

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research). Jadi, pengumpulan data diperoleh dengan meneliti kitab Sunan Tirmidhi> dan dibantu dengan kitab standart lainnya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode takhrij, kritik sanad dan kritik matan, metode ma’ani serta diperoleh dari hasil penelitian.

Dari proses penelitian, didapatkan hasil bahwa status sanad hadis ini adalah s}ah}i>h},karena sanadnya muttasil dan semua perawinya thiqah. walaupun ada perawi yang bernama Suhai>l ibn Abi> S{a>lih} ada yang mengatakan bahwa dia adalah s}odu>q, dan al-Nasa’i mengatakan lai>sa bihi ba’thun, akan tetapi al-Ijliy mengatakan thiqah. Maka peneliti menggunakan teori al-ta’di>l muqoddamun ‘ala al-jarhi}, sehingga apabila seorang perawi itu ada yang memuji dan ada juga yang mencelanya, maka yang dipilih adalah pujian atas rawi tersebut. Sedangkan dari segi matannya status hadis ini adalah s}ah}i>h}, karena dalam kandungan matannya tidak ditemukan sha>dh (kejanggalan) dan ‘illat (cacat). Serta tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat dan rasionalitas (akal). Sehingga kehujjahan hadis tersebut berkualitas s}ah}i>h}, akan tetapi hadis ini bisa memenuhi klasifikasi sebagai hadis mutawatti>r ma’nawi, ditinjau dari banyak jalur sanad. Dengan demikian hadis ini bisa dijadikan hujjah atau landasan dalam pengambilan hukum serta bisa diamalkan. Turunnya Allah ke langit dunia ini bila dikaitkan dengan pendekatan bahasa bermakna hakiki dan masuk dalam tasawuf akhlaqi yang tajalli al-Af’al jika dikaitkan dengan pendekatan tasawuf. Salat malam adalah ibadah yang biasa dikerjakan orang-orang saleh, penghapus kesalahan dan pencegah dari perbuatan dosa. Seseorang-orang yang menginginkan do’anya diijabahi Allah maka ia akan sadar dan mau melaksanakan salat malam dengan ikhlas. Karena salat yang dilaksanakan pada waktu malam dengan khusyu’ akan ridho Allah SWT. Akan mampu meningkatkan terhadap ketahanan tubuh imunolog dan menghilangkan rasa nyeri pasien yang terkena kanker.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xii

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Kegunaan Penelitian ... 7

F. Penegasan Judul ... 7

G. Telaah Pustaka ... 9

H. Metode Penelitian ... 9

I. Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II: METODE KRITIK HADIS DAN TEORI PEMAKNAAN HADIS A. Status Hadis ... 15

(8)

b. Kesahihan Matan ... 30

B. Kehujjahan Hadis ... 34

a. Kehujjahan Hadis S{ah}i>h} ... 35

b. Kehujjahan Hadis H{asan ... 37

C. Pemaknaan Hadis ... 38

a. Pendekatan Bahasa ... 38

b. Pendekatan Tasawuf ... 40

c. Pendekatan Psikologi ... 46

BAB III: KITAB SUNAN AL-TIRMIDHI< DAN HADIS TENTANG TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA ... 51

A. Biografi Imam al-Tirmidhi> ... 51

B. Kitab Sunan al-Tirmidhi> ... 55

C. Hadis Tentang Turunnya Allah Ke Langit Dunia ... 61

D. I’tiba>r dan Skema Hadis ... 67

E. Syarah Hadis Tentang Turunnya Allah Ke Langit Dunia ... 99

BAB IV: ANALISA HADIS TENTANG TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA ... 103

A. Kualitas dan Kehujjahan Hadis ... 103

B. Pemaknaan Hadis ... 114

C. Implikasi Hadis ... 119

BAB V : PENUTUP ... 131

A. Kesimpulan ... 131

B. Saran ... 132

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tauhid menurut bahasa adalah meng-Esakan. Sedangkan menurut

syariat adalah meyakini keesaan Allah di dalam rububiyah, uluhiyah, nama dan

sifat serta hukum-Nya.1 Adapun yang disebut ilmu tauhid adalah ilmu yang

membicarakan tentang akidah atau kepercayaan kepada Allah dengan didasarkan

pada dalil-dalil yang benar, Tidak ada yang menyamainya dan tak ada padanan

bagi-Nya. Mustahil jika ada yang mampu menyamai-Nya, sebagaimana firman

Allah dalam Surah Al-Ikhlas ayat 1-42 :

ٌدَحَأ ُهللٱ َوُ ْلُق

)

1

(

ُدَمصلٱ ُهللٱ

)

2

(

َو ْدِلَي ََْ

ْدَلوُي ََْ

)

3

(

ُهل نُكَي َََْو

ۥ

ٌدَحَأاًوُفُك

) 4 (

“Katakanlah, Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

Setiap muslim wajib mengimani tiga pilar tauhid, yaitu tauhid

rububiyyah, tauhid uluhiyyah, tauhid asma’ wash shifat, dan tauhid mutaba’ah.

Keempat macam ini semuanya terdapat dalam Surat Al-Fatihah.3 Kita imani

bahwasannya Allah itu maha mendengar, melihat, dan berbicara kapanpun yang

1 Asy Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-Wushobiy, Al-Qoulul Mufid: Penjelasan Tentang Tauhid Cet. 1 (Sleman: Darul ‘Ilmi, 2005), 103.

2 Al-Qura>n, 112:1-4.

(10)

2

Allah kehendaki dan dengan apapun yang Allah kehendaki; dan bahwasannya

Allah itu beristiwa’ (tinggi) di atas ‘Arsy-Nya dengan istiwa’ yang sesuai dengan

(kemuliaan)-Nya sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surah Thoha ayat 54 :

:هطُ ىَوَ تْسا ِشْرَعْلا ىَلَع ُن ّْْرلا

5

َ

“Yang Maha Pengasih beristiwa di atas ‘Arsy.”

Nama dan sifat Allah itu taufiqiyah (berdasarkan wahyu); yaitu kita

tidak menamai Rabb kita kecuali dengan nama-nama yang Dia atau Rasul-Nya

SAW menamai diri-Nya, dan kita tidak mensifati Rabb kita kecuali dengan

sifat-sifat yang Dia atau Rasul-Nya SAW mensifat-sifati diri-Nya.5

Seluruh kaum muslimin telah bersepakat bahwa semua pemahaman

yang menyimpang terkait dengan tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah adalah

perbuatan kufur. Namun, masih banyak syubhat-syubhat seputar tauhid asma’

wash shifat yang bermunculan di tengah kaum muslimin demi mengkaburkan

kemurnian tauhid seorang muslim.

Diantara syubhat yang ada di tengah majelis kaum muslimin adalah

masalah turunnya Allah ke langit dunia (sifat an-Nuzul). Terdapat banyak dalil

yang berbicara tentang hal ini, namun sebagian kaum muslimin pada masa

sekarang merasa kebingungan dalam menerima khabar ini. Di antara mereka ada

4 Al-Qura>n, 20:5.

(11)

3

yang melakukan takwil dengan hawa nafsu dan ra’yu (akal) mereka. Hal tersebut

berdasarkan hadis Nabi SAW:

ِلاَص َِِأ ِنْب ِلْيَهُس ْنَع ، ِِاَرَدْنَكْسِإا ِنَْْرلا ِدْبَع ُنْب ُبوُقْعَ ي اَنَ ثدَح :َلاَق ُةَبْيَ تُ ق اَنَ ثدَح

ْنَع ،ٍح

َراَبَ ت ُهللا ُلِزْنَ ي " :َلاَق َملَسَو ِهْيَلَع ُهللا ىلَص ِهللا َلوُسَر نَأ ،َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع ،ِهيِبَأ

ِءاَمسلا ََِإ ََاَعَ تَو َك

َف ِِوُعْدَي يِذلا اَذ ْنَم ،ُكِلَما اَنَأ :ُلوُقَ يَ ف ،ُلوَأا ِلْيللا ُثُلُ ث يِضََْ َنِح ٍةَلْ يَل لُك اَيْ ندلا

َبيِجَتْسَأ

ْغَأَف ُِِرِفْغَ تْسَي يِذلا اَذ ْنَم ،ُهَيِطْعُأَف ُِِلَأْسَي يِذلا اَذ ْنَم ،ُهَل

َءيِضُي ََح َكِلَذَك ُلاَزَ ي َََف ،ُهَل َرِف

" ُرْجَفلا

6

“Qutai>bah menyampaikan kepada kami dari Ya'qu>b bin Abdurrahman al-Iskandara>ni, dari Suhai>l bin Abu> S{a>lih, dari ayahnya, dari Abu> Hurai>rah bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Allah Tabara>ka wa Ta'a>la turun ke langit dunia setiap malam ketika sepertiga malam pertama berlalu. Lalu dia berfirman, "Aku adalah penguasa, Siapa yang berdo’a kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya. Siapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan memberinya. Siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya. Hal itu berlangsung hingga fajar menyingsing."

Namun ada beberapa ulama yang menulis risalah tentang hadis di atas, berikut ini

adalah komentar mereka:

1. Imam al-Baihaqi berkata, “pendapat yang paling selamat adalah beriman

kepadanya tanpa mencari hakikat serta maksudnya, kecuali Rasulullah

SAW telah menerangkannya, maka itulah yang dijadikan pegangan. Hal itu

berdasarkan kesepakatan ulama yang tidak mewajibkan takwil tertentu, dan

menyerahkan maknanya kepada Allah adalah selamat.” 7

6Imam al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi> Vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 444-445.

7 Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar al-Asqala>ni>, Fath}ul Ba>ri Vol. 3 (Kairo: Maktabah

(12)

4

2. Ibnu al-Arabi telah menakwilkan kata “turunnya Allah SWT” dengan dua

sisi; bisa saja bermakna perintah-Nya, dan bisa juga kata itu adalah

isti’arah (penggunaan kalimat yang tidak dalam arti sebenarnya, ed.) untuk

mengungkapkan sikap lembut terhadap orang orang yang berdo’a serta

mengabulkan permohonan mereka.8

3. Abu Bakar ibn Faurak meriwayatkan dari sebagian syaikh bahwa kata

yanzilu (turun) sebenarnya adalah yunzilu (diturunkan), yakni malaikat

diturunkan. Pendapat ini didukung oleh riwayat an-Nasa>’i melalui jalur al

-Aghar dari Abu> Hurai>rah dan Abu> sa’i>d dengan lafaz innalla>ha yumhilu

h}atta yumd}i> shat}ra al-Lai>l, thumma ya’muru muna>diya>n yaqu>lu: hal min

da>’in fayustaja>bu lahu” (sesungguhnya Allah SWT menangguhkan hingga

berlalu separuh malum, kemudian dia memerintahkan penyeru untuk

mengatakan, “adakah yang berdoa maka akan dikabulkan

permohonannya.”) dalam hadis Uthma>n bin Abi> al-Ash disebutkan

“yuna>di muna>din hal min da>’in yustaja>bu lahu” (penyeru menyerukan,

“adakah yang berdoa agar dikabulkan untuknya.”).9

4. Al-Baidhawi berkata, “setelah jelas berdasarkan nash-nash qath’i (pasti)

bahwa Allah tidak sama dengan materi dan ruang, serta tidak mungkin Dia

“turun” dalam arti berpindah dari satu tempat ke tempat yang lebih rendah

8Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar al-Asqala>ni>, Fath}ul Ba>ri Vol. 3 (Kairo: Maktabah

al-Taufiqiyyah, 2008), 40.

(13)

5

darinya, maka yang dimaksud dengan “turunnya Allah SWT” adalah

turunnya cahaya rahmat-Nya, yakni berpindah dari sifat keagungan yang

berkonsentrasi kemurkaan dan kemarahan kepada sifat kemurahan yang

berkonsekuensi kelembutan dan kasih sayang.10

Akan tetapi hadis di atas kiranya perlu untuk diteliti mengingat Hadis

berkedudukan sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur'an. Hadis merupakan

penafsiran al-Qur'an dalam bentuk praktek atau penerapan ajaran Islam secara

faktual dan ideal. Banyak hukum-hukum di dalam al-Qur'an yang diantaranya

sulit dipahami atau dijalankan bila tidak diperoleh keterangan (penjelasan) yang

diperoleh dari hadis Nabi SAW.

Di samping itu, dalam perspektif historis terungkap bahwa tidak seluruh

hadis tertulis di zaman Nabi Muhammad SAW, adanya pemalsuan hadis yang

disebabkan adanya perbedaan madzhab dan aliran, proses penghimpunan hadis

yang memakan waktu lama, jumlah kitab hadis dan metode penyusunan yang

beragam serta adanya periwayatan bi al-ma'na dan periwayatan bi al-Lafd}i.

Sebab-sebab itulah yang mendorong pentingnya melakukan penelitian hadis ini.

Tujuan pokok penelitian hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia

ini, baik dari segi sanad maupun dari segi matan adalah untuk mengetahui

kualitas hadis ini. Sehingga diketahui tentang kehujjahan hadis ini. Sampai

10 Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-Asqala>ni>, Fath}ul Ba>ri Vol. 3 (Kairo: Maktabah

(14)

6

akhirnya di dalam penelitian ini melakukan analisis mengenai pemaknaan Hadis

Turunnya Allah ke Langit Dunia dan implikasi hadis dalam kehidupan manusia.

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diketahui identifikasi

masalah sebagai berikut:

1. Pandangan Ulama mengenai hadis turunnya Allah ke langit dunia.

2. Waktu turunnya Allah ke langit dunia

3. Pemaknaan an-Nuzul.

4. Implikasi hadis dalam kehidupan manusia.

5. Kualitas hadis turunnya Allah ke langit dunia.

6. Kehujjahan hadis turunnya Allah ke langit dunia.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah

yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Bagaimana kualitas dan kehujjahan Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit

Dunia dalam Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446?

2.Bagaimana pemaknaan Hadis Turunnya Allah ke Langit Dunia dalam Sunan

al-Tirmidhi> No Indeks 446?

3.Bagaimana implikasi hadis dalam kehidupan manusia?

D. Tujuan Penelitian

(15)

7

1.Untuk mengidentifikasi kualitas dan kehujjahan Hadis Tentang Turunnya

Allah ke Langit Dunia dalam Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446.

2.Untuk menemukan pemaknaan Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit

Dunia dalam Sunan al-Tirmidhi> No Indeks 446.

3.Untuk menemukan implikasi hadis dalam kehidupan manusia.

E. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada

realitas sosial, adapun kegunaannya antara lain:

1.Dari segi teoritis: untuk menambah wawasan, wacana dan khazanah ilmu

pengetahuan keislaman pada umumnya, dan dalam bidang hadis pada

khususnya.

2.Dari segi praktis: hasil penelitian ini diharapkan agar mendapatkan kepastian

tentang nilai pada hadis-hadis tersebut untuk dijadikan landasan atau

pedoman dalam kehidupan.

F. Penegasan Judul

Agar penulisan penelitian ini jelas serta terhindar dari kesalahpahaman,

maka sekilas masing-masing kata dalam judul tersebut akan dijelaskan secara

(16)

8

Turun :Bergerak ke arah bawah; bergerak ke tempat yang lebih rendah

daripada tempat semula.11

Allah :Nama Tuhan dalam Bahasa Arab; pencipta alam semesta yang

mahasempurna; Tuhan yang Maha Esa yang disembah oleh

orang yang beriman.12

Langit Dunia :Ruang luas yang terbentang di atas bumi, tempat beradanya

bulan, bintang, matahari, dan planet yang lain; dimana bumi

di pijak; Bumi dengan segala sesuatu yang terdapat di

atasnya; planet tempat kita hidup.13

Kitab Sunan al-Tirmidhi>: Imam al-Tirmidhi>, Vol.1, Beirut: Dar al-Fikr, 1994,

No 446.

Ma’ani hadis :Ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memaknai dan

memahami hadis Nabi Muhammad SAW.14

Dari penjelasan judul di atas bahwa yang dimaksud dalam judul adalah

untuk mencari makna hadis tentang turunnya Allah ke langit dunia dalam Sunan

al-Tirmidhi> No Indeks 446.

11 Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Cet. 1 (Surabaya: Amelia, 2002), 577. 12 Ibid,. 29.

13 Ibid,. 264.

(17)

9

G. Telaah Pustaka

Sebelum melakukan penelitian ini, penulis telah membaca beberapa

sumber-sumber rujukan baik yang primer maupun yang sekunder, seperti

al-Qur'a>n, dan kitab-kitab hadis. Penulis juga telah membaca literatur yang menjadi

telaah pustaka diantaranya:

1. Jurnal "Mengenal Allah: Cara dan Manfaatnya" yang ditulis oleh Abudin

Nata, edisi mimbar agama dan budaya volume: 17 nomer: 3 2000, IAI.

Dalam jurnal tersebut dijelaskan tentang cara mengenal Allah dan

manfaat mengenal Allah.

2.

Skripsi dengan judul Konsistensi Status Hasan Imam Tirmidhi> dalam

Kitab Sunan al-Tirmidhi. Skripsi ini disusun oleh Hosnol Khotimah,

mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin di Universitas

Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2016. Dalam skripsi ini

fokus pembahasannya pada kajian kitab Sunan al-Tirmidhi>.

H. Metode Penelitian

Yang dimaksud metode adalah suatu cara tentang bagaimana menyelidiki,

mempelajari dan melaksanakan sesuatu cara sistematis, efektif dan terarah.15

Sehingga metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai

berikut:

(18)

10

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library

research). Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Data kualitatif adalah Data yang dinyatakan dalam bentuk

kata-kata atau bukan dalam bentuk angka. Oleh karena itu sumber-sumber data

yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis baik

berupa literatur berbahasa Arab maupun Indonesia yang mempunyai

relefansi dengan permasalahan penelitian ini.

Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat

deskriptif dan cenderung menggunakan analisis untuk memberikan

gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan

hasil penelitian. Sehingga penulisan ini menggunakan model penelitian

kualitatif. Dalam penelitian dilakukan dengan menelusuri secara langsung

dalam kitab Sunan al-Tirmidhi>, juga beberapa kitab hadis yang dinilai masih

terkait.

2. Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian, menurut

Suharsimi Arikunto adalah subyek dari mana data dapat diperoleh. Adapun

sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen

(19)

11

a. Sumber primer adalah rujukan utama yang dipakai, yaitu: Kitab Sunan

Tirmidhi> karya Abu> Isa> ibn Saurah ibn Mu>sa ibn al-Dhah}ak al-Sulami

al-Tirmidhi> beserta syarahnya.

b. Sumber sekunder yakni kitab hadis standar lainnya yang dijadikan

sebagai pelengkap dalam penelitian ini antara lain:

1) Kitab S{ahih Al-Bukha>ri> karya Abu> Abdulla>h Muh}ammad ibn Isma>il ibn al-Mughi>rah ibn Bardhibah.

2) Kitab S{ahih Muslim karya Abu H{usai>n Muslim ibn H{ajja>j al-Qusyairi> al-Nasaiburi.

3) Kitab Sunan Abu> Da>wu>d karya Sulai>ma>n Ibn al-Ash’as ibn Ish}a>q ibn Shida>d ibn Amr al-Azdi al-Sijista>ni.

4) Kitab Sunan Ibnu Ma>jah karya Abu> Abdulla>h Muh}ammad ibn Yazi>d ibn Ma>jah al-Rabi’I al-Qazwini.

5) Kitab al-Muwat}t}a>’ Ima>m Ma>lik karya Abu> Abdulla>h Ma>lik bin Anas bin Ma>lik bin Abi> Ami>r H{ari>th al-Asbah}i.

6) Tahdibu>t tahdi>b karya Ibnu Ha>jar al-Asqola>ni.

7) Tahdhi>b al-Kama>l Fi> Asma>’i al-Rija>l karya Jam>aluddi>n al-H{ajja>j

Yu>suf al-Mizzi>.

(20)

12

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi.

Metode ini diterapkan terbatas pada benda-benda tertulis seperti buku, jurnal

ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya.

Dalam penelitian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan

dengan dua teknik pengumpulan data, yaitu: pertama Takhri>j al-H{adi>th,

secara singkat dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengeluarkan hadis

dari sumber asli. Maka Takhri>j al-H{adi>th merupakan langkah awal untuk

mengetahui kuantitas jalur sanad dan kualitas suatu hadis. Dan kedua I’tiba>r

al-H{adi>th dalam istilah ilmu hadis adalah menyertakan sanad lain untuk

suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya

terdapat seorang periwayat saja.16 Dengan dilakukannya I’tiba>r, maka akan

terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga

nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh

masing-masing periwayat yang bersangkutan.

4. Analisis Data

Analisa data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui

penelitian. Dari penelitian hadis yang secara dasar terbagi dalam dua

komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis data dan hadis akan

meliputi dua komponen tersebut.

(21)

13

Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan

pendekatan keilmuan rija>l al-h}adi>th dan al-jarh}} wa al-ta’di>l, serta

mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut

(Tah}}ammu>l wa ada’). Hal itu dilakukan untuk mengetahui integritas dan

tingkatan intelektualitas seorang rawi serta validitas pertemuan antara

mereka selaku guru-murid dalam periwayatan hadis.

Dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan

menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas

matan diuji pada tingkat kesesuaian hadis (isi beritanya) dengan penegasan

ekspilit al-Qur’an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi hadis

-hadis lain yang kualitasnya sahih serta hal-hal yang oleh masyarakat umum

diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.17 Selain itu juga digunakan

metode memahami matan dengan menggunakan metode ma'ani al-h}adi>th

dengan pendekatan-pendekatan untuk memahami kandungan yang ada di

dalam matan hadis tersebut, agar dapat memahami hadis tersebut secara

benar dan tepat.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mudah, jelas dan dapat

dimengerti, maka di dalam proposal ini secara garis besar akan penulis uraikan

pembahasan pada masing-masing bab sebagai berikut :

(22)

14

Bab satu berisi pendahuluan yang mencakup tentang gambaran umum

yang memuat pola dasar penulisan proposal ini, meliputi : latar belakang,

identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

penegasan judul, telaah pustaka, metode penelitian serta pada akhir bab tentang

sistematika pembahasan.

Bab dua merupakan landasan teori yang membahas tentang kriteria status

hadis, teori kehujjahan hadis, dan teori pemaknaan hadis. Bab ini merupakan

landasan teori yang akan dijadikan tolak ukur dalam penelitian ini.

Bab tiga merupakan data Kitab Sunan al-Tirmidhi> dan Hadis Tentang

Turunnya Allah ke Langit Dunia, merupakan penyajian data tentang Imam

Mukharij dan kitabnya yang meliputi Biografi Ima>m al-Tirmidhi>, Kitab Sunan

al-Tirmidhi>, Data Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia, Skema

Sanad dan l'tibar, Syarah Hadis Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia.

Sedangkan bab empat merupakan analisis data yang menjadi tahapan

setelah seluruh data terkumpul, terdiri dari kualitas dan kehujjahan Hadis

Tentang Turunnya Allah ke Langit Dunia, didalamnya termasuk membahas

analisa sanad dan matan hadis. Kemudian pemaknaan Hadis Tentang Turunnya

Allah ke Langit Dunia dan implikasi hadis dalam kehidupan manusia.

Bab lima merupakan bagian penutup, yang meliputi: kesimpulan dan

saran yang berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, serta

(23)

15

BAB II

METODE KRITIK HADIS DAN TEORI PEMAKNAAN HADIS

A. Status Hadis

Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan argumen yang kuat (hujjah)

apabila memenuhi syarat-syarat ke-sahih-an, baik dari aspek sanad maupun

matan. Ibnu al-Shalah menyatakan sebuah definisi hadis sahih yang disepakati

oleh para muh>}addithi>n, sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Isma’il:

اهتنم َإ طباضلا لدعلا لقنب دانسإ لصتي يذلا دنسما ثيدْا وهف :حيحصلا ثيدْا امأ

َلعم لو اذاش نوكي لو

"Adapun hadis shahih ialah hadis yangbersambung sanadnyasampai kepadaNabi

diriwayatkanolehperiwayatyang 'adildanz}a>bit}sampaiakhirsanad, (di dalam hadis tersebut) tidak terdapat kejanggalan (sha>dh) dan cacat ('illat)."1

Dari definisi di atas, maka hadis yang berkedudukan sahih baik dari segi

sanad maupun matan adalah jika memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Ketersambungan sanad

2. Periwayat bersifat 'adil dan z}a>bit} 3. Terhindar dari sha>dh

4. Terhindar dari 'illat

(24)

16

Syarat-syarat terpenuhinya kesahihan ini sangatlah diperlukan, karena

penggunaan atau pengamalan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat dimaksud

berakibat pada realisasi ajaran Islam yang kurang relevan atau bahkan sama

sekali menyimpang dari apa yang seharusnya dari yang diajarkan Nabi

Muhammad SAW.2

a. Kesahihan Sanad

Salah satu keistimewahan periwayatan dalam Islam adalah

mengharuskan adanya persambungan sanad, mulai dari periwayat yang

disandari oleh mukharij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang

menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi Muhammad SAW yang

semua itu harus diterima dari para periwayat yang 'adil dan z}a>bit}.3

Sanad atau isnad ini diyakini sebagai jalan yang meyakinkan

dalam rangka penerimaan hadis. Beberapa pernyataan ulama berikut ini

menjadi bukti atas pernyataan tentang pentingnya sanad ini. Muhammad

Ibn Sirin menyatakan bahwa "sesungguhnya isnad merupakan bagian dari

agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambilnya". Abdullah ibn

Al-Mubarak menyatakan bahwa "isnad merupakan bagian dari agama jika

tanpa isnad, mereka akan berkata sesuka hatinya".

Oleh karena itu, maka penelitian terhadap sumber berita mutlak

diperlukan. Imam Nawawi juga menegaskan apabila sanad suatu hadis

2 Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis Cet. 1 (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 13.

(25)

17

berkualitas sahih, maka hadis tersebut bisa diterima, tetapi apabila tidak

maka hadis tersebut harus ditinggalkan.

Nilai dan kegunaan sanad tampak jelas bagi seseorang untuk

mengetahui keadaan para perawi hadis dengan cara mempelajari

keadaannya dalam kitab-kitab biografi perawi. Demikian juga untuk

mengetahui sanad yang muttas}il dan munqat}i'. Jika tidak terdapat sanad,

tidak dapat diketahui hadis yang sahih dan yang tidak sahih.4

Dalam hubungannya dalam penelitian sanad, maka unsur-unsur

kaedah kesahihan yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan.

Unsur-unsur itu ada yang berhubungan dengan rangkaian atau

persambungan sanad dan ada yang berhubungan dengan keadaan pribadi

para periwayat.5

Agar suatu sanad bisa dinyatakan sahih dan dapat diterima, maka

sanad tersebut harus memenuhi syarat-syarat yaitu sanadnya bersambung,

memiliki kualitas pribadi yang 'adil dan memiliki kapasitas intelektual

z}a>bit}, terhindar dari sha>dh dan ‘illat.

a) Persambungan Sanad

Sanad yang bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam

sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat

4Mahmud al-T{ah}h}a>n, Metode Takhrij Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridlwan Nasir (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), 99.

(26)

18

sebelumnya yang mana hal ini terus berlangsung sampai akhir

sanad. Jadi, seluruh rangkaian periwayat mulai yang disandari

mukharij sampai perawi yang menerima hadis dari Nabi, saling

memberi dan menerima dengan perawi terdekat.

Untuk mengetahui bersambung atau tidak bersambungnya

suatu sanad, muh>}addithi>n menempuh langkah-langkah sebagai

berikut: pertama, mencatat semua nama periwayat dalam sanad

yang diteliti. Kedua, mempelajari sejarah hidup masing-masing

periwayat melalui kitab rija>l al-h}adi>th (kitab yang membahas

sejarah hidup periwayat hadis) dengan tujuan untuk mengetahui

apakah setiap periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu

terdapat satu zaman dan hubungan guru murid dalam periwayatan

hadis. Ketiga, meneliti lafad yang menghubungkan antara periwayat

dengan periwayat terdekatnya dalam sanad.6 Al-Khatib al-Baghdadi

memberikan term sanad bersambung adalah seluruh periwayat

thiqah ('adil dan z}a>bit}) dan antara masing-masing periwayat terdekatnya betul-betul telah terjadi hubungan periwayatan yang sah

menurut ketentuan tahammul wa al-'adalah al-h}adi>th yaitu kegiatan

penyampaian dan penerimaan hadis.

(27)

19

Berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas periwayat

terbagi kepada thiqah dan tidak thiqah. Dalam penyampaian riwayat,

periwayat yang thiqah memiliki akurasi yang tinggi karena lebih

dapat dipercaya riwayatnya. Sedangkan bagi periwayat yang tidak

thiqah, memerlukan penelitian tentang keadilan dan ke-z}a>bit}-an-nya yang akurasinya di bawah perawi yang thiqah.

b) Kualitas Pribadi periwayat ('adil)

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kualitas pribadi

periwayat haruslah adil. Dalam memberikan pengertian istilah 'adil

yang berlaku dalam ilmu hadis, ulama berbeda pendapat. Dari

berbagai perbedaan itu dapat disimpulkan kriterianya pada empat

hal, yaitu: Pertama, beragama Islam. Kedua, Mukallaf yakni baligh

dan berakal. Ketiga, melaksanakan ketentuan agama yang dimaksud

adalah teguh dalam agama, tidak berbuat bid'ah, tidak berbuat dosa

besar, tidak berbuat maksiat dan berakhlaq mulia. Keempat,

memelihara muru'ah yaitu kesopanan pribadi yang membawa

pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan

kebiasaan-kebiasaan.7

Sifat-sifat keadilan para perawi dapat dipahami melalui

popularitas kepribadian yang tinggi tampak dikalangan ulama hadis.

(28)

20

Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang kelebihan dan

kekurangan yang terdapat dalam kepribadiannya. Penerapan kaidah

al-jarh} wa ta'di>l, apabila tidak ditemukannya kesepakatan diantara

kritikus perawi mengenai kualitas pribadi para perawi.8

c) Kapasitas Intelektual Periwayat (z}a>bit)

Periwayat yang kapasitas intelektualnya memenuhi syarat

keshahihan sanad hadis disebut sebagai periwayat yang z}a>bit}

.

Arti

harfiah z}a>bit} ada beberapa macam, yakni dapat berarti kokoh, yang

kuat, yang tepat dan yang hafal dengan sempurna. Ulama hadis

memang berbeda pendapat dalam memberikan pengertian istilah

z}a>bit}, namun perbedaan itu dapat dipertemukan dengan

memberikan rumusan sebagai berikut: Pertama, periwayat yang

bersifat z}a>bit} adalah periwayat yang hafal dengan sempurna hadis

yang diterima dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang

dihafalnya. Kedua, periwayat yang bersifat z}a>bit} adalah periwayat

yang selain disebutkan di atas juga dia mampu memahami dengan

baik hadis yang dihafalnya.9

d) Terhindar dari sha>dh

8 Manzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 131.

(29)

21

Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian sha>dh

suatu hadis. Dari berbagai pendapat yang ada, yang paling popular

dan banyakdiikuti sampai saat ini adalah pendapat Imam al-Syafi’I

(wafat 204 H/ 820 M), yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang

yang thiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang

dikemukakan oleh banyak riwayat yang lebih thiqah.10

Dari pendapat Imam Syafi’I tersebut dapat dinyatakan

bahwa kemungkinan suatu hadis mengandung sha>dh, apabila hadis

tersebut memiliki sanad lebih dari satu. Apabila suatu hadis hanya

diriwayatkan oleh seorang thiqah saja, dan pada saat yang sama

tidak ada perawi yang lain yang meriwayatkan, maka hadis tersebut

tidak dikatakan sha>dh. Artinya hadis yang hanya memiliki satu

sanad saja tidak tidak dikenal kemungkinan mengandung sha>dh.11

Salah satu langkah penting untuk menetapkan kemungkinan

terjadinya sha>dh dalam hadis adalah dengan cara

membanding-bandingkan suatu hadis dengan hadis lain yang satu tema.

Dengan demikian sha>dh adalah kejanggalan riwayat,

dimana kejanggalan riwayat itu bertentangan dengan riwayat

banyak perawi lain yang lebih thiqah. Dengan demikian, di

10 Abu Abdullah al-Hakim al-Nasaiburi, Ma’rifatu Ulum al-Hadith (Kairo: Maktabah al-Muntanabbi, t.th), 119.

(30)

22

samping ukurannya adalah kualitas riwayat, juga secara kuantitas

sanadnya, perawi thiqah itu kalah banyak dengan perawi thiqah

lain yang mempunyai riwayat yang menyelisihinya.

e) Terhindar dari ‘illat

Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa pengertian ‘illat

disini bukanlah pengertian ‘illat secara umum, yakni cacat yang

disebut sebagai tha’nu al-hadis atau jarh. Maksud ‘illat dalam hal

ini adalah sebab-sebab tersembunyinya yang merusak kualitas hadis.

Keberadaannya menyebabkan hadis yang secara lahiriyah tampak

berkualitas sahih, menjadi tidak sahih.12

Langkah-langkah yang perlu ditempuh adalah menghimpun

seluruh sanad untuk matan yang satu tema, kemudian diteliti untuk

membandingkan sanad satu dengan yang lainnya. Demikian juga

dengan matannya ia perlu dibandingkan dengan matan-matan yang

lain. Apabila bertentangan dengan mata-matan hadis lainnya yang

senada, atau kandungannya bertentangan dengan al-Qur’an, maka

berarti mengandung ‘illat.

Dengan demikian ‘illat adalah suatu sebab yang samar dan

tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis, meskipun secara

dhahir kelihatannya selamat dari cacat. Seperti periwayatan anak

12Nuruddin ‘Itr,

(31)

23

kepada bapaknya sendiri. Secara dhahir dihukumi muttasil

(bersambung), namun setelah diadakan penelitian lebih lanjut

ternyata tidak ditemukan indikasi anak meriwayatkan hadis itu dari

bapaknya, karena anak lahir ketika bapaknya telah meninggal

dunia.13

Dalam melakukan penelitian kualitas sanad hadis dikenal

cabang keilmuan yang disebut ilmu rija>l al-h}adi>th, yaitu ilmu yang

secara spesifik mengupas keberadaan para perawi hadis. Ilmu ini

berfungsi untuk mengungkap data-data para perawi yang terlibat

dalam civitas periwayatan hadis dan dengan ilmu ini juga dapat

diketahui sikap ahli hadis yang menjadi kritikus terhadap para

perawi hadis tersebut.14

Ilmu rijal al-hadith itu terbagi menjadi dua macam ilmu

yang utama, yaitu ilmu Tari>kh al-Ruwah dan ilmu al-Jarh} wa

Ta'di>l.15

1. Ilmu Tari>kh al-Ruwah

Muhammad 'Ajjaj al-khatib mendefinisikan ilmu

Tari>kh al-Ruwah ialah ilmu untuk mengetahui para rawi dalam

hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadis.16

13Zainuddin dkk., Studi Hadis Cet. 3 (Surabaya: UINSA Press, 2013), 162.

14 Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis Cet. 1 (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003), 6.

(32)

24

Dengan ilmu ini, dapat diketahui informasi yang

terkait dengan semua rawi yang menerima, menyampaikan atau

yang melakukan tranmisi hadis Nabi Saw sehingga para rawi

yang dibahas adalah semua rawi baik dari kalangan sahabat,

tabi'in sampai mukharij hadis.17

2. Ilmu al-Jarh} wa Ta'di>l.

Dalam terminologi ilmu hadis, al-Jarh} berarti

menunjukkan sifat-sifat tercela bagi seorang perawi sehingga

merusak atau mencacatkan keadilan dan ke-z}abit}-an-nya.

Adapun ta'di>l diartikan oleh al-Khatib sebagai upaya mensifati

perawi dengan sifat-sifat tercela sehingga tampak keadilan agar

riwayatnya diterima.

Berdasarkan definisi di atas, maka ilmu al-Jarh} wa

Ta'di>l adalah ilmu yang membicarakan masalah keadaan

perawi, baik dengan mengungkapkan sifat-sifat yang

menunjukkan keadilan maupun sifat-sifat yang menunjukkan

kecacatan yang bermuara pada penerimaan atau penolakan

terhadap riwayat yang disampaikan.18

16Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalah al-Hadith (Bandung: Al-Maarif, 1974), 295.

17 Suryadi, Metodologi Ilmu, 18.

(33)

25

Dalam ilmu al-Jarh} wa Ta'di>l dikenal beberapa kaidah

dalam men-jarh dan men-ta'di>l -kan perawi, diantaranya:19

حرْا ىلع مدقم ليدعتلا

"Penilaianta'di>ldidahulukanataspenilaian Jarh}”.

Dalam kaidah ini apabila ada kritikus yang memuji

seorang rawi dan ada juga yang mencelanya, maka yang dipilih

adalah pujian atas rawi tersebut. Alasannya karena sifat terpuji

itu merupakan sifat dasar perawi dan sifat tercela adalah sifat

yang datang kemudian. Kaidah ini digunakan al-Nasa>'i namun

umumnya ulama hadis tidak menerima.

ليدعتلا ىلع مدقم حرْا

"Penilaian Jarh}didahulukanataspenilaianta'di>l”.

Kaidah ini didasarkan pada asumsi bahwa pujian itu

timbul karena persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis,

sehingga harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang

ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.

Kaidah ini didukung oleh ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama

ushul fiqh.

كْاف لدعماو حراْا ضراعت اذإ

م

رسفما حرْا تبث اذإ لإ لدعملل

19M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,

(34)

26

"Apabila terjadi pertentangan antara pujian dan celaan ,maka yang

harus dimenangkan adalah pujian, kecuali bila celaan itu disertai dengan penjelasan tentang sebab-sebabnya".

Kaidah ini dikemukakan oleh jumhur ulama kritikus

hadis dengan cacatan, penjelasan tentang ketercelaan itu harus

relevan dengan upaya penelitian.

إ

ل هحرج لبقي َف افيعض حراْا ناك اذ

ل

ةقث

"Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah golongan

orang yang d}a'if, maka kritikannya terhadap orang yang thiqah tidak diterima".

Kaidah ini juga banyak didukung ulama kritik hadis.

ى ابشأا ةيشخ تبثتلا دعب لإ حرْا لبقيل

نحورجا

"Al-jarh} tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti cermat)

dengan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya".

Hal ini terjadi bila ada kemiripan nama antara

periwayat yang dikritik dengan periwayat yang lain. Sehingga

harus diteliti secara cermat agar tidak terjadi kekeliruan.

Kaidah ini juga banyak digunakan para ulama ahli kritikus

hadis.

انلا حرْا

ش

هب دتعي ل ةيويند ةوادع نع ئ

(35)

27

Hal ini jelas berlaku, karena pertentangan pribadi

dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian

yang tidak obyektif. Pada dasarnya banyak sekali muncul

kaidah-kaidah yang berkenaan dalam hal ini, namun enam

kaidah di atas yang banyak terdapat dalam kitab hadis. Akan

tetapi pada intinya, tujuan penelitian adalah bukan untuk

mengikuti kaidah tertentu melainkan penggunaan kaidah

tersebut harus disesuaikan dalam upaya memperoleh hasil

penelitian yang lebih mendekati kebenaran.

3. Lambang-lambang Metode Periwayatan.

Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa

sanad hadis selain memuat nama-nama periwayat, juga memuat

lambing-lambang atau lafal-lafal yang memberi petunjuk

tentang metode periwayatan yang digunakan oleh

masing-masing periwayat yang bersangkutan.20

Lambang-lambang atau lafal-lafal yang digunakan

dalam periwayatan hadis, dalam hal ini untuk kegiatan

tah}ammulul hadis, bentuknya bermacam-macam, misalnya

sami'tu, sami'na>, h}addathani>, h}addathana>, 'an dan anna>.

20M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,

(36)

28

Sebagian dari lambing-lambang itu ada yang disepakati

penggunaannya dan ada yang tidak disepakati.

Sebagian ulama menyatakan bahwa sanad yang

mengandung huruf 'an sanadnya terputus. Tetapi mayoritas

ulama menilai bahwa sanad yang menggunakan lambang

periwayatan huruf 'an termasuk dalam metode al-sama' apabila

memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Dalam sanad yang mengandung huruf 'an itu tidak

terdapat penyembunyian cacat (tadli>s) yang digunakan

oleh periwayat.

b. Antara periwayat dengan periwayat terdekat yang

diantara huruf 'an itu dimungkinkan terjadi pertemuan.

c. Periwayat yang menggunakan lambing ‘an ataupun anna

itu adalah periwayat yang terpecaya (thiqah).21

Sehingga mayoritas para ulama telah menetapkan

bahwa metode periwayatan hadis ada delapan macam, yakni:22

1) Sama' yaitu seorang murid mendengar langsung dari

gurunya. Lafad yang biasa digunakan adalah

ن خأ ،ينثدح ، نثدح ،تع س

21M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Cet. 1(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 62-63.

22M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang,

(37)

29

2) 'Ardl yaitu seorang murid membacakan hadis (yang

didapatkan dari guru lain) di depan gurunya. Lafad yang

biasa digunakan adalah

هيلع أ ق ،ع سأ نأو اف ىلع أ ق

3) Ija>zah yaitu pemberian izin oleh seorang guru kepada

murid untuk meriwayatkan sebuah hadis tanpa membaca

hadis tersebut satu persatu. Lafad yang biasa digunakan

adalah

وأ ىت ع و سم عي ج كل زجأ ،ىنع ىنافلا تكلا ياور كل زجأ

يت يو م

4) Munawalah yaitu guru memberikan sebuah materi tertulis

kepada seseorang yang meriwayatkannya. Dalam

munawalah ada yang disertai ijazah, lafad yang

digunakan جإ نثدح ، نأ نأ ، جإ ،ىنأنأsedangkan

munawalah yang tanpa ijazah menggunakan lafad ، نلو ن

ىنلو ن

5) Kitabah/muka>tabah yaitu seorang guru menuliskan

rangkaian hadis untuk seseorang. Lafad yang digunakan

(38)

30

6) I'la>m yaitu memberikan informasi kepada seseorang

bahwa ia memberikan izin untuk meriwayatkan materi

hadis tertentu. Lafad yang digunakan ماعإ ن خأ

7) Was}iyah yaitu seorang guru mewariskan buku-buku

hadisnya. Lafad yang digunakan يلإ ىصوأ

8) Wijadah yaitu menemukan sejumlah buku-buku hadis

yang ditulis oleh seseorang yang tidak dikenal namanya.

Lafad yang digunakan

اف نع ىنغلب / اف نع دجو ، اف نثدح اف طخب دجو

Sedangkan kata yang sering dipakai dalam

meriwayatkan hadis antara sanad satu dengan sanad yang lain

adalah ىنأ نأ ، نأ نأ ،ىن خأ ،ىنثدح ، ن خأ ، نثدح

b. Kesahihan Matan

Matan secara etimologi berarti punggung jalan atau bagian tanah

yang keras dan menonjol ke atas. Secara terminologi matan adalah

cerminan konsep ideal yang diberikan dalam bentuk teks, kemudian

difungsikan sebagai sarana perumus keagamaan menurut hadis.23

Mayoritas ulama hadis sepakat bahwa penelitian matan hadis

menjadi penting untuk dilakukan setelah sanad bagi matan hadis tersebut

(39)

31

diketahui kualitasnya. Ketentuan kualitas ini adalah dalam hal kesahihan

sanad hadis atau minimal tidak termasuk berat ke-d}a'if-an-nya.24

Apabila merujuk pada definisi hadis sahih yang diajukan Ibnu

al-Shalah, maka keshahihan matan hadis tercapai ketika telah memenuhi dua

kriteria, antara lain:25

1) Matan hadis tersebut harus terhindar dari kejanggalan (sha>dh)

2) Matan hadis tersebut harus terhindar dari kecacatan ('illat)

Maka dalam penelitian matan, dua unsur tersebut harus menjadi

acuan utama tujuan dari penelitian. Karakteristik keshahihan matan

dikalangan ulama hadis sangat bercorak. Corak tersebut disebabkan oleh

perbedaan latar belakang, keahlian, alat bantu dan persoalan serta

masyarakat yang dihadapinya. Sebagaimana pendapat Khatib

al-Baghdadi, bahwa satu matan hadis dapat dinyatakan maqbul sebagai hadis

yang sahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a) Tidak bertentangan dengan al-Qur'an yang telah muhkam (ketentuan

hukum yang telah tetap).

b) Tidak bertentangan dengan hadis mutawattir.

c) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan

para ulama masa lalu.

24 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 123.

(40)

32

d) Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti.

e) Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya

lebih kuat.

f) Tidak bertentangan dengan akal sehat.

Butir-butir tolak ukur yang dikemukakan oleh al-Baghdadi itu

terlihat ada tumpang tindih. Masalah bahasa, sejarah dan lain-lain yang

oleh sebagian ulama disebut sebagai tolak ukur.26

Secara singkat Ibn al-Jauzi memberikan tolak ukur kesahihan

matan, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal maupun

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pokok agama, pasti hadis

tersebut tergolong hadis maudu'. Karena itulah Nabi Muhammad SAW

telah menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian

pula terhadap ketentuan pokok agama yang menyangkut aqidah dan

ibadah.27

Dalam prakteknya, ulama hadis memang tidak memberikan

ketentuan yang baku tentang tahapan-tahapan penelitian matan. Karena

tampaknya, dengan keterikatan secara letterlick pada dua acuan di atas,

akan menimbulkan beberapa kesuliatan. Namun hal ini menjadi kerancuan

juga apabila tidak ada kriteria yang lebih mendasar dalam memberikan

26 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 126.

(41)

33

gambaran bentuk matan yang terhindar dari sha>dh dan 'illat. Dalam hal ini,

S{alah} al-Di>n al-Adhlabi dalam kitabnya Manh}aj Naqd Matan cinda>

al-Ulama’ al-H{adi>th al-Nabawi mengemukakan beberapa kriteria yang

menjadikan matan layak untuk dikritik, antara lain:28

1) Lemahnya kata pada hadis yang diriwayatkan.

2) Rusaknya makna.

3) Berlawanan dengan al-Qur'an yang tidak ada kemungkinan ta'wil

padanya ataupun hadis mutawattir yang telah mengandung suatu

petunjuk secara pasti.

4) Bertentangan dengan kenyataan sejarah yang ada pada masa Nabi.

5) Sesuai dengan madzhab rawi yang giat mempropagandakan

madzhabnya.

6) Hadis itu mengandung sesuatu urusan yang mestinya orang banyak

mengutipnya, namun ternyata hadis tersebut tidak dikenal dan tidak

ada yang menuturkannya kecuali satu orang.

7) Mengandung sifat yang berlebihan dalam soal pahala yang besar

untuk perbuatan yang kecil.

8) Susunan bahasanya rancu.

9) Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit

diinterpretasikan secara rasional.

(42)

34

10) Isinya bertentangan dengan tujuan pokok agama Islam atau tidak

sesuai dengan shari>'at Islam.

11) Isinya bertentangan dengan hukum dan Sunnatullah.

Selanjutnya, agar kritik matan tersebut dapat menentukan

keshahihan suatu matan yang benar-benar mencerminkan keabsahan suatu

hadis, para ulama telah menentukan tolak ukur tersebut menjadi empat

kategori, antara lain:29

1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an.

2) Tidak bertentangan dengan hadis yang kualitasnya lebih kuat.

3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra dan fakta sejarah.

4) Susunan pernyataannya yang menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.

Dengan kriteria hadis yang perlu dikritik serta tolak ukur

kelayakan suatu matan hadis di atas, dapat dinyatakan bahwa pada

dasarnya unsur-unsur kaidah kesahihan matan hadis tersebut hanya dua

item saja, tetapi aplikasinya dapat meluas dan menuntut adanya pendekatan

keilmuan lain yang cukup banyak dan sesuai dengan keadaan matan yang

diteliti.

B. Kehujjahan Hadis

Hadis adalah segala perkataan, perbuatan serta hal-hal yang berkaitan

dengan Nabi SAW. Hadis yang seperti itulah yang kemudian oleh kebanyakan

(43)

35

ulama dijadikan sebagai hujjah dalam menentukan hukum syariat. Dalam

kedudukannya yang sangat penting tersebut, hadis haruslah benar-benar valid

dan dapat dipertanggungjawabkan dari Nabi Muhammad SAW. Hal ini

dikarenakan adanya kenyataan tentang rentang waktu yang cukup panjang antara

masa nabi dengan masa pembukuan hadis itu sendiri.

Seperti yang telah diketahui, syarat-syarat yang merupakan komponen

ukuran untuk mengetahui dapat diterima atau harus ditolaknya suatu hadis

dilengkapi dengan teknik penerapannya atas keadaan sanad dan matan hadis.

hadis yang dapat diterima (al-H{adith al-Maqbu>l) terbagi sebagai berikut, yaitu:

hadis s}ah}i>h} dan hadis hasan,. Mengenai teori kehujjahan hadis, para ulama

mempunyai pandangan sendiri antara tiga macam hadis di atas. Bila dirinci,

maka pendapat mereka adalah sebagai berikut:

1. Kehujjahan Hadis S}ah}i>h}

Hadis s}ah}i>h} adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil,

sempurna hafalannya (z}a>bit}), sanadnya bersambung, tidak ber’illat dan sha>dh. klasifikasi hadis s}ah}i>h} terbagi dalam dua bagian yakni hadis s}ah}i>h}

lidha>tihi dan s}ah}i>h} lighayrihi. Hadis s}ah}i>h} lidha>tihi yaitu hadis s}ah}i>h} yang

syarat-syaratnya seperti yang saya sebutkan di atas. Sedangkan hadis

s}ah}i>h} lighayrihi adalah hadis h}asan lidha>tihi apabila diriwayatkan melalui

jalur lain yang semisal atau yang lebih kuat, baik dengan redaksi yang

(44)

36

tersebut menjadi kuat dan meningkat kualitasnya dari tingkat hasan

ketingkatan yang sahih.30

Bila ditinjau dari sifatnya, klasifikasi hadis s}ah}i>h} terbagi dalam

dua bagian yakni hadis maqbu>l ma'mulin bihi dan hadis maqb>ul ghai>ru

ma'mulin bihi. Dikatakan sebuah hadis itu hadis ma>qbul ma'mulin bihi

apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:31

a. Hadis tersebut muhkam yakni dapat digunakan untuk memutuskan

hukum, tanpa shubhat sedikitpun.

b. Hadis tersebut mukhtalif (berlawanan) yang dapat dikompromikan,

sehingga dapat diamalkan kedua-duanya.

c. Hadis tersebut rajih yaitu hadis tersebut merupakan hadis terkuat

diantara dua buah hadis yang berlawanan maksudnya.

d. Hadis tersebut nasikh, yakni datang lebih akhir sehingga mengganti

kedudukan hukum yang terkandung dalam hadis sebelumnya.

Sebaliknya, hadis maqb>ul ghai>ru ma'mulin bihi yang memenuhi

kriteria antara lain: mutashabbi>h (sukar dipahami), mutawaqqaf fihi

(saling berlawanan namun tidak dapat dikompromikan), marjuh (kurang

kuat dari pada hadis maqbul lainnya), mansukh (terhapus oleh hadis

maqbul yang datang berikutnya) dan hadis maqbu>l yang maknanya

(45)

37

berlawanan dengan al-Qur'an, hadis mutawattir, akal sehat dan ijma>' para

ulama.32

2. Kehujjahan Hadis H{asan

Hadis H{asan adalah hadis yang sanadnya bersambung,

periwayatnya ‘adil, akan tetapi tingkat kekuatan hafalannya rendah dan

tidak terdapat ‘illat dan sha>dh. Ibnu al-Shalah berkata, rawi hadis hasan

adalah orang yang dikenal jujur dan dapat dipercaya, tetapi tidak

mencapai tingkatan para rawi hadis sahih, karena tingkat hafalannya

masih dibawa mereka.33

Klasifikasi hadis h}asan terbagi dalam dua bagian yakni h}asan

lidha>tihi dan h}asan lighayrihi. Hasan lidha>tihi adalah hadis yang

memenuhi syarat hadis di atas. Sedangkan hadis h}asan lighayrihi adalah

hadis yang kualitasnya meningkat menjadi hadis hasan karena diperkuat

oleh hadis lain. Jenis hadis inilah yang dimaksud oleh Imam al-Tirmidhi>

dalam definisinya tentang hadis hasan.34

Akan tetapi para muhaddithin tetap menganggap hadis hasan

sebagai suatu jenis tersendiri, karena hadis yang dapat dipakai hujjah itu

32 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi Cet. 1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 145-147.

(46)

38

adakalanya berada pada tingkat tertinggi, yakni hadis sahih; atau pada

tingkat terendah yakni hadis hasan.

Menurut seluruh fuqaha, hadis hasan dapat diterima sebagai

hujjah dan diamalkan, karena telah diketahui kejujuran rawinya dan

keselamatan perpindahannya dalam sanad. Demikian pula pendapat

kebanyakan muhaddithin dan ahli ushul.

C. Pemaknaan Hadis

Pada dasarnya, teori pemaknaan dalam sebuah hadis timbul tidak hanya

karena faktor keterkaitan dengan sanad, akan tetapi juga disebabkan oleh adanya

faktor periwayatan secara makna. Secara garis besar, penelitian matan dapat

dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni dengan pendekatan Bahasa, Tasawuf

(sufistik), dan Psikologi.

1. Pendekatan Bahasa

Periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian

matan dengan pendekatan bahasa tidak mudah dilakukan. Karena matan

hadis yang sampai ke tangan mukharrij masing-masing telah melalui

sejumlah perawi yang berbeda generasi dengan latar budaya dan

kecerdasan yang juga berbeda. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan

terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun

istilah. Sehingga bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, penelitian matan

(47)

39

pemaknaan yang komprehensif dan obyektif. Beberapa metode yang

digunakan dalam pendekatan bahasa ini adalah:

a. Mendeteksi hadis yang mempunyai lafal yang sama.

Pendeteksian lafal hadis yang sama ini dimaksudkan untuk

mengetahui beberapa hal, antara lain:35

1) Adanya idraj (sisipan lafal hadis yang bukan berasal dari

Rasulullah SAW).

2) Adanya Idtirab (pertentangan antara dua riwayat yang sama

kuatnya sehingga tidak memungkinkan dilakukan tarjih).

3) Adanya al-Qalb (pemutarbalikan matan hadis).

4) Adanya penambahan lafal dalam sebagian riwayat (ziya>dah

al-thiqah).

b. Membedakan makna hakiki dan makna majazi.

Bahasa Arab telah dikenal sebagai bahasa yang banyak

menggunakan ungkapan-ungkapan. Ungkapan majaz menurut ilmu

balaghah lebih mengesankan daripada ungkapan makna hakiki.

Rasulullah Saw juga sering menggunakan ungkapan majaz dalam

menyampaikan sabdanya.

(48)

40

Majaz dalam hal ini mencakup majaz lughawi, 'aqli,

isti'arah, kinayah dan isti'arah tamthiliyyah atau ungkapan lainnya

yang tidak mengandung makna sebenarnya. Makna majaz dalam

pembicaraan hanya dapat diketahui melalui qarinah yang

menunjukkan makna yang dimaksud.

Dalam ilmu hadis, pendeteksian atas makna-makna majaz

tersebut termasuk dalam pembahasan ilmu ghari>b al-h}adi>th. Karena

sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Shalah

bahwa ilmu ghari>b al-h}adi>th adalah ilmu pengetahuan untuk

mengetahui lafal-lafal dalam matan hadis yang sulit dipahami

karena jarang digunakan.36 Tiga metode di atas merupakan sebagian

dari beberapa metode kebahasaan lainnya yang juga harus

digunakan seperti ilmu nahwu dan sharaf sebagai dasar keilmuan

dalam bahasa Arab.

2. Pendekatan Tasawuf

Periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian

matan dengan pendekatan tasawuf tidak mudah dilakukan. Karena matan

hadis yang sampai ke tangan mukharrij masing-masing telah melalui

sejumlah perawi yang berbeda generasi dengan latar budaya dan

kecerdasan yang juga berbeda. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan

(49)

41

terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun

istilah. Sehingga bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, penelitian matan

dengan pendekatan tasawuf perlu dilakukan untuk mendapatkan

pemaknaan yang komprehensif dan obyektif. Beberapa metode yang

digunakan dalam pendekatan tasawuf ini adalah:

a. Tasawuf Akhlaqi

Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi

moral dari seorang hamba dalam rangka melakukan taqorrub kepada

tuhannya, dengan cara mengadakan Riyyadah pembersihan diri dari

moral yang tidak baik, karena tuhan tidak menerima siapapun dari

hamba-Nya kecuali yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit

hati).37 Isi dari ajaran Tasawuf Akhlaqi,yaitu: 38

1) Takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela).

Takhalli berarti mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela,

kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang

harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari betapa

buruknya, tercela sifat-sifat tersebut. Adapun sifat-sifat tercela

yang harus dihilangkan antara lain syirik, hasad, marah, riya’, dan

ujub. Untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut, perlu dilakukan

cara seperti berikut:

(50)

42

a)Menghayati segala bentuk akidah dan ibadah.

b)Muh}a>sabah (koreksi).

c)Riya>d}ah (latihan) dan mujahadah (perjuangan).

d)Berupaya mempunyai kemauan dan daya tangkal yang kuat

terhadap kebiasaan yang buruk dan menggantinya dengan

kebiasaan baik.39

2) Tahalli (menghiasi diri dari sifat-sifat terpuji).

Tahalli yaitu menghias diri dengan jalan membiasakan

sikap dan sifat serta perbuatan yang baik. Langkahnya membina

pribadi agar memiliki akhlak karimah dan senantiasa konsisten

dengan langkah yang dirintis sebelumnya (dalam bertakhalli).

Langkah ini perlu ditingkatkan dengan tahap mengisi dan

menyinari hati dengan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat ketuhanan,

seperti mengesakan Allah, taubat, zuhud, wara', sabar, syukur, rida,

tawakkal dan qana’ah.

3) Tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih

sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).

Tajalli adalah hati seseorang terbebaskan dari tabir

(hijab), yaitu sifat-sifat kemanusiaan atau nur yang selama ini

tersembunyi (ghaib) atau fana selain Allah ketika tampak (tajalli)

(51)

43

wajah-Nya. Al –Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan,

diantaranya:40

a) Tajalli al-Af’al, yaitu tajallinya pada perbuatan seseorang,

artinya segala aktivitas itu disertai kudrat dan iradat-Nya

serta ketika itu ia melihat-Nya. Hal ini dapat berarti bahwa

gerak dan diam itu adalah atsar (bekas) dari kudrat dan

iradat-Nya.

b) Tajalli al-Asma’, yaitu lenyapnya seseorang dari dirinya dan

bebas dari sifat-sifat kebaharuan serta lepas dari ikatan

tubuh kasarnya.

c) Tajalli al-Sifat, yaitu seorang hamba menerima sifat-sifat

ketuhanan, artinya tuhan mengambil tempat padanya tanpa

hulu dzat-Nya. Tajalli Dzat, yaitu apabila Allah SWT

menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang

memfanakan dirinya, bertempatlah Dia padanya yang dapat

berupa sifat dan dzat.

b.Tasawuf Amali.

Tasawuf Amali adalah tasawuf yan membahas tentang

bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian ini,

40Abdul Karim Al-Jilli, Insa>n al-Ka>mil Fi> Ma’rifah al-Awa>khir wa al-Awa>’il (Beirut: Dar

(52)

44

tasawuf amali berkonotasikan tarekat. Tarekat dibedakan antara

kemampuan sufi yang satu dengan yang lain. Ada seseorang yang

dianggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah dan

ada seseorang yang memerlukan bantuan orang lain yang dianggap

memiliki otoritas dalam masalah itu. Dari sinilah muncul strata-strata

berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan yang

kemudian dikenal istilah murid, mursyid, dan wali.41

Dalam tasawuf amali yang berkonotasi tarekat ini mempunyai

aturan, prinsip, dan sistem khusus. Oleh karena itu, ia mempunyai

keistimewaan yang khusus seperti jiwa yang bersih.

c. Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya

memadukan antara visi intuitif dan visi rasional. Terminologi filosofis

yang digunakan berasal dari macam-macam ajaran filsafat yang telah

mempengaruhi para tokohnya, namun orsinalitasnya sebagai tasawuf

tidak hilang.42 Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi

menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Tasawuf

falsafi tidak bisa hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan

metodenya didasarkan pada rasa (dhauq), tetapi tidak dapat pula

(53)

45

dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena

ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat.

Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para

sufi falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar

dikenal dengan syatahiyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit dipahami,

yang sering mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar dan

menimbulkan tragedi. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Abu Yazid

al-Bustami, Al-Hallaj, dan Ibnu Arabi.

Abu Yazid al-Bustami mempunyai teori ittihad, yaitu suatu

tingkatan tasawuf dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu

dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang

dicintai telah telah menjadi satu sehingga salah satu dari mereka dapat

memanggil dengan kata-kata “Hai Aku”. Dalam ijtihad, identitas telah

menjadi satu. Karena fananya, sufi yang bersangkutan tidak

mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Tokoh

lainnya adalah al-Hallaj dengan ajaran hulul, yaitu suatu paham yang

mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu dan

mengambil tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan

yang ada di dalam tubuh dilenyapkan. Menurut al-Hallaj, dalam diri

manusia terdapat dua unsur yaitu unsur nasut (kemanusiaan) dan unsur

lahut (ketuhanan). Teori hulul ini lebih jauh dikembangkan oleh Ibnu

(54)

46

mengubah nasut menjadi al-Khalq dan lahut menjadi al-haq. Kedua

unsur tersebut pasti ada pada setiap makhluk sebagai aspek lahir dan

batin.43

Paham yang dibawa oleh para sufi Falsafi menghadirkan pro

dan kontra karena perbedaan latar belakang sudut peninjauan dan

analisisnya. Dalam dunia tasawuf dikenal istilah fana dan baqa. Ketika

seseorang telah mencapai keadaan demikian, seorang sufi telah

mencapai puncak tujuan yang diinginkannya, yaitu ma’rifat dan

hakikat hingga muncul kesadaran bahwa al-ma’rifah (pengetahuan),

al-‘arif (orang yang mengetahui), dan al-ma’ruf (yang diketahui/Tuhan)

adalah satu.

3. Pendekatan Psikologi

Untuk mengetahui dan memahami kandungan hadis ini. Ada

beberapa faktor yang digunakan dalam pendekatan psikologi, yaitu:

a. Faktor Sosial dalam Agama

Faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh

terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, dari pendidikan yang

kita terima pada masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap

(55)

47

orang-orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi yang kita terima

dari masa lampau.44

Tidak hanya keyakinan-keyakinan kita yang terpengaruh

oleh factor-faktor sosial, pola-pola ekspresi emosional kita pun,

sampai batas terakhir, bisa dibentuk oleh l

Gambar

Tabel Urutan Periwayat:
Tabel Urutan Periwayat:
Tabel Urutan Periwayat:
Tabel Urutan Periwayat:
+7

Referensi

Dokumen terkait