KONSEP RUH DALAM PERSPEKTIF HADIS
(Pemahaman Hadis Tentang Ruh dalam kitab Ar- Ruh Karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah)
SKRIPSI
D i a j u k a n K e p a d a F a k u l t a s U s h u l u d d i n d a n F i l s a f a t Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai
G e l a r S a r j a n a U s h u l u d d i n
Oleh
M. IQBAL ALAM ISLAMI NIM: 103034027886
J
J
U
U
R
R
U
U
S
S
A
A
N
N
T
T
A
A
F
F
S
S
I
I
R
R
H
H
A
A
D
D
I
I
S
S
F
F
A
A
K
K
U
U
L
L
T
T
A
A
S
S
U
U
S
S
H
H
U
U
L
L
U
U
D
D
D
D
I
I
N
N
D
D
A
A
N
N
F
F
I
I
L
L
S
S
A
A
F
F
A
A
T
T
U
U
N
N
I
I
V
V
E
E
R
R
S
S
I
I
T
T
A
A
S
S
I
I
S
S
L
L
A
A
M
M
N
N
E
E
G
G
E
E
R
R
I
I
S
S
Y
Y
A
A
R
R
I
I
F
F
H
H
I
I
D
D
A
A
Y
Y
A
A
T
T
U
U
L
L
L
L
A
A
H
H
J
J
A
A
K
K
A
A
R
R
T
T
A
A
1431
H
/
2010
M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini dengan judul : KONSEP RUH DALAM PERSPEKTIF HADIS (PEMAHAMAN HADIS TENTANG RUH DALAM KITAB AR-RUH KARYA IBNUL QAYYIM AL-JAUZIYAH) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Juni 2010. skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin pada program studi Tafsir Hadis.
Jakarta, 16 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Masri Mansoer, MA Rifqi Muhammad Fathi, MA NIP : 19621006 199003 1 002 NIP : 19770120 200312 1 003
Anggota,
Penguji I Penguji II
Dr. M. Isa HA Salam, MA Dr. Atiyatul Ulya, MA
NIP : 19531231 198603 1 010 NIP : 19700112 199603 2 001
Pembimbing
KATA PENGANTAR
ﻢﺴﺴﺑ
ﷲا
ﻦﻤﺣﺮﻟا
ﻢﻴﺣﺮﻟا
Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam, yang maha pengasih dan maha penyayang, yang selalu mencurahkan rahmat dan sayang-Nya. sehingga penulisan skripsi dengan judul : KONSEP RUH DALAM PERSPEKTIF HADIS (Pemahaman Hadis Tentang Ruh dalam kitab Ar- Ruh Karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah), dapat diselesaikan dengan baik.
Shalawat dan salam tercurah bagi Nabi Muhammad SAW. Keluarga dan para shahabatnya, berkat perjuangan beliau dan ketabahannya dalam menyampaikan ajaran Islam, penulis dapat menikmati cahaya Islam.
Sesungguhnya perjuangan itu amat berat. Hal itu sangat penulis dirasakan dalam upaya menyelesaikan skripsi ini. Pada awalnya pekerjaan ini terlihat mudah, namun setelah penulis masuk pada persoalan yang dikemukakan dan dibahas, baru terasa betapa rumitnya, namun demikian dengan tekan dan semangat yang kuat penulis akhirnya dapat menyelesaikan walau dengan rintangan dan pengorbanan yang cukup berat.
Penulis juga menyadari bahwa keberhasilan ini tidak terlepas dari karunia Tuhan serta bantuan, dorongan dan sumbangsih yang tidak ternilai harganya dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
2. Bapak Drs. Bustamin, MA. Selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A. Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Bapak Drs. Maulana, MA selaku Pembimbing Penulis. Terimakasih atas
bimbingannya yang telah mengarahkan dan memberikan semangat yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan dengan baik.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda H. Thoyyibin Anshari dan Ibunda Hj. Siti Salamah atas cinta dan kasih sayang serta pengorbanannya yang telah berusaha memberikan nasihat, doa dan restunya terhadap karir akademis penulis, serta telah memberikan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Adik-adikku yang tersayang, Laila dan Lulu yang selalu mensuport dan memberikan inspirasi kepada penulis.
8. Rekan-rekan Mahasiswa Tafsir Hadis angkatan 2003. Maghfur, Saeful Amin, M Fatih, Titin, Elisa dan kawan-kawan.
10.Terima kasih banyak kepada sahabat-sahabatku : Sahirin Cablak, Zaid, Carman, Hans Abdullah, Agung, Budi, Rizki, Jabenk, Ulil, Romzy, Syauqi, Fajar, Iswahyudi, Wiwid, Rina, Ucha, Ami, Isma, Devi , Ervi, juju, terima kasih atas memotivasi penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.
11.Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT, sebagai amal saleh dan senantiasa berada dalam ampunan Nya
Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam ikut serta membantu kearah kemajuan pendidikan, khususnya dalam bidang studi hadis. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita sekalian Amin.
Jakarta, 25 Mei 2010
DAFTAR ISI
TRASNLITRASI... ……...i
KATA PENGANTAR... ...…....iv
DAFTAR ISI... …...vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... ...1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... ...7
C.Kajian Pustaka. ... ...9
D. Tujuan dan manfaat Penelitian... ...9
E. Metodologi Penelitian. ...10
F. Sistematika Penulisan ... ...11
BAB II BIOGRAFI IBNU QOYIM AL - JAUZIYAH A. Riwayat hidup Ibnu Qoyim al- Jauziyah ... ...12
1.Seketsa kehidupan dan wafanya... ...12
2.Para guru - guru dan murid - muridnya ... ...13
3.Karya-karyanya ...16
B. Seputar kitab Ar - Ruh... ...27
1. Latar belakang...27
2. Sistimatika penulisan dan dan penyusunan kitab ar – Ruh...29
3. Pandangan para tokoh tentang Ibnu Qayyim al – Jauziyah...30
BAB III HADIS-HADIS TENTANG RUH 1. Hadis Pertama...33
2. Hadis Kedua...34
3. Hadis Ketiga...35
4. Hadis keempat...36
6. Hadis ke enam...39
7. Hadis ke tujuh...40
8. Hadis ke delapan...41
9. Hadis ke sembilan...42
10.Hadis ke sepuluh...43
11.Hadis ke sebelas...45
12. Hadis dua belas...46
13.Hadis ke tiga belas...47
14.Hadis ke empat belas...48
15.Hadis ke lima belas...49
BAB IV ANALISA HADIS DAN PEMAHAMAN TENTANG KONSEP RUH DALAM KITAB RUH KARYA IBNU QOYYIM AL-JAUZIYAH A Hakekat jiwa dan ruh...51
B. Awal Keberadaan Ruh...52
C. Ruh ketika berada di dunia...58
D. Kehidupan ruh sesudah kematian...66
a) Fitnah Kubur...70
b) Keadaan ruh setelah jasadnya dimasukkan ke liang kubur...72
c) Ruh-ruh orang yang merasakan adzab kubur...77
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... ...80
B. Saran ... ………..82
BAB I
KONSEP RUH DALAM PERSPEKTIF HADIS
Pemahaman Hadis Tentang Ruh
dalam kitab Ar- Rȗh Karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai manusia baik itu dilihat dari sisi kehidupannya
maupun dari sisi peranan eksistensinya sudah sangat aktual. Sebab selain manusia
itu sendiri selalu menjadi pokok pembicaraan, dapat juga dilihat bahwa peristiwa
besar apapun terjadi di dunia, masalah apapun yang harus dipecahkan di bumi kita
ini, pada intinya dan akhirnya selalu bertautan dengan manusia.1
Manusia adalah mahluk yang terdiri dari jiwa dan raga, apa yang dituntut
oleh jiwa dan apa yang dituntut oleh raga, semuanya harus dipenuhi agar manusia
bisa hidup selamat di dunia ini. Membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa,
yang dapat mendorong manusia untuk mempertanyakan dari mana ia datang,
bagaimana unsur-unsur dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya
Selain itu manusia perlu berinteraksi dengan dua hal yakni pertama,
interaksi dengan Tuhan sebagai bentuk perwujudan untuk kehidupan yang akan
datang (akhirat), kedua, interaksi dengan alam, sebagai manusia harus menjaga
dan memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya sehingga mampu
mengeksplorasikan kemampuan sebagai makhluk yang kâmîl tidak berat sebelah.
1
Manusia terdiri dari jasad dan ruh (jiwa). Dengan jasad manusia dapat
bergerak dan merasakan sesuatu dengan panca indranya. Dengan jiwanya,
manusia bisa merasakan cinta, benci, marah, gembira dan sedih yang
mempengaruhi kehidupannya. Dan perasaan-perasaan ini tidak bisa dingkari
dalam lubuk hatinya yang selalu menguasai rohaninya sehingga manusia selalu
senantisa untuk selalu bersyukur dengan segala karunia yang ada.
Al-Quran telah menjelaskan bahwa manusia telah diciptakan oleh Allah
daripada dua unsur penting yaitu unsur yang bersifat kebendaan dan unsur ruh
yang bersifat keruhanian. Konsep dua unsur yaitu jasadi dan ruhani ini dapat
dipahami dalam ayat al-Quran yang menceritakan tentang kejadian manusia
sebagaimana Firman Allah dalam surah Al-Sajdah yang bermaksud :
يﺬ ا
ْﺣأ
آ
ءْ
أﺪﺑو
ْ
نﺎ ﺈْا
ﻃ
)
7(
ﺛ
ﺟ
ْ
ﺔ ﺎ
ءﺎ
ﻬ
)
8
(
ﺛ
اﻮ
و
ﺣور
ﺟو
ﻜ
ْ ا
رﺎﺼْﺑﺄْاو
ةﺪﺌْﺄْاو
ﺎ
نوﺮﻜْ
(
9)
“Tuhan yang membuat segala sesuatu yang diciptakan dengan
sebaik-baiknya dan yang memulakan penciptaan manusia daripada tanah. Kemudian Dia menciptakan keturunannya daripada saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan ke dalam tubuhnya akan ruh ciptaan-Nya”.
Unsur jâsâdî dan ruhani yang ada pada manusia memainkan peranan
penting dalam menentukan kejayaan usaha melengkapkan dan memenuhi
adalah bersifat sepadu yang tidak boleh dipisahkan antara satu sama lain. Aspek
jasmani tidak boleh dipisahkan dengan aspek ruhani. Keperluan kedua-dua aspek
ini juga adalah bersifat sepadu tanpa boleh dipisahkan. Manusia tidak boleh
mementingkan aspek rohani dengan mengabaikan aspek jâsâdî dan tidak boleh
mementingkan aspek jâsâdî dengan mengabaikan aspek ruhani. Pengabaian
terhadap salah satu dari dua unsur ini akan mengakibatkan manusia hidup dalam
keadaan yang tidak sempurna untuk melahirkan manusia yang hidup dalam
keadaan seimbang dan sempurna, kedua aspek ini adalah perlu ditangani secara
sepadu dan selaras. Jika tidak, maka manusia akan kelihatan timpang dalam
hidupnya.
Menurut al-Farabi ruh bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah
adanya badan dan ruh tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang
lain. Dengan adanya ruh dalam tubuh, manusia dapat bergerak dan berpikir
menentukan arah kemana ia harus melangkah.2
Melihat realitas dimasyarakat saat ini baik lewat media telivisi atau pun
koran, ada sebagian masyarakat atau paranormal yang mengklaim bisa
mendapatkan ruh-ruh orang yang sudah mati dengan cara yang diciptakan oleh
orang-orang yang melakukan dengan sulapan ini. Mereka bertanya kepadanya
tentang berita orang-orang mati berupa nikmat dan siksa serta selain yang
demikian itu yang mereka kira bahwa orang-orang mati mengetahui hal itu dalam
kehidupan mereka. Penulis telah merenungkan persoalan ini sekian lama, maka
jelas bahwa ia adalah ilmu yang batil, itu merupakan manipulasi setan yang
2
ditujukan untuk merusak akidah, akhlak, menyamarkan kepada kaum muslimin,
dan menyampaikan kepada pengakuan mengetahui ilmu ghaib dalam perkara yang
banyak. Karena alasan inilah penulis menulis beberapa pokok permaslahan dalam
masalah itu untuk menjelaskan kebenaran dan memberi anjuran kepada umat serta
menyingkap kesamaran dari manusia.
Tidak diragukan lagi bahwa masalah ini sama seperti masalah-masalah
lainnya, harus mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan sunnah rasul-Nya.
Apapun yang ditetapkan keduanya atau salah satunya tentu kita menetapkannya
dan yang dinafikan oleh keduanya atau salah satunya niscaya kita menafikannya,
sebagaimana firman Allah :
ﺎ
ﺎﻬ أ
ﺬ ا
اﻮ ﺁ
اﻮ ﻃأ
ﷲا
اﻮ ﻃأو
لﻮ ﺮ ا
ْوأو
ﺮْ ﻷْا
ْ ﻜ
نﺈ
ْ ْ زﺎ
ءْ
ودﺮ
ﻰ إ
ﷲا
لﻮ ﺮ او
نإ
ْ آ
نﻮ ْﺆ
ﷲﺎﺑ
مْﻮ ْاو
ﺮ ْا
ﻚ ذ
ﺮْ
ْﺣأو
وْﺄ
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisaa`:59)
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud ruh dalam firman Allah :
و
ﻚ ﻮ ﺄْ
حوﺮ ا
حوﺮ ا
ْ
ﺮْ أ
ﺑر
و
وأ
ْ ْا
إ
Berdasarkan pendapat ini maka ayat tersebut merupakan dalil bahwa ruh
adalah salah satu perkara Allah yang manusia tidak mengetahui sedikitpun tentang
hal itu kecuali Allah memberitahukan kepada mereka, karena hal itu merupakan
perkara yang hanya Allah yang mengetahuinya dan Dia menutup hal itu dari
makhluk.
Dan dalam hadits shahih:
أ
ن
ْا
ْ
عْﺮ
لﺎ
ْ
ْا
اذإ
اْﻮ ﺮﺼْا
ْ
'Sesunnguhnya mayit mendengar bunyi sendal orang-orang yang mengantarnya apabila mereka berpaling darinya.'3
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata4: 'Para pendapat ulama' bersepakat
atas hal ini dan atsar-atsar dari mereka sudah mencapai derajat mȗtâwâtîr bahwa
mayat mendengar ziarah orang yang hidup kepadanya dan bergembira dengannya.
Kalau melihat hadis tersebut, menegaskan bahwa orang yang sudah meninggal
dapat mendengar sandal orang yang sedang berziah, kemudian apakah mereka
dapat berkomunikasi dengan yang lain, baik dengan orang yang masih hidup atau
yang sudah mati.
Dan Ibnul Qayyim mengutip bahwa Ibnu Abbas berkata dalam tafsir
firman Allah :
ﷲا
ﻰ ﻮ
ﻷْا
ﺣ
ﺎﻬ ْﻮ
او
ْ
ْ
ﺎﻬ ﺎ
ﻚ ْ
ا
ﻰﻀ
ﺎﻬْ
تْﻮ ْا
ْﺮ و
ىﺮْ ﻷْا
ﻰ إ
ﺟأ
ﻰً
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Ia tahanlah jiwa (orang) yang telah ia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. (QS. az-Zumar:42)3
Al-Bukhari 1374 dan Muslim 2870.
4
Kemudian Ibnul Qayyim berkata: 'Pertemuan ruh orang-orang yang masih
hidup dan yang sudah mati ditunjukkan bahwa orang yang masih hidup melihat
orang yang sudah mati di dalam tidurnya, lalu ia bertanya kepadanya dan yang
mati mengabarkan kepadanya dengan sesuatu yang tidak diketahui oleh yang
masih hidup, maka beritanya sama seperti yang dikabarkannya.5
Inilah yang bersumber dari kaum salaf bahwa ruh orang-orang yang sudah
wafat tetap ada hingga yang dikehendaki oleh Allah dan mendengar, namun tidak
ada dasarnya bahwa ia bisa berhubungan dengan orang yang hidup di luar tidur.
Sebagaimana tidak ada dasarnya pengakuan para paranormal tentang
kemampuan mereka mendatangkan ruh-ruh orang mati yang mereka kehendaki,
berbicara dan bertanya kepadanya. Ini semua adalah pengakuan-pengakuan batil,
tidak ada dasar yang menguatkannya secara naql (riwayat, dalil) dan tidak pula
secara akal. Bahkan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Mengetahui dengan
ruh-ruh ini, mengatur padanya. Dia Yang Maha Kuasa mengembalikannya ke
jasadnya apabila Dia menghendaki hal itu. Hanya Dia saja yang mengatur di
dalam kerajaan-Nya dan makhluk-Nya, tidak ada yang bisa ikut campur. Adapun
yang mengaku selain itu, maka ia mengaku sesuatu yang dia tidak mengetahui dan
berbohong kepada manusia dalam menjual berita-berita ruh: bisa jadi untuk
mendapatkan harta, atau memamerkan kekuatannya yang tidak mampu dilakukan
orang lain, atau untuk merancukan manusia untuk merusak akidah dan agama.
Pemasalahan ini semakin menarik perhatian penulis, dikarenakan semakin
banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dan banyak hal yang bisa
5
diketahui apa rahasia Allah tentang ruh sehingga manusia hanya diberi
pengetahuan yang sedikit tentang hal tersebut. Penulis berusaha menggali lagi
lebih dalam lagi tentang pengetahuan tentang ruh, menjelaskan proses perjalanan
ruh manusia semenjak diciptakan, menjalani proses kehidupan di dunia hingga
keberadaan ruh setelah kematian.
Untuk menjawabnya, maka harus dilakukan penelitian lebih intensif
sebagai upaya menjadikan kajian ini lebih menarik, terlebih dalam sudut pandang
hadis yang menjelaskan tentang rahasia Allah yang ghaib khususnya dalam kitab
ar-Rȗh Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Berangkat dari perenungan demikian, penulis
tertarik untuk mengangkat masalah ini sebagai bahan kajian akademis dengan
merefleksikannya dalam sebuah judul skripsi “KONSEP RUH DALAM
PERSPEKTIF HADIS : Pemahaman Hadis Tentang Ruh dalam kitab Ar- Ruh Karya Ibnul Qayyim Al-Jauzi”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengkaji dan meneliti kitab ar-Ruh berarti tidak lepas dari pemahaman
hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab tersebut. Hadis yang terkandung di
dalamnya dikelompokan pada 21 bab dan mempunyai lebih dari 100 hadis, jika
penulis menelaah seluruhnya akan memakan waktu yang teramat banyak, maka
penulis hanya menelaah sebagian hadis-hadis dalam setiap bab yang terdapat
dalam kitab ar-Rȗh.
Untuk lebih mengarahkan pembahasan skripsi ini, penulis membatasi
1. Bagaimana pemahaman Hadis-hadis dalam kitab ar-Rȗh karya
Ibnul Qayyim al-Jauziyah?
2. Penulis hanya mengambil 15 buah hadis yang diambil secara acak
dalam Kitab ar-Rȗh disertai dengan pendapat-pendapat ulama yang
menilai tentang kedudukan hadis tersebut yang diambil dari
kitab-kitab hadis.
3. Penulis hanya membahas seputar masalah ruh dan perjalannannya
sejak ia diciptakan, kemudian berproses dalam kehidupan dunia,
hingga keberadaannya di alam bârzâkh.
4. Apakah ruh yang sudah meninggal dapat berkomunikasi dengan
orang yang masih hidup?
Berdasarkan dari permasalahan yang diuraikan pada latar belakang di atas,
maka penulis merumuskan masalahnya, yaitu:
1. Bagaimana pemahaman hadis-hadis tentang ruh menurut Ibnul
Qayyim al-Jauziyah dalam kitab ar-Rȗh?
2. Bagaimana konsep ruh dan perjalanannya menurut Ibnul Qayyim
al-Jauziyah dalam kitab ar-Rȗh?
3. Apakah ruh orang yang sudah meninggal dapat mengambil manfaat
dari orang yang masih hidup?
Judul yang diangkat dalam skripsi ini, memang bukan judul yang baru,
terlebih di ranah akademisi dewasa ini. Setidaknya ada beberapa skripsi yang juga
tidak jauh berbeda membahas tentang pemahaman tentang ruh baik secara umum
atau pun khusus tentang hadis. Dalam skripsi ini membahas tentang seputar kajian
hadis, analisis dan pemahaman hadis-hadis tentang ruh.
Di samping merupakan penelitian ilmiah, skripsi ini pun melakukan kajian
pustaka terhadap skripsi yang lebih terdahulu membahas tentang masalah Ruh
yaitu skripsi yang ditulis oleh Putri Aisyah tentang “Jiwa dalam Perspektif al—
Qur’an: Kajian Tafsir al-Mizan” tahun 2001 dan Abdul Rahman tentang “Ruh
dalam Perspektif Fakhraddin ar-Razi: Studi Penafsiran Ayat tentang Ruh dalam
Tafsir Mafatih al-Ghoib) tahun 2002.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, tujuan dari penelitian ini
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Mengetahui kandungan Hadis-hadis dalamkitab ar-Ruh.
2. Untuk membantu memberikan pemahaman tentang ruh dalam
perspektif hadis secara benar dan proporsional melalui pendekatan
syârhȗl hadîs.
3. Agar umat Islam mengetahui bagaimana konsep ruh menurut Islam.
4. Memperkaya khazanah keilmuan serta sebagai tambahan literatur
ke-Islam-an terutama tentang kajian hadis dari segi tematik.
5. Sebagai tugas akhir, guna memperoleh gelar sarjana (S1) pada
Terakhir, semoga pembahasan sederhana ini dapat bermanfaat bagi kaum
muslimin secara umum, sekaligus sebagai ilmu yang bermanfaat serta menambah
wawasan pengetahuan ke-Islam-an tentang bagaimana dalam hadis merespons
masalah tentang ruh.
E. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam pembahasan ini adalah penelitian
kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang
dilakukan melalui sumber-sumber bacaan ilmiah.
Dalam menguraikan permasalahan di dalam pembahasan ini, penulis
merujuk pada data-data yang didapat dari berbagai sumber, seperti buku, internet,
koran, majalah dan artikel yang relevan dan ada kaitannya dengan masalah ruh .
Uraiannya bersifat tematik-deskriptif-analisis yang meliputi beberapa persoalan
tentang ruh.
Selanjutnya, sebagai respons atau jawaban atas permasalahan tersebut,
penulis merujuk pada kitab-kitab hadis yang dianggap layak untuk dijadikan
landasan. Sumber primer, penulis merujuk pada kutubul-hadis, seperti , Shȃhih
al-Bukhâri, Shâhih al-Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majjah dan Sunan
an-Nasãi yakni untuk mengetahui seluruh jalur sanad, yang diketahui dari kitab
Al-Mu’jam al- Mufahras li Alfâzh al-Hadis al-Nabâwî dan al-Mausȗ’a serta
lain-lain. Sedangkan sumber skunder, penulis merujuk pada buku-buku ke-Islam-an
Sedangkan teknik penulisan, penulis berpedoman pada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2008.
F. Sistematika Penulisan
Ada lima bab dalam penulisan ini. Setiap bab terdiri dari sub-sub bab,
sebagai penjelasan yang memiliki korelasi dengan pembahasan bab-bab tersebut.
Adapun sistematika penulisan ini adalah:
Bab pertama adalah bab Pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab kedua Riwayat Hidup meliputi Sketsa kehidupan dan wafatnya, Para
guru dan Muridnya dan karya-karyanya dan pandangan tentang Kitab meliputi
Latar belakang, Sistimatika Penulisan dan Pandangan Para Tokoh Terhadap Ibnul
Qayyim al-Jauzi
Bab ketiga berisi hadis-hadis tentang ruh yang meliputi : Teks hadis
dengan terjemah,dan pemahaman hadis.
Bab keempat membahas tentang analisis tentang ruh dalam perspektif
hadis yang meliputi :, awal keberadaan ruh, keberadaan ruh di alam dunia,
tanda-tanda ketika berpisahnya ruh dari tubuh, kehidupan ruh setelah berpisah dari
tubuh, fitnah kubur, adzab kubur, dan manfaat mengetahui tentang ruh.
Bab kelima berisi tentang Kesimpulan dan Saran-saran yang berupa
BAB II
BIOGRAFI IBNUL QAYYIM AL-JAUZIYAH
A. Riwayat Hidup Ibnul Qayyim Al-Jauziyah 1. Seketsa kehidupan dan wafatnya
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Syamsuddin Muhammad Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’d bin Huraiz bin Makki Zainuddin az-Zur’i ad-Dimasyqi dan dikenal dengan nama Ibnul Qayyim al-Jauziyah.
Dia dilahirkan pada tanggal 7 Shafar tahun 691 H. Dia tumbuh dewasa dalam suasana ilmiah yang kondusif. Ayahnya adalah kepala sekolah al-Jauziyah di Dimasyq (Damaskus) selama beberapa tahun. Karena itulah, sang ayah mendapat gelar Qayyim al-Jauziyah. Sebab itu pula sang anak dikenal di kalangan ulama dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Dia memiliki keinginan yang sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Tekad luar biasa dalam mengkaji dan menelaah sejak masih muda belia. Dia memulai perjalanan ilmiahnya pada usia tujuh tahun. Allah mengkaruniainya bakat melimpah yang ditopang dengan daya akal luas, pikiran cemerlang, daya hapal mengagumkan, dan energi yang luar biasa. Karena itu, tidak mengherankan jika dia ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai lingkaran ilmiah para guru (syaikh) dengan semangat keras dan jiwa energis untuk menyembuhkan rasa haus
Kitab-kitab biografi sepakat bahwa Ibnul Qayyim al-Jauziyah wafat pada malam Kamis setelah azan Isya’, tanggal 13 Rajab tahun 751H. Dia dishalati setelah shalat Zhuhur keesokan harinya di Mesjid al-Umawi, kemudian di Mesjid Jarah dan dimakamkan di perkuburan al-Bab ash-Shaghir dekat makam ibunya di Damaskus.1
2. Para guru-guru danmurid-muridnya
Adapun guru-gurunya, Ibnul Qayyim telah berguru pada sejumlah ulama
terkenal. Mereka inilah yang memiliki pengaruh dalam pembentukan pemikiran dan
kematangan ilmiahnya. Inilah nama guru-guru Ibnul Qayyim.
1. Ayahnya Abu Bakr bin Ayyub (Qayyim al-Jauziyah) di mana Ibnul Qayyim mempelajari ilmu faraid. Ayahnya memiliki ilmu mendalam tentang faraid.
2. Imam al-Harran, Ismail bin Muhammad al-Farra’, guru mazhab Hanbali di Dimasyq. Ibnu Qayyim belajar padanya ilmu faraid sebagai kelanjutan dari apa yang diperoleh dari ayahnya dan ilmu fikih.
3. Syarafuddin bin Taimiyyah, saudara Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah. Dia menguasai berbagai disiplin ilmu.
4. Badruddin bin Jama’ah. Dia seorang imam masyhur yang bermazhab Syafi’i, memiliki beberapa karangan
5. Ibnu Muflih, seorang imam masyhur yang bermazhab Hanbali. Ibnul Qayyim berkata tentang dia, “Tak seorang pun di bawah kolong langit ini yang mengetahui mazhab imam Ahmad selain Ibnu Muflih.”
1
6. Imam al-Mazi, seorang imam yang bermazhab Syafi’i. Di samping itu, dia termasuk imam ahli hadits dan penghafal hadits generasi terakhir. 7. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah Ahmad bin al-Halim bin Abdussalam
an-Numairi. Dia memiliki pengaruh sangat besar dalam kematangan ilmu Ibnu Qayyim. Ibnu Qayyim menyertainya selama tujuh belas tahun, sejak dia menginjakkan kakinya di Damaskus hingga wafat. Ibnul Qayyim mengikuti dan membela pendapat Ibnu Taimiyyah dalam beberapa masalah. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya penyiksaan yang menyakitkan dari orang-orang fanatik dan taklid kepada keduanya, sampai-sampai dia dan Ibnu Taimiyyah dijebloskan ke dalam penjara dan tidak dibebaskan kecuali setelah kematian Ibnu Taimiyyah.
Adapun murid-muridnya Ibnul Qayyim antara lain:
1. Al-Burhan Ibnu Qayyim. Dia adalah putra Burhanuddin Ibrahim, seorang ulama nahwu dan fikih yang pandai. Dia belajar dari ayahnya. Dia telah berfatwa, mengajar, dan namanya dikenal. Metodenya sama dengan sang ayah. Dia memiliki keahlian dalam bidang tata bahasa Arab. Karena itu, dia menulis komentar atas kitab Ãlfîyâh Ibni Malik. Kitab komentar (syârh) itu dia namakan Irsyâd
al-Sâlîk îlâ Hâllî Alfîyâh Ibni Malik.
3. Ibnu Rajab. Dia adalah Abdurrahman Zainuddin Abu al-Faraj bin Ahmad bin Abdurrahman yang biasa digelar dengan Rajab al-Hanbali. Dia memiliki beberapa karangan yang bermanfaat.
4. Syarafuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Dia adalah putra Abdullah bin Muhammad. Dia sangat brilian. Dia mengambil alih pengajaran setelah ayahnya wafat di ash- Shadriyah.
5. As-Subki. Dia adalah Ali Abdulkafi bin Ali bin Tammam as-Subki Taqiyuddin Abu al-Hasan.
6. Adz-Dzahabi. Dia adalah Muhammad bin Ahmad bin ‘Usman bin Qayimaz adz- Dzahabi at-Turkmani asy-Syafi’i. Dia adalah seorang imam, hafizh yang memiliki banyak karangan dalam hadits dan Iain-lain.
7. Ibnu Abdulhadi. Dia adalah Muhammad Syamsuddin Abu Abdullah bin Ahmad bin Abdulhadi al-Hanbali. Dia adalah seorang hafizh yang kritis.
8. An-Nablisi. Dia adalah Muhammad Syamsuddin Abu Abdullah an-Nablisi al- Hanbali. Dia mempunyai beberapa karangan, di antaranya kitab Mȗkhtâshâr Tabaqat al-Hanâbilah.
10. Al-Fairuzabadi. Dia adalah Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi asy-Syafi’i. Dia pengarang sebuah kamus dan karangan-karangan lain yang baik. 6
3. KARYA-KARYA IBNU QAYYIM AL-JAUZIYAH
Ibnul Qayyim adalah orang yang sangat banyak mengarang buku. Hal inilah yang menyebabkan inventarisasi karya-karyanya secara teliti menjadi sulit. Inilah daftar buku-buku karangannya yang diberikan para ulama.
1. Al-Ijtihâd wa at-Taqlid. Ibnul Qayyim menyebutkannya dalam kitab
Miftah Dar As-Sa’âdah.
2. Ijtima’ al-Juyusy al-Islâmiyah. Telah dicetak berulang kali.
3. Ahkâm Ahl adz-Dzimmah. Telah dicetak dalam dua jilid yang ditahkik
oleh Shubhi ash-Shalih.
4. Asma’ Muallafat Ibnu Taimiyyah. Sebuah desertasi yang diterbitkan atas tahkik Shalahuddin al-Minjid.
5. Ushul at-Tafsir. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Jala’
al-Afhâm.
6. Al-A’lam bi Ittisa ‘i Thuruq al-Ahkam. Dia menyebutkannya dalam kitab
Ighatsah al-Luhfan.
7. A’lam al-Muaqqî ‘in ‘an Rabb al-Ãlamin. Telah dicetak berulang kali
dalam empat jilid.
8. Ighâtsah al-Luhfan min Mashâdir asy-Syaithân. Telah berkali-kali
dicetak dalam dua jilid.
9. Ighâtsah al-Luhfan fî Hukm Thalaq al-Ghadban. Sebuah desertasi yang
6
telah dicetak atas tahkik Muhammad Jamaluddin al-Qasimi.
10.Iqtida’ adz-Dzikr bi Hushul al-Khair wa Daf’i asy-Syar. Ash-Shufdi
menyebutkannya dalam kitab al-Wafî bi al-Wafiat (11/271) dan Ibnu Tughri Burdi dalam kitab al-Manhal ash-Shâfi 011/62), sebuah
manuskrip.
11.Al-Amâlî al-Makkiyah. Ibnul Qayyim menyebutkannya dalam kitab
Badâi’u al- Fawâid.
12.Amtsal al-Qur’an. Telah tercetak.
13.Al-Ijaz. Pengarang kitab Kasyf azh-Zunun (1/206) dan al-Baghdadi dalam kitab Hadîah al-Arifin (11/158) menisbahkannya kepada Ibnu Qayyim.
14.Badai’ al-Fawâid. Tercetak dalam dua jilid.
15.Butlan al-Kimiya’ min Arbâ’in Wajhan. Buku ini telah diisyaratkan oleh Ibnul Qayyim dalam buku Miftah Dar as-Sa ‘âdah.
16.Bayan al-Istidlal ‘ala Butlan Isytirath Muhallil as-Sibaq wa an-Nidhal. Kitab ini telah disebutkan oleh Ibnu Qayyim dalam kitab A’lam al-
Muwaqqi’in. Dan juga ash-Shufdi dalam kitab al-Wafi bi al-Wafiyat
(11/271) dan Ibnu Rajab dalam kitab Dzail Tabaqat al-Hanâbilah (11/450) telah menyebutkannya dengan nama ad-Dalil ‘ala Istighnâi al-Musâbaqah ‘an at- Tahlil.
17.At-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an. Telah dicetak beberapa kali.
18.At-Tahbir lima Yahillu wa Yahrum min Libas al-Harîr. Ibnul Qayyim
menyebutkannya dalam kitab Zad al-Ma ‘ad.
19.At-Tuhfah al-Makkiyah. Ibnul Qayyim menyebutkannya dalam berbagai
20.Tuhfah al-Maudud fî Ahkam al-Maulud. Telah dicetak berulang kali. 21.Tuhfah an-Nazilin bi Jiwar Rabb al-Alamin. Dia menyebutkannya dalam
kitab Madârij as-Sâlikin.
22.Tadbir ar-Riasah fi al-Qawâid al-Hukmiyah bi az-Zakâ’ wa al-Qarîhah.
Al- Baghdadi menyebutkannya dalam kitab al-Idhah al-Maknun fi adz-Dzail ‘ala Kasyf az-Zunun (1/271).
23.At-Ta’liq ‘ala al-Ahkam. Ibnul Qayyim mengisyaratkannya dalam kitab
Jala’ al- Afhâm.
24.At-Tafsir al-Qayyim. Ini adalah tulisan terpisah-pisah dalam tafsir Syaikh Muhammad Uwais an-Nadawi dalam satu jilid. Tapi, dia tidak mencakup semua ucapan Ibnul Qayyim dalam tafsir. Namun, itu adalah suatu usaha yang patut mendapat pujian.
25.Tahdzib Mukhtashar Sunan Abi Daud. Telah dicetak bersama dengan
kitab Mukhtashar Mundziri dan syarahnya Ma ‘alim as-Sunan oleh
al-Khatthabi dalam delapan jilid.
26.Al-Jâmi’ bain as-Sunan wa al-Atsâr. Ibnul Qayyim menyebutkannya
dalam kitab Badâi’u al-Fawâid.
27.Hadi al-Arwah ila Bilad al-Afrah. Telah dicetak berkali-kali.
28.Al-Hamil, Hal Tahiidhu am La. Ibnul Qayyim telah menyinggung
masalah ini dalam kitab Tahdzib Sunan at-Tirmidzi.
29.Al-Hawi. Ahmad ‘Ubaid dalam kata pengantar kitab Rawudah
al-Muhibbin berkata, “Ibnu Hajar al-Asqallani telah menyebutkannnya
30.Hurmah as-Sima’. Haji Khalifah dalam kitab Kasyf az-Zunun (1/650) dan al- Baghdadi dalam kitab Hadiyah al-Arifin (11/158) telah
menyebutkannya.
31.Hukm Tarik ash-Shalah. Telah berkali-kali dicetak.
32.Hukm Ighmam Hilal Ramadhan. Ibnu Rajab dalam kitab adz-Dzail
(11/450), ad- Dawudi dalam kitab ath-Thabaqat (11/93) dan Ibnu al-’Ammad dalam kitab asy- Syadzarat (VI/169) telah menyebutkannya.
33.Hukm Tafdhil Ba’d al-Awlad ‘ala Ba’d fi al-’Athiyah. Ibnu Qayyim
menyebutkannya dalam kitab Tahdzib as-Sunan.
34.Ad-Da’wa ad-Dawa’. Telah dicetak berkali-kali dan dinamakan juga
dengan al- Jawab al-Kâfi liman Sa’ala ‘an ad-Dawa’asy-Syafi.
35.Dawa’ al-Qalb. ‘Abdullah al-Jabburi menyebutkannya dalam Fihris
Maktabat Awuqaf Baghdad (11/369). Ada juga naskah dengan tulisan
tangan oleh al-Jabburi dengan nomor 4732. Kemungkinan besar naskah ini adalah naskah kitab ad- Da‘wa ad-Dawa’. Meskipun demikian, lebih
baik kita menahan diri dalam mengambil kesimpulan sebelum membaca transkrip naskah tersebut. Wallahu a’lâm.
36.Rabi’ul-Abrar fi-ashshalah ‘ala an-Nabi al-Mukhtar. Al-Baghdadi
menye butkannya dalam kitab Hadiyah al-’Arifin (11/272) setelah menyebutkan kitab Jala’u al-Afhâm.
37.Ar-Risalah al-Halabiyah fi ath-Tariqah al-Muhammadiyah. Ini adalah
dalam bentuk manuskrip (111/62), ad-Dawudi dalam at-Tabaqat (IV93) dan Haji Khalifah dalam Kasyf az-Zunun (1/861) menyebutkannya.
38.Ar-Risâlah asy-Syafi’iyah fi Ahkâm al-Mu’awwidzatain. Muridnya
ash-Shufdi dalam al-Wafi bi al-Wafiyat (11/272) dan Ibnu Tughri Burdi dalam al-Manhal as- Shafi (111/62) menyebutkannya.
39.Risâlah Ibni Qayyim ilâ Ahad Ikhwânihi. Ditemukan satu naskahnya
dalam kumpulan manuskrip perpustakaan Mahmudiyah di Madinah al-Munawwarah nomor 8/221 majâmi’ yang terdiri dari beberapa halaman
dalam ukuran kecil.
40.Ar-Risalah at-Tabukiyah yang dicetak di Mesir dengan nama ini dan
dicetak juga dengan judul Tuhfah al-Ahbab fi Tafsir Qawluhi Ta ‘ala: wa ta ‘âwanu ‘alalbirri wattaqwa wa lâ ta’âwanu ‘alal itsm wal’udwan wa
attaqullaha innallaha syadidul’iqab.
41.Raf’u at-Tanzil. Haji Khalifah dalam Kasyf az-Zunun (1/909) dan
al-Baghdadi dalam Hadiyah al-’Ãrifin (11/158) menyebutkannya.
42.Raf’u al-Yadain fi as-Salah. Muridnya Ibnu Rajab dalam adz-Dzail
(11/150), ash-Shufdi dalam al-Wâfi bi al-Wâfiyat (11/272), Ibnu Hajar
dalam ad-Durar Kâminah (IV/33), as-Suyuthi dalam Baghyah
al-Wu’at (V63), ad-Dawudi dalam at-Tabaqat (11/93), Ibnu al-’Ammad
dalam asy-Syadzarat (VI/168) dan Haji Khalifah dalam Kasyf az-Zunun (1/911).
43.Raudhah al-Muhibbin wa Nazhah al-Musytaqin. Ibnu Qayyim
44.Ar-Rȗh. Telah tersebar di kalangan beberapa penuntut ilmu bahwa kitab ini bukan karangan Ibnul Qayyim atau dia menulisnya sebelum berhubungan dengan Ibnu Taimiyyah.
45.Ar-Ruh wa an-Nafs. Ini bukan kitab ar-Ruh. Ibnul Qayyim telah
menyebutkannya dalam kitab ar-Ruh, Miftah as-Sa’âdah dan Jala’u al-Afhâm.
46.Zad al-Musafirin ila Manâzil as-Su ‘ada ‘fi Hadyi Khatam al-Anbiya’.
Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/93), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169), dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-Arifin (11/158).
47.Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-’Ibad. Ini telah dicetak berkali-kali di India, Mesir, Syiria dan terakhir diterbitkan dalam lima jilid.
48.As-Sunnah wa al-Bid’ah. Ahmad ‘Ubaid menyebutkannya dalam
mukadimah kitab Rawudhah al-Muhibbin.
49.Sharh Asma’ al-Kitab al-Aziz. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/449), ad-Dawudi dalam at-Tabaqat (11/92) dan Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169) menyebutkannya.
50.Syarh al-Asma’ al-Husna. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (11/450),
ad-Dawudi dalam at-Tabaqat (11/93) dan Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/170) menyebutkannya.
51.Syifa’ al-Alil fi Masail al-Qadha’ wa al-Qadr wa al-Hikmah wa at-Ta’lil. Ini telah diterbitkan.
53.Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkam Ahl al-Jahim. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169).
54.Ash-Shawaiqal-Munazzalah ‘ala aj-Jam’iyah waal-Mu’atthilah, satu
jilid. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450), ad-Dawudi dalam at-Thabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169).
55.Badr at-Thali’ (117144), Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun
(11/1083), al-Baghdadi dalam Hadiyah al-’Arifin (11/158) dengan nama ash-Shawaiq al-Mursalah. Kitab ini belum diterbitkan, yang telah
diterbitkan hanya kitab al-Mukhtashar karya Muhammad bin al-Maushili.
56.At-Ta’un. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/93),
ad-Dawudi dalam at-Tabaqat (11/93), Ibnu al-’Ammad dalam Asy-Syadzarat (W196) dan al-Baghdadi dalam Hadiyah al-Arifin (11/158).
57.Thibb al-Qulub. Az-Zarkali menyebutkannya dalam kitab al-A’lam
(VI/280), Ahmad ‘Ubaid dalam mukadimah Rawudhah al-Muhibbin dan
dia berkata, “Profesor Ma’luf menyebutkan bahwa ada satu naskahnya di Berlin.”
58.At-Thibb an-Nabawi. Ibnu Qayyim menyatukannya dengan kitab Zad
al-Ma ‘ad, tapi ia telah diterbitkan secara terpisah.
60.At-Turuq al-Hukmiyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyah. Telah dicetak ulang beberapa kali.
61.Tarîqah al-Bashair ila Hadiqah as-Sarair fi Nazhm al-Kabair. Kitab ini tercantum dalam indeks buku-buku Auqaf di Baghdad dan disebutkan bahwa buku ini ada naskahnya yang sangat berharga ditulis tahun 811 H.
62.Talaq al-Haidh. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitab Tahdzib
Sunan Abi Dâwud.
63.‘Uddah ash-Shabirin wa Dzakhirah asy-Syakirin. Ini telah dicetak
berulang kali.
64.Al-Fatâwa. Al-Alusi menyebutkannya dalam Jala ‘u al- Ainain.
65.Al-Fath al-Quds. Ibnu Rajab dalam adz-Dzail (II450), ad-Dawudi dalam
at- Tabaqat (11/93), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/169) dan
al-Baghdadi dalam Hidayah al-Arifin (11/158).
66.Al-Fath al-Makki. Ibnu Qayyim telah menyebutkannya dalam kitabnya
yaitu al-Fawâid.
67.Al-Futuhat al-Qudsiyah. Ibnu Qayyim menyebutkannya dalam kitabnya
Miftah Daras-Sa’adah.
68.Al-Farq bain al-Khillah wa al-Mahabbah wa Munazharah al-Khalil li
Qawumih. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450) dan
Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/168).
69.Al-Farusiyah. Kitab ini adalah ringkasan kitab al-Farusiyah
asy-Syar’iyah. Dan, telah dicetak di Mesir.
70.Al-Farusiyah asy-Syar’iyah. Ibnu Tughri Burdi menyebutkannya dalam
71.Fahdl ‘Iim wa Ahlih. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450) dan ad-Dawudi dalam at-Tabaqat (11/93).
72.Fawadh fi al-Kalam ‘alâ Hadits al-Ghamamah wa Hadits al-Ghazalah
wa ad- Dhub wa Ghairih. Sebuah tulisan yang terdiri dari sembilan belas
lembar dalam manuskrip perpustakaan azh-Zhahiriyah di Damaskus dengan nomor 5485. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam indeks perpustakaan halaman 100 juga menyebutkannya.
73.Al-Fawâid. Telah dicetak.
74.Qurrah ‘Uyun al-Muhibbin wa Rawudhah Qulub al-’Arifin. Al-Baghdadi
menyebutkannya dalam Hidayah al-’Ãrifin (11/158).
75.Al-Kâfiyah asy-Syafiyah fi an-Nahw. Pengarang Kasyf az-Zunun
(11/1369).
76.Al-Kafiyah asy-Syafiyah fi al-Intishar li al-Firqah an-Najiyah. Telah dicetak beberapa kali. Kitab inilah yang dikenal dengan al-Qashidah an-Nuniyah.
77.Al-Kabair. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450),
ad-Dawud dalam at-Tabaqat (11/93), Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (Vl/hlm. 168) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-Arifin (11/158).
78.Kasyf al-Ghitha’ ‘an Hukm Sima’ al-Ghina’.
79.Al-Kalam at-Thayyib wa al-’Amalash-Shalih. Telah dicetak beberapa kali di Mesir dan India dengan judul al-Wabil ash-Shaib min al-Kalam at-Thayyib.
80.Al-Lamhah fii ar-Rad ‘ala Ibni Thalhah. Al-’Allamahal-Manawi
81.Madarij as-Salikin baina Manazil Iyyâka Na’bud wa Iyyâka Nasta’in. Ini telah dicetak dalam tiga jilid.
82.Ma’âni Huruf wa Adawat. Ash-Shufdi menyebutkannya dalam
al-Wafi bi al-al-Wafiyat (11/271), Ibnu Tughri Burdi dalam al-Manhal as-Safî
(11/62) yang masih dalam bentuk manuskrip, ad-Dawudi dalam
at-Thabaqat (11/93), as-Suyuthi dalam Baghyah al-Wu’at (1/63) dan Haji
Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun (11/ 1729).
83.Al-Manar al-Munif fi ash-Shahih wa ad-Dhaif. Ini telah berulangkali
dicetak.
84.Al-Mawurid as-Safî wa az-Zhil al-Wafî. Al-Baghdadi menyebutkannya
dalam Hidayah al-’Ãrifin (11/159) dan Ibnu Qayyim dalam kitabnya Tariq al-Hijratain.
85.Maulid an-Nabawi saw. Asy-Syaukani menyebutkannya dalam al-Badr
at-Tali’ (11/144) dan Shadiq al-Qannuji dalam at-Tajal-Mukallal.
Al-Qannuji menyebutkan bahwa dia memiliki satu manuskrip dari kitab ini.
86.Al-Mahdi. Haji Khalifah menyebutkannya dalam Kasyf azh-Zhunun
(11/1465).
87.Naqd Manqul wa Mahk Mumayyiz bain Maqbul wa
al-Mardud. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/450),
ad-Dawudi dalam at-Tabaqat (11/93), Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/168) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-’Arifin (11/159).
88.Nikah al-Muhrim. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail
89.Nur al-Mu’min wa Hayatuh. Ibnu Rajab menyebutkannya dalam adz-Dzail (11/ 450), Ibnu al-Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/178) dan al-Baghdadi dalam Hidayah al-’Ãrifin (11/159).
90.Hidayah al-Hayari fi Ajubah al-Yahud wa an-Nasâra. Ini telah tercetak beberapa kali. 2
Sebagian orang tidak mampu membedakan antara Ibnul Qayyim al-Jauziyah dengan Ibnu al-Jauzi karena kemiripan nama. Kesalahan ini telah berakibat pada penisbahan beberapa kitab karya Ibnu al-Jauzi kepada Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Kesalahan seperti itu terjadi karena kelalaian para penulis manuskrip atau karena perbuatan orang-orang yang sentimen terhadap Ibnul Qayyim al-Jauziyah.
Sebagai bukti adalah bahwa Ibnu Jauzi adalah Abdurrahman bin Ali al-Qursyi, wafat tahun 597 H. Meskipun dia adalah salah seorang ulama dari golongan Hanbali yang terkemuka dan banyak menulis, tapi dalam kajian masalah nama-nama dan sifat Allah SWT dia tidak mengikuti metode Imam Hanbal karena dia dalam hal ini menempuh metode takwil. Ini jelas bertentangan dengan metodologi Ibnul Qayyim sebab dia menempuh metode ulama salaf. Allah telah memberikan petunjuk kepada Ibnul Qayyim al-Jauziyah sehingga dia mengikuti langkah ulama salaf. Sebab itu, dia selamat dari noda
tasybih dan bahaya takwil. Dia menempuh cara ulama salaf di mana dia hanya
menetapkan apa yang ditetapkan Allah SWT untuk diri-Nya dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya tanpa melakukan penyimpangan, tasybih dan ta ‘thil.
2
B. Seputar Kitab Ar-Ruh 1. Latar belakang
Kitab ini adalah karangan Ibnul Qayyim dan ditulisnya setelah berhubungan dengan Ibnu Taimiyyah. Yang menguatkan pendapat ini adalah bahwa Ibnul Qayyim telah menyebutkan kitab ini dalam kitabnya at-Tibyan.
Ibnul Qayyim juga telah menyebutkan gurunya, Ibnu Taimiyyah kurang lebih sepuluh kali dalam kitab ar-Ruh dengan mengutip pendapat-pendapatnya serta
menyebutkan pendapat yang dipilihnya.
Di samping itu, ditemukan ada sekelompok tokoh autobiografer Ibnul Qayyim telah menyebutkan kitab ini dalam buku-buku karangan mereka. Mereka itu seperti al-Hafizh Ibnu Hajar dalam ad-Durar al-Kâminah (IV/23), as-Suyuthi
dalam Baghayah al-Wu’at (1/63), Ibnu al-’Ammad dalam asy-Syadzarat (VI/170), asy-Syaukani dalam al-Badr at-Thali’ (11/144), Haji Khalifah dalam
Kasyfazh-Zunun (11/1421), al-Baghdadi dalam Hadiyah al-’Ãrifin (11/158) dan
al-Alusi dalam Jala’u al-’Ainain .
Ilmu yang diberikan oleh Allah kepada manusia amat sedikit. Apalagi yang berkaitan dengan masalah roh. Maka ketika banyak orang yang bertanya-tanya tentang roh, Allah Memerintahkan Rasul-Nya masuk untuk menjawab, “Roh itu adalah urusan Rabb-ku. Ilmu manusia yang dangkal, lalu muncul
penasaran mereka tentang roh, diterangkan Allah dalam satu rangkaian ayat, yaitu Al-Isra’ : 85.
manusia semakin berkembang, interaksi sosial semakin melebar, dan hingga kini seakan tidak ada lagi sekat yang memisahkan satu komunitas manusia dengan yang lain, maka tuntutan mereka pun semakin beragam, termasuk tuntutan untuk mengetahui lebih jauh fenomena roh.
Sebenarnya dari kehidupan Rasulullah dan para sahabat sendiri cukup banyak fenomena kehidupan rohani, dalam pengertian suatu alam tersendiri yang berbeda dengan kehidupan nyata ini. Dan inilah rupanya yang hendak diangkat Ibnul Qayyim, apalagi banyak masalah yang masih tersamar, sementara banyak orang yang ingin mendapat penjelasan. Atas dasar inilah Ibnul Qayyim menulis sebuah Kitab tentang Roh yang mengupas secara detail segala permasalahan yang ada walaupun tidak sedetail apa yang diharapkan.
Dalam Kitab Ibnul Qayyim, ar-Rȗh terdapat kontroversi dan perdebatan,
karena topik permasalahannya sendiri cukup berat dan rentan sehinga banyak pihak yang setuju dan tidak setuju. Seperti pertanyaan yang berkenaan dengan sampai tidaknya pahala shadaqoh orang yang masih hidup, yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal. Dalam kitabnya ini ketika ditulis, Ibnul Qayyim belum banyak berkolaborasi dengan Syaikhnya, Ibnu Taimiyyah, pasangan guru dan murid yang menjadi symbol kelurusan aqdiyah, syar’iyyah dan akhlak Islam, yang sama-sama menyeru kepada Al-Qur’an dan As-sunnah, yang sama-sama memerangi bid’ah.3
2. Sistematika penulisan dan penyusunan kitab ar-Rȗh karangan Ibnul Qayyim al-Jauziyah
3
Dalam penyusunan dan penulisan kitabnya terkandung berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan roh orang-orang yang sudah mati maupun yang masih hidup, disertai dalil-dalil dari Kitab, Sunnah, atsar dan pendapat para
ulama yang pilihan. Terdapat 21 bab yang terdapat dalam kitabnya itu yang berkenaan dengan masalah roh, antara lain :
1. Apakah orang yang sudah meninggal dunia mengetahui ziarah Orang yang hidup?
2. Apakah roh orang-orang yang meninggal dunia bisa saling bertemu, berkunjung dan mengingat?
3. Apakah roh orang yang hidup bisa bertemu dengan roh orang yang sudah meninggal?
4. Roh atau badankah yang mati?
5. Apakah setelah Roh berpisah dengan badan, ia membentuk rupa tertentu sesuai dengan gambarannya, atau bagaimana dengan keadaan yang pasti? 6. Apakah Roh dikembalikan ke mayat di dalam kubur saat mendapat
pertanyaan?
7. Apa jawaban kita dalam menghadapi orang-orang yang mengingkari kenikmatan dan siksaan kubur?
8. Mengapa siksa kubur tidak disebutkan dalam al-Qur’an? Apa hikmahnya?
9. Apa sebab-sebab yang mendatangkan siksa bagi penghuni kubur? 10.Apa yang bisa menyelamatkan dari siksa kubur?
mereka saja?
12.Apakah pertanyaan Munkar dan Nakir hanya ditunjukkan kepeda umat ini atau juga ditunjukkan kepada umat-umat yang lain?
13.Apakah anak-anak juga mendapat pertanyaan di dalam kubur? 14.Apakah siksa kubur terus menerus ataukah terputus?
15.Dimana keberadaan roh antara saat meninggal hingga hari kiamat?
16. Apakah roh yang sudah meninggal dapat mengambil manfaat dari usaha orang yang masih hidup?
17.Apakah roh itu lama ataukah baru dan makhluk?
18.Manakah yang lebih dahulu diciptakan, roh ataukah badan? 19.Apakah hakikat jiwa itu?
20.Apakah jiwa dan roh itu sesuatu yang satu ataukah dua Sesuatu yang saling berubah-ubah?
21.Apakah jiwa itu satu ataukah tiga?4
3. Pandangan Para Tokoh terhadap Ibnul Qayyim al-Jauziyah
Disiplin ilmu yang didalami dan dikuasainya hampir meliputi semua ilmu syariat dan ilmu alat. Ibnu Rajab, muridnya, mengatakan, “Dia pakar dalam tafsir dan tak tertandingi, ahli dalam bidang ushuluddin dan ilmu ini mencapai puncak di tangannya, ahli dalam fikih dan ushul fikih, ahli dalam bidang bahasa Arab dan memiliki kontribusi besar di dalamnya, ahli dalam bidang ilmu kalam, dan juga ahli dalam bidang tasawuf.
4
Dia berkata juga, “Saya tidak melihat ada orang yang lebih luas ilmunya dan yang lebih mengetahui makna Al-Qur’an, Sunnah dan hakekat iman daripada Ibnu Qayyim. Dia tidak makshum tapi memang saya tidak melihat ada orang yang menyamainya.
Ibnu Katsir berkata, “Dia mempelajari hadits dan sibuk dengan ilmu. Dia menguasai berbagai cabang ilmu, utamanya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushuluddin, dan ushul fikih. Beliau adalah termasuk orang yang berakhalak baik, tidak suka menghasud dan membenci, serta orang yang rajin ibadahnya.
Adz-Dzahabi berkata, “Dia mendalami hadits, matan dan perawinya. Dia menggeluti dan menganalisa ilmu fikih. Dia juga menggeluti dan memperkaya khasanah ilmu nahwu, ilmu ushuluddin, dan ushul fikih.
Ibnu Hajar berkata, “Dia berhati teguh dan berilmu luas. Dia menguasai perbedaan pendapat para ulama dan mazhab-mazhab salaf.5
As-Suyuthi berkata, “Dia telah mengarang, berdebat, berijtihad dan menjadi salah satu ulama besar dalam bidang tafsir, hadits, fikih, ushuluddin, ushul fikih, dan bahasa Arab.
Ibnu Tughri Burdi berkata, “Dia menguasai beberapa cabang ilmu, di antaranya tafsir, fikih, sastra dan tata bahasa Arab, hadits, ilmu-ilmu ushul dan furu’. Dia telah mendampingi Syaikh Ibnu Taimiyyah setelah kembali dari Kairo tahun 712 H dan menyerap darinya banyak ilmu. Karena itu, dia menjadi salah satu tokoh zamannya dan memberikan manfaat kepada umat manusia.6
5
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, ar-Ruh, hal 7
6
BAB III
HADIS-HADIS TENTANG RUH
A. Awal Keberadaan dan Penciptaan Ruh 1. Teks Hadis Pertama
نإ
ْ
مدأ
ْ ﺑ
أ
ﺑْرأ
ﺎ ْﻮ
ﺛ
نﻮﻜ
ﺔ
ْ
ﻚ ذ
ﺛ
نﻮﻜ
ﺔﻐْﻀ
ْ
ﻚ ذ
ﺛ
ْﺮ
ا
ْ
ْا
ﻚ
ْ
حوﺮ ا
Artinya : Bahwa penciptaaan anak Adam dengan dihimpun didalam perut ibunya selama empat puluh hari yang berupa air mani, kemudian air mani ini berubah menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging yang seperti itu,
kemudian Dia mengutus malaikat kepadanya yang meniupkan ruhnya di dalamnya.”1
a) Penelitian hadis
Setelah ditelusuri hadis di atas melalui kitab al-Mu'jam al-Mufahraz,2 penulis
menemukan hadis ini dari berbagai riwayat antara lain riwayat Sahîh al-Bukhârî,
riwayat sunan Abu Daud no 4708, riwayat Tirmidzi no 2137 dan riwayat Sunan Ibnu
Majjah no 76.
Abu Musa berpendapat bahwa hadis ini adalah hasanun sahihun, diriwayatkan
dari Muhammad bin Basyar, dari Yahya bin Sa’id, dari al-A’masy, dari Zaid bin
Wahab, dari Abdullah bin Mas’ud. 3
1
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, ar-Ruh hal 224
2
A.J Wensink, al-Mu'jamal-Mufahras li Alfaz al-Hadits al-Nabawî 'an al-Kutub al-Sittah wa 'an Sunan al-Dârimî wa Muwatâ' Malik wa Musnad Ahmad bin Hanbal (Leiden: Maktabah Brîl, 1936) j.3, h.318
3
b) Fiqhul hadis
Hadis diatas menjelaskan bahwa proses pencipataan manusia dapat
disimpulkan adanya enam fase terbentuknya janin dalam rahim. Tahap pertama
penciptaan janin disebut sulâlah dimulai dari saripati mani. Allah menjelaskan bahwa
manusia diciptakan dari saripati air mani. Manusia bukan diciptakan dari seluruh mani
yang keluar dari suami-istri, tapi hanya dari bagian yang sangat halus. Itulah yang
dimaksud dengan sulâlah.
Tahap kedua disebut ‘âlaqoh. Kemudian air mani itu berubah dijadikan
segumpal darah . Tahap ketiga, mudghah atau segumpal daging. Tahap keempat
ditandai dengan muncul dan tumbuhnya tulang. Dan segumpal daging itu dijadikan
tulang belulang. Tahap kelima, pembungkusan tulang dengan daging. Tahap keenam
adalah perubahan janin ke bentuk yang lain dan ditiupkannya ruh kedalam tubuh
2. Teks Hadis Kedua
إ
ن
ﷲا
ْ
ﺔ ْ
,
ﻰ ْأو
ْ ﻬْ
ْ
رْﻮ
Artinya : “ Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan,
dan memasukkan cahaya-Nya kepadanya.”4
a) Penelitian hadis
Setelah ditelusuri hadis di atas melalui kitab Mausû'ah Atraf al-Hadîts,5
Penulis menemukan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi hadis no 2642,
Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak (1/30) dari Abdullah Ibnu Umar . Abu Musa
berkata bahwa kualitas hadis ini hasan. 6
b) Fiqhul hadis
4
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, ar-Ruh hal 188
5
Abû Hâjir Muhammad al-Sa'îd bin Basyûnî Zaghlûl, Mausû'ah Atrâf al-Hadîts al-Nabawî (Beirût: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, tth.) j.3, h. 159.
6
Hadis diatas menjelaskan bahwa roh itu merupakan cahaya yang menjadi
bagian dari cahaya Allah, merupakan kehidupan yang menjadi bagian dari kehidupan
Allah, karena cahaya adalah makhluk, maka roh adalah makhluk. Begitu juga dengan
hadis yang kedua “ Roh-roh itu serupa dengan pasukan perang yang dikerahkan.
Selagi saling mengenal, maka ia akan bersatu, dan selagi mengingkari, maka ia akan
berselisih.” Pasukan perang yang dikerahkan adalah makhluk, sudah dipastikan bahwa
roh itu adalah makhluk. Ini merupakan pendapat Ahlul-Jama’ah Wal-Atsar.
3. Teks hadis Ketiga
ا
ن
حْوﺮ ا
ﻰ ْ
حْوﺮ ا
Artinya : Sesungguhnya ruh itu dapat bertemu dengan ruh yang lain.7a) Penelitian hadis
Setelah ditelusuri hadis di atas melalui kitab al-Mu'jam al-Mufahraz,8 al-Jami'
al-Saghîr, Mausû'ah Atraf al-Hadîts,9 hadis tersebut diriwayatkan oleh Muslim, Ibnu
Majjah, Abu daud dan tirmidzi dari Ummi Salamah.
b) Fiqhul Hadis
Hadis di atas menjelaskan bahwa ruh itu dapat bertemu dengan ruh yang lain
saling menyapa. Namun kehidupan setelah kematian tidaklah sama seperti kehidupan
dunia. Karena alam barzakh adalah alam persinggahan bagi Ruh-ruh dan menunggu
sampai dibangkitkan kembali oleh tiupan sangkakala yang ke dua.
B. Ruh Di dunia
1. Teks Hadis Ke Empat
7
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, ar-Ruh hal 231
8
A.J Wensink, al-Mu'jamal-Mufahras li Alfaz al-Hadits al-Nabawî 'an al-Kutub al-Sittah wa 'an Sunan al-Dârimî wa Muwatâ' Malik wa Musnad Ahmad bin Hanbal (Leiden: Maktabah Brîl, 1936) j.3, h.318
9
Abû Hâjir Muhammad al-Sa'îd bin Basyûnî Zaghlûl, Mausû'ah Atrâf al-Hadîts al-Nabawî
ْا
ْﺪ
ﷲ
ْ
ﺪ
و
ْ
ْ
و
ْ
ْﻐ
ﺮ
و
ْﻮ
ذ
ﺑ
ﷲﺎ
ْ
ﺮ
ْو
ر
أْ
ﺎ
و
ْ
ﺌﺔ
أ
ْ
ﺎ
ﺎ
,
ْ
ْﻬ
ﺪ
ي
ﷲا
ﻀ
,
و
ْ
ْﻀ
ْ
ه
دﺎ
ي
Artinya : ”Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan diri kami dan dari keburukan-keburukan amal kami. Siapa yang diberi petunjuk Allah, maka tiada seorang pun yang dapat menyesatkannnya, dan siapa disesatkan-Nya, maka tiada seorang pun yang memberi petunjuk”10
a) Penelitian hadis
Adapun kualitas hadis ini menurut Abu Isa dalam Kitab Tuhfatul Ahfadz
adalah hasanun sahihun yang diriwayatkan dari Al-A’masy dari Abi Ishaq dari Abi
Al-Ahwash dari Abdillah dari Nabi muhammad SAW.
b) Fiqhul hadis
Hadis ini menerangkan tentang keberadaan jiwa manusia yang membawa
antara kebaikan dan keburukan , al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan,
yaitu:
1. Jiwa nabati (al-nafs al-nabâtiyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami
yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
2. Jiwa hewani (al-nafs al-hayâwaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda
alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan
iradat (kehendak).
3. Jiwa insani (al-nafs al-insâniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang
hidup dari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta
dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.
10
Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain
menyebutnya al-nafs al-nâtiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan
dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs
yang mempunyai daya (al-’aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan
daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali
menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain
dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.
Ruh menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut ruh
hewani, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan
merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan
dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya yang menerangi sebuah
ruangan. Kedua, berarti nafs nâtiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui
segala hakekat yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan
jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi. Di sini al-Ghazali
mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu
jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada
aspek jasad, akal atau ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling
membutuhkan dan mengikat; itulah yanmg dinamakan manusia. 11
2. Teks Hadis Ke Lima
ﻷْا
حاوْر
دﻮ ﺟ
ةﺪ
ﺎ
فرﺎ
ﺎﻬْ
ْا
ﺎ و
ﺮآﺎ
ﺎﻬْ
ْ ا
11
Artinya : “Ruh itu laksana Prajurit yang dikerahkan, terhadap ruh yang dikenal baik ia bersatu, terhadap ruh (lain) yang dianggapnya jahat, ia Bercerai”12
a) Penelitian Kualitas Hadis
Setelah ditelusuri hadis di atas melalui kitab al-Mu'jam al-Mufahraz,13
al-Jami' al-Saghîr, Mausû'ah Atraf al-Hadîts,14 dan Miftâh Kunûz al-Sunnah, penulis
menemukan riwayat hadis ini dari Yazid bin al-‘Ashom dari Abu Shaleh dari dari
Aisyah dan Abu Hurairah dan hadis kualitas hadis ini adalah Shahih dan Muttafaqun
A’laihi .15
b) Fiqhul hadis
Bertemunya roh orang yang masih hidup dengan roh yang sudah meninggal
seperti bertemu didalam mimpi dan mengalami sesuatu hal yang dapat dirasakan,
termasuk masalah yang masih rancu di antara manusia.
Ada yang mengatakan bahwa semua ilmu terpendam dalam jiwa. Karena
kemampuan ilmu hanya terkait dengan alam nyata, maka ia terhalang mengetahui roh.
Jika seseorang terbebas dari segala kesibukan karena tidur, maka ia bisa bermimpi
menurut latar belakangnya. Karena kebebasan dari segala kesibukkan, dan
kedekatannya dengan kematian lebih sempurna, maka ilmu dan pengetahuannya
dalam hal ini juga sempurna. Dalam hal ini bisa benar dan bisa batil, sehingga tidak
bisa ditolak semuanya dan tidak selayaknya bisa diterima semuanya.16
C. Ruh Sesudah Kematian
12
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, ar-Ruh hal 236
13
A.J Wensink, al-Mu'jamal-Mufahras li Alfaz al-Hadits al-Nabawî 'an al-Kutub al-Sittah wa 'an Sunan al-Dârimî wa Muwatâ' Malik wa Musnad Ahmad bin Hanbal (Leiden: Maktabah Brîl, 1936) j.3, h.318
14
Abû Hâjir Muhammad al-Sa'îd bin Basyûnî Zaghlûl, Mausû'ah Atrâf al-Hadîts al-Nabawî
(Beirût: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, tth.) j.5, h.409
15
Abu Muhammad al-Husaini bin Mas’ud al-Baghawi, Syarhus Sunnah ,(Maktabah al-‘Ilmiyyah : Lebanon, 1993) j, 6 hal 460
16
1. Teks Hadis Ke Enam
أ
ن
ْا
ْ
ْﺮ
ع
لﺎ
ْا
ْ
ْ
إذ
ا
ْإ
ﺼ
ﺮ
ْﻮا
ْ
Artinya : “Bahwa orang yang meninggal dunia dapat mendengar sandal
orang-orang yang mengiringnya, saat mereka meninggalkan kuburnya”17
a) Penelitian Hadis
Setelah ditelusuri hadis di atas melalui kitab al-Mu'jam al-Mufahraz,18penulis
mendapatkan hadis ini dalam riwayat Sahih al-Bukhari dan Abu daud.
Hadis ini diriwayatkan juga oleh al-Bazzar dan Ibnu Hibban dalam kitab
Shahihnya secara ringkas. Ibnu hibban juga meriwayatkan melalui Muhammad bin
amr dari Abu Salamah, dari Abu hurairah. Adapun kualitas hadis di atas menurut ath -
Thahawi, Ibnu Hibban dan Al-Bazzar adalah Sahih dan boleh dijadikan sebagai
dalil.19
b) Fiqhul hadis
Hadis di atas menerangkan bahwa sesungguhnya orang yang sudah meninggal
dapat mendengar sandal orang yang mengunjunginya maupun orang yang berjalan di
sekitarnya. Dengan ini pada dasarnya, ruh itu hidup di alam kubur, namun tidak dapat
berkomunikasi dengan orang yang masih hidup, dan pada hakikatnya ruh itu tidak
hancur dan mati seperti jasadnya.
Menurut Ibnu al-Manayyar mengatakan, bahwa Imam al-Bukhâri
mengkhususkan hadis ini untuk dijadikan sebagai permulaan adab saat menguburkan
mayat, yaitu harus bersikap tenang, tidak gaduh serta hendaknya tidak
17
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, ar-Ruh hal 11
18
A.J Wensink, al-Mu'jamal-Mufahras li Alfaz al-Hadits al-Nabawî 'an al-Kutub al-Sittah wa 'an Sunan al-Dârimî wa Muwatâ' Malik wa Musnad Ahmad bin Hanbal (Leiden: Maktabah Brîl, 1936) j.6 hal. 490.
19
menghentakkan tanah dengan keras, selayakya menghormati terhadap orang yang
sedang tidur.
2. Teks Hadis Ke Tujuh
إ
ن
ْ
ْا
ْﺆ
إذ
ا
ﻀ
ْ
هﺎ
ﺎ
أ
ْه
ﺮ ا
ْﺣ
ﺔ
ْ
ْﺪ
ﷲا
آ
ﺎ
ﻰ
ْا
ْﺮ
ﺪ ا
ْﺎ
,
ْﻮ
ْﻮ
ن
:
اْ
ﺮ
ْوا
أ
آﺎ
ْ
ﺣ
ﻰ
ْ
ﺮ
ْ
ﺈ
آ
نﺎ
آ
ﺮ
ب
ﺪْ
ﺪ
,
ﺄ
ْﻮ
:
ذﺎ
ا
ن
؟
و
ذﺎ
ا
ْ
ﺔ
؟
و
ه
ْ
ﺰ
وا
ﺟ
ْ
ﺔ
؟
ﺈذ
ا
ﺄ
ْﻮ
ْ
ر
ﺟ
تﺎ
ْ
لﺎ
:
إ
ْﺪ
تﺎ
ْ
ﻰ
.
ﺎ
ْﻮا
:
إ
ﺎ
وإ
ﺎ
إ
ْ
ر
ﺟا
ْﻮ
ن
ذ
ه
ﺑ
إ
ﻰ
أ
ﺔ وﺎﻬ ا
ﺌ
ْ
ﻷا
م
و
ﺑﺌ
ْ
ْا
ﺮ
ﺑ
ﺔ
.
Artinya: Apabila jiwa orang mukmin dicabut, maka dia disambut orang-orang
yang mendapat rahmat dari sisi Allah, sebagaimana orang yang akan memberitakan
kabar gembira disambut di dunia, lalu mereka bertanya, “Lihatlah saudara kalian agar dia beristirahat, karena dia dalam kesusahan. Yang lainnya bertanya, “ Apa yang dilakukan fulan dan apa yang dilakukan fulanah? Apakah fulanah itu sudah menikah?” Jika mereka bertanya kepadanya tentang seseorang, lalu yang ditanya menjawab, “dia sudah meninggal sebelumku”, maka mereka berkata, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Rupanya dibawa pergi ke induk neraka jahannam. Induknya menjadi buruk, begitu pula masuk kedalamnya.20
a) Penelitian Hadis
Setelah ditelusuri hadis di atas melalui kitab al-Mu'jam al-Mufahraz,21
al-Jami' al-Saghîr, Mausû'ah Atraf al-Hadîts,22 dan Miftâh Kunûz al-Sunnah, penulis
20
Ibnul Qayyim al-Jauziyah, ar-Ruh hal 30
21
A.J Wensink, al-Mu'jamal-Mufahras li Alfaz al-Hadits al-Nabawî 'an al-Kutub al-Sittah wa 'an Sunan al-Dârimî wa Muwatâ' Malik wa Musnad Ahmad bin Hanbal , j.3, h.385
22
Abû Hâjir Muhammad al-Sa'îd bin Basyûnî Zaghlûl, Mausû'ah Atrâf al-Hadîts al-Nabawî
menemukan riwayat hadis ini dari Muawiyah bin Yahya, dari Abdullah bin Salmah,
dari Abu Rahmi Al-Musma’i, dari Abu Ayyub Al-Anshary.23
b) Fiqhul hadis
Dari uraian hadis di atas ruh diklasifikasikan dalam dua macam. Ruh yang
mendapat siksaan dan ruh yang mendapat kenikmatan. Ruh yang yang mendapat
siksaan disibukkan oleh siksaan yang menimpanya, sehinggga ia tidak bisa saling
bertemu. Sedangkan ruh-ruh yang mendapat kenikmatan mendapat kebebasan dan
tidak dibelenggu, sehingga mereka bisa saling bertemu dan berkunjung serta
mengingatkan apa yang pernah terjadi di dunia dan apa yang akan dialami dialami
para penghuni dunia lainnya.
Disunnahkan untuk mengucapkan kalimat
ن
ْﻮ
ﺟا
ر
ْ
إ
ﺎ
وإ
ﺎ
إ
apabila seseorang mendengar kabar berita duka cita atau musibah.
3. Teks hadis ke Delapan
ﺎ أ
ﺪ
ﺪ و
مدأ
مْﻮ
ﺔ ﺎ ْا
و
ﺮْ
,
و
يﺪ ﺑ
ءاﻮ
ﺪْ ْا
و
ﺮْ
و
ﺎ
ْ
ﺬﺌ ْﻮ
مدا
ْ
اﻮ
إ
ْ
اﻮ
,
ﺎ أو
لوأ
ْ
ْ
ْ
ضْرﻷْا
و
ﺮْ
.
Artinya : “Aku pemimpin anak Adam pada hari kiamat dan ini bukan suatu kebanggaan. Tidaklah ada seorang nabi pada hari itu, Adam dan lainnya berada dibawah benderaku, aku adalah orang yang pertama kali dikeluarkan dari bumi dan ini bukan suatu kebanggaan.”24
a) Penelitian Hadis
23
Al- Haitsami, Mujma’ Zawaaid, kitabul janaaiz, bab fii mautil mu’mini wa ghairihi, hadis 3941. At-Tabrani, al- Mujma’ al-Kabiir hadis, hadis 4887-4888. Al-Hakim, al-Mustadrak, fii kitabi
at-tafsiir : at-at-tafsiir at-tafsiiru surah al-Qaria’h, hadis 3986.
24
Setelah ditelusuri hadis di atas melalui kitab al-Mu'jam al-Mufahraz,25 hadis
ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, al-Tirmîdzî, al-, ibn Mâjah, dan Ahmad bin Hanbal
dan menurut at-Tirmidzi bahwa kualitas hadis ini adalah hadis hasan shahih.26
b) Fiqhul hadis
Hadis di atas menerangkan bahwa, kematian itu bukan berarti ketiadaan sama
sekali, tapi kematian merupakan perpindahan dari keadaan ke keadaaan yang lain.
Sekiranya makna pingsan maksudnya adalah mati, maka itu merupakan kematian
dalam bent