• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB V"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Lima

Petani dan Ketahanan Pangan di

Subak Wongaya Betan (SWB)

Desa Mangesta, Kecamatan Penebel,

Kabupaten Tabanan

Pengantar

(2)

samping itu keseriusan Subak Wongaya Betan dalam mempertahankan dan berinovasi pada lahan garapannya adalah dengan keberhasilan subak ini meraih sertifikat beras organik dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LeSoS) No. LSPO-005-IDN-010 pada tanggal 3 Nopember 2009.

Dengan diraihnya sertifikat beras organik tersebut maka ada penghargaan dan tanggung jawab yang harus dijalankan oleh Subak Wongaya Betan untuk tetap mempertahankan areal sawah serta ling-kungan sekitarnya dan tetap menjaga produksi dengan baik dan berkelanjutan. Apakah fenomena ini merupakan sesuatu yang bernilai positif bagi wacana ketahanan pangan dan hayati baik di lingkup nasional maupun internasional. Walaupun lingkup Subak Wongaya Betan mungkin masih bersifat daerah dan relatif sempit, akan tetapi apa yang telah menjadi pencapaian subak ini akan mampu memberikan pengaruh yang positif bagi wilayah-wilayah lainnya sehingga prioritas pencapaian program ketahanan pangan1 dan hayati2 akan mampu

di-akselerasi secara lebih luas baik secara nasional maupun internasional. Melalui Bab ini akan diulas tentang pemahaman petani tentang ketahanan pangan dan ketahanan hayati yang menjadi salah satu program prioritas pemerintah Indonesia, serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petani di Subak Wongaya Betan dalam rangka mewu-judkan ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya.

Sisi Negatif Revolusi Hijau

Pada saat paket teknologi modern (Revolusi Hijau) diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960-an di Indonesia, petani anggota Subak Wongaya Betan pun harus mengikuti program-program tersebut.

1 Ketahanan pangan: menurut konsep FAO (2004) adalah bagaimana pangan (beras)

tersedia dan mampu dibeli oleh masyarakat, dan masyarakat memiliki akses untuk memanfaatkan ketersediaan pangan tersebut.

2 Ketahanan hayati (biodiversity, atau Biosecurity (CRC term) adalah bagaimana

(3)

Paket ini diawali dengan adanya program Bimas (Bimbingan Massal), yang memiliki beberapa tahapan teknologi yaitu program Panca Usaha Tani yang kemudian berkembang menjadi Sapta Usaha Tani, dan pada akhirnya menjadi Insus (Intensifikasi Khusus) dan Supra Insus. Semua program ini menekankan pada upaya mendapatkan hasil yang semaksi-mal mungkin dengan mengefektifkan teknologi. Dalam rangka me-maksimalkan hasil maka mulailah pertanian diarahkan untuk menggu-nakan varietas unggul (yang pada saat itu masih diimpor dari luar negeri), kemudian pemupukan dengan pupuk anorganik (program inilah yang mendorong petani untuk menggunakan pupuk kimia, berikutnya adalah pemberantasan hama dan penyakit (menggunakan insektisida dan pestisida kimia).

Pemerintah dalam mensukseskan revolusi hijau selain memberi-kan wewenang kepada Dinas Pertanian di masing-masing Kabupaten, seluruh aparat dari tingkat Banjar, Desa, Kecamatan sampai ke pengurus subak juga dilibatkan. Menurut hasil wawancara di lapangan dengan Pekaseh subak, pada awal pelaksanaan revolusi hijau seringkali pihak pemerintah bertindak provokatif dan arogan. Bahkan menurut Pekaseh tidak jarang pemerintah melibatkan ABRI (Angkatan Bersen-jata Republik Indonesia) untuk mendorong pelaksanaan program revolusi hijau di lapangan.

(4)

Berkat teknologi yang memaksimalkan hasil ini maka pada tahun 1984, secara nasional Indonesia mampu berswasembada beras (Sisworo, 2007). Prestasi ini membawa Indonesia berhasil mencukupi sendiri kebutuhan beras dan malahan berhasil mengekspor beras ke luar negeri. Pada saat itu memang petani dibuat percaya bahwa pemupukan kimia sebagai senjata ampuh untuk dapat berproduksi dengan cepat dan maksimal. Khusus bagi petani anggota Subak Wongaya Betan, yang sebelumnya memiliki kebiasaan menanam padi lokal (padi del) yang berumur 6 bulan, dengan paket revolusi hijau ini mereka melakukan kombinasi penggunaan benih yang bersifat genjah (umur panen 3 bulan). Dengan teknologi ini petani merasakan produktivitas lahan meningkat hampir dua kali dibandingkan dengan penggunaan varietas lokal (umur panen 6 bulan). Secara nasional, dari data yang dikemuka-kan Sutanto (2000: 15), maka Indonesia berhasil meningkatdikemuka-kan produksi berasnya sampai 50-60 persen.

Kesuksesan program maksimalisasi produksi yang pada awalnya membawa peningkatan hasil yang sangat signifikan, ternyata pada akhirnya membawa dampak yang sangat merugikan bagi elemen-elemen yang terkait di SubakWongaya Betan, misalnya seperti terjadi perubahan pola tanam, substitusi penggunaan sapi ke penggunaan traktor, cara pemanenan menggunakan ani-ani diganti dengan sabit. Di samping itu beberapa praktik tradisional yang sudah mengakar di masyarakat seperti penggunaan varietas lokal, pemupukan dengan bahan alami (lelemekan)3 dan hubungan sosial yang saling

mengerat-kan akhirnya mengalami perubahan dan malahan terdegradasi. Berda-sarkan wawancara dengan Bu Wayan (istri Klian subak) dan beberapa data pada monografi yang ada di Subak Wongaya Betan ternyata dengan pertanian modern beberapa aspek yang terkait dengan pertani-an seperti sumberdaya alam pertpertani-anipertani-an, kelembagapertani-an pertpertani-anipertani-an, praktik tradisional, ritual pertanian, dan peran perempuan dalam pertanian mengalami distorsi dan melemah.

3Lelemekan: adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran hewan, biasanya berasal

(5)

Degradasi Sumber Daya Alam

Dampak negatif pada elemen sumber daya alam dicerminkan dengan adanya penurunan kualitas lahan pertanian, hal ini dibuktikan dengan hasil analisis tanah yang dilakukan oleh BPTP (Balai pengkajian Teknologi Pertanian) Bali (Wiguna, 2006). Dari hasil analisis tersebut secara umum kesuburan tanah telah menurun drastis yang dirasakan oleh petani SWB dalam bentuk penurunan hasil yang signifikan. Di samping itu dengan adanya penanaman padi yang terus menerus (tiga kali) dalam setahun, serangan hama dan penyakit teru-tama tikus dirasakan juga sebagai hal yang mempengaruhi penurunan hasil. Hal ini tercermin dari kutipan wawancara berikut (Pak Eka, Januari 2010):

Karena pada revolusi hijau petani dianjurkan untuk menggu-nakan pupuk anorganik dan pestisida yang terus menerus sehingga terjadi kerusakan tanah pertanian dan menyebarnya penyakit seperti hama wereng coklat, wereng hijau dan juga hama tikus. Seperti petani yang berada diluar kelompok kami itu hampir tiga kali gagal panen karena hama tikus.

(6)

Pengaruh secara tidak langsung juga terjadi pada menghilangnya flora dan fauna sawah yang menguntungkan petani seperti belut, cacing, kodok, capung, dan ganggang. Hal ini tercetus dari hasil wa-wancara dan observasi di lapangan bahwa beberapa tahun belakangan ini sangat jarang ada pemandangan yang sekian puluh tahun yang silam akan sangat mudah dijumpai yaitu beramai-ramainya penduduk baik tua, muda dan anak-anak memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya pencemaran yang disebabkan penggunaan bahan-bahan kimia di pertanian maupun industri, maka secara keseluruhan kualitas air menurun dan tidak layak lagi untuk dimanfaatkan sebagai kebutuhan air untuk rumah tangga.

Memang salah satu ciri bahwa kualitas air suatu wilayah masih bagus adalah adanya flora dan fauna sawah, yang memang memiliki fungsi yang menguntungkan bagi petani, dan flora-fauna ini pernah menghilang di kawasan ini (Kartini, wa-wancara bulan Maret, 2010).

Melemahnya Sistem Internal

Subak

Sistem internal subak yang dimaksud adalah bagaimana organi-sasi subak mengatur awig-awig (peraturan) untuk mengikat anggota-nya, bagaimana organisasai subak mengatur hubungan antara anggota subak dengan lembaga tradisional lainnya seperti lembaga Adat, dan lembaga Agama di lingkungannya. Dari data empiris di lapangan ternyata adanya revolusi hijau berdampak pada tergerusnya beberapa praktik-praktik tradisional dalam pertanian yang secara turun-temurun telah dilakukan oleh petani misalnya seperti menggunakan padi lokal (beras merah), traktorisasi (petani beralih dari membajak memakai sapi ke penggunaan traktor), padahal penggunaan sapi akan jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan traktor. Seperti petikan wawan-cara berikut (Alit Artha Wiguna, 2009):

(7)

mengalami pembalikan sehingga dari waktu ke waktu lapisan yang subur dari tanah akan tergerus.

Penggunaan sapi sebagai tenaga pembajak dari segi ekonomi lebih menguntungkan karena pada saat tidak mengerjakan sawah maka sapi-sapi tersebut masih memiliki fungsi yang menguntungkan, misal-nya dimanfaatkan kotoran dan urinemisal-nya untuk pupuk organik dan juga bisa dijual. Demikian juga dari segi efisiensi waktu, hal ini karena sebagian besar posisi areal sawah di subak ini pada topografi miring. Jadi ukuran petakan sawah biasanya lebih sempit karena menggunakan sistem terasering. Petani anggota Subak Wongaya Betan telah mem-buktikan bahwa penggunaan sapi lebih menguntungkan di bandingkan dengan traktor, sehingga pada saat ini setiap kepala keluarga petani pasti memelihara minimal 2-3 ekor sapi yang dikandangkan di dekat areal sawah masing-masing. Berdasarkan hasil penuturan salah seorang informan, kadangkala sapi-sapi ini akan dimanfaatkan atau dijual pada saat petani mengalami kesulitan modal untuk usaha taninya ataupun untuk keperluan lainnya seperti pelaksanaan ritual ataupun keperluan pendidikan anak-anak mereka. Sedangkan penggunaan traktor menu-rut mereka akan memiliki nilai ekonomis yang menurun pada saat tidak ada jadwal pengerjaan sawah.

Gambar 12 Petani membajak sawah menggunakan tenaga sapi

Sumber: Martiningsih, 2010

(8)

Menurut pandangan hampir sebagian besar anggota SWB ternya-ta teknologi Panca Usahaternya-tani, Sapternya-ta Usahaternya-tani, Insus dan Supra Insus akhirnya hanya merupakan teknologi yang mengeksploitasi lahan pertanian tanpa memikirkan keberlanjutan dari lahan tersebut. Akibat dari teknologi-teknologi di atas pengolahan lahan dilakukan secara intensif dengan menggunakan bahan-bahan kimiawi sehingga keru-sakan fisik dari lahan tersebut tidak dapat dihindari. Penentuan jadwal tanam akhirnya berubah akibat adanya pasokan bibit genjah (tiga bulan panen), yang menyebabkan penanaman tidak serentak. Padahal aturan tanam dalam subak sudah ditentukan sesuai dengan aturan kertamasa4 dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi baik sanksi material, sanksi sosial, dan sanksi spiritual (berupa ritual). Implikasi dari ketidakseragaman jadwal penanaman akan berimbas pula pada aturan pelaksanaan ritual pertanian, karena dalam organisasi subak pelaksanaan ritual pertanian akan selalu terkait dengan siklus hidup dari tanaman yang ditanam. Misalnya saja ritual mendak toya yang biasanya mengawali runtutan ritual dalam subak, tidak akan mampu dilaksanakan serentak apabila jadwal penanaman tidak sama. Demi-kian juga akan berlanjut pada pelaksanaan ritual-ritual yang lainnya (Nengah, Januari 2010).

Dengan adanya varietas baru yang memiliki umur 3 bulan panen, maka semua jadwal untuk melakukan ritual pertanian dalam subak menjadi kacau. Dan hal ini sangat diyakini meru-pakan penyebab dari semakin meluasnya hama dan penyakit di kebun.

Tidak hanya itu, dengan adanya bibit genjah keragaman bibit lokal (umur panen 6 bulan) yang dimiliki petani juga telah beralih tangan. Sebelum Revolusi Hijau, Indonesia memiliki hampir 10.000 macam jenis bibit padi lokal (padi del). Semuanya tersimpan dalam IRRI (International Rice Research Institute) di Filipina dan menjadi milik AS. Kini hanya tinggal sekitar 25 jenis bibit padi lokal yang masih tersisa di Indonesia. Kearifan petani pun dimatikan dengan penyera-gaman. Kemandirian digantikan dengan ketergantungan.

Keseimbang-4 Kertamasa: penjadwalan tanam yang serempak diantara anggota subak dan sudah

(9)

an lingkungan dan sosial terganggu akibat penggunaan bahan-bahan kimia non organik tinggi seperti pupuk buatan, insektisida, pestisida, fungisida dan herbisida. Yang paling parah adalah hancurnya kelem-bagaan pertanian (terutama kelemkelem-bagaan tradisional) yang dulunya mampu mengikat masyarakat terutama petani dengan norma dan etika yang berdasarkan pada nilai-nilai tradisional yang menjunjung tinggi kebersamaan, penghargaan terhadap alam, dan menjaga hubungan dengan Sang Pencipta (hubungan subak dengan agama). Filosofi ini sangat kental dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Hindu Bali dan petani (khususnya) yang disebut dengan Tri Hita Karana (THK). Tri Hita Karana ini merupakan filosofi yang menjunjung tinggi tiga arah hubungan atau relasi yaitu menjaga hubungan dengan Sang Pencipta, membina hubungan baik dengan sesama, dan menghargai serta memelihara hubungan yang harmonis dengan alam dan ling-kungan termasuk pertanian. Konsep-konsep THK ini sampai saat ini masih diyakini masyarakat Hindu Bali yang salah satunya diimplemen-tasikan dengan pelaksanaan upacara (ritual) pada setiap kegiatan pertanian.

(10)

adanya program-program ini maka sistem kelembagaan dalam subak seolah dihapuskan fungsinya, oleh karena semuanya telah diambil alih oleh pemerintah. Apalagi dengan adanya penetapan harga dasar gabah oleh pemerintah, seolah semakin membuat petani terpasung dalam setiap gerakan dan aktivitasnya. Karena dari hasil wawancara dengan penetapan harga gabah oleh pemerintah, petani selalu memperoleh harga yang lebih rendah dibandingkan dengan jika gabah dijual kepada pembeli yang independen.

Dari kondisi ini pada akhirnya memang program ini hanya meru-pakan sebatas wacana yang dijanjikan akan mampu mensejahterakan petani. Karena ternyata sampai saat ini dengan pergantian pemerin-tahan dan kebijakan hampir 40 tahun, nasib petani masih mengalami himpitan kesulitan secara terus menerus, dan bahkan semakin menge-naskan. Hal ini dapat dilihat dari data yang dikemukakan oleh Prof. Bustanul Arifin dalam kolom Kompas Senin, 18 April 2011 bahwa dengan teknologi penggunaan pupuk kimia saat ini petani selain mendapat tekanan pada penentuan harga dasar gabah, tetapi juga pada tatanan kebijakan subsidi pupuk. Menurut data Bustanul Arifin harga eceran terendah (HET) yang ditetapkan pemerintah sering merugikan petani, padahal dari data Badan Pusat Statistik (2009) di Indonesia sebanyak 68,0 persen petani padi menggunakan pupuk kimia dan 23,5 persen menggunakan pemupukan berimbang (organik dan anorganik). Jadi secara total jumlah petani padi yang tergantung pada pupuk anorganik hampir 91 persen. Hal ini bukan saja disebabkan oleh ken-dala dari ken-dalam, tetapi juga karena tekanan negara dan situasi ekonomi secara keseluruhan yang tidak berpihak pada petani negeri ini.

(11)

banyak juga dipermainkan oleh distributor yang dalam hal ini sebagai pihak yang diberikan otoritas oleh pemerintah untuk penyebaran pupuk kepada petani. Nasib petani di negara ini hampir sama dengan judul sebuah film komedi ”maju kena mundur kena”.

Selain tantangan-tantangan di atas, ternyata ada kendala dari dalam yang juga sangat berpengaruh yaitu ketidak percayaan diri petani terhadap situasi yang menimpa kehidupan mereka sebagai petani dan juga ketidakpastian petani terhadap masa depannya sebagai seorang petani. Situasi ini akan berdampak melemahkan indentitas petani tersebut. Kehilangan identitas merupakan hal yang mendasar bagi seseorang karena manusia tanpa identitas sama dengan manusia tanpa penghargaan baik terhadap dirinya maupun penghargaan dari orang lain (Sen, 1999).

Berkurangnya Peran Perempuan

Kebijakan revolusi hijau menyebabkan petani hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh penguasa melalui penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan penyuluh pertanian spesial (PPS) selama berpuluh-puluh tahun. Petani hanya menjadi pelaksana program di tanahnya sendiri. Kepemimpinan lokal yang biasa tumbuh diantara petani dimusnahkan, begitu pula proses belajar mengajar di antara mereka. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa di antara subak atau di dalam subak sering terbentuk kelompok-kelompok sosial yang disebut sekaha. Dalam beberapa sekeha seperti sekeha manyi, sekeha nebuk, sekeha mejukut (kelompok dalam menyiang padi dan sekeha nandur (kelompok dalam menanam) lebih sering beranggotakan perempuan. Demikian juga halnya dengan beberapa perempuan di Subak Wongaya Betan yang juga menjadi anggota dari sekeha-sekeha tersebut. Salah satunya adalah mertua dari Ibu Wayan Ratmini ber-umur 65 tahun yang dulunya pernah menjadi sekeha manyi dan sekeha nebuk.

(12)

disebabkan karena hampir setiap hari mereka harus melayani orderan dari pemilik sawah yang sudah saatnya panen. Jarak yang ditempuh pun sangat bervariasi, karena jasa mereka dapat dimanfaatkan sampai ke daerah-daerah di luar Desa Mengesta dan kawasannya. Bahkan menurut ingatannya mereka pernah melakukan pemanenan sampai ke Kota Tabanan. Kalau daerah panen berlokasi jauh dari kampung halaman mereka, maka mereka biasanya menginap di tempat tersebut, bisa sampai seminggu.

Dari hasil pekerjaan mereka, maka perempuan-perempuan ini memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peningkatan pendapat-an dari keluarga mereka. Walaupun pada jampendapat-an itu upendapat-ang dicari spendapat-angat sulit, akan tetapi dengan adanya kegiatan sekeha ini maka keadaan ekonomi keluarga petani masih dapat diatasi. Pada masa sebelum padi unggul di tanam, sekeha-sekeha pun memiliki peran sebagai penyeleksi benih padi yang akan digunakan sebagai bibit pada musim tanam beri-kutnya. Sejak teknologi revolusi hijau dipraktikkan maka semua peran sekeha-sekeha ini tidak eksis lagi, karena dengan adanya penanaman padi unggul panen dapat dilakukan dengan mesin perontok yang me-merlukan sedikit tenaga. Demikian juga halnya dengan benih yang digunakan sudah disediakan oleh pemerintah melalui kios-kios benih unggul, sehingga fungsi perempuan sebagai penyeleksi benih di usaha-tani keluarga juga tidak ada lagi.

Praktik-praktik tradisional yang sebelumnya memerlukan keter-libatan perempuan, selama teknologi modern diaplikasikan melemah. Pada waktu penanaman bibit lokal, padi yang telah dipanen akan di-tumbuk terlebih dahulu dengan alat penumbuk (luu) dan ini biasanya dilakukan oleh perempuan. Demikian juga pada saat penjualan hasil panen, maka yang menjual padi ke pasar adalah perempuan. Akan tetapi karena semua sarana produksi disediakan oleh pemerintah maka harga padi dan tempat penjualannya pun ditentukan oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah sudah menetapkan Koperasi Unit Desa (KUD)5 untuk penyaluran pemasaran hasil panen. Peran perempuan

5 Walaupun saat ini melalui program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan

(13)

dengan sendirinya telah digantikan dalam berbagai aspek sampai pada proses-proses pasca panen selanjutnya.

Di samping melemahnya fungsi perempuan melalui tidak eksis-nya keberadaan sekeha-sekeha, ternyata teknologi revolusi hijau ber-dampak juga pada tidak seragamnya pelaksanaan ritual pertanian yang dilakukan oleh petani. Penggunaan benih unggul menyebabkan peru-bahan pola tanam yang berdampak pada dilanggarnya ketentuan kertamasa (penanaman serempak). Dengan penanaman yang tidak serempak, maka beberapa jadwal ritual terutama yang dilaksanakan secara kolektif oleh subak pun akan terpengaruh. Misalnya ritual ”ngusaba” yang biasanya dilakukan seluruh anggota subak beberapa hari sebelum panen tidak dapat dilaksanakan karena panen yang dilakukan oleh anggota subak tidak serempak. Jadi perempuan yang biasanya berperan sentral dalam persiapan dan pelaksanaan ritual ini tidak bisa berperan aktif. Hal ini juga melemahkan keeratan hubungan antar anggota subak. Karena dengan waktu panen yang tidak sama, maka tiap-tiap anggota subak cenderung melakukan ritual secara indi-vidu. Padahal dalam setiap pelaksanaan ritual kolektif sebenarnya terjadi interaksi yang intensif antar anggota subak melalui pelaksanaan pertemuan (sangkep), persiapan sesajen dan pada pelaksanaan ritual.

Kembali ke Warisan Leluhur (Kearifan Lokal)

Upaya mengusir hama wereng justru mendatangkan kematian bagi Wayan Pongot, seorang petani di Desa Wanasari Tabanan. Siang itu warga dikejutkan oleh kondisi yang menurun drastis dari Wayan Pongot yang baru saja pulang dari sawah habis melakukan penyem-protan hama wereng yang menyerang sebagian besar tanaman padi petani. Petani yang dikenal rajin tersebut mendadak merasakan dada-nya sesak disertai dengan mata yang berkunang dan kemudian pingsan. Pihak keluarga berusaha menolong Wayan Pongot dengan membawa ke rumah sakit tapi sayang dalam perjalanan menuju rumah sakit Pongot meninggal.

(14)

Kami tidak tahu apa yang menyebabkan kematian Pongot yang sangat mendadak. Tapi yang jelas pagi itu dia menyemprot tanaman padinya dengan pestisida tanpa memakai masker. Mungkin saja dia keracunan, karena pada saat mengaduk obat dia tidak menggunakan sarung tangan, sedangkan angin pagi itu bertiup sangat kencang. Demikianlah kenangan para petani kawan Wayan Pongot mengenang kematian temannya yang sangat tragis. ”Kata dokter memang kematian Pongot karena keracunan pestisida”, Nang Mis menambahkan.

Peristiwa mengenaskan tersebut terjadi sekitar tahun 1985 di desa tetangga yaitu Desa Wanasari. Cerita di atas sebenarnya adalah sebuah contoh tragedi yang disebabkan penggunaan bahan kimia dalam pengusahaan pertanian, tanpa diikuti dengan standar penggunaan yang benar. Hal ini merupakan hal umum yang dialami petani sejak di-canangkannya program teknologi (revolusi hijau) oleh pemerintah.

(15)

ang disarankan:

Pembangunan pertanian pada masa revolusi hijau menggiring petani untuk terjerumuskan ke dalam situasi yang memasung kreativi-tas. Petani dihadapkan pada dilema antara tuntutan untuk berproduksi maksimum dan bayang-bayang kerusakan lahan pertanian akibat peng-gunaan sarana produksi yang mengeksploitasi lingkungan pertanian. Petani benar-benar berada pada sebuah situasi yang dilematis. Situasi seperti ini terjadi pada seluruh petani di Indonesia, yang mengalami pemaksaan khas gaya pemerintahan orde baru. Walaupun pola pemak-saan yang terjadi di Bali memang sedikit berbeda dengan di daerah-daerah lain di Indonesia, karena di Bali organisasi tradisional yang ber-gerak di bidang pertanian masih memiliki kekuatan mengatur anggota-nya untuk melaksanakan suatu kebijakan. Di Bali biasaanggota-nya tekanan diberikan kepada pengurus subak. Melalui kelian6 subak setempat

maka segala instruksi pemerintah (yang kemudian diketahui lebih banyak dipengaruhi kebijakan perusahaan pertanian) petani dipaksa menggen-jot produksi lahan mereka dengan segala masukan yang berbau kimia dan instan. Pada masa itu tidak ada seorang petani pun yang berani melanggar, karena ikatan dalam struktur organisasi subak sangat kental dengan kebersamaan. Walaupun sebenarnya beberapa anggota sudah melihat akibat yang akan terjadi apabila pola bertani dilakukan seperti y

Pada saat itu kita hanya menurut dan melaksanakan apa yang sudah menjadi kesepakatan subak. Karena kalau kami sebagai anggota subak tidak melaksanakannya tentu saja kami akan berhadapan dengan sangsi dari awig-awig subak. Hal terse-but merupakan hal yang sangat tabu kami lakukan.

Demikian penuturan Pak Nengah salah seorang pengurus Subak Wongaya Betan. Lebih lanjut dia bercerita bahwa dengan asupan kimia dan teknologi yang disarankan dalam program Revolusi Hijau pada awalnya hasil yang diperoleh meningkat dibandingkan dengan cara bertani sebelum teknologi Revolusi Hijau diperkenalkan. Akan tetapi lama kelamaan sekitar tahun 1990-an petani mulai merasakan ketidak seimbangan produksi dan juga serangan hama dan penyakit yang

sema-6 Kelian subak adalah pembantu Pekasehsubak (seperti dilihat pada bagan organisasi

(16)

kin merajalela. Semakin banyak jenis hama dan penyakit yang menye-rang pertanaman petani. Kondisi fisik lahan pertanian pun semakin buruk yang dicirikan dengan tanah mengeras, air yang diperlukan lebih banyak dan lahan sering tergenang, tanah seperti tidak memiliki pori. Hal yang paling menyedihkan adalah selain produksi terus menurun, juga terjadi banyak kejadian keracunan petani.

Hasil penelitian dari Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Depar-temen Kesehatan (Kusnindar 1989 dalam Muhajir 2009) menemukan keracunan pada petani di Indonesia terjadi setidaknya pada 14 juta orang. Dari hasil penelitiannya juga hampir 37 persen petani di Indonesia melakukan penyemprotan dengan pestisida dan biasanya sebanyak 35 persen akan keracunan karena SOP (Standar Operasi Prosedur) banyak dilanggar atau tidak dimasyarakatkan. Hasil pene-litian yang agak mengejutkan juga diperoleh pada petani bawang di Brebes yang diteliti Sulistono (2007) dalam Muhajir (2009) bahwa dari 612 responden yang diwawancara ternyata petani perempuan lebih tinggi 79 persen mengalami keguguran dibandingkan dengan yang bekerja dilokasi pertanian yang lain. Sekitar akhir tahun 2009, koran lokal Balipost memuat berita tentang tingginya persentase air susu ibu yang tercemar pestisida di wilayah Bali. Pernyataan ini dikemukakan Kartini (2010) seorang ahli di bidang petanian organik. Walaupun dari penelitian Kartini ini belum jelas disebutkan tentang profesi dari perempuan yang dijadikan sampel dan bagaimana proses keracunan tersebut terjadi.

Menurut penuturan Pak Nengah sebelum revolusi hijau tersebut diberlakukan tanah di daerah kawasan Jatiluwih sangat subur. Berba-gai jenis hewan yang hidup di sawah masih dapat ditemukan dan malahan sering dijadikan lauk keluarga Pak Nengah, misalnya saja seperti belut, belauk7, dan capung. Penggunaan padi jenis unggul pun ternyata membawa dampak pada hilangnya permainan anak-anak dengan menggunakan batang padi setelah selesai panen. Pada saat sawah ditanami padi lokal, maka pemanenan dilakukan dengan ani-ani oleh ibu-ibu petani, dan sisa tangkai padi masih panjang. Tangkai padi

(17)

inilah yang sering digunakan sebagai alat permainan anak-anak petani. Akan tetapi dengan adanya padi jenis unggul sawah seolah tidak ber-istirahat untuk berproduksi, sawah ditanami terus menerus sepanjang tahun. Sebagai petani sebenarnya dapat merasakan kelelahan lahan dalam berproduksi.

Menurut Triguna (2006:627) padi dan sawah memiliki spirit kehidupan. Dari tahun ke tahun petani menggantungkan hidup pada hasil sawah yaitu padi, sehingga sawah dan padi sudah dianggap sebagai ibu pertiwi dan Dewi Kemakmuran bagi masyarakat tani. Pengandaian ini juga yang merupakan salah satu faktor penguat dalam pelaksanaan ritual dalam setiap kegiatan pertanian. Kegiatan ritual ini dilakukan turun temurun dengan maksud memohon berkah dan anugrah kepada Dewi Kemakmuran agar tanaman yang ditanam dapat berproduksi dengan baik.

Menuju Pertanian Organik

(18)

teman8 dan juga melakukan kunjungan ke Solo belajar teknologi

pengolahan limbah menjadi pupuk organik. Hasil pengolahan limbah berupa pupuk organik kemudian diaplikasikan di lahan sawah mereka masing-masing. Setelah praktik pengolahan limbah menjadi pupuk organik berhasil dilakukan oleh Pak Nengah Suarsana dan ke 3 (tiga) temannya, akhirnya pada tanggal 9 Agustus 2004 Pak Nengah Suarsana membentuk Kelompok Tani dan Ternak ”Utama Sari”. Kelompok ini beranggotakan 48 petani anggota Subak Wongaya Betan dengan Pak Nengah Suarsana sebagai ketua kelompok. Pada awalnya pembentukan KTT ini dilandasi dengan kebersamaan kepentingan untuk menanggu-langi permasalahan, menggali inovasi baru untuk kemajuan bersama dan juga dilandasi dengan kesatuan keinginan untuk mengajegkan wilayah pertanian di sekitarnya tanpa melupakan spirit agama dan budaya Hindu Bali.

He..he saya sebagai petani memang tidak pernah puas dan selalu ingin maju. Pada awalnya ketika kami memiliki rencana untuk menerapkan pertanian organik tahun 2004, Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali menertawakan kami karena dianggap mengada-ada. Akan tetapi kami sebanyak 30 orang kemudian membentuk kelompok Petani Organik. Setiap anggota petani memiliki paling tidak 5 ekor sapi yang kemudian kotorannya dan urinenya akan dimanfaatkan untuk memupuk lahan pertanian mereka. Kami melaksanakan 2 x penanaman setahun, dengan 2 bulan bera. Padi yang kami tanam adalah padi lokal. Secara umum kami mampu mencukupi kebutuhan lahan sawah kami yang rata-rata kepemilikannya 50 are sawah, 50 are kebun. Dosis yang digunakan 5 ton per ha – 10 ton per ha pupuk organik. Hasil yang dihasilkan 6-7 ton GKG per ha. Kalau pakai pupuk anorganik sampai 9 ton per ha” (Ekayasa, Nengah, Januari 2010).

Jenis usaha KTT Utama Sari ini adalah komoditas sapi potong dan pembibitan termasuk pembuatan pakan dan pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk organik yang akan digunakan untuk menuju pertanian yang berbasis organik. Akan tetapi pada praktiknya, hanya 4 (empat) petani pelopor yang menggunakan asupan organik di lahan

8 I Nyoman Suarya adalah bekas anggota TNI yang bertugas di Jawa Barat. Beliau

(19)

pertaniannya. Hal ini karena petani yang lainnya belum memahami sisi ekonomis dari pertanian organik. Menurut Pak Nengah Suarsana, hasil yang diperoleh memang lebih rendah dari pada penggunaan pupuk anorganik, akan tetapi karena harga per kilogram beras organik 2 (dua) kali lebih tinggi dibandingkan dengan beras anorganik, maka secara keseluruhan keuntungan yang diperoleh akan lebih tinggi. Demikian juga pendapat dari ibu Rama (ketua UKM Kuntum Mekar) bahwa dengan pemakaian pupuk organik, seluruh input pertanian berasal dari lahan sendiri yaitu dari benih, pupuk,maupun pestisida alami (yang di-olah dari urine sapi). Di samping itu harga beras organik per kilo-gramnya Rp. 25.000,- sedangkan beras anorganik hanya Rp. 12.000,-. Setelah hampir 2 tahun melakukan praktik pertanian organik (tahun 2004 smapai dengan tahun 2006) ternyata tidak ada anggota subak lain yang tertarik dengan praktik ini.

Pemerintah (melalui Dinas-dinas terkait) seolah tidak menyadari ada gerakan masyarakat yang berusaha melakukan penyelamatan lingkungan dan peningkatan kualitas kehidupan petani. Dengan latar belakang ekonomi yang cukup mapan dan tentu saja tekad yang kuat untuk tetap bertahan pada pertanian organik maka akhirnya Pak Suarsana dan kelompok kecilnya mengundang PPL (Penyuluh Pertani-an LapPertani-angPertani-an) untuk melakukPertani-an kajiPertani-an tentPertani-ang praktik orgPertani-anik yPertani-ang mereka terapkan. Hal ini dilakukan Pak Suarsana dengan harapan akan memberikan penjelasan secara ilmiah tentang keuntungan dan peluang praktik pertanian organik kepada masyarakat yang lebih luas terutama anggota subak lainnya. Akhirnya pada awal tahun 2006 PPL dari BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Provinsi Bali mulai melakukan kajian tentang kualitas lahan di areal SWB dan juga penyuluhan melalui Sekolah Lapangan Pertanian kepada masyarakat dan anggota Subak Wongaya Betan.

(20)

2010 adalah 200 ekor sapi, sekitar Rp. 150.000.000,- uang kas dan juga aset berupa gedung kelompok, dan lahan. Dengan perkembangan yang cukup pesat dari organisasi ini dan dengan adanya intervensi peme-rintah melalui Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan berupa pembi-naan di bidang perbaikan mutu sapi dan juga bantuan vaksinasi setiap 6 bulan. Di samping itu penyebaran ternak dengan bantuan bergulir dan penanganan limbah tetap dibimbing oleh BPTP Bali.

Sejak dilakukan pembinaan baik oleh Dinas Peternakan dan BPTP (Badan Pengkajian Teknologi Pertanian) Bali, maka eksistensi KTT Utama Sari semakin baik. Pembinaan yang dilakukan melalui Sekolah Lapang dan pelatihan ternyata sangat efektif mentransfer ilmu dan tukar menukar pengalaman antar penyuluh dan petani. Mengamati perkembangan ini akhirnya dengan prakarsa petani kooperatif yang diketuai oleh Pak Nengah Suarsana dibentuklah lembaga pelatihan P4S Somya Pertiwi (P4S) yaitu Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya. Nama ini memiliki arti yang sangat dalam yang berkaitan dengan kelestarian bumi dan sumber-sumber daya yang berkaitan dengan pertanian dan lingkungan. Seperti petikan wawancara berikut dengan Pak Nengah:

”somya artinya mensucikan...

Pertiwi artinya Tanah, sehingga somya pertiwi artinya adalah mensucikan tanah. Karena pada revolusi hijau petani dianjurkan untuk menggunakan pupuk anorganik dan pestisida yang terus menerus sehingga terjadi kerusakan tanah pertanian dan menyebarnya penyakit seperti hama wereng coklat, wereng hijau dan juga hama tikus” (Wawancara, Januari 2010).

(21)

awalnya kami sangat prihatin dengan kerusakan yang dialami oleh lahan-lahan pertanian disekitar sini, sehingga kami secara swadaya membentuk P4S ini agar dapat digunakan sebagai wadah terutama bagi generasi muda untuk memperkenalkan pertanian dengan lebih menarik...kasarnya bahwa menjadi petani juga bisa kaya....dan bisa ibu lihat sampai saat ini lemba-ga ini sudah sering mendapat kunjunlemba-gan baik dari kelompok-kelompok yang berada di Bali bahkan sering juga dikunjungi oleh kelompok dari NTB, NTT, Bogor, Jawa dan Sulawesi.

Bahkan saya pun sering jalan-jalan hampir ke seluruh Indonesia ...untuk berbagi pengalaman... (Wawancara, April 2010)

Fungsi lainnya yang sangat mendukung keinginan Subak Wongaya Betan kembali ke pertanian organik adalah sebagai pusat pengolahan pupuk organik yang berasal dari limbah sapi, babi, ayam serta melakukan pemasaran terhadap produk-produk tersebut. Salah satu produk pupuk organik yang dihasilkan P4S Somya Pertiwi dipasarkan dengan nama Fine Compost Green Valey. Pupuk ini masih dipasarkan sampai saat ini, dan merupakan salah satu produk unggulan dari kelompok P4S ini.

Gambar 13 Produk Kompos Green Valley dari P4S

(22)

Keberhasilan Pertanian Organik

Sejak tahun 2004 kelompok petani organik Wongaya Betan mulai mengusahakan lahan pertaniannya dengan masukan-organik dan beberapa dampak positif sudah mulai terlihat seperti:

Peningkatan Pendapatan Petani

Menurut informasi Ketua P4S Somya Pertiwi, sejak petani di wilayah ini beralih ke pertanian organik terdapat implikasi yang signifikan terhadap pendapatan petani seperti petikan wawancara berikut:

Walaupun dengan pertanian organik peningkatan hasil baru akan dirasakan 3-4 x musim tanam akan tetapi kalau dikalkulasi secara keseluruhan maka pertanian organik lebih menguntung-kan dibandingmenguntung-kan dengan melakumenguntung-kan pertanian anorganik. Oleh karena perbandingan harga bisa 2 x lipat kalau kita me-lakukan pertanian organik....misalnya harga padi anorganik di tingkat petani Rp. 6.000,- sedangkan harga beras organik bisa sampai Rp. 12.000,-

(23)

Walaupun belum banyak petani yang mau meniru pertanian organik yang digagas P4S, akan tetapi lembaga ini tetap terbuka untuk membantu konsultasi masalah cara-cara bertani secara organik. Di samping itu karena tidak semua anggota subak menjadi anggota lem-baga ini, maka keharusan anggota subak melaksanakan pertanian orga-nik belum masuk ke dalam awig-awig subak. Sehingga sanksi terhadap anggota pun belum dapat diterapkan. Akan tetapi dengan telah disetu-juinya sertifikasi organik pada 3 Nopember 2009 terhadap beras organikSubak Wongaya Betan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) Organik Indonesia maka, akhirnya pelaksanaan pertanian organik masuk ke dalam awig-awig Subak Wongaya Betan. Dengan diraihnya sertifikat organik maka produk beras organik Subak Wongaya Betan mulai dapat dijual langsung oleh Subak Wongaya Betan ke pasaran, sehingga keuntungan akan langsung diperoleh oleh anggota Subak Wongaya Betan karena tanpa perantara.

Sertifikat organik yang kami raih adalah prestasi bersama baik anggota subak, pembina (BPTP Bali), Dinas Pertanian Kabu-paten Tabanan dan seluruh pihak yang terkait. Akhirnya jerih payah kami selama hampir 5 tahun menunjukkan hasil. Mudah-mudahan keberhasilan ini menjadi contoh yang akan ditiru oleh petani-petani yang lain sehingga menjadi petani adalah sebuah kebanggaan.. (Wawancara, April 2010)

(24)

( a)

(b)

Gambar 14 (a) dan (b) Produk Beras Organik Bersertifikat SNI

(Dokumentasi: Martiningsih, 2010)

Perbaikan Lingkungan dan Ekosistem Sawah

(25)

Dengan pertanian organik maka makhluk hidup seperti belut, belauk, capung, kupu-kupu, ular, cacing dan ganggang saat ini semakin banyak dan juga struktur tanah akan semakin baik. Dan anehnya...hama dan penyakit seperti wereng, tikus semakin sedikit..dan malah tidak ada.. (Wawancara, April 2010)

Pada waktu mahasiswa doktoral Program Studi Pembangunan UKSW melakukan kunjungan ke lokasi Subak Wongaya Betan pada Januari 2010, terlihat di areal persawahan banyak tumbuh ganggang. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa lahan tersebut memiliki kandungan unsur hara yang baik. Di samping itu karena pemanfaatan limbah kotoran sapi maupun limbah-limbah organik lainnya seperti sekam, jerami sudah diolah baik sebagai pakan ternak organik dan pupuk organik maka pencemaran lingkungan akibat bau dan jerami maupun sekam padi sudah tidak ada lagi. Semua sudah terproses secara berkesinambungan tanpa ada yang terbuang.

Peningkatan Peran Perempuan

(26)

Ibu-ibu maupun bapak-bapak nya sekarang lebih sering sem-bahyang ke Pura Subak. Karena kami semua terus-menerus bersyukur sudah diberikan hasil yang meningkat. Walaupun sarana yang digunakan sama tetapi interval kami untuk bersujud syukur lebih sering (Wawancara, 8 Maret 2010)

Dengan semakin intensifnya pelaksanaan ritual peran perempuan dalam persiapan sesajen tentu juga semakin meningkat. Demikian juga dengan keputusan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian akan diatur kelompok yang pada lembaga P4S Somya Pertiwi dilakukan oleh perempuan taninya lihat skema manajemen P4 Somya Pertiwi. Dari skema tersebut sangat jelas bahwa peran perempuan berada di segala lini, baik di lini pertanian di lapangan (karena dengan pertanian organik pemberantasan hama dan penyakit dilakukan secara mekanis maka peran perempuan dalam pemberantasan hama dan penyakit juga semakin tinggi), peternakan, pengolahan limbah, penjemuran gabah, penggilingan gabah, pembuatan teh beras merah organik, sampai ke pemasaran.

(27)

Usaha Pengolahan

Subak

Pengolahan Padi menjadi beras

organik

Padi Organik

Peternakan Ayam

dan Sapi Dijual Langsung

Jerami

Dijual Ke Pengepul Beras

Organik

Di konsumsi sendiri Kelompok

Wanita Tani Kumtum Sari

Teh Beras Merah Organik dan Kopi Beras Organik

Gambar 15

Skema Organisasi P4S (Somya Pertiwi)

(28)

Perempuan dalam Subak

Dalam ulasan peran perempuan dan ketahanan pangan sudah sangat jelas disinggung bahwa perempuan sebagai pengelola pangan. Apalagi kalau disimak peraturan tentang pangan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996. Undang-Undang-undang ini merekomendasi-kan ketahanan pangan dapat diwujudmerekomendasi-kan bersama oleh masyarakat dan pemerintah, dan dikembangkan mulai dari tingkat rumah tangga (Ndolu, 2010). Bila ketahanan pangan rumah tangga sudah tercapai, otomatis berdampak bagi ketahanan pangan masyarakat, daerah bahkan nasional. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup ketersedia-an pketersedia-angketersedia-an yketersedia-ang cukup, tetapi juga kemampuketersedia-an mengakses (termasuk membeli) pangan dan juga tidak terjadi ketergantungan pangan. Jika pembangunan ketahanan pangan berfokus pada rumah tangga, hak perempuan terhadap pangan tidak dapat diabaikan dan harus menjadi prioritas.

(29)

Kegiatan yang saya lakukan adalah sebagai ibu rumah tangga, yaitu mengatur semua kebutuhan dan urusan rumah tangga. Selain itu juga saya melakukan kegiatan Adat juga kalau kebe-tulan ada yang punya kerja adat maka saya harus ”ngoopin” atau metulung ke rumah tetangga (membantu tetangga yang sedang punya kerja Adat). Kemudian biasanya saya mebanten Saiban di rumah sehabis masak. Kalau kebetulan ada rahinan (hari baik Agama Hindu) maka saya biasanya habis memasak langsung menghaturkan upakara (biasanya kecil seperti canang sari) keseluruh rumah sampai ke sawah (Ibu Rusmini, Maret 2010)

Dari wawancara tercermin selain sebagai ibu rumah tangga yang notabene akan mengatur semua kebutuhan rumah tangga ternyata perempuan di Subak Wongaya Betan juga mengatur waktu mereka untuk kegiatan lainnya seperti adat, membantu (ngoopin) tetangga dan kemudian dilanjutkan dengan kegiatan ritual sehari-hari.

Dari realitas di lapangan pun terlihat perempuan berperan di semua aspek kehidupan baik di ranah domestik, publik dan pertanian. Namun peran di pertanian akan terkait dengan peran religius (pelak-sanaan ritual) baik yang berkaitan dengan ritual sehari-hari maupun ritual yang terkait dengan pertanian. Seperti tersirat dalam petikan wawancara dengan Ibu Rusmini dan wawancara dengan Pak Supris berikut ini:

Saya menikah tahun 1997, sejak saat itu saya ikut suami yang kebetulan sebagai anggota Subak Wongaya Betan, sehingga saya terus terang hanya membantu suami dalam pembibitan, mena-nam, dan panen (Wawancara dengan Ibu Rusmini, Maret 2010)

Biasanya yang menyiapkan dan melaksanakan upacara terutama yang tergolong upacara kecil adalah istri saya, baik dari mem-persiapkan sampai melaksanakan, kita biasanya sebagai pihak laki-laki paling hanya membantu pada saat membersihkan pura misalnya menyabit rumput memperbaiki pematang dan saluran air. Setelah itu maka yang melaksanakan adalah istri saya (wawancara dengan Pak Supris, September 2009)

(30)

kegiat-an subak maka sering pengambilkegiat-an keputuskegiat-an akkegiat-an disesuaikkegiat-an dengan waktu perempuan anggota subak bisa melaksanakan upacara-upacara tersebut. Karena yang melakukan upacara adalah perempuan (Wiguna, wawancara September 2009).

Dalam konteks masyarakat di Subak Wongaya Betan, ketahanan pangan dapat diterjemahkan sebagai bagaimana keberhasilan panen di lahan sawah mereka tetap berlanjut, terbebas dari serangan hama dan penyakit serta terjaganya kelestarian lingkungan di sekitar sehingga masyarakat masih bisa melakukan kegiatan sehari-hari dan memper-sembahkan ritual-ritual sebagai simbolisasi rasa syukur kehadapan Sang Pencipta. Jadi ketahanan pangan dikaitkan dengan bagaimana masyarakat Wongaya Betan mampu mempertahankan kelestarian kawasan Jatiluwih yang dikenal sebagai Kawasan penyangga Catur Angga dan Jajar Kemiri. Catur Angga adalah kawasan suci disekitar kawasan Jatiluwih yang dikelilingi oleh 4 Pura yaitu Pura Petali, Pura Puncak Sari,Pura Besi kalung, dan Pura Tamba Waras. Sedangkan Jajar Kemiri adalah kawasan Catur Angga ditambah dengan 2 Pura besar lainnya yaitu Pura Puncak Kedaton dan Pura Besi Kalung. Berdasarkan kesaksian Pemangku (pendeta) Pura Dalem Wongaya Betan bahwa kawasan Catur Angga dan Jajar Kemiri ini merupakan sumber kehi-dupan masyarakat Wongaya Betan khususnya dan masyarakat Bali umumnya. Hal ini tersirat pada petikan wawancara berikut:

Kedua kawasan ini baik Catur Angga dan Jajar Kemiri meru-pakan sumber kehidupan dan kepercayaan masyarakat Bali (Hindu) karena pada kawasan inilah seluruh pengabdian dan pengorbanan sebagai manusia Hindu dipertaruhkan maksudnya dua kawasan ini merupakan kawasan Suci yang sangat dijunjung tinggi oleh seluruh Umat Hindu baik di Bali maupun diluar Bali. Jadi kawasan ini benar-benar sangat disucikan dan harus tetap dijaga kelestariannya (Wawancara, Oktober 2009).

(31)

Sama juga dengan kebiasaan kami di rumah tangga, Banjar Adat, Desa Adat maupun Subak melakukan ritual yang ditujukan untuk tanaman (tumpek wariga), Hewan (tumpek Uye), Pera-latan (tumpek Landep) maka sebenarnya kami sudah berusaha melestarikan hal yang kami upacarai. Karena misalnya hal-hal tersebut tidak kami jaga..berarti kami harus melakukan upacara untuk siapa? Untuk apa? (Wawancara, Maret 2010).

Memang menurut penuturan Pak Nyoman Alit ada beberapa orang yang berusaha menjual lahan di hulu Subak Wongaya Betan, akan tetapi sampai saat ini belum terealisasi. Hal ini disebabkan karena kuatnya keinginan anggota subak untuk tetap melestarikan lingkung-annya. Di samping itu anggota subak meyakini kegagalan makelar tanah menjual lahan karena adanya bantuan dari Sang Pencipta yang seolah tidak rela kalau lingkungan disekitar area SubakWongaya Betan tercemar.

Memang ada juga sih masyarakat yang tidak perduli dengan itu....buktinya banyak juga masyarakat (Bali Hindu) yang kerja-nya sebagai makelar tanah....seolah-olah tidak berpikir sama-sekali dengan kelestarian tanah Bali, saya anggap dia itu egois hanya mementingkan dirinya sendiri.

(32)

Dalam pembagian peran ternyata petani di Subak Wongaya Betan telah memiliki pembagian peran antara anggota laki-laki dan perempuan. Anggota laki-laki bertanggung jawab pada kegiatan-ke-giatan yang memerlukan kekuatan otot (fisik), sedangkan anggota perempuannya memiliki peran dalam mengatur rumah tangga, mela-kukan ritual dan membantu pekerjaan pertanian. Bahkan sering waktu pelaksanaan ritual disesuaikan dengan kesempatan anggota perempuan untuk melaksanakannya. Di samping itu segala keputusan yang ber-kaitan dengan ritual diserahkan kepada anggota subak perempuan.

Kesimpulan

Dari paparan Bab ini dapat disimpulkan bahwa perempuan memiliki peran yang penting dalam subak baik berperan mengelola ketahanan pangan (ikut serta dalam kegiatan di lapang mengurus tanaman) dan juga dalam pelaksanaan ritual (yang merupakan kegiatan sentral setelah mengurus tanaman) dalam subak. Dalam tingkat petani Subak Wongaya Betan (SWB) persepsi katahanan pangan adalah ke-lestarian lahan persawahan dan lingkungan sekitar sehingga sawah tetap dapat berproduksi dan ritual juga tetap dapat dilaksanakan.

\

(33)

(b)

Gambar 16

(a) pemeliharaan tanaman oleh perempuan,

(b) Pura Ulunsuwi tempat melakukan ritual secara individu

Gambar

Gambar  12  Petani
Gambar 13
Gambar 14  (a) dan (b)   Produk Beras Organik Bersertifikat SNI
Skema Organisasi P4S (Somya PertiwiGambar 15 )
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Agar dihadiri oleh Direktur perusahaan atau penerima kuasa Direktur dengan membawa data-data perusahaan yang asli sesuai dengan isian kualifikasi yang Saudara sampaikan pada

[r]

Teknik penjamin keabsahan data didasarkan pada empat kategori yaitu: uji kredibilitas (kepercayaan), transferabilitas (keteralihan), dependebilitas (kebergantungan)

Berdasarkan hasil evaluasi kualifikasi yang telah dilakukan terhadap Calon Penyedia Paket Pekerjaan Penimbunan Tanah Pilihan Desa Bumi Agung ke Desa Tugu Mulyo Dusun

Sehubungan dengan hasil evaluasi dokumen kualifikasi saudara pada Pengadaan Alat Kesenian Drumband SMP N 1 Kecamatan Nunukan Selatan, maka dengan ini kami mengundang

Dan Pavingnisasi RW IV Krandon pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Tegal akan melaksanakan Pemilihan Langsung dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara