BAB IV
KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN HIDUP
MENURUT AL-QUR’AN
A. Pengertian Kebahagiaan
Kebahagiaan hidup menurut istilah Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi disebut
“jannat al-ahlam”, surga impian. Maksudnya, semua orang memimpikan
kebahagiaan hidup tanpa memandang status sosial atau tingkat pendidikan.
Seorang raja yang hidup di istana juga masih menginginkan kebahagiaan hidup,
sebagaimana petani, buruh, dan pekerja kasar menginginkan kebahagiaan hidup.
Orang-orang jenius, pakar ilmu, dan orang-orang yang bodoh sekalipun
menginginkan kebahagiaan hidup. Semua mencari kebahagiaan hidup, tetapi
sebagian besar sulit untuk menemukan kebahagiaan itu sendiri.
Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera.
Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun
harta. Dia menyangka bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan.
Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia
lakukan untuk merebut kekuasaan. Sehab menurtnya kekuasaan identik dengan
kebahagiaan dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan sesrorang
dapat berbuat banyak. Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan.
Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan. Rakyat jelata
Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, kebahagiaan atau kegembiraan
adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kesenangan,
cinta, kepuasan, kenikmatan, atau kegembiraan. Berbagai pendekatan filsafat,
agama, psikologi, dan biologi telah dilakukan untuk mendefinisikan kebahagiaan
dan menentukan sumbernya.1
Menurut Abdul Latif, “kesejahteraan” dan “kebahagiaan” itu bukan
merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan. Kesejahteraan dan kebahagiaan
itu merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang mutlak yang
dicari-cari itu – yakni: keyakinan akan hak Ta’ala – dan penuaian amalan yang
dikerjakan oleh diri berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya. Jadi,
kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan
berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia
dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa.2
Para filsuf dan penulis banyak membicarakan definisi kebahagiaan.
Mereka memilki pandangan berbeda mengenai faktor-faktor yang memungkinkan
terwujudnya kebahagiaan hakiki. Meskipun terdapat perbedaan mengenai definisi
kebahagiaan serta faktor penyebabnya, namun terdapat sejumlah prinsip yang
tidak mungkin diperdebatkan.3
1 Wikipedia Bahasa Indonesia, Kebahagiaan, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kebahagiaan, diakses tanggal 1 Agustus 20011.
2 Abdul Latief, Konsep kebahagiaan dalam Islam, dalam http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1216&Itemid=1 , diakses tanggal 2 Agustus 2011
Pertama, kebahagiaan bersifat relatif. Apa yang dapat membahagiakan
sesesorang, boleh jadi tidak dapat membahagiakan orang lain, bahkan mungkin
menyebabkannya menderita. Kedua, secara umum, manusia meyakini bahwa
kehidupan dunia ini terbatas, dan manusia, betapapun nikmat kehidupannya
pasti akan mengalami mati.
Menyikapi tentang relativitas kebahagiaan, ada dua kelompok manusia.
Pertama, kelompok yang meyakini paham matrealisme, yang beranggapan bahwa
harta duniawilah yang dapat mewujudkan kebahagiaan hidup. Bagi mereka, berkat
harta, mereka dapat mengenyam segala kenikmatan duniawi, seperti makan,
minum, tempat tinggal, pakaian, dan berbagai perhiasan duniawi lainnya.
Kedua, kelompok yang mempercayai makna spiritual dari kehidupan
dunia itu sendiri. Mereka adalah orang yang mencibir kemewahan duniawi
sebagaimana yang diburu kaum matrealisme. Kelompok ini menyadari bahwa
kehidupan dunia adalah ladang akhirat.4
Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak terletak
pada tercukupnya kebutuhan materi, banyaknya anak atau luasnya pengetahuan
yang dicapai. Ternyata faktor dominator (yang menentukan) kebahagiaan tidak
bisa ditemukan di luar diri melainkan dari dalam diri. Faktor-faktor luar seperti
kemakmuran, kekayaan, keluarga, kedudukan, pengetahuan dan sebagainya,
adalah faktor penunjang kebahagiaan. Artinya, faktor penunjang akan dapat
menyempurnakan kebahagiaan hidup apabila sudah ditemukan faktor dominatifnya.
Dan faktor dominatif ini barada dalam diri manusia. Seseorang tidak akan
menemukan kebahagiaan jika dicari dari luar dirinya.
Al-Qur’an telah memberikan jawaban tentang faktor dominatif yang
menyebabkan orang bisa memperoleh kebahagiaan. Hal ini diisyaratkan pada
firman Allah dalam Surat Ar-Ra’du ayat 28 bahwa :
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram karenamengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tentram”. (Q.S. Ar-Ra’du: 28).5
Faktor dominatif tersebut adalah sakinah al-qalb, ketenangan hati. Orang
yang memiliki hati yang tenang, tentram, dan stabil berarti sudah mempunyai
modal yang besar untuk memperoleh kebahagiaan hidup. Jika modal ini ditunjang
dengan kekayaan, keluarga, karier yang baik, kedudukan tinggi, kesehatan prima
maka sempurnalah kebahagiaan hidup di dunia. Sebaliknya, orang yang hanya
memiliki kesehatan, kekayaan, keluarga, kedudukan, tetapi tidak memiliki
ketenangan hati, belum tentu semua itu bisa menjadi penunjang kebahagiaan.
B. Faktor Penyebab Kebahagiaan Hidup
Sebagaimana pembahasan di muka, kebahagiaan yang hakiki adalah
kebahagiaan yang bersumber dari dalam hati seseorang, yakni berupa ketenangan
jiwa. Bukan dari luar diri seseorang, seperti banyaknya harta dan anak, rumah
mewah, dan sebagainya. Keseluruhan hal tersebut memang menjadi sebagian
faktor penunjang kebahagiaan seseorang, akan tetapi hal tersebut bukanlah
menjadi faktor yang dominan. Sebab begitu banyak orang yang hidup dalam
gelimang harta, namun kenyataannya kehidupannya jauh dari kata bahagia.
Akan tetapi sebaliknya, banyak juga orang yang kekurangan harta, namun dalam
hidupnya senantiasa diliputi oleh kebahagiaan. Karena kebahagiaan yang
sebenarnya telah ada di dalam hatinya, yakni ketentraman jiwa.
Untuk memperoleh kebahagiaan hidup atau penghidupan yang baik,
Al-Qur’an mengisyaratkannya pada ayat :
Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal sholih, baik laki-laki maupunperempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya penghidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S. An-Nahl: 97).6
Berdasarkan ayat ini, jika seseorang ingin mendapatkan penghidupan
yang baik, maka orang tersebut haruslah mengerjakan amal yang sholih setelah
sebelumnya ia telah beriman. Baik laki-laki ataupun perempuan, keduanya
mendapatkan hak yang sama untuk menmperoleh pahala atas amal yang telah
diperbuatnya, yakni penghidupan yang baik, tentram dan bahagia.
Di lain tempat, Allah memberikan sebuah contoh dari hambanya yang
terpilih, untuk ditiru tingkah lakunya karena beliau telah dianugrahi oleh Allah
kebaikan di dunia dan di akhirat. Yakni Nabiyullah Ibrahim. Hal itu tersirat pada
Surat An-Nahl ayat 120-122 :
Artinya: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikanteladan lagi patuh kepada Allah dan hanif.7 Dan sekali-kali bukanlah ia termasuk orang yang mempersekutukan Tuhan, yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia dan sesungguhnya ia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang sholih”. (Q.S. An-Nahl: 120-122).8
Ayat di atas mengisyaratkan bahwasanya Allah telah menganugrahkan
kepada Nabi ibrahim kebaikan di dunia dan kelak di akhirat beliau juga akan
termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sholih. Yang artinya, beliau kelak
di akhirat juga akan mendapatkan kebahagiaan. Dalam ayat ini, dijelaskan pula
bagaimana perilaku Nabi Ibrahim yang patut diteladani, agar umat manusia bisa
mengikuti jejak beliau, yakni mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.
Diantara sifat Nabi Ibrahim yang terangkum pada ayat tersebut adalah,
pertama, beliau adalah orang yang takwa kepada Allah, patuh kepada-Nya,
menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Kedua, beliau memiliki sifat hanif,
yakni selalu berpegang pada kebenaran dan dan tak pernah meninggalkannya.
Ketiga, beliau bukan termasuk orang yang mempersekutukan Tuhan. Keempat,
7 Hanif maksudnya seorang yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya
beliau adalah orang yang senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah, mensyukuri
segala pemberian-Nya, apapun bentuknya.
Ayat tersebut dikuatkan juga pada Surat Yunus ayat 62-64 :
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiranterhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”. (Q.S. Yunus: 62-64).9
Ayat di atas kembali menegaskan bahwa wali-wali Allah, orang-orang
yang dicintai-Nya, yakni orang-orang yang beriman kepada Allah dan senantiasa
bertakwa kepada-Nya, bagi mereka tida ada kekhawatiran dan mereka tidak
akan pernah bersedih hati. Mereka dijanjikan kebahagiaan baik di dunia maupun
di akhirat.
Dari ayat-ayat di atas, daptlah dibuat suatu kesimpulan bahwa untuk
memperoleh penghidupan yang baik, kabahagiaan hidup di dunia dan di akhirat,
ada beberapa faktor yang harus dipenuhi:
1. Keimanan kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu
apapun
Keimanan adalah faktor yang pertama dan utama. Hal ini sangat
berkaitan erat dengan kedudukan hubungan antara manusia dan Tuhannya
yang begitu dekat. Dengan sebuah keprcayaan bahwa Allah itu ada, Yang
Menciptakan, Menghidupkan, Mematikan, Yang Mengatur segala sesuatu,
Yang Maha Mengawasi dan sebagainya, maka hal ini bisa menentramkan
jiwa seseorang. Allah menegaskan hal tersebut dalam surat Ar-ra’du ayat 28
bahwa: “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram
karena mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati
menjadi tentram”.
Ketika ditimpa musibah, tetap sabar. Karena dalam hatinya senantiasa
percaya bahwa semua adalah kehendak Allah dan Allah pasti memiliki rencana
terhadap musibah tersebut. Ketika mendapatkan kesenangan, senantiasa
bersyukur dan tidak membanggakan diri. Karena percaya bahwa semua adalah
pemberian dan karna fadlilah Allah semata.
Manusia memiliki dua tabiat, yaitu sifat baik/terpuji dan
sifat-sifat buruk/tercela. Keimanan yang tertanam dalam diri manusia dapat
mengembangkan sifat-sifat yang positif dan meredam sifat-sifta yang negatif.
Di sisi lain, keimanan juga berfingsi memotivasi pandangan yang positif
terhadap dunia. Bahwa dunia ini tidak hanya merupakan sebuah permainan
dan kesenangan yang menperdayakan, akan tetapi dunia merupakan lahan
Keimanan juga akan memotivasi seseorang supaya mengejar ilmu
pengetahuan. Keimanan juga akan memberi keseimbangan bagi manusia
antara pembinaan kepribadian ‘aqilah (intelektual) dan kepribadian sha’irah
(hati kecil), sehingga orang yang beriman tidak akn menjadi sengsara karena
keagamaannya dan sebaliknya, tidak akan sombong karena keberhasilan
material yang diraihnya.10
2. Takwa atau patuh kepada Allah
Dalam salah satu hadits Rasulullah pernah melukiskan bahwa iman
seseorang sebetulnya masih dalam keadaan telanjang sebelum ia diberi
pakaian, dan pakaian itu adalah taqwa.
Seorang sufi besar, Hasan al-Basri pernah melukiskan keadaan
seseorang yang sedang memakai pakaian takwa itu sebagai berikut :
“Anda akan menemuinya sebagai orang yang teguh dalam keyakinan, teguh namun penuh kebijaksanaan. Selalu menyukai keindahan, kebersihan dan kebenaran. Selalu cermat. Sederhana dalam kehidupan walaupun kaya. Terjaga identitas keislamannya walau bagaimanapun situasinya. Tinggi dedikasinya dalam menghadapi hal yang menjadi tanggung jawabnya. Dia tidak berjalan membawa fitnah. Kalau dia beruntung, segera bersyukur kepada Allah, dan kalau rugi tidak marah, tetapi sabar dan tawakkal”.11
Ketakwaan merupakan manifestasi dari iman. Oleh karenanya
ketakwaan dan keimanan merupakan dua hal yang harus senantiasa beriringan.
Seseorang yang telah memiliki keimanan dan ketakwaan dalam hatinya,
maka hidupnya akan senantiasa diliputi ketenangan dan kebahagiaan. Dan
kebahagiaan itu tidak hanya ia sendiri yang merasakan tapi juga orang-orang
yang di sekitarnya.
3. Beramal salih
Manusia adalah makhluk sosial yang harus melakukan interaksi dengan
makhluk sebangsanya. Dia tidak mungkin hidup sendiri tanpa memerlukan
orang lain dalam memenuhi seluruh kebutuhannya. Jika bersosialisasi dengan
mereka merupakan satu keharusan, sedangkan manusia memiliki tabiat dan
pemikiran yang bermacam-macam, maka pasti akan terjadi kesalahpahaman
dan kesalahan yang membuatnya sedih. Jika tidak disikapi dengan sikap
bijak maka interaksinya dengan manusia akan menjadi sebab kesengsaraan
dan membawa kesedihan dan kesusahan. Karena itulah, Islam memberikan
perhatian besar terhadap akhlak dan pembinaannya.
Seseorang tidak hanya cukup beriman dan bertakwa dalam hati saja.
Akan tetapi hal tersebut harus diwujudkan pada perbuatan yang nyata. Iman
tidak akan bermakna sebagaimana mestinya sebelum ia dibuktikan dengan
melakukan amal-amal shalih. Oleh karenanya, Allah tidak kurang dari
52 kali menggandengkan kata amanu (اونما) dengan ‘amilu al-salihat
(تاحلاصلا اولمع) dalam Al-Qur’an.12
Penggandengan ini memberi ketegasan bahwa seluruh perbuatan
manusia harus dipertanggungjawabkan di hadirat Allah, pada saat hari
pengadilan. Oleh karenanya, seluruh perbuatan manusia harus tetap dalam
petunjuk yang diberikan Allah, jika tidak ingin mengalami penderitaan
dalam hidup, baik hidup di masa sekareang atau hidup yang akan datang.
4. Hanif (selalu memegang kebenaran)
Al-Hanif berarti kemiringan atau kecenderungan dari jalan sesat
ke jalan lurus. Dalam terminologi islam, istilah ini berarti sikap lahir batin
yang berpihak kepada kebenaran Allah SWT, melalui ajaran Islam yang
dibawa Nabi Ibrahim a.s. dan Muhammad SAW.13
Istilah hanif ini sering disandingkan dengan istilah “muslim” yang
berarti “tunduk atau pasrah”. Ada dua aspek yang dapat dilihat dari konsep
hanif. Pertama, keseimbangan antara kehidupan batin dan kehidupan lahir.
Sikap yang terlalu mementingkan kehidupan batin bukanlah sikap yang hanif,
demikian pula dengan orang yang hanya mementingkan kehidupan lahir.
Keduanya harus berjalan seimbang.14
Sikap seperti ini sejalan dengan firman Allah Q.S. Al-Qashash ayat
77:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S. Al-Qashash: 77).15
13 Nina M. Aremando (ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 304 14Ibid., hlm.305
Aspek kedua, sikap batin yang tasamuh (lapang dada) dalam mencari
kebenaran dan menghargai kebenaran yang diperoleh orang lain. Oleh sebab
itu konsep al-hanifiyyah al-samhah (semangat pencarian kebenaran yang
lapang) sangat erat kaitannya dengan ukhuwah islamiyah (persaudaraan
Islam), bahkan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyyah).16
5. Syukur terhadap nikmat yang telah Allah berikan
Orang yang senantiasa bersyukur terhadap semua pemberian Allah,
maka tidak akan ada kegelisahan dan kegalauan dalam hatinya. Jika diberi
sedikit oleh Allah, hatinya telah lapang, dan ia tetap bersyukur. Jika ia
mendapat karunia yang besar dari Allah, ia juga tidak akan takabbur, karena
ia tahu bahwa semuanya adalah pemberianNya dan milikNya yang
sewaktu-waktu bisa diambil-Nya kembali.
Sebagaimana yang telah diperintahkan Allah, dalam Surat Ibrahim
ayat 7:
Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmatKu, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Q.S. Ibrahim: 7).17C. Pengertian Kesengsaraan
Kesengsaraan merupakan kata jadian dari kata dasar sengsara yang
bermakna: (1) kesulitan dan kesusahan hidup; penderitaan (2) menderita
kesusahan, kesukaran.18 Sedangkan kesengsaraan adalah perihal atau keadaan
hidup yang sengsara.
Kesengsaraan dapat diartikan sebagai kehidupan yang sulit dan pahit,
serba kekurangan, serba memprihatinkan, dan menimpa dalam tempo yang
relatif tidak sebentar.19
Masalah kebahagiaan (sa’adah) dan kesengsaraan (shaqawah) adalah
masalah kemanusiaan yang paling hakiki. Sebab tujuan hidup manusia tak lain
ialah memperoleh kebahagiaan dan menghindari kesengsaraan. Semua ajaran,
baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduniaan semata (seperti
Marxisme, misalnya) menjanjikan kebahagiaan bagi para pengikutnya dan
mengancam para penentangnya dengan kesengsaraan. Gambaran tentang wujud
kebahagiaan atau kesengsaraan itu sangat beranekaragam. Namun semua ajaran
dan ideologi selalu menegaskan bahwa kebahagiaan yang dijanjikannya atau
kesengsaraan yang diancamkannya adalah jenis yang paling sejati dan abadi.
Dalam agama-agama, gambaran tentang wujud kebahagiaan dan kesengsaraan
itu dinyatakan dalam konsep-konsep tentang kehidupan di surga dan di neraka.20
Kebahagiaan atau kesengsaraan itu dapat terjadi di dunia dan akhirat.
Kitab Suci al-Qur'an menyajikan banyak ilustrasi dan penegasan yang kuat
tentang kebahagiaan dan kesengsaraan. Dalam sebuah firman disebutkan tentang
18 Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 1037
19 Pesantren Hidayatullah Yogyakarta, Bila Kesengsaraan Menyerang, dalam http://www.ibshidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=144:bila-kesengsaraan- menyerang&catid=37:c, diakses tanggal 09 Agustus 2011
terbaginya manusia ke dalam dua kelompok: yang sengsara (shaqiyy, penyandang
shaqawah, yakni, kesengsaraan) dan yang bahagia (sa'id, penyandang sa'adah,
yakni kebahagiaan). Al-Qur’an menjelaskannya pada Surat Hud ayat 105-108 :
Artinya: “Jika Hari (Kiamat) itu telah tiba, maka tiada seorang pun akanberbicara kecuali dengan izin-Nya Mereka manusia akan terbagi menjadi dua; yang sengsara dan yang bahagia. Ada pun mereka yang sengsara, maka akan tinggal dalam neraka, di sana mereka akan berkeluh kesah semata. Kekal abadi di dalamnya, selama langit dan bumi masih ada, kecuali jika Tuhanmu menghendaki hal berbeda. Sebab Tuhanmu pasti melaksanakan apa saja yang menjadi kehendak-Nya. Ada pun mereka yang bahagia, maka akan berada dalam surga, kekal abadi di dalamnya, selama langit dan bumi masih ada kecuali jika Tuhanmu menghendaki hal berbeda, sebagai anugerah yang tiada batasnya.”(QS. Hud/11:105-108)
Islam mengajarkan kebahagiaan dan kesengsaraan jasmani dan rohani
atau duniawi dan ukhrawi, namun tetap membedakan keduanya. Dalam Islam,
seseorang dianjurkan mengejar kebahagiaan di akhirat, namun diingatkan agar
jangan melupakan nasibnya dalam hidup di dunia ini.21 Itu berarti memperoleh
kebahagiaan akhirat belum tentu dengan sendirinya memperoleh kebahagiaan
di dunia. Sebaliknya, orang yang mengalami kebahagiaan duniawi belum tentu
akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Maka manusia didorong mengejar
kedua bentuk kebahagiaan itu, serta berusaha menghindar dari penderitaan azab
lahir dan batin.22
Walaupun begitu, banyak pula dijanjikan kehidupan yang bahagia sekaligus
di dunia ini dan di akhirat kelak untuk mereka yang beriman dan berbuat baik.
Kehidupan yang bahagia di dunia menjadi semacam pendahuluan bagi kehidupan
yang lebih bahagia di akhirat. Sebagaimana firman-Nya pada Surat An-Nahl
ayat 97 yang artinya:
Artinya: “Barangsiapa berbuat baik, dari kalangan pria maupun wanita, dan dia itu beriman maka pastilah akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan pastilah akan Kami ganjarkan kepada mereka pahala mereka (di akhirat), sesuai dengan sebaik-baik apa yang telah mereka kerjakan”. (Q.S. Al-Nahl: 97).
Demikian itu masalah kebahagiaan, demikian pula masalah kesengsaraan.
Orang yang ingkar kepada kebenaran dan berbuat jahat diancam baginya
kesengsaraan dalam hidup di dunia ini sebelum kesengsaraan yang lebih besar
kelak di akhirat.
Adapun orang-orang yang jahat, maka tempat mereka adalah neraka.
Setiap kali mereka hendak keluar dari sana, mereka dikembalikan ke dalamnya,
sambil dikatakan kepada mereka:"Sekarang rasakanlah azab neraka ini, yang
dahulu kamu dustakan. “Dan pastilah Kami (Tuhan) buat mereka merasakan
azab yang lebih ringan (di dunia ini) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat
nanti) agar kiranya mereka mau kembali”. (Q.S. Al-Sajdah: 20-21).
D. Faktor Penyebab Kesengsaraan Hidup
Allah SWT berfirman dalam Surat Thaha ayat 124 :
Artinya: “Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, makasesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thaha: 124).23
Dank artinya “sempit”. Dalam Thaha ayat 124 Allah menegaskan bahwa
mereka yang tidak mau mengingat-Nya atau menyebut Nama-Nya maka yang
akan diperoleh adalah kehidupan yang sempit, yaitu merana di dunia dan masuk
neraka di akhirat.
Menurut Tafsir Depag, ayat ini menerangkan tentang orang-orang yang
berpaling dari ajaran al-Qur’an, tidak mengindahkannya dan menentang
petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya maka sebagai hukumannya dia akan selalu hidup
dalam kesempitan dan kesulitan. Dia akan selalu bimbang dan gelisah walaupun
dia memiliki kekayaan, pangkat, kedudukan karena selalu dihantui oleh pikiran
dan khayalan yang bukan-bukan tentang kekayaan dan kedudukannya itu. Dia akan
selalu dibayangi oleh momok kehilangan kesenangan yang telah dicapainya
sehingga ia akan melakukan tindakan-tindakan untuk mempertahankannya yang
menimbulkan kebencian dan kerugian di masyarakat. Kemudian di akhirat nanti
ia akan dikumpulkan Allah bersama manusia lain dalam keadaan buta mata
hatinya.24
Menurut M. Quraish Shihab, kehidupan yang sempit adalah kehidupan
yang sulit dihadapi, lahir atau batin. Kehidupan yang demikian menjadikan
seseorang tidak pernah merasa puas, dan selalu gelisah, karena dia tidak menoleh
kepada hal-hal yang bersifat ruhaniyah, tidak merasakan kenikmatan ruhani
karena mata hatinya buta dan jiwanya terbelenggu oleh hal-hal yang bersifat
material.25
Siapa yang melupakan Allah atau tidak berdzikir dan mengingat-Nya,
maka tidak ada lagi sesuatu yang diingatnya kecuali kenkmatan duniawi. Itulah
yang menjadi idamannya dan perhatiaannya dan yang selalu ia upayakan untuk
meraih sebanyak mungkin. Tetapi karena kehidupan manusia sangat terbatas,
dan apa yang terbentang di alam raya yang terlihat olehnya masih banyak, maka
ia tidak pernah merasa puas. Jika mendapat satu, ia ingin dua. Jika mendapat
dua, ia menginginkan yang lebih banyak lagi. Oleh karena itu ia selalu merasa
berkekurangan dan hidupnya selalu terasa sempit.