• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catatan tentang Wacana Governance dan Demokratisasi di Filipina - JOELROCA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Catatan tentang Wacana Governance dan Demokratisasi di Filipina - JOELROCA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Catatan Tentang

Wacana Governance dan Demokratisasi di Filipina1

Oleh: Joel Rocamora

Pembahasan tentang governance adalah fenomena baru di kalangan LSM. Di masa lalu, hanya segelintir LSM yang membahas mengenai governance, atau proyek-proyek yang terkait dengan isu governance dan demokratisasi. Saat ini, hampir setiap orang mencari peluang untuk dapat terlibat dalam pembahasan issue tersebut. Issue tentang

governance dan demokratisasi (GD) cenderung menggantikan issue pembangunan berkelanjutan yang selama ini menjadi kata kunci bagi komunitas pembangunan Filipina.

Penting untuk memahami situasi tersebut yang bukan hanya kompleks melainkan juga dinamis. Beberapa masalah yang timbul terutama berkaitan dengan jumlah dana (untuk proyek GD) yang melebihi dana proyek-proyek LSM pada umumnya. ODA2 adalah sumber dana utama bagi proyek GD. Hal ini menimbulkan persoalan serius bagi koalisi LSM. Karena dana yang berlebih tidak berarti mendukung perluasan kerja. Terlebih lagi, LSM yang berkiprah dalam bidang pembangunan, HAM, politik dan bidang-bidang akademik lain menghadapi kesulitan masuk dalam wacana GD. Sehingga banyak LSM mengalami disorientasi (dalam berbagai bentuk). Salah satu penyebab disorientasi berkaitan dengan sumber dana utama bagi proyek-proyek GD yang berasal dari ODA dimana hal ini berbeda sekali dengan proyek-proyek dalam bidang pembangunan yang lain karena. kecenderungan desain proyek-proyek yang didanai ODA telah ditentukan sebelumnya oleh donor-donor ODA, sehingga fungsi LSM (penerima dana) hanya sebagai pelaksana.

Serangkaian masalah yang bersifat politis dihadapi oleh sejumlah LSM yang menjadi kontraktor proyek GD dari USAID. Bukan hanya kelompok ND3 yang menghadapi masalah dalam menggunakan dana USAID. Hal ini disebabkan kelompok politik yang lain mencoba mempertahankan perspektif anti Amerika dalam rangka menghadapi perspektif lain yaitu anti diktator. Dalam konteks tersebut, masalah utama bukan terletak pada keengganan untuk memanfaatkan dana USAID, melainkan pada konsekuensi yang ditimbulkan yaitu keresahan karena mereka tidak sepenuhnya memahami agenda yang dinamakan “imperialisme Amerika”. Kegelisahan dan disorientasi tersebut dipersulit dengan fakta yang menunjukan bahwa proyek-proyek yang ditawarkan (oleh lembaga donor) sesungguhnya adalah proyek yang menarik.

Demokratisasi dan Kapitalisme International

Wacana GD pada tahun 1990-an identik dengan wacana yang dianut lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia, OECD, dan negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika. Keterlibatan berbagai pihak dalam proyek-proyek GD berada dibawah panduan Bank Dunia dan Amerika. Dalam konteks GD, Bank Pembangunan Asia (ADB) adalah lembaga multilateral yang menyusul kemudian. Berdasarkan fakta tersebut, wacana GD mau tidak mau harus dipahami dalam konteks kepentingan dan agenda kapitalisme international, dan lembaga-lembaga nasional maupun multinasional yang mendukungnya.

Tekanan Barat terhadap pemerintah negara-negara Selatan untuk menerapkan demokrasi adalah satu bentuk percepatan penetrasi Barat terhadap perekonomian negara-negara Selatan yang seringkali dikemas dalam terminologi “globalisasi”. Untuk mendukung skenario tersebut, konsep demokrasi liberal (versi Barat) dicoba untuk

1 Artikel ini adalah laporan pendahuluan yang memuat pokok-pokok pikiran dari sebuah rencana artikel lain yang masih harus dilengkapi dengan

penelitian yang lebih mendalam. Oleh sebab itu, judul artikel ini menggunakan kata “catatan”.

2 ODA adalah singkatan dari Offical Development Assistance. Sumber dana ODA adalah dari pihak pemerintah seperti pemerintah Amerika atau

Belanda. Selain itu ODA juga mendapat dukungan dana dari bank-bank multilateral seperti Bank Dunia.

3 ND adalah singkatan dari National Democrats. Dalam konteks ini ND adalah bagian dari LSM atau komunitas gerakan sosial lainnya yang

(2)

diterapkan pada negara-negara Selatan, terutama aspek anti negara dan penyamarataan antara “demokrasi” dan “pasar (market)”. Perdagangan dan bentuk-bentuk lain dari liberalisasi ekonomi dikemas dalam paket “demokratisasi”.

Pada saat banyak negara-negara Selatan menghadapi korupsi dan inefisiensi birokrasi, dukungan terhadap penerapan liberalisasi ekonomi semakin kuat. Dukungan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa demokrasi dapat dicapai hanya jika pemerintah mau melepaskan sebagian besar aktifitas ekonomi kepada pihak swasta, dengan kata lain: serahkan fungsi-fungsi ekonomi kepada mekanisme pasar!

Dewasa ini pergeseran peran negara dalam aktifitas ekonomi antara lain diilhami oleh berbagai perubahan penting dalam ekonomi global. Selanjutnya fenomena tersebut secara substantif juga mengubah lingkungan di sekitar negara. Pengaruh ekonomi global dan penyebaran paham demokrasi telah mempersempit ruang bagi perilaku sewenang-wenang dan inkonsistensi kebijakan. Mekanisme pajak, ketentuan investasi, dan kebijakan ekonomi harus selalu responsif terhadap parameter ekonomi global. Perubahan teknologi telah membuka peluang baru bagi pelayanan yang tak terbatas dan membuka peluang lebih besar bagi pasar. Bagi pemerintah, semua perubahan tersebut berarti pula peran baru yang sama sekali berbeda dengan peran di masa lalu - pemerintah bukan lagi agen tunggal penyedia (jasa, fasilitas) melainkan hanya sebagai fasilitator dan pembuat peraturan (Bank Dunia, 1997:1).

Alasan utama mengangkat wacana GD, terutama karena wacana tersebut terus menerus disebarkan oleh kapitalisme international, juga oleh lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan pemerintah negara-negara kapitalis lama yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Pertanyaan yang timbul adalah: mengapa terjadi pergeseran dukungan (negara kapitalis) dari paham otoriter ke paham demokrasi? Mengapa mereka yang semula selama puluhan tahun mendukung rejim otoriter seperti Somoza, Marcos, Mobutu, kemudian beralih mendukung demokrasi? Mengapa demokratisasi di negara-negara Selatan menarik perhatian kapitalisme internasional?

Pertanyaan tersebut dapat pula dilihat dari sudut pandang lain. Jika globalisasi merupakan salah satu tahapan ekspansi kapitalis ke negara-negara Selatan, mengapa kemudian isu demokratisasi yang dipilih sebagai strategi mereka? Apakah hal itu dikarenakan demokratisasi merupakan aspek anti negara dari paham neo-liberalisme? Apakah tergesernya pemerintah otoriter di Selatan juga mencerminkan pemerintah yang lemah? Apakah mungkin kapitalisme international pada intinya ingin menggeser para proteksionis dan pemimpin (negara Selatan), untuk selanjutnya mendukung kelompok elit untuk mendapatkan kekuasaan dan membuka jalan bagi ekspansi kapitalis dalam perekonomian Selatan?

Demokrasi dan Pembentukan Negara

Sebelum membahas lebih jauh tentang demokrasi dan pembentukan negara, berikut ini beberapa klarifikasi tentang demokrasi itu sendiri. Pertama-tama perlu diingat bahwa jenis demokrasi yang disebarkan oleh negara-negara Utara adalah sangat spesifik. Demokrasi dalam pengertian ini adalah sesuatu yang formal, konstitusional dan bernuansa Barat. Demokrasi versi negara-negara Utara memisahkan politik di satu sisi dan struktur kekuasaan ekonomi di sisi lain. Secara ideologis, hal tersebut merupakan bagian dari aspek anti negara dari paham neo liberalisme. Jika dihubungkan dengan pandangan Lockian (digabungkan dengan pandangan Thatcherite yang lebih modern), demokrasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berkurangnya peran pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan bernegara (less government).

(3)

Dalam hal ini, penting untuk membuat pembedaan antara demokratisasi di bekas negara-negara sosialis dengan demokratisasi di negara dunia ketiga non-sosialis. Pada dekade 1990-an, demokratisasi di Selatan paling tepat dilihat dari beberapa peristiwa yang saling “bertemu” yaitu runtuhnya blok sosialis, penolakan terhadap program liberalisasi perdagangan yang didukung oleh World Trade Organization , dan fenomena „emerging markets‟. Runtuhnya Uni Soviet dan blok sosialis, merupakan salah satu alasan penting berakhirnya dukungan Barat terhadap rejim otoriter di Selatan. Dalam rangka mempercepat masuknya barang dan jasa (terutama jasa keuangan), rejim yang proteksionis dan otoriter harus segera disingkirkan atau dipaksa untuk menjadi demokratis.

Sekarang kita kembali pada pertanyaan terdahulu apakah penyingkiran pemerintah otoriter di Selatan berarti pemerintah tersebut lemah? Dari sudut pandang Barat, penolakan terhadap rejim otoriter yang dilakukan bersamaan dengan program pemerintah (membangun demokratisasi), justru memperkuat pemerintah tersebut.

Pertentangan muncul bila kita melihat ideologi demokratisasi hanya dari sudut pandang Barat atau dari proses kapitalisme international. Dari kedua sudut pandang tersebut, sudah jelas tidak ada kontradiksi. Fakta menunjukan bahwa pemerintah otoriter di negara-negara Selatan dikendalikan oleh kelompok elit. Sumber kekayaan kelompok tersebut adalah pada aktifitas ekspor hasil pertanian atau industri manufaktur yang dibangun pada masa jaya industri substitusi impor pada tahun 1950-an dan 1960-an. Kelompok elit “modern” di negara tersebut adalah mereka yang bergerak di sektor finansial atau ekspor barang-barang non-tradisional yang bergantung pada bahan baku impor. Kelompok elit “modern” juga merupakan pecahan kelas elit yang diperlukan oleh modal internasional sebagai mitra lokal dalam rangka percepatan globalisasi.

Terlepas dari persoalan otoriter atau tidak, pemerintah di negara Selatan cenderung memiliki kapasitas yang terbatas. Dalam jargon ilmu politik, kondisi tersebut dinamakan “weak states”. Bagi pebisnis asing, kondisi ini menimbulkan masalah baik politik maupun ekonomi. Pemerintah yang lemah juga berarti pemerintah yang berkemampuan rendah untuk menjamin stabilitas politik - sesuatu yang sangat diperlukan oleh investor. Pada tingkat minimum, pemerintah harus memiliki kontrol terhadap kecenderungan timbulnya kekerasan, kemampuan untuk menjamin ketertiban dan keamanan, dan menjamin keberpihakan militer kepada pemerintah.

Transparansi, adalah salah satu aspek penting dari GD yang harus dipahami dari sudut pandang ekspansi besar-besaran pemodal internasional. Transparansi adalah salah satu aspek kunci dari globalisasi. Percepatan arus keluar masuk uang dapat diumpamakan sebagai seorang manajer keuangan yang mensyaratkan data terbaru fiskal dan moneter selalu tersedia dalam hitungan menit. Data tersebut juga diperlukan oleh pemerintah otoriter yang seringkali menyembunyikan atau mengoreksinya. Pemerintah otoriter dalam hal ini adalah pemerintah yang didampingi oleh kroninya dan terdapat hubungan yang “baik” antara aparat pemerintah dan klien bisnis mereka4.

Sebagaimana telah diungkapkan dimuka, salah satu aspek demokratisasi adalah berkurangnya intervensi pemerintah dalam perekonomian di banyak negara-negara “kuat” di Selatan. Di sisi lain, sebagian negara-negara Selatan justru ingin memperkuat intervensi pemerintah dalam perekonomian negaranya. Seorang cendikiawan Amerika menyatakan: “Filipina tidak mampu untuk menyediakan prasyarat administratif maupun hukum yang diperlukan oleh IMF, Bank Dunia, dan pemerintah kolonial (masa lalu) yang menerapkan model laissez-faire dalam rangka membangun Filipina”. Polanyi menyatakan bahwa sejarah laissez-faire mensyaratkan „peningkatan pesat fungsi

administrasi negara‟. Terkalahkan oleh banyak kepentingan sebagian kecil aparat pemerintah yang berkuasa, Filipina tidak mampu untuk menyediakan “political and procedural predictability” yang diperlukan dalam membangun kapitalisme (Hutchcroft, 1993: 580-581).

Dua hal pokok yang menjadi perhatian Utara dalam program untuk negara Selatan adalah desentralisasi dan anti korupsi. Kedua hal tersebut juga dapat dipahami dari sudut kepentingan investor asing. Program desentralisasi tidak perlu dilihat sebagai sesuatu yang memperlemah posisi pemerintah pusat. Justru program tersebut dapat memperkuat kapasitas pemerintah lokal untuk menjalankan program pemerintah pusat. Hal ini terutama terkait dengan aspek

(4)

infrastruktur yang merupakan satu bentuk pelayanan jasa (dalam bidang ekonomi) yang disediakan pemerintah. Di sisi lain, korupsi dilihat sebagai “biaya tambahan” bagi investor yang dapat mengganggu pasar di tingkat lokal.

Wacana GD di Filipina

Wacana GD di Filipina dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu: liberalisasi ekonomi dan prasyarat politiknya, reformasi politik dan desentralisasi. Proyek GD yang didanai oleh ODA cenderung terfokus pada aspek desentralisasi. Namun demikian sejumlah besar dana juga dialokasikan bagi pengembangan kapasitas pemerintah pusat. Donor ODA cenderung untuk menghindari pendanaan reformasi politik karena bidang tersebut - khususnya perubahan UU - merupakan bidang yang kontroversial. Bidang tersebut banyak “diserahkan” kepada lembaga donor swasta. Pada tingkat implementasi, program pengembangan kapasitas pemerintah pusat sebagian besar diserahkan kepada konsultan asing maupun lokal. LSM jarang dilibatkan dalam program tersebut. Oleh karena itu program ini cenderung tidak menyentuh wacana LSM-GD.

Dewasa ini, semakin banyak perhatian tercurah pada issue liberalisasi beserta dampak politisnya. Salah satu contohnya adalah pada diskusi ratifikasi pakta GATT dan diskusi menjelang KTT APEC, di mana sebagian besar komunitas LSM-KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) terlibat dalam diskusi yang membahas issue liberalisasi perdagangan. Dalam diskusi tersebut, dampak ekonomi dari liberalisasi perdagangan dibahas secara intensif, namun dampak politiknya tidak mendapat porsi pembahasan yang memadai. Diskusi terutama berkembang pada aspek hilangnya kedaulatan ekonomi, terutama pada pembatasan peran pemerintah dalam menerapkan kebijakan industri sebagai konsekuensi dari dibebaskannya arus investasi.

GD dan Desentralisasi

Sampai saat ini, isu yang paling banyak dibahas dalam wacana GD di Filipina adalah desentralisasi dan topik-topik yang terkait dengan komunitas LSM-KSM di tingkat lokal. Kedua isu tersebut sangat dominan, sehingga banyak pengamat cenderung berasumsi bahwa kedua isu tersebut adalah keseluruhan isu dalam wacana GD di Filipina. Selain dominan, kedua isu tersebut paling banyak menyedot perhatian internasional. “Filipina adalah pusat penelitian paling kaya bagi pembahasan tentang pemerintah baru, terutama yang terkait dengan aspek desentralisasi, otonomi daerah, dan partisipasi skala besar komunitas publik - semua dalam kerangka proses demokrasi” (Ellison, 1998:1).

Inti dari wacana GD di Filipina adalah peluncuran Local Government Code (LGC) pada tahun 1991. Pemindahan fungsi-fungsi pemerintahan (dari pusat) kepada Local Government Unit (LGU) dalam skala tertentu memang telah menimbulkan masalah, misalnya kasus Departemen Kesehatan, perluasan pertanian, dan perikanan. Namun demikian terdapat pula optimisme, terutama yang menyangkut kemungkinan untuk meningkatkan kemampuan finansial LGU dengan bantuan LGC. Dewasa ini LGU secara otomatis mendapat 40% dari pendapatan pajak domestik. Sebelumnya LGU harus bernegosiasi dengan pemerintah dalam hal persentase pajak yang menjadi hak mereka, sementara LGC hanya mendapat 11% dari pendapatan pajak domestik. Saat ini LGU diberi kewenangan untuk mendapatkan pinjaman baik melalui pinjaman bank, surat obligasi, maupun penjualan saham. Demikian pula kemampuan mereka mendapatkan pajak, lebih besar.

(5)
(6)
[image:6.612.73.543.142.701.2]

Tabel berikut memperlihat, peran yang dimainkan tiap lembaga donor dalam rangka menerapkan desentralisasi di Filipina, sbb:

Catatan tentang wacana governance dan demokratisasi di filipina

Lembaga Donor Asing

Kegiatan Tujuan Program

USAID 1. Local Development Asistance

Program (LDAP), 1990-1995. LDAP memfokuskan kegiatannya pada implementasi LGC dan mendukung masuknya wakil LSM-KSM dalam pemerintahan.

2. Governance and Local Democracy (GOLD). GOLD menerjemahkan isu demokratisasi dalam konsep proyek. Konsep tersebut diujicobakan di 11 propinsi, kotamadya dan desa.

 Mendukung kebebasan dalam pemilihan alternatif sumber daya, kewenangan administrasi yang lebih besar, dan bentuk-bentuk lain dari program peningkatan kemampuan LGU.

 Mendukung peningkatan peran swasta di tingkat pemerintah lokal, dalam rangka mendapatkan dukungan yang lebih besar dari LSM, guna mendukung proses desentralisasi.

 Memfasilitasi partisipasi LSM-KSM yang lebih besar, melalui training bagi LGU, guna membangun sikap positif di kalangan LSM terhadap pemerintah lokal.

 Mendukung formulasi “agenda demokrasi”, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pro-demokrasi.

CIDA (Canadian International Agency)

1. Policy Forum and Technical Assistance Facility (PFTAF).

2. Local Government Support Project (LGSP).

 Mendukung partisipasi LSM dalam

proyek-proyek sektor publik

 Membantu LGU di tiga wilayah.

European Union 1. EU PRISP  Memfokuskan pada program pembangunan

yang memiliki komponen pemerintahan skala kecil.

Bank dunia dan Bank

Pembangunan Asia (ADB)

Dari perspektif Bank Dunia dan ADB, intervensi yang mereka lakukan seolah-olah bersifat “non-politis”.

 Cenderung melihat GD, terutama sebagai

masalah “administrasi”, dengan

kecenderungan kedua institusi untuk secara “superior” menekankan pada aspek partisipasi dan HAM.

 Menyusun kerangka kerja yang meletakan GD sebagai bagian dari upaya mengoptimalkan sumber daya untuk pembangunan.

KAS (Konrad Adenauer Stiftung)

 Mendukung kegiatan bisnis dan proyek-proyek pemerintah, termasuk partai utama Lakas-NUCD.

Ford foundation and TAF (The Asia

Foundation)

Galing Pook Awards (oleh Ford foundation)  Mengarahkan perhatian publik pada inisiatif pemerintah lokal yang patut diteladani.

(7)

Semakin lama semakin banyak donor ODA yang mengikuti jejak USAID dan CIDA dalam program GD di Filipina. Dalam hal ini termasuk donor dari lembaga-lembaga PBB seperti UNDP, Aus Aid, lembaga donor swasta, dan lembaga Jerman seperti Friedrich Naumann Stiftung (FNS). Lembaga terakhir adalah salah satu yang paling aktif dalam mendukung proyek GD di kalangan LSM dan KSM.

Variasi program-program ODA tidak hanya berkisar pada persoalan substantif, melainkan juga strategi untuk meningkatkan kualitas GD itu sendiri. Jenis-jenis program ODA adalah sbb: 1) Proyek bantuan kepada pemerintah berupa bantuan teknis dan pelatihan. Proyek ini paling lazim ditemui dan sangat sedikit melibatkan LSM; 2) Mendukung kemitraan pemerintah dan LSM. Pada umumnya proyek ini menempatkan LSM sebagai pelaksana proyek atau program; dan 3) Mendukung masyarakat madani dalam membuat “pernyataan”. Sebagai contoh adalah dukungan USAID bagi koalisi LSM, PCIJ, dan kelompok hukum alternatif seperti Pusat Sumber Daya Hukum.5

Wacana GD di Kalangan Lembaga Donor

Di kalangan lembaga donor, wacana GD yang mereka miliki mungkin berbeda satu sama lain. Wacana GD di kalangan LSM tampaknya mengikuti versi Bank Dunia. Bahkan sebagian orang menyebut bahwa Bank Dunia telah “mengkooptasi” wacana GD di tingkat LSM. Bank Pembangunan Asia memiliki wacana yang secara terbuka memuat konsep “anti negara”. Sebuah dokumen Bank Pembangunan Asia menyebutkan “…lingkup kerja operasional pemerintah harus dibatasi. Pemerintah tidak seharusnya berperan sebagai pengusaha di lini terakhir, atau sebagai pemberi perlindungan. Dalam perekonomian, pemerintah tidak seharusnya menduduki posisi pemberi perintah. Pemerintah sebaiknya merancang setiap langkahnya secara hati-hati dan selektif, dengan memfokuskan diri pada kegiatan inti tertentu” (ADB, 1997:1).

Identifikasi lembaga tertentu dengan wacana tertentu, mungkin saja akan menimbulkan protes. Demikian pula halnya dengan aparat pemerintah dan lembaga donor yang mungkin saja merasa keberatan diidentifikasi dengan satu wacana tertentu. Namun demikian, saya yakin mereka saling bertukar informasi tentang wacana yang dianut. Kenneth Ellison menyatakan ada semacam proses (bahkan ada yang menyebut “revolusi”) yang melintasi batas negara tentang model pemerintahan dan jenis-jenis masyarakat.

Tidak dapat disangkal bahwa telah terjadi reformasi pemerintahan di akhir abad 20. Di seluruh dunia, kita menyaksikan berbagai peristiwa yang menunjukan perubahan mendasar dalam hal masyarakat yang memilih untuk mengatur dirinya sendiri atau untuk diatur oleh pihak lain (pemerintah). Tentu saja ada berbagai variasi perubahan, yang tidak mungkin diungkapkan semua di sini. Masyarakat di seluruh dunia berupaya dengan segala cara - di semua lini - untuk memperjuangkan agar suara masyarakat madani didengar. Seluruh masyarakat dan komponen kuncinya berjuang dengan keras untuk menyusun suatu perjanjian yang baru, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, antara warga negara dengan pemerintah, antara khalayak pemilih dengan politisi. Hal tersebut adalah suatu gerakan untuk merestrukturisasi terminologi governance, dan jika gerakan tersebut berhasil, tampaknya pada abad 21 partisipasi masyarakat dalam dunia ekonomi politik akan berubah (Ellison, 1997:1).

Perusahaan negara - yang merupakan bagian kecil - dari pihak yang mempertahankan organisasi (demokrasi) terpusat, dikurangi jumlahnya. Pemerintah harus lebih memperhatikan aspirasi warganya. “Dalam manajemen publik, kunci dari perubahan ini adalah dengan memberikan lebih banyak perhatian pada hubungan “warga negara-klien”. Pemerintah harus lebih memprioritaskan kepentingan warganya. Dalam hal ini, pemerintah harus bersikap responsif (bukan direktif) kepada warganya, karena warga negara akan semakin menuntut pelayanan optimal dari pemerintah. Dengan kata lain, warga negara akan semakin berorientasi konsumen dalam hubungannya dengan pemerintah. Dalam konteks ini, LSM ikut berperan. “Kasus Filipina menunjukan bahwa peran sektor non-pemerintah semakin besar (sangat berbeda dengan negara lain), yang berarti pula warga negara semakin responsif terhadap pemerintah” (ibid).

(8)

Ide lain - yang bersumber pada praktek bisnis kontemporer - adalah kontraktualisasi. Ide tersebut telah menemukan jalan untuk memasuki wacana GD. Kontraktualisasi dikemas sebagai „perubahan dari swasembada ke sektor-sektor yang saling terkait‟. Perubahan tersebut saat ini sedang menuju pada keterkaitan antara sektor publik dan sektor swasta. Dalam konteks tersebut, sistem apapun yang memiliki keuntungan komparatif, digunakan untuk menyampaikan pelayanan kepada publik. Konsep yang lebih terbuka menyatakan bahwa pekerjaan “pelayanan” tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan pemerintah yang dilakukan hanya oleh pemerintah saja. Adalah tugas pemerintah untuk mengawasi bahwa pelayanan telah dilaksanakan dengan semestinya, namun bukan berarti pemerintah harus berfungsi sebagai penyedia langsung pelayanan tersebut. Ada tiga metode utama yang menghubungankan sektor pemerintah dan swasta, yaitu privatisasi, sub-kontrak dan kompetisi. (Penekanan saya) inilah bidang-bidang dimana Filipina turut memberikan kontribusi.” (ibid)

Dalam kerangka ini, desentralisasi adalah “pergeseran dari alat penyampaian pelayanan yang terpusat dan seragam

menjadi penyampaian pelayanan yang terdesentralisasi dan beragam”. Proposisi tersebut mengubah desentralisasi

dalam realisme politik, sehingga ada sebuah proposisi terkait yang tampaknya mengakui politik sebagai suatu “pergeseran dari pengendalian hirarki kepada pemberdayaan”. Restorasi politik mungkin terlihat jelas di sini, dimana “dalam situasi baru, dimanapun Anda berdiri adalah pusat kekuasaan, dimanapun Anda berdiri adalah tempat rencana-rencana riil dan keputusan dibuat, dan dimanapun Anda berdiri adalah fokus tindakan. Oleh karena saat kekuasaan politik, administratif dan manajerial tersebar dan sekaligus terkonsentrasi secara lokal, pembuatan keputusan model lama, dengan model kekuasaan hirarki “top down” akan menghilang dengan cepat”. (ibid)

Perspektif GD di Kalangan LSM-KSM

Jika jelas bahwa proyek-proyek GD dan wacana yang menyertainya semata-mata ditentukan oleh persyarat kapitalisme internasional, LSM dan KSM (saya harap) tidak memasuki arena tersebut. Masalahnya adalah bahwa, seperti kecenderungan-kecenderungan politik lainnya, perspektif LSM-KSM memiliki asal-usul yang banyak dan tidak semua pelaku memiliki perspektif strategis yang tegas, sehingga GD dan wacananya penuh dengan kontradiksi. Salah satu sumber kebingunan terbesar adalah bahwa wacana GD „resmi‟ memberikan pelengkap bagi wacana progresif dengan mengkooptasi banyak hal dalam pembahasannya.

Gerakan sayap kanan, anti kediktatoran dan liberalisasi nasional di banyak negara Selatan, benar-benar memainkan peranan utama dalam proses demokratisasi di negara-negara tersebut. Keruntuhan blok sosialis, baik karena jatuhnya rezim sosialis di bekas negara Uni Soviet dan Eropa Timur, dan penyusupan negara-negara „sosialis‟ yang masih ada seperti Cina ke dalam lingkaran kapitalisme internasional, memaksa proses besar reorientasi progresif di dunia. Korban terbesar adalah orang-orang yang berpikiran progresif terhadap kemanjuran pengendalian terpusat atas kehidupan ekonomi dan politik nasional. Dari titik tersebut hanya satu langkah pendek lagi menuju desentralisasi dan otonomi lokal.

Faktor lain yang mempengaruhi sikap orang-orang progresif terhadap GD terletak pada isu-isu strategi dan taktik. Meskipun beberapa gerakan liberalisasi nasional, terutama NDF di Filipina, menolak menerima kenyataan bahwa kondisi internasional tidak kondusif bagi perjuangan bersenjata, namun kecenderungan yang ada jelas tidak terkait dengan gerakan liberalisasi bersenjata yang berfungsi sebagai strategi untuk mencapai kekuasaan negara. Gerakan-gerakan yang paling maju pada tahun 1980-an, adalah African National Congress di Afrika Selatan, FMLN di El Salvador, PLO di Palestina, yang mengadakan negosiasi bagi penyelesaian masalah-masalah politik mereka. Kegagalan perjuangan bersenjata meninggalkan beragam kombinasi gerakan massa dan perjuangan elektoral. Pengalaman yang paling menonjol dari kegagalan perjuangan bersenjata tersebut, selain FMLN dan ANC, adalah Workers Party di Brazil dan PRD di Meksiko.

(9)

perjuangan elektoral lokal dimana basis gerakan massa mencukupi, terutama di daerah-daerah yang terpilih untuk memenangkan pemilihan. Penggunaan gerakan massa untuk mendorong agenda kelompok progresif melalui beragam tindakan massa, adalah denominator lain yang umum. Denominator tersebut adalah wacana progresif dari arena yang telah dipilih ke dalam wacana GD.

Di Filipina, garis perpecahan dalam komunitas progresif dalam hal wacana dan praktek GD, mungkin dapat dijelaskan dengan suatu perumpamaan. Jika pemerintah adalah rumah, ada tiga cara mendekatinya. Pertama, gerakan bawah tanah bersenjata, akan membumihanguskan rumah tersebut dan membangunnya kembali dari bawah. Masalah gerakan tersebut adalah, pada saat ini, mereka kekurangan bahan bakar. Karena mereka bersikap sinis terhadap proses demokratis, mudah bagi mereka untuk membenarkan (paling tidak di antara mereka) hubungan oportunistik dengan para politikus. Hubungan tersebut bervariasi dari perjanjian dengan politikus lokal dengan menggunakan senjata atau uang, hingga Joema Sison yang membiarkan dirinya dimanfaatkan oleh calon presiden Jose De Venecia.

Kelompok kedua, disebut juga “masyarakat madani”, senang hanya dengan mengetuk pintu, mengharapkan

seseorang membukakan pintu, dan membantu mereka dengan “nasehatnya”. Kita dapat memasukkan kepemimpinan CODE-LSM dan National Peace Conference (NFC) dan kemungkinan besar sebagian besar LSM dan KSM dalam jaringan kerjanya, dalam kelompok kedua.

LSM-LSM lokal dalam jaringan kerja tersebut, cenderung lebih terbuka kepada kandidat (yang mengejar posisi lokal) daripada pemimpin nasional. Hal ini dikarenakan mereka dapat melihat lebih mudah kinerja mereka cepat atau lambat, dalam hubungannya dengan politikus lokal dan kepentingan mereka. Ada juga orang-orang yang berada pada „titik yang saling bertemu‟ yaitu titik dimana kelompok LSM yang terpecah di Filipina, yang tertinggal dalam wacana “masyarakat madani”, dan yang percaya bahwa hubungan dengan politikus terutama selama pemilihan umum, adalah cara terbaik untuk memperoleh “akses” dan bantuan kelompok progresif.

Karena pimpinan-pimpinan LSM nasional tersebut umumnya berasal dari kelas menengah atas dan lulusan dari universitas-universitas terkemuka, mereka memiliki teman dan mantan teman kuliah dalam pemerintahan yang dapat membuka pintu bagi mereka. Demikian pula personil dari konsultan untuk proyek-proyek GD yang didanai ODA, sebagian besar berasal dari kelas yang sama. Proyek subkontrak program-program GD ini cenderung berjalan lebih mudah untuk kelompok-kelompok seperti CODE-LSM dan PHILDHRRA. Ini berkaitan sebagian dengan pendidikan mereka dan sebagian dengan kenyataan bahwa banyak bagian dari wacana internasional GD lebih bergaung di kalangan LSM yang didominasi oleh kelas menengah atas.

Kelompok ketiga ingin memasuki rumah, dengan mendepak keluar penghuninya, membuka pintu dan jendela agar para warga lebih mudah memasukinya, dan memperbaharui interior rumah. Ini adalah kelompok yang lebih heterogen yang memotong blok dan pembagian politik dalam komunitas LSM. Jumlah terbesar dari kelompok ketiga ini berada di propinsi-propinsi dimana sejumlah aktifis LSM-KSM dan pemimpin terpilih - yang semakin meningkat jumlahnya - mengejar posisi lokal. Mereka adalah orang-orang yang memikirkan desentralisasi dan otonomi daerah - yang bersumber dari wacana GD - dengan sangat serius. Pada pertengahan tahun 1990-an konsultasi atas intervensi elektoral progresif yang diorganisasikan oleh IPG dan didanai oleh FES, memasuki proses pembentukan partai hingga terbentuk Akbayan(Citizen Action Party).

(10)

Meskipun Akbayan juga tercantum dalam daftar pemilihan partai, agenda jangka panjangnya dibangun dengan lebih banyak kandidat untuk posisi lokal. Melalui rapat progresif di antara para wakil partai dan kelompok-kelompok progresif lain yang terpilih sebagai individual, ditambah partisipasi dalam gerakan massa, Akbayan akan berperan dalam membentuk posisi progresif pada issue-issue nasional. Instrumen utamanya untuk mengakumulasi kekuatan elektoral, akan berada di tingkat lokal dimana persyaratan keuangan dan organisasional bukan merupakan faktor penghalang. Ini hanya dapat terjadi jika basis lokalnya cukup besar sehingga Akbayan dapat berpartisipasi dalam pemilihan di tingkat nasional.

Meskipun bersikap kritis terhadap wacana „resmi‟ GD, saya percaya bahwa kemungkinan pembentukan suatu proyek politik progresif (baru) di Filipina terletak dalam wacana GD dari gerakan progresif. Untuk saat ini, meskipun wacana di tingkat ini tidak koheren, namun dalam tindakan, dalam proyek demokratisasi, dan yang terpenting dalam intervensi elektoral dan advokasi reformasi politik, cukup besar, cukup bervariasi. Pada suatu titik, saya harap, akan segera ada “sekumpulan besar pengalaman kritis” yang darinya visi liberatif baru dapat terbentuk.

Daftar Pustaka :

1. World Bank, World Development Report 1997.

2. Ellison, Kenneth. "Emerging Styles of Governance: A Global Context", Edited from a keynote presentation to the UNDP, "National Consultation on Governance", Quezon City, May 15, 1997.

3. ADB. "Draft Analytic Framework on Governance and Capacity Building", typescrpt, 1997.)

4. Hutchcroft, Paul D. "Predatory Oligarchy, Patrimonial State: The Politics of Private Domestic Commercial Banking in the Philippines", PhD Dissertation, Yale University, 1993.

**

Joel Rocamora adalah salah satu pemimpin civil society Filipina. Ia saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif dari Institute for Popular Democracy, suatu lembaga penelitian yang bekerja terutama dengan LSM-LSM dan kelompok-kelompok gerakan sosial. Joel Rocamora belajar di Cornell University pada tahun 1960-an, memperleh gelar PhD pada bidang politik dan kajian Asia pada tahun 1971. Ia adalah Arbiter Nasional Partai Akbayan (Citizens Action Party), sebuah partai politik progresif. Buku pertamanya adalah tentang Partai Nasional Indonesia (PNI).

Gambar

Tabel berikut memperlihat, peran yang dimainkan tiap lembaga donor dalam rangka menerapkan desentralisasi di Filipina, sbb:

Referensi

Dokumen terkait

3) Implementasi bahan ajar mendengarkan berbasis video interaktif bermedia flash SMP kelas VII semester 1 dilakukan dalam dua tahap, yaitu uji coba terbatas dan uji

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Media

Memang, alih-alih mengikuti pola representasi yang menyasar pada kontekstualisasi ‘makna’ atau ‘arti’ pada kehidupan sosial, Handiwirman justru berangkat dari

Indonesia adalah salah satu negara yang bergabung dengan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) Konvensi PBB tentang hak anak, maka

Bahan ajar adalah bahan atau materi pelajaran yang disusun secara sistematis, yang digunakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran Berdasarkan beberapa pengertian

Pengaruh Keharmonisan Keluarga terhadap Kecerdasan Spiritual Anak (Siswa MI Miftahul Huda Kedunglumpang). Minuchin, 1974 keluarga merupakan tempat yang penting

Untuk sawah tipe paralel simulasi perhitungan dengan program MS Excel, nilai konsentrasi outlet masing-masing petak disajikan pada Lampiran 1, sedangkan untuk sawah 30 petak dan

KEANGGOTAAN DAN PENGORGANISASIANNYA "#(an K0mi&ari& t#rdiri dari K#tua K0mi&ari& dan #m,at 0rang angg0ta..