VI . RAPAT KOORDI NASI PENGEMBANGAN HASI L HUTAN BUKAN KAYU DI REGI ONAL I V TAHUN 2 0 1 0 DI MAKASSAR PROVI NSI SULAW ESI SELATAN PADA TANGGAL 2 0 AGUSTUS 2 0 1 0
Paradigma baru sektor kehutanan memandang hutan sebagai sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi kepentingan serta pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. HHBK terbukti dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa negara.
Untuk menjawab paradigma baru sektor kehutanan, isu strategis, tantangan dan peluang bagi pembangunan sumberdaya yang tersedia perlu dibuat suatu konsepsi/ inovasi strategi pemanfaatan HHBK di I ndonesia. Konsepsi ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam rangka penyusunan rencana jangka pendek, menengah dan panjang pengembangan HHBK. Adapun tujuannya adalah pemberdayaan dan peningkatan sumberdaya hutan, ekonomi rakyat dan peningkatan devisa bagi negara.
Secara ekonomis HHBK memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun memiliki nilai ekonomi tinggi namun pengembangan usaha dan pemanfaatan HHBK selama ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.
Upaya pengembangan HHBK perlu dilakukan secara berkelanjutan, mengingat komoditas HHBK sangat beragam di setiap daerah dan banyak melibatkan berbagai pihak dalam memproses hasilnya, maka strategi pengembangan perlu dilakukan dengan memilih jenis prioritas yang diunggulkan berdasarkan pada kriteria, indikator dan standar yang ditetapkan. Dengan tersedianya jenis komoditas HHBK unggulan maka usaha budidaya dan pemanfaatannya dapat dilakukan lebih terencana dan terfokus sehingga pengembangan HHBK dapat berjalan dengan baik, terarah dan berkelanjutan.
Pengurusan sumber daya hutan dan pembangunan kehutanan merupakan urusan bersama antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota dan seluruh komponen masyarakat. Agar pelaksanaan pembangunan kehutanan dapat sejalan dengan visi dan misi serta kebijakan prioritas seperti yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan serta dalam rangka mengkoordinasikan dan mensinkronkan kegiatan pembangunan kehutanan khususnya pengembangan HHBK baik antara pusat dan daerah maupun antar pemangku kepentingan yang ada di daerah, maka Pusdalbanghut Regional I V memfasilitasi hal tersebut melalui penyelenggaraan Fasilitasi Koordinasi Pengembangan HHBK di Regional I V.
Pokok-pokok rumusan yang disepakati pada acara Koordinasi dan Sinkronisasi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Regional I V Tahun 2010 di Makassar Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut :
A. Sut era Alam
1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan usaha ulat sutera hanya dapat dilakukan melalui konsensi peningkatan produktivitas pakan berkualitas dan bibit induk ulat sutera unggul.
2. Pentingnya peningkatan aspek Sumber Daya Manusia (SDM), antara lain jumlah dan kualitas tenaga penyuluh/ pendamping, tenaga ahli HHBK dan penempatan sesuai dengan keahlian sebagai pelaku pengembangan HHBK sutera alam. Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Makassar dan instansi terkait diusulkan untuk memfasilitasi.
3. Untuk pengembangan ulat sutera, perlu dilakukan peremajaan tanaman dan bibit induk ulat sutera dengan jenis unggul yang sudah dikembangkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan kehutanan dengan fasilitasi pendanaan dari Direktorat Jenderal RLPS melalui KBR dan Perum Perhutani
4. Diusulkan untuk dibentuk forum komunikasi multi pihak dalam rangka merancang pembentukan klaster pengembangan produk HHBK sutera alam.
5. Untuk akselerasi usaha pengembangan ulat sutera akan dilakukan peluncuran jenis induk ulat sutera oleh Menteri Kehutanan dalam waktu dekat.
6. Upaya pengembangan melalui teknik kultur jaringan dan penggunaan bioteknologi perlu menjadi prioritas dengan penganggaran baik melalui Pemerintah Pusat maupun melalui Pemerintah Daerah (APBD) dengan sosialisasi kepada Gubernur (Pemerintah Provinsi) dengan menetapkan Pokja HHBK tingkat Provinsi, Bupati (Pemerintah Kabupaten/ Kota) dengan Pokja HHBK tingkat Kabupaten/ Kota dan Lembaga Kemasyarakatan sebagai badan pelaksana di lapangan.
7. Perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangan resiko serangan penyakit utama, febrine, yang masih menjadi penghambat dominan terhadap pengembangan usaha ulat sutera melalui sertifikasi telur yang akan diedarkan.
8. Sanksi perlu ditegakan bagi pengedar telur ulat sutera yang tidak bersertifikat.
9. Perlu pelibatan secara aktif para akademisi dan peneliti yang membidangi sutera alam dalam pengembangan persuteraan alam.
10. Pengembangan persuteraan alam perlu dikaji lebih lanjut untuk dikembangkan di daerah lain di luar provinsi Sulawesi Selatan dalam upaya mendapatkan kualitas kokon yang terbaik.
11. Rencana Aksi Pengembangan Sutera Alam dimaksudkan sebagai upaya penggalangan sinergi multi pihak yang sekaligus untuk mendapatkan sinergi penggalangan pembiayaan dan teknologi dengan melibatkan kerjasama pihak yang terkait.
12. I ntegrasi pengembangan Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Tanaman I ndustri, Hutan Kemasyarakatan dan tanaman pakan ulat sutera sebagai tanaman pengisi atau tanaman di bawah tegakan untuk upaya peningkatan produktivitas.
B. Tumbuhan/ Tanaman Bahan Obat - Obatan
2. Pentingnya peningkatan aspek Sumber Daya Manusia (SDM), antara lain jumlah dan kualitas tenaga penyuluh/ pendamping, tenaga ahli HHBK dan penempatan sesuai dengan keahlian sebagai pelaku pengembangan HHBK tumbuhan/ tanaman bahan obat-obatan. Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Makassar dan instansi terkait diusulkan untuk memfasilitasi.
3. Diusulkan untuk dibentuk forum komunikasi multi pihak dalam rangka merancang pembentukan klaster pengembangan produk HHBK tumbuhan/ tanaman bahan obat-obatan.
4. Dalam rangka pengembangan HHBK jenis tumbuhan/ tanaman bahan obat-obatan di Taman Nasional Lore Lindu diusulkan perlu dilakukan identifikasi, inventarisasi dan pemetaan sebarannya untuk kemudian dilakukan analisis kandungan bahan aktif bagi jenis-jenis yang mempunyai potensi dan prospek yang besar.
5. Dengan mengedepankan kegiatan penelitian yang berkaitan dengan tumbuhan/ tanaman bahan obat-obatan akan diupayakan konservasi ex-situ bersama masyarakat di daerah buffer atau lahan masyarakat yang kemudian melalui pengembangan demplot bersama masyarakat diupayakan dapat dibangun di sekitar Taman Nasional Lore Lindu.
6. Perlu dibangun kemitraan antara Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Akademisi, LSM, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota, peneliti dan masyarakat pengembang tumbuhan/ tanaman bahan obat-obatan dengan industri obat tradisional besar dan investor lainnya sebagai pengungkit (leverage). 7. Perlunya kebijakan pemerintah untuk membatasi eksport bahan mentah dari tumbuhan/ tanaman bahan
obat-obatan yang menjadi bahan baku utama industry kecil obat tradisional (I KOT) dan industry obat tradisional (I OT), untuk melindungi eksploitasi yang berlebih dari alam sumber bahan mentah tersebut.