DAFTAR ISI
hal
LEMBAR PENGESAHAN
. . . .. . . .. . . . .. . . . .. . . . . . .i
LEMBAR PERSEMBAHAN
. . . .. . . .. . . . .. . . . .. . . . . . .ii
LEMBAR PERNYATAAN
. . . .. . . .. . . . .. . . . .. . . . . . .iii
ABSTRAK
. . . .. . . .. . . . .. . . . .. . . . . . . .iv
KATA PENGANTAR
. . . .. . . .. . . . .. . . . .. . . . . . . .v
UCAPAN TERIMA KASIH
. . . .. . . .. . . . .. . . . .. . . . . . .vii
DAFTAR ISI
. . . .. . . .. . . . .. . . . .. . . . . . .ix
DAFTAR TABEL
. . . .. . . .. . . . .. . . . .. . . . . . .xii
DAFTAR BAGAN
. . . .. . . .. . . . .. . . . .. . . . . . .xv
DAFTAR GAMBAR
. . . .. . . .. . . . .. . . . .. . . . . . . .xvi
DAFTAR LAMPIRAN
. . . .. . . .. . . . .. . . . .. . . . . . .xviii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang . . . . . . . . . .. . . 1
B.
Rumusan Masalah . . . .. . . . . . 13
C.
Tujuan Penelitian . . . .. . . 14
D.
Manfaat Penelitian . . . .. . . 16
E.
Defenisi Operasional . . . 17
F.
Hipotesis Penelitian . . . 18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Teori Belajar yang Mendukung . . . 20
1. Teori Perkembangan Piaget. . . 20
2. Teori Perkembangan Kognitif Vygotsky. . . 23
B.
Pembelajaran Kooperatif . . . 25
C.
Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT. . . 28
1. Presentasi Kelas . . . 29
2. Pembentukan Kelompok . . . .. . . 30
4. Permainan . . . 34
5. Turnamen Akademik . . . 35
6. Penghargaan Kelompok . . . 38
7. Bumping . . . 40
D.
Pemahaman Matematis. . . 41
E.
Penalaran Matematis. . . 43
F.
Pembelajaran Biasa . . . 46
G.
Pesantren . . . . .. . . . . . . . . .. 47
H.
Perkembangan Peran Gender . . . .. . . .. 52
I.
Penelitian Yang Relevan . . . .. . . 55
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian . . . .. . . 57
B.
Desain Penelitian . . . 57
C.
Populasi dan Sampel Penelitian . . . 59
D.
Data Penelitian . . . . . . . .. . . . . . . 60
E.
Variabel Penelitian . . . .. . . 62
F.
Instrumen Penelitian . . .
63
1. Tes Kemampuan Santri. . . 64
2. Lembar
Pengamatan
Kegiatan
Santri
dalam
Pembelajaran. . .
75
3. Skala Sikap . . . 76
4. Pedoman Wawancara . . . 76
5. Pengembangan Bahan Ajar . . . 77
G.
Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian
77
1. Tahap Persiapan . . . .. . . 77
2. Tahap Pelaksanaan . . .
78
3. Tahap Pengolahan Data. . . .. . . 80
1. Kemampuan Pemahaman Matematis . . . .. . 85
2. Kemampuan Penalaran Matematis. . . . . . . . . 99
3. Deskripsi Skala Sikap Santri.. . . 111
4. Hasil Wawancara. . . .. . . . .. . . 117
5. Hasil Pengamatan . . . .. 119
B.
Temuan dan Pembahasan. . .
123
1. Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis
Santri . . . . . .
125
2. Sikap Santri Terhadap Pembelajaran Kooperatif
Tipe TGT. . . . . .
136
3. Pendapat Guru terhadap Pembelajaran Kooperatif
Tipe TGT . . . . . .
137
C.
Keterbatasan . .. . . . . .
138
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan . .. . . .. . . 139
B.
Saran . . . 140
DAFTAR PUSTAKA . . . 142
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan dari pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar
dan pendidikan menengah yang tercantum dalam Garis-Garis Besar Program
Pengajaran (GBPP) yaitu untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi
perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang,
melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis,
cermat, jujur, efisien dan efektif (Soedjadi, 2000). Berdasarkan tujuan pada
GBPP dapat dikatakan bahwa matematika merupakan salah satu disiplin ilmu
yang memiliki peranan penting dalam menentukan masa depan. Hal tersebut
dibuktikan dengan diberikannya matematika pada setiap jenjang pendidikan, baik
dasar, menengah, maupun perguruan tinggi. Untuk itu, pembelajaran matematika
di setiap jenjang sekolah haruslah mampu mengembangkan potensi yang dimiliki
siswa, minimal kemampuan dasar matematika, dan sikap yang diharapkan dimiliki
siswa pada agar mampu mengerjakan dan memahami matematika secara benar.
Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tujuan
mempelajari matematika pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah agar:
(a) siswa memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat
dalam pemecahan masalah; (b) siswa menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika. Menyelesaikan model dan menafirkan solusi yang diperoleh; (d)
siswa mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah dan (e) siswa memiliki sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin
tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006).
Seperti yang tercantum dalam KTSP, kemampuan pemahaman dan
penalaran matematis merupakan salah satu tujuan dari mata pelajaran matematika
sekolah dan juga merupakan salah satu kemampuan dasar yang harus dikuasai
siswa. Hasil belajar akan tercapai maksimal apabila dua kemampuan tersebut
dikuasai dengan baik. Hal ini senada dengan pendapat Sumarmo (2006) yang
mengelompokkan kemampuan dasar metematika dalam lima standar yaitu: (1)
kemampuan mengenal, memahami dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan
ide matematika, (2) kemampuan menyelesaikan masalah matematis (mathematical
problem solving), (3) kemampuan bernalar matematis (mathematical reasoning),
(4) kemampuan melakukan koneksi matematis (mathematical connection), dan (5)
kemampuan komunikasi matematis (mathematical communication).
Bagi seorang guru, kurikulum merupakan pedoman untuk mencapai target
dari tujuan pendidikan. Tugas guru adalah mendidik siswa untuk mencapai tujuan
pendidikan, yaitu mejadikan siswa sebagai manusia yang unggul melalui
kurikulum (Eriadi, 2008). Tuntutan inilah yang membuat banyak guru
menentukan salah atau benar dalam kegiatan belajar, dan memperlakukan siswa
hanya sebagai
“
objek
”
. Berbagai permasalahan seperti beban materi yang terlalu
banyak, alokasi waktu yang kurang dan tujuan hasil belajar yang harus dicapai
sesuai tuntutan kurikulum menyebabkan pengajaran hanya dianggap sebagai
proses penyampaian informasi berupa fakta-fakta kepada para siswa. Siswa
dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan
mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau
menuliskan untuk menjawab soal ulangan atau ujian.
Praktek pendidikan yang demikian, yaitu memperlakukan siswa hanya
sebagai obyek tentu saja tidak sesuai dengan salah satu prinsip penyelenggaraan
pendidikan yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan,
yaitu pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (Depdiknas, 2007).
Kesimpulannya, peserta didik harus dapat mengembangkan dirinya. Mereka bebas
berkreasi. Dalam proses tersebut diperlukan figur guru yang dapat memberikan
keteladanan, menciptakan kemauan, dan mengembangkan potensi serta kreativitas
peserta didik. Akibat dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses
pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Metode
pembelajaran yang berpusat pada guru harus segera di tinggalkan.
Proses belajar-mengajar merupakan peristiwa yang utama dalam
pendidikan di sekolah. Melalui proses ini akan dicapai tujuan pendidikan dalam
bentuk bertambahnya pengetahuan yang dimiliki siswa dan terjadinya perubahan
akan memperoleh bekal sehingga akan mampu menghadapi lingkungan luar
dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat cepat.
Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional pada bidang
pendidikan bangsa Indonesia tengah berusaha keras untuk menentukan masa
depannya yang lebih cerah dengan membiasakan dirinya menjadi masyarakat
belajar. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia pesantren adalah lembaga
pendidikan tertua. Dalam sejarah perjuangan dan pembangunan bangsa, pesantren
telah banyak memberikan hasil nyata dalam melahirkan pemimpin yang
berkarakter kuat, pantang menyerah, penuh, gigih, visioner, dan ikhlas dalam
berjuang. Peranan pesantren dalam dunia pendidikan di bangsa ini begitu besar,
sehingga bukan tidak mungkin jika pesantren berhasil turut memberikan andil
besar dalam mewujudkan Indonesia menjadi bangsa yang berpendidikan dan
bermartabat (Prayitno, 2008).
Sistem pendidikan Pesantren di Indonesia telah memberikan pengaruh yang
positif terhadap pembangunan nasional dalam bidang pendidikan, dengan
didirikannya sekolah-sekolah umum dari jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
hingga Perguruan Tinggi (PT) di lingkungan pesantren.
Pada beberapa pesantren sistem pembagian kelas dibedakan menurut jenis
kelamin. Jadi pada pesantren yang memakai sistem ini setiap tingkatan dibagi
belajar mengajar antara santri putra dan santri putri tidak digabungkan baik belajar
biasa di kelas maupun yang berbentuk praktik.
Santri memiliki keistimewaan jika dibandingkan dengan siswa pada
sekolah umum. Santri harus memiliki kemampuan ekstra untuk dapat
memenejemen waktu. Namun, kegiatan dalam pesantren yang sangat padat
menyebabkan banyak santri, sebutan untuk orang yang belajar di pondok
pesantren, menjadi susah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, terutama
dalam kemampuan pendidikan umum, lebih khusus pada kemampuan
matematikanya. Peneliti menemukan kondisi beberapa santri yang kelelahan
menyebabkan santri mengalami kesulitan belajar. Santri mengantuk, tidak dapat
berkonsentrasi dan bersikap acuh sehingga berakibat tidak dapat menerima
pelajaran dengan maksimal. Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya nilai
ulangan harian mereka pada bidang studi matematika.
Di sekolah guru merupakan orang tua yang mendidik anak dalam segala hal.
Seorang guru harus bisa memahami karakteristik siswa. Karakteristik tersebut
meliputi perkembangan sosio-emosional, perkembangan fisik, dan berujung pada
perkembangan intelektual. Perkembangan sosio-sosial dan perkembangan fisik
mempunyai kontribusi yang kuat terhadap perkembangan intelektual atau
perkembangan mental atau perkembangan kognitif siswa
.Seorang guru tidak
boleh membeda-bedakan posisi siswa termasuk berdasarkan jenis kelaminnya.
Dapat terbayangkan jika dalam suatu kelas yang semuanya terdiri dari siswa
Berdasarkan pengalaman, mengarahkan kelas putri ternyata tidak lebih mudah
jika dibandingkan dengan mengarahkan kelas putra.
Sriyono (2011) membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan cara
berfikirya. Menurutnya, otak pikiran laki-laki dikatakan sangat sistematis.
Beberapa cirinya adalah kemampuan yang rendah untuk multitasking, orientasi
hubungan personal yang rendah, namun memiliki kemampuan yang tinggi untuk
mengelompokkan segala sesuatu, orientasi kerja yang tinggi, serta kemampuan
yang tinggi untuk mengasingkan diri. Dikatakan juga bahwa laki-laki memiliki
kecenderungan untuk bertindak lebih dahulu baru berfikir kemudian jika
mengalami stres, respon yang agresif terhadap resiko, dan kecenderungan untuk
berkompetensi dengan laki-kali lain. Laki-laki berfikir dengan otak kanan sebagai
sumber utama pengambilan keputusan dibandingkan dengan otak kiri. Otak kanan
yang dominan telah meminimalisir ekspresi emosi dan intuisi perasaan sehingga
berfikir secara terstruktur dalam rangkaian yang rumit. Secara praktis pola fikir
seperti itu telah menempatkan laki-laki sebagai pribadi yang mudah mengambil
keputusan dan tidak terlalu memusingkan hal-hal sekunder.
Sementara otak wanita mempunyai bebrapa ciri seperti tingkat empati yang
tinggi, kemampuan yang rendah untuk menggolong-golongkan, kemampuan yang
tinggi untuk multitasking, kemampuan yang rendah untuk untuk mengontrol
emosi, mempunyai orientasi hubungan personal, orientasi kerja yang rendah,
kemampuan yang rendah untuk mengasingkan diri, kecenderungan untuk berfikir
berhati-hati terhadap resiko, dan kecenderungan untuk bekerjasama dengan wanita
lain.
Pada sekarang ini umumnya para guru matematika di sekolah umum
maupun di pesantren masih memberikan pelajaran dengan metode biasa, yaitu
metode ceramah sehingga proses belajar
–
mengajar berlangsung secara pasif
karena kurang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal.
Pola pembelajaran seperti ini dapat menyebabkan pembelajaran kurang memberi
bekal bagi siswa untuk menghadapi perkembangan pengetahuan pada lingkungan
siswa itu sendiri dan masyarakat.
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan prestasi belajar
siswa dalam mata pelajaran matematika, baik oleh para guru, maupun para
peneliti matematika. Beberapa usaha peningkatan kemampuan guru dalam
penguasaan materi pembelajaran yang telah dilakukan misalnya dengan
mengikuti seminar-seminar pendidikan. Guru juga harus terus meningkatan
kemampuannya dalam penggunaan metode-metode pembelajaran. Sebagaimana
diungkapkan oleh Soedjadi (2000) bahwa upaya perbaikan dalam meningkatkan
prestasi belajar siswa diantaranya dengan melakukan perbaikan kurikulum dan
memperbaharui materi ajar pendidikan, sehingga memunculkan suatu inovasi baru
yang sesuai dengan tuntutan zaman. Guru berusaha terus untuk meningkatkan
penguasaannya tentang aspek substansi matematika, model atau pendekatan
pembelajarannya, dan teknik serta strategi yang digunakan dalam proses
Perbaruan dan perbaikan dalam pembelajaran perlu dibangun dan
dikembangkan guna menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif,
konstruksif, demokratis, dan kolaboratif sehingga suasana interaksi dalam kelas
baik antara guru dengan siswa, maupun siswa dengan siswa sendiri dapat tumbuh
dan berkembang. Interaksi kelas merupakan bagian yang sangat penting dalam
kelangsungan proses belajar-mengajar. Pola interaksi yang tidak seimbang tidak
akan menciptakan hasil belajar yang optimal, meskipun bahan ajar yang
disampaikan tersusun dengan sistematis. Peran guru sebagai instruktur perlu
mengalami pergeseran menjadi fasilisator atau mediator dalam belajar.
Banyak siswa berpendapat bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit..
Berkenaan dengan hal itu, Ruseffendi (1991)
menyatakan bahwa “terdapat banyak
orang yang setelah belajar matematika bagian yang sederhana pun banyak yang
tidak dipahaminya, bahkan banyak konsep yang dipahami secara keliru.
Matematika dianggap sebagai ilmu yang sukar, ruwet dan banyak
memperdaya
kan”. Hal ini membuktikan
bahwa banyak anak yang mengalami
kesulitanan dalam belajar matematika, karena kebanyakan dari mereka belajar
dengan menghapalnya bukan memahami konsepnya.
Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian Sumarmo (1987) menemukan
masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam pemahaman relasional dan
berfikir derajat kedua, artinya siswa mengalami kesulitanan dalam soal penalaran
deduktif dan induktif. Dengan kata lain bahwa keadaan skor kemampuan siswa
Hasil penelitian Wahyudin (1999) menemukan bahwa rata-rata tingkat
penguasaan matematika siswa dalam pelajaran matematika adalah 19,4% dengan
simpangan baku 9,8. Juga diketahui bahwa model kurva berkaitan dengan tingkat
penguasaan para siswa adalah positif (miring ke kiri) yang berarti sebaran tingkat
penguasaan siswa tersebut cenderung rendah. Secara rinci Wahyudin menemukan
bahwa salah satu hal yang menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai dengan
baik pokok-pokok bahasan dalam matematika yaitu siswa cenderung kurang
memahami dan menggunakan nalar yang baik dalam menyelesaikan tes atau
persoalan yang diberikan.
Pada perkembangannya, banyak penelitian-penelitian yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa. Berbagai
metode dan pendekatan dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut,
seperti penelitian yang dilakukan oleh Kariadinata (2001), Herman (2004),
Wikaningsih (2005), dan Irma (2010)
Permasalahannya adalah bagaimana seorang guru dapat menanamkan
konsep dan mentransfer pengetahuan sebaik-baiknya kepada siswa. Permasalahan
tersebut selalu relevan bagi semua pelaku pendidikan dalam menemukan sebuah
metode, strategi atau pendekatan pembelajaran yang sebaik-baiknya. Pendekatan
yang bukan semata-mata menyangkut kegiatan guru mengajar akan tetapi
menitikberatkan pada aktivitas belajar siswa, membantu siswa jika ada kesulitan
atau membimbingnya untuk memperoleh suatu kesimpulan yang benar.
Pendekatan dipilih dengan harapan dapat berguna bagi usaha-usaha perbaikan
dan penalaran matematis siswa khususnya dan umumnya prestasi belajar
matematika siswa.
Peneliti memperkirakan bahwa model pembelajaran kooperatif mampu
mendukung upaya peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis
santri. Coperative learning dapat melatih santri untuk mendengarkan
pendapat-pendapat orang lain dan merangkum pendapat-pendapat atau temuan-temuan dalam bentuk
tulisan. Tugas-tugas kelompok akan dapat memacu para santri untuk bekerja
sama, saling membantu satu sama lain dalam mengintegrasikan
pengetahuan-pengetahuan baru dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimilikinya (Suherman, 2003).
Menurut Hamalik (1990) pembelajaran kooperatif adalah prosedur
belajar-mengajar melalui kegiatan bersama untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Ravid
(dalam Budiman, 2008) pada model pembelajaran kooperatif terdapat unsur-unsur
yang dapat memberikan kegairahan dan kebahagiaan siswa mempelajari materi
pelajaran. Salah satu unsur penting yang terdapat pada pembelajaran kooperatif
ialah penghargaan kelompok (reward). Dalam usaha mencapai penghargaan
kelompok, setiap siswa berusaha aktif belajar untuk memperoleh hasil belajar
yang maksimal.
Dalam pembelajaran koperatif terdapat beberapa aktivitas yang banyak
melibatkan siswa belajar secara aktif dan membangun pemahaman konsep.
Aktivitas pada pembelajaran kooperatif ini membentuk struktur kognitif siswa
yang dapat meningkatkan penggunaan ketrampilan berfikir tingkat tinggi
dan kemampuan menerapkan collaborative skill dan efektivitas dalam pemecahan
masalah.
Terdapat beberapa varian pembelajaran menurut jenis kegiatan dalam
pembelajaran kooperatif. Slavin (dalam Rahadi, 2002) membagi pembelajaran
kooperatif dalam beberapa tipe, di antaranya:
Student-Teams-Achievement-Division
(STAD),
Teams-Games-Tournament
(TGT),
Teams-Assisted-Individualization (TAI), Cooperative-Integrateg-Reading and Composition
(CIRC), Jigsaw, Group-Investigation-Go-a Round, Think-Pair and Share (TPS),
Make a Match, dan Numbered-Head-Teams (NHT). Berdasarkan permasalahan di
atas, salah satu model pembelajaran yang akan diujicobakan adalah pembelajaran
kooperatif tipe Teams-Games-Tournament (TGT).
Model belajar koopratif tipe TGT atau Turnamen Akademik adalah
semacam ajang pertandingan yang melibatkan setiap siswa berkompetisi mewakili
kelompoknya masing-masing. Dalam suatu turnamen akademik terdapat beberapa
meja turnamen dan setiap meja turnamen terdiri dari empat sampai lima siswa
yang bersaing mewakili kelompoknya. Siswa-siswa tersebut sebelumnya
dikelompokkan sedemikian rupa sehingga dalam satu meja turnamen terdapat
siswa yang bertanding dengan kemampuan akademis setara. Persaingan yang
setara ini memungkinkan siswa dari semua tingkatan kemampuan awal berusaha
untuk dapat mengumbangkan nilai maksimal bagi kelompoknya.
Dalam pembelajaran kooperatif, belajar belum dinyatakan selesai apabila
salah satu dari anggota kelompok tersebut belum menguasai bahan pelajaran yang
bantu-membantu dalam usaha memahami bahan ajar ataupun mengerjakan tugas yang
diberikan kepada kelompoknya. Dengan demikian semua siswa harus dapat
menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya atau bersama kelompoknya
selama pembelajaran berlangsung.
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah dorongan untuk
meningkatkan kemampuan anggotanya selama pembelajaran yang terdiri dari
belajar kelompok, turnamen akademik, dilanjutkan dengan pemberian
penghargaan setelah perhitungan skor selesai. Dengan langkah-langkah tersebut
dimungkinkan siswa terbiasa saling membantu dalam belajar, melatih
berkompetisi dalam turnamen untuk membela kelompoknya, sehingga diharapkan
siswa akan termotivasi untuk belajar lebih baik dan lebih aktif.
Dalam turnamen akademik, siswa mengoptimalkan seluruh kemampuannya
seperti mempertahankan argumen, mengemukakan pendapat, memeriksa validitas
argumen, mengikuti aturan, mengaitkan antara satu konsep dengan konsep yang
lainnya, memberikan penjelasan dengan menggunakan model, dan menarik
kesimpulan. Dari langkah-langkah tersebut siswa dapat memperoleh skor tertinggi
sehingga selain mendapatkan poin untuk dirinya sendiri juda dapat
menyumbangkan poin untuk kelompoknya.
Pada pembelajaran kooperatif tipe TGT kelompok merupakan komponen
terpenting. Setiap anggota kelompok diharapkan dapat menyumbangkan sesuatu
yang terbaik untuk kelompoknya dan kelompok memiliki arti yang besar, yaitu
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk membahas
peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis antara santri kelas
putra dan santri kelas putri. Dalam rangka lebih memajukan pendidikan di
Indonesia khususnya meningkatkan pemahaman dan penalaran matematis siswa,
peneliti merencanakan melaksanakan penelitian yang berkaitan dengan
pembelajaran kooperatif yang berjudul
“
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman
dan Penalaran Matematis Santri Putra dan Sanatri Putri Melalui Metode
Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT pada MTS Berbasis Pesantren
“
.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah peningkatan
kemampuan pemahaman dan penalaran matematis santri kelas putra dan santri
kelas putri setelah mendapat pembelajaran dengan metode pembelajaran
kooperatif tipe TGT?
Selanjutnya, rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa pertanyaan
penetian berikut:
1.
Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis
antara santri kelas putra yang mendapat pembelajaran metode kooperatif tipe
TGT dengan santri kelas putra yang mendapat pembelajaran biasa?
2.
Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis
antara santri kelas putra yang mendapat pembelajaran metode kooperatif tipe
3.
Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis
antara santri kelas putri yang mendapat pembelajaran metode kooperatif tipe
TGT dengan santri kelas putri yang mendapat pembelajaran biasa?
4.
Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis
antara santri kelas putri yang mendapat pembelajaran metode kooperatif tipe
TGT dengan santri kelas putri yang mendapat pembelajaran biasa?
5.
Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis
antara santri kelas putra yang mendapat pembelajaran tipe TGT dengan santri
kelas putri yang mendapat pembelajaran tipe TGT?
6.
Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis
antara santri kelas putra yang mendapat pembelajaran tipe TGT dengan santri
kelas putri yang mendapat pembelajaran tipe TGT?
7.
Bagaimana aktivitas santri kelas putra dan kelas putri selama proses
pembelajaran matematika yang mendapat pembelajaran dengan metode
kooperatif tipe TGT?
8.
Bagaimana sikap santri kelas putra dan kelas putri terhadap pembelajaran
matematika dengan metode kooperatif tipe TGT?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk memperoleh gambaran tentang peningkatan kemampuan pemahaman
kooperatif tipe TGT dengan santri kelas putra yang mendapatkan
pembelajaran biasa.
2.
Untuk memperoleh gambaran tentang peningkatan penalaran matematis
antara santri kelas putra yang mendapatkan pembelajaran metode kooperatif
tipe TGT dan dengan santri kelas putra yang mendapatkan pembelajaran
biasa.
3.
Untuk memperoleh gambaran tentang peningkatan kemampuan pemahaman
matematis antara santri kelas putri yang mendapat pembelajaran metode
kooperatif tipe TGT dengann santri kelas putri yang mendapat pembelajaran
biasa.
4.
Untuk memperoleh gambaran tentang peningkatan kemampuan penalaran
matematis antara santri kelas putri yang mendapat pembelajaran metode
kooperatif tipe TGT dengan santri kelas putri yang mendapat pembelajaran
biasa.
5.
Untuk memperoleh gambaran tentang perbedaan peningkatan kemampuan
pemahaman matematis antara santri kelas putra dengan santri kelas putri yang
mendapat pembelajaran kooperatif tipe TGT?
6.
Untuk memperoleh gambaran tentang perbedaan peningkatan kemampuan
kemampuan matematis antara santri kelas putra dengan santri kelas putri yang
mendapat pembelajaran kooperatif tipe TGT?
7.
Untuk mengetahui aktivitas santri kelas putra dan kelas putri selama proses
pembelajaran matematika yang mendapat pembelajaran dengan metode
8.
Untuk mengetahui sikap santri kelas putra dan kelas putri dalam
pembelajaran matematika yang mendapat pembelajaran metode kooperatif
tipe TGT.
D.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna sebagai suatu alternatif pembelajaran
yang berarti bagi guru, calon guru, siswa, dan sekolah. Untuk lebih jelasnya
diharapkan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagi guru, dapat menjadi ide dan inspirasi dalam memperluas pengetahuan
dan wawasan mengenai alternatif pembelajaran matematika dalam upaya
meningkatkan pemahaman dan penalaran matematis siswa.
2.
Bagi siswa, pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat menarik rasa
keingintahuan siswa untuk berfikir kritis, kreatif, inovatif, dan sikap sportif
dalam memahami matematika.
3.
Bagi para calon guru. Sebagai bahan masukan untuk lebih mengetahui
alternatif-alternatif metode mengajar dalam usaha meningkatkan prestasi
belajar siswa.
4.
Bagi peneliti bidang sejenis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu dasar dan masukan untuk melakukan pengembangan dalam
E.
Definisi Operasional
Dalam rangka memperoleh persamaan persepsi dan menghindarkan
penafsiran yang berbeda dari beberapa istilah dalam penelitian ini, maka perlu di
perjelas istilah-istilah yang digunakan, yaitu:
1.
Pembelajaran kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah suatu bentuk pembelajaran dimana santri
belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang
anggotanya terdiri dari tiga sampai lima orang dengan struktur kelompok
yang heterogen.
2.
Pembelajaran Kooperatif tipe TGT
Pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah semacam ajang pertandingan yang
melibatkan setiap santri untuk bersaing ketika mewakili kelompoknya.
Pembelajaran kooperatif tipe TGT ini menitikberatkan pada penghargaan
kelompok, pertanggungjawaban masing-masing anggota, kemampuan
berkompetisi dan memperoleh peluang yang sama untuk berhasil bagi setiap
anggota kelompok.
3.
Pemahaman Matematis
Pemahaman matematis adalah penyerapan arti dari suatu materi atau bahan
yang dipelajari. Indikator dalam penelitian ini yaitu: (1) dapat menyelesaikan
soal disertai dengan prinsip/sifat yang mendasarinya; (2) mengidentifikasi
4. Penalaran Matematis
Penalaran matematis adalah kemampuan dalam menarik kesimpulan logis
berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Indikator penalaran yang
digunakan dalam penelitian ini adalah menarik kesimpulan logis, mengikuti
aturan interferensi, memeriksa validitas argumen, dan memberikan penjelasan
dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan dalam
menyelesaikan soal-soal tidak rutin.
4.
Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang khas, bercirikan menggabungkan
pengetahuan agama dan umum. Pada dasarnya pesantren adalah asrama
pendidikan Islam.
5.
Santri
Sebutan untuk orang yang belajar di pesantren.
6.
Madrasah Tsanawiyah berbasis pesantren
Madrasah Tsanawiyah berbasis pesantren adalah madrasah tsanawiyah yang
berada dalam lingkungan pesantren.
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka hipotesis
penelitiannya adalah:
1.
Peningkatan kemampuan pemahaman matematis santri kelas putra yang
mendapat pembelajaran metode kooperatif tipe TGT lebih baik
2.
Peningkatan kemampuan penalaran matematis santri kelas putra yang
mendapat pembelajaran metode kooperatif tipe TGT lebih baik
dibandingkan dengan yang mendapat pembelajaran biasa.
3.
Peningkatan kemampuan pemahaman matematis santri kelas putri yang
mendapat pembelajaran metode kooperatif tipe TGT lebih baik
dibandingkan dengan yang mendapat pembelajaran biasa.
4.
Peningkatan kemampuan penalaran matematis santri kelas putri yang
mendapat pembelajaran metode kooperatif tipe TGT lebih baik
dibandingkan dengan yang mendapat pembelajaran biasa.
5.
Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis
santri kelas putra dengan santri kelas putri yang mendapat pembelajaran
tipe TGT.
6.
Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis santri
kelas putra dengan santri kelas putri yang mendapat pembelajaran tipe
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen. Dalam penelitian ini
digunakan pembelajaran kooperatif tipe TGT. Pembelajaran kooperatif tipe TGT
diduga dapat mempengaruhi terhadap peningkatan kemampuan pemahaman dan
penalaran matematis santri
.Pengujian dilakukan dengan eksperimen, yaitu membandingkan metode
pembelajaran biasa dengan metode kooperatif tipe TGT. Hal lain yang dikaji
dalam penelitian ini adalah untuk melihat aktivitas sanatri selama pembelajaran,
perubahan pemahaman dan penalaran matematis santri serta sikap santri terhadap
pembelajaran kooperatif tipe TGT
B. Disain Penelitian
Desain adalah rancangan yang menggambarkan arah penelitian. Desain
merupakan kerangka atau pola. Penelitian ini merupakan studi eksperimen dengan
desain Pretes-Postest Control Group Design. Di dalamnya terdapat
langkah-langkah atau tahap-tahap yang menunjukkan suatu urutan kegiatan penelitian.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1.
Untuk melihat seberapa besar peningkatan kemampuan pemahaman dan
penalaran matematis, maka diambil kelas kontrol sebagai pembanding. Jadi
dalam penelitian ini akan di ambil empat kelas dari kelas yang sudah
kelas terdiri dari satu kelas putra dan satu kelas putri disebut kelompok
pertama sebagai kelompok eksperimen dan dua kelas terdiri dari satu kelas
putra dan satu kelas putri disebut kelompok kedua sebagai kelompok kontrol.
2.
Untuk menghindari ekstranous variabel, maka variabel-variabel yang
diperkirakan membuat penelitian ini bias perlu dinetralkan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Kemampuan awal siswa
Kedua kelas adalah kelas yang memiliki kemampuan awal yang sama,
data diperoleh dari guru berupa nilai harian siswa.
b.
Lama penyampaian materi
Lama penyampaian materi harus sama, ditambah dengan 2
×
40 menit
untuk pretes sebelum perlakuan diberikan, dan 2
×
40 menit untuk
postes setelah perlakuan diberikan.
c.
Bahan ajar
Kedua kelompok diberikan bahan ajar yang sama dari buku pegangan
yang sama dan LKS yang sama.
Desain penelitiannya adalah desain kelompok kontrol pretest - postest
control group design. Menurut Ruseffedi (1998) desain penelitian ini
digambarkan sebagai berikut:
O
×
O
Keterangan :
O = tes awal, tes akhir pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
×
= perlakuan pembelajaran kooperatif tipe TGT
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Santri yang menjadi subjek penelitian ini adalah siswa yang mempunyai
kemampuan akademik beragam dalam mempelajari serta memahami mata
pelajaran matematika. Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi penelitian
adalah seluruh santri Mts Manbaul Ulum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah II Batu
Ceper Tangerang.
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan cara sampling
purposif. Sampling purposif dikenal juga sebagai sampling pertimbangan, terjadi
apabila pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan seseorang atau
pertimbangan peneliti (Sudjana, 1996). Pada MTs Manbaul Ulum jumlah kelas
VIII ada empat kelas, dua kelas putra dan dua kelas putri. Semua kelas VIII
digunakan sebagai sampel sesuai dengan kebutuhan penelitian. Jadi sampel pada
penelitian ini adalah santri kelas VIII, dengan pertimbangan sebagai berikut :
1.
Santri kelas VIII merupakan santri kelas menengah pada jenjangnya yang
dipandang sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan pesantren
dibandingkan dengan santri kelas VII.
2.
Santri kelas VIII lebih mempunyai pengalaman dalam belajar matematika
3.
Santri kelas IX dipersiapkan untuk menghadapi UN. apabila dijadikan subjek
penelitian dikhawatirkan akan mengganggu kegiatan yang telah dijadwalkan
pihak Mts dan pesantren.
4.
Pada kelas VIII terdapat pokok bahasan yang digunakan dalam penelitian ini.
5.
Penyebaran santri yang mempunyai kemampuan akademik tinggi, sedang dan
rendah setiap kelas cukup merata berdasarkan nilai harian dan informasi dari
guru matematka ang mengajar.
6.
Jumlah santri setiap kelas hampir sama. Masing-masing berjumlah 22 s.d 24
santri setiap kelas.
Dengan pertimbangan diatas, santri kelas VIII MTs Manbaul Ulum Pondok
Pesantren Asshiddiqiyah II dianggap mewakili para santri MTs di pondok
pesantren pada umumnya.
Sebagai sampel diambil empat kelas dari kelas yang sudah tersedia apa
adanya. Dari undian yang dilakukan, kelas Putra D (VIIID) dan kelas Putri A
(VIIIA) ditetapkan sebagai kelas eksperimen. Untuk kelas kontrol yaitu kelas
Putra C (VIIIC) dan kelas putri B(VIIIB).
D. Data penelitian
1. Data kemampuan santri sebelum eksperimen
Merupakan data dari hasil tes awal santri sebelum menggunakan model
pembelajaran tipe TGT dan pembelajaran biasa.
a.
Data ini dikumpulkan sebelum menggunakan pembelajaran kooperatif
b.
Cara pengumpulan data: tes
c.
Bentuk data: skor tes
2. Data ketrampilan kooperatif
Merupakan data ketrampilan khusus yang dimiliki santri dalam pembelajaran
kooperatif tipe TGT pada saat santri melaksanakan belajar kelompok.
Ketrampilan kooperatif yang diamati dalam penelitian ini meliputi : berada
dalam tugas, menghargai pendapat orang lain, mendengarkan dengan aktif,
mengambil giliran, berbagi tugas, dan bertanya.
a.
Data ini dikumpulkan selama pembelajaran kooperatif tipe TGT pada
kelas eksperimen berlangsung.
b.
Cara pengumpulan data: observasi langsung
c.
Bentuk data: berupa sejumlah aktivitas yang menonjol selama
pembelajaran tipe TGT berlangsung.
3. Data ketrampilan berkompetisi
Merupakan data ketrampilan khusus yang dimiliki santri pada saat santri
melaksanakan turnamen akademik dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT.
Data ini dikumpulkan berdasarkan perolehan skor setiap santri pada saat
turnamen akademik dilaksanakan.
a.
Cara pengumpulan data: tes dalam turnamen akademik.
4. Data Pemahaman dan penalaran matematis santri
Merupakan data setelah santri menggunakan pembelajaran kooperatif tipe
TGT. Data ini didapat setelah mendapat tes akhir (postest). Postest
dilaksanakan bagi santri pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol.
a.
Data ini dikumpulkan setelah selesai melaksanakan pembelajaran
kooperatif tipe TGT.
b.
Cara pengumpulan data: tes
c.
Bentuk data: skor tes.
5). Data sikap santri mengenai pembelajaran kooperatif tipe TGT
Merupakan data yang berupa sikap, pendapat, komentar yang berkaitan
dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT yang telah dilaksanakan pada kelas
eksperimen.
a.
Data dikumpulkan setelah pembelajaran di kelas eksperimen setelah
dilaksanakan.
b.
Cara pengumpulan data: skala sikap
c.
Bentuk data: skor skala sikap
E. Variabel Penelitian
Ada dua variabel pada penelitian ini yaitu variabel bebas (independent
variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas adalah
variabel yang dapat dimodifikasi sehingga dapat mempengaruhi variabel lain,
sedangkan variabel terikat adalah hasil yang diharapkan setelah terjadi modifikasi
adalah suatu variabel mandiri yang diduga dapat mempengaruhi variabel lain,
sedangkan dependent variable adalah variabel yang dipengaruhi oleh
independent variable.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan
menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Teams-Games-Tournament (TGT).
Sedangkan variabel terikatnya adalah pemahaman dan penalaran matematis santri.
Dalam setiap pelaksanaan penelitian tidak menutup kemungkinan akan
muncul variabel-variabel luar yang akan mempengaruhi variabel terikat yang
disebut variabel extraneous, misalnya disain pembelajaran, guru, waktu belajar
dan lain sebagainya. Variabel luar yang terjadi dalam penelitian ini diasumsikan
tidak mempengaruhi secara signifikan (berarti) terhadap variabel terikat.
F. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan dua macam
instrumen, yaitu instrument tes dan non-tes. Instrumen jenis tes melibatkan
seperangkat tes kemampuan pemahaman matematik (soal berbentuk tes uraian),
tes kemampuan penalaran matematik (soal berbentuk tes uraian). Sedangkan
instrumen dalam bentuk non-tes melibatkan skala sikap santri, dan lembar
observasi untuk mengukur tingkat aktivitas santri selama proses pembelajaran
dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT. Masing-masing
1.
Tes Kemampuan Santri
Tes kemampuan santri digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif
santri dalam pemahaman dan penalaran matematis. Tes kemampuan santri disusun
berdasarkan rumusan tujuan pembelajaran yang dituangkan dalam kisi-kisi. Soal
tes diujicobakan kemudian diadakan revisi terhadap item yang kurang baik atas
dasar analisis ujicoba. Selain itu dalam menyusun tes mengikuti
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data mengenai pemahaman dan
penalaran matematis santri. Tes dipillih dalam bentuk uraian dengan maksud
untuk melihat proses pengerjaan yang dilakukan santri agar dapat diketahui
sejauh mana kemampuan pemahaman dan penalaran matematis santri.
Dalam penyusunan tes, diawali dengan penyusunan kis-kisi yang mencakup
kompetensi dasar, indikator, aspek yang diukur beserta skor penilaiannya dan
nomor butir soal. Dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawaban dan
aturan pemberian skor untuk masing-masing butir soal.
Bahan tes direncanakan diambil dari materi pelajaran matematika
SMP/MTs kelas VIII semester genap dengan mengacu pada KTSP.
Pemberian skor untuk soal-soal pemahaman dan penalaran matematis
mengikuti pedoman dari Cai, Lane dan Jakabcsin (dalam Budiman, 2008) sebagai
Tabel 3.1
Pemberian Skor Soal Pemahaman Matematis
Skor Respon Siswa Terhadap Soal
4
Menunjukkan kemampuan pemahaman :
a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal matematika secara lengkap
b. Penggunaan algoritma secara lengkap dan benar, dan melakukan perhitungan benar
3
Menunjukkan kemampuan pemahaman :
a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal matematika hampir lengkap
b. Penggunaan algoritma secara lengkap namun mengandung sedikit kesalahan dalam perhitungan
2
Menunjukkan kemampuan pemahaman :
a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal matematika kurang lengkap
b. Penggunaan algoritma namun mengandung perhitungan yang salah
1
Menunjukkan kemampuan pemahaman :
a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal matematika sangat terbatas
b. Jawaban sebagian besar mengandung perhitungan yang salah
[image:31.595.128.513.147.623.2]0 Tidak ada jawaban, kalaupun ada tidak menunjukkan pemahaman kosep dan prinsip terhadap soal matematika
Tabel 3.2
Pemberian Skor Soal Penalaran Matematis
Skor Respon Siswa Terhadap Soal
0 Tidak ada jawaban/menjawab tidak sesuai dengan pertanyaan/tidak ada
yang benar
1 Hanya sebagian aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar
2 Hampir semua aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar
3 Semua aspek dijawab dengan jelas, lengkap dan benar
Kemudian, apabila soal telah diujicobakan maka dilanjutkan dengan
analisis soal meliputi validitas, reabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda
a.
Analisis Validitas tes
Validitas merupakan salah satu hal yang penting dalam menentukan
instrumen penelitian. Menurut Suherman (1990) suatu alat evaluasi disebut valid
apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi.
Menurut Ruseffendi (1994) suatu instrumen dikatakan valid bila instrumen itu,
untuk maksud dan kelompok tertentu, mengukur apa yang semestinya diukur.
Sebuah soal tes dikatakan valid bila mempunyai dukungan yang besar
terhadap skor total. Untuk dapat menentukan apakah suatu tes telah memiliki
validitas atau daya ketepatan mengukur, dapat dilakukan dari dua cara, yaitu: dari
tes itu sendiri sebagai suatu totalitas, dan dari segiitem sebagai bagian tak
terpisahkan dari tes tersebut (Sudijono,2003)
Pengujian validitas dalam penelitian ini menggunakan validitas banding,
yaitu nilai hasil uji coba per item dikorelasikan dengan nilai total uji coba. siswa
yang diasumsikan telah mencerminkan kemampuan siswa sebenarnya dalam
matematika. Dalam hal ini digunakan rumus korelasi product moment (Arikunto,
2002).
=
−{ − } { − }
Keterangan:
= koefisien korelasi nilai x dengan nilai y
n = banyak santri
x = skor butir soal yang dicari validitasnya
y = skor total
Interpretasi mengenai besarnya koefisien korelasi menurut Arikunto
Tabel 3.3
Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas
Koefisien Korelasi Interpretasi
0,80 < ≤ 1,00 Sangat tinggi
0,60 < ≤ 0,80 Tinggi
0,40 < ≤ 0,60 Cukup
0,20 < ≤ 0,40 Rendah
0,00 ≤ ≤ 0,20 Kurang
Perhitungan validitas soal secara keseluruhan dengan menggunakan
program Exel. Terlihat koefisien korelasi validitas untuk soal pemahaman
matematisnya adalah 0,77 termasuk kategori tinggi, sedangkan untuk koefisien
korelasi validitas soal penalaran matematisnya adalah 0,81 juga termasuk kategori
sangat tinggi. Selengkapnya disajikan dalam lampiran C.2 dan C.3.
b.
Validitas Item Soal
Validitas butir item dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki
oleh sebutir item (yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tes sebagai suatu
totalitas), dalam mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir item tersebut
(Sudijono, 2003:182). Sebuah soal tes dikatakan valid bila mempunyai dukungan
yang besar terhadap skor total. Untuk menguji setiap item validitas setiap item
soal, skor-skor yang ada pada item tes dikorelasikan dengan skor total.
Perhitungan validitas item tes dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi
=
−{ − } { − }
Keterangan :
= koefisien korelasi nilai x dengan nilai y
n = banyak santri
x = skor butir soal yang dicari validitasnya
y = skor total
Berdasarkan tabel harga kritis r product moment , jika
<
��maka
korelasi tersebut tidak signifikan (tidak valid). Jika harga jika
>
��maka
korelasi tersebut signifikan (valid).
Dalam penelitian ini, koefisian korelasi nilai x dengan nilai y dihitung
[image:34.595.115.518.165.676.2]dengan SPSS 16. Perolehan nilai disajikan pada tabel 3.4 berikut :
Tabel 3.4
Korelasi antara Skor Masing-masing Item Soal dengan Skor Total
Kemampuan
Matematis
No.
Soal
Korelasi
Pearson
Sig (2-tailed) Kategori
Pemahaman
Matematis
1 0,752 0,000 Tinggi
2 0,836 0,000 Sangat Tinggi
3 0,899 0,000 Sangat Tinggi
4a 0,866 0,000 Sangat Tinggi
Penalaran
Matematis
4b 0,931 0,000 Sangat Tinggi
5 0,824 0,000 Sangat Tinggi
6 0,732 0,000 Tinggi
7 0,717 0,000 Tinggi
Dari perhitungan validitas per item soal dengan menggunakan program
validitas yang tinggi, sedangkan soal nomor 2, 3, dan 4 memiliki validitas yang
sangat tinggi. Sedangkan untuk soal kemampuan penalaran matematis, pada
nomor 4b dan 5 memiliki validitas yang sangat tinggi, nomor 6 dan 7 memiliki
validitas tinggi. Perhitungan selengkapnya disajikan dalam lampiran C.4 dan C.5
c.
Analisis Reliabilitas Tes
Reliabilitas tes adalah tingkat keajegan(konsistensi) suatu tes, yaitu sejauh
mana suatu tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang konsisten (tidak
berubah-ubah).
Rumus yang digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk uraian
dikenal dengan rumus alpha (Suherman, 2003), yaitu :
11
=
�
� −
1
1
−
⅀
�22
Keterangan :
11
= reliabilitas tes secara keseluruhan
n = banyak butir soal
�2
= varians skor setiap item
2
= varians skor total yang diperoleh siswa
Untuk koefisien reliabilitas yang menyatakan derajat keterandalan alat
evaluasi dapat digunakan tolak ukur yang dibuat oleh J.P. Guilford
Tabel 3.5
Interpretasi Koefisien Korelasi Reliabilitas
Koefisien Korelasi Interpretasi
0,80 < ≤ 1,00 Sangat tinggi
0,60 < ≤ 0,80 Tinggi
0,40 < ≤ 0,60 Cukup
0,20 < ≤ 0,40 Rendah
0,00 ≤ ≤ 0,20 Kurang
Dari hasil uji coba instrumen dengan menggunakan rumus alpha dengan program
SPSS 16 dan berdasarkan interpretasi reliabilitas pada tabel 3.5 diperoleh reliabilitas
instrumen tes kemampuan pemahaman matematis secara keseluruhan 0,8
55 yang
artinya kategori sangat tinggi, sedangkan reliabilitas untuk instrumen kemampuan
penalaran matemati secara keseluruhan adalah 0.819 juga masuk pada kotegori
sangat tinggi. Perhitungan selengkapnya isajikan pada lampiran C.6 dan C.7
d.
Analisis Tingkat Kesukaran Soal
Menurut Sudijono (2001) butir-butir item tes hasil belajar dapat dinyatakan
sebagai butir-butir item yang baik apabila butir-butir item tersebut tidak terlalu
sukar dan tidak terlalu rendah pula. Butir-butir item tes baik, jika derajat
kesukaran item itu adalah sedang atau cukup.
Tingkat kesukaran pada masing-masing butir soal dihitung dengan
menggunakan rumus berikut (To, 1996) :
Keterangan :
TK = tingkat kesukaran
Sr = jumlah skor yang diperoleh seluruh santri padasatu butir soal yang
diolah
Ir = Jumlah skor ideal maksimum yang diperoleh pada satu butir soal
tersebut.
Hasil perhitungan tingkat kesukaran diinterpretasikan dengan menggunakan
kriteria tingkat kesukaran butir soal yang dikemukakan oleh Suherman (2003)
sebagai berikut :
Tabel 3.6
Kriteria Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran Interpretasi
TK = 0,00 Terlalu sukar
0.00 < TK ≤ 0.30 Sukar
0,30 < TK ≤ 0,70 Sedang
0,70 < TK ≤ 1,00 Mudah
TK = 1,00 Terlalu mudah
Berdasarkan hasil uji coba instrumen dengan menggunakan Exel, diperoleh
tingkat kesukaran soal pemahaman dan penalaran matematis sebagai berikut :
Tabel 3.7
Perhitungan Tingkat Kesukaran
Soal Kemampuan Pemahaman Matematis
Nomor
soal
Tingkat
Kesukaran
Interpretasi
1
0,56
Sedang
2
0,56
Sedang
3
0,73
Mudah
[image:37.595.113.512.133.525.2]Tabel 3.8
Perhitungan Tingkat Kesukaran
Soal Kemampuan Penalaran Matematis
Nomor
Soal
Tingkat
Kesukaran
Interpretasi
4b
0,61
Sedang
5
0,50
Sedang
6
0,28
Sukar
7
0,28
Sukar
Dari tabel terlihat bahwa untuk soal kemampuan pemahaman matematis
terdapat tiga soal yang memiliki tingkat kesukaran sedang, yaitu nomor 1, 2, dan
4a dan untuk soal yang tingkat kesukarannya mudah ada satu nomor, yaitu nomor
3.
Sedangkan tingkat kesukaran pada soal penalaran matematis terdapat dua
soal yang memiliki tingkat kesukaran tinggi, yaitu nomor 6 dan 7. Untuk soal
yang memiliki tingkat kesukaran sedang ada dua nomor, yaitu nomor 4b dan 5.
Cara perhitungan tingkat kesukaran
Perhitungan tingkat kesukaran pada soal kemampuan pemahaman dan
penalaran matematis disajikan dalam lampiran C.8 dan C.9
e.
Analisis Daya Pembeda
Daya pembeda butir soal menyatakan kemampuan suatu butir soal
untuk dapat membedakan santri yang mampu menjawab benar dengan santri yang
yang baik apabila santri yang pandai dapat menjawab soal dengan baik, dan santri
yang kurang pandai tidak dapat menjawab soal dengan baik.
Untuk menghitung daya pembeda, perlu dibedakan antara skor
kelompok atas (
�
) dengan skor kelompok bawah (
�
)). Kelompok dibagi dua ,
yaitu kelompok atas dan kelompok bawah. Pembagiannya 27% untuk kelompok
atas dan 27% untuk kelompok bawah.. Menghitung daya pembeda (DP) dilakukan
dengan menggunakan rumus (Sudijono, 2001: 387) yaitu :
DP =
� −��
Keterangan :
DP = Daya pembeda
�
= Jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah
�
= Jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah
= Jumlah skor ideal salah satu kelompok butir soal dipilih
Hasil perhitungan daya pembeda kemudian diinterpretasikan dengan
[image:39.595.117.508.228.700.2]klasifikasi yang dikemukakan oleh Suherman (2003) seperti Tabel 3.9 berikut:
Tabel 3.9
Klasifikasi Daya Pembeda
Daya Pembeda Interpretasi
�� ≤ 1,00 Sangat rendah
0,00 < DP≤ 0,20 Rendah
0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup/Sedang
0,40 < DP ≤ 0,70 Baik
0,70 ≤ DP ≤ 1,00 Sangat Baik
Dengan menggunakan program Exel hasil perhitungan instrumen uji
coba daya pembeda soal kemampuan pemahaman dan penalaran matematis
Tabel 3.10
Perhitungan Daya pembeda Soal Kemampuan Pemahaman Matematis
Nomor
soal
Daya
Pembeda
Interpretasi
1 0,55 Baik
2 0,64 Baik
3 0,82 Sangat Baik
4a 0,75 Sangat Baik
Dari tabel terlihat, untuk daya pembeda soal kemampuan pemahaman
matematis pada nomor 1 dan 2 termask kategori baik, sedangkan untuk nomor 3
dan 4a termasuk kategori sangat baik.
Tabel 3.11
Perhitungan Daya pembeda Soal Kemampuan Penalaran Matematis
Nomor
soal
Daya
Pembeda
Interpretasi
4b
0,77
Sangat Baik
5
0,55
Baik
6
0,55
Baik
7
0,44
Baik
Dari tabel terlihat bahwa daya pembeda soal kemampuan penalaran
matematis untuk nomor 4b termasuk kategori sangat tinggi, sedangkan nomor 5, 6
dan 7 mempunyai daya pembeda yang baik. Hasil selengkapnya disajikan pada
lampiran C.10 dan C.11.
f.
Rekapitulasi Analisi Hasil Uji Coba
Kesimpulan hasil uji coba instrumen kemampuan pemahaman dan penalaran
Tabel 3.12
Rekapitulai Analisis Hasil Uji Coba instrumen Kemampuan
Pemahaman Matematis
Jenis Tes No Soal Interprepasi Validitas Tes Interpretasi Validitas Item Tes Interpretasi reliabilitas Interpretasi Tingkat kesukaran Interpretasi Daya Pembeda Kemampuan pemahamn Matematis 1 Tinggi Tinggi TinggiSedang Baik
2 Sangat
Tinggi
Sedang Baik
3 Sangat
Tinggi
Mudah Sangat
Baik
4a Sangat
Tinggi
Sedang Sangat
[image:41.595.128.516.164.583.2]Baik
Tabel 3.13
Rekapitulai Analisis Hasil Uji Coba instrumen Kemampuan Penalaran
Matematis
Jenis Tes No Soal Interprepasi Validitas Tes Interpretasi Validitas Item Tes Interpretasi reliabilitas Interpretasi Tingkat kesukaran Interpretasi Daya Pembeda Kemampuan penalaran Matematis 1 Sangat Tinggi Sangattinggi Sangat
Tinggi
Sedang Sangat
Baik
2 Sangat
Tinggi
Sedang Baik
3 Tinggi Sukar Baik
4a Tinggi Sukar Baik
2.
Lembar Pengamatan Kegiatan Santri dalam Pembelajaran
Pengamatan
dilakukan
sepanjang
kegiatan
belajar
mengajar
berlangsung, dari awal kegiatan hingga guru menutup pelajaran. Kegiatan santri
yang diamati meliputi : mendengarkan atau menyimak pelajaran guru/teman,
mencatat, bertanya antara santri dengan guru, berdiskusi/bertanya antara santri
dengan santri, menjawab pertanyaan baik dari santri maupun guru, kemampuan
berkompetisi, dan kejujuran.
Pengamat dalam penelitian ini adalah guru yang mengajar mata
pelajaran matematika di sekolah yang sebelumnya telah berdiskusi terlebih
dahulu. Format lembar pengamatan yang digunakan terdapat pada lampiran B.5..
3.
Skala Sikap
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang pendapat santri
terhadap pembelajaran matematika pada umumnya, pembelajaran kooperatif tipe
TGT, dan soal-soal kemampuan pemahaman dan penalaran matematis.
Sikap respon santri yang digunakan terbagi ke dalam 4 kategori yang
tersusun secara bertingkat, mulai dari Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju
(TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). (Suherman & Kusumah, 1990)
Dalam menganalisis hasil angket, skala kualitatif ditransfer ke dalam skala
kuantitatif. Penskoran yang digunakan dalam menstranfer skala tersebut
berdasarkan pada distribusi jawaban santri yang di transfer ke dalam persentase.
Format skala sikap dan kisi-kisi skala sikap terdapat pada lampiran B.3 dan B.4.
4.
Pedoman wawancara
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data yang tidak dapat diperoleh
pada saat tes atau pengamatan, karena wawancara sangat efektif untuk menggali
dengan beberapa santri kelas eksperimen dan guru matematika di MTs.
Wawancara terhadap santri digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih
lengkap dan mendalam mengenai perasaan dan sikap santri kelas eksperimen
terhadap pembelajaran kooperatif tipe TGT. Wawancara terhadap guru digunakan
untuk memperoleh pendapat dan saran mengenai pembelajaran kooperatif tipe
TGT. Format wawancara terdapat pada lampiran B.7.
5.
Pengembangan Bahan Ajar
Bahan ajar yang digunakan pada penelitian ini disusun dalam bentuk Lembar
Kerja Santri (LKS) dan soal-soal turnamen. Dengan LKS, santri berusaha
memahami materi yang sedang dipelajari secara berkelompok, berdiskusi, saling
membantu sesama anggota kelompok untuk mempersiapkan turnamen sesuai
dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT.
G. Prosedur dan Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu tahap
persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pengolahan data.
1.
Tahap Persiapan.
Beberapa kegiatan yang direncanakan dalam tahap ini yaitu :
a.
Menyusun kisi-kisi dan instrumen tes serta merancang LKS
b.
Menemui Kepala Madrasah Tsanawiyah Manbaul Ulum Pondok Pesantren
Asshiddiqiyah II Kota Tangerang untuk memohon ijin melaksanakan
c.
Berkonsultasi dengan guru matematika untuk menentukan waktu, teknis
pelaksanaan penelitian, memilih sampel sebanyak empat kelas secara acak
untuk
dijadikan
kelas
eksperimen
dan
kelas
kontrol,
membuat
pengelompokan di kelas eksperimen berdasarkan nilai hasil ulangan umum
dan harian dari guru matematika.
d.
Mengujicobakan instrumen.
2.
Tahap Pelaksanaan
Kegiatan pertama dalam tahap pelaksanaan pada penelitian ini diawali
dengan memberikan pretes di kelas kontrol dan kelas eksperimen yang semuanya
berjumlah 4 kelas. Waktu untuk pertemuan awal ini adalah 2 x 40 menit. Kelas
VIIIB ditetapkan sebagai kelas kontrol putri, sedangkan kelas VIIIA ditetapkan
sebagai kelas eksperimen. Sementara untuk kelas putra ditetapkan kelas VIIIC
sebagai kelas kontrol dan kelas VIIID sebagai kelas eksperimen. Jumlah santri
pada kelas VIIIA adalah 22 santri, kelas VIIIB 23 santri, kelas VIIIC 24 santri dan
kelas VIIID berjumlah 24 santri.
Kegiatan berikutnya adalah pembelajaran. Pembelajaran dilakukan dikelas
eksperimen dan kelas kontrol. Pembelajaran pada semua kelas dilakukan
sebanyak 7 kali pertemuan termasuk pretes dan postes. Tahap pelaksanaan
dilaksanakan di bulan Mei 2012. Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai
guru matematika di kelas. Model pemelajaran yang dipakai dikelas kontrol adalah
model pembelajaran biasa. Sedangkan di kela eksperimen diterapkan model
pembelajaran dilaksanakan, peneliti telah mendata nilai harian santri semua kelas.
Tujuannya adalah untuk mengetahui kemampuan awal santri sekaligus sebagai
pedoman untuk membagi kelompok pada pelaksanaan pembelajaran dengan tipe
TGT di kelas eksperimen. Berdasarkan data nilai harian, peneliti menyusun
rangking santri. Pembentukan kelompok dibuat dengan ketentuan setiap
kelompok terdiri dari anggota yang homogen, termasuk dari segi kemampuannya.
Sehingga dalam mengerjakan tugas kelompok akan ada interaksi antar santri,
berupa saling bantu membantu dalam mengerjakan tugas atau pembahasan bahan
ajar.
Selain membentuk kelompok untuk pelaksanaan pembelajaran, peneliti juga
membentuk kelompok untuk turnamen akademik untuk pertemuan pertama. Jika
pada kelompok pembelajaran anggotanya harus homogen, maka tidak demikian
pada kelompok turnamen. Anggota kelompok turnamen dalam satu meja haruslah
santri yang memiliki kemampuan setara. Jadi anggota pada meja turnamen
pertama (meja1) adalah santri yang memiliki kemampuan paling tinggi pada
masing-masing kelompoknya. Meja kedua beranggotakan santri yang memiliki
kemampuan lebih rendah dari santri yang menjadi aggota di meja pertama dan
seterusnya. Segala keperluan untuk proses pembelajaran mulai dari pretes,rencana
pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja santri, soal turnamen dan susunan
anggota setiap meja turnamen pada setiap pertemuan selengkapnya disajikan pada
lampiran F.3.
Pemberian materi kubus dan balok direncanakan sebanyak 5 kali pertemuan.
dan juga di kelas kontrol. Tujuannya untuk memperoleh data sejauh mana
keberhasilan metode pembelajaran yang digunakan.
3.
Tahap Pengolahan Data
Data yang diperol