• Tidak ada hasil yang ditemukan

"Berdamai dengan Ketidakpastian " (WIB) Zoom Meeting

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan ""Berdamai dengan Ketidakpastian " (WIB) Zoom Meeting"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

GEREJA KRISTEN JAWA NEHEMIA

(Anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia)

JI. Raya Pasar Jumat, Pondok Pinang, Jakarta Selatan 12310

Telp.: 021-7691116, Email: [email protected], Website: www.gkjnehemia.net

Nomor Perihal Lampiran

Kepada Yth.

: 013/KG-GKJNIIII/2021

: Permohonan menjadi pem·bicara : 1 (satu) kerangka acuan kerja

Pdt. Septemmy E. Lakawa, Th.D

Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

Salam dalam Kristus,

Jakarta, 03 Maret 2021

Sehubungan dengan rnasa Paskah yang akan berlangsung pada bulan Februari 2021 - Mei 2021, karni selaku panitia penyelenggara Paskah Gereja Kristen Jawa (GKJ) Nehemia akan menyelenggarakan ke.giatan seminar daring / web seminar (Webinar) sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Masa Penghayatan Dasar - Dasar Kekristenan 2021 GKJ Nehernia.

Maka dari itu, kami ingin mengundang lbu Pendeta Septernmy E. Lakawa, Th.D untuk.

menjadi narasumber dalarn seminar daring MPDK 2021 GKJ Nehemia yang berterna :

"Berdamai dengan Ketidakpastian "

Yang akan berlangSllllg pada,

Hari/Tanggal Sabtu, 17 April 2021

Jam 17.00 - 19.00 (WIB)

Platform Zoom Meeting

Bersarna dengan surat ini kami lampirkan 1 (satu) buah kerangka acuan. kerja (KAK) sebagai garnbaran dalam mengenai seminar daring tersebut. Demikian surat permohonan ini karni sarnpaikan. Terima kasih atas perhatian Ibu Septemmy dan mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan.

Salam Honnat, Mengetahui,

~ ( k ~ ,

C~~~na -~ian Prasodjo

Ketua Panitia Paskah GKJ Nehemia 2

,....,,.,

D . Ari Saptama

K a Majelis GKJ Nehemia

\ I

l '

(3)

ToR

Bincang Online GKJ Nehemia

Tema: Berdamai dengan Ketidakpastian

A. Latar Belakang

Setahun sudah kita menjalani masa pandemi. Masa yang cukup sulit karena kita dipaksa untuk melakukan banyak perubahan dan penyesuaian. Manusia sebagai makhluk sosial dipaksa untuk meminimalisir komunikasi secara tatap muka, krisis ekonomi yang datang lebih cepat dari perkiraan para ekonom, perubahan besar pada dunia medis yang saat ini menjadi sorotan utama kehidupan, dunia pendidikan dan pekerjaan yang dipaksa beralih menjadi online, juga kegiatan peribadatan - gereja khususnya - yang hingga saat ini masih melakukan ibadah secara virtual.

Hampir seluruh kegiatan manusia saat ini dilakukan dengan pembatasan dan juga penyesuaian untuk menghindari virus COVID-19. Manusia tidak hanya harus beradaptasi untuk menghadapi ini semua namun juga dituntut untuk mampu menanti dalam ketidakpastian. Dalam masa penantian ini, harapan menjadi motor kita untuk tetap terus bergerak. Harapan itu pula mulai terlihat satu persatu. Vaksin yang mulai di distribusikan, lapangan pekerjaan baru yang muncul di saat pandemi, cara bersosialisasi yang baru, dan banyak hal baru lainnya. Namun tetap kita tidak pernah tahu apakah kehidupan kedepan bisa kembali seperti semula atau tidak. Kita juga tidak tahu kapan pandemi akan berakhir. Dalam masa ketidakpastian seperti ini, kita hidup dengan banyak sekali pertanyaan dan kekhawatiran.

Pertanyaan dan kekhawatiran ini menimbulkan dampak bagi setiap pribadi dalam berbagai aspek. Hidup dalam ketakutan tertular COVID-19, vaksin datang namun tetap takut karena memiliki penyakit bawaan, takut keluar rumah karena khawatir menjadi OTG dan menularkan ke orang sekitar, dan banyak ketakutan lainnya yang membuat orang menjadi sangat khawatir dan waspada. Beberapa orang sampai mengalami depresi karena kehilangan pekerjaan atau hancurnya bisnis dan perekonomian keluarga. Lainnya mengalami duka yang mendalam karena kehilangan anggota keluarga atau sahabat, serta timbulnya permasalahan di dalam keluarga.

Pada kondisi tersebut, kita pada akhirnya perlu belajar untuk hidup dalam kondisi penuh ketidakpastian seperti saat ini. Namun, hidup berdampingan dengan ketidakpastian tidaklah mudah karena setiap orang memiliki cara menyesuaikan diri yang berbeda. Kondisi ini pula dapat menghasilkan orang-orang yang menjadi semakin kuat, hidup hanya sekadar bertahan dan berdamai dengan situasi, atau malah menjadikan orang trauma dengan keadaan ini.

Merespons kondisi ini, timbul pemikiran lanjutan bahwa sebagai orang percaya, di tengah ketidakpastian ini, kita perlu memiliki perspektif yang benar tentang bagaimana kita dapat melanjutkan hidup dan berdamai dengan kondisi-kondisi yang ada. Untuk itu, kami panitia Paskah GKJ Nehemia bermaksud mengadakan bincang online dengan topik Berdamai dengan Ketidakpastian, guna memberikan penguatan yang implementatif bagi jemaat agar dapat

(4)

berdamai dengan kondisi ini, tetap memiliki pengharapan, dan tetap berpijak pada tumpuan yang benar.

B. Tujuan

Melalui kegiatan ini, umat diharapkan memiliki perspektif tentang bagaimana orang beriman hidup atau bertahan dalam situasi yang tidak pasti ini dengan tetap memiliki pengharapan, kekuatan, dan juga tujuan yang relevan.

C. Sasaran

Seluruh Jemaat GKJ Nehemia, dengan target utama : lansia, dewasa, serta pemuda remaja.

D. Waktu dan Tempat

Kegiatan diselenggarakan secara virtual pada:

Hari, tanggal : Sabtu, 17 April 2021 Waktu : 18.30 – 20.30 wib

Tempat : ZOOM Meeting (room number dan password akan diinfokan kemudian) E. Panitia dan Narasumber

Kegiatan di koordinasi oleh Panitia Paskah 2021 GKJ Nehemia Ketua Panitia : Christina Dian

Koord Acara : Asti Setiadi

Narasumber : Pdt. Septemmy E. Lakawa, Th.D.

Moderator : Xenia Tomasouw & Anggia Ayu Sebrina (co Moderator) F. Jadwal Acara

Waktu (WIB) Kegiatan PIC

18.00 – 18.30 Pengkondisian panitia dan peserta HOST

18.30 – 18.35 Pembukaan Moderator

18.35 – 19.35 Paparan Narsum Narasumber

19.35 – 20.30 Tanya jawab Moderator

20.30 Penutupan Moderator

(5)

1

Bincang Online—GKJ Nehemia 17 April 2021 Septemmy E. Lakawa, Th.D

. Berdamai dengan Ketidakpastian

Berdamai dan ketidakpastian adalah dua kata yang kontradiktif. Berdamai biasanya identik dengan konflik. Berdamai ada jika ada konflik. Sementara itu ketidakpastian tidak selalu berkaitan dengan konflik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berdamai berarti berbaik kembali. Berdamai berarti bersepakat atau bersedia menerima apa yang sebelumnya tidak dapat diterima. Lalu bagaimana dengan

ketidakpastian? Pertanyaan ini mengawali penjelasan dalam webinar kali ini.

Setiap orang memiliki pengalaman tentang ketidakpastian yang memengaruhi sudut pandangnya. Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda dengan orang lain tentang ketidakpastian. Pertanyaan tentang apa itu ketidakpastian mungkin menghasilkan respons atau reaksi yang berbeda-beda dari setiap orang. Ada yang meresponsnya dengan mengatakan bahwa ketidakpastian itu menakutkan,

mencemaskan dan sebagainya. Sama halnya dengan reaksi tubuh yang akan berbeda bagi setiap orang jika mengalami ketidakpastian.

Ketika kita berbicara tentang ketidakpastian, cakrawala kita tidak hanya terbatas pada apa yang kita pikirkan dan rasakan tentangnya. Seluruh pengalaman raga kita sebagai manusia mengalami dan bereaksi dalam merespons ketidakpastian tersebut.

Ketidakpastian dapat datang dalam bentuk yang sederhana, dalam keseharian, dapat terjadi pada sekelompok orang dan pada individu yang berbeda-beda. Ketidakpastian dapat datang secara masif, yang memecah dan mengganggu semua yang selama ini kita anggap biasa atau pasti. Misalnya, pandemi covid-19 yang kita alami saat ini, sedang memecah keseharian dan kebiasaan kita. Pandemi covid-19 memperhadapkan kita pada beragam ketidakpastian, yang kita respons dengan cara yang berbeda-beda.

Ketidakpastian merupakan hal yang lumrah. Namun karena ketidakpastian seringkali bersilangan dengan banyak hal, sehingga membuatnya menjadi hal yang sangat menakutkan. Misalnya saja, pandemi covid 19, yang awalnya hanya

dihubungkan pada virus dan kesehatan, kini berkembang menjadi kondisi yang memengaruhi keadaan politik, ekonomi, politik, sosial, bahkan kesehatan mental dan spiritual. Pandemi semakin memperlihatkan bahwa ruang yang selama ini dilihat aman menjadi ruang menakutkan. Pandemi membawa ketidakpastian menjadi lebih besar.

(6)

2

Ketidakpastian tersebut merenggut apa yang kita kenal, yang rutin atau bahkan rutinitas kita, dan melepaskan kontrol yang kita miliki.

Ketidakpastian: dimensi teologis-biblis- yang paradoksal

Ada beberapa dimensi ketidakpastian. Secara teologis-biblis, ketidakpastian merupakan yang paradoks. Ada hal-hal yang tampak bertentangan, tetapi ketika kita mendekatinya, hal yang bertentangan tersebut dapat berjalan. Jadi sifat ketidakpastian sebenarnya adalah paradoks. Ketika kita melihatnya sebagai sesuatu yang paradoks dan dapat menjalaninya, maka hal tersebut menjadi jalan tengah bagi kita untuk menghadapi ketidakpastian tersebut. Pemahaman ini menolong kita untuk tidak menghindar dari ketidakpastian, melainkan berjalan atau menjalaninya sekalipun terdapat berbagai macam resiko yang mengikuti. Ini adalah salah satu cara bagi kita untuk berdamai dengan ketidakpastian.

Kehendak bebas manusia vs. keterbatasannya.

Kisah penciptaan dalam kitab Kejadian sebenarnya memuat doktrin tentang kehendak bebas sekaligus keterbatasan manusia. Namun pemahaman ini jarang muncul karena adanya pemahaman umum yang selama ini diberikan kepada umat Kristen bahwa kitab Kejadian merupakan narasi penciptaan sekaligus kejatuhan manusia ke dalam dosa.

Ketika kita membaca kembali kitab Kejadian tersebut, kita akan menemukan narasi tentang ketidakpastian dan keterbatasan manusia. Misalnya saja, ketika Adam dan Hawa melakukan kesalahan, mereka merasa bersalah dan menyadari keterbatasan mereka sebagai manusia. Oleh karena itu mereka bersembunyi dari Allah. Namun, di tengah kesadaran atas keterbatasan kemanusiaan tersebut, Allah hadir bersama-sama mereka. Allah bahkan menyelimuti mereka dengan kain yang hangat. Hal ini

memperlihatkan bahwa di tengah keterbatasan manusia, Allah tidak menghukum, melainkan menyiapkan pertolongan. Allah mengafirmasi kesadaran mereka bahwa mereka adalah manusia dan memiliki kehendak bebas. Ini merupakan hal yang

paradoks. Manusia diberikan kehendak bebas untuk memilih, namun di saat yang sama kehendak bebas dan keberanian untuk memilih tersebut lahir dari keterbatasannya. Di tengah keterbatasannya, manusia tetap menerima anugerah dan pemeliharaan dari Allah.

Ketidakpastian berkaitan erat dengan kerapuhan dan keterbatasan manusia.

Elisabeth Johnson dalam tulisannya berjudul Theology and the Heisenberg Uncertainty mengatakan “God, then, is neither a maker of clocks nor a thrower of dice, but a patient and subtle Creator, content to achieve divine purpose through the unfolding of process

(7)

3

and accepting thereby a measure of the vulnerability and precariousness which always characterizes the gift of freedom by love” (Johnson 1992, 131). “Secara ontologis

maupun epistemologis, ketidakpastian akan selalu muncul bahkan menjadi bagian inti dari setiap bentuk pemaknaan atas dunia” (Johnson 1992, 131).

Ketidakpastian sebagai implikasi kerapuhan kita

Joas Adiprasetya dalam tulisannya yang berjudul Gereja Pascapandemi Merengkuh Kerapuhan mengatakan kerapuhan berasal dari dalam dan dari luar diri kita. Manusia memiliki kerapuhan yang inheren/universal/given/prekariat dan yang

sosial/lokal/constructed/prekaritas. Kerapuhan memperlihatkan bahwa kita yang

memiliki kehendak bebas pada akhirnya akan melihat ketidakpastian itu terjadi karena kita rapuh. Maka, ketika kita menghadapi ketidakpastian, kita akan melihat ke dalam diri kita dan mencari sumber-sumber yang tepat, baik dari dalam maupun dari luar diri kita, yang dapat digunakan untuk menolong kita berdamai dan menerima

ketidakpastian tersebut.

Berdamai dengan ketidakpastian hanya dimungkinkan jika kita bersedia

“merengkuh kerapuhan”. Merengkuh berarti melihat bahwa kita terbatas dan rapuh, namun di saat yang sama kita menerima dan membiarkan Tuhan yang rapuh tersebut berjalan bersama kita. Ketidakpastian tidak akan pergi, ia tetapa ada dan tinggal. Oleh karena itu, cara kita untuk memastikan bahwa kita dapat hidup di tengah

ketidakpastian tersebut adalah dengan merengkuhnya. Ketika kita menyadari bahwa kita rapuh, maka kita dapat merespons ketidakpastian yang datang dari luar diri kita.

Oleh karena kita rapuh dan kita memiliki pengalaman sebagai insan yang rapuh, maka kita dapat menerima ketidakpastian tersebut, tanpa harus terjatuh atau terjerumus di dalamnya.

Kita mempelajari kerapuhan dari Allah, Sang Rapuh, yang memilih menjadi rapuh, sama seperti manusia. Kerapuhan Allah tersebut diperlihatkan melalui Tuhan Yesus yang datang untuk menyatakan cintanya pada manusia. Allah memilih untuk menyediakan pertolongan bagi manusia yang memiliki keterbatasan dan kerapuhan.

Kerapuhan manusia yang membuahkan ketidakpastian karena kefanaannya, memang menyebabkan manusia menjadi cemas, takut, kuatir diperhadapkan dengan

ketidakpastian. Namun, di saat yang sama, kita mengetahui sumber pertolongan

adalah Allah yang ada di saat situasi ketidakpastian yang menakutkan tersebut terjadi.

(8)

4

Respons terhadap ketidakpastian: situs penyaksian

Shelly Rambo dalam bukunya yang berjudul Spirit and Trauma: A Theology of Remaining mengatakan bahwa trauma adalah “penderitaan yang tersisa”, “penderitaan yang tidak kunjung pergi”. Jika dikaitkan dengan ketidakpastian, trauma dapat

menjadi salah satu wajah dari ketidakpastian tersebut. Pandemi menghasilkan ketidakpastian yang dapat menyebabkan trauma bagi banyak orang. Misalnya saja, pandemi menyebabkan meningkatnya angka kekerasan, termasuk pada perempuan dan anak, akibat berbagai ketidakpastian yang memicu. Ketidakpastian tersebut menghasilkan trauma yang sekalipun tidak dialami oleh semua orang, namun

berdampak pada beberapa orang dengan spektrum yang berbeda-beda. Pandemi yang membuahkan ketidakpastian yang menyebabkan trauma, penderitaan yang tersisa oleh beberapa orang.

Jika kita berbicara ketidakpastian yang menghasilkan trauma dalam konteks kehidupan umat Kristen, maka sering kali hal ini dilihat tidak relevan. Hal ini karena di kalangan orang Kristen berkembang teologi yang menekankan bahwa Allah sangat baik dan selalu memberi sesuatu yang pasti. Hal ini berdampak pada keyakinan bahwa semua yang dilihat pada akhirnya akan baik, termasuk pandemi.Pandemi akan berlalu dan semua pasti pada akhirnya akan baik. Pemahaman ini pada akhirnya membuat gereja tidak bersedia memikirkan ulang teologinya termasuk tentang ketidakpastian.

Padahal, sebagaimana yang dituturkan oleh Rambo tentang penderitaan yang tersisa, pandemi sebenarnya menyisakan penderitaan bagi sebagian orang. Pandemi tidak pasti berujung baik bagi semua orang, karena akan ada pihak-pihak yang mengalami

penderitaan selama dan pasca pandemi. Oleh karena itu, gereja perlu memikirkan ulang teologinya dan merespons ketidakpastian yang dihasilkan oleh pandemi dengan tepat.

The middle, middle spirit, sabtu sunyi—situs penyaksian

Berkaitan dengan ketidakpastian, Rambo memakai skema Triduum, secara

khusus konsep Sabtu Sunyi. Sabtu sunyi adalah hari di mana Roh Kudus menjadi saksi, yang tinggal, menetap, menjaga dan menanti ketika Sang Anak, Yesus Kristus berada di dunia orang mati. Ini adalah situs ketidakpastian, di mana Tuhan masih berada di dunia orang mati, dan janji hidup belum terbuka utuh pada manusia. Di tengah ketidakpastian tersebut, Roh Kudus hadir.

Sabtu Sunyi sebagai situs penyaksian adalah hari di mana Roh Allah berdiam, menemani, tinggal dan menetap. Hal ini mestinya menjadi sumber bagi gereja dalam menghadapi ketidakpastian. Sabtu Sunyi mengingatkan kita bahwa kita sedang menanti dan mengingat Allah yang sedang berjaga-jaga bersama kita di tengah

(9)

5

ketidakpastian. Skema Triduum khususnya Sabtu Sunyi ini menjadi sebuah imajinasi dan keyakinan bahwa ketidakpastian pasti selalu ada, akan tetapi ada ruang di antaranya untuk manusia dapat berdiam dan tinggal mengalaminya bersama Allah, Sang Roh. Kehadiran Roh dalam ruang ketidakpastian tersebut menolong manusia untuk merengkuhnya dan bertahan menjalaninya.

Ketidakpastian: dimensi liturgis “lakukanlah ini sebagai peringatan akan aku”

Di masa pandemi, gereja mesti mampu memberi ruang bagi ketidakpastian.

Gereja mesti menjadi komunitas yang merapuh dalam menanti-berjalan di tengah ketidakpastian yang menguasai lini kehidupan. Gereja mesti mampu menolong

jemaatnya untuk menanti di tengah ketidakpastian, namun tetap memiliki orientasi ke depan. Gereja juga mesti menyadari bahwa dirinya rapuh dan memerlukan

pertolongan. Dengan kesadaran tersebut, gereja bersedia menjadi gereja yang berdaya lenting, yang meyakini bahwa Allah menolongnya dari ketidakpastian, khususnya karena pandemi. Menjadi gereja yang berdaya lenting berarti bersedia memikirkan kembali teologi dan liturginya, sehingga menjadi ruang yang relevan bagi banyak orang yang hidup di tengah ketidakpastian.

Berdamai dengan ketidakpastian: pastoral-misional

Berdamai dengan ketidakpastian membutuhkan resiliensi. Manusia perlu

memiliki daya lenting untuk dapat bertahan hidup di tengah ketidakpastian. Resiliensi (daya lenting) adalah kapasitas individu atau kelompok untuk menghadapi dan mengatasi situasi sulit, bahkan krisis, tanpa terpuruk. Resiliensi seperti bola yang dilempar dan akan melenting kembali. Resiliensi ibarat tumbuhan yang tetap dapat hidup di tanah yang gersang, misalnya pohon bambu.

Untuk membangun daya lenting dan daya hidup di tengah masa sulit, kita perlu mencari sumber-sumber dalam tradisi iman, gereja, dan kultur/komunitas sumber- sumber yang dapat mendukung dan menolong kita berdamai dengan ketidakpastian.

Salah satu sumber resiliensi adalah tradisi kekeristenan seperti teks-teks Alkitab.

Misalnya, dalam Yohanes 20:11-29 yang menceritakan kisah Maria berjumpa dengan Yesus di depan kubur-Nya. Perjumpaan Maria dengan Yesus memperlihatkan keyakinannya pada suara Tuhan, yang mengizinkannya menerima hembusan nafas Tuhan. Di tengah ketidakpastian yang ia rasakan, Maria bersedia membuka diri, menerima dan mengalami kehadiran Tuhan yang bangkit dari kematian.

Selain kisah Maria yang berjumpa dengan Tuhan, kisah Thomas dalam Yohanes 20: 24-28 juga menggambarkan betapa manusia dekat dengan ketidakpastian, dan cara manusia merespons ketidakpastian tersebut berbeda-beda. Dalam lukisan karya

(10)

6

Carravagio (ca. 1601-1602) yang berjudul The incredulity of Saint Thomas, memberikan perspektif yang berbeda tentang Thomas dalam merespons ketidakpastian yang berkaitan dengan kebangkitan Yesus. Di saat semua murid Yesus menggunakan indra penglihatan sebagai media dan cara untuk merespons ketidakpastian, Thomas hadir dengan pengalaman tubuh yang lain, yaitu dengan sentuhan. Baginya menyentuh bekas luka Yesus menjadi bentuk respons dirinya terhadap ketidakpastian. Dari kisah Thomas ini, kita melihat bahwa pengalaman ragawi atau fisik menjadi dekat dengan kita karena ketidakpastian.

Dari pengalaman perjumpaan Martha dan Thomas kita dapat belajar bahwa di tengah ketidakpastian, kita perlu berpaling pada suara dan kehadiran Tuhan melalui pengalaman ragawi kita, dan bersedia menerima nafas-Nya, yaitu Roh Kudus untuk diam dan tinggal bersama untuk menemani dan memampukan kita bertahan dalam situasi yang sulit.

Sumber:

Adiprasetya, Joas. 2021. Gereja pascapandemi merengkuh kerapuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Johnson, Elisabeth E. Theology and the Heisenberg Uncertainty. CTSA Proceedings 47/1992, 130-132.

Rambo, Shelly. 2010. Spirit and trauma: A theology of remaining. Louisville, KY:

Westminster John Knox Press.

____________. 2017. Resurrecting wounds. Texas: Baylor University Press.

(11)

10

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS SEBAGAI NARASUMBER WEBINAR GKJ NEHEMIA

JAKARTA, 17 APRIL 2021

1. Sebagai dosen tetap STFT Jakarta saya diundang sebagai pembicara pada Bincang Online GKJ Nehemia pada 17 April 2021. Bincang Online ini bertema: Berdamai dengan Ketidakpastian 2. Saya menyampaikan materi berjudul yang sama dengan tema bincang online ini. Materi saya

berfokus pada pembahasan tentang tema ketidakpastian dengan mengedepankan dimensi kerapuhan (vulnerability) dan mengulasnya secara teologis. Saya memperlihatkan bahwa ketidakpastian adalah implikasi dari kerapuhan manusia sebagai makhluk fana. Saya menawarkan perspektif teologis-biblis dengan mengulas tentang dimensi kehendak bebas manusia dan keberdosaan manusia lalu menawarkan perspektif baru yaitu tentang berkat/anugerah dan penerimaan terhadap kerapuhan sebagai dimensi hakiki dari kemanusiaan.

Pendekatan teologis-trauma adalah bagian akhir dari tawaran saya untuk mengundang warga jemaat GKJ merefleksikan pengalaman mereka masing-masing tenttang kerapuhan dan menerima ketidakpastian sebagai cara untuk membangun daya tahan, daya adaptif, sebagai bagian dari perjalanan spiritual, termasuk dalam masa pandemi.

3. Bincang online ini diselenggarakan dengan platform zoom tetapi terbatas hanya untuk tiga orang (saya dan dua anggota panitia yang bertugas sebagai moderator pemandu tanya jawab dari kanal Youtube). Warga jemaat menyaksikan langsung melalui kanal Youtube GKJ Nehemia dan mengajukan pertanyaan mereka melalui ruang chat secara langsung. Pada saat pelaksanaan peserta di kanal Youtube berjumlah sekitar 100 orang. Perbincangan berlangsung dengan baik yang ditunjukkan dengan banyak dan beragamnya pertanyaan dari para peserta. Acara ini berlangsung sekitar 2 jam.

4. Terlampir undangan, ToR, dan materi presentasi saya.

Jakarta, 22 April 2021 Ketua STFT Jakarta

Septemmy E. Lakawa, Th.D.

Referensi

Dokumen terkait