4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Ulat Api (Setothosea asigna)
Ulat api merupakan salah satu hama penting pada tanaman kelapa sawit.
Hama ini merupakan hewan yang bermetamorfosis sempurna (telur, larva, pupa dan imago). Larva hama ini merusak tanaman dengan cara memakan daun kelapa sawit umumnya di mulai dari daun bawah menuju daun muda.
Serangan hama ini dapat mengakibatkan terjadinya defoliasi yang mengakibatkan turunya produksi TBS (tandan buah segar) sebesar 40–60%
(Pahan, 2008).
Ulat api (Setothosea asigna) termasuk dalam serangga ordo Lepidoptera dan famili Limacodidae. Ciri khas ulat ini memiliki bulu-bulu yang apabila mengenai kulit kita akan terasa seperti tersengat api, panas dan gatal. Ulat ini termasuk serangga dengan metamorfosis sempurna dengan stadia telur dan larva umumnya pada daun kelapa sawit, kepompong terbungkus pada pupa yang terletak ditanah atau ketiak pelepah tanaman. Stadia imago berupa ngengat yang aktif terbang pada malam hari (Susanto dkk, 2010).
2.2 Klasifikasi Hama Ulat Api (S. asigna)
Ulat api Setothosea asigna menurut Kalshoven (1981), di klasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Phylum : Arthopoda
Klass : Insekta
Ordo : Lepidoptera Famili : Limacodidae Genus : Setothosea
Spesies : Setothosea asigna Van Eecke
5
Setothosea asigna Van Eecke dikenal sebagai ulat yang paling rakus dan yang menimbulkan kerugian di tanaman kelapa sawit baik pada tanaman muda maupun pada tanaman tua (Chenon dkk, 1989).
2.3 Siklus Hidup Hama Ulat Api (Setothosea asigna)
a. Telur
Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar dengan permukaan daun sebelah bawah, biasanya pada pelepah daun ke 16–17. Satu tumpukan telur terdiri dari 44 butir dan seekor ngengat betina selama hidupnya mampu menghasilkan telur 300 – 400 butir (Gambar 2.1). Telur biasanya menetas 4-8 hari setelah diletakkan. Telur pipih dan berwarna kuning muda (Setyamidjaja, 2006).
Gambar 2.1 Telur S. asigna Sumber : Simanjuntak dkk (2011)
b. Larva
Larva berwarna hijau kekuningan dengan duri-duri yang kokoh di bagian punggung dan bercak bersambung sepanjang punggung, berwarna coklat sampai ungu keabu-abuan dan putih. Warna larva dapat berubah-ubah sesuai dengan instarnya, semakin tua umurnya akan menjadi semakin gelap. Larva instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm, sedangkan apabila sampai instar ke-8 ukurannya sedikit lebih kecil (Gambar 2.2). Menjelang berpupa, ulat menjatuhkan diri ke tanah. Stadia larva ini berlangsung selama 49-50 hari (Sudharto, 1991).
6
Gambar 2.2 Larva S. asigna Sumber : Simanjuntak dkk (2011)
c. Pupa
Pupa/kepompong berada di dalam kokon yang terbuat dari air liur ulat, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap serta dijumpai pada bagian tengah yang gembur di sekitar piringan tanaman kelapa sawit, pangkal batang kelapa sawit atau bahkan pada celah-celah kantong pelepah yang lama (Gambar 2.3). Kokon jantan atau betina masing-masing berukuran 16 x 13 mm dan 20 x 16,5 mm. Stadium Pupa berlangsung 40 hari (Setyamidjaja, 2006)
Gambar 2.3 Pupa S. asigna Sumber : Simanjuntak dkk (2011)
d. Imago
Kupu-kupu/ngengat mempunyai periode hidup yang pendek yaitu 7 hari.
Waktu yang pendek tersebut hanya digunakan untuk kawin dan bertelur dengan produksi telur antara 300-400 butir/induk. Dengan demikian perkembangan dari telur sampai dengan ngengat berkisar antara 92–98 hari,
7
tetapi ada keadaan kurang menguntungkan dapat mencapai 115 hari (Susanto dkk, 2012).
Lebar rentangan sayap serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing- masing 41 mm dan 51 mm. Sayap depannya berwarna cokelat kemerahan dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna cokelat muda (Gambar 2.4). Siklus hidup masing-masing spesies ulat api berbeda. S. asigna mempunyai siklus hidup 106-138 hari. Siklus hidup tergantung pada lokasi dan lingkungan (Susanto dkk, 2012).
Gambar 2.4 Imago S. asigna Sumber : Simanjuntak dkk (2011)
Siklus hidup hama ulat api lebih rinci dapat dilihat pada tabel : 2.1
Tabel 2.1 Siklus Hidup Hama Ulat Api (S. asigna)
(Sumber : Susanto dkk, 2012)
Stadia Lama (hari) Keterangan
Telur 6 Jumlah telur 300-400 butir
Larva 50 Terdiri dari 9 instar, konsumsi daun 300-500 cm2 Pupa
40 Habitat di tanah, terdapat di piringan kelapa sawit
Imago - Jantan lebih kecil dari pada betina Total 96 Tergantung pada lokasi dan lingkungan
8 2.4 Gejala Serangan Ulat Api
Serangan ulat api di lapangan umumnya mengakibatkan daun kelapa sawit habis dengan sangat cepat dan berbentuk seperti melidi. Tanaman tidak dapat menghasilkan tandan selama 2-3 tahun jika serangan yang terjadi sangat berat. Umumnya gejala serangan dimulai dari daun bagian bawah hingga akhirnya helaian daun berlubang habis dan bagian yang tersisa hanya tulang daun saja. Ulat ini sangat rakus, mampu mengkonsumsi 300-500 cm daun sawit per hari. Tingkat populasi 5-10 ulat per pelepah merupakan populasi kritis hama tersebut dilapangan dan harus segera diambil tindakan pengendalian (Susanto dkk, 2012).
Ulat muda (di bawah instar 3) biasanya bergerombol di sekitar tempat peletakan telur dan mengikis daun mulai dari permukaan bawah daun kelapa sawit, serta meninggalkan epidermis daun bagian atas. Bekas serangan terlihat seperti jendela-jendela memanjang pada helaian daun. Mulai instar 3 biasanya ulat memakan semua helaian daun dan meninggalkan lidinya saja.
Serangan ulat ini biasanya mulai dari pelepah daun yang terletak di strata tengah dari tajuk kelapa sawit ke arah pelepah daun yang lebih muda atau lebih atas. Tetapi pada serangan yang lebih berat daun yang tua sekalipun dimakan juga oleh S. asigna tersebut. Pada serangan yang berat, semua helaian daun dimakan oleh S. asigna dan hanya tinggal pelepah beserta lidinya saja. Gejala serangan ini sering disebut gejala melidi (Buana dan Siahaan, 2003).
2.5 Metode pengendalian Hama Ulat Api (S.asigna)
Pengendalian ulat api, ulat kantong dan ulat bulu didasarkn pada hasil monitoring atau sensus yang telah dilakukan, yang secara garis besar mengikuti konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Karena perbedaan biologi pada masing-masing ulat pemakan daun kelapa sawit maka teknik pengendalian akan ditampilkan secara terpisah. Metode pengendalian dapat dilakukan dengan cara kimiawi, biologi dan manual (Susanto dkk, 2012).
9 2.5.1 Pengendalian Secara Kimiawi
Pengendalian hama ulat api yaitu dengan menggunakan insektisida.
Insektisida yang paling banyak digunakan pada perkebunan kelapa sawit untuk ulat api saat ini adalah deltametrin, sipermetrin, lamda sihlothrin dan bahan aktif lain dari golongan pirethroid. Pengendalian dapat dilakukan berdasarkan umur tanaman. Pengendalian untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) dapat dilakukan dengan aplikasi penyemprotan yang menggunakan Mist blower. Pengendalian untuk tanaman menghasilkan (TM) dapat dilakukan dengan aplikasi penyemprotan dengan Mist blower tekanan tinggi atau pengasapan yang menggunakan fogger pada malam hari.
Insektisida yang digunakan biasanya berbahan aktif sipermetrin dengan dosis 200-300 ml/ha (Susanto dkk, 2012).
2.5.2 Pengendalian Secara Mekanik
Pemasangan Light trap untuk menarik dan merangkap imago Setothosea asigna. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya populasi dan penyebaran serta sebagai salah satu sarana monitoring. Kegiatan pemasangan Light trap dihentikan jika tangkapan ngengat per malamnya 5 ekor (Susanto dkk, 2012).
2.5.3 Pengendalian Secara Hayati
Populasi ulat api dapat stabil secara alami di lapangan oleh adanya musuh alami yaitu, predator dan parasitoid. Predator ulat api yang sering ditemukan adalah Eochantecona furcellata (Hemiptera: Pentatomidae) dan Sycanus leucomesus (Hemiptera: Reduviidae). Parasitoid pada larva Setothosea asigna adalah Brachimeria lasu, Spinaria spinator, Apanteles aluella, Chlorocryptus purpuratus, Fornicia ceylonica, Systropus roepkei, Dolichogenidae metesae dan Chaetexorista javana, sedangkan parasitoid telur S. asigna adalah Trichogrammatoidea thoseae (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Parasitoid dapat diperbayak dan dikonservasi di perkebunan kelapa sawit dengan menyediakan makanan bagi imago parasitoid tersebut seperti Turnera
10
subulata, Euphorbia heterophylla, Cassia tora, Boreria alata dan Elephantopus tomentosus (Chanon dkk, 2002).
Gambar 2.5 Bunga Pukul Delapan (Turnera subulata) (sumber : Dokumentasi Pribadi)
2.6 Tanaman Pala (Myristica fragrans Houtt) 2.6.1 Klasifikasi Tanaman Pala
Menurut Agoes (2010), klasifikasi tanaman pala sebagai berikut : Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathophyta (tumbuhan berbiji) Sub-Divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Dicotiledonae (biji berkeping dua)
Ordo : Myristicales
Famili : Myristicaceae Genus : Myristica
Spesies : Myristica fragrans Houtt.
11 2.6.2 Morfologi Tanaman Pala
Tanaman pala (Myristica fragrans) adalah tanaman asli Indonesia yang berasal dari pulau Banda. Tanaman ini merupakan tanaman keras yang dapat berumur panjang hingga lebih dari 100 tahun. Tanaman pala tumbuh dengan baik di daerah tropis, selain di Indonesia terdapat pula di Amerika, Asia dan Afrika (Gambar 2.6). Pala termasuk famili Myristicaceae yang terdiri atas 15 genus (marga) dan 250 species (jenis). Dari 15 marga tersebut 5 marga di antaranya berada di daerah tropis Amerika, 6 marga di tropis Afrika dan 4 marga di tropis Asia (Rismunandar, 1990).
Gambar 2.6 Buah Pala (sumber : Dokumentasi Pribadi)
a. Batang dan Daun
Tanaman pala berbentuk pohon berukuran sedang, tajuk pohon umumnya konikal atau semi piramida. Tinggi rata-rata antara 4-10 m namun kadang- kadang dapat mencapai 20 m atau lebih. Tanaman dikembang biakkan terutama dari benih. Pohon pala yang berumur lebih dari 30 tahun dapat mencapai lingkar batang 150-180 cm. Percabangan relatif teratur dengan dedaunan yang rapat dan letak daun yang berselang-seling secara teratur.
Daunnya berwarna hijau mengkilap dan gelap dengan panjang 5-14 cm dan lebar 3-7 cm. Panjang tangkai daun 0,4-1,5 cm (Soeroso, 2012).
12 b. Akar
Sistem perakaran pala dangkal namun ekstensif, yaitu berupa satu akar tunggang dan beberapa cabang akar sekunder yang menyebar hanya beberapa cm di atas permukaan tanah. Kedalaman akar tanaman sekitar 3,5-5 m (Soeroso, 2012).
c. Bunga
Pembungaan tanaman pala umumnya bersifat dioecious (bunga jantan dan betina pada tanaman yang berbeda) namun juga dijumpai tanaman monoecious (bunga jantan dan betina berada pada pohon yang sama).
Pengamatan di hutan pala Maluku dan Maluku Utara menunjukkan bahwa berdasarkan letak bunga, terdapat tiga tipe tanaman pala yaitu tanaman berbunga betina, tanaman berbunga jantan dan tanaman berbunga jantan- betina. Dua tipe yang pertama disebut pala dioecious dan tipe yang terakhir disebut pala monoecious (Marzuki dkk, 2006).
Bunga betina berbentuk malai aksiler dengan satu tangkai bunga terletak pada bagian ketiak daun atau terdiri atas 3 bunga pertangkai dengan tangkai bunga yang pendek. Bunga betina biasanya kurang bercabang dan mahkota bunga menyatu dari bagian pangkal dengan bractea kecil terbuka pada bagian atas.
Kelopak bunga biasanya menyatu pada pangkal bunga pada satu sisi. Bunga betina agak kecil berdiameter 2–3 mm, berbentuk seperti lonceng atau tabung dengan bakal buah berbentuk seperti lonceng. Bunga betina kadang–kadang agak harum dengan warna bunga putih hingga putih kekuningan (Soeroso, 2012).
Bunga jantan terdiri atas 1-10 bunga per tangkai bunga. Bunga memiliki kepala sari terdiri atas 6-10 kepala sari dan menyatu pada bagian pangkal berbentuk kolom, kemudian mengerucut bagian atas dengan bagian sisi terletak kepala sari saling berjejer satu sama lain. Bunga jantan berdiameter 1-2 mm dan panjangnya 3 mm. Mahkota bunga menyatu membentuk kolom/silindris, bagian atas terbelah menjadi tiga bagian dan berwarna
13
kuning gading. Umumnya bunga jantan lebih berbau harum dibandingkan bunga betina (Soeroso, 2012).
d. Buah
Buah berbentuk bulat hingga oval atau kadang-kadang agak lonjong, dengan dinding buah berdaging tebal. Warna daging buah putih kekuningan dan warna kulit buah kuning sampai kuning kecoklatan agak sedikit kasar. Bila telah tua buah akan terbelah menjadi 2 bagian. Biji berbentuk bulat hingga agak lonjong dan berwarna coklat sampai coklat kehitaman. Biji dibungkus dengan bagian fuli benih berwarna oranye hingga kemerahan. Kernel biji dilindungi oleh tempurung biji yang keras. Kernel dengan endosperm banyak mengandung minyak dan pati (Soeroso, 2012).
2.6.3 Manfaat Kandungan Biji Pala
Dari seluruh bagian tanaman buah pala yang mempunyai nilai ekonomis adalah buahnya yang terdiri dari empat bagian, yaitu daging buah, fuli, tempurung dan biji. Daging buah pala cukup tebal dan beratnya lebih dari 70% dari berat buah, berwarna putih kekuning-kuningan, berisi cairan bergetah yang encer, rasanya sepet dan mempunyai sifat astrigensia. Buah yang masih mentah, daging buahnya tidak bisa dikonsumsi langsung tetapi dapat diolah menjadi berbagai produk pangan. Komposisi kimia biji pala terdiri atas minyak atsiiri 2-16 %, dengan rata-rata 10%, fixed oil (minyak kental) 25-40%, karbohidrat 30%, dan protein 6%. Biji pala dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai rempah-rempah dan minyaknya yang diperoleh melalui penyulingan dapat dimanfaatkan untuk pengobatan dan kosmestika. Minyak pala banyak dimanfaatkan untuk pembuatan salep penghilang rasa sakit atau salep gosok (analgestic ointments). Jenis obat- obatan tertentu menggunakan minyak pala untuk meningkatkan aromanya.
Akibat nilainya yang tinggi sebagai rempah-rempah, buah dan biji pala telah menjadi komoditas perdagangan yang tinggi sejak masa Romawi (Rukmana, 2018).
14
Minyak pala sebagai bahan penyedap pada produk makanan dianjurkan memakai dosis sekitar 0,08%, karena dalam dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan keracunan. Minyak ini memiliki kemampuan lain, yaitu dapat mematikan serangga (insektisida), anti jamur (fungisida), dan anti bakteri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak astiri biji pala mempunyai sifat antioksidan yang kuat. Aktivitas antioksidan tersebut disebabkan sinergisme diantara komponen-komponen minyak atsiri tersebut (Rukmana, 2018).
Komponen minyak biji pala yang memiliki bioaktivitas diantaranya camphene, eugenol, isoelemicin, isoeugenol, methoxyeugenol dan elimicin.
Sabinene (41.7%), a-pinene (9.4%), ß-pinene (7.3%), terpine-4-ol (5.8%), limonene (3.7%), safrole (1.4%) dan myristicin (2.7%) juga teridentifikasi pada minyak biji pala (Pal dkk, 2011). Senyawa-senyawa penting lainnya seperti alkaloid, saponin, anthraquinon, cardiac glikosida, flavonoid dan phlobatanin juga terdeteksi pada ekstrak fasa cair pala (Olaleye dkk, 2006).
Trimiristin, asam miristat, miristisin dan elimisin memiliki aktivitas sebagai anti oksidan, anti imflammasi, anti diabet, antibakteri dan anti jamur.
Trimiristin juga dapat diolah menjadi senyawa turunannya, yaitu asam miristat dan miristil alkohol. Bahan-bahan tersebut banyak digunakan dalam pembuatan sabun, detergen dan bahan kosmetika lainnya, seperti shampo, lipstik, losion (Asgarpanah dan Kazemiyas, 2012).
Selain itu, miristisin dan safrol merupakan senyawa atsiri dengan dasar alilbenzena atau propil benzena yang secara luas terdapat dalam tumbuhan aromatik. Artinya, struktur Myristicin dan safrole memiliki aktivitas kerja sama dengan fenil propanolamina (pp) yang dikenal sebagai sedatif (merupakan golongan obat pendepresi susunan saraf puast) yang efeknya dapat menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga kehilangan kesadaran, koma dan mati (Muchtaridi dkk, 2004).