• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA TEGAKAN CEMARA LAUT (Casuarina equisetifollia) PADA BEBERAPA WAKTU PENGAMATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA TEGAKAN CEMARA LAUT (Casuarina equisetifollia) PADA BEBERAPA WAKTU PENGAMATAN"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PADA BEBERAPA WAKTU PENGAMATAN

SKRIPSI

SRI MARIANI 141201031

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA TEGAKAN CEMARA LAUT (Casuarina equisetifollia)

PADA BEBERAPA WAKTU PENGAMATAN

SKRIPSI

Oleh:

SRI MARIANI 141201031

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

PADA BEBERAPA WAKTU PENGAMATAN

SKRIPSI

Oleh:

SRI MARIANI 141201031

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifollia) Pada Beberapa Waktu Pengamatan

Nama : Sri Mariani

NIM : 141201031

Departemen : Budidaya Hutan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Dr. Delvian, SP., MP Ridahati Rambey, S.Hut., M.Si Ketua Anggota

Mengetahui,

Mohammad Basyuni, S.Hut., M.Si, Ph.D Ketua Departemen Budidaya Hutan

Tanggal lulus : 24 Juli 2018

(5)

SRI MARIANI. The diversity of Arbuscular Mycorrhizae Fungi (AMF) on Casuarina equisetifollia at various of observation time. By DELVIAN and RIDAHATI RAMBEY.

Mycorrhizae is a form of symbiotic mutualism between fungi and plant roots. AMF has various function, one of them is increasing nutrient absorption especially P nutrition in soil. Environment factor effects the number of spore that found, one of them is rainfall, where in high rainfall condition the number of spore produced will be decreasing but the ability in colonization will be increasing. The purpose of this research is to learn the existence and the diversity of AMF under C. equisetifollia in various of observation time. The sample of root and soil that used in this research were taken under C. equisetifollia in Pantai Cemara Kembar, Desa Sei Nagalawan. Spore extraction observation was done by using filter-casting method and centrifugation tehnique, while colonization of AMF in plant roots sample was done by root colouring technique. The result of the observation shows that the average percentage of the highest root colonization is obtained in September that is 70,57% while the average percentage of the lowest root colonization is obtained in July that is 68.32%. The highest spore solidity is obtained in July in amount of 91 / 50 g soil and the lowest spore solidity is obtained in August in amount of 77 / 50 g soil. In this research there are 11 types Glomus dan 2 types Acaulospora. Glomus type is the most dominant and found in every observation.

Key Words : Arbuscular Mycorrhizae Fungi (AMF), C. equisetifollia, Colonization and Spore Solidity.

(6)

ABSTRAK

SRI MARIANI. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifollia) Pada Beberapa Waktu Pengamatan. Dibimbing oleh DELVIAN dan RIDAHATI RAMBEY.

Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualisme antara fungi dan akar tanaman. FMA memiliki berbagai fungsi, salah satunya adalah peningkatan penyerapan hara terutama unsur P di dalam tanah. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap jumlah spora yang ditemukan salah satunya yaitu faktor curah hujan, dimana pada kondisi curah hujan tinggi maka jumlah spora yang dihasilkan akan menurun tetapi kemampuannya dalam berkolonisasi akan semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan dan keanekaragaman FMA di bawah tegakan C. equisetifollia pada beberapa waktu pengamatan. Sampel akar dan tanah yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari bawah tegakan C. equisetifollia di Pantai Cemara Kembar, Desa Sei Nagalawan. Pengamatan ekstraksi spora dilakukan dengan menggunakan metode tuang saring dan teknik sentrifugasi, sedangkan kolonisasi FMA pada akar tanaman sampel dilakukan melalui teknik pewarnaan akar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata presentase kolonisasi akar tertinggi didapat pada bulan September yaitu 70,57% sedangkan rata-rata presentase kolonisasi akar terendah didapat pada bulan Juli yaitu 68,32%. Kepadatan spora tertinggi didapat pada bulan Juli sebesar 91 / 50 g tanah dan Kepadatan spora terendah didapat pada bulan Agustus sebesar 77 / 50 g tanah. Dalam penelitian ini terdapat 11 tipe Glomus dan 2 tipe Acaulospora. Jenis Glomus merupakan yang paling dominan dan terdapat pada setiap pengamatan.

Kata Kunci : Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA), C. equisetifollia, kolonisasi, dan kepadatan spora.

(7)

Sri Mariani lahir di Medan, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara pada 07 Oktober 1996 dari Bapak Jarno dan Ibu Helti Trisna Br. Manurung. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Pada Tahun 2008 penulis lulus dari SDN 106788 Purwodadi, Sunggal, Deli Serdang. Penulis kemudian melanjutkan studi ke SMPN 2 Sunggal dan lulus pada tahun 2011. Lalu penulis lulus pada tahun 2014 dari SMAN 1 Sunggal. Pada tahun 2014, penulis diterima di Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) sebagai mahasiswa di Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mendapat Beasiswa Bidikmisi pada tahun 2014 hingga 2018.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) RIMBAPALA KEHUTANAN USU sejak tahun 2014 dan sempat menjadi Badan Pengurus Harian (BPH) yaitu sebagai Ketua Umum pada tahun 2017 dan Majelis Permusyawaratan Rimbapala (MPR) pada tahun 2018.

penulis juga mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) BKM BAYTUL ASYJAR, RAIN FOREST, HIMAS dan JIMMKI sejak tahun 2014 yaitu sebagai Anggota. Pada tahun 2016, penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Kawasan Hutan Mangrove Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai selama 10 hari. Pada tahun 2017 penulis sempat menjadi Asisten Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di KHDTK Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PERUM PERHUTANI KPH BANYUWANGI BARAT selama 30 hari pada tahun 2018.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul

“Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Tegakan Cemara Laut (Casuarina equisetifollia) Pada Beberapa Waktu Pengamatan” ini dengan baik untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan studi pada Program S1 Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

Penulis banyak menerima bimbingan, motivasi, saran, dan juga doa dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Teristimewa dari kedua orang tua

yang sangat penulis sayangi yaitu Ayahanda Jarno dan Ibunda Helti Trisna Br. Manurung yang tidak pernah henti memberikan kasih sayang, doa, dukungan,

juga nasihat yang tulus sampai sekarang ini dan Adik saya Rizki Mandala yang selalu membantu dan mendoakan saya selama proses penelitian hingga saat ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Delvian, SP., MP dan Ridahati Rambey, S.Hut., M.Si. selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

2. Dr. Rudi Hartono, S.Hut., M.Si. dan Dr. Samsuri, S.Hut., M.Si. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

(9)

Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

5. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang sudah memberikan beasiswa.

6. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dalam proses penelitian.

Penulis berharap semoga penelitian ini akan memberikan manfaat bagi pembacanya dan dapat menyumbangkan kemajuan bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kehutanan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Agustus 2018 Penulis

Sri Mariani

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Penelitian ... 4

Fungi Mikoriza Arbuskula ... 4

Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) ... 6

Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan FMA ... 9

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

Alat dan Bahan Penelitian ... 13

Prosedur Penelitian ... 14

Pembuatan Petak/titik ... 14

Pengambilan Sampel Tanah ... 14

Pemerangkapan ... 14

Pengambilan Sampel Akar ... 15

Pengamatan Sampel Tanah dan Akar ... 16

Pengamatan ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisikokimia Tanah dan Curah Hujan Lokasi penelitian... 19

Hubungan Presentase Kolonisasi Akar dengan Curah Hujan ... 21

Hubungan Kepadatan Spora dengan Curah Hujan ... 24

Keanekaragaman Spora FMA ... 26

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 33

Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(11)
(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Sifat fisikokimia tanah dan curah hujan lokasi penelitian ... 19

2. Data Curah Hujan pada tahun 2017 ... 20

3. Tipe spora FMA yang ditemukan ... 28

4. Identifikasi Tipe Spora FMA pada tegakan C. equisetifollia ... 31

(13)

Nomor Halaman

1. Hubungan Presentase Kolonisasi Akar dengan Curah Hujan ... 22

2. Hifa Fungi Mikoriza Arbuskula ... 24

3. Vesikula Fungi Mikoriza Arbuskula ... 24

4. Spora Pada Akar Tanaman Jagung ... 24

5. Hubungan Kepadatan spora dengan Curah Hujan ... 25

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Kriteria penilaian sifat kimia tanah (Hardjowigeno, 1995) ... 38 2. Kriteria Persentase Kolonisasi Akar Menurut Setiadi (1992) ... 39 3. Dokumentasi Penelitian... 40

(15)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Mikoriza adalah bentuk simbiosis yang menguntungkan antara akar tumbuhan dan fungi tanah. Fungi mikoriza (mikobion) untuk tumbuh dan berkembang memerlukan karbohidrat dari tumbuhan dan tumbuhan (fitobion) memerlukan unsur hara dan air dalam tanah melalui hifa fungi selama siklus hidupnya. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas, baik dalam hal tanaman inang, spesies fungi maupun penyebarannya. Mikoriza tersebar dari artiktundra sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan yang melibatkan sekitar 80 – 90% spesies tumbuhan yang ada. Fungi pada umumnya memiliki ketahanan cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar.

Mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada padi sawah. Bahkan pada lingkungan yang tercemar

limbah berbahaya fungi mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya (Novera, 2008).

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dapat bersimbiosis dengan 97% famili tanaman tingkat tinggi. Berdasarkan struktur tubuh dan cara menginfeksi akar, FMA dibedakan menjadi ektomikoriza dan endomikoriza. Manfaat FMA dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu untuk tanaman, ekosistem dan bagi manusia.

Bagi tanaman, FMA sangat berguna untuk meningkatkan serapan hara, khususnya unsur fosfat (P) (Musfal, 2010).

(16)

2

Mikoriza berperan dalam peningkatan penyerapan unsur-unsur hara tanah yang dibutuhkan oleh tanaman seperti P, N, K, Zn, Mg, Cu dan Ca. Salah satu alternatif untuk mengatasi kekurangan unsur hara terutama memfasilitasi ketersediaan fosfat dalam tanah adalah dengan penggunaan mikoriza.

Pemanfaatan Mikoriza merupakan masukan teknologi mikroba yang mungkin dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah pada tanah yang sub optimal (Pangaribuan, 2014).

Peranan penting mikoriza dalam pertumbuhan tanaman adalah kemampuannya untuk menyerap air dan unsur hara baik mikro maupun makro.

Selain itu akar bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia bagi tanaman (Hidayati et al., 2015).

Pertumbuhan dan perkembangan FMA pada suatu lokasi sangat dipengaruhi oleh adanya faktor lingkungan seperti faktor fisika dan faktor kimia.

Faktor fisika meliputi curah hujan dan kelembaban tanah, sedangkan faktor kimia meliputi pH tanah, C-organik, N-total, P-tersedia, K dan KTK. Faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya jumlah spora didalam suatu rhizosfer selain faktor pH adalah curah hujan dan kelembaban sporulasi jamur FMA dapat mengalami penurunan pada saat kelembaban dan curah hujan yang tinggi, sedangkan pada musim kering terjadi peningkatan jumlah spora FMA (Saputra et al., 2015).

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap jumlah spora yang

ditemukan antara lain faktor curah hujan, kelembaban tanah, kandungan C-organik, pH tanah, musim dan suhu tanah. Curah hujan yang tinggi akan

mengakibatkan kelembaban tanah juga tinggi, sehingga dapat berdampak pada suhu tanah. Apabila suhu tanah rendah maka spora FMA tidak dapat

(17)

berkecambah. FMA mampu berkembang pada suhu 30oC, tetapi untuk kolonisasi miselia berkisar 28o-35oC. Air hujan yang masuk ke dalam tanah akan membawa spora FMA bergerak menjauh dari daerah perakaran, sehingga jumlah spora yang ditemukan sedikit. Keberadaan FMA ditentukan oleh musim. Kelimpahan FMA terjadi pada musim semi dan awal musim panas, kadang-kadang tidak ada atau hanya dalam bentuk spora pada saat dormansi akar atau saat tidak ada tanaman sama sekali (Ratnawati, 2016).

Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian pada tanah tegakan cemara laut (Casuarina equisetifollia) pada beberapa waktu pengamatan yang bertujuan untuk mendapatkan infomasi mengenai keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada beberapa waktu pengamatan. Melalui penelitian ini

diharapkan dapat ditemukan dan diketahui berbagai jenis FMA pada tegakan C. equisetifollia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keberadaan dan keanekaragaman FMA dibawah tegakan C.equisetifollia pada beberapa waktu pengamatan.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keberadaan dan keanekargaman FMA serta sebagai referensi bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama bagi peneliti mikoriza.

(18)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Serdang Bedagai menjadikan pariwisata sebagai salah satu sektor andalan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kabupaten Serdang Bedagai memiliki potensi wisata yang beragam. Salah satunya adalah Pantai Cemara Kembar. Pantai Cemara Kembar merupakan objek wisata di Serdang Bedagai dengan luas 4 hektar yang menampakkan alam penuh keasrian dengan pohon-pohon cemara dan pinus berjajar disepanjang Pantai Cemara Kembar (Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, 2015)

Desa Sei Nagalawan adalah salah satu dari 41 unit desa yang ada di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Desa Sei Nagalawan mempunyai luas wilayah 871 Ha, yang terbagi atas 3 dusun yang wilayahnya memiliki batas-batas yakni :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka b. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Lubuk Bayas

c. Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Teluk Mengkudu d. Sebelah barat berbatasan dengan Pantai Cermin

Letak Desa Sei Nagalawan adalah 7o50’ LU 9o 21’ LU dan 97o 18’ BT-98o 42’ BT. Secara Geografis jarak Desa Sei Nagalawan 14 km dari Kota/Kecamatan.

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Mikoriza sesunguhnya berasal dari bahasa Yunani yaitu Mykes yang artinya cendawan, dan Rhiza artinya akar, sehingga secara harfiah berarti cendawan akar. FMA pertama kali ditemukan oleh botanis Jerman yaitu Frank

(19)

tahun 1855 pada akar pepohonan hutan yang menunjukkan adanya assosiasi simbiotik (Talanca, 2010).

Fungi Mikoriza Arbuskula termasuk fillum Glomeromycota, yang selanjutnya dikelompokkan berdasarkan morfologi dan karakteristik molekulernya menjadi tiga suku yaitu : Glomaceae dan Acaulosporaceae (keduanya membentuk arbuskula dan vesikula) dan Gigasporaceae (hanya membentuk arbuskula).

Arbuskula berperan dalam transfer hara, sedangkan vesikula berperan sebagai cadangan makanan. Adanya vesikula dan arbuskula dalam akar tanaman hanya

dapat diamati dengan mengecat akar dan dilihat dengan mikroskop (Kabirun, 2011).

Fungi Mikoriza Arbuskula adalah jenis yang terdapat dimana-mana di dalam tanah di seluruh dunia. Mereka membentuk mychorriza dengan sebagian besar tanaman dan sedikit kekhususan tentang tanaman inangnya. Namun, meningkatnya perhatian terhadap FMA pada akhir-akhir ini sampai kepada kesimpulan bahwa jamur tersebut berperan didalam penyerapan hara oleh tanaman (Suhardi, 1989).

Fungi Mikoriza Arbuskula adalah salah satu jenis fungi tanah, yang keberadaannya dalam tanah sangat mempunyai manfaat. Hal ini disebabkan karena dapat meningkatkan ketersediaan dan pengambilan unsur fosfor, air dan nutrisi lainnya, serta untuk pengendalian penyakit yang disebabkan oleh patogen

tular tanah. Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini (Sari et al., 2017). FMA merupakan tipe asosiasi mikoriza yang tersebar sangat

luas dan ada pada sebagian besar ekosistem yang menghubungkan antara tanaman dengan rizosfer (Suherman et al., 2012).

(20)

6

Fungi Mikoriza Arbuskula dapat membentuk simbiosis mutualisme dengan perakaran tumbuhan, sehingga dapat membantu tanaman menjadi lebih baik, dimana keduanya mendapatkan keuntungan antara lain FMA mendapatkan sumber karbon dari hasil fotosintesis sementara tanaman mendapatkan pasokan unsur hara dari FMA. FMA dalam berbagai kajian dapat meningkatkan produktivitas tanaman sekitar 25%-50% yang meliputi, kesehatan tanaman, kualitas hasil, toleransi terhadap cekaman air, efisiensi pemupukan dan dapat menekan perkembangan mikroba patogen dalam tanah (Ansiga et al., 2017).

Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Pada umumnya tanaman asli hutan pantai memiliki produktivitas yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena struktur akar tanaman yang dalam, rambut akarnya sedikit sehingga kurang mampu dalam penyerapan zat hara.

Selain itu kondisi lahan yang berpasir, temperatur permukaan yang tinggi dan hembusan angin kencang yang mengakibatkan evapotranspirasi yang sangat tinggi juga sangat mempengaruhi. Pada daerah dengan kondisi seperti ini, peranan jamur

mikoriza sangat diperlukan untuk membantu pertumbuhan tanaman (Hadijah, 2014)

Menurut hasil penelitian Naemah (2011) tanaman yang mempunyai mikoriza cenderung tumbuh lebih subur dibandingkan dengan tanaman yang tidak mempunyai mikoriza. Hal ini dikarenakan hifa jamur mampu menyerap air yang ada pada pori-pori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air.

Penyerapan hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil akan meningkat.

(21)

Fungi Mikoriza Arbuskula berperan membantu tumbuhan dalam meningkatkan penyerapan air, nitrogen dan fosfor serta unsur hara lainnya dalam tanah. Selain itu FMA dapat meningkatkan pertumbuhan inang dan memperpanjang umur akar sehingga tumbuhan dapat bertahan hidup, meningkatkan resistensi terhadap kekurangan air dalam tanah, temperatur tanah yang tinggi dan racun-racun tanah serta mencegah serangan patogen akar (Karmilasanti, 2016).

Fungi Mikoriza Arbuskula dikenal sebagai pupuk hayati yang dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Produksi inokulan FMA di Indonesia pada umumnya menggunakan bahan pembawa anorganik berupa zeolit.

Seiring dengan perkembangannya, terutama di dalam hal pemanfaatan sumber daya lokal dan menciptakan biaya produksi yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan, perlu dicarikan alternatif bahan pembawa lain seperti bahan organik (Nurbaity et al., 2009).

Menurut hasil penelitian Simamora (2014) kehadiran mikoriza penting bagi ketahanan suatu ekosistem, stabilitas tanaman dan pemeliharaan keragaman biologi. Peranan mikoriza dalam menjaga keragaman hayati dan ekosistem sekarang mulai dikenal, terutama sekali karena pengaruh mikoriza untuk mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dan meningkatkan produktivitas.

Kemampuan mikoriza menyerap air dari pori-pori tanah dikarenakan hifa utama fungi mikoriza di luar akar membentuk percabangan hifa yang lebih kecil dan lebih halus dari rambut akar mikoriza dengan diameter kira-kira 2 μm. Secara efektif dapat meningkatkan serapan unsur hara, baik unsur hara makro maupun mikro (Hidayati et al., 2015).

(22)

8

Menurut Hasil penelitian Daras (2013) hifa mikoriza masih memungkinkan dapat mengeksploitasi tanah dalam volume besar dan permukaan absorptive akar yang diperluas 100 sampai 1000 kali. Oleh sebab itu, tanaman bermikoriza mempunyai potensi besar mampu menyerap unsur hara dan air dari tanah lebih banyak. Mikoriza juga dilaporkan mampu memperbaiki struktur dan agregasi tanah melalui pengaruh hifa atau eksudat glikoprotein. Hifa jamur memiliki kemampuan istimewa, yakni pada saat akar tanaman kesulitan menyerap air, hifa jamur mampu menyerap air dari pori-pori tanah. Selain itu, jamur tersebut mampu menghasilkan antibotik untuk melawan penyakit dan membentuk hormon seperti auksin, sitokinin dan giberelin yang berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan tanaman.

Sebagaimana diketahui bahwa jejaring makanan di permukaan dan di dalam tanah sangat tergantung pada suplai C dari eksudat akar dan serasah tanaman. Sebagian besar mikroba di rizosfir adalah saprofit atau dekomposer yang berinteraksi secara netral (tidak secara langsung menguntungkan tetapi tidak menimbulkan kerusakan). Peran utama mikroba ini adalah membantu menyediakan unsur hara bagi tanaman. Dampak yang ditimbulkan oleh mikroba kelompok ini adalah mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara tidak langsung.

Sebagian lain terdapat kelompok mikroba yang berhubungan langsung dengan akar tanaman. Mereka bisa bersifat simbiotik (menguntungkan) misalnya rhizobium dan mikoriza, ada juga yang bersifat parasit misalnya patogen (Widyati, 2013).

Pemberian mikoriza dapat mempengaruhi kolonisasi mikoriza pada rhizosfer, derajat infeksi akar, C-organik, P tersedia dan tinggi tanaman, namun

(23)

belum berpengaruh terhadap pH tanah, N-total tanah dan berat kering tanaman (Margaretha, 2010).

Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula a. Suhu

Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktifitas FMA. Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung jenisnya. Suhu yang tinggi pada siang hari (35°C) tidak menghambat perkembangan dan aktivitas fisiologis mikoriza. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 40°C (Rahmi, 2017).

Suhu tanah adalah lebih penting dari pada suhu udara dalam memproduksi inokulum mikoriza. Dianjurkan untuk memproduksi inokulum mikoriza sebaiknya menggunakan suhu di atas suhu optimum tanaman inang. Umumnya suhu di bawah 15oC menghambat kolonisasi mikoriza. Aktivitas mikoriza meningkat dengan meningkatnya temperatur tanah (Indriani, 2011).

Umumnya FMA dapat ditemukan pada jenis tanaman yang tumbuh pada berbagai tipe lahan dan iklim yang berbeda. Penyebaran fungi ini bervariasi menurut iklim dan tipe lahan pertanaman. Faktor-faktor yang mempengaruhi tanaman inang biasanya juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mikoriza. Perkembangan mikoriza dipengaruhi oleh kepekaan tanaman inang terhadap suhu tanah, intensitas cahaya, kandungan unsur hara dan air tanah, pH tanah, bahan organik, residu akar serta logam berat (Manaroinsong, 2015).

b. pH Tanah

Perbedaan kepadatan spora dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan (jenis tanah, hara tanaman, ketinggian tempat, cahaya dan lain-lain) serta musim

(24)

10

pada saat pengambilan contoh tanah. Hal ini menunjukkan bahwa pH tanah, kandungan hara tanah dan musim sangat berpengaruh terhadap proses kolonisasi dan pembentukan spora (Pusat Penelitian Biologi, 2011).

Kolonisasi FMA mulai menurun dengan timbulnya musim dingin, yaitu dari bulan Oktober dan mencapai terendah selama bulan-bulan terdingin dari Desember sampai Januari dan mulai meningkat di musim panas. Kolonisasi FMA selama bulan dan tahun yang berbeda menunjukkan kemungkinan adanya peran faktor iklim dan edafis (Sharma et al., 2013).

Menurut hasil penelitian Zulfredi (2014) FMA biasanya tersebar dengan berbagai cara penyebaran aktif miselia melalui tanah, setelah infeksi di akar hifa berkembang di daerah perakaran pada tanah dan terbentuk struktur fungi, diantaranya miselium eksternal akar merupakan organ yang sangat penting dalam menyerap unsur hara dan mentransferkan ke tanaman, sedangkan penyebaran pasif dapat dilakukan oleh beberapa hewan dan juga angin. Penyebaran FMA melalui inokulasi berkurang pada tanah yang sudah bermikoriza, tetapi meningkat pada tanah yang tidak bermikoriza. Meskipun FMA tersebar hampir merata di seluruh permukaan bumi, namun keberadaannya ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan dan tanah. Distribusi dan kelimpahan FMA berhubungan erat dengan kandungan hara dan ketersediaan air tanah, ketinggian tempat, temperatur dan beberapa sifat kimia tanah antara lain pH tanah.

c. Kelembaban

Fungi Mikoriza Arbuskula tetap membutuhkan air sebagai syarat mutlak dalam kegiatan metabolismenya, namun adanya jumlah air yang berlebih menimbulkan kondisi dengan kelembaban yang tinggi dan kemudian menghambat

(25)

kegiatan FMA dalam menginfeksi akar inang. Pada kondisi ini spora cenderung untuk dorman atau diam. Spora akan kembali berkembang biak saat suhu tanah mencapai keadaan optimum atau dengan air yang cukup. Sifat ini merupakan

salah satu cara mikoriza untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Gaol, 2007).

Rata-rata persentase infeksi akar di daerah pegunungan lebih kecil dibandingkan dengan daerah pantai. Fungi mikoriza bersifat aerobik atau membutuhkan oksigen yang cukup. Kekurangan oksigen menghambat perkembangan baik tumbuhan maupun simbiosis mikorizanya. Pada tegakan di daerah pegunungan, intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan rendah, hal ini dipengaruhi oleh adanya kerapatan tajuk. Kondisi seperti ini menyebabkan kelembabannya cukup tinggi dan pasokan oksigen di dalam tanah rendah, sehingga menyebabkan infeksi mikorizanya rendah (Amelia, 2013).

d. Curah Hujan

Infeksi FMA tinggi pada saat curah hujan tinggi dan jumlah spora sangat banyak pada akhir musim kemarau. Pada musim kemarau, dapat ditemukan jumlah spora yang lebih banyak dibanding pada musim hujan. Adapun mekanismenya saat musim kemarau untuk mengatasi lingkungan yang kering, FMA akan membentuk spora untuk bertahan hidup sehingga jumlah spora menjadi lebih banyak, sedangkan di saat musim hujan dengan ketersediaan air yang banyak akan merangsang spora berkecambah sehingga jumlah spora menjadi lebih rendah (Prayudyaningsih, 2013).

Pada kondisi curah hujan yang tinggi dimana kelembaban tanah juga akan meningkat, spora-spora FMA akan mengalami hidrasi dengan baik sehingga

(26)

12

spora-spora dewasa akan berkecambah dan membentuk kolonisasi pada perakaran tanaman. Kondisi ini menyebabkan tingginya kolonisasi mikoriza pada perakaran.

Sebaliknya, pada kondisi curah hujan yang rendah di mana suhu tanah menjadi lebih tinggi, FMA akan membentuk spora lebih banyak sebagai bentuk respon untuk mempertahankan diri. Diketahui bahwa spora merupakan organ generatif FMA untuk perkembangbiakannya. Pada kondisi curah hujan rendah spora-spora FMA lebih banyak dibandingkan dengan kondisi curah hujan yang tinggi (Delvian, 2003)

Puncak produksi spora terjadi pada musim semi-musim panas atau musim panas-musim gugur tampaknya berhubungan dengan iklim dan tanaman tetapi penurunan jumlah spora yang nyata terjadi selama musim dingin. Selanjutnya inokulum yang mampu bertahan selama musim dingin akan segera mengkolonisasi akar tanaman pada musim semi. Jumlah spora meningkat selama musim pertumbuhan dan kemudian menurun dengan berlalunya musim semi (Delvian, 2006).

(27)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2017. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada tegakan cemara laut (Casuarina equisetifollia) di Pantai Cemara Kembar Dusun III Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Ekstraksi spora dilakukan di Laboraturium Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Pondok Kelapa, Medan. Identifikasi dan penghitungan persentase kolonisasi FMA pada akar anakan C. equisetifollia dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Kegiatan pemerangkapan dilaksanakan pada rumah plastik di Desa Sei Mencirim, dan dokumentasi sampel dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Analisis sifat kimia tanah dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Medan.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini untuk pengambilan contoh tanah dan akar tanaman adalah bor tanah, kantong plastik, spidol, dan kertas label. Alat untuk pengamatan di laboratorium adalah saringan 300 μm, 150 μm, dan 45 μm, sentrifuse, tabung sentrifuse, batang pengaduk, botol semprot, pipet tetes, gelas beker, tabung film, cawan petri, pinset spora, mikroskop binokuler, mikroskop cahaya, kaca preparat, dan kaca penutup. Alat yang digunakan untuk pemerangkapan di rumah plastik berupa pot (aqua cup), ember dan selang.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah pada tegakan C. equisetifollia di daerah Pantai Cemara Kembar Dusun III Sei

(28)

14

Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Untuk ekstraksi dan identifikasi spora mikoriza digunakan bahan berupa larutan glukosa 60%, dan larutan Melzer’s sebagai bahan pewarna spora. Larutan trypan blue untuk bahan proses pewarnaan akar. Larutan KOH 10% untuk mengeluarkan cairan sitoplasma dalam akar, sehingga akar pucat dan sebagai pengawet. Larutan HCl 2% untuk mempermudah masuknya trypan blue pada saat pewarnaan. Benih jagung (Zea mays) untuk pemerangkapan guna ekstraksi akar.

Pasir sungai dan Pupuk NPK guna pertumbuhan di rumah plastik.

Prosedur Penelitian Pembuatan Titik

Penetapan titik pengamatan dilakukan secara acak dengan jumlah titik yang dibuat sebanyak tiga titik.

Pengambilan Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan sebanyak tiga titik, dalam setiap titik diambil dengan kedalaman 0-20 cm. Berat tanah yang diambil setiap titik sebanyak 1000 gram.

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan analisis awal terhadap kondisi tanah yang meliputi pH tanah, C-organik, KTK (Kapasitas Tukar Kation) tanah dan Fosfor (P-tersedia) untuk mengetahui sifat tanah.

Pemerangkapan (Trapping Culture)

Teknik pemerangkapan yaitu setiap sampel tanah dibuat 20 pot kultur pada setiap titik dengan jumlah 3 titik sehingga jumlah seluruh pot kultur adalah 60 pot kultur. Teknik pengisian media tanam dalam pot kultur adalah pot kultur diisi dengan pasir sungai sampai sepertiga volume pot kultur dan kemudian

(29)

dimasukkan contoh tanah dan terakhir ditutup dengan pasir sungai sehingga media tanam tersusun atas pasir sungai - contoh tanah - pasir sungai. Selanjutnya benih Zea mays ditaruh pada lubang tanam.

Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan pengendalian hama secara manual. Larutan hara yang digunakan adalah NPK merah (15-15-15) dengan konsentrasi 1 g/Liter. Pemberian larutan hara dilakuan setiap minggu sebanyak 20 ml tiap pot kultur.

Setelah kultur berumur delapan minggu kegiatan penyiraman dihentikan dengan tujuan mengkondisikan kultur pada keadaan stres kekeringan. Proses pengeringan ini berlangsung secara perlahan sehingga dapat merangsang pembentukan spora lebih banyak. Periode pengeringan ini akan berlangsung selama dua minggu.

Pemanenan dilakukan setelah dilakukan stressing selama dua minggu terhadap tanaman yang digunakan sebagai kultur pemerangkapan. Variabel yang diamati adalah jumlah spora dalam 50 g media tanam, % kolonisasi, kelimpahan spora, dan sifat kimia tanah. Selanjutnya spora-spora yang diperoleh dari kultur ini akan diidentifikasi jenisnya.

Pengambilan Sampel Akar

Akar yang diambil yaitu akar anakan C. equisetifollia. Setiap akar anakan C. equisetifollia yang diambil sebagai sampel yang mewakili setiap titik tersebut.

Akar yang diamati adalah akar yang memiliki diameter berukuran 0,5 – 1,0 mm.

(30)

16

Pengamatan Sampel Tanah dan Akar a. Ekstraksi Spora

Teknik yang digunakan dalam mengekstraksi spora FMA adalah teknik tuang-saring dan akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi. Prosedur kerja teknik tuang-saring ini, pertama adalah mencampurkan tanah sampel sebanyak 50 gram dengan 200-300 ml air dan diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur.

Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 300 μm, 150 μm, dan 45 μm secara berurutan dari atas ke bawah. Dari saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk memudahkan bahan saringan lolos. Kemudian saringan paling atas dilepas dan saringan kedua kembali disemprot dengan air kran. Setelah saringan kedua dilepas sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse.

Ekstraksi spora teknik tuang-saring ini kemudian diikuti dengan teknik sentrifugasi. Hasil saringan dalam tabung sentrifuse ditambahkan dengan glukosa 60% yang diletakkan pada bagian bawah dari larutan tanah dengan menggunakan pipet tetes. Tabung sentrifuse ditutup rapat dan disentrifuse dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Selanjutnya larutan supernatan tersebut dituang ke dalam saringan 45 μm, dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan glukosa.

Endapan yang tersisa dalam saringan di atas dituangkan ke dalam cawan petri dan kemudian diamati di bawah mikroskop binokuler untuk penghitungan kepadatan spora dan pembuatan preparat guna identifikasi spora FMA yang ada.

Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s.

Spora-spora FMA yang diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlahnya diletakkan dalam larutan Melzer’s. Selanjutnya spora-spora tersebut dipecahkan

(31)

secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat menggunakan ujung lidi. Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah salah satu indikator untuk menentukan tipe spora yang ada.

b. Kolonisasi FMA pada Akar Tanaman Sampel

Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman contoh dilakukan melalui teknik pewarnaan akar. Metode yang digunakan untuk pembersihan dan pewarnaan akar. Langkah pertama adalah memilih akar-akar halus dengan diameter 0,5-2,0 mm segar dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih.

Akar sampel dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% dan dibiarkan selama lebih kurang 24 jam sehingga akar akan berwarna putih atau pucat.

Larutan KOH kemudian dibuang dan akar dicuci pada air mengalir selama 5-10 menit. Selanjutnya akar contoh direndam dalam larutan HCl 2% dan dibiarkan selama satu malam. Larutan HCl 2% kemudian dibuang dengan mengalirkannya secara perlahan-lahan. Selanjutnya akar sampel direndam dalam larutan trypan blue 0,05%. Selanjutnya kegiatan pengamatan siap dilakukan penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang akar terkolonisasi.

Secara acak diambil potong-potongan akar yang telah diwarnai dengan panjang kurang lebih 1 cm sebanyak 10 potongan akar dan disusun pada kaca preparat, untuk setiap tanaman sampel dibuat dua preparat akar. Potongan- potongan akar pada kaca preparat diamati untuk setiap bidang pandang. Bidang pandang yang menunjukkan tanda-tanda kolonisasi dimana terdapat hifa, arbuskula dan vesikula diberi tanda positif (+), sedangkan yang tidak terdapat tanda-tanda kolonisasi diberi tanda negatif (-). Derajat/persentase kolonisasi akar

(32)

18

dihitung dengan menggunakan rumus:

% Kolonisasi akar =

x 100 %

Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan meliputi analisis tanah lokasi penelitian, penghitungan kepadatan spora FMA hasil isolasi dari lapangan, kepadatan spora dalam 50 g tanah, penyajian tabel hasil identifikasi hasil tipe-tipe spora FMA secara deskriptif.

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik dan Kimia Tanah Serta Curah Hujan Lokasi Penelitian

Secara umum hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tanah pada lokasi penelitian (Desa Sei Nagalawan, Pantai Cemara Kembar, Kabupaten Serdang Bedagai) termasuk tanah yang tidak subur. Keberadaan mikoriza di dalam tanah dapat mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah.

Tabel 1. Sifat fisik dan kimia tanah di Pantai Cemara Kembar, Dusun III Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai.

Sifat Fisik dan kimia Tanah

pH pH C pH C N P K Ca Na Mg JKB KTK KB DHL H2O (%) (%) (ppm) (%) μS

0-20 6,2 0,30 0,04 8 26,72 0,05 0,55 0,17 0,31 1,08 8,61 3 60,24 (N) (SR) (SR) (S) (T) (SR) (SR) (T) (R) (R) (SR)

Hasil sifat fisikokimia tanah pada Tabel 1 sangat penting dalam kaitannya dengan keberadaan mikoriza. Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah dari Hardjowigeno (1995) yang disajikan pada lampiran 1, pada kedalaman 0-20 cm terdapat C-organik dan Nitrogen pada lokasi penelitian termasuk sangat rendah yaitu 0,30% dan 0,04%. Kandungan P tersedia pada lokasi penelitian termasuk kategori tinggi yaitu 26,72 ppm. Ketersediaan P tersedia tanah mempunyai hubungan yang kuat dengan keberadaan mikoriza, dimana keberadaan P yang

tinggi akan menekan/mengurangi keberadaan mikoriza. Hal ini sesuai dengan

CN

Kedalaman Tanah

me/

100 me/

100 me/

100 me/

100 me/

100 me/

100

Keterangan : Metode Uji :

JKB : Jumlah Kation Basa pH : Ptensiometer K, Na, Ca, Mg : AAS/Amm acetat 1N KTK : Kapasitas Tukar Kation C-organik (total) : Spektrofotometri KTK : Volumetri/NaCl 10%

KB : Kejenuhan Basa Nitrogen (total) : Volumetri/Kjeldahl DHL : Potensiomteri DHL : Daya Hantar Listrik P (tersedia) : Spekrofotomtri/Bray 2 JKB, KB : Amm acetat SR : Sangat Rendah

R : Rendah

S : Sedang

T : Tinggi

N : Netral

(34)

20

Alguacil et al., (2010) unsur hara terutama P tersedia (Fosfor) merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan komunitas FMA pada suatu lahan.

Kadar Fosfor tanah yang tinggi di tanah membatasi keanekaragaman fungi ini dan efektivitasnya bagi tanaman dan sebaliknya dengan rendahnya ketersediaan Fosfor tanah.

Pada lokasi penelitian pH tanah yang didapat dikategorikan netral yaitu mencapai 6,2. pH tanah diketahui sangat mempengaruhi kemampuan FMA berasosiasi dengan tanaman, hal ini sesuai dengan pernyataan Prihastuti (2007), mikoriza dapat hidup dengan baik pada pH tanah masam sampai netral dan mampu menghasilkan asam-asam organik yang membebaskan P terfiksasi.

Secara umum Brundrett et al., (1996) menyimpulkan bahwa salinitas merupakan salah satu faktor tanah yang menyebabkan berkurangnya jumlah spora FMA di dalam tanah di samping faktor pH tanah, kekeringan, pencucian atau iklim yang ekstrim, dan kehilangan lapisan tanah bagian atas atau kurangnya tanaman inang.

Tabel 2. Data Curah Hujan pada Tahun 2017

Periode Pengamatan (mm)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des 2017 113 104 52 73 195 18 56 115 208 117 - - Sumber : Stasiun Meteorologi PTPN IV Kebun Adolina

Berdasarkan Tabel 2 hasil dari data curah hujan yang diamati dalam tiga kali pengamatan yaitu pada bulan Juli, Agustus dan September. Curah hujan tertinggi terdapat pada bulan September yaitu 208 mm dan terendah pada bulan Juli yaitu 56 mm. Faktor iklim juga sangat mempengaruhi keberadaan dari mikoriza. Pusat Penelitian Biologi (2011) menyatakan bahwa faktor iklim

Tahun

(35)

mempengaruhi spora mikoriza untuk bersporulasi. Pada musim kering mikoriza aktif untuk bersporulasi membentuk spora baru dan sebaliknya pada musim hujan sporulasi berkurang, pembentukan spora baru berkurang ketika kelembaban tanah tinggi, akan tetapi kemampuan untuk berkolonisasi dengan tanaman inang meningkat. Sebaliknya pada kondisi kering pembentukan spora baru atau sporulasi akan meningkat sehingga persentase kolonisasi menurun.

Fungi Mikoriza Arbuskula dalam kelangsungan hidupnya sangat memerlukan air yang cukup untuk tetap bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gaol (2007) yang menyatakan bahwa FMA tetap membutuhkan air sebagai syarat mutlak dalam kegiatan metabolismenya. Namun adanya jumlah air yang berlebih menimbulkan kondisi dengan kelembaban yang tinggi dan kemudian menghambat kegiatan FMA dalam menginfeksi akar inang. Pada kondisi ini spora cenderung untuk dorman atau diam. Spora akan kembali berkembang biak saat suhu tanah mencapai keadaan optimum atau dengan air yang cukup. Sifat ini merupakan salah satu cara mikoriza untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Hubungan Presentase Kolonisasi Akar Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dengan Curah Hujan pada Tegakan C. equisettifollia

Selain faktor sifat kimia tanah, faktor curah hujan juga dapat mempengaruhi keberadaan dan kolonisasi akar FMA. Hubungan hasil pengamatan presentase kolonisasi FMA pada akar tanaman dengan curah hujan disajikan pada Gambar 1.

Berdasarkan hasil yang diperoleh persentase kolonisasi FMA tertinggi diperoleh pada bulan September yaitu sebesar 70,57% dikategorikan tinggi, dan persentase kolonisasi FMA terendah adalah pada bulan Juli sebesar 68,32%

dikategorikan sedang-tinggi. Hasil dari kolonisasi akar pada 3 kali pengamatan

(36)

22

mengalami perbedaan yang dimana pada bulan September dan Juli terjadi perbedaan yang disebabkan oleh curah hujan atau musim yang terjadi. Hal ini sesuai dengan Sharma et al., (2013) yang menyatakan bahwa kolonisasi FMA mulai menurun dengan timbulnya musim dingin, yaitu, dari bulan Oktober, dan mencapai terendah selama bulan-bulan terdingin dari Desember-Januari dan mulai meningkat di musim panas. Kolonisasi FMA selama bulan dan tahun yang berbeda menunjukkan kemungkinan adanya peran faktor iklim dan edafis.

Gambar 1. Hubungan antara presentase kolonisasi akar FMA dengan curah hujan pada tegakan C. equisettifollia

Pada penelitian ini dilakukan tiga kali pengamatan yaitu pada bulan Juli, Agustus dan September. Berdasarkan data yang diperoleh pada Gambar 1. Curah hujan tertinggi terdapat pada bulan September yaitu 208 mm dan kolonisasi akar tertinggi juga dapat pada bulan September yaitu 70,57%. Hal ini dikarenakan pada keadaan curah hujan tinggi presentase kolonisasi meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Delvian (2003) berpendapat bahwa pada kondisi curah hujan

68.32 69.53 70.57

56

115

208

0 30 60 90 120 150 180 210

0 15 30 45 60 75 90

Juli Agustus September

Curah Hujan (mm)

Kolonisasi Akar (%)

Kolonisasi Akar (%) Curah Hujan (mm)

(37)

yang tinggi dimana kelembaban tanah juga akan meningkat, spora-spora FMA akan mengalami hidrasi dengan baik sehingga spora-spora dewasa akan berkecambah dan membentuk kolonisasi pada perakaran tanaman. Kondisi ini menyebabkan tingginya kolonisasi mikoriza pada perakaran. Sebaliknya, pada kondisi curah hujan yang rendah di mana suhu tanah menjadi lebih tinggi, FMA akan membentuk spora lebih banyak sebagai bentuk respon untuk mempertahankan diri. Diketahui bahwa spora merupakan organ generatif mikoriza

arbuskula untuk perkembangbiakannya. Pada kondisi curah hujan rendah spora-spora mikoriza arbuskula lebih banyak dibandingkan dengan kondisi curah

hujan yang tinggi.

Suhu sangat mempengaruhi kolonisasi pada FMA. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahmi (2017) suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktifitas FMA. Suhu optimum untuk perkecambahan spora sangat beragam tergantung jenisnya. Suhu yang tinggi pada siang hari (35°C) tidak menghambat perkembangan dan aktivitas fisiologis mikoriza. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu diatas 40°C.

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) memiliki beberapa struktur untuk dapat bertahan hidup di dalam akar tanaman dan di dalam tanah. Struktur tersebut diantaranya arbuskula, hifa dan vesikula. Pada penelitian ini struktur yang ditemui

adalah hifa dan vesikula. Setiap struktur tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda. Arbuskula sangat sulit ditemukan dikarenakan arbuskula sangat

rentan terhadap kondisi lingkungan yang ada. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Simamora (2014) yaitu umur hidup arbuskula yang singkat dan bersifat meluruh pada kondisi kering menyebabkan saat pengambilan sampel akar dan

(38)

24

pengamatan di bawah mikroskop struktur ini tidak ditemukan. Struktur FMA yang ditemui dapat disajikan pada Gambar 2 dan 3.

Gambar 4. Spora pada akar anakan C. equisetifollia

Hubungan Kepadatan Spora Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dengan Curah Hujan pada Tegakan C. equisettifollia

Kepadatan spora merupakan jumlah spora yang dijumpai pada saat pengamatan. Jumlah spora yang didapat diperoleh dari contoh tanah yang diambil dari lapangan sebanyak 1000 gram tiap titiknya dengan menggunakan pengambilan secara acak. Berdasarkan hasil pengamatan nilai kepadatan spora (jumlah spora dalam 50 g tanah) yang diperoleh pada Gambar 5 yang tertinggi terdapat pada bulan Juli yaitu sebesar 91 spora dan terendah pada bulan Agustus

Hifa

Vesikula

Gambar 2. Hifa Gambar 3. Vesikula

Spora

(39)

yaitu sebesar 77 spora. Curah hujan tertinggi terdapat pada bulan September yaitu 208 mm. Hal ini menunjukkan bahwa pada keadaan curah hujan yang tinggi kepadatan spora yang dihasilkan akan menurun, hal ini dikarenakan faktor curah hujan atau waktu pengamatan sangat mempengaruhi jumlah spora yang berkembang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Delvian (2006) yang menyatakan bahwa puncak produksi spora terjadi pada musim semi-musim panas atau musim panas-musim gugur tampaknya berhubungan dengan iklim dan tanaman tetapi penurunan jumlah spora yang nyata terjadi selama musim dingin. Selanjutnya inokulum yang mampu bertahan selama musim dingin akan segera mengkolonisasi akar tanaman pada musim semi. Jumlah spora meningkat selama musim pertumbuhan dan kemudian menurun dengan berlalunya musim semi.

Gambar 5. Hubungan kepadatan spora FMA dengan curah hujan pada tegakan C. equisettifollia

Pusat Penelitian Biologi (2011) menyatakan bahwa perbedaan kepadatan spora dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan (jenis tanah, hara tanaman, ketinggian tempat, cahaya dan musim pada saat pengambilan contoh tanah. Hal

91

77 79

56

115

208

0 20 40 60 80 100 120 140

0 50 100 150 200 250 300

Juli Agustus September

Curah Hujan (mm)

Kepadatan Spora/50 g Tanah

Kepadatan Spora/50 g tanah Curah Hujan (mm)

(40)

26

ini menunjukkan bahwa pH tanah, kandungan hara tanah dan musim sangat berpengaruh terhadap proses kolonisasi dan pembentukan spora.

Kadar air tanah sangat berpengaruh terhadap pembentukan spora dan jumla spora FMA. Hal ini sesuai dengan Rahmi (2017) bahwa kadar air tanah untuk tanaman yang tumbuh di daerah kering, adanya mikoriza menguntungkan karena dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan bertahan pada kondisi yang kurang air. Adanya mikoriza dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang. Ada beberapa dugaan mengapa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan diantaranya adalah adanya mikoriza resitensi akar terhadap gerakan air menurun sehingga transfer air ke akar, adanya hifa eksternal menyebabkan tanaman lebih mampu mendapatkan air daripada yang tidak terdapat mikoriza tapi jika mekanisme ini yang terjadi berarti kandungan logam-logam lebih cepat menurun. Penemuan akhir-akhir ini yang menarik adanya hubungan antara potensial air tanah dan aktifitas mikoriza. Pada tanaman bermikoriza jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 gram bobot kering tanaman lebih sedikit daripada tanaman yang tidak bermikoriza. Tanaman mikoriza lebih tahan terhadap kekeringan karena pemakaian air yang lebih ekonomis. Pengaruh tidak langsung karena adanya

miselin eksternal menyebabkan mikoriza efektif didalam mengagregasi butir- butir tanah sehingga kemampuan tanah menyimpan air meningkat.

Keanekaragaman Spora FMA

Selain melihat kolonisasi dan kepadatan spora yang terjadi pada akar tanaman, juga diamati tipe-tipe spora yang berasosiasi dengan tanaman.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 2 ditemui ada 13 tipe spora FMA,

(41)

12 diantaranya merupakan genus Glomus dan selebihnya Acaulospora dengan jumlah 2 tipe. Spora Glomus yang ditemukan rata-rata memiliki bentuk bulat sampai bulat lonjong, memiliki dinding spora mulai dari kuning bening sampai coklat kemerahan, permukaan dinding spora relatif halus, dan memiliki dinding

spora yang tipis. Spora ada yang tidak ditemukan tangkai spora (Hyfal attachment), namun ada spora lainnya ditemukan tangkai spora (Hyfal attacment) yang langsung menyatu dengan dinding spora dengan warna

yang hampir sama dengan dinding spora. Hal ini sejalan dengan hasil Penelitian Sukmawaty et al., (2016) yang menyatakan bahwa hasil identifikasi spora menunjukkan genus Glomus dominan dijumpai pada setiap pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa Glomus mempunyai tingkat adaptasi yang cukup tinggi terhadap lingkungan baik pada kondisi tanah yang masam maupun netral.

Spora Acaulospora yang ditemukan memiliki bentuk bulat dan memiliki dinding spora yang relatif tebal, dengan warna kuning kecoklatan sampai orange kemerahan. Jenis-jenis mikoriza lainnya seperti Gigaspora, Scutellospora dan Enthrospora tidak dijumpai pada pengamatan. Ciri yang menjadi pembedaan antara jenis Glomus dan Acaulospora yang ditemukan dapat dilihat dari perbedaan ciri, karakteristik morfologi (bentuk ketebalan dinding sel, ada tidaknya substanding hypha serta ornamen permukaan dan reaksi spora terhadap Melzer.

Amelia (2013) berpendapat bahwa aktivitas dan keanekaragaman FMA berhubungan dengan perubahan musim di samping aktifitas pertumbuhan inang.

Puncak pembentukan spora FMA pada setiap inang terjadi pada waktu yang berbeda, di samping juga perbedaan spesies FMA yang bersimbiosis dengan masing-masing inang. Terdapat beberapa gambar spora mikoriza hasil

(42)

28

pengamatan yang sudah diidentifikasi berdasarkan kesamaan karakteristik morfologi (bentuk ketebalan dinding sel, ada tidaknya substanding hifa serta ornamen permukaan dan reaksi spora terhadap Melzer) seperti yang disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Tipe-tipe spora FMA yang ditemukan pada tegakan C. equisetifollia Jenis Spora Karakteristik Umum

Glomus sp-1

Acaulospora sp-1

Glomus sp-2

Berwarna cokelat kekuningan dengan dinding spora yang jelas dan terdapat bintik cokelat.

Berwarna merah bata dengan dinding spora yang tebal

Berwarna merah kecokelatan dengan dinding spora yang jelas berwarna cokelat gelap.

Berwarna kecokelatan dengan dinding spora yang jelas berwarna cokelat gelap.

(43)

Jenis Spora Karakteristik Umum

Glomus sp-4

Glomus sp-5

Glomus sp-6

Glomus sp-7

Berwarna kekuningan dengan corak bintik- bintik cokelat gelap dengan dinding spora kurang begitu jelas.

Berwarna merah bata dengan dinding spora yang jelas. memiliki tangkai spora dan memiliki permukaan yang mulus.

Berwarna merah bata dengan corak gelembung hitam di tengah, memiliki tangkai spora dan memiliki dinding spora yang tebal.

Berwarna cokelat kekuningan dengan corak berwarna cokelat gelap dan memiliki dinding spora yang jelas.

(44)

30

Jenis Spora Karakteristik Umum

Acaulospora sp-2

Glomus sp-8

Glomus sp-9

Glomus sp-10

Berwarna cokelat kekuningan dengan corak berwarna cokelat gelap dan memiliki dinding spora yang jelas.

Berwarna merah bata dengan dinding spora yang tebal dan permukaan mulus.

Berwarna cokelat kekuningan dengan dinding spora yang jelas berwarna merah bata dan terdapat buiran-butiran di tengah spora

Berwarna merah bata dengan dinding spora yang jelas dan terdapat bintik berwarna hitam

Berwarna kekuningan dengan dinding spora yang tebal berwarna cokelat dan terdapat garis berwarna cokelat di tengah spora

(45)

Jenis Spora Karakteristik Umum

Glomus sp-11

Hasil pengamatan dan identifikasi spora FMA menunjukkan bahwa ada tipe spora yang tidak ditemui pada setiap pengamatan. Sebagaimana tampak pada Tabel 4.

Tabel 4. Identifikasi tipe spora FMA pada tegakan C. equisetifollia Tipe spora Periode

Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3 Glomus sp-1 - -

Glomus sp-2 - -

Glomus sp-3 - -

Glomus sp-4 - -

Glomus sp-5 - -

Glomus sp-6 - -

Glomus sp-7 - -

Glomus sp-8 - -

Glomus sp-9 - -

Glomus sp-10 - -

Glomus sp-11 √ - - Acaulospora sp-1 - -

Acaulospora sp-2 - -

Keterangan : (√) = Ada spora (-) = Tidak ada spora

Pada pengamatan 1 terdapat tipe spora Glomus dan Acaulospora sama halnya dengan pengamatan 2, namun pada pengamatan 3 tidak terdapat spora Acaulospora melainkan hanya tipe spora Glomus saja. Hal ini sejalan dengan Berwarna cokelat kekuningan dengan dinding spora yang jelas dan bercorak bintik-bintik cokelat gelap.

(46)

32

penelitian Simamora (2014) yang menyatakan bahwa penyebaran tipe spora yang terjadi karena beberapa alasan misalnya, adanya perbedaan lokasi pengambilan sampel di lapangan, kadar air yang tinggi pada saat di lapangan mengakibatkan pembentukan spora yang sedikit, ada juga karena pada saat di lapangan tidak di temukan tapi pada saat proses stressing selama 14 hari sehingga terjadi pembentukan spora yang dirangsang karena respon fisiologis dari spora untuk membentuk spora dalam jumlah yang banyak.

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Semakin tinggi curah hujan maka persentase kolonisasi akar semakin meningkat, dimana persentase kolonisasi akar tertinggi pada bulan September sebesar 70,57% dan curah hujan tertinggi terdapat pada bulan September yaitu 208 mm.

2. Semakin tinggi curah hujan maka kepadatan spora menurun, dimana kepadatan spora terendah pada bulan September sebesar 77 spora dan curah hujan tertinggi terdapat pada bulan September yaitu 208 mm.

3. Banyaknya tipe spora FMA pada tegakan C. equisetifollia yang ditemukan yaitu 11 tipe Glomus dan 2 tipe Acaulospora.

Saran

1. Untuk mendapatkan gambaran pengaruh waktu pengamatan terhadap keberadaan dan keanekaragaman spora FMA yang lebih lengkap, sebaiknya mengamati dalam interval waktu yang lengkap. Dimulai pada bulan Januari dan diakhiri pada bulan Desember.

2. Untuk melihat jumlah spora yang bervariasi, sebaiknya dilakukan eksplorasi dalam keadaan curah hujan yang rendah, namun untuk melihat kondisi kolonisasi akar FMA yang meningkat, sebaiknya dilakukan eksplorasi dalam keadaan curah hujan yang tinggi.

(48)

34

DAFTAR PUSTAKA

Alguacil MDM, Z Lozano, MJ Campoy dan A Roldan. 2010. Phosphorus fertilisation management modifies the biodiversity of AM fungi in a

tropical savanna forage system Soil Biology & Biochemistry.

42:1114-1122.

Amelia T. 2013. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Bawah Tegakan Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq) di Pemalang

Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Bogor .

Ansiga RE, A Rumambi, D Kaligis, I Mansur dan W Kaunang. 2017. Eksplorasi

Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) Pada Rizosfir Hijauan Pakan.

Jurnal Zootek. 1:167-178.

Brundrett M, N Bougher, B Dell, T Grove dan N Malajczuk. 1996. Working with mycorrhizas in forestry and agriculture.

Daras U, O Trislawati dan I Sobari. 2013. Pengaruh Mikoriza dan Amelioran Terhadap Pertumbuhan Benih Kopi. Buletin RISTRI. 2:145-156.

Delvian. 2003. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Hutan Pantai dan Potensi Pemanfaatannya. Disertasi. Program Pascasarjana.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Delvian. 2006. Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula. Karya Tulis.

Universitas Sumatera Utara. Medan.

Gaol PL. 2007. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Lahan Gambut. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Hadijah MH. 2014. Pengaruh Inokulasi Mikoriza dan Salinitas Terhadap Pertumbuhan Semai Acacia auriculiformis. Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (Agrikan UMMU-Ternate). 7:1-2.

Hardjowigeno S. 1995. Genesis dan Klarifikasi Tanah. Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Hidayati N, E Faridah dan Sumardi. 2015. Peran Mikoriza Pada Semai Beberapa Sumber Benih Mangium (Acacia mangium Willd) yang Tumbuh Pada Tanah Kering. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. 1:13–29.

Indriani, PN Mansyur, I Susilawati dan ZR Islami. 2011. Peningkatan Produktivitas Tanaman Pakan Melalui Pemberian Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Jurnal Pastura. 1:27-30.

Kabirun S. 2015. Mikoriza. Jurnal Ilmiah Semi Populer BIOS. 2:16-20.

(49)

Karmilasanti, R Maharani. 2016. Keanekaragaman Jenis Jamur Ektomikoriza Pada Ekosistem Hutan Dipterokarpa di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan, Berau, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Ekosistem Dipterokarpa. 2:57-66.

Manaroinsong E, A Lolong. 2015. Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Beberapa Tekstur Tanah di Lahan Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah. Jurnal B Palma. 2:203-210.

Margaretha. 2010. Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara dengan Pupuk Hayati Mikoriza Sebagai Media Tanam Jagung Manis. Jurnal Hidrolitan.

3:1-10.

Musfal. 2010. Potensi Fungi Mikoriza Arbuskula Untuk Meningkatkan Hasil Tanaman Jagung. Jurnal Litbang Pertanian. 4:1-5.

Naemah D. 2011. Interaksi Pupuk Organik dan Media Ramah Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Semai Meranti Merah (Shorea leprosula Miq).

Skripsi. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru.

Novera Y. 2008. Analisis Vegetasi, Karakteristik Tanah dan Kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nurbaity A, D Herdiyantoro dan O Mulyani. 2009. Pemanfaatan Bahan Organik

Sebagai Bahan Pembawa Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula.

Jurnal Biologi. 1:17-11.

Pangaribuan N. 2014. Penjaringan Cendawan Mikoriza Arbuskula Indigenous dari Lahan Penanaman Jagung dan Kacang Kedelai Pada Gambut Kalimantan Barat. Jurnal Agro. 1:1-11.

Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai. 2015. http://serdangbedagaikab.go.id.

Diakses pada tanggal 02 Desember 2017.

Prayudyaningsih, R Nursyamsi. 2013. Keragaman Tanaman Umbi dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Bawah Tegakan Hutan Rakyat Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 1:81-92.

Prihastuti. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Mikoriza Vesikular dan Arbuskula di Lahan Kering Masam Lampung Tengah. Jurnal Hayati. 12:99-106.

Pusat Penelitian Biologi. 2011. Berita Biologi. Jurnal Ilmu-Ilmu hayati. Pusat Penelitian Biologi - LIPI. 10:1-5.

Ratnawati L. 2016. Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Pemupukan Nitrogen Jangka Panjang Terhadap Jumlah Spora Mikoriza Vesikula Arbuskula dan Infeksi Akar Tanaman Padi Gogo Varietas Inpago-8 Pada Musim Tanam Ke-46. Skripsi. Universitas Lampung. Lampung.

(50)

36

Rahmi N, R Dewi, R Maretalina dan M Hidayat. 2017. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Di Kawasan Hutan Desa Lamteuba Droe Kecamatan Seulimum Kabupaten Aceh Besar. Prosiding Seminar Nasional Biotik.

Saputra B, R Lindra dan I Lovadi. 2015. Jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular

(MVA) pada Tiga Jenis Tanah Rhizosfer Tanaman Pisang Nipah (Musa paradisiaca L. var. nipah) di Kabupaten Pontianak. Jurnal Protobiont. 1:160-169.

Sari S, A Kumastuti dan W Indrawati. 2017. Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) Tanaman Leguminosa Secara Mikroskopis Pada Lahan Olah Tanah Konservasi Musim Tanam Ke 29. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. Jurusan Tanaman Perkebunan. Politeknik Negeri Lampung.

17:40-49.

Setiadi Y. 1992. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Tanah Hutan. Universitas Bioteknologi Kehutanan. Jakarta

Sharma C, RK Gupta, KR Pathak dan KK Choudhary. 2013. Seasonal Colonization of Arbuscular Mycorrhiza Fungi in the Roots of Camellia sinensis (Tea) in Different Tea Gardens of India. Hindawi Publishing Corporation. 2:1-6.

Simamora A, Delvian dan D Elfiati. 2014. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara. Skripsi.

Universitas Sumatera Utara. Medan.

Suhardi. 1989. Pengaruh Pemberian Pupuk Posfat dan Asam Humat Terhadap Keragaman Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Pada Ultisol. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.

Suherman., I Rahim dan AM Akib. 2012. Aplikasi Mikoriza Vesikular Arbuskular Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kedelai (Glycine Max L.

Merrill). Jurnal Galung Tropika.1:1-6.

Sukmawaty E, Hafsan dan Asriani. 2016. Identifikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula dari Perakaran Tanaman Pertanian. Jurnal Biogenesis. 1:16-20.

Talanca H. 2010. Status Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Tanaman.

Prosiding Pekan Serealia Nasional. Balai Penelitian Tanaman Serealia.

Sulawesi Selatan.

Widyati E. Dinamika Komunitas Mikroba di Rizosfir dan Kontribusinya Terhadap Pertumbuhan Tanaman Hutan. Jurnal Tekno Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Kampus Balitbang Kehutanan. Bogor. 6:55–64.

Referensi

Dokumen terkait

(Sang raja lalu melihat saudaranya yaitu istri Adipati yang mati tergeletak di pembaringan bersama-sama dengan putranya. Di lambungnya terdapat luka kena keris.

Kegiatan dilakukan adalah pembuatan seminar dan workshop dengan tema Program Pencegahan dan Pengendalian penularan HIV dari ibu ke bayi (PMTCT) di Unit Kebidanan

[r]

Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis eksploratif yaitu suatu teknik analisa data yang menggali informasi secara jelas dan terperinci berdasarkan

Hal demikian terjadi di Masjid Roudhotul Muttaqin Desa Klitih Kecamatan Karantengah Kabupaten Demak Perubahan bentuk dari harta wakaf ini memang sering kali tidak

dari Abu Hanifah, Ibn Syubrumah, Abu Yusuf dan Muhammad mengenai suami (atau laki-laki) yang tidak boleh diqishash karena kejahatan mencederai isteri (perempuan). Juga

PENGARUH PERMAINAN SOCCER LIKE GAMES TERHAD AP KERJASAMA SISWA D ALAM PEMBELAJARAN PERMAINAN SEPAKBOLA KELAS XI SMAN I BALEEND AH.. Universitas Pendidikan Indonesia

Penelitian ini menjelaskan bahwa 36 balita yang memiliki kepadatan tempat tinggal kurang dan diantaranya 18 balita mengalami pneumonia, hal ini bisa dikatakan