• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEUROFISIOLOGI SISTEM ARAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NEUROFISIOLOGI SISTEM ARAS"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

NEUROFISIOLOGI SISTEM ARAS

Oleh :

dr. Sri Yenni Trisnawati Sp.S

PROGRAM STUDI NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DAFTAR ISI

(2)

HALAMAN JUDUL ………. i

DAFTAR ISI ……… ii

BAB I PENDAHULUAN ………. 3

BAB II NEUROANATOMI SISTEM ARAS ………. 4

BAB III NEUROFISIOLOGI SISTEM ARAS ……….. 21

BAB I PENDAHULUAN

(3)

Pada awal abad 20, para ilmuwan berpendapat bahwa input sensorik menuju otak berfungsi menjaga seorang individu dalam keadaan sadar, sedangkan adanya kehilangan input sensorik akan menyebabkan individu dalam kondisi tidur. Namun pada tahun 1949, Moruzzi dan Magoun mendemonstrasikan bahwa kewaspadaan tidak terganggu dengan diinterupsinya jalur sensorik, melainkan dapat dimodifikasi dengan memanipulasi sistem formasi retikularis batang otak (Jones, 2003). Moruzzi dan Magoun melakukan percobaan pada seekor kucing dengan memberikan lesi pada bagian lateral dari otak tengah, menginterupsi jalur somatosensorik asenden dan jalur lemniskus auditorik dengan menyelamatkan area retikular paramedian dari otak tengah. Hasilnya adalah kucing tersebut menjadi tuli dan tidak menerima stimulus somatosensorik, tetapi tetap dalam kondisi sadar. Sebaliknya ketika lesi dipidah di area paramedian formasi retikularis, hewan coba menunjukkan kondisi yang tidak responsif, meskipun daerah korteks menunjukkan respon terhadap stimulus auditorik dan somatosensorik (Posner, 2007).

Tahun 1929 Hans Berger, seoarang psikiater dari Swiss memperkenalkan suatu inovasi teknologi yaitu elektroencephalogram (EEG) yang dikembangkan untuk mengetahui fungsi kortikal pasien-pasiennya. Kemudian Maruzzi dan Magoun secara kebetulan menemukan bahwa rangsangan listrik pada bagian medial (daerah fasilitasi) formasi retikularis batang otak dapat menimbulkan perubahan-perubahan dalam EEG (Elektroensephalogram) yang identik dengan

(4)

pencatatan EEG pada mamalia ketika dalam keadaan bangun dari tidur.

Penemuan-penemuan ini menunjukkan adanya suatu mekanisme di dalam batang otak (formasi retikularis) yang mempunyai pengaruh memacu korteks serebri dan berkorelasi dengan fungsi bangun tidur serta kewaspadaan (Sukardi, 1985).

BAB II

(5)

NEURONANATOMI

ASCENDING RETIKULAR ACTIVATING SYSTEM (ARAS)

2.1 Struktur Anatomi

2.1.1 Ascending Retikular Activating System (ARAS)

Ascending Retikular Activating System (ARAS) merupakan jaringan yang

bermula dari rostral tegmentum otak dan substansia retikularis medula spinalis dan memancar ke talamus kemudian ke korteks serebral, serta lebih dominan pada aspek anterior. Impuls aferen spesifik sebagian disalurkan melalui cabang kolateralnya ke rangkaian neuron-neuron substansia retikularis dan selanjutnya impuls tersebut bersifat non spesifik oleh karena cara penyalurannya bersifat multisinaptik dan bilateral (Sidharta, 2010). ARAS terdiri dari beberapa sirkuit neuron yang menghubungkan batang otak menuju korteks. Koneksi neuron ini sebagian besar berasal dari formasi retikularis di batang otak dengan menerima informasi sensorik dari berbagai sumber di sekitarnya. Kemudian berproyeksi di nukleus intralaminar di talamus dan sistem limbik kemudian berdifusi secara luas di korteks serebri (Gambar 2.1). Terdapat dua sumber yang mempengaruhi ARAS yaitu (Sukardi,1985):

2.1.1.1 Pengaruh impuls-impuls perifer yang mula-mula dihantarkan melalui serat-serat sensorik spesifik

(6)

2.1.1.2 Pengaruh yang datang dari korteks serebri melalui serat kortikoretikularis. Serat kortikoretikularis ini berasal dari semua bagian korteks serebri dapat mempunyai pengaruh fasilitasi dan inhibisi pada neuron-neuron formasi retikularis. Sebagian besar serat kortikoretikularis ini berasal dari korteks motorik dan premotorik.

Gambar 2.1 ARAS Pathway (Snell,2015) 2.1.2 Formasi Retikularis

Formasi retikularis merupakan suatu jaring (retikuler) yang membentang ke atas sepanjang sumbu susunan saraf pusat dari medula spinalis sampai serebrum. Formasi retikularis terdiri dari anyaman sel-sel dan serabut saraf yang terletak di lapisan dalam dan terbentang dari medula spinalis, melalui medula oblongata, pons, mesensefalon, subtalamus, hipotalamus, dan talamus. Formasi retikularis bersambung dengan interneuron substansia grisea medula spinalis di

(7)

inferior, sedangkan di superior berkoneksi dengan korteks serebri dan beberapa jaras dari formasi retikularis yang menuju serebelum. Formasi retikularis mengisi ruang antara nukleus saraf, oliva, dan jaras saraf asenden dan desenden.

Anyaman yang luas ini dapat dibagi menjadi tiga kolumna longitudinalis, yang pertama menempati bidang median, yaitu kolumna mediana serta terdiri dari neuron-neuron berukuran sedang. Kolumna kedua disebut kolumna medialis berisi neuron-neuron yang berukuran besar dan mengisi dua per tiga medial dari formasi retikularis, disebut dengan region magnoseluler. Kolumna ketiga disebut kolumna lateralis, terutama berisi neuron-neuron yang kecil serta mengisi sepertiga lateral formasi retikularis, disebut sebagai regio parvoseluler. Formasi retikularis memiliki tiga nukleus, yaitu nukleus formasi retikularis medula oblongata, nukleus formasi retikularis pontin, dan nukleus formasi retikularis otak tengah.

(8)

Gambar 2.2 Formasi Retikularis beserta Nukleinya (Crossman,2015) 2.1.3 Diensepalon

Adapun nukleus-nukleus di talamus yang memiliki hubungan dengan sistem ARAS adalah (Sukardi,1985; Duus, 2007) :

2.1.3.1 Nukleus intralaminares adalah sekumpulan kecil sel-sel saraf di dalam lamina medularis interna. Nukleus ini menerima serabut-serabut aferen dari formasi retikularis, traktus spinotalamuskus, dan trigeminotalamuskus. Serta mengirimkan serabut eferen ke nukleus talamus lainnya, yang kemudian diproyeksikan ke korteks serebri dan mengirimkan serabut-serabut ke korpus striatum. Nukleus-nukleus ini mempengaruhi tingkat kewaspadaan dan kesiagaan seseorang.

(9)

2.1.3.2 Nukleus di garis tengah terdiri dari kelompok sel saraf yang terletak di dekat ventrikel III dan di dalam hubungan intratalamus. Nukleus ini menerima serabut aferen dari formasi retikularis. Adapun fungsi nukleus ini masih belum jelas.

2.1.3.3 Nukleus retikularis adalah lapisan tipis sel saraf yang tersusun berlapis di antara lamina medularis eksterna dan krus posterior kapsula interna. Serabut- serabut aferen dari formasi retikularis dan korteks serebri, berkumpul di nukleus ini dan outputnya terutama ke nukleus talamus lainnya. Fungsi nukleus retikularis belum dimengerti sepenuhnya, kemungkinan berkaitan dengan sistem regulasi aktivitas talamus oleh korteks serebri.

Gambar 2.3 Nukleus Talamus beserta Proyeksinya (Crossman, 2015)

(10)

2.1.4 Sistem Limbik

Sirkuit Papez berawal dari hipokampal (kornu Ammon), impuls berjalan melalui kornu forniks yang besar ke korpus mamillare. Nukleus ini kemudian menjadi tempat berasalnya traktus mamilotalamikus (Vicq d’Azyr) yang menghantarkan impuls ke nukleus anterior talamus. Nukleus anterior berproyeksi ke girus singuli melalui radiks talamosingulata. Dari girus singuli, impuls berjalan melalui singuli, kembali ke hipokampal melengkapi sirkuit (Gambar 2.4).

Korpus mamillare menempati posisi penting pada sirkuit Papez, karena struktur ini menghubungkan sistem limbik dengan mesensefalon (nukleus Gudden dan Bekhterev) dan formasi retikularis. Traktus mamillotegmentalis dan pedunkulus korporis mamilaris membentuk regulasi sendiri. Impuls yang berasal dari sistem limbik dapat berjalan melalui nukleus anterior talamus ke girus singuli dan ke neokorteks melalui serat asosiasi. Selain itu, impuls dari saraf otonom dapat berjalan melalui hipotalamus dan nukleus dorsalis medialis talamus untuk mencapai korteks obitofrontalis (Duus,2015).

(11)

Gambar 2.4 Sirkuit Papez (Duus,2015)

2.2 Neurotransmiter pada ARAS

Komunikasi interneuron yang terjadi di setiap proyeksi adalah melalui

sinaps yang di dalamnya melepaskan neurotransmiter. Hal inilah yang memungkinkan adanya komunikasi antar neuron mengenai kelanjutan dari informasi sensorik yang ditransmisikan apakah akan dilanjutkan melalui suatu proses eksitasi maupun inhibisi. Berikut merupakan daftar neurotransmiter yang berperan dalam sistem ARAS (tabel 1).

(12)

Tabel 1 Jalur Neurotransmiter ARAS (Sukardi,1985) Nama Jalur Asal Mula Terminasi Jalur desenden NA Bagian ventrolateral

formasi retikularis, bagian kaudal medulla oblongata

Medulla spinalis, kornu ventral, intermedia, dorsal

Jalur asenden NA Nukleus formasi retikularis Bagian ventrolateral

medulla oblongata, Bagian kaudal pons, di sebelah dorsal dan lateral nukleus olivaris kranialis Bagian kranial pons, di sebelah ventral pedunkulus serebelaris

Mesensepalon, batang otak bagian kaudal dan

serebrum : nukleus dorsalis n X nukleus solitaries, nukleus rerikularis griseum sentral mesensepalon, hipotalamus, talamus,

Jalur NA lokus seruleus Lokus seruleus setingi pons bagian kranial dan

mesensepalon bagian kaudal

Bagian dorsal : telensepalon dan

diensepalon: hipokampus, talamus, hipotalamus, amigdala, nuseptales, daerah luas korteks serebri dan kolikuli kranialis dan kaudalis.

(13)

Bagian lateral : semua bagian korteks serebelum Jalur desenden serotonin Nukleus raphe medulla

oblongata

Medulla spinalis: kornu ventral, intermedia, dan dorsal

Jalur asenden serotonin Neklues raphe di pons dan mesensepalon bagian kaudal

Bagian lateral:

hipotalamus, amigdala, dan korteks serebri

Bagian medial : nukleus septal dan korteks singuli Jalur dopaminrgik Substansia nigra daerah

tegmentum mesensepalon di sebelah dorsal nukleus interpedunkularis

Neostriatum dan amigdala, hipotalamus bagian-bagian lobus limbik, hipofisis serebri

2.2 Neurotransmiter pada Sistem ARAS 2.2.1 Neurotransmiter Batang Otak

2.2.1.1 Neuron Kolinergik Ponto-Mesensepalon

Neuron kolinergik ponto-mesensepalon menggunakan neurotransmiter asetilkolin yang terletak di tegmentum laterodorsal dan nukleus tegmentum pedunkulopontin. Neuron ini menerima input dari neuron retikular dan neuron noradrenergik lokus seruleus yang memiliki jalur yang sama, yaitu menuju

(14)

dorsal talamus, bagian ventral hipotalamus dan basal forebrain. Neuron ini berfungsi menstimulasi aktivasi kortikal pada saat individu dalam keadaan sadar dan tidur fase REM serta memberikan efek inhibisi pada sensori-motorik dan atonia otot. Neuron kolinergik ini paling aktif pada saat fase sadar dan tidur fase REM. Pelepasan asetilkolin sangat tinggi pada talamus. Sebaliknya, neuron ini bersifat menginhibisi pada sistem retikulospinalis. Adapun lesi dari neuron ini tidak akan menyebabkan gangguan pada aktivasi kortikal dan kewaspadaan namun dapat menyebabkan hilang fase tidur REM. Neuron kolinergik juga berungsi dalam proses belajar dan memori.

Gambar 2.5 Neuron Kolinergik (Patton, 1996)

Berdasarkan gambar 2.5 dapat dijelaskan bahwa neuron kolinergik forebrain terdiri dari MS (Medial Septum), DBv dan DBh (Nukleus Diagonal Band Vertikal dan Horisontal), dan nukleus basalis Meynert (BM). Nuklues ini

(15)

secara topografi menginervasi seluruh serebral korteks, termasuk Hi (Hipokampus) dan Am (Amigdala). Sedangkan neuron kolinergik di pons terdiri dari nukleus laterodorsal (LDT) dan pedukulopontin (PPT) yang menginervasi formasi retikularis (RF) dan Talamus (Th).

2.2.1.2 Neuron Noradrenergik Lokus Seruleus

Neuron ini menggunakan neurotransmiter noradrenergik yang berkumpul di area periventricular gray di midpons, di belakang dari sel kolinergik. Dendrit dari neuron ini membentang di daerah gray dan tegmentum. Neuron ini memberikan inervasi secara difus ke korteks serebri dan medulla spinalis, ke area subkortikal di talamus, hipotalamus, dan basal forebrain. Pelepasan noradrenalin meningkat saat keadaan sadar dan REM, serta mencapai tahap maksimal pada saat stres. Neuron ini berperan dalam mengaktivasi kortikal dan meningkatkan sensori motorik aktivitas. Neuron ini bertanggung jawab jika ada stimulas baru yang datang, mempengaruhi tingkat kewaspadaan di forebrain, dan persepsi sensorik.

(16)

Gambar 2.6 Perjalanan Neuron Nordrenergik (Patton, 1996) 2.2.1.3 Neuron Dopaminergik Mesensepalon Ventral

Neurotransmiter dari neuron ini adalah dopamin dan terletak di substansia nigra dan ventral tegmental area. Neuron ini membentuk proyeksi asenden melalui dua jalur yaitu, melalui jalur ventral melewati bagian medial dari forebrain menuju dorsal dari striatum (sistem nigro-striatal) dan menuju daerah basal dari forebrain, bagian ventral dari striatum dan korteks serebri (sistem meso-limbo-kortikal). Stimulasi pada neuron ventral mesensepalon ini menyebabkan seorang individu dalam kondisi sadar. Meskipun tidak ada perbedaan laju dopamin yang dihasilkan baik saat sadar maupun tidur, namun pada kondisi sadar, kadar dopamin mencapain titik pucak. Begitu pula pada saat individu dalam fase REM. Dopamin berjalan sinergis dengan neuron kolinergik ponto-mesensepalon. Neurotransmitter ini untuk inisiasi respon prilaku,

(17)

otonomi, dan regulasi endokrin. Adanya lesi pada neuron ini menyebabkan terjadinya akinesia dan afagia.

Gambar 2.7 Perjalanan Neuron Dopaminergik (Patton, 1996)

Berdasarkan gambar 2.7, dapat dijelaskan neuron dopaminergik terdiri dari neuron di substansia nigra (A9), retrobulbar (A8), dan area ventral tegmentum (A10) yang membawa proyeksi asenden menuju striatum, korteks frontotemporal, dan sistem limbik, yaitu amigdala dan lateral septum.

2.2.1.4 Neuron Serotonergik Raphe

Neuron ini menggunakan serotonin sebagai neurotransmiternya.

Neurotransmiter ini didistribusikan melalui nukleus raphe di garis tengah dari batang otak, yaitu nukleus dorsal raphe otak tengah yang merupakan asal mula proyeksi asenden menuju forebrain dan korteks. Dan nukleus raphe pontin dan

(18)

medulla (raphe palidus dan magnus dan pars alpha dari gigantoselularis yang merupakan proyeksi desenden menuju medulla spinalis.

Gambar 2.8 Neuron Serotonergik (Patton,1996). CD (Nukleus Kaudatus), HF (Formasi Hipokampus), H (Hipotalamus) dan Th (Talamus).

Pada gambar 2.8, neuron B1-3 berkorelasi dengan raphe magnus, raphe palidus, dan raphe obscurus di medulla kemudian berproyeksi desenden menuju batang otak bawah dan medulla spinalis. Neuron B4-9 terdiri dari raphe pontis, median raphe, dan nukleus raphe dorsal, berproyeksi ke batang otak bagian atas, hipotalamus, talamus, dan korteks serebri.

Stimulasi pada neuron ini akan menyebabkan inhibisi prilaku, afektif, termoregulasi, prilaku seksual, dan intuisi makan saat sadar. Aktifnya neurotransmiter ini akan menginhibisi prilaku makan dan seksual. Jika terjadi penurunan kadar serotonin akibat pengunaan obat secara akut akan

(19)

menyebabkan insomnia akut dan peningkatan nafsu makan serta prilaku seksual (Jones,2003).

2.2.2 Neuron Histaminergik Tuberomamilari

Neuron tuberomamilari ini mensintesis neurotransmiter histamin dan terletak di bagian ventrolateral dari posterior hipotalamus, yaitu di sebelah lateral dari nukleus mamilari. Sama halnya dengan monoamin neuron, sintesis neuron histamin ini meningkat ada kondisi sadar. Neurotransmitter ini berfungsi dalam prilaku asupan makan dan minum, termoregulasi, dan fungsi otonom.

2.2..3 Neuron Oxinergik Perifornikal

Neuron ini terdiri dari peptide orexin atau yang sering disebut hipocretin yang berfungsi sebagai neuromodulator dan tersebar di daerah posterior sampai bagian tengah hipotalamus serta mengelilingi forniks dan bagian lateral dari hipotalamus. Selain menuju ke korteks serebri secara difus, neuron ini berproyeksi juga ke lokus seruleus, sistem talamo-kortikal nonspesifik, neuron histaminergik, dan neuron kolinergik. Orexin berfungsi untuk memberi dorongan untuk makan saat sadar. Selain itu orexin juga berfungsi mengatur energi yang digunakan oleh tubuh (Siegel,2006).

(20)

BAB III

NEUROFISIOLOGI ARAS 3.1. ARAS sebagai Penggalak Kewaspadaan

3.1.1 Peranan Formasi Retikularis dalam Proses Kewaspadaan

Kewaspadaan merupakan salah satu fungsi dari formasi retikularis. Formasi retikularis memiliki kemampuan untuk tetap menjaga kondisi seseorang dalam keadaan terjaga, sadar, serta responsif terhadap stimulus sensorik. Bahkan formasi retikularis dapat tetap menjaga kewaspadaan tersebut meskipun tidak ada stimulus sensorik. Adapun terdapat 2 konsep tentang fisiologis formasi retikularis yaitu sebagai sistem yang mengaktifkan dan membuat otak dalam kondisi sadar dan untuk menjaga kewaspadaan (Kendall,2000). Derajat kewaspadaan seseorang sangat tergantung pada hubungan kompleks antara formasi retikularis dan korteks serebri. Komponen penting yang menghubungkan formasi retikularis dengan korteks serebri adalah sistem ARAS. ARAS merupakan suatu mekanisme dimana input sensorik yang menuju ke formasi retikularis akan memodulasi neuron di kortikal, mengeksitasi korteks, dan mempengaruhi tingkat kewaspadaan (Siegel,2006). Apabila ARAS tidak aktif maka demikian pula dengan korteks serebri. Jika terjadi kerusakan pada formasi retikularis, aktivasi kortikal dan kewaspadaan tidak dapat terjaga meskipun input sensorik intak (Martini,2006).

(21)

Formasi retikularis terletak sangat strategis, sehingga menerima input sensorik dari berbagai sumber, baik sistem sensorik perifer yang terdiri dari somatosensorik, viserosensorik, auditorik, vestibular, maupun input visual, serta output sensorik dan motorik dari korteks serebri. Formasi retikularis memiliki interkoneksi yang luas tidak hanya dengan sistem sensorik, tetapi juga sistem motorik dan seluruh jalur yang melewati batang otak.

Adapun informasi sensorik pertama-tama ditangkap oleh nukleus-nukleus spesifik yang berada di lateral dari formasi retikularis. Kemudian informasi sensorik tersebut akan ditransmisikan menuju formasi retikularis melalui mekanisme arborisasi axodendritik. Sedangkan sinyal visual yang berasal dari sistem limbik dan sinyal olfaktorik yang berasal dari kolikulus superior ditransmisikan secara langsung menuju formasi retikularis. Dari perjalanan tersebut dapat disimpulkan bahwa formasi retikularis menerima berbagai jenis informasi dari sistem sensorik yang berbeda-beda juga. Namun formasi retikularis tidak mampu menjaga spesifisitas informasi yang diterima dari masing-masing sistem sensorik. Semua input sensorik yang diterima formasi retikularis akan ditransmisikan melalui jaras asenden menuju talamus berupa suatu informasi sensorik yang tidak spesifik. Hal ini dapat dibedakan dengan transmisi spesifik yang dibawa oleh sistem sensorik asenden, sebagai contoh jalur lemnikus medial. Meskipun bersifat tidak spesifik, namun sejumlah sinyal yang bersumber dari formasi retikularis ini sangat diperlukan untuk memicu

(22)

timbulnya aktivasi dari sistem ARAS dan mengeksitasi neuron target di talamus (Siegel,2000).

Dalam proses transmisi informasi sensorik tersebut, formasi retikularis memiliki dua proyeksi, yaitu proyeksi interneuron lokal dan atau jauh. proyeksi panjang ini dapat menuju ke atas yaitu ke arah forebrain dan ke bawah yaitu menuju medula spinalis. Sedangkan interneuron lokal yaitu melalui mekanisme axodendritik yang telah dijelaskan sebelumnya (Kendall, 2000).

Gambar 3.1 Jenis Interkoneksi Neuron

(A) Warna merah menunjukkan neuron desenden panjang. Warna biru menunjukkan hubungan kolateral antara satu neuron dengan neuron lainnya melalui kontak sinaptik. (B) Warna hitam menunjukkan satu

(23)

neuron mengalami bifurkasi menjadi dua, yaitu neuron asenden dan desenden panjang (Siegel,2006).

Neuron retikular berproyeksi secara asenden melalui dua jalur utama, yaitu;

jalur dorsal menuju talamus dan jalur ventral menuju hipotalamus dan ke forebrain. Neuron asenden paling terkonsentrasi di area formasi retikuaris

mesensepalon dan pontin oralis.

Selain itu, formasi retikularis memiliki kemampuan juga untuk mensaring informasi sensorik apa yang dapat diterima dan membuang informasi sensorik yang tidak diinginkan. Sehingga korteks serebri lebih spesifik dan selektif menerima informasi sensorik yang masuk. Dalam hal ini, formasi retikularis memiliki jalur desenden inhibisi nyeri. Jalur ini berasal dari PAG dan bersinaps dengan neuron serotonin dan menuju ke cornu dorsalis dari medulla spinalis. Di kornu anterior neuron serotonin ini bersinaps dengan neuron enkepalin dan memodulasi ja;ur nosiseptif primer.

(24)

Gambar 3.2 Perjalanan Koneksi Interneuron pada Formasi Retikularis Sampai ke Talamus (Siegel,2006)

3.1.2 Peranan Diensepalon dan Korteks Serebri dalam Proses Kewaspadaan Perjalanan input sensorik dari formasi retikularis akan dilanjutkan ke talamus. Terdapat 3 cara yang terjadi pada formasi retikularis dalam memodulasi fungsi sensorik dan mengatur eksitasi neuron korteks. Dua mekanisme pertama yaitu melalui proyeksi dari formasi retikularis menuju nukleus intralaminar di talamus. Dan mekanisme ketiga adalah proyeksi langsung neuron formasi retikularis ke korteks serebri. Proyeksi yang menuju talamus dibawa ke nukleus talamus nonspesifik, yaitu nukleus sentromedianus dan nukleus ventral anterior. Input sensorik ini akan mengirimkan sinyalnya

(25)

menuju korteks serebri secara difus dan mengubah level eksitasi serta mengaktifkan neuron-neuron di kortikal. Maka dari itu ARAS disebut sebagai penggalak kewaspadaan (Siegel, 2006). Meskipun proyeksi yang sampai di korteks serebri bersifat difus, namun porsi terbesar yang menerima informasi sensorik ini adalah lobus frontal. Proyeksi kedua adalah melalui neuron-neuron yang membawa informasi nonspesifik dari talamus kemudian membuat sinaps dengan nukleus-nukleus spesifik talamus. Disinilah informasi sensorik tersebut mengalami modifikasi informasi sebelum mencapai regio spesifik di korteks serebri. Dikarenakan korteks serebri menerima input sensorik maka dari itu korteks serebri disebut sebagai pengemban kewaspadaan.

Suatu proses kewaspadaan bermakna sangat krusial dikarenakan berfungsi mengubah eksitasi dari neuron-neuron kortikal sehingga korteks serebri lebih responsif terhadap impuls sensorik yang datang melalui jaras sensorik spesifik.

Sebagai contoh saat kita mendengar suara sirine, maka akan terjadi aktivasi dari dari formasi retikularis setelah mendapat stimulus sensorik, salah satunya sinyal auditorik berupa sirine. Hal ini menyebabkan adanya perubahan level eksitasi di korteks serebri sehingga korteks serebri lebih responsif dan memberikan sinyal desenden untuk memerintahkan apa yang harus dilakukan. Hal ini menyebabkan seorang individu mampu bersikap secara sesuai terhadap informasi sensorik yang diterima. Kemampuan korteks serebri tereksitasi sangat tergantung dari kemampuan formasi retikularis menerima input sensorik.

(26)

3.1.3 Peranan Neurotransmiter dalam Proses Kewaspadaan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada kondisi waspada, sistem ARAS akan menjaga aktivasi dari korteks. Proyeksi asenden dari medulla, pons, dan mesensepalon berjalan melalui ARAS. Jalur ini bermula dari sel kolinergik di pons (lateral dorsal tegmental, pedunculopontine tegmental, dan nukleus retikularis pontis). Kemudian bersamaan dengan itu berjalan pula secara asendens akson-akson yang berasal dari sel-sel serotonergik di perbatasan antara pons dan mesensepalon (dorsal raphe) dan medulla. Selain itu sel-sel norepineprin yang berasal dari lokus serules dan medulla juga ikut aktif dan berproyeksi secara asenden. Begitu pula akson-akson dopaminergik di substansia nigra dan ventral tegmental ikut berproyeksi di dalam sistem ARAS.

Akson-akson di dalam ARAS inilah kemudian mengkativasi sistem kortikal.

Sistem asenden ini juga menginervasi nukleus intralaminar di talamus yang nantinya akan berproyeksi menuju korteks serebri. Proyeksi dopaminergik mencapai daerah striatum dan area korteks frontal. Akson lain yang juga berpartisipasi dalam sistem ARAS adalah histaminergik yang juga aktif pada proses kewaspadaan. Pada kondisi waspada, semua akson-akson ini aktif dan berjalan secara asenden di dalam sistem ARAS.

(27)

3.2 Peranan ARAS dalam Fisiologi Bangun Tidur 3.2.1 Gambaran Umum Tidur

Salah satu peranan ARAS adalah memediasi siklus bangun tidur. Dalam hal ini daerah-daerah di susunan saraf pusat yang berperan terhadap siklus bangun tidur adalah nukleus formasi retikularis, talamus, hipotalamus, dan basal forebrain (Siegel,2006).

Adapun definisi dari tidur adalah suatu kondisi penurunan kewaspadaan terhadap stimulus eksternal di lingkungan sekitar dan dapat kembali ke kondisi terjaga dengan relatif cepat (Joness,2003). Hal ini dapat dibedakan dengan suatu kondisi koma, dimana seorang individu dapat mengingat sesaat sebelum memulai tidur dan merasakan sensasi mengantuk.

Secara neurofisiologis dan psikofisiologis, karakteristik tidur dibedakan menjadi dua, yaitu rapid eye movement (REM) dan non rapid eye movement (NREM). Pada tidur REM sering terjadi aktivitas gerakan mata. REM disebut juga tidur paradoksikal, karena pada gambaran EEG menyerupai gambaran individu saat terjaga. Sedangkan tidur NREM disebut juga tidur ortodoks, yaitu terjadi penurunan aktivitas gelombang pada gambaran EEG.

3.2.2 Stadium Tidur

Pada saat mata menutup sebagai salah satu persiapan tidur, terjadi peningkatan aktivitas gelombang alfa (8-13 siklus per detik), khususnya di area oksipital. Tidur NREM akan mengawali fase tidur REM, dimana terjadi

(28)

perlambatan gelombang otak dan terbentuk gelombang verteks, yaitu gelombang otak dengan voltase yang tinggi di daerah verteks. Pada saat ini gelombang alfa menghilang dan muncul aktivitas gelombang tetha (3-7 siklus per detik).

Aktivitas motorik mata menjadi lambat dan tonus otot skeletal menjadi relaksasi. Stadium ini disebut stadium satu (drowsiness) (Siegel,2006).

Seiring semakin dalamnya tidur, stadium satu memasuki stadium dua, yaitu ditandai dengan melambatnya glombang EEG dan adanya sekelompok gelombang otak dengan frekuensi 12-14 Hz yang terekam di kepala bagian tengah dan disebut sleep spindle. Pada stadium ini terdapat kombinasi antara sleep spindle dan K-Complexes (gelombang ireguler dengan voltase tinggi dan

lambat).

Stadium tiga dikarakteristikkan dengan adanya gelombang bervoltase tinggi (75 µV) yang lambat. Tidur mulai memasuki tidur dalam dan aktivitas sleep spindle berkurang. Adapun perlambatan aktivitas gelombang minimal sebanyak 20% dan tidak lebih dari 50%. Stadium empat ditandai dengan lebih dari 50%

gelombang otak mengalami penurunan aktivitas (Siegel,2006).

(29)

Gambar 3.3

Gambar hasil EEG pada stadium tidur (Silver,2008)

3.2.3 Peranan ARAS pada Siklus Tidur

Adapun struktur-struktur yang berkaitan dengan sistem bangun tidur ini, yaitu:

3.2.3.1 Formasi Retikularis

Pada fase REM, pons menghambat tonus otot. Dua nukleus pontin yang berperan terhadap fase tidur REM yaitu nukleus pedunkulopontin dan nukleus lateral dorsal. Neuron ini mengandung nukleus kolinergik yang berproyeksi

(30)

menuju formasi retikularis, talamus, dan basal forebrain. Pada saat neuron kolinergik diaktifkan, maka terjadi perubahan aktivitas pada talamus dan korteks yang merupakan indikator tidur fase REM.

3.2.3.2 Nukleus suprakiasmatik (SCN)

Nukleus suprakiasmatik (SCN) merupakan struktur yang sangat kecil berbentuk sayap, terdiri atas sepasang area sebesar kepala paku yang masing- masing berisi sekitar 10.000 sel saraf. Para peneliti mengatakan bahwa setiap sel saraf pada nukleus ini berfungsi sebagai jam yang menimbulkan letupan irama bertanggung jawab terhadap suatu keadaan bangun dari tidur. Irama biologis ini bersifat ritmis dan fluktuatif dan disebut dengan irama sirkadian. Irama ini mengalami modifikasi disinkronkan dengan siklus terang dan gelap di lingkungan sekitarnya. Proses penyesuaian irama sirkadian ini tergantung pada kerja nukleus suprakiasmatikus. Nukleus ini menerima informasi mengenai siklus gelap dan terang melalui jalur spesifik, yaitu serat retinohipotalamikus.

Jalur eferen dari SCN menginisiasi timbulnya sinyal neural dan humoral.

Letupan irama sirkadian pada SCN ini mempengaruhi siklus bangun tidur melalui dua proses. Proses pertama yaitu SCN mengatur pelepasan hormon melatonin yang merupakan penginduksi tidur dari pineal body dengan irama sirkadian, dimana hormon tersebut sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan, terutama terhadap cahaya. Saat malam, penghambatan SCN terhadap sintesa melatonin menurun sehingga hormon ini akan banyak dikeluarkan dalam

(31)

sirkulasi darah. Akibatnya melatonin akan menekan aktivitas saraf pada SCN yang terkait dengan aktivasi kortikal dan kondisi bangun. Proses kedua yaitu neuron pada SCN yang menjaga kondisi bangun, normalnya saat siang sampai sore hari dengan memproduksi suatu peptida yaitu prokinetisin yang

mengaktifkan jalur hypocretin/orexin.

Gambar 3.4 Mekanisme Irama Sirkadian (Lange, 2011)

Seorang individu tetap berada dalam keadaan terjaga berkat adanya aktivitas sel-sel neuron di seluruh korteks serebri yang terus menerus dipacu oleh penggalak kewaspadaan yaitu ARAS. Pada malam hari atas pengaruh SCN terjadi pelepasan melatonin oleh glandula pinealis dengan hasil antaranya yaitu

(32)

serotonin. Serotonin sendiri digunakan oleh sistem raphe nuklei untuk menghambat aktivitas ARAS sehingga timbul rasa mengantuk dan dimulai fase tidur NREM. Serotonin akhirnya memacu sistem kolinergik sehingga tidur memasuki fase REM. Aktivitas kolinergik yang berlebihan dapat memacu kegiatan susunan saraf adrenergik. Manakala aktivitas adrenergik cukup intens maka dapat menghambat kegiatan aktivitas serotonergik dan kolinergik sehingga kegiatan ARAS meningkat kembali dan timbulah keadaan terjaga.

3.2.2.3 Raphe nukleus

Jalur serotonin yang dihasilkan oleh nukleus raphe yang aktif saat mengantuk dan fase REM.

3.2.2.4 Lokus Seruleus

Merupakan kumpulan neuron adrenergik yang terletak di bagian rostral pons dan berproyeksi menuju talamus, korteks serebri dan serebelar. Neuron ini menghambat susunan saraf serotonergik dari sistem raphe sehingga timbul terjaga.

(33)

3.2.4 Peranan Neurotransmiter pada Sikus Bangun Tidur

Gambar 3.5 Alur Neurotransmiter dalam Fisiologi Siklus Tidur (Lange, 2011)

Proses inisiasi dari tidur NREM adalah diawali dengan adanya sinyal inhibisi yang tersekresi secara mendadak di area ventrolateral preoptik (VLPO).

(34)

Area ini terletak di bagian rostral dari kiasma optikum. Neuron-neuron VLPO bersifat aktif pada saat tidur dan terjadi peningkatan pelepasan neurotransmiter saat menjelang tidur. Sel-sel neuron VLPO mengandung GABA dan berproyeksi ke neuron serotonergik, noradrenergik, dan kolinergik di formasi retikularis batang otak dan neuron histaminergik di kaudal hipotalamus. Fungsi neuron- neuron di batang otak sebagai pembangkit kesadaran kemudian terinhibisi akibat adanya proyeksi dari neuron VLPO. Namun batang otak kemudian memberikan sinyal feed back menuju VLPO dan menginhibisi neuron tersebut. Mekanisme ini yang mengatur seseorang dapat beralih dari tidur kemudian bangun. Selain adanya inhibisi sistem ARAS oleh VLPO, beberapa bagian di hipotalamus dan forebrain juga berpartisipasi dalam NREM. Dimana di area hipotalamus, pre

optik area, dan nukleus basalis mengandung GABA yang berperan dalam proses NREM, berproyeksi ke korteks.

Sedangkan pada proses REM, area yang aktif adalah di pons. Neuron- neuron kolinergik pada daerah pons menjadi aktif dan berproyeksi pada talamus dan korteks serebri. Dimana neuron kolinergik ini diinhibisi oleh lokus serules dan dorsal raphe pada saat sadar dan NREM. Pada proses transisi antara NREM menjadi REM, bergantung pada inhibisi GABA pada neuron-neuron lokus serules dan dorsal raphe. Dimana neuron-neuron ini sudah tidak menghambat nukleus pontis lagi. Apabila neuron GABA berhenti menginhibisi neuron- neuron lokus serules dan dorsal raphe, maka proses NREM akan kembali dan

(35)

proses waspada kembali aktif. Kemudian sistem ARAS kembali bekerja dan menerima stimulasi sensorik dari lingkungan.

Gambar 3.4 Mekanisme Fisiologis Siklus Tidur (Ropper,2005)

(36)

DAFTAR PUSTAKA

Chusid, J.G. 1991. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Crossman, A.R. Neuroanatomi Edisi Kelima. Jakarta : Churchill Livingstone Elsevier

Coenen, Anton M.L. 2005. States of Consciousness. Netherland:

Radboud University Nijmegen.

Duus, P. 2015. Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 20th Ed. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Greenstein, B., Greenstein, A. 2000. Color Atlas of Neuroscience:

Neuroanatomy and Neurophysiology. New York: Thieme.

Grill, Edgar Gracia. 2015. Pedunculopontine arousal system physiology.

Brazilian Association of Sleep. doi.org/10.1016/j.slsci.2015.09.001

Guyton, A.C., Hall, J.E. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th Ed.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jones,Barbara. 2003. Arousal System. Frontiers in Bioscience 8, s438- 451.

Mardjono, M., Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:

Penerbit Dian Rakyat.

Ngoerah, I.G.N.G. 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya:

Airlangga University Press.

(37)

Plum, F., Posner, J.B. 2007. The Diagnosis of Stupor and Coma. Seventh Edition. Philadelphia: F.A.Davis Company.

Ptaff,Donald.W. 2012. Generalized brain arousal mechanisms and other biological, environmental, and psychological mechanisms. 05-Fotopoulou- 05.indd(64-84)

Shneerson, Jhon M. 2005. Sleep Medicine: A Guide to Sleep and It’s Disorders. 2nd Ed. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.

Silver,Rae. 2008. Circadian and Homeostatic Factor in Arousal. New York Academy of Sciences Ann. N.Y. Acad. Sci. 1129: 263–274. doi:

10.1196/annals.1417.032

Sidharta, P. 2010. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta:

Penerbit Dian Rakyat.

Siegel, Allan. 2006. Essential Neuroscience. Revised First Edition.

Philadelphia: Lippincott William and Wilkins.

Snell, R. 2015. Neuroanatomi Klinik Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sukardi, E. 1985. Neuroanatomia Medica. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Ropper,Allan, H Victor, Maurice.2001. Adam’s and Victor’s Principles of Neurology. 7th Ed. United States of America: The Mcgraw-Hill Companies Inc.

Zeman, Adam. 2001. Conciousness. (Review). Oxford: Oxford University Press.

(38)

Gambar

Gambar 2.1 ARAS Pathway (Snell,2015)  2.1.2 Formasi Retikularis
Gambar 2.2 Formasi Retikularis beserta Nukleinya (Crossman,2015)   2.1.3 Diensepalon
Gambar 2.3 Nukleus Talamus beserta Proyeksinya (Crossman, 2015)
Gambar 2.4 Sirkuit Papez (Duus,2015)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai indeks polidispersitas yang dihasilkan dari ketiga formula menunjukkan bahwa distribusi ukuran partikel pada FI dan FII yang dihasilkan bersifat monodispers,

2 Melanjutkan penelitian yang telah dilakukan, dimana telah dilakukan pencampuran serat sabut kelapa dalam campuran beton dan upaya peningkatan kekuatan tarik sabut kelapa

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga tesis dengan judul EFEKTIFITAS KOMUNIKASI INSTRUKSIONAL DALAM PELATIHAN

Masukkan 15 mL air murni ke dalam gelas ukur, kemudian ukur pH air murni tersebut dengan menggunakan indikator universal.. Tuangkan air murni tersebut ke tabung reaksi A, B, dan

[r]

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan pendidikan yang paling fundamental karena perkembangan anak di masa selanjutnya, akan sangat ditentukan oleh

Pemasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini difokuskan pada masalah penerapan metode pembiasaan pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam bagi anak tuna grahita

Berdasarkan data initial rate (r 0 ) vs tekanan gas total sistem reaksi di samping, ujilah apakah adsorpsi gas A 2 disertai disosiasi atau tidak.. Reaksi fase-gas