• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim

Menurut Mihai Ioan Miclea et al dalam jurnalnya yakni “Legal and Extralegal Factors Influencing Judge’s Penal Decisions” menyatakan bahwa:

“Judges must to observe the social and economic impact of the sentence. The magistrates must to be focused not only on the impact of the sentence in relation with the offender but also to consider some specific aspects such the costs of the punishment, the impact of sentence on other persons or on community members”

(Miclea, 2013: 698).

Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan dampak- dampaknya, seperti dampak sosial maupun ekonomi dari penjatuhan hukuman tersebut. Hakim harus fokus tidak hanya pada dampak sehubungan dengan pelaku tindak pidana, akan tetapi juga harus mempertimbangkan beberapa aspek tertentu, seperti biaya dari penjatuhan hukuman dan dampak hukuman bagi orang lain atau bagi anggota masyarakat.

Pertimbangan-pertimbangan hakim untuk sampai pada putusan harus memperhatikan ketentuan Pasal 50 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kemakiman,yang menyatakan:

Pasal 50

1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat Pasal tertentu dari peraturan perundang- undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.

commit to user

(2)

Pasal 53

1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.

2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

Oleh sebab itu, hakim dalam memutus perkara terlebih dahulu harus mempertimbangkan aspek-aspek tertentu agar terciptanya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam proses beracara. Adapun yang perlu diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan yakni ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang menyatakan bahwa,

“Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum sebuah putusan, disertai dengan keadaan yang memberatkan, dan yang meringankan terdakwa”. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan dan memutuskan berat-ringannya pidana yang diberikan kepada terdakwa harus selalu didasarkan pada asas keseimbangan antara kesalahan dengan perbuatan melawan hukumnya (Dirdjosisworo, 1995: 41).

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana ada 2 (dua), yakni pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non- yuridis.

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis yaitu pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di pengadilan (Nurhafifah & Rahmiati, 2015:345). Pertimbangan yang bersifat yuridis yaitu sebagai berikut :

1) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasar itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan selain berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan commit to user

(3)

dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang pengadilan.

Syarat surat dakwaan tercantum dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP yaitu sebagai berikut: “surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:

a) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.

b) Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.”

Berdasarkan Pasal 143 KUHAP syarat-syarat seperti tersebut diatas.

Syarat yang mutlak ialah dicantumkan waktu dan tempat terjadinya delik dan delik yang didakwakan (Andi Hamzah, 2008 : 167 - 168).

2) Tuntutan Pidana

Istilah tuntutan pidana merupakan terjemahan dari requisitor yang oleh Mr. M. H. Tirtamidjaja diterjemahkan dengan tuntutan, sedang Mr.

Wirjono Projodikoro menerjemakan dengan tuntutan terakhir (Laden Marpaung, 2011 : 123).

Tuntutan pidana memuat jenis-jenis dan beratnya pidana yang diajukan penuntut umum ke pengadilan kepada terdakwa dengan menjelaskan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana (Nikolas Simanjuntak, 2009: 142)

3) Keterangan Saksi

Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri, dan harus disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi menjadi pertimbangan pertama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam putusannya. Keterangan Saksi yang disampaikan dalam sidang pengadilan merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari commit to user

(4)

kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, namun kesaksian tersebut dinamakan testimonium de auditu.

4) Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa sekaligus juga merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, jaksa penuntut umum ataupun dari penasihat hukum.

Keterangan Terdakwa diatur dalam Pasal 189 KUHAP,. Keterangan ini dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya.

5) Barang- Barang Bukti

Barang bukti ialah barang yang digunakan oleh Terdakwa untuk melakukan suatu tindak pidana atau barang sebagai hasil dari tindakan pidana.Barang bukti digunakan untuk menguatkan Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, dan Keterangan Terdakwa. Pengertian barang bukti di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan.

6) Pasal-Pasal Dalam Undang-Undang Terkait

Dalam praktek persidangan, Pasal peraturan hukum pidana itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Dalam hal ini, penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur- unsur yang dirumuskan dalam Pasal peraturan hukum pidana.

Hal-hal yang harus termuat dalam putusan pemidanaan adalah pasal- pasal dalam undang-undang yang menjadi dasar pemidanaan (penjelas dalam Pasal 197 KUHAP). Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan pasal-pasal yang di dakwakan oleh penuntut umum (Nurhafifah dan Rahmiati. 2015: 350)

b. Pertimbangan yang Bersifat Non Yuridis commit to user

(5)

Pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada subjektifitas Hakim terhadap Terdakwa, yang terdiri dari keadaan-keadaan sebagai berikut (Rusli Muhammad, 2007: 216):

1) Latar belakang terdakwa

Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebutkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana.

2) Akibat perbuatan terdakwa

Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam.

3) Kondisi diri terdakwa

Kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik yang dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan. Sementara keadaan psikis adalah berkaitan dengan perasaan yang dapat berupa tekanan dari orang lain, pikiran sedang kacau, keadaan marah dan lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki terdakwa dalam masyarakat.

4) Agama terdakwa

Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan, baik tindakan para hakim sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan (Rusli Muhammad, 2007: 212-220).

2. Tinjauan Tentang Kasasi a. Pengertian Kasasi

commit to user

(6)

Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Prancis. Kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Semua berada ditangan raja beserta dewannya yang disebut conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan antara yang menjembatani pembuat Undang-Undang dan kekuasaan kehakiman (Andi Hamzah, 2008 : 297).

Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru pula di negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula di Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Yang menafsirkan sempit ialah D.Simons yang mengatakan jika hakim memutus sesuatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman. Dalam arti luas misalnya jika hakim Pengadilan Tinggi memutus padahal hakim pertama telah membebaskan (Andi Hamzah, 2008 : 297-298).

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir yang memberikan putusan terhadap pengadilan-pengadilan pada tingkat dibawahnya dan para Hakim yang memberikan putusan yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang memutus pembebasan Terdakwa dari segala tuduhan, hal ini ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Kasasi merupakan upaya hukum biasa yang terakhir. Pada KUHAP upaya hukum ini diatur dalam Bab XVII Bagian Kedua Pasal 244 sampai dengan Pasal 258. Ketentuan Pasal 244 KUHAP, berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang dapat diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut commit to user

(7)

Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan Kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”

Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa dan merupakan hak asasi yang diberikan peraturan perundang-undangan kepada pencari keadilan.

Kasasi berasal dari kata “Cassation” dengan kata kerja “Casser” artinya membatalkan atau memecahkan. Peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau penetapan pengadilan- pengadilan, karena dinilai salah menerapkan hukum. Meskipun secara normatif Mahkamah Agung memiliki kewenangan mengadili perkara kasasi tidak serta merta dan pasti melakukannya, melainkan tergantung pihak pencari keadilan atau penuntut umum, mengajukan kasasi atau tidak dan tergantung syarat formal antara lain: tenggang waktu mengajukan kasasi, surat kuasa khusus sempurna, masih ada upaya hukum yang disediakan oleh hukum acara (verzet, banding), memberikan memori kasasi dalam waktunya (Henry P Panggabean,2001:201).

b. Alasan Kasasi

Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa : Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:

1) Karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

3) Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang- undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Alasan pengajuan kasasi terbagi menjadi dua yaitu alasan kasasi yang dibenarkan Undang-Undang dan alasan kasasi yang tidak dibenarkan oleh Undang-Undang.

1) Alasan Kasasi yang Dibenarkan oleh Undang-Undang commit to user

(8)

Alasan kasasi yang sudah ditentukan secara “limitatiif” dalam Pasal253 ayat (1). Pemeriksaan kasasi dilakukan Mahkamah Agung berpedoman kepada alasan-alasan tersebut. Sejalan dengan itu, permohonan kasasi harus mendasarkan keberatan-keberatan kasasi bertitik tolak dari alasan yang disebutkan pada Pasal 253 ayat (1). Yang harus diutarakan dalam memori kasasi ialah keberatan atas putusan yang telah dijatuhkan pengadilan kepadanya, karena isi putusan itu mengandung kekeliruan atau kesalahan yang tidak dapat dibenarkan oleh Pasal 253 ayat (1) (M. Yahya Harahap, 2010 : 565).

Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat dibenarkan Pasal 253 ayat (1) terdiri dari :

a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;

b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang;

c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Ketiga hal ini kebertan kasasi yang dibenarkan oleh Undang-Undang sebagai alasan kasasi. Diluar ketiga alasan ini, keberatan kasasi ditolak karena tidak dibenarkan Undang-Undang. Penentuan alasan kasasi yang limitatif dengan sendirinya serta sekaligus “membatasi” wewenang Mahkamah Agung memasuki pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi, terbatas hanya meliputi kekeliruan pengadilan atas ketiga hal tersebut.

Diluar ketiga hal itu, Undang-Undang tidak membenarkan Mahkamah Agung menilai dan memeriksanya. Oleh karena itu, bagi seseorang yang mengajukan permohonan kasasi harus benar-benar memperhatikan keberatan kasasi yang disampaikan dalam memori kasasi, agar keberatan itu dapat mengenai sasaran yang ditentukan Pasal 253 ayat (1).

Menyimpang dari makna dan jiwa yang terkandung dari ketiga alasan tadi, tidak diperhatikan dan tidak dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

commit to user

(9)

Sedapat mungkin permohonan kasasi dapat memeperlihatkan dalam memori kasasi bahwa putusan pengadilan yang dikasasi mengandung : a) Kesalahan penerapan hukum.

b) Atau pengadilan dalam mengadili dan memutus perkara tidak melaksanakan cara mengadili menurut Undang-Undang.

c) Atau pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, baik hal itu mengenai wewenang absolut maupun relatif atau pelampauan wewenang dengan cara memasukkan hal-hal yang non-yuridis dalam pertimbangannya (M. Yahya Harahap, 2010:565).

2) Alasan Kasasi Tidak dapat Dibenarkan oleh Undang-Undang

a) Keberatan kasasi putusan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri.

Alasan yang memuat keberatan, putusan Pengadilan Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup menguatkan putusan Pengadilan Negeri, tidak dapat dibenarkan dalm pemeriksaan kasasi. Percuma permohonan kasasi mengajukan alasan keberatan yang demikian, sebab seandainya Pengadilan Tinggi menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui perimbangan Pengadilan Negeri, hal itu tidak merupakan kesalahan penerapan hukum, dan tidak merupakan pelanggaran dalam melaksanakan peradilan menurut ketentuan Undang-Undang seta tidak dapat dikategorikan melampaui batas wewenang yang ada padanya, malahan tindakan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri, masih dalam batas wewenang yang ada padanya, karena berwenang penuh menguatkan dan mengambil alih putusan Pengadilan Negeri yang dianggap telah tepat.

b) Keberatan atas penilaian pembuktian.

Keberatan kasasi atas penilaian pembuktian termasuk diluar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat (1). Oleh karena itu,mahkamah agung tidak berhak menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Hal ini berbeda dengan kesalahan penerapan hukum pembuktian, kesalahan penerapan hukum pembuktian bukan atau tidak commit to user

(10)

merupakan penilaian pembuktian. Oleh karena itu, keberatan tersebut

“dapat dibenarkan” dalam tingkat kasasi;

c) Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta.

Alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon adalah

”pengulangan fakta”, padahal sudah jelas alasan kasasi seperti ini tidak dapat dibenarkan oleh Undang-Undang. Arti pengulangan fakta ialah mengulang-ulang kembali hal-hal dan peristiwa yang telah pernah dikemukakannya baik dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri maupun dalam memori banding. Isi memori kasasi yang diajukan hanya mengulang kembali kejadian dan keadaan yang telah pernah dikemukakannya dalam pemeriksaan Pengadilan Negeri, pemohon telah mengemukakan keadaan dan fakta-fakta. Kemudian hal itu kembali lagi diutarakannya dalam memori kasasi menjadi alasan kasasi.

Keberatan kasasi yang seperti ini, tidak dibenarkan Undang-Undang, dan Mahkamah Agung menganggapnya sebagai pengulangan fakta yang tidak perlu dipertimbangkan dalam tingkat kasasi.

d) Alasan Yang Tidak Menyangkut Persoalan Perkara.

Alasan yang seperti ini pun sering dikemukakan pemohon dalam memori kasasi, mengemukakan keberatan yang menyimpang dari apa yang menjadi pokok persoalan dalam putusan perkara yang bersangkutan. Keberatan kasasi yang seperti ini dianggap irrelevant karena berada diluar jangkauan pokok permasalahan atau dianggap tidak mengenai masalah pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus pengadilan.

e) Berat Ringannya Hukuman atau Besar Kecilnya Jumlah Denda.

Keberatan semacam ini pun pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan Undang-Undang, sebab tentang berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan maupun tentang besar kecilnya jumlah denda adalah wewenang pengadilan yang tidak takhluk pada pemeriksaan tingkat kasasi.

f) Keberatan Kasasi Atas Pengembalian Barang Bukti. commit to user

(11)

Alasan kasasi semacam ini pun tidak dapat dibenarkan.

Pengembalian barang bukti dalam perkara pidana adalah wewenang pengadilan yang tidak tahluk pada pemeriksaan kasasi. Pengadilan sepenuhnya berhak menentukan kepada siapa barang bukti dikembalikan.

g) Keberatan Kasasi Mengenai Novum.

Suatu prinsip yang juga perlu diingat dalam masalah keberatan kasasi harus mengenai hal-hal yang telah “pernah diperiksa”

sehubungan dengan perkara yang bersangkutan, baik dalam sidang Pengadilan Negeri maupun dalam tingkat banding. Berarti suatu hal yang diajukan dalam keberatan kasasi, padahal hal itu tidak dapat diperiksa dan diajukan baik pada pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding tidak dapat dibenarkan karena tidak takhluk pada pemeriksaan kasasi. Pengajuan hal seperti ini dalam keberatan kasasi dianggap “hal baru” atau “novum (M. Yahya Harahap, 2010 : 567-573).

c. Tata Cara Pengajuan Kasasi

Mengenai tata cara atau prosedur pengajuan permohonan upaya hukum kasasi diatur dalam KUHAP, sebagai berikut :

1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada Panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan (Pasal 245 ayat (1) KUHAP).

2) Permintaan tersebut oleh Panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh Panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara (Pasal245 ayat (2) KUHAP).

3) Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun oleh terdakwa atau oleh Penuntut Umum dan terdakwa sekaligus, maka Panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain (Pasal 245 ayat (3) KUHAP). commit to user

(12)

4) Apabila tenggang waktu 14 hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan (Pasal 246 ayat (1) KUHAP).

5) Dalam hal tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1), pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk permohonan kasasi itu gugur (Pasal 246 ayat (2) KUHAP).

6) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi itu dapat dicabut sewaktu-waktu dan apabila sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi (Pasal 247 ayat (1) KUHAP).

7) Jikalau pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirim (Pasal 247 ayat (2) KUHAP).

8) Apabila perkara telah mulai diperiksa, akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya (Pasal 247 ayat (3) KUHAP).

9) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP).

d. Syarat Pengajuan Kasasi

Sebelum pengajuan kasasi ada beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh pemohon untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang telah diatur dalam Pasal 254 KUHAP yang berbunyi “Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 245, Pasal 246, Pasal 247, mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus, menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.”

Kasasi yang dilakukan oleh pemohon ke Mahkamah Agung harus memenuhi syarat yang telah diatur dan hasil putusan akhir ada pada commit to user

(13)

Mahkamah Agung, Sehingga Mahkamah Agung dapat memberikan putusan apabila ketentuan yang dimaksud sebagai syarat kasasi Pemohon telah terpernuhi melihat dari Putusan Pengadilan Negeri dan Putusan Pengadilan Tinggi dan fakta-fakta yang ada didalam persidangan.

e. Tujuan Kasasi

1) Koreksi Terhadap Putusan Pengadilan Bawahan

Salah satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar- benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang.

2) Menciptakan dan Membentuk Hukum Baru

Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi.

3) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum

Tujuan lain pemeriksaan Kasasi yaitu untuk mewujudkan kesadaran

“keseragaman” penerapan hukum. dengan adanya putusan Kasasi yang menciptakan adanya yurisprudensi, sedikit banyak akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak dalam penerapan hukum (M.

Yahya Harahap, 2010: 539-542).

f. Penolakan Permohonan Kasasi

Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh Mahkamah Agung. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, suatu permohonan ditolak jika:

1) Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas (Pasal 244 KUHAP);

2) Melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi kepada panitera pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu 14 (empat belas) hari sesudah putusan disampaikan kepada Terdakwa (Pasal 246 ayat (1) KUHAP);

3) Sudah ada keputusan kasasi sebelumnya mengenai perkara tersebut.

Kasasi hanya dilakukan sekali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP); commit to user

(14)

4) Pemohon tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) atau tidak memberitahukan alasan kasasi kepada panitera, jika pemohon tidak memahami kasasi yaitu 14 (empat belas) hari sesudah mengajukan permohonan kasasi (Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP);

5) Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP tentang alasan kasasi.

Selain syarat-syarat yang ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut, juga perlu ditinjau yurisprudensi Mahkamah Agung yang berkaitan dengan penolakan kasasi seperti:

1) Permohonan diajukan oleh seorang kuasa tanpa kuasa khusus (Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September Tahun 1958 Nomor 17K/Kr/1958);

2) Permohonan kasasi diajukan sebelum ada putusan akhir pengadilan tinggi (putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei Tahun 1958 Nomor 66 K/Kr/1958);

3) Permohonan kasasi terhadap putusan sela (putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Februari Tahun 1958 Nomor 320 K/Kr/1958);

4) Permohonan kasasi di cap jempol tanpa pengesahan oleh pejabat yang berwenang (putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Desember Tahun 1961 Nomor 137 K/Kr/1958).

g. Memori Kasasi

Memori kasasi harus diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah mengajukan permohonan kasasi (Pasal 248 ayat (1) KUHAP), prosesnya yaitu:

1) Pengiriman berkas ke Mahkamah Agung

Setelah pengadilan negeri menerima memori kasasi dan kontra memori kasasi dari para pihak, berkas perkara segera dikirimkan ke Mahkamah Agung, (selambatnya 14 (empat belas) hari) setelah habisnya tenggang waktu pengajuan memori tersebut (Pasal 250 KUHAP).

2) Pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung commit to user

(15)

Proses pemeriksaan di Mahkamah Agung dilakukan sebagai berikut:

a) Setelah menerima berkas perkara kasasi, panitera Mahkamah Agung mencatatnya dalam buku agenda surat, buku regester perkara dan kartu penunjuk;

b) Hal ini dikerjakan pada setiap hari kerja dengan menutupdan menandatangani serta diketahui oleh ketua Mahkamah Agung;

c) Kemudian panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti penerimaan, yang aslinya dikirimkan kepada panitera Pengadilan Negeri tembusannya kepada para pihak;

d) Kurun waktu 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara kasasi tersebut, Mahkamah Agung wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah Terdakwa tetap ditahan atau tidak;

e) Jika ditetapkan bahwa Terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penetapan penahanan itu, wajib memeriksa perkara tersebut;

f) Hal Terdakwa tetap ditahan maka Mahkamah Agung wajib memeriksa perkara itu dalam waktu 17 (tujuh belas) hari sesudah menerima berkas perkara kasasi tersebut.

3) Putusan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung dalam putusannya dapat menolak atau mengabulkan permohonan kasasi (Pasal 254 KUHAP).

3. Tinjauan Tentang Putusan Hakim a. Pengertian Putusan

Putusan pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP, menerangkan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 182 ayat (6) KUHAP juga menerangkan, bahwa putusan sedapat mungkin merupakan hasil dari musyawarah majelis

commit to user

(16)

dengan pemufakatan yang bulat, kecuali hal itu telah diusahakan sungguh- sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara:

1) Putusan diambil dengan suara terbanyak

2) Jika ketentuan huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan bagi Terdakwa.

b. Bentuk-Bentuk Putusan 1) Putusan Pemidanaan

Pasal 193 ayat (1) KUHAP mengatur tentang putusan pemidanaan, yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya dan dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa.

Penjatuhan putusan pemidanaan terhadap Terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan, jika pengadilan berpendapat dan menilai Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakannya, maka pengadilan akan menjatuhkan putusan pemidanaan sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam Pasal tindak pidana yang didakwakan terhadap Terdakwa (M. Yahya Harahap,2012:354).

2) Putusan Bebas

Pasal 191 ayat (1) mengatakan, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas, atau putusan bebas tersebut didapat karena, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan Hakim. Hal tersebut sesuai dengan sistem pembuktian di dalam Pasal 183 KUHAP yang menganut pembuktian menurut undang-undang secara negatif.

Meskipun secara formil kesalahan Terdakwa dapat dibuktikan, namun nilai pembuktian tersebut akan mati apabila nilai pembuktian tersebut tidak didukung oleh keyakinan Hakim, maka dalam keadaan seperti ini, putusan yang dijatuhkan pengadilan adalah membebaskan Terdakwa dari tuntutan hukum. commit to user

(17)

3) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum

Pasal 191 ayat (2) KUHAP menentukan, jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Tedakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Pututsan lepas dari segala tuntutan hukum ini biasa disebut dengan sebutan ”onslag van recht vervolging”, yang memiliki kriteria sebagai berikut:

a) Dakwaan yang diberikan kepada Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan,

b) Tetapi sekalipun terbukti, Hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan bukanlah merupakan tindak pidana.

4. Tinjauan Tentang Judex Factie

Judex facti adalah Pengadilan Negeri (pengadilan tingkat pertama) dan Pengadilan Tinggi (banding) merupakan badan peradilan yang memeriksa fakta- fakta tentang terjadinya suatu tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa.

Pengadilan Negeri diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memututs perkara pidana yang dilimpahkan kepadanya., sedangkan Pengadilan Tinggi diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk memeriksa permohonan Banding yang diajukan atas putusan Pengadilan tingkat pertama oleh Penuntut Umum atas Terdakwa yang tidak menerima putusan yang bersangkutan.

a Pengadilan Negeri

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diperbaharui sebanyak dua kali dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 49 Tahun 2009, tidak memberikan keterangan mengenai apa yang disebut dengan Pengadilan Negeri. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 menyebutkan bahwa,

“Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama”.

commit to user

(18)

Mengenai wewenang Pengadilan Negeri juga telah diatur dalam Pasal 84, 85, 86 KUHAP.

1) Pasal 84 KUHAP menyatakan bahwa:

a) Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.

b) Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya Terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara Terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri itu daripada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana dilakukan.

c) Apabila seorang Terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai Pengadilan Negeri, maka tiap Pengadilan Negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.

d) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seseorag dalam daerah hukum pelbagai Pengadilan Negeri, diadili oleh masing-masing Pengadilan Negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

2) Pasal 85 KUHAP menyatakan bahwa:

Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu Pengadilan Negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk Pengadilan Negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dmaksud.

3) Pasal 86 KUHAP menyatakan bahwa:

Apabila seorang melakukan tindak pidana di Luar Negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.

b. Pengadilan Tinggi

commit to user

(19)

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum ayat (1) berbunyi Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat Banding dan ayat (2) Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

Mengenai kewenangan Pengadilan Tinggi juga telah diatur dalam Pasal 87 KUHAP, yang menyebutkan bahwa Pengadilan Tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan Banding.

5. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Narkotika a. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintahan, yang oleh pembentuk Undang-Undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Nama lain tindak pidana adalah strafbaar feit atau sering juga disebut delik (Wirjono Prodjodikoro, 2003:1).

Pengertianlain tentang tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.

Tindak pidana juga dapat diartikan sebagai perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya, dan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukan.

b. Pengertian narkotika

Narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain „narkoba‟, istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Kedua istilah commit to user

(20)

tersebut, baik „narkoba‟ ataupun „napza‟, mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya.

Narkoba sebenarnya merupakan senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu.Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris, yaitu narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan.

Secara Yuridis narkotika diatur dalam Pasal (1) angka (1) Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”.

Narkotika dibagi menjadi 3 (tiga) Golongan yaitu sebagai berikut:

1) Narkotika Golongan 1 (satu)

Jenis ini tidak digunakan dalam pengobatan atau terapi sebab berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan, misalnya : heroin, ganja, shabu, ekstacy dan lain sebagainya.

2) Narkotika Golongan 2 (dua)

Narkotika jenis ini digunakan dalam pengobatan atau terapi sebagai pilihan terakhir walaupun berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan, misalnya : morfin, petidin.

3) Narkotika Golongan 3 (tiga)

Berbeda dengan kedua jenis di atas, Narkotika jenis ini banyak digunakan dalam pengobatan atau terapi karena narkotika golongan tiga berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan, misalnya : kodein.

c. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus, sehingga diterapkan pula hukum pidana khusus.Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan commit to user

(21)

dengan perbuatan-perbuatan khusus, termasuk di dalamnya hukum pidana militer (golongan orang-orang khusus) dan hukum pidana fiskal (perbuatan- perbuatan khusus) dan hukum pidana ekonomi.Disamping hukum pidana khusus ini, hukum pidana umum (ius commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah (aanvullend rech).

Unsur-unsur tindak pidana narkotika dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdiri dari:

1) Unsur “setiap orang”: Adanya subyek hukum, yang dapat dijadikan subyek hukum hanyalah orang

2) Unsur “tanpa hak atau melawan hukum”:Adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan rumusan delik. Bersifat melawan hukum dapat meliputi:

a) Melawan hukum formal artinya apabila perbuatan yang dilakukan sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang. Terdapat empat kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang- undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni:

(1) Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika (Pasal 111 dan 112 untuk narkotika golongan I,Pasal 117 untuk narkotika golongan II dan Pasal 122 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf a);

(2) Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor narkotika (Pasal 113 untuk narkotika golongan I, Pasal 118 untuk narkotika golongan II, dan Pasal 123 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf b);

(3) Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 114 dan Pasal 116 untuk narkotika golongan I, Pasal

commit to user

(22)

119 dan Pasal 121 untukn narkotika golongan II, Pasal 124 dan Pasal 126 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf c);

(4) Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 115 untuk narkotika golongan I, Pasal 120 untuk narkotika golongan II dan Pasal 125 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf d )(Siswanto Sunarso,2012:256).

b) Melawan hukum material artinya apabila perbuatan yang dilakukan melanggar aturan atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat harus adanya kesalahan. Kesalahan yang dimaksud adalah pencelaan dari masyarakat apabila melakukan hal tersebut sehingga adanya hubungan batin antara pelaku dengan kejadian yang nantinya akan menimbulkan suatu akibat. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan, sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat.

commit to user

(23)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Narkotika

Putusan Pengadilan TinggiSurabaya Nomor 10/PID.SUS/ 2019/PT SBY Pidana penjara selama 2 Tahun

Kasasi Oleh Penuntut Umum

Putusan Pengadian Negeri Tuban Nomor 399/Pid.Sus/2018/PN Tbn Pidana penjara selama 4 Tahun

Putusan Mahkamah Agung Nomor1814 K/Pid.Sus/2019 Pidana penjara selma 2 tahun

Putusan Mahkamah Agung Kesesuaian

dengan pasal 253(1) KUHAP

Kesesuaian dengan Pasal

256 juncto pasal 112 UU ayat 1 UU No.

35 tahun 2009 tentang narkotika

commit to user

(24)

Kerangka pemikiran diatas, menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalaahan hukum ini, diawali dengan terjadinya suatu tindak pidana narkotika, Terdakwa dituntut dengan dugaan tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang pada akhirnya keluar Putusan Pengadilan Negeri Tuban Nomor: 399/Pid.Sus/2018/PN Tbn, tertanggal 13 September 2018, yang pada amarnya menyatakan Terdakwa Kasturi bin Kadri telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman”, menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;, kemudian Terpidana melakukakan upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi Surabaya. Putusan Banding Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 10/PID.SUS/ 2019/PT SBY salah satu amarnya melemahkan Putusan Pengadilan Negeri Tuban Nomor: 399/Pid.Sus/2018/PN Tbn, membebaskan Terdakwa dari Dakwaan Kesatu tersebut, menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.

Mengenai hal itu Penuntut Umum mengajukan permohonan upaya hukum Kasasi kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung mengadili sendiri menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan pidana denda sejumlah Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan; dengan demikian putusan judex facti Pengadilan Tinggi Surabaya yang melemahkan putusan judex facti Pengadilan Negeri Tuban tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan; hal ini kemudian menjadi pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memutus Permohonan Kasasi yang pada ahkhirnya Penuntut Umum mengajukan kasasi dan mengabulkan argumentasi commit to user

(25)

Kasasi dan menjatuhkan pidana sama dengan Pengadilan Tinggi dengan pertimbangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung mengadili sendiri.

Hal ini menimbulkan permasalahan yang menarik untuk dikaji mengenai apakah pertimbangan Mahkamah Agug yang membatalkan putusan Judex Factie dan mengadili sendiri perkara narkotika dengan menjatuhkan hukuman pidana sama dengan Pengadilan Tinggi sesuai dengan pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara narkotika apakah telah sesuai dengan Kitab Undang-Undang.

commit to user

Gambar

Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Narkotika

Referensi

Dokumen terkait

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Bappeda Tahun Anggaran 2020 disusun dengan mengacu kepada ketentuan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas

Jika secara keseluruhan (agregasi), PT menunjukkan tidak pernah melakukan pelaporan akademik, maka status PT akan di non-aktifkan setelah 6 semester.  Jika PRODI memiliki

Maklum balas ini membuktikan bahawa dengan adanya rangsangan- rangsangan baharu seperti alat digital, minat pelajar bertambah, dan mereka berasa lebih teruja membaca

Nofeenamo seemie megaluno, “Noafa pedaghoo anagha?” Nobhalomo, “Rampahano kaparendeno kontu foliu-liuno kambaka nefumaaku, dotaburiane dagi moneu sedodo.” Noeremo

Bila pasien pulang diluat jam kerja untuk urusan administrasi akan dilakukan di hari berikutnya Untuk Jam pulang pasien rawat inap hanya bisa dilakukan di jam kerja kasir :. -

Yassin, tentang pengajaran mata pelajaran Sejarah pada peringkat sekolah rendah merupakan perkembangan pragmatik dan positif pendidikan negara dalam sekolah rendah

Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa Pada Media Indonesia.com cenderung memberitakan #2019GantiPresiden dengan penggambaran negatif hal itu terlihat dari

Penelitian merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan minat dan keterampilan menulis teks eksposisi te ntang seni pertunjukan Jawa dengan menggunakan