• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAKAF ISTIBDAL: PERSPEKTIF IMAM SYAFI I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "WAKAF ISTIBDAL: PERSPEKTIF IMAM SYAFI I"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

WAKAF ISTIBDAL: PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I Hariyanto

Departemen Ekonomi Syariah

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga hariyanto-2020@feb.unair.ac.id

Abstrak

Penelitian ini ini bertujuan untuk memaparkan perspektif Imam Syafi’i tentang wakaf istibdal, di mana terdapat banyak pendapat di antara para ulama menegani kebolehan melaksanakan istibdal terhadap barang wakaf. Perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih dalam menyikapi dinamika wakaf, hukum-hukum yang terkait dengan wakaf serta tata cara pengelolaannya menjadi penting untuk dibahas, karena akan berdampak terhadap perumusan kebijakan-kebijakan yang akan diambil di masa yang akad datang.

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif-kualitatif dengan metode kepustakaan atau library research dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari kitab, buku, jurnal, dan sumber-sumber lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wakaf istibdal tidak diperbolehkan di dalam perspektif Imam Syafi’i.

Kata kunci: Wakaf, Istibdāl, Imam Syafi’i

Abstract

This study aims to describe Imam Syafi'i's perspective on waqf istibdal, in which there are many opinions among the scholars regarding the ability to implement istibdal on waqf goods. The differences of opinion among fiqh scholars in responding to the dynamics of waqf, the laws related to waqf and their management procedures are important to discuss, because they will have an impact on the formulation of policies that will be taken in the future. This research uses descriptive-qualitative research with the library research method and using secondary data from classic books, books, journals, and other sources.

The results of this study indicate that waqf istibdal is not allowed in the perspective of Imam Syafi'i.

Keywords: Waqf, Istibdāl, Imam Syafi’i.

PENDAHULUAN

Ibadah dalam Islam ada dua macam, yaitu ibadah mahdah dan ghairu mahdah. Ibadah mahdah merupakan ibadah yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung, seperti wudhu, tayamum, shalat, puasa, dan lain sebaginya.

Sedangkan ibadah ghairu mahdah adalah ibadah yang tidak hanya hubungan hamba dengan Allah, melainkan juga ada hubungannya dengan hamba lainnya, seperti wakaf, kurban, sedekah, aqiqah, dan lain sebagainya. Diriwayatkan dari Abi Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: “Apabila ada orang meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya. ” (HR.

Muslim)1

Sebagian dari ulama menerjemahkan sedekah jariyah sebagi wakaf, karena sedekah yang lainnya tidak ada yang tetap mengalir namun langsung dimiliki zat dan manfaatnya adapun wasiat manfaat walaupun termasuk dalam hadis tetapi sangat jarang. Dengan begitu menerjemahkan sedekah dalam hadis dengan arti wakaf lebih utama.2

1 Al-Imam Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kotob al-ilmiyah, 2015), hlm. 638.

2 Muhammad Azzam, Abdul Aziz. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Islam Edisi pertama. Terj. Nadirsyah Hawari, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 397.

(2)

Wakaf merupakan filantrofi Islam (Islamic Philanthrophy)3 yang perlu diberdayakan untuk kepentingan umat. Dalam sejarah perkembangan Islam, wakaf berperan penting dalam mendukung pendirian masjid, pesantren, majelis taklim, sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan lembaga pendidikan serta lembaga sosial Islam lainnya. Harta benda yang diwakafkan dapat berupa tanah ataupun benda milik lainnya. Juhaya S. Praja menjelaskan bahwa benda yang dapat diwakafkan bukan hanya tanah milik, melainkan juga dapat berupa benda milik lainnya, benda tetap yang disebut al-’aqr atau benda bergerak yang disebut al- masya’. Ibnu Hajar al-Asqalani menyebut benda tetap atau benda tidak bergerak dengan istilah ghayr al-manqulat dan benda bergerak dengan sebutan al-manqulat.4

Wakaf merupakan salah satu tuntutan ajaran Islam yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dalam rangka ibadah ijtimā’iyah (ibadah sosial), karena wakaf adalah bentuk ibadah sosial yang dapat diambil manfaatnya bagi kepentingan orang lain atau manusia pada umumnya, maka benda wakaf harus bersifat kekal zatnya, seperti tanah, bangunan dan lain sebagainya. Prinsip keabadian yang ada pada wakaf itu sehingga banyak ulama yang memandang bahwa wakaf adalah perbuatan sadaqah jāriyah yang pahalanya terus mengalir meski waqif telah meninggal, selagi harta itu masih bermanfaat. Wakaf juga merupakan bagian yang sangat penting dari hukum Islam. Ia mempunyai jalinan hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial ekonomi masyarakat muslim. Wakaf selain berdimensi ‘ubudiyah ilahiyah, ia juga berfungsi sebagai sosial kemasyarakatan. Ibadah wakaf merupakan manisfestasi dari rasa keimanan seseorang yang mantap dan rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama umat manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan

“hablumminallah wa hablum minannas”, hubungan vertikal kepada Allah dan hubungan horizontal kepada sesama manusia.

Praktik wakaf, baik benda tidak bergerak maupun wakaf benda bergerak telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi,5 bahkan menurut Mundzir Qohaf, wakaf di zaman Islam telah dimulai bersamaan dengan dimulainya masa kenabian Muhammad SAW di Madinah. Nabi membangun masjid Quba6 sebagai wakaf pertama, kemudian beliau membangun Masjid Nabawi di atas tanah yang dibeli Rasulullah dari anak yatim Bani Najjar dengan harga delapan ratus dirham.7

Wakaf mimiliki peran yang sangat strategis untuk perkembangan masyarakat muslim sepanjang waktu, baik menyangkut masalah Kesehatan, pendidikan, maupun kesejahteraan. Karena, hakekat kehidupan manusia sepanjang waktu itu menyangkut ketiga aspek tersebut. Ia menjadi pilar pembangunan manusia karena di dalamnya terdapat unsur

3 Istilah filantrofi (Philanthrophy) berasal dari bahasa Yunani, philos (cinta) dan anthropos (manusia). Secara harfiah, filantropi adalah konseptualisasi dari praktik memberi (giving), pelayanan (service) dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi cinta. Secara umum, filantropi didefinisikan sebagai tindakan sukarela untuk kepentingan public. Dalam Islam, konsep filantrofi dikenal dalam istilah zakat, infak, sedekah dan wakaf. Lihat Chaider S. Bamualim, Irfan Abu Bakar, Revitalisasi Filantropi Islam, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah. 2005, 3-5.

4 M. Athoillah. Hukum Wakaf Benda Bergerak dan Tidak Bergerak dalam Fikih dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, (Bandung: Yrama Widya, 2014), hlm. 1.

5 Atas perintah Rasulullah, Umar mewakafkan tanah Khaibar, Usman bin Affan Ra. Mewakafkan sumur rumah untuk diambil airnya, Ali bin Abi Thalib Ra. mewakafkan tanah di Yanba dan Wadi al-Qura, Abu Thalhah mewakafkan tanah Bairuha’, yakni tanah yang berhadapan dengan masjid Rasulullah SAW. Lihat Mundzir Qohaf, al-Waqf al-Islamy Tathawwuruhu Idaratuhu, Tanmiyyatuh, Terjemahan: Muhyiddin Ms Ridha, (Jakarta: Pustaka al- Kautsar Group. 2005), 76-77.

6 Masjid Quba terletak kurang lebih 5 km sebelah Barat Madinah, dibangun pada tahun pertama Hijriyah.

Mahmud Fasa al-Falaki, seorang ulama Falak di Mesir menyebutkan bahwa hari kedatangan Nabi di Quba bertepatan dengan 20 September 622 M. (Rabi al-Awal awal tahun 13 kenabian atau 53 tahun Miladiyah).

Deartemen Agama, Panduan Perjalanan Haji, (Jakarta: Direktorat Jendral Bimbungan Malarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. 2004), 80-81.

7 M. Athoillah. Hukum Wakaf Benda Bergerak dan Tidak Bergerak dalam Fikih dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, (Bandung: Yrama Widya, 2014), hlm. 2.

(3)

penting yang tidak dapat ditinggalkan, unsur pendanaan (finance), salah satu faktor penting dalam kehidupan dewasa ini. (UU. 41: 2004, 2). Sebagai sumber finansial yang tidak beresiko bagi penerimanya. Keberadaan wakaf semakin dibutuhkan baik pada masa kini maupun di masa yang akan datang, seperti kebutuhan pembangunan masjid, musholla, madrasah, majlis taklim, gedung organisasi, lembaga keuangan Islam, sekolah, kampus, rumah sakit, dan sarana-sarana lainnya. Pendek kata semua akan sukses jika didukung pendanaan melalui jalan wakaf. Mengingat hakekat berwakaf sangat berat, maka reward tentang wakafpun sangat besar, sebagai amal kebajikan yang pahalanya tidak akan berhenti sepanjang masa, walaupun waqifnya telah meninggal. Semakin berat amal perbuatan yang dilakukan, semakin besar pula pahala yang akan diterima. Demikian pula semakin ringan suatu ibadah dikerjakan, maka semakin kecil pula pahala yang diperoleh. Namun sangat disayangkan perkembangan yang telah dicapai selama ini masih berkutat pada bidang ibadah, pendidikan, dan kesehatan saja, sedangkan bidang-bidang ekonomi yang merupakan pilar kehidupan modern belum tersentuh luas. Kenyataan ini patut disayangkan dampak yang ditimbulkan sangat besar, termasuk berpengaruh pada keyakinan umat.8

Praktik wakaf yang sekarang ada di masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien. Salah satu buktinya adalah di antara harta benda wakaf tidak terpelihara dengan baik, terlantar, bahkan beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum.

Keterlantaran dan pengalihan benda wakaf ke tangan pihak ketiga terjadi karena kelalaian atau ketidakmampuan nazīr dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi sebagai media untuk mencapai kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.9

Seiring dengan berjalannya waktu, bersamaan dengan perkembangan dan menyebarnya Islam ke berbagai wilayah dan komunitas, serta lahirnya masyarakat Islam yang kosmopolitan, maka wakafpun mengalami perkembangan yang dinamis, dan mengundang pemahaman dan pendapat tentang wakaf dan pengelolaannya yang dinamis juga. Maka di kalangan ulama-ulama fikih terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dalam menyikapi dinamika wakaf dan hukum-hukum yang terkait dengan wakaf dan tata cara pengelolaannya. Perbedaan-perbedaan tersebut ada yang bersifat substansial dan ada pula yang praktikal.10 Apakah barang wakaf berupa perkebunan yang sudah tidak produktif lagi dapat ditukar dengan lahan perkebunan lain yang lebih produktif, atau dijual dan dibelikan barang wakaf lain yang dapat memberikan manfaat kepada mauquf ‘alaih? Apakah lahan dan bangunan masjid yang sudah rusak dan tidak terpakai dapat ditukar dengan lahan lain di tempat lain yang berada di tengah-tengah komunitas muslim yang memanfaatkannya untuk jamaah atau untuk shalat Jum’at?

Dalam konteks akademis, pembahasan para ahli hukum tentang wakaf sangat mendalam dan terperinci serta prinsip-prinsip fikih yang digunakan juga beragam yang didasarkan pada berbagai hadis tentang wakaf. Dalam madzhab Syafi’i pembahasan lembaga ini sejalan dengan aliran-aliran lain yang menitikberatkan pada persoalan asas hukum dan metode pengembangan harta wakaf sesuai dengan asas hukum yang dianut.

Yang dominan di dalam madzhab Syafi'i adalah manhaj yang melekat pada nas dan tidak membuka banyak ruang untuk melihat mekanisme yang lebih kreatif dalam pengembangan harta wakaf. Oleh karena itu, untuk memahami cara pandang madzhab Syafi'i tentang istibdal maka perlu ditelusuri terlebih dahulu asas-asas utama yang terkandung dalam hukum hukum wakaf dalam madzhab ini.

8 Muhammad. Nuruddin. 2015. Memahami hadis wakaf dalam Konstalasi masyarakat global, ZISWAF:Jurnal Zakat dan Wakaf, Vol. 2, No. 1, hlm. 134.

9 Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, cet. Ke-1 (Bandung: Refika Offset, 2008), hlm. 57.

10 Tholhah, Hasan. Istibdal Harta Benda Wakaf. Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam. 2:4, (Jakarta: Agustus 2009), 1- 16.

(4)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan teknik kajian pustaka, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan berbagai buku, dokumen dan tulisan yang relevan untuk menyusun konsep penelitian serta mengungkap obyek penelitian. Kajian pustaka dilakukan dengan banyak melakukan telaah dan pengutipan berbagai teori yang relevan untuk menyusun konsep penelitian. Teknik ini juga dilakukan untuk menggali berbagai informasi dan data faktual yang terkait atau mempresentasikan masalah-masalah yang dijadikan obyek penelitian. Di dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data melalui beberapa kitab, buku, jurnal, dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian sebagainya.11

PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Prinsip Utama Wakaf

Wakaf secara etimologi berasal dari kata waqafa sinonim kata habasa yang memiliki arti berhenti, diam (al-tamakkust), atau menahan (al-imsak) (Anshori, 2005: 7;

Baalbaki, 1995: 1220). Ibnu Mandzur (1954: 276) menambahkan al-hubus wa wuqifa (sesuatu yang di wakafkan), seperti habasa al-faras fi sabīlillah (ia mewakafkan kuda di jalan Allah), atau habasa al-dār fi sabīlillahi (ia mewakafkan rumahnya di jalan Allah). Yusuf bin Hasan (1990: 548) menjelaskan, bahwa kata al-waqfu adalah bentuk masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai’ yang berarti menahan sesuatu.12 Di dalam pengertian yang lain.

menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah). Perkataan wakaf yang menjadi bahasa Indonesia, berasal dari bahsa Arab dalam bentuk masdar atau kata yang dijadikan kata kerja atau fi’il waqafa. Kata kerja atau fi’il waqafa ini adakalanya memerlukan objek (muta’addi). Dalam perpustakaan sering ditemui sinonim waqf ialah habs. Waqafa dan habasa dalam bentuk kata kerja yang bermakna menghentikan dan menahan atau berhenti di tempat.13

Menurut jumhur ulama, wakaf adalah menahan harta yang bias dimanfaatkan sementara barang tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali pengawasan terhadap barang tersebut dari orang yang mewakafkan dan lainnya, untuk pengelolaan yang diperbolehkan dan riil, atau pengelolaan revenue (penghasilan) barang tersebut untuk tujuan kebaiikan dan kebaikan demi mendekatkan diri kepada Allah. Atas dasar ini, harta tersebut lepas dari kepemilikan orang yang mewakafkan dan menjadi tertahan dengan dihukumi menjadi milik Allah,14 orang yang mewakafkan terhalang untuk mengelolanya, penghasilan dari barang tersebut harus disedekahkan sesuai dengan tujuan pewakafan tersebut.15

Sedangkan menurut UU nomor 41 tahun 2004 Perwakafan Pasal 1 disebutkan yang dimaksud denganWakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syariah.16

11 Danu Eko Agustinova, Memahami Metode Penelitian Kualitatif; Teori dan Praktik Cet. Ke-1, (Yogyakarta: Calpulis, 2015), hlm. 39.

12 DEKS Bank Indonesia – DES-FEB UNAIR, Wakaf: Pengaturan dan Tata Kelola edisi Pertama, (Jakarta:

DEKS - Bank Indonesia, 2016), lm. 89

13 Hamdan Firmansyah, Penafsiran Ayat-Ayat Ahkam Tentang Wakaf. al-Awqaf: Jurnal Wakaf dan ekonomi Islam, Volume 12 Edisi Juni 2019, hlm. 2.

14 yang dimaksud adalah harta tersebut tidak lagi menjadi milik orang yang mewakafkan, tidak pula berpindah menjadi milik orang lain. la dihukumi menladi milik Allah semata. lnilah yang dimaksud dalam teks di atas. Sebab, kalau maksudnya tidak demikian maka semua adalah milikAllah.

15 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih islam wa adillatuh, (Gema Insani – Darul Fikir), hlm. 271.

16 UU Nomer 41 tahun 2004 Tentang Wakaf

(5)

Sebelum membahas prinsip-prinsip utama wakaf, terlebih dahulu lihat penjelasan wakaf menurut Imam Syafi’i, karena penjelasan itu merupakan refleksi terhadap prinsip-prinsip yang di pegang oleh Imam Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyah.

Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm menggunakan istilah al-ahbas atau al-shadaqat al- muharramat yang merujuk kepada wakaf. Beliau memberi ciri-ciri yang hampir jelas dan tersusun dalam pernyataan beberapa prinsip utama tentang wakaf. Beliau menyatakan:

“Pemberian-pemberian yang diucapkan oleh pemberi tanpa membutuhkan qabadh (penerimaan secara fisik) dari pihak penerima, dan pemberi sudah mengucapkan, maka pemberi tersebut tidak boleh mengambil kembali pemberian tersebut dengan cara apapun. Pemberian ini adalah sedekah yang diwakafkan kepada suatu golongan, atau suatu golongan dengan ciri-ciri tertentu, pemberian apapun dalam bentuk seperti ini walaupun tidak dinamakan sebagai pemberian yang diharamkan, maka ia adalah pemberian yang diharamkan kepemilikannya dengan istilah al-habs.” 17 Dari penjelasan Imam Syafi’i ini, dapat disimpulkan bahwasanya wakaf adalah suatu pemberian yang tidak boleh ditarik kembali oleh pihak pemberi dan tidak boleh menjadi kepemilikan pihak manapun dengan cara apapun.

Hal ini dapat dipahami dengan jelas dalam penjelasan Imam Syafi’i yang selanjutnya tentang hadis Rasulullah SAW yang menasihati Umar ketika ia (Umar) mendapatkan tanah wakaf di Khaibar supaya menahan bendanya dan menyedekahkan hasilnya, kemuadian Umar menegaskan bahwa bila Rasulullah membolehkan seorang pemilik harta menahan (mewakafkan) harta asal dan manfaatnya, maka berarti pemilik tersebut telah melepaskan kepemilikan hartanya dan pihak yang menerima harta wakaf tersebut juga tidak mempunyai hak untuk memiliki harta asal, tetapi hanya memiliki manfaatnya saja. Status harta wakaf berbeda dengan harta lainnya, karena harta lainnya berpindah kepemilikan ke pemilik yang lain, tetapi harta wakaf tidak menjadi milik siapapun, sama seperti halnya seorang pemilik budak yang memerdekakan budaknya, yang mana budak tersebut tidak lagi menjadi milik siapapun.18

Sama halnya dengan Imam Syafi’i, ulama-ulama Syafi’iyah menjelaskan wakaf sebagai penahanan harta asal yang boleh diambil manfaatnya saja, tidak sampai kepada pemindahan kepemilikan harta asal. Penahanan (dalam bahasa Arab disebut al-habs) disini berarti penahanan dari segi semua transaksi pemindahan kepemilikan harta setelah diwakafkan oleh pemiliknya.

Melihat penjelasan-penjelasan dalam kitab-kitab utama ulama Syafi’iyah terdapat satu persamaan yang jelas yaitu “penahanan” suatu harta dari semua transaksi pemindahan kepemilikan pemilik asal atau orang lain, yang mana manfaatnya digunakan secara kekal untuk tujuan kemaslahatan. Penjelasan ini sebenarnya adalah kesimpulan dari pembahasan mengenai prinsip-prinsip wakaf sebagaimana diistinbatkan dari hadis riwayat Ibn Umar. Hadis tersebut menceritakan mengenai satu kawasan tanah di Khaibar yang diperoleh sebagai ghanimah oleh Umar, beliau minta pandangan Rasulullah SAW, apa yang harus dilakukan terhadap tanah tersebut. Rasulullah bersabda kepada Umar: “tahanlah bendanya dan sedekahkanlah hasilnya”.19

2. Pengertian Istibdal

Permasalahan mengenai tukar-menukar benda wakaf dalam fikih perwakafan disebut dengan istilah “al-istibdāl’’, atau “al-ibdal’’. Al-istibdāl, diartikan sebagai penjualan benda wakaf untuk dibelikan benda lain sebagai pengganti wakafnya. Ada pula yang mengartikan, bahwa al-istibdāl adalah mengeluarkan status wakaf dari suatu benda dan menggantinya dengan benda lainnya. Al-ibdal, diartikaan sebagai penggantian benda wakaf dengan benda wakaf lainnya, baik yang sama kegunaannya atau tidak, seperti

17 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Juz V, (Dar al-Wafa’), hlm.105.

18 Ibid, 108.

19 Abdullah, Luqman Haji, Istibdal Harta Wakaf Dari Perspektif Mazhab Syafi’i, (University of Malaya: Journal of Fiqh, 2010) No. 07, 74.

(6)

menukar wakaf yang berupa tanah pertanian dengan benda lain yang berupa tanah untuk bangunan. Ada juga pendapat yang mengartikan sama antara al-istibdāl dan al- ibdal.20

Istibdal (permintaan ganti). Para ulama fiqih menggunakan kata istibdal, sementara yang dikehendaki adalah menjual barang wakaf baik pekarangan atau barang bergerak dengan uang, atau membeli barang dengan uang untuk kemudian diwakafkan sebagai ganti barang yang dijual atau barter barang wakaf dengan barang yang lain.

Namun, muncul tradisi lain dari para penulis sejak masa lalu yang menggunakan istibdal untuk arti pembelian barang dengan uang untuk kemudian diwakafkan, ibdal untuk arti menjual barang wakaf dengan uang, tabadul atau badal untuk arti barter.21

3. Prinsip-prinsip Objek Wakaf

Selain prinsip utama, ada juga beberapa prinsip lain yang berkaitan dengan objek wakaf. Hadis tentang Umar yang meminta nasihat kepada Rasulullah ketika mendapat tanah di Khaibar itu tertuju ke barang wakaf yang berupa tanah (barang tidak bergerak).

Oleh karena itu, ulama sepakat mengenai kebolehan wakaf yang berupa tanah atau barang tidak bergerak lainnya, atas dasar hadis yang sangat jelas tersebut.22

Selanjutnya mengenai barang wakaf bergerak, menurut Imam Syafi’i, mewakafkan barang bergerak itu dibolehkan, atas dasar hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah mewakafkan senjata perang dan baju besi kepada Khalid bin Walid. Menurut ulama-ulama Syafi’iyah, walaupun hadis tersebut hanya menyebutkan senjata perang dan baju besi, akan tetapi boleh juga mewakafkan barang bergerak yang lain, seperti buku, pakaian, al-Qur’an, dan lain sebagainya, dengan diqiyaskan kepada senjata perang dan baju besi tersebut. Dengan penggunaan qiyas oleh ulama Syafi’iyah dalam hal ini, membuat jenis-jenis harta yang bisa diwakafkan menjadi lebih luas dan banyak, dengan syarat harta bergerak yang diwakafkan tadi bersifat kekal, tidak rusak atau habis ketiga digunakan. Artinya, tidak dibolehkan mewakafkan barang-barang bergerak seperti makanan, minuman, lilin, wangi-wangian dan lain sebagainya yang pengambilan manfaatnya itu dengan cara penggunaan yang menghabiskan zatnya.23

Mayoritas ulama selain Hanafiyyah bersepakat tentang kebolehan wakaf barang yang bisa dipindah secara mutlak seperti alat-alat masjid. Contohnya lampu dan tikar, macam-macam senjata, pakaian, perabotan baik barang yang diwakafkan itu mandiri, disebut oleh nash, atau diberlakukan dalam tradisi, atau mengikuti yang lain seperti pekarangan. Sebab, mayoritas ulama itu tidak mensyaratkan waktu selama-lamanya demi keabsahan wakaf. Oleh karena itu, wakaf sah, baik untuk waktu selamanya atau sementara, untuk lembaga amal atau keluarga. Kalangan Hanafiyyah tidak membolehkan wakaf barang yang bisa dipindah. Menurut mereka, termasuk barang yang bisa dipindah adalah bangunan, tanaman, kecuali jika mengikuti pekarangan, atau tersebut dalam nash seperti senjata dan kuda, atau berlaku dalam tradisi, seperti wakaf kitab, mushaf, kapak, beliung, periuk, perangkat jenazah dan pakaian-pakaian jenazah, dinar, dirham, barang yang bisa ditakac barang yang bias ditimbang, perahu' dehgan barang dagangan. Barang-barang tersebut boleh diwakafkan karena masyarakat telah mempraktikkannya.24

Ulama-ulama Syafi’iyah mensyaratkan benda yang diwakafkan harus jelas dan konkret, tidak dalam jaminan utang, menjadi milik penuh wakif yang bisa ditransaksikan

20 Tholhah, Hasan. Istibdal Harta Benda Wakaf. Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam. 2:4, (Jakarta: Agustus 2009), 1- 16.

21 Wahbah, Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuh, (Gema Insani – Darul Darul Fikir), hlm. 288.

22 Luqman Haji Abdullah, Istibdal Harta Wakaf Dari Perspektif Mazhab Syafi’i, (University of Malaya: Journal of Fiqh, 2010) No. 07, hlm. 75.

23 Ibid, 76.

24 Wahbah, Az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuh, (Gema Insani – Darul Darul Fikir), hlm. 79.

(7)

dalam jual-beli dan sejenisnya, memiliki manfaat, dan memberikan manfaat yang lama masanya. Dengan demikian, tidak sah wakaf manfaat barang tanpa bendanya, seperti manfaat dari barang yang disewakan atau manfaat barang yang diwasiatkan atau wakaf yang masih dalam tanggungan. Tidak sah wakaf barang yang tidak ada faedah dan manfaatnya seperti wakaf aniing, babi, binatang buas, burung buas yang tidak pantas untuk digunakan berburu. Tidak sah mewakafkan barang yang tidak selalu bisa dimanfaatkan seperti makanan, minuman [dalam bentuk minuman, bukan air secara umum), lilin, parfum, sebab manfaat dari makanan adalah dalam pengonsumsiannya.25 4. Aspek Perubahan Status

Imam Syafi’i melarang perubahan status terhadap wakaf dalam bentuk apapun, Imam Syafi’i mengatakan bahwa saat Rasulullah SAW memperbolehkan menahan harta dan mewakafkan hasilnya untuk kemaslahatan, ini menunjukkan bahwa harta wakaf tidak boleh dijual oleh orang yang menerima wakaf, maupun mengambilnya dalam bentuk apapun. Sebagaimana tidak boleh menjual, menghibahkan, mewariskan pokoknya dari harta wakaf.

Di dalam kitab al-Umm, larangan dari Imam Syafi’i mengenai permasalahan perubahan status harta benda wakaf berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Umar:

Imam Syafi’i berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar: Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu Umar datang kepada Nabi SAW untuk memohon petunjuk apa yang harus dilakukan terhadap tanah tersebut, Umar berkata: wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya memperoleh harta yang lebih tinggi nialinya dari tanah itu, Rasulullah bersabda: (kalau kamu mau, tahanlah bendanya dan sedekahkanlah hasilnya). Ibnu Umar berkata: lalu Umar meyedekahkannya".26

Ibnu Qudamah di dalam kitab al-Muqni’ juga menyampaikan mengenai larangan Imam Syafi’i terhadap perubahan status harta benda wakaf, beliau berkata:

Imam Syafi’i berkata: tidak boleh menjual barang wakaf karena sabda Rasulullah SAW:

“Jangan jual asli (pokok) nya, jangan diperjualbelikan, dihibahkan, diwariskan”27

Sesuai dengan apa yang disampaikan Imam Syafi’i dan Ibnu Qudamah di atas, Imam Bukhari meriwayatkan:

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar: Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu Umar datang kepada Nabi SAW untuk memohon petunjuk apa yang harus dilakukan terhadap tanah tersebut, Umar berkata: wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya memperoleh harta yang lebih tinggi nialinya dari tanah itu, Rasulullah bersabda: (kalau kamu mau, tahanlah bendanya dan sedekahkanlah hasilnya). Ibnu Umar berkata: lalu Umar meyedekahkannya dan berwasiat: sesungguhnya tanah tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dihibahkan, maka Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, kerabatnya, memerdekakan budak, orang yang berjuang di jalan Allah, musafir, dan tamu, dan boleh bagi orang yang mengurusi harta wakaf tersebut makan dari hasil wakaf tersebut dalam batas kewajaran atau memberi makan orang lain dari hasil wakaf tersebut. Muttafaqun alaih (HR. Imam Muslim). Dan di dalam riwayatnya Imam Bukhari disebutkan:

“sedekahkanlah pokoknya, tidak boleh dijual dan dihibahkan akan tetapi hasilnya diinfakkan.”28 Dari hadis di atas terdapat kata “jangan dijual, dihibahkan, diwariskan”, kata-kata ini merupakan bentuk larangan yang menunjukkan pengharaman. Artinya menghendaki untuk meninggalkan terhadap apa yang dilarang secara tetap dan pasti.

25 Ibid, 298-299.

26 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Juz V, (Dar al-Wafa’), hlm. 108.

27 Imam Muwaffaq ad-Din Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Ibnu Qudamah al- Maqdisi, al-Muqni’ fi Fiqhi al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2005), juz 2, 251.

28 Muhammad Ibn Al-Isma’il al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah: Lebanon, 2015), hlm. 503

(8)

Jumhur ulama menetapkan bahwa asal hukum larangan itu haram, karena setiap larangan bisa membawa kerusakan.

Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadis Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.”29

Imam Syafi’i mengambil kesimpulan bahwa harta benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, atau perubahan-perubahan status lainnya. Karena harta wakaf itu merupakan sedekah yang diharamkan, haram ditarik kembali oleh orang yang berwakaf, haram dimiliki orang yang menerima wakaf, dan haram untuk merubah status harta benda wakaf tersebut.

Madzhab Syafi’i menunjukan bahwa istibdal dilarang secara mutlak yang popular dikalangan mereka. Dalam kitab Fath Almu’in disebutkan: harta wakaf tidak diperbolehkan untuk dijual walaupun sudah dalam keadaan rusak, sekiranya sebuah masjid (wakaf) sudah rusak dan tidak mungkin untuk dibangun lagi, masjid tersebut tetap tidak diperbolehkan untuk dijual dan tidak kembali kepada yang mewakafkannya karena masih dimungkinkan sholat dan i’tikaf di atas tanahnya. Selama wakaf mempunyai hasil walaupun sedikit, ia tidak boleh dijual menurut ulama madzhab Syafi’i. Jika sebuah pohon wakaf yang telah kehilangan atau dirobohkan angin tidak dapat membatalkan wakaf, karenanya tidak diperbolehkan untuk dijual dan dihibahkan kecuali dijadikan dalam manfaat yang lain seperti dibikin pintu jika tidak dimungkinkan mengambil sewa darinya.30

5. Aspek Bentuk Harta Wakaf

Dari apa yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm, beliau melarang secara mutlak harta benda wakaf apaun tidak boleh dirubah statusnya, baik dengan dijual, ditukar, dihabahkan, diwariskan, dan lain sebagainya. Akan tetapi dari ulama-ulama Syafi’iyah terdapat perbedaan pendapat. Secara garis besar, dapat diklasifikasikan dalam dua golongan:31

a. Ulama Syafi’iyah yang melarang penjualan atau penggantian barang wakaf (wakaf istibdāl). Sebaliknya, barang tersebut harus dibiarkan dan diambil manfaatnya sampai habis.

Imam Syairazi menuliskan dalam kitabnya:

“Jika seseorang mewakafkan masjid yang menjadi rusak seiring berjalannya waktu, sehingga tidak bisa digunakan untuk shalat, maka masjid itu tidak boleh dikembalikan kepada pemilik asalnya, juga tidak boleh diperjualbelikan. Namun, apabila seseorang mewakafkan p ohon kurma yang kemudian mati, hewan ternak yang kemudian sakit, atau masjid yang tertimpa patahan pohon hingga hancur, para ulama memberikan dua pandangan berbeda. Pertama, barang-barang tersebut tidak boleh dijual seperti yang telah dijelaskan. Kedua, barang-barang tersebut boleh dijual dengan pertimbangan tidak ada manfaat yang bisa didapatkan. jadi, penjualannya akan lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan membiarkannya. Hukum ini

29 Hamdan Firmansyah. Penafsiran Ayat-Ayat Ahkam Tentang Wakaf, Al-Awqaf: Jurnal Wkaf dan Ekonomi Islam. Volume 12 Edisi Juni 2019, Hlm. 7.

30 Ali Salama Mahasna dan Nani Almuin. Analisis Hukum Tukar Guling Tanah Wakaf (Studi Kasus Tanah Wakaf di Indonesia). Al-Awqaf: Jurnal Wkaf dan Ekonomi Islam. Volume 12 Edisi Juni 2019 Hal. 92

31 Abdullah al-Kabisi, Muhammad Abid, Ahkam al-Waqf fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Terj. Ahrul Sani Fathurrahman, 372.

(9)

tidak berlaku dalam masalah masjid yang rusak sebagian, karena walaupun masjid itu rusak masih bisa digunakan untuk shalat dan masih mungkin untuk direnovasi, sehingga berfungsi seperti semula.32

Pendapat lain yang menunjukkan kehati-hatian Imam Syafi’i dan ulama- ulama Syafi’iyah dalam masalah wakaf adalah melarang penjualan barang wakaf apabila tidak ada jalan lain untuk memanfaatkannya, selain dengan cara memanfaatkannya dengan cara mengkonsumsi sampai habis, namun tetap tidak boleh menjualnya. Sebagai implikasi pendapat di atas, jika barang wakaf berupa pohon yang kemudian mengering dan tidak berbuah dan hanya bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar, maka penerima wakaf noleh menggunakannya untuk bahan kayu bakar, tapi tetap tidak diperbolehkan untuk menjualnya. Sebab, dalam pandangan ulama Syafi’iyah meskipun barang wakaf hanya bisa dimanfaatkan dengan cara mempergunakannya sampai habis, barang tersebut tetap memiliki unsur yang menjadikannya sebagai barang wakaf, sehingga tidak boleh dijual”.33 Senada dengan pendapat tersebut, Syarbini menyatakan: ”jika barang wakaf hanya mungkin dimanfaatkan dengan cara membakar atau yang sejenisnya, semua ulama Syafi’iyah sepakat memperbolehkan pemanfaatan dengan cara tersebut. Namun, ada satu pendapat lemah yang didukung Ibn al-Rif’ah yang mengatakan, barang wakaf itu menjadi milik penerima wakaf, sehingga ia diizinkan memanfaatkannya, tanpa berhak menjual atau menghibahkannya.”34 b. Ulama Syafi’iyah yang memperbolehkan penjualan atau penggantian barang wakaf

(wakaf istibdāl) dengan alasan tidak mungkin dimanfaatkan seperti yang dikehendaki oleh waqif.

Imam Syairazi menjelaskan: ”Jika kita mengizinkan penjualan barang wakaf, maka nilai harganya harus disesuaikan dengan kondisi barang yang ada.” ulama Syafi’iyah mensyaratkan uang yang didapat dari hasil penjualannya harus digunakan untuk membeli barang wakaf baru sebagai ganti.35

Pendapat ulama Syafi’iyah tentang penjualan barang wakaf seperti yang dijelaskan di atas, berlaku untuk barang wakaf bergerak saja. Mayoritas mereka mengunggulkan pendapat pertama yang menyatakan barang tersebut tetap sebagai wakaf walaupun sudah rusak, yang menjadikannya tidak boleh dijual. Mengenai barang wakaf tidak bergerak, ulama Syafi’iyah tidak menyinggung sama sek ali dalam kitab-kitab mereka. Hal ini, mengindikasikan seolah-olah mereka meyakini bahwa barang wakaf tidak bergerak tidak mungkin kehilangan manfaatnya, sehingga tidak boleh dijual.36

Namun dari penelitian yang diakukan, penulis menemukan perbedaan pendapat di antara mereka dalam masalah wakaf tanah yang dipastikan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Dalam kondisi seperti ini, yang diunggulkan adalah pendapat yang melarang penjualan dan atau penggantiannya. Ulama Syafi’iyah Imam Mawardi di dalam kitab al-Hawi menjelaskan asal usul terjadinya perbedaan antara dibolehkannya penjualan barang wakaf bergerak dan dilarangnya barang wakaf tidak bergerak. Beliau menulis: ”Demikianlah, tidak dibenarkan menjual seluruh atau sebagian barang wakaf tidak bergerak yang telah rusak. Berbeda jika barang yang diwakafkan

32 Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Syairazi, al-Mudzdzab fii Fiqhi al-Imam al-Syafi’i, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), Juz II, 331.

33 Abdullah al-Kabisi, Muhammad Abid, Ahkam al-Waqf fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Terj. Ahrul Sani Fathurrahman, 372.

34 Syamsuddin Muhammad bin al-Khattab al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Ma’rifah), Juz II, 505.

35 Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Syairazi, al-Mudzdzab fii Fiqhi al-Imam al-Syafi’i, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), Juz II, hlm. 331.

36 Abdullah al-Kabisi, Muhammad Abid, Ahkam al-Waqf fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Terj. Ahrul Sani Fathurrahman, 373.

(10)

adalah hewan tunggangan, barang tersebut boleh dijual dan diganti sesuai harganya selama tidak dapat mendatangkan hasil. Perbedaannya adalah terletak pada adanya kemungkinan memperbaiki barang wakaf tidak bergerak yang menyebabkan tidak boleh dijual. Sedangkan binatang wakaf yang sudah lemah atau sakit-sakitan itu susah untuk kembali normal seperti semula.”37

Dari uraian di atas, dapat dilihat betapa kehati-hatiannya Imam Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyah dalam perubahan status harta benda wakaf. Akan tetapi, menurut hemat penulis, sikap terlalu hati-hati seperti itu bisa berakibat kurang bagus dan berimbas pada banyaknya harta benda wakaf yang rusak dan menjadi tidak bermanfaat lagi. Hal ini tentu mengakibatkan banyak sekali tanah wakaf yang tidak terurus, terbengkalai dan tidak menghasilkan manfaat sama sekali. Keadaan seperti ini sangat bahaya sekali, mengingat akan bertentangan dengan maslahat para mustahik dan maslahat serta kemajuan umat.

KESIMPULAN

Kesimpulannya, Imam Syafi’i melarang dengan jelas mengenai perubahan status harta benda wakaf bergerak maupun tidak bergerak, baik dengan cara dijual, ditukar, atau dengan cara yang lainnya. Akan tetapi, sebagian ulama Syafi’iyah ada yang berbeda pendapat untuk barang wakaf bergerak, yaitu memperbolehkan menjualnya dengan syarat barang wakaf tersebut sudah tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal, harganya harus disesuaikan dengan kondisi barang yang ada, dan uang yang didapat dari hasil penjualannya harus digunakan untuk membeli barang wakaf baru sebagai gantinya.

REFERENSI

Abdullah al-Kabisi, Muhammad Abid. 2003. Ahkam al-Waqf fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Terj.

Ahrul Sani Fathurrahman, Jakarta: IIMaN.

Abdullah, Luqman Haji. 2010. Istibdal Harta Wakaf Dari Perspektif Mazhab Syafi’i, Journal of Fiqh. No. 07, 71-82.

Al-Bukhari, Muhammad Ibn Al-Isma’il. 2015. Shahih Al-Bukhari, Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.

Al-Syarbini, Syamsuddin Muhammad bin al-Khatib, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al- Fadhi al-Minhaj, Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Asy-Syafi’i, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris, al-Umm, Juz V, Dar al-Wafa’.

Asy-Syairazi, Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, al-Mudzdzab fii Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i, Juz II, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.

Athoillah, M. 2014. Hukum Wakaf Benda Bergerak dan Tidak Bergerak dalam Fikih dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Bandung: Yrama Widya.

DEKS Bank Indonesia – DES-FEB UNAIR. 2016. Wakaf: Pengaturan dan Tata Kelola edisi Pertama. Jakarta: DEKS - Bank Indonesia.

Firmansyah, Hamdan. 2019. Penafsiran Ayat-Ayat Ahkam Tentang Wakaf, Al-Awqaf:

Jurnal Wkaf dan Ekonomi Islam. Vol. 12, Hal. 1-9

Ibn al-Hajjaj, al-Imam Muslim. 2015. Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Imam Muwaffaq ad-Din Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin. 2005. al-Muqni’ fi Fiqhi al-Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.

Mahasna, Ali Salama dan Almuin, Nani. Analisis. 2019. Hukum Tukar Guling Tanah Wakaf (Studi Kasus Tanah Wakaf di Indonesia). Al-Awqaf: Jurnal Wkaf dan Ekonomi Islam.

Vol. 12, hal. 86-104.

Mubarok, Jaih. 2008. Wakaf Produktif, cet. Ke-1, Bandung: Refika Offset.

37 Ibid, 374.

(11)

Muhammad Azzam, Abdul Aziz. 2010. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Islam Edisi Pertama, Terj. Nadirsyah Hawari, Jakarta: Amzah..

Nuruddin, Muhammad. 2015. Memahami hadis wakaf dalam Konstalasi masyarakat global, ZISWAF: Jurnal Zakat dan Wakaf, Vol. 2, No. 1, hlm. 134.

Tholhah, Hasan. 2009. Istibdal Harta Benda Wakaf, Jurnal Wakaf dan Ekonomi Islam, Vol. 2, No. 03.

UU Nomer 41 tahun 2004 Tentang Wakaf

Referensi

Dokumen terkait

[0260] Kota Bandung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan..

Proses kompresi udara yang terjadi pada kompressor torak dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan seperti terlihat pada gambar 4.4. Pada titik ini tekanan

Dengan dibentuknya Kecamatan Batang Serangan dan Kecamatan Sawit Seberang, maka wilayah Kecamatan Padang Tualang dikurangi dengan wilayah Kecamatan Batang Serangan sebagaimana

Kemampuan pasien skizofrenia yang masih membutuhkan dan memerlukan perawatan keluarga serta memiliki masalah dalam pemenuhan kebutuhan dasar sehari–hari perlu

Berdasarkan pemaparan tentang permasalahan dan fenomena diatas yang terkait dengan Locus of Control dan Prokrastinasi akademik, menimbulkan permasalahan yang dapat

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 01 Tahun 2005 tentang Penundaan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18 dan 19 Tahun 2004 tentang

Beberapa instrumen kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah selama ini adalah adanya (a) rasio impor bahan baku susu yang dikaitkan dengan keharusan serap susu segar domestik,

Bimbingan kelompok dengan teknik games adalah layanan yang diberikan secara kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok, dan games sebagai media untuk meningkatkan