• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. memasuki abad ke-21 ini. Kehidupan manusia berubah seiring dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. memasuki abad ke-21 ini. Kehidupan manusia berubah seiring dengan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkembangan budaya, teknologi dan informasi sangat tak terbendung ketika memasuki abad ke-21 ini. Kehidupan manusia berubah seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat. Belum lagi ditambah dengan pengaruh budaya asing yang bersifat negatif pada anak-anak usia remaja.

Fenomena demikian ini menjadi keprihatinan semua pihak khususnya orang tua sebagai gerbang utama pendidikan bagi anak. Harus disadari bahwa memang saat ini telah memasuki era dunia baru yang belum pernah ada di zaman-zaman sebelumnya. Dunia baru ini telah menggantikan kehidupan manusia dari generasi tua ke generasi muda. Pada penelitian Bencsik, A., Csikos., Juhaz, T. (2016), menyatakan bahwa anak-anak yang hidup pada era saat ini dikenal dengan generasi millenial atau generasi Z. Mereka lahir pada kisaran tahun 1995 hingga 2010. Maka wajar apabila terjadi pergeseran budaya lantaran perbedaan generasi ini begitu terlihat di permukaan.

Perkembangan generasi tersebut tentunya membawa perubahan pada pola pikir, gaya hidup dan hubungan sosial anak. Dapat dilihat pada lingkungan sekitar bahwa gaya hidup anak zaman sekarang tentu berbeda orang-orang dahulu. Selain itu belakangan ini terlihat adanya dekadensi moral hingga tindakan-tindakan anarkisme maupun perilaku yang tidak mencerminkan karakter anak yang terdidik. Belum lagi ditambah dengan kenakalan remaja di kalangan pelajar yang

(2)

2

semakin meningkat dari tahun ketahun. Jika melihat data dari penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional di tahun 2006 bahwa, sebanyak 8.500 siswa sekolah dasar di Indonesia telah mengkonsumsi narkoba bahkan parahnya lagi sudah terindikasi kecanduan narkoba dalam satu tahun terakhir (Unayah &

Sabarisman:2015).

Selain itu dikatakan bahwa penyebab kenakalan remaja disebabkan oleh adanya dua faktor, yakni faktor dari remaja itu sendiri (internal) dan faktor dari luar (eksternal). Adapun faktor internal penyebab kenakalan remaja tersebut dikarenakan adanya krisis identitas dan kontrol diri yang lemah dari remaja itu sendiri. Sedangkan faktor penyebab kenakalan remaja yang timbul dari luar (eksternal) disebabkan karena keluarga dan perceraian orangtua, teman sebaya yang kurang baik dan komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.

Maka dari itu pendidikan agama menjadi penting seiring dengan dekadensi moral remaja saat ini. Namun pendidikan agama yang dimaksud disini bukanlah semata- mata mengajarkan apa yang terkandung dalam teks suci Al-Qur’an, akan tetapi lebih pada implementasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. (Unayah &

Sabarisman : 2015).

Pendidikan sebagai instrument pertama untuk mengarahkan anak pada pewarsian budaya, nilai dan pengetahuan dianggap belum mampu dalam mengentaskan dekadensi moral, kemerosotan karakter, dll. Pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah seakan-akan hanya menekankan pada aspek pengetahuan semata tanpa adanya transformasi nilai berupa pembentukan karakter

(3)

3

dan kepribadian siswa. Belum lagi ditambah dengan faktor lingkungan siswa baik dalam keluarga maupun masyarakat yang kian semakin menghawatirkan.

Persoalan penyakit sosial di masyarakat menambah keprihatinan tersendiri manakala pendidikan hanya semata-mata berpacu pada peningkatan mutu akademik semata. Hal ini menjadi kegelisahan bersama melihat tujuan daripada pendidikan sendiri adalah untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa.

Tentunya persoalan yang demikian ini harus terus menjadi perhatian serius bagi praktisi pendidikan, stake holder, maupun pemangku kebijakan untuk lebih mengarahkan pendidikan pada pembentukan karakter siswa.

Jika melihat realitas pendidikan di Indonesia khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah kemerosotan karakter siswa, terlihat masih banyak ditemukan di berbagai daerah dan tempat dekadensi moral dan krisis karakter.

Akhir-akhir ini, paradigma yang berkaitan dengan aspek karakter menjadi hal yang sedang hangat diperbincangkan, khususnya dalam dunia pendidikan.

Masyarakat banyak yang berasumsi bahwa permasalahan terbesar yang dihadapi bangsa ini terletak pada aspek moral dan kemerosotan karakter peserta didik.

Menurut Cahyono (2017), hal ini disebabkan karena maraknya berita tentang tawuran pelajar, kasus-kasus narkoba, pembunuhan, hingga kasus korupsi yang merajalela, dari tingkat elite hingga ke level yang paling bawah sekalipun. Bahkan tidak jarang terdapat siswa yang berani menganiaya gurunya sendiri hingga tewas.

Tentunya ini merupakan permasalahan yang sangat serius yang harus dituntaskan oleh dunia pendidikan hari ini.

(4)

4

Kemerosotan karakter yang dialami siswa paling besar dihadapi ketika memasuki ujian nasional (UN). Seringkali siswa melakukan tindakan kecurangan manakala pelaksanaan ujian nasional. Terlihat banyak sekali fenomena yang terjadi ketika peserta didik mendapatkan nilai yang lebih tinggi pada saat ujian daripada kemampuan yang sebenarnya (spuriously high). Menurut Drasgow (1983) Hal ini tentu sangat mungkin terjadi manakala peserta didik mencontek atau memperoleh jawaban dari orang lain. Parahnya lagi kemerosotan karakter yang terjadi pada siswa dapat terlihat ketika saat-saat akan memasuki hari pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Menurut Selytania, bahwa hilangnya rasa kepercayaan diri pada siswa dipengaruhi oleh perlakuan berbagai pihak yang terlalu mengistimewakan Ujian Nasional. Ia menjelaskan bahwa pelaksaan ritual- ritual khusus menjelang ujian nasional seperti istighosah dan doa bersama semakin menimbulkan mainset bahwa ujian nasional merupakan hal yang menakutkan (Kusaeri : 2017).

Tentunya untuk memberikan indikator pada keberhasilan pendidikan tidak bisa hanya dinilai pada aspek nilai-nilai yang berupa angka-angka dalam raport dan ijazah. Artinya perlu penilaian yang komprehensif dari segi sikap, kepribadian dan akhlak siswa. Siswa boleh dikatakan pintar ketika bisa mengerjakan soal di sekolah namun juga harus diimbangi dari segi perilaku dan kepribadiannya di dalam dan di luar sekolah. Karena untuk mencapai tingkat keberhasilan sebuah pendidikan tentunya dibutuhkan upaya-upaya yang serius mulai dari kurikulum hingga tahap implementasinya di sekolah. Kurikulum yang baik tentu harus mampu menyentuh keetiga rana domain siswa, yakni koginitif, afektif dan

(5)

5

psikomotorik. Sehingga lulusan dari Lembaga pendidikan yang dihasilkan memiliki kecakapan baik dari segi intelektual maupun emosional, keterampilan dan sikapnya.

Tidak dapat dipungkiri jika pendidikan merupakan instrumen dasar yang memiliki pengaruh besar terhadap peningkatan kualitas dan perilaku hidup masyarakat karena dengan melalui pendidikan akan tercipta media transformasi kepribadian dan pengembangan diri seseorang. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah pendidikan dengan proses pembelajaran yang bermutu dalam rangka mewujudkan tujuan dari pendidikan tersebut. Sejatinya pendidikan dapat dikatakan bermutu apabila memiliki forward linkage dan backward linkage. Forward linkage yaitu pendidikan bermutu yang merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, adil dan sejahtera. Menurut Sukmadinata (2010) terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari sejarah perkembangan serta kemajuan bangsa modern dan sejahtera, yaitu mereka memiliki sistematika dan regulasi pendidikan yang bermutu.

Pendidikan karakter merupakan sebuah upaya mendasar dalam mewujudkan situasi belajar yang memenuhi kebutuhan pengembangan diri siswa yang dirancang guna membentuk siswa yang berkarakter. Meskipun upaya dalam pembentukan dan pengembangan karakter dapat dilakukan di lingkungan rumah sekalipun melalui bimbingan orang tua dan lingkungan sekitar. Namun, sekolah juga punya andil dan peran yang cukup besar dalam pembentukan karakter siswa (Suyadi : 2013 ).

(6)

6

Tentunya dengan harapan, bahwa melalui pendidikan karakter akan melahirkan siswa sebagai pribadi yang memiliki ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memiliki keimanan yang hingga mampu mencetak siswa yang berberbudi pekerti luhur, toleran terhadap sesama, memiliki motivasi juang dan mempu bekerja keras, berprestasi dan disiplin, sikap menghargai orang lain dan demokratis, bertanggungjawab, kreatif dan mandiri Tidak dapat dipungkiri, bahwa memang pendidikan karakter mempunyai urgensitas jika mulai ditanamkan melalui proses pembelajaran di sekolah sebagai bagian dalam proses pembentukan akhlak pada diri siswa (Abdul Madjid : 2011).

Pendidikan sejatinya tidak hanya menekankan pada aspek kognitif semata namun juga harus mampu menyentuh domain afektif dan psikomotorik siswa.

Sehingga peran pendidikan seyogyanya tidak semata-mata menjadikan peserta didik cerdas secara intelektual semata namun juga harus memiliki kecerdasan emosional serta spiritual. Banyak kalangan berpendapat bahwa pendidikan di Indonesia dinilai cukup berhasil dalam mencerdaskan siswa secara intelektual, namun dinilai masih gagal dalam melahirkan peserta didik yang memiliki karakter atau kepribadian yang baik. Oleh karena itu pendidikan karakter dipandang sangat efektif dalam mengatasi persoalan tersebut. Pendidikan karakter hendaknya ditanamkan pada semua tingkatan pendidikan. Yakni mulai dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi sekalipun. Apabila karakter seorang siswa sudah terbentuk sejak usia dini, kelak ketika dewasa ia tidak akan berubah karena telah berpegang teguh pada prinsip karakter yang dimilikinnya. Selain itu juga hal ini

(7)

7

bertujuan agar outputan dari Lembaga pendidikan yang dihasilkan mampu mencetak peserta didik yang berakhlak mulia. (Suwartini : 2017)

Prinsip paling mendasar tentang pengembangan karakter di negara Indonesia pada hakekatnya telah dirumuskan dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional.

Tepatnya pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa “Pendidikan nasional sejatinya berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Adapun ketentuan undang-undang tersebut tentunya dapat dimaknai bahwa sesungguhnya pendidikan nasional mendorong agar terwujudnya generasi penerus bangsa yang memiliki karakter religius, berakhlak mulia, cendekia, mandiri, dan demokratis. Namun seiring dengan dirumuskannya tujuan pendidikan ini, menurut Mujtahid (2016) pemerintah memiliki proyeksi besar dalam rangkaian pembangunan karakter bangsa dengan melalui empat nilai inti, yakni jujur, cerdas, tangguh, dan peduli.

Selanjutnya pada Pasal 13 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan tidak hanya sebatas pada pendidikan formal semata, melainkan terdiri dari nonformal, dan informal sehigga dapat saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain. Sejauh ini pendidikan hanya sebatas dimaknai pada jalur pendidikan formal. Padahal pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat

(8)

8

besar dalam mencapai keberhasilan sebuah pendidikan. Jika ditinjau alokasi waktu yang didapatkan peserta didik di sekolah, mereka hanya mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%.

Selebihnya sekitar 70%, siswa sudah berada dalam keluarga dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Jika dilihat dari efektifitas waktu dalam pendidikan, proses pendidikan di sekolah hanya berkisar 30% terhadap hasil pendidikan siswa (Paring & Restianingsih : 2018)

Sejauh ini pendidikan informal di luar sekolah terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi nyata dalam pembentukan karakter peserta didik. Hal ini disebabkan lantaran orang tua kurang begitu memahami fungsi pendidikan keluarga yang cukup penting. Belum lagi ditambah kesibukan orang tua dengan bekerja turut menambah persoalan dalam pendidikan di lingkungan keluarga. Salah satu upaya sebagai alternatif untuk mengatasi persoalan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu dengan cara memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Maka dalam hal ini, proses waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dimaksimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar siswa dapat dicapai, terutama dalam upaya pembentukan karakter peserta didik.

Dengan demikian jelas sekali bahwa fungsi dan tujuan pendidikan di setiap jenjang berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.

Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian di Harvard University Amerika

(9)

9

Serikat (dalam Akbar : 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional di atas, pendidikan Islam juga memiliki tujuan yang salah satunya untuk mengembangkan potensi manusia untuk menjadi pribadi yang berkarakter yang biasa disebut dengan akhlak. Ruang lingkup akhlak tentunya lebih luas jika dibandingkan dengan karakter. Selain itu akhlak juga merupakan indikator seseorang dikatakan beriman, oleh karena itu materi yang berkaitan dengan akhlak dalam pendidikan Islam erat kaitannya dengan pendidikan akidah. Karena akhlak merupakan salah satu indikator orang dikatakan beriman. Namun jika melihat realita di lapangan, pendidikan Islam hanya sebatas menjadi pelengkap kurikulum semata. Sehingga materi Pendidikan Agama Islam yang ada di sekolah tidak mampu direalisasikan dalam kehidupan

(10)

10

sehari-hari. Bahkan tidak jarang ditemukan perilaku siswa yang senantiasa bertentangan dengan pendidikan Agama yang ia dapatkan di sekolah.

Pendidikan karakter dalam mata pelajaran di sekolah terutama pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran agama harus mampu mengkristal dalam diri peserta didik. Sehingga nilai-nilai karakter mampu diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Belakangan ini isu yang berkaitan dengan pendidikan karakter sering dibicarakan oleh para praktisi pendidikan, akademisi, guru maupun mahasiswa. Hal ini karena pendidikan

Selama ini telah terpasung oleh kepentingan absolud yang hanya menekankan aspek kecerdasan intelektual, akal, penalaran tanpa diiringi dengan penanaman nilai-nilai karakter semisal kejujuran, toleransi, kecerdasan emosional dan spiritual. Sehingga output dari pendidikan hari ini hanya akan melahirkan pribadi yang pintar namun bobrok dari segi moral. Belum lagi melihat bobroknya instansi-intansi pemerintahan. Bahkan sekelas Kementerian Agama yang merupakan institusi yang berlabel Agama tidak luput dari jeratan kasus korupsi yang menimpa para pemangku jabatan di dalamnya. Hal ini tidak lain karena produk pendidikan khususnya Islam yang tidak mampu menyelesaikan persoalan karakter siswa di sekolah.

Sebelum jauh berbicara mengenai pendidikan karakter, tentu perlu untuk mengetahui definisinya. Yakni sebagaimana yang penjelasan menurut Gunawan dan Heri (2014), bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai

(11)

11

perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesame manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berahlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotic, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.

Adapun menurut Sulistyowati (2012), bahwa pendidikan karakter tidak semata-mata mengajarkan mana yang benar dan salah. Melainkan lebih dari itu, yakni dengan melibatkan psikomotor dan afeksi dalam proses pengembangan diri serta melakukan proses internalisasi dan penghayatan nilai-nilai menjadi sebuah kepribadian yang baik. Artinya dalam sebuah pendidikan karakter diperlukan keterlibatan emosi siswa serta sikap yang baik. Selain itu menurut Haryanto (dalam Islam : 2017), bahwa pendidikan karakter bukan pendidikan yang mengajarkan aspek kognisi tentang pilihan baik maupun buruk. Sedangkan menurut Kesuma (2011) menyatakan bahwa pendidikan karakter merupakan internalisasi nilai-nilai positif melalui proses pembelajaran yang baik dan benar.

Kitab Suci Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia yang di dalamnya terdapat fungsi sebagai huuda (petunjuk) serta bayyinah (penjelas) yang berguna sebagai petunjuk yang telah diberikan, dan juga furqon (pembeda) baik yang haq

(12)

12

(benar) maupun yang bathil (salah). Fungsi yang terdapat dalam Al-Qur’an tersebut tidak lain bertujuan agar manusia dalam mengarungi kehidupan ini senantiasa berlandaskan moral dan akhlak yang terpuji. Selain sebagai muatan nilai moral, Al-Qur’an sendiri juga bermuatan sebagai asas atau fondasi yang kokoh yang diperuntukkan bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini.

Islam senantiasa mengharuskan agar umatnya selalu menjadi umat yang berpendidikan. Oleh karena itu, ilmu merupakan media dan sarana utama untuk membangun kepribadian seorang muslim. Bahkan sejak pertama kali diwahyukan, perintah pertama kali dalam Al-Qur’an adalah seruan untuk membaca. Perintah untuk membaca merupakan salah satu dari proses pendidikan yang diabadikan dalam firman Allah SWT yang juga merupakan wahyu pertama kali turun ialah firman Allah SWT:

َقَلَخ يِذَّلٱ َكِ ب َر ِم ۡسٱِب ۡأ َزۡقٱ ٍقَلَع ۡنِم َن ََٰسنِ ۡلۡٱ َقَلَخ١

٢

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (QS. Al-Alaq (96): 1-2).

Maka berangkat dari ayat di atas hendaknya dapat dijadikan spirit dalam mengemban tugas guru sebagai seorang pendidik. Tentunya tugas guru tidak hanya sebagai media transformasi pengetahuan semata (transfer of knowledge) melainkan juga sebagai media transformasi nilai (transfer of valuei) yakni dengan menumbuhkembangkan nilai-nilai karakter atau pendidikan akhlak.

Al-Qur’an sebagai teks yang di dalamnya terdapat pesan-pesan agama yang bersifat universal tentunya dapat dijadikan landasan pendidikan karakter.

(13)

13

Seperti misalnya nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang akan membuahkan hasil terhadap peserta didik sehingga menjadi insan yang berakhlak mulia.

Adapun mengenai dasar atau landasan mengenai pendidikan karakter dalam Al- Qur’an sejatinya banyak termaktub dalam beberapa surat Al-Qur’an yang berupa nilai kejujuran, keadilan, toleransi, berbakti kepada kedua orang tua, dll. Dengan demikian maka perlu untuk kembali mengeksplorasi nilai-nilai pendidikan karakter dalam Al-Qur’an sebagai pedoman dan sumber nilai kehidupan yang hakiki. Maka dari itu, dengan melihat realitas empirik (das sein) dan realitas teoritik (das sollen) di atas adalah merupakan alas an utama penulis dalam melakukan kajian dengan judul” Nilai-nilai Karakter dalam Al-Qur’an (telaah atas Tafsir Al-Misbah Surat Lukman Ayat 13-19)”.

Pada penelitian ini penulis mencoba mengkaji Tafsir Al-Misbah Karya M.

Quraish Shihab. Hal ini sengaja penulis gunakan karena tafsir ini merupakan salah satu tafsir kontemporer. Sehingga harapannya kajian yang dilakukan relevan dengan perkembangan saat ini, maka diharapkan dengan mengkaji tafsir tersebut juga akan memberikan suatu temuan baru yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Kedepannya besar harapan penulis berangkat dari kajian dan penelitian ini akan memberikan kontribusi dan sumbangsih pemikiran sebagai bentuk pendalaman dan pengkajian yang lebih jauh terhadap makna-makna pendidikan dalam Al-Qur’an sebagai sumber yang utama dan yang pertama bagi pengetahuan pada umumnya serta pendidikan Islam secara khusus.

(14)

14 B. Rumusan Masalah

Mengacu pada uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Apa saja nilai-nilai karakter yang terkandung dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 13-19?

2. Bagaimana proses penanaman nilai-nilai karakter dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 13-19?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini terdapat tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Luqman Ayat 13-19.

2. Untuk mendeskripsikan proses penanaman nilai karakter dalam Al-Qur’an surat Luqman Ayat 13-19.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk memperoleh teori tentang nilai-nilai karakter dalam Al-Qur’an Surat Luqman Ayat 13-19.

(15)

15

b. Hasil dari penelitian ini tentu harapanya dapat dijadikan pijakan dalam pengembangan penelitan berikutnya yang berkaitan dengan tema penelitian yang sama namun berbeda objeknya serta berbeda pula pada aspek analisisnya. Sehingga dapat memperkaya khazanah intelektual terutama pada tema-tema pendidikan karakter yang bersumber dari Al- Qur’an.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai upaya untuk mengentaskan persoalan kemerosotan karakter yang terjadi pada era saat ini.

b. Untuk menambah rasa cinta terhadap Al-Qur’an serta menggali makna- makna tersirat dan tersurat yang terkandung di dalamnya.

c. Sebagai sumbangsih pemikiran terhadap operasionalisasi pendidikan karakter di sekolah pada umumnya dan pada pendidikan Islam khususnya.

d. Bagi para pemerhati pendidikan, Kepala sekolah, guru, murid dan orang tua, harapanya dapat dijadikan sebagai pijakan dalam melaksanakan dan membangun pendidikan karakter yang bersumber dari Al-Qur’an.

e. Bagi peneliti adalah untuk menambah khazanah keilmuan terutama untuk mengembangkan metode berfikir kritis-analisis yang berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan terutama mengenai pendidikan karakter.

(16)

16 E. Definisi Operasional

Berkaitan dengan judul penelitian ini, perlu untuk dilakukan penegasan istilah agar tidak terjadi pembahasan yang melebar serta mis-interpretation.

Selain itu juga dapat memudahkan peneliti nantinya dalam menjabarkan Batasan dalam judul tersebut. Adapun penjabaran Istilah dalam judul penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan

Pendidikan dalam arti yang lebih luas adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan, yang selanjutnya mendorong segala potensi yang ada di dalam diri individu.

(Suhartono & Suparlan : 2006). Adapun pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara terus- menerus dalam situasi apapun yang mengusahakan eksplorasi segala potensi yang ada dalam diri seseorang.

2. Karakter

Karakter menurut menurut Al-Gazali adalah sesuatu sifat yang tertanam dalam jiwa sehingga dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan atau sikap dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran (Arif : 2015). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan secara spontan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu.

3. Pendidikan Karakter

(17)

17

Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. (Gunawan 2014, 4)

Maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah proses pembelajaran untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter peserta didik yang sesuai dengan etika, moral dan akhlak.

Referensi

Dokumen terkait

Pengukuran kinerja usaha adalah proses me- ngukur perkembangan dari parameter-parameter yang ditetapkan sebagai indikator perkembangan. Fungsi pengukuran kinerja

Analisis regresi ini dihitung untuk mengetahui besarnya Pengaruh Persepsi Harga, Kualitas Pelayanan, Lokasi, Brand image dan Kualitas Produk terhadap Keputusan

Anda hanya dapat mengakses jaringan yang menggunakan SSID tersembunyi jika Anda tahu SSID yang benar dan telah membuat jalur akses Internet WLAN untuk jaringan pada perangkat Nokia

Pada Negeri lain di Nusalaut yaitu Titawai, terdapat pula Wisata Bahari Pantai Sirimata, mata air waiputih, perigi tujuh, maupun gua Kaluyu serta Pusat Pulau yang

Pembelajaran ini didesain untuk menghasilkan lintasan belajar dalam pembelajaran materi perbandingan menyelesaikan permasalahan comparison menggunakan konteks

Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.. Penyebab obstruksi dapat

Metode: Penelitian cross-sectional dua kelompok tidak berpasangan. Subjek adalah 54 remaja putri berusia 13-15 tahun dibagi menjadi kelompok sarapan dan tidak sarapan, dan

Persamaan dari penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah menggunakan variabel independen serta dependen yang sama yaitu kesadaranwajib