• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Korespondensi Penulis : Citation Structure Recommendation :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Korespondensi Penulis : Citation Structure Recommendation :"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1276 REKONSTRUKSI SANKSI PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK

PIDANA LINGKUNGAN HIDUP BERPARADIGMA GREEN VICTIMOLOGY

RECONSTRUCTION OF CORPORATE CRIMINAL SANCTIONS IN ENVIRONMENTAL CRIMES WITH A GREEN VICTIMOLOGY

PARADIGM

Sindy Riani Putri N., Shane Evelina dan Diah Ayu Ma’rifatul Jannah

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Korespondensi Penulis : sindy.nurhasanah@mhs.unsoed.ac.id

Citation Structure Recommendation :

Nurhasanah, Sindy Riani Putri dkk.. Rekonstruksi Sanksi Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Berparadigma Green Victimology. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex

Generalis. Vol.2. No.12 (Desember 2021).

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua persoalan, yaitu: 1) Bagaimana urgensi rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup dari paradigma Green Victimology?; dan 2) Bagaimana rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup berparadigma Green Victimology?. Untuk menjawab persoalan tersebut, penulis melakukan penelitian doktrinal menggunakan data sekunder dengan teknik analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) urgensi rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup didasarkan pada belum adanya konsistensi sanksi yang berorientasi pada lingkungan, sehingga sanksi pidana berupa pemulihan tidak berjalan optimal. Mendasarkan pada paradigma green victimology, korban tindak pidana lingkungan hidup sesungguhnya adalah lingkungan hidup. Dengan demikian, sanksi pidana berupa pemulihan perlu ditempatkan sebagai pilihan utama; 2) Rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup berparadigma Green Victimology dapat dilakukan dengan beberapa alternatif diantaranya: menjadikan pemulihan sebagai sanksi pidana pokok atau menegaskan Double-Track System berupa pengenaan sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan, di mana sanksi pidana tambahan yang diwajibkan adalah pemulihan. Adapun apabila sanksi pidana tambahan berupa pemulihan tidak dapat dilakukan, maka sanksi pidana tambahan berupa perampasan aset atau penutupan kegiatan usaha dapat dikenakan sebagai pengganti. Pelaksanaan tindakan pemulihan diawasi oleh jaksa dengan melibatkan berbagai Stakeholder seperti masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan hidup, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.

Kata Kunci: Double-Track System, Green Victimology, Rekonstruksi Sanksi Pidana Korporasi, Tindak Pidana Lingkungan Hidup

(2)

1277 ABSTRACT

This study aims to answer two questions, (1) What is the urgency of reconstructing corporate criminal sanctions in environmental crimes from the green victimology paradigm?; (2) How is the reconstruction of corporate criminal sanctions in environmental crimes with the paradigm of green victimology? To answer this question, the author conducted doctrinal research based on secondary data with qualitative analysis techniques. The research results showed that: (1) The urgency of the reconstruction of corporate criminal sanctions in environmental crimes is based on the absence of consistency in environmental- oriented sanctions,, so that criminal sanctions in the form of recovery do not run optimally. Based on the paradigm of green victimology, victims of environmental crimes are actually the environment. Therefore, criminal sanctions in the form of reparation need to be placed as the main choice; (2) Reconstruction of corporate criminal sanctions in environmental crimes with a green victimology paradigm can be carried out with several alternatives including making recovery the main criminal sanction or affirming the double-track system in the form of imposition of basic criminal sanctions and additional criminal sanctions, where additional criminal sanctions are imposed required is recovery. Meanwhile, if additional criminal sanctions in the form of recovery cannot be carried out, then additional criminal sanctions in the form of confiscation of assets or closure of business activities can be imposed as a substitute. The implementation of the recovery actions was supervised by the prosecutor by involving various stakeholders such as affected communities, environmentalists, and the Ministry of Environment and Forestry of the Republic of Indonesia.

Keywords: Double-Track System, Green Victimology, Reconstruction of Corporate Criminal Sanctions, Environmental Crime

(3)

1278 A. PENDAHULUAN

Keluasan wilayah negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan sokongan potensi sumber daya alam (SDA) yang melimpah meliputi hutan, laut, gas alam, minyak bumi, batu bara, dan mineral merupakan agunan bagi masa depan pembangunan Indonesia dalam kerangka negara kesejahteraan (Welfare State). Akan tetapi melalui kebijakan (beleid) yang berbasis pada paradigma ekonomi global yang menempatkan alam sebagai onggokan komoditas semata, menjadikan keluasan wilayah dan berlimpahnya SDA ini menimbulkan problematika lingkungan hidup yang kompleks. Kegiatan ekstraksi SDA yang eksploitatif dan masif baik legal maupun ilegal telah menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang nyata dan masif pula. Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa Indonesia saat ini telah berada dalam situasi darurat ekologis.1 Pernyataan ini bukan hanya menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia dan ekosistem hari ini, melainkan juga kehidupan generasi dan ekosistem yang akan datang.

Sejak awal tahun 1970, pemerintah Indonesia mulai mengkapitalisasi SDA melalui pengembangan pola eksploitasi SDA modern (State Element) dan perilaku kapital besar (pengusaha pemegang izin atau korporasi) untuk bersama-sama mengeksploitasi potensi SDA secara masif yang konon demi pembangunan ekonomi Indonesia. Hingga saat ini, pemerintah Indonesia masih sangat bergantung pada SDA sebagai tumpuan pembangunan ekonomi negara. Bahkan, sekitar 50% ekspor yang dilakukan Indonesia didominasi oleh hasil dari pengelolaan SDA terutama dari sektor minyak bumi dan gas alam (migas), mineral dan batubara (minerba), minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO), dan karet.2 Namun di sisi lain, kegiatan pengelolaan SDA yang masif dan eksploitatif pada titik tertentu berdampak destruktif terhadap lingkungan hidup.

Pada perjalanannya, status quo ini telah berkontribusi pada terjadinya peristiwa bencana alam yang silih berganti belakangan ini.

1 Khalisah Khalid, Darurat Ekologis, diakses dari https://www.walhi.or.id/darurat-ekologis, diakses pada 14 Juli 2021.

2 Antoni Putra, Kertas Advokasi Kebijakan Atas UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Sumber Daya Alam, Penerbit Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, 2020, p.5.

(4)

1279 Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2020 telah terjadi sebanyak 2.929 bencana alam di Indonesia. Banjir adalah bencana yang menempati posisi tertinggi yakni sebesar 1.067 kasus.3 Selain itu tercatat 300.000 hektar kebakaran hutan dan lahan (karhutla)4, 2.099 peristiwa tanah longsor yang menyebabkan kerusakan rumah sebanyak 1.681 unit5, serta 26 peristiwa abrasi dengan kerusakan rumah mencapai 154 unit.6 Terbaru, banjir bandang melanda di beberapa tempat seperti Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.

Masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia ditengarai banyak dilakukan oleh korporasi.7 Pernyataan ini juga diafirmasi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang menilai bahwa korporasi nasional dan Transnational Companies (TNC’s) menjadi tokoh utama yang berkontribusi terhadap degradasi lingkungan hidup yang terjadi saat ini melalui konsesi atau izin eksploitasi yang dimilikinya. Lebih lanjut, tindakan tersebut dinilai sebagai bentuk kejahatan yang terencana, sistematis, berdampak luas dan tidak bisa dipulihkan. Fenomena ini lantas menjadi perhatian intensif dunia.

Namun, di tengah Stereotipe negatif yang disematkan oleh dunia pada korporasi, pemerintah Indonesia justru memberikan banyak afirmasi bagi korporasi melalui kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dengan justifikasi Investment Boosting.

3 Arie Sunaryo, Perubahan Iklim dan Ekologis Dinilai Jadi Salah Satu Penyebab Bencana di Indonesia, diakses dari https://m.merdeka.com/peristiwa/perubahan-iklim-dan-ekologis-dinilai- jadi-salah-satupenyebab-bencana-di-indonesia.html, diakses pada 16 Juli 2021.

4 Sania Mashabi, Kepala BNPB Sebut Kebakaran Hutan dan Lahan Berkurang 81 Persen, diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/12/29/15020551/kepala-bnpb-sebut- kebakaran-hutan-dan-lahan-berkurang-81-persen/, diakses pada 03 Maret 2021.

5 Anisatul Umah, 1500-an Tanah Longsor Terjadi di Jawa Sepanjang 2020, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20210120180904-4-217538/1500-an-tanah-longsor-terjadi- di-jawa-sepanjang-2020, diakses pada 03 Maret 2021.

6 Jabbar Ramdani, 2.131 Bencana Terjadi di RI Hingga September 2020, Banjir Mendominasi, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-5194995/2131-bencana-terjadi-di-ri- hingga-september-2020-banjir-mendominasi, diakses pada 03 Maret 2021.

7 Rani Hendriana, Nurani Ajeng Tri Utami dan Angkasa, Law Enforcement of Environmental Pollution and Damage, IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, Vol.519, (2020), International Conference Earth Science and Energy, Kuala Lumpur, Malaysia, 7- 8 November 2019, p.1.

(5)

1280 Berbekal Justifikasi Investment Boosting, Fat Omnibus Law ini turut mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Perubahan ini dapat diartikan sebagai indikasi kemunduran (setback) komitmen negara terhadap perlindungan lingkungan hidup.8 Ironisnya, pelemahan ini dilakukan di saat dunia tengah mengarusutamakan investasi yang ramah (Green Investment) dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup dan masyarakat. Tidak ada satu pun negara yang memersepsikan instrumen lingkungan hidup (Environmental Safeguards) sebagai kendala investasi. Bahkan apabila melihat indikator-indikator Ease of Doing Business (EoDB), tidak ada satu pun indikator yang mengorelasikan Environmental Safeguards sebagai penghambat EoDB. Tren dunia justru membuktikan bahwa investor dari negara-negara besar dan negara berkembang dewasa ini semakin menyadari perlunya Green Investment.

Pada waktu yang bersamaan, UU Cipta Kerja juga menderogasi penggunaan instrumen hukum pidana dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Ketentuan pidana pada Pasal 23 UU Cipta Kerja menegaskan bahwa semua sanksi pidana bersifat Ultimum Remedium. Padahal, UU PPLH mengatur sanksi pidana sebagai Primum Remedium pada beberapa tindak pidana lingkungan hidup tertentu. Penjatuhan sanksi denda administratif memang dapat lebih optimal pada saat bahaya yang ditimbulkan relatif kecil. Namun demikian, kehadiran sanksi pidana sebagai Primum Remedium tetap dibutuhkan untuk mengatasi tindakan- tindakan yang berdampak serius. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika banyak orang mengatakan bahwa UU Cipta Kerja nampaknya didesain untuk membuka jalan terjadinya Race to the Bottom dengan mendewakan investasi (kapitalisme).

Sementara itu apabila ditelaah secara seksama, konstruksi sanksi pidana korporasi dalam UU PPLH sebagai produk hukum yang progresif saja belum sepenuhnya berorientasi pada lingkungan hidup. UU PPLH secara Expressive Verbis memang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi dalam ketentuan Pasal 116-119 UU PPLH. Namun, konstruksi sanksi pidana tersebut belum menjamin kepastian hukum terhadap pelaksanaan tindakan pemulihan yang merupakan tindakan esensial atas kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.

8 Mas Achmad Santosa dkk., Analisis UU Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikatan, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Jakarta Pusat, 2020, p.4.

(6)

1281 UU PPLH masih menempatkan sanksi pidana denda sebagai satu-satunya sanksi pidana pokok bagi korporasi. Sedangkan dari perspektif Green Victimology, korban lingkungan hidup adalah mereka dari generasi sekarang atau masa depan yang terluka sebagai akibat kegiatan degradasi fungsi ekologi yang disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian individu maupun kolektif.9 Sehingga, politik hukum perumusan sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup ini seharusnya diorientasikan pada upaya penyelamatan kelangsungan hidup manusia yakni melalui upaya pemulihan lingkungan hidup.

Meskipun, secara normatif Pasal 119 UU PPLH pada prinsipnya telah mengakomodasi tindakan perbaikan/pemulihan sebagai sanksi tambahan, tetapi keberadaan frasa “dapat” dalam Pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum pada tataran Ius Operatum.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Azam Hawari, Deni Daniel dan Marsya Mutmainah H. terhadap beberapa perkara pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dalam kurun waktu 2010-2019, dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum lingkungan hidup khususnya pertanggungjawaban korporasi belum berorientasi pada pemulihan. Dari delapan perkara, hanya satu perkara saja yang dijatuhkan sanksi pidana tambahan berupa perbaikan/pemulihan kepada terpidana. Sanksi denda yang dijatuhkan pada terpidana tersebut memang sangat besar. Namun perlu dicermati, bahwa sanksi pidana denda tidak dapat digunakan untuk perbaikan/pemulihan lingkungan hidup, melainkan hanya sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berlaku pada kejaksaan.10 Sementara sekali lagi, korban dari kerusakan lingkungan hidup adalah lingkungan hidup itu sendiri sebagai penopang kelangsungan hidup manusia dan ekosistem.

Terlebih lagi, konstruksi sanksi pidana tersebut dari sudut pandang tujuan pemidanaan modern bukanlah suatu formulasi yang ideal. 11 Sebab menurut teori gabungan dari van Bemmelen, tujuan pemidanaan adalah sebagai upaya pembalasan (retribusi) sekaligus perlindungan terhadap masyarakat.

9 Rob White, Environmental Victimology and Ecological Justice, dalam Wilson D., Ross S.

(eds), Palgrave Studies in Victims and Victimology, Palgrave Macmillan, London, 2015, p.38.

10 Azam Hawari, Deni Daniel dan Marsya Mutmainah Handayani, Reorientasi Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup melalui Perjanjian Penangguhan Penuntutan, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol.6, No.1 (2019), p.80.

11 Ismail Rumadan, Problem Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.2, No.2 (2013), p.268.

(7)

1282 Beranjak dari ilustrasi singkat tersebut, maka rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup yang berorientasi pada pemulihan lingkungan hidup memiliki urgensi yang tinggi. Apalagi jika ditelisik kembali, eksternalitas negatif dari suatu kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup sangat dimungkinkan tidak hanya terlokalisasi dalam suatu daerah saja, melainkan karena proses alami pergerakan aliran air dan udara. Hal itu dapat menyebar ke lokasi, daerah, negara atau hingga benua lain.12 Bahkan, para peneliti berpendapat bahwa tindak pidana lingkungan hidup merupakan sumber gangguan, bahaya, dan penyakit yang terbesar di antara penduduk dunia dari semua kejahatan yang ada.13 Berdasarkan latar belakang yang terurai di atas, maka terdapat permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana urgensi rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup dari paradigma Green Victimology?

2. Bagaimana rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup berparadigma Green Victimology?

B. PEMBAHASAN

1. Urgensi Rekonstruksi Sanksi Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Berparadigma Green Victimology

Lako sebagaimana dikutip dari Isnan Murdiansyah mengungkapkan bahwa satu di antara tiga pemicu krisis ekologi adalah orientasi pembangunan nasional yang terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi dan profit (kapitalisme) semata.

Orientasi ini juga kemudian berperan terhadap rendahnya kualitas pembentukan regulasi yang mengatur sistem dan tata kelola ekonomi, bisnis dan korporasi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup.14 Pemerintah Indonesia masih terjebak pada logika kapitalisme dan antroposentrisme dengan premisnya bahwa kemakmuran ekonomi menjadi satu-satunya ukuran pembangunan nasional.

12 Rob White, Op.Cit., p.37.

13 Demarco S. Johnson, Kimberly L. Barrett dan Tricia McTague, The Status of Green Criminology In Victimology Research, McNair Scholars Research Journal, Vol.10, No.1 (2017), p.94.

14 Isnan Murdiansyah, Kealpaan Korporasi: Pemerintah Harus Membuat Regulasi yang Mendorong dan Mewujudkan Akuntabilitas Korporasi, diakses dari https://www.republika.id/posts/14493/kealpaan-korporasi, diakses pada 19 Juli 2021.

(8)

1283 Sehingga, permasalahan lingkungan hidup sebagai Conditio Sine Qua Non dari kegiatan ekonomi yang eksploitatif tersebut nampaknya belum menjadi perhatian bagi pemerintah. Padahal, tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan korporasi telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi negara dan pembangunan nasional. Di samping itu, kerugian tersebut tidak hanya dirasakan secara langsung saat ini tetapi juga untuk waktu yang sangat panjang.

Bahkan, akibatnya masih terus bisa dirasakan oleh generasi mendatang.

Rob White mengemukakan bahwa Green Victimology (Viktimologi Hijau) adalah suatu studi mengenai proses yang terjadi dan berkembang dalam masyarakat dan termasuk respons dari lembaga terkait yang mempunyai hubungan erat dengan persoalan yang berkaitan dengan korban dari kejahatan (viktimisasi) lingkungan hidup.15 Christopher William berpandangan bahwa dampak kejahatan lingkungan hidup atau kegiatan merusak lingkungan hidup lainnya adalah salah satu yang mendapat perhatian langka dalam mainstream literature viktimologi. Digunakannya viktimologi lingkungan dan masuk dalam ranah viktimologi ditujukan dalam rangka mengatasi viktimisasi lingkungan hidup.16 Batasan korban atas viktimisasi lingkungan hidup dalam Green Victimology tidak hanya terbatas pada manusia yang dapat dikategorikan sebagai korban, namun juga termasuk non manusia antara lain: hewan, pohon dan sungai yang kesemuanya terjalin dalam ekosistem. Hal ini dikaitkan dengan perspektif Eco Justice yang meliputi keadilan lingkungan (Environmental Justice) dengan korbannya manusia, keadilan ekologi (Ecological Justice) dengan korban khususnya lingkungan hidup di luar manusia dan hewan serta tumbuh-tumbuhan dan keadilan spesies (Species Justice) dengan korbannya adalah hewan dan tumbuh-tumbuhan.17 Mereka mempunyai nilai intrinsik tersendiri, sehingga merupakan entitas yang patut dihargai dan dihormati seperti manusia.18

15 Rob White, Environmental Victimology and Ecological Justice, dalam Wilson D., Ross S. (eds), Crime, Victims and Policy: Palgrave Studies in Victims and Victimology, Penerbit Palgrave Macmillan, London, 2015, p.33-52.

16 Angkasa, Viktimologi, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2020, p.23.

17 Rob White, Green Victimology and Non-Human Victims, International Review of Victimology, Vol.24, Issue 2 (2018), p.14.

18 Rob White, Ibid., p.5.

(9)

1284 Oleh karena itu, kebijakan kriminalisasi yang terjadi dalam hukum lingkungan hidup tidak hanya perlu dilakukan karena berkepentingan terhadap manusia. Namun, kerusakan lingkungan hidup itu sendiri juga harus dianggap sebagai tindak pidana (sosial dan ekologis). Terlepas dari status hukum jika kerusakan dilakukan pada manusia, lingkungan hidup, atau hewan, maka kejadian tersebut harus dianggap sebagai “kejahatan”.19

Regresi justru terjadi dengan disahkannya UU Cipta Kerja. Bahkan, kebijakan ini kontraproduktif terhadap visi dan misi yang disampaikan Presiden Joko Widodo yaitu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau, penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup.20 Pemerintah justru memberikan berbagai afirmasi kepada para pelaku usaha dengan melonggarkan instrumen perlindungan lingkungan hidup. Padahal, pengelolaan SDA merupakan sektor yang erat kaitannya dengan perlindungan lingkungan hidup. Namun, ketentuan UU Cipta Kerja tersebut hanya sebatas mengatur eksploitasi dalam pengelolaan SDA tanpa memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup.

Sebagai langkah sistematis untuk menstimulasi pertumbuhan investasi di Indonesia, UU Cipta Kerja juga telah menderogasi penggunaan instrumen hukum pidana dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Ketentuan pidana di dalam Pasal 23 UU Cipta Kerja mengatur bahwa semua sanksi pidana bersifat Ultimum Remedium. Padahal, dalam UU PPLH diakomodasi juga sanksi pidana sebagai Primum Remedium pada beberapa tindak pidana lingkungan hidup tertentu. Pada dasarnya, penjatuhan sanksi denda administratif memang dapat lebih optimal daripada sanksi pidana pada saat bahaya yang ditimbulkan bagi lingkungan hidup relatif kecil. Akan tetapi, kehadiran sanksi pidana sebagai Primum Remedium tetap dibutuhkan untuk mengatasi tindakan-tindakan yang berdampak serius. Kebijakan legislasi yang turut merevisi pasal-pasal krusial dalam UU PPLH tersebut tentu merupakan indikasi kemunduran komitmen pemerintah Indonesia terhadap perlindungan lingkungan hidup.

19 Pamela Davis, Green Crime and Victimization: Tensions Between Social and Environmental Justice. Theoretical Criminology, Northumbria Research Link (NRL), Vol.18, No.1 (2014), p.7.

20 Madani, Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi, diakses dari https://madaniberkelanjutan.id/2019/07/17/visi-indonesia-melupakan-janji-lingkungan-hidup- jokowi/, diakses pada 21 Juli 2021.

(10)

1285 Sebagaimana diungkapkan Mas Achmad Santosa dan akademisi hukum lingkungan hidup lainnya, UU PPLH merupakan undang-undang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang terbaik karena cukup komprehensif terutama berkaitan dengan penegakan hukumnya, salah satunya adalah penegakan hukum pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi.21 Di samping itu, UU ini juga cukup progresif karena tidak hanya diinstrumentalisasikan untuk menjaga kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya, tetapi juga kelangsungan alam itu sendiri. Sehingga, sifatnya tidak lagi antroposentris atau biosentris, melainkan telah mengarah pada ekosentris. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 119 UU PPLH yang mengatur bahwa:

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;

c. perbaikan akibat tindak pidana;

d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Dengan telah diakomodasirnya sanksi perbaikan (pemulihan lingkungan hidup) sebagai sanksi tambahan/tindakan tata tertib dalam Pasal 119 huruf c UU a quo, maka pada prinsipnya UU a quo telah berparadigma ekosentrisme. Namun, pengaturan tersebut belum memberikan jaminan kepastian hukum bagi kelangsungan lingkungan hidup. Atau dengan perkataan lain, dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum pidana lingkungan hidup yang berparadigma ekosentrisme dan Green Victimology ini masih direpresentasikan setengah hati.

Bahkan, masih jauh dari terwujudnya tujuan yang dicita-citakan UU PPLH itu sendiri. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Keraf bahwa22:

“Segala hal yang diatur dalam UU 32/2009, mulai dari perencanaan sampai pada penegakan hukum, khususnya pidana, tidak lain tidak bukan bertujuan untuk mencapai sasaran akhir menjamin terjaganya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.”

21 ICEL, [Siaran Pers Bersama] Refleksi Sepuluh Tahun Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, Masih Lemah, diakses dari https://icel.or.id/berita/siaran-pers/siaran-pers-bersama-refleksi-sepuluh-tahun- undang-undang-perlindungan-dan-pengelolaan-lingkungan-hidup-penegakkan-hukum-lingkungan- di-indonesia-masih-lemah/, diakses pada 22 Juli 2021.

22 Azam Hawari, Deni Daniel dan Marsya Mutmainah Handayani, Op.Cit., p.2 dalam Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Penerbit PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, p.251.

(11)

1286 Mendasarkan pada pandangan tersebut, seharusnya tindakan perbaikan atau pemulihan menjadi sanksi pidana pokok dan utama bagi korporasi sebagai pelaku, bukan sanksi pidana denda. Mengingat hanya melalui sanksi perbaikan atau pemulihan tersebut, jaminan terjaganya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dapat terwujud. Namun, konstruksi sanksi pidana korporasi dalam UU PPLH masih menempatkan sanksi pidana pokok berupa denda sebagai satu-satunya sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi.

Dewasa ini, sanksi pidana yang dijatuhkan pada tindak pidana lingkungan hidup oleh korporasi masih berorientasi pada pembalasan (retribusi) dan penghapusan rasa bersalah pelaku kejahatan. Namun, pemulihan terhadap lingkungan hidup yang telah rusak tidak terjadi. Begitu pula “pemulihan” pada sikap pelaku kejahatan agar tidak melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan hidup kembali tidak terjadi. Sementara itu, perkembangan teori tujuan pemidanaan dewasa ini telah menunjukkan tren diadopsinya keadilan restoratif, di mana sistem peradilan pidana mencoba mengakomodasi kepentingan korban dan masyarakat.23 Hal ini sejalan dengan teori gabungan dari van Bemmelen yang mengemukakan bahwa terdapat dua tujuan pemidanaan yaitu pembalasan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku dan sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat.24 Oleh karena itu, formulasi sanksi-sanksi pidana yang dapat merepresentasikan kepentingan lingkungan hidup sebagai korban dari tindak pidana lingkungan hidup perlu dipertimbangkan.

Pada prinsipnya, Pasal 119 huruf c UU PPLH membuka kemungkinan penjatuhan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perbaikan akibat tindak pidana. Namun, sanksi pidana tambahan berupa tindakan itu tidak bisa berdiri sendiri melainkan harus selalu berdampingan dengan saksi pidana pokok.

Hal itu membuat para penegak hukum seolah-olah menomorduakan sanksi pidana berupa tindakan tersebut. Penjatuhannya sangat bergantung pada pemahaman dan kebebasan majelis hakim yang memeriksa perkara. Sehingga pada akhirnya, terdakwa jarang dikenakan pidana tambahan berupa perbaikan atau pemulihan.

23 ICEL, Penguatan Pemidanaan yang Sesuai dengan Tujuan Konservasi Keanekaragaman Hayati, Policy Brief 5, Indonesian Center For Environmental Law, Jakarta, 2019, p.2.

24 Ismail Rumadan, Op.Cit., p.268.

(12)

1287 Inkonsistensi tersebut dapat dilihat melalui hasil riset yang dilakukan oleh Azam Hawari dkk. terhadap beberapa perkara pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dalam kurun waktu 2010-2019. Berdasarkan data faktual yang diperoleh, dikemukakan bahwa penegakan hukum lingkungan hidup khususnya pertanggungjawaban korporasi belum berorientasi pada pemulihan. Dari delapan perkara, hanya satu perkara saja yang dijatuhkan sanksi pidana tambahan pemulihan kepada terpidana.25 Meski sanksi pidana denda yang dijatuhkan relatif besar, tetapi perlu digarisbawahi bahwa sanksi pidana denda tidak dapat digunakan untuk pemulihan lingkungan hidup, melainkan hanya sebagai penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kejaksaan.26 Oleh karena itu, sanksi pidana denda tersebut tidak dapat difungsionalisasikan secara langsung untuk melakukan pemulihan terhadap lingkungan hidup yang telah tercemar atau rusak. Sehingga, penurunan kualitas lingkungan hidup tersebut terus terjadi dan terakumulasi menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup generasi hari ini dan generasi mendatang.27 Lebih lanjut, konstruksi sanksi pidana tersebut dari sudut pandang pemidanaan modern bukanlah suatu formulasi yang ideal. Sebab, menurut teori gabungan dari van Bemmelen, tujuan pemidanaan adalah sebagai upaya pembalasan (retribusi) sekaligus perlindungan terhadap masyarakat.28

Mendasarkan ilustrasi yang terangkum di atas, rekonstruksi sanksi pidana korporasi pada tindak pidana lingkungan hidup berparadigma Green Victimology memiliki urgensi yang sangat tinggi. Sebab, salah satu bagian terpenting dalam penegakan hukum pidana lingkungan hidup terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup adalah penentuan jenis sanksi yang harus diorientasikan dan didasarkan pada tujuan pemidanaannya sendiri yaitu untuk menjamin terjaganya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.29

25 Azam Hawari, Deni Daniel dan Marsya Mutmainah Handayani, Reorientasi Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup melalui Perjanjian Penangguhan Penuntutan, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol.6, No.1 (2019), p.80.

26 Azam Hawari, Deni Daniel dan Marsya Mutmainah Handayani, Ibid., p. 80.

27 ICEL, Berbagai Problematika Dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan SDA, Seri Analisis #3, Indonesian Center For Environmental Law, Jakarta, 2020, p.3.

28 Ismail Rumadan, Op.Cit., p.268.

29 Eko Setiawan dan Ifrani, Putusan Pemidanaan sebagai Pengganti Denda yang Tidak Dibayar oleh Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Badamai Law Journal, Vol.4, No.1 (2019), p.61 dikutip dari Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana. Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, p.86.

(13)

1288 2. Rekonstruksi Sanksi Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana

Lingkungan Hidup Berparadigma Green Victimology

Sebagaimana telah diuraikan dalam poin sebelumnya, sanksi pidana korporasi pada tindak pidana lingkungan hidup dalam UU PPLH tidak secara konsisten menginternalisasi paradigma ekosentrisme. Oleh karena itu dalam rangka menjawab problematika permasalahan tersebut, penulis menawarkan rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup berparadigma Green Victimology. Rekonstruksi tersebut dapat dimaknai sebagai penataan ulang atau menata kembali sanksi pidana yang diorientasikan pada lingkungan hidup, yang dapat dilakukan dengan beberapa alternatif diantaranya:

a) Menjadikan Tindakan Perbaikan/Pemulihan sebagai Sanksi Pidana Pokok

Bagian terpenting dalam penegakan hukum pidana lingkungan hidup terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup adalah penentuan jenis sanksi, penjatuhan sanksi dan pelaksanaan pidananya yang semuanya harus diorientasikan serta didasarkan pada tujuan pemidanaannya.30 Sebagaimana dikemukakan oleh Keraf di atas bahwa segala hal yang diatur dalam UU PPLH, terutama dalam penegakan hukum khususnya pidana, harus ditujukan untuk mencapai sasaran akhir menjamin terjaganya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Oleh karena itu, kebijakan penal (Penal Policy) melalui perumusan sanksi pidana korporasi dalam UU PPLH harus dapat mewujudkan tujuan pemidanaan dalam UU PPLH itu sendiri, yaitu melalui sanksi perbaikan/pemulihan terhadap lingkungan hidup yang tercemar/rusak.

Secara normatif, jenis pidana pokok bagi korporasi yang diatur dalam ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 115 UU PPLH hanya berupa sanksi pidana denda. Akan tetapi, upaya rekonstruksi sanksi pidana berupa sanksi perbaikan/pemulihan sebagai sanksi pidana pokok bagi korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup dapat saja diterapkan.

30 Eko Setiawan dan Ifrani, Putusan Pemidanaan sebagai Pengganti Denda yang Tidak Dibayar oleh Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Badamai Law Journal, Vol.4, No.1 (2019), p.61.

(14)

1289 Mengingat ketentuan Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan bahwa:

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”

Hal ini menegaskan bahwa keterikatan undang-undang khusus di luar KUHP terhadap aturan umum (General Rules) dalam Buku I KUHP tidak bersifat mutlak. Dengan demikian, secara a contrario dapat dikemukakan bahwa secara yuridis formal, Pasal 103 KUHP membuka kemungkinan penyimpangan terhadap asas-asas yang telah diatur dalam Buku I KUHP yang berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam undang- undang.31 Oleh karena itu, UU PPLH sebagai undang-undang yang bersifat khusus (Lex Specialis), dalam hal ini bisa saja mengakomodasi sanksi tindakan berupa perbaikan/pemulihan sebagai sanksi pokok bagi korporasi yang bersifat “menyimpang” dari ketentuan dalam KUHP.

Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (Bijzonder Leed) kepada pelanggar supaya ia dapat merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Oleh karena itu, perbedaan prinsip antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan terletak pada ada atau tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada atau tidaknya unsur penderitaan.32 Dengan mendasarkan pada hal tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa ide rekonstruksi sanksi pidana korporasi dengan mengakomodasi sanksi tindakan perbaikan/pemulihan ini tidaklah bertentangan dengan tujuan penjatuhan sanksi pidana itu sendiri.

31 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan, Penerbit Pustaka Magister, Semarang, 2012, p.72.

32 Guntarto Widodo, Sistem Pemidanaan Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Vol.6, No.1 (Maret 2016), p.72.

(15)

1290 b) Penegasan Konsepsi Double-Track System

Di samping menjadikan perbaikan/pemulihan lingkungan hidup sebagai sanksi pidana pokok, upaya rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup yang berparadigma Green Victimology dapat dilakukan dengan alternatif lain yaitu melalui penegasan penerapan Double-Track System yang pada hakikatnya dianut oleh UU PPLH.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gaber dan McAnany, bahwa pidana amatlah penting dan tidak mungkin disingkirkan. Sebab menurut keduanya, ketiadaan sanksi pidana merupakan suatu bentuk memanjakan pelaku. Beranjak dari pemikiran tersebut, maka muncul ide Double- Track System yang mana tidak sepenuhnya memakai satu di antara sanksi pidana dan tindakan, melainkan kedua sanksi tersebut ditempatkan secara setara atau berimbang.33 Sejak saat itu, mulai dikenal sanksi tindakan (Maatregel) sebagai alternatif adanya skeptisisme terhadap keberhasilan

“penjara” sebagai salah satu bentuk hukuman atau sanksi.

Dalam konteks penegakan hukum pidana lingkungan hidup, UU PPLH secara Expressive Verbis telah mengakomodasi konsep Double-Track System yakni penjatuhan sanksi pidana beserta tindakan secara bersamaan kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam Pasal 119 UU PPLH.34 Akan tetapi, keberadaan frasa

“dapat” yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 119 UU PPLH tersebut membuat hakim tidak terikat untuk menerapkannya dalam suatu putusan.

Dengan demikian, penerapan Double-Track System ini sangat bergantung pada pemahaman dan kebebasan majelis hakim dalam memeriksa perkara. Bahkan, pada akhirnya terdakwa jarang dikenakan pidana tambahan. Di samping itu, perumusan jenis sanksi pidana tambahan yang tidak bersifat hierarkis semakin mempersulit penerapan sanksi pidana korporasi yang berorientasi pada lingkungan hidup sebagai korban.

33 Yaris Adhial Fajrin, Ach. Faisol Triwijaya dan Moh. Aziz Ma’ruf, Double Track System bagi Pelaku Tindak Pidana Berlatar Belakang Homoseksualitas (Gagasan dalam Pembaruan Hukum Pidana), Jurnal Negara Hukum, Vol.11, No.2 (2020), p.182.

34 Hariman Satria, Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Jurnal Yudisial, Vol.10, No.2 (2017), p.169.

(16)

1291 Hakim tak jarang memilih alternatif sanksi pidana tambahan lain dan mengesampingkan sanksi tambahan berupa perbaikan/pemulihan.35 Padahal, lingkungan hidup yang merupakan korban yang sesungguhnya juga harus mendapatkan keadilan.

Berangkat dari kenyataan tersebut, maka perlu adanya penegasan terhadap rekognisi konsep Double-Track System dalam tindak pidana lingkungan hidup oleh korporasi yang berorientasi pada lingkungan hidup, yaitu dengan mengubah frasa “dapat” menjadi frasa “wajib” dan menempatkan sanksi perbaikan/pemulihan secara hierarkis pada opsi pertama dalam jenis sanksi pidana tambahan pada Pasal 119 UU PPLH.

Hal ini bertujuan agar adanya suatu keharusan (kewajiban) bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana tambahan berupa perbaikan/pemulihan terhadap lingkungan hidup yang rusak/tercemar akibat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Hal itu tidak lain merupakan manifestasi dari jaminan terselenggaranya konsep Double-Track System dalam UU PPLH yang berparadigma Green Victimology. Adapun apabila sanksi pidana tambahan berupa pemulihan tidak dapat dilakukan oleh korporasi, maka sanksi pidana tambahan yang bersifat setara dan represif yakni berupa perampasan aset atau penutupan seluruh atau sebagian kegiatan usaha dapat dijadikan sebagai sanksi subsider.

Sebagai suatu bagian yang integral dari penegakan hukum pidana, rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup yang berparadigma Green Victimology ini juga perlu ditunjang oleh pengaturan mengenai pelaksanaan konsepsi tersebut di tataran operasionalnya. Pelaksanaan sanksi perbaikan/pemulihan yang dilaksanakan oleh korporasi ini akan berada di bawah pengawasan jaksa yang dalam hal ini telah ditetapkan oleh KUHAP sebagai eksekutor terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 270 juncto Pasal 1 butir 6a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

35 Lihat selengkapnya pada Azam Hawari, Deni Daniel, Marsya Mutmainah Handayani, Reorientasi Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup Melalui Perjanjian Penangguhan Penuntutan, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol.6, No.1, (2019).

(17)

1292 Sebagai langkah preventif jangka panjang, pelaksanaan perbaikan/pemulihan lingkungan hidup tersebut idealnya mengakomodir partisipasi publik dari berbagai Stakeholder yang terdiri dari masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan hidup, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai representasi pemerintah dalam penyelenggaraan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

Dengan implementasi metode ini diharapkan akan menjadi wadah yang dapat mempertemukan korporasi (pelaku) dalam satu forum dengan stakeholder yang mewakili lingkungan hidup sebagai korban. Hal tersebut, diharapkan dapat menumbuhkan empati di antara kedua belah pihak sehingga dapat melahirkan penyelesaian yang tuntas dan menyeluruh, serta tidak ada lagi persoalan di kemudian hari. Dengan demikian, penggunaan metode ini sejalan dengan esensi politik kriminal yang dimaksudkan untuk menyelesaikan akar masalah dari suatu tindak pidana, yaitu penyelesaian situasi konflik antar penjahat (pelaku) dan korban.36 Selain itu, penggunaan metode ini juga akan membangun kesadaran dan kepedulian dari masyarakat, pelaku usaha (korporasi), serta pemerintah terhadap esensialitas keberadaan lingkungan hidup bagi keberlangsungan hidup masing-masing pihak dan sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik tersendiri.

C. PENUTUP 1. Kesimpulan

a. Urgensi rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup saat ini didasarkan pada belum adanya jaminan kepastian hukum bagi kelangsungan lingkungan hidup, sehingga sanksi pidana berupa pemulihan tidak berjalan optimal. Padahal dari paradigma Green Victimology, korban tindak pidana lingkungan hidup sesungguhnya tidak lain lingkungan hidup sebagai penopang kehidupan manusia sekaligus sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsik tersendiri.

36 Hartiwiningsih, dkk., Optimalization Law Enforcement of Environmental Crime in Order to Realization of Sustainable Development, South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law, Vol.19, No.4 (Augustus 2019), p.27.

(18)

1293 Di samping itu, konstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup saat ini tidak merefleksikan tujuan yang dikehendaki oleh UU PPLH yang pada prinsipnya mengamanatkan bahwa segala hal mulai dari perencanaan sampai pada penegakan hukum, khususnya pidana, tidak lain bertujuan mencapai sasaran akhir untuk menjamin terjaganya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

b. Rekonstruksi sanksi pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup berparadigma Green Victimology dapat dilakukan melalui beberapa alternatif diantaranya: (a) Menjadikan pemulihan sebagai sanksi pidana pokok; atau (b) Menegaskan konsep Double-Track System berupa pengenaan sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan sebagai suatu keharusan, di mana sanksi pidana tambahan yang diwajibkan adalah pemulihan. Adapun apabila sanksi pidana tambahan berupa pemulihan tidak dapat dilakukan, maka sanksi pidana tambahan berupa perampasan aset atau penutupan kegiatan usaha dapat dikenakan sebagai pengganti. Pelaksanaan tindakan perbaikan/pemulihan ini akan berada di bawah pengawasan jaksa sebagai eksekutor dengan melibatkan partisipasi publik dari beberapa Stakeholder yang terdiri dari masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan hidup dan KLHK.

2. Saran

a. Perlu adanya perbaikan substansi hukum terkait sanksi pidana korporasi yang berorientasi pada kepentingan kelangsungan lingkungan hidup pada UU PPLH, khususnya berkaitan dengan konstruksi sanksi pidana korporasi yang berparadigma Green Victimology melalui beberapa alternatif sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

b. Perlu adanya partisipasi publik yang terdiri dari masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan hidup dan KLHK dalam pelaksanaan tindakan perbaikan/pemulihan lingkungan hidup yang dilakukan korporasi agar dapat melahirkan penyelesaian yang tuntas dan tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.

(19)

1294 DAFTAR PUSTAKA

Buku

Angkasa. 2020. Viktimologi. (Jakarta: Penerbit RajaGrafindo Persada).

Arief, Barda Nawawi. 2012. Kebijakan Formulasi Ketentuan Pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan. (Semarang: Penerbit Pustaka Magister).

D., Wilson, Ross S. (eds). 2015. Palgrave Studies in Victims and Victimology.

(London: Palgrave Macmillan).

ICEL. 2020. Berbagai Problematika Dalam UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan dan SDA. Seri Analisis #3. (Jakarta: Indonesian Center For Environmental Law).

_______. 2019. Penguatan Pemidanaan yang Sesuai dengan Tujuan Konservasi Keanekaragaman Hayati. Policy Brief 5. (Jakarta: Indonesian Center For Environmental Law).

Keraf, Sony. 2010. Etika Lingkungan Hidup. (Jakarta: Penerbit PT Kompas Media Nusantara).

Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana.

Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar).

Putra, Antoni. 2020. Kertas Advokasi Kebijakan Atas UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Sumber Daya Alam. (Jakarta: Penerbit Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)).

Santosa, Mas Achmad. dkk.. 2020. Analisis UU Cipta Kerja Sektor Kelautan dan Perikatan. (Jakarta Pusat: Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI)).

Publikasi

Davis, Pamela. Green Crime and Victimization: Tensions Between Social and Environmental Justice. Theoretical Criminology. Northumbria Research Link (NRL). Vol.18. No.1 (2014).

Fajrin, Yaris Adhial, Ach. Faisol Triwijaya dan Moh. Aziz Ma’ruf. Double Track System bagi Pelaku Tindak Pidana Berlatar Belakang Homoseksualitas (Gagasan dalam Pembaruan Hukum Pidana). Jurnal Negara Hukum.

Vol.11. No.2 (2020).

Hartiwiningsih dkk.. Optimalization Law Enforcement of Environmental Crime in Order to Realization of Sustainable Development. South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law. Vol.19. No.4 (Augustus 2019).

Hawari, Azam, Deni Daniel dan Marsya Mutmainah Handayani. Reorientasi Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup melalui Perjanjian Penangguhan Penuntutan. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia. Vol.6.

No.1 (2019).

Hendriana, Rani, Nurani Ajeng Tri Utami dan Angkasa. Law Enforcement of Environmental Pollution and Damage. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. Vol.519 (2020). International Conference Earth Science and Energy, Kuala Lumpur, Malaysia, 7-8 November 2019.

Johnson, Demarco S., Kimberly L. Barrett dan Tricia McTague. The Status of Green Criminology In Victimology Research. McNair Scholars Research Journal. Vol.10. No.1 (2017).

(20)

1295 Rumadan, Ismail. Problem Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan. Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol.2. No.2 (2013).

Satria, Hariman. Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Jurnal Yudisial.

Vol.10. No.2 (2017).

Setiawan, Eko dan Ifrani, Putusan Pemidanaan sebagai Pengganti Denda yang Tidak Dibayar oleh Korporasi dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup.

Badamai Law Journal. Vol.4. No.1 (2019).

White, Rob. Green Victimology and Non-Human Victims. International Review of Victimology. Vol.24. Issue 2 (2018).

Widodo, Guntarto. Sistem Pemidanaan Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan. Vol.6. No.1 (Maret 2016).

Website

ICEL. [Siaran Pers Bersama] Refleksi Sepuluh Tahun Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, Masih Lemah. diakses dari https://icel.or.id/berita/siaran-pers/siaran-pers-bersama-refleksi-sepuluh- tahun-undang-undang-perlindungan-dan-pengelolaan-lingkungan-hidup- penegakkan-hukum-lingkungan-di-indonesia-masih-lemah/. diakses pada 22 Juli 2021.

Khalid, Khalisah. Darurat Ekologis. diakses dari https://www.walhi.or.id/darurat- ekologis. diakses pada 14 Juli 2021.

Madani. Visi Indonesia Melupakan Janji Lingkungan Hidup Jokowi. diakses dari https://madaniberkelanjutan.id/2019/07/17/visi-indonesia-melupakan-janji- lingkungan-hidup-jokowi/. diakses pada 21 Juli 2021.

Mashabi, Sania. Kepala BNPB Sebut Kebakaran Hutan dan Lahan Berkurang 81

Persen. diakses dari

https://nasional.kompas.com/read/2020/12/29/15020551/kepala-bnpb-sebut- kebakaran-hutan-dan-lahan-berkurang-81-persen/. diakses pada 03 Maret 2021.

Murdiansyah, Isnan. Kealpaan Korporasi: Pemerintah Harus Membuat Regulasi yang Mendorong dan Mewujudkan Akuntabilitas Korporasi. diakses dari https://www.republika.id/posts/14493/kealpaan-korporasi. diakses pada 19 Juli 2021.

Ramdani, Jabbar. 2.131 Bencana Terjadi di RI Hingga September 2020, Banjir Mendominasi. diakses dari https://news.detik.com/berita/d-5194995/2131- bencana-terjadi-di-ri-hingga-september-2020-banjir-mendominasi. diakses pada 03 Maret 2021.

Sunaryo, Arie. Perubahan Iklim dan Ekologis Dinilai Jadi Salah Satu Penyebab

Bencana di Indonesia. diakses dari

https://m.merdeka.com/peristiwa/perubahan-iklim-dan-ekologis-dinilai-jadi- salah-satupenyebab-bencana-di-indonesia.html. diakses pada 16 Juli 2021.

(21)

1296 Umah, Anisatul. 1500-an Tanah Longsor Terjadi di Jawa Sepanjang 2020.

diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20210120180904-4- 217538/1500-an-tanah-longsor-terjadi-di-jawa-sepanjang-2020. diakses pada 03 Maret 2021.

Sumber Hukum

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573.

Referensi

Dokumen terkait

Sunaryati Hartono tidak mendefinisikan politik hukum secara eksplisit Namun, ia melihat bahwa politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah

“Menjatuhkan pidana terhadap diri para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama dua tahun”, putus Zulfadly dalam persidangan yang digelar Kamis

Menurut ketentuan KUH Perdata, yang dimaksud subjek hukum diperluas menjadi subjek hukum orang/manusia (Natuurlijkpersoon) dan badan hukum (Rechtspersoon). Subjek

Apabila memang diharuskan untuk menerapkan Virtual Police dengan dasar Surat Edaran saja, maka saran yang dapat diberikan oleh penulis untuk menghindari adanya dugaan

10 Ibnu Sutowo memperkenalkan bentuk kontrak dengan bagi hasil ini karena Indonesia pada saat itu merupakan negara yang memiliki kandungan Migas yang

Namun Mahkamah Konstitusi berpendapat pasal lain dalam perkara yang diajukan yaitu Pasal 52 ayat (2) tidak bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia

24 Di Indonesia sendiri, Komoditi Perdagangan Berjangka diatur di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32

Menurut Pasal 5 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian Program Kembali Kerja Serta Kegiatan Promotif