• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Anak"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

23 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Anak 1. Definisi/Pengertian Anak

Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif di Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).11

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberi batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 yang berbunyi belum dewasa adalah

11 Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, 2001, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: CV.

Novindo Pustaka Mandiri, Hal. 5

(2)

24 mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin.12

2. Pengertian Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dikatakan bahwa anak dalah amanah dan karunia tuhan yang maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun social, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Selanjutnya kita dapat melihat perlindungan hak anak di Indonesia dalam UU NO.4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yang bersamaan 3 Pasal 2, ayat 3 dan ayat 4, Undang-Undang Republik

12 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(3)

25 Indonesia No.4 tahun 1979, menjelaskan tentang kesejahteraan anak yang berbunyi sebagai berikut: “anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas pelindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”. Kedua ayat ini dengan jelas menyatakan dan mendorong perlunya adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak.13

Perlindungan anak mempunyai tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendaptkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak di Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.14 Agar tujuan perlindungan anak dapat direalisasikan maka segala aktifitas dan kegiatan pengasuhan anak harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar anak.

13 Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademika Pressindo, Hal. 41

14 Ali Imron, 2012 Penguatan Pendidikan Kesadaran Hukum Perlindungan Anak bagi Guru TPQ RA PAUD dan Madrasah Diniyah se Kecamatan Tugu Kota Semarang, IAIN Walisongo semarang, Hal. 22.

(4)

26 3. Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak

Berdasarkan konvensi Hak Anak yang kemudian diadopsi dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak diantaranya dalam hak-hak anak yaitu:

1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendaptkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam siding tertutup untuk umum;

2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekrasan seksual atau yang behadapan dengan hukum behak dirahasiakan;

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana yang dikenal di dalam Hukum Indonesia sebenarnya berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit, namun

(5)

27 demikian belum ada konsep yang secara utuh menjelaskan definisi strafbaarfeit. Oleh karenanya masing-masing para ahli hukum memberikan arti terhadap istilah strafbaarfeit menurut persepsi dan sudut pandang mereka masing-masing.15

Menurut Wirjono Prodjodikoro16 dalam bukunya asas-asas hukum pidana, wirjono menterjemahkan istilah strafbaarfeit merupakan hal yang sama dengan tindak pidana yakni suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Sedangkan salah satu ahli lainya Simons, merumuskan bahwa strafbaarfeit itu sebenarnya adalah tindakan yang menurut rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.17

Pengertian kejahatan atau tindak pidana menurut Djoko Prakoso18 tindak pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan pelanggarannya dikenakan sanksi” Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau

“kejahatan” (Crime atau Verbrechen atau Misdaad) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi dari pengertian tindak

15 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, Hlm. 69.

16 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta; PT. Eresco, 1981, Hlm. 12

17 Simons, D, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (judul asli: Leerboek van Het Nederlandse Strafrecht) ditrjemahkan oleh P.A.F. Lamintang, Bandung : Pioner jaya, 1992, Hlm. 72 diakses dari http://library.walisongo.ac.id/digilib, pada tanggal 5 Juni 2022. Pukul 22.03 WIB.

18 Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, 1987. Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi dalam Konteks KUHAP. Bina Aksara, Jakarta. hlm 137

(6)

28 pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Sebagai gambaran umum, selanjutnya Djoko Prakoso menyatakan bahwa secara kriminologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, dan secara psikologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.19

Sedangkan menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Sedangkan menurut Roeslan Saleh mengatakan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.20

Secara historis dapat kita jumpai istilah-istilah yang sama dengan strafbaarfeit pada perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia antara lain terdapat di dalam:21

19Ibid

20 Muladi, 1985. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung. hlm. 22

21 Sudarto, Hukum Pidana, 1997, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Hlm.

12.

(7)

29 1. Peristiwa pidana, terdapat dalam ketentuan Undang-undang

Dasar sementara (UUDS) Tahun 1950 pasal 14 ayat 1;

2. Perbuatan pidana, istilah ini dapat ditemukan di dalm UU No.

1 Tahun 1951 pasal 5 ayat 3b mengenai tindakan sementara untuk menyelenggarakan satuan susunan kekuasaan dan acara peradilan-peradilan sipil;

3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, ketentuan ini terdapat dalam Undang-undang Darurat No. 2 Tahun 1951;

4. Hal-hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan- perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, ketentuan ini terdapat dalam Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951 pasal 19, 21 dan 22 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan;

5. Tindak pidana, istilah ini terdapat dalam Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1953 pasal 129 tentang pemilihan umum;

6. Tindak pidana, ketentuan ini terdapat dalam Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1955 pasal 1 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi;

7. Tindak pidana, ketetapan ini terdapat dalam penetapan Presiden No.4 Tahun 1961 pasal 1 tentang kewajiban kerja

(8)

30 bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak pidana.

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Muljatno berpendapat, bahwa lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana, yakni sebuah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.22

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektifdan unsur objektif.Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah:23

1. Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);

2. Maksud atau Voornemenpada suatu percobaan atau poging.

Seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapatdalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,pemalsuan, dan lain-lain;

22 Muljatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, cet. VI, Yogyakarta: Rineka Cipta, Hlm.54.

23 P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 194.

(9)

31 4. Merencanakan terlebih dahulu atau

voorbedachteraadyangterdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut yang antara lain terdapat dalam rumusan tindakpidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif suatu tindak Pidana:

1. Sifat melawan hukum atau wederrechttelijkheid;

2. Kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai seorangpegawai negeri.

3. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagaipenyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Selain itu, unsur-unsur tindak pidana dapat dilihat menurutbeberapa teoretis. Teoretis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum yang tercermin pada bunyi rumusannya. Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman yang menunjukkan bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan pendapat Moeljatno karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dijatuhi pidana.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dalam Hukum Indonesiauntuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu yang secara teori

(10)

32 lebih dikenal dengan istilah unsur-unsur tindak pidana. Jadi seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan memenuhi syarat-syarat tindak pidana ataupun perbuatan pidana. Menurut Sudarto, pengertian unsur tindak pidana hendaknya dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Pengertian yang pertama (unsur) ialah lebih luas dari pada kedua (unsur- unsur). Misalnya unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana pencurian biasa, ialah yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP.24

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari 2 (dua) sudut pandang, yakni: (1) dari sudut teoritis; dan (2) dari sudut undang-undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sementara itu, sudut undang- undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam Pasal-Pasal peraturan perundang- undangan yang ada. Menurut Moeljatno untuk dapat dikatakan adanya perbuatan pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan;

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).25

24 Sudarto, Op.Cit. Hlm 43.

25 Moeljatno, Op.Cit.. Hlm. 57.

(11)

33 Sedangkan menurut R. Tresna, merumuskan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana harus memuat hal-hal seperti di bawah ini:

a. Perbuatan/rangkaian perbuatan manusia;

b. Yang bertentangan dengan pertauran perudang-undangan;

c. Diadakan tindakan hukuman.26

Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat perngertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan), hal ini berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Moeljatno yang menyebutkan bahwa setiap perbuatan pidana itu tidak selalu harus dijatuhi pidana.27

Adapun unsur-unsur tindak Pidana berdasarkan teoriBatasan tindak pidana oleh teoretis, menurut Moeljatno, R.Tresna, Vos yang merupakan penganut aliran monistis dan Jonkers, Schravendijk yang merupakan penganut aliran dualistis. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:28

1. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia;

2. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang;

26 R. Tresna, 1990, Azas-azas Hukum Pidana, cet. ke-3, Jakarta: PT. Tiara, Hlm. 20.

27Ibid.

28 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, Hlm. 98

(12)

34 3. Perbuatan itu bertentangan dengan hukum;

4. Harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan;

5. Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada pembuat.

Hanya perbuatan manusia yang boleh dilarang oleh aturan hukum.

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya.

Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak harus perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana.

3. Tujuan Pemidanaan

Istlilah pemidanaan berasal dari kata “pidana”. Oleh Sudarto, pidana didefinisikan sebagai nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang- undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.29 Definisi tersebut serupa dengan pendapat Roeslan Saleh, bahwa pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestafa yang sengaja ditampakan negara kepada pembuat delik.30

Pemidanaan adalah salah satu bentuk upaya manusia untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan atau pelanggaran yang berat dan istilah pidana mati dalam sejarah hukum

29 Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, hal. 110.

30 Roeslan Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, hal. 5.

(13)

35 pidana merupakan dua komponen permasalahan yang saling berhubungan. Hal ini diwujudkan dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan tertentu (kejahatan berat) dengan hukuman pidana mati.

C. Teori Penanggulangan Tindak Pidana

Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan criminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechts politiek adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.31

Pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahapan yaitu:

31 Sudarto. 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung. Hlm. 22-23.

(14)

36 a) Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai- nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.

b) Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

c) Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparataparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah

(15)

37 ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang- undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.32

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Upaya dalam rangka menanggulangi kejahatan merupakan suatu sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang- undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan suatu gejala dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya.

32 Ibid

(16)

38 Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat (social defence policy). Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu:

a) Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu:

1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.

b) Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan.33

33 Badra Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm. 77-78.

(17)

39 Pada hakikatnya, pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value- oriented approach) karena ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai terhadap sejumlah perbuatan asusila dilakukan dengan mengadopsi perbuatan yang tidak pantas/ tercela di masyarakat dan berasal dari ajaran-ajaran agama dengan sanksi berupa pidana.

Semula suatu perbuatan dianggap tidak tercela, akan tetapi akhirnya masyarakat menilai bahwa perbuatan itu adalah tercela, sehingga terhadap perbuatan itu diancamkan dengan suatu sanksi pidana. Memang tidak mungkin semua perbuatan yang tercela dan sebagainya itu dijadikan tindak pidana. Empat kriteria yang perlu diperhatikan sebelum memberi ancaman pidana (mengkriminalisasi), yaitu tujuan hukum pidana; penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki; perbandingan antara sarana dan hasil;

dan kemampuan badan penegak hukum.

Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial, maka Sudarto berpendapat dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya:34

34 Muladi, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit: Alumni, Bandung, Hlm 161

(18)

40 a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituiil) atas warga masyarakat; Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil”. (cost-benefit principle);

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai tertentu yang perlu dilindungi. Adapun kepentingan- kepentingan sosial yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. pemeliharaan tertib masyarakat;

(19)

41 b. perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;

c. memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;

d. memelihara atau mempertahankan integritas pandangan- pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.35

Ditegaskan selanjutnya oleh Bassiouni, bahwa: Sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan tersebut. Pidana hanya dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat; pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Batas-batas sanksi pidana ditetapkan pula berdasarkan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang mewujudkannya. Jadi dalam hal ini, disiplin hukum pidana bukan hanyapragmatis tetapi juga berdasarkan dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value-based and value-oriented).36

35 Teguh Prasetyo, 2005, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hlm. 53

36 Ibid

(20)

42 Dionysios D. Spinellis, Guru Besar Hukum Pidana dan Kriminologi dari Universitas Athena, Yunani mengemukakan pendapatnya mengenai proses penalisasi atau kriminalisasi suatu perbuatan, yaitu sebagai berikut:37

a) Hukum pidana harus benar-benar terbatas pada tindakan- tindakan serius yang membahayakan kondisi-kondisi kehidupan bersama manusia di masyarakat. Hukum pidana harus memberikan lebih banyak usaha dalam menyelidiki secara seksama kasus-kasus tersebut, sekaligus menjamin hak terdakwa dan hak-hak korban.

b) Dalam proses pemidanaan banyak pelanggaran kecil yang semestinya dikenakan pada sebuah sistem sanksi administratif, tetapi karena sistem tersebut akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang terhadap individu, maka perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Pelanggaran-pelanggaran harus digambarkan secara tepat dalam hukum;

2. Sanksi-sanksi harus ditetapkan setepat mungkin;

3. Para pegawai Negara yang menerapkan sanksi-sanksi tersebut harus cukup mendidik;

4. Sebuah prosedur yang tepat dan sederhana harus ditetapkan;

37 Muladi, Op.Cit, Hlm. 171.

(21)

43 5. Naik banding atau jalan lain di hadapan pengadilan adalah

sebuah kondisi yang sangat diperlukan.

Kebijakan dalam penanggulangan tindak pidana ini diantaranya sebagai bentuk masalah sosial bahkan masalah kemanusiaan maka kejahatan perlu segera ditanggulangi. Upaya penanggulangan kejahatan atau biasa disebut sebagai kebijakan kriminal. Di dalam penanggulangan tindak pidana tidak hanya adanya kebijakan penanggulangan tindak pidana saja tetapi ada juga teori-teori yang mempelajari tentang penanggulangan tindak pidana.

D. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum 1. Divinisi/Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah upaya untuk tegak dan berfungsinya norma dan kaidah hukum secara nyata untuk menjadikannya sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, sebagaimana diketahui bahwa masyarakat memiliki hak dan kewajiban agar nantinya hak dan kewajiban tersebut dipergunakan sesuai aturan dan tidak mencederai hak orang lain, sehingga masyarakat tidak bertindak semena-mena dan dapat tertib sesuai dengan penegakan hukum yang berlaku.

Selanjutnya mengenai divinisi dan pengertian penegakan hukum dapat juga diartikan penyelenggaraan hukum oleh petugas penegak hukum dan oleh setiap orang yang mempunyai kepentingan sesuai dengan kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang

(22)

44 berlaku. Penegakan hukum pidana merupakan satu kesatuan proses diawali dengan penyidikan, penangkapan, penahanan, peradilan terdakwa dan diakhiri dengan pemasyarakatan terpidana.38

Menurut Soerjono Soekanto, mengatakan bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir. Untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.39

Dalam kamus Bahasa Indonesia penegakan hukum berarti mendirikan, pengacara, permasyarakatan atau penjara. Yang berarti penegakan hukum sebagai pendirian atas aturan-aturan hukum yang ada, dan menjadi dasar sanksi atau hukuman yang di terima bagi yang melanggarnya.40 Menurut josep golstein ada tiga penegakan hukum pidana yaitu:

1. Total Enforcment

Merupakan suatu penegakan hukum yang tidak mungkin di lakukan secara total, karena tiap para aparat penegak hukum di batasi oleh hukum acara pidana secara ketat yang di dalamnya mengatur tentang tata cara penggeledahan, penahanan,

38 Harun M. Husen, 1990, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, Hal 58.

39 Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, UI Pres, Jakarta, Hal. 35.

40 Kamus Bahasa Indonesia, M.K. Abdullah. Spd, Jakarta, hal. 18.

(23)

45 pemeriksaan pendahuluan, juga mengatur tata tata cara penyitaan. Sehingga dalam menjalankan tugasnya aparat penegak hukum dapat bersikap adil antar masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya. karena sudah terdapat prosedur prosedur penegakan yang mana hal tersebut sebagai pedoman aparat penegakan hukum untuk menjalakan tugasnya.

2. Full enforcement

Merupakan tuntutan yang harus di lakukan oleh aparat penegakan hukum agar di lakukan secara maksimal. Yang mana tuntutan tersebut bersifat wajib sehingga harus di tuntaskan sebagaimana perintah dan aturan yang ada.

3. Actual enforcement

Keterbatasan dalam upaya penegakan hukum dari segi tidak adanya waktu yang cukup panjang, alat-alat, dana atau personil yang kurang.

Sedangkan Menurut Moeljatno menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana yang mengatakan bahwa penegakan hukum adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara yang mengadakan unsurunsur dan aturan-aturan, yaitu:41

41Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Putra Harsa, Surabaya, Hal 23

(24)

46 a) Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh di lakukan dengan di sertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;

b) Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut;

Dari beberapa pendapat di atas maka penegakan hukum sebagai upaya untuk mengontrol jika terjadi penyimpangan dalam suatu kehidupan bermasyarakat.42 Agar nantinya masyarakat dapat jera dan tidak mengulangi perbuatan yang menyimpang dari aturan yang ada.

Sehingga semua aturan dapat berjalan sebagimana mestinya dan sebagaiman apa yang di harapkan. Hal tersebut menjadikan kehidupan bermasyarakat lebih damai dan sejahtera.

2. Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Adapun yang mejadi Faktor Penegakan Hukum Penulis hendak mengutip salah satu pendapat ahli yaitu Soerjono Soekanto sebagai berikut: 43

42 M. Husein Maruapey, 2013, Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara, Mahasiswa Strata 3 Prodi Administrasi Public UNPAD hal 24

43 Soerjono Soekanto. 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum Cetakan Kelima. Jakarta: Raja Grafindo Persada hal 42

(25)

47 a) Law Factor atau Faktor Hukum

Faktor ini merupakan factor klasik dan kerap terjadi karena pada praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsep keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak masih dapat berganti-ganti, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian.

b) Faktor Penegak Hukum

Selanjutnya adalah faktor pelaksana yaitu penegak hukum yang menjalankan hukum itu sendiri, sebagaimana diketahui bahwa Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.

(26)

48 c) Faktor Sarana dan Prasara

Faktor ini menjadi kepingan puzzle yang wajib ada dalam setiap permasalahan penegakan hukum dan salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.

d) Faktor Civil Society atau Mayarakat

Faktor ini juga tak luput dari perhatian Penulis, sebagaimana diketahui bahwa penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat.

Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat. kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

(27)

49 E. Tinjauan Umum Tentang Hak Asasi Manusia

1. Pengertian Hak Asasi Manusia

Istilah hak asasi manusia adalah terjemahan dari istilah droit de l’

homme (bahasa Perancis) yang berarti “hak manusia”. Hak asasi manusia dalam bahasa Inggris adalah human rights, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan menselijke rechten.44 Di Indonesia pada umumnya dipergunakan istilah “hak-hak asasi” atau “hak-hak dasar” yang merupakan terjemahan dari basic rights (bahasa Inggris) dan grodrechten (bahasa Belanda).

Hak Asasi Manusia, yang selanjut disebut HAM adalah dasar agar dapat terlaksanakannya penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan seseorang, dalam batas-batas yang tidak menyebabkan kerugian maupun penderitaan pada individu lainnya. pemahaman akan pengertian HAM memberikan kita cara bagaimana HAM itu dapat diterapkan dalam dunia nyata. Bukan hanya sekedar tulisan-tulisan di atas kertas saja. 45

HAM adalah hak hukum yang dimiliki orang sebagai manusia yang bersifat Universal, serta tidak memandang apakah orang tersebut kaya-miskin atau laki-laki perempuan.46

44 Joko Sulistyanto, 1997, Hak Asasi Manusia di Negara Pancasila: Suatu Tinjauan Yuridis Normatif tentang Sejarah Hak Asasi Manusia dalam Hubungannya dengan UndangUndang Dasar 1945, Jakarta:

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal. 14.

45 David P. Forsythe, 1993. Hak-Hak Asasi Manusia dan Politik Dunia. Angkasa Edisi Ketiga. Bandung.

46 C. De Roder. Op.cit. Hal. 47.

(28)

50 Secara Definitif unsur normative yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta jaminan adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya.47

Dalam sejumlah kepustakaan istilah hak asasi manusia disebut dengan istilah hak-hak fundamental, sebagai terjemahan dari istilah fundamental rights (bahasa Inggris) dan fundamentele rechten (bahasa Belanda). Di Amerika Serikat disamping dipergunakan istilah human rights juga digunakan istilah civil rights.48

Menurut John Locke hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.49

Menurut Arlina Permanisari menyebutkan bahwa intisari dari hak - hak asasi manusia (hard core rights) atau disebutkan juga sebagai hak - hak yang paling dasar merupakan jaminan perlindungan minimal yang mutlak dihormati terhadap siapapun baik dimasa damai maupun

47 Azyumardi Azra, Op.cit. Hal. 199.

48 Ibid

49 Masyhur Effendi. 1994, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 3.

(29)

51 diwaktu perang Hak - hak yang paling dasar tersebut adalah hak untuk hidup, larangan perbudakan, jaminan peradilan.50

Dalam pasal 1 Undang - undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Pun Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, memberikan pengertian Hak Asasi Manusia yang sama seperti apa disebutkan pada pasal 1 (satu) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999.

2. Unsur-Unsur Hak Asasi Manusia

Berdasarkan beberapa perumusan pengertian Hak Asasi Manusia di atas, diperoleh suatu kesimpulan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu masyarakat atau Negara.

Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) adalah menjaga keselamatan eksistensi

50 Arlina Permanisari, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of The Red Cross, Jakarta, hal. 342.

(30)

52 manusia Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.

Bagir Manan membagi Hak Asasi Manusia kedalam beberapa Kategori, yaitu:51

1. Hak sipil

Hak sipil terdiri dari hak perlakuan yang sama dimuka hukum, hak bebas dari kekerasan, hak khusus bagi kelompok annggota masyarakat tertentu, hak hidup dan kehidupan

2. Hak Politik

Hak politik terdiri dari hak kebebasan berserikat dan berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan hak menyampaikan pendapat dimuka umum.

3. Hak Ekonomi

Hak ekonomi terdiri dari hak jaminan social, hak perlindungan kerja, hak perdagangan, dan hak pembangunan, dan hak pembangunan berkelanjutan

4. Hak Sosial Budaya

51 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat MADANI, Jakarta: Tim ICCE, UIN, Kencana Pranada Media Group, hal. 214

(31)

53 Hak social budaya terdiri dari hak memperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan, dan hak memperoleh perumahan dan pemukiman

Sementara itu, Baharuddin Lopa membagi HAM dalam beberapa jenis yaitu:52

1) Hak persamaan dan kebebasan 2) Hak hidup

3) Hak memperoleh perlindungan 4) Hak penghormatan pribadi 5) Hak menikah dan berkeluarga 6) Hak wanita sederajat dengan pria 7) Hak anak dari orang tua

8) Hak memperoleh pendidikan 9) Hak kebebasan memilih agama

10) Hak kebebasan bertindak dan mencari suaka 11) Hak untuk bekerja

12) Hak memperoleh kesempatan yang sama 13) Hak milik pribadi

52 Ibid

(32)

54 14) Hak menikmati hasil/produk

15) Hak tahanan dan narapidan.

Terkait Hak Asasi di Indonesia dijamin perlindungannya di dalam Konstitusi Indonesia, khususnya sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 28 F dan pasal G ayat (1)”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM, menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah, bahkan negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan kewajiban asas manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan profil kondisi fisik atlet junior Taekwondo Puslatkot Kediri tahun 2016 adalah terdapat 0 atlet (0%) dalam kategori baik sekali, 5

bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (4) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapakali diubah terakhir

menempel di batang yang sudah lapuk. Jenis ini ditemukan di beberapa tempat namun hampir semuanya tumbuh di tempat yang tidak mendapat banyak sinar matahari. Jenis lain yang

Berdasarkan nilai heritabilitas, karakter bobot buah total per tanaman akan efektif jika dilakukan pada generasi awal dengan metode pedigree, dan karakter bobot per buah,

pengembangan kegiatan jasa profesional, jasa perdagangan, jasa pariwisata, dan jasa keuangan di SPK wilayah Bandung Timur, SPK Sadang Serang, dan sisi jalan arteri primer

Masih dalam cabang olahraga yang sama, Dio Novandra Wibawa mahasiswa Fakultas Hukum (FH) UNAIR juga berhasil mengalungi satu emas di nomor pertandingan 100 meter surface

(2) Pengangkatan Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Republik Indonesia untuk menduduki

Dengan mengkombinasikan algoritma RSA dan mode CBC, hasil enkripsi citra digital menjadi lebih optimal tanpa memakan waktu running time yang cukup