• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 3A (21 27), 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 3A (21 27), 2009"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

tUMBUHaN PaKU DI CaGar aLaM BUKIt BUNGKUK, rIaU

sri Hartini

Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor, LIPI Jl. Ir. H. Juanda 13 P.O. BOX 309 Bogor 16003

ABSTRACT

Bukit Bungkuk Nature Reserve is one of conservation area in Riau Province which have some potential plants. Ferns is one group can be found in this area, which several of them are attractive and useful. The aims of this research was to inventory ferns diversity in Bukit Bungkuk Nature Reserve. The method used was explorative. The result showed that there were approximately 30 species of ferns in Bukit Bungkuk Nature Reserve which consist of 25 terestrials and 5 epiphytes. Some of them are potential. The botanical information of some interesting species is presented in this paper.

Key words: ferns, Bukit Bungkuk Nature Reserve, Riau

PENGaNtar

Cagar Alam Bukit Bungkuk merupakan salah satu kawasan konservasi in-situ di Provinsi Riau yang secara administrasi pemerintahan termasuk dalam Kecamatan XIII Koto Kampar dan Kecamatan Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar. Sedang berdasarkan wilayah kerja Konservasi Sumber Daya Alam, kawasan ini termasuk wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah II Balai Koservasi Sumber Daya Alam Riau. Luas secara keseluruhan dari kawasan Cagar Alam yang ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 ini adalah sekitar 20.000 hektar (Anonim, 2007). Kawasan ini terletak pada ketinggian 100-200 m dpl, dengan ekosistem hutan hujan dataran rendah. Kawasan ini memiliki topografi bergelombang dan berbukit-bukit. Sebagian bukitnya merupakan bukit berbatu dengan kemiringan sangat terjal. Dan menurut Kenedie dkk. (2002) barisan perbukitan di kawasan ini ternyata terpisah dari gugusan Bukit Barisan.

Secara umum kondisi hutan CA Bukit Bungkuk masih cukup baik, merupakan hutan primer dan sekunder. PH tanah yang terukur di beberapa kawasan yang dijelajahi berkisar antara 4,5–6,8. Suhu udara rata-rata mulai dari pagi, siang sampai malam hari masing-masing 22° C, 28° C, dan 23° C. Sedang kelembaban udara rata-rata mulai dari pagi, siang sampai malam hari masing-masing 100%, 65%, dan 90%. Kondisi hutan ternaung sampai sangat terbuka. Hutan yang ternaung merupakan hutan yang masih relatif utuh, sedang hutan yang sangat terbuka merupakan hutan yang sudah ditebang habis oleh warga sekitar kawasan dan telah ditanami karet atau gambir (Hartini, 2007).

Keragaman flora yang ada cukup tinggi. Selain ditemukan jenis-jenis flora asli, juga ditemukan jenis-jenis tumbuhan pioner seperti Ficus, Macaranga dan Mallotus.

Di kawasan ini masih dapat dijumpai pohon-pohon dengan ukuran besar. Jenis-jenis pohon yang mendominasi antara lain Hopea, Shorea, Pinanga, Areca, Baccaurea, Artocarpus, Diospyros buxifolius, Dimocarpus, Nephelium, Myristica iners, Polyalthia, Syzygium. Tumbuhan bawahnya didominasi oleh Cyrtandra, Zingiber, Alpinia, Costus, Etlingera, Aglaonema, Schismatoglottis, Homalomena, Maranta, dan Selaginella. Pada bukit-bukit tertentu didominasi oleh jenis tumbuhan tertentu, misalnya bukit dengan Pinanga malaiana dan Nenga pumila, bukit dengan rotannya (Calamus spp.) dan bukit dengan Syzygium.

Pengungkapan flora di CA Bukit Bungkuk dapat dikatakan masih sangat sedikit. Tumbuhan paku merupakan salah satu kelompok taksa yang belum pernah diungkap, baik dari segi keragaman jenis maupun pemanfaatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap keragaman tumbuhan khususnya tumbuhan paku yang terdapat di kawasan tersebut. Hasil dari pengamatan diharapkan dapat dijadikan data awal yang sebelumnya belum pernah terungkap, serta menjadi langkah awal strategi konservasi jenis-jenis tersebut di masa yang akan datang.

BaHaN DaN Cara KErJa

Penelitian tentang keragaman tumbuhan paku di kawasan konservasi CA Bukit Bungkuk Riau dilakukan pada bulan November – Desember 2007. Kawasan yang diamati meliputi Bukit Bungkuk, Bukit Batu, Bukit Apit, Bukit Titian Batu, dan Bukit Muaro Aro yang semuanya terdapat dalam kawasan itu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksploratif. Sebagian jenis tumbuhan paku yang ditemukan diambil koleksi hidupnya untuk dikonservasi di Kebun Raya Bogor. Untuk jenis-jenis yang belum diketahui

(2)

nama jenis, marga maupun sukunya diambil spesimen herbariumnya guna dilakukan identifikasi lebih lanjut.

Adapun parameter pengamatan di lapangan yang digunakan adalah pertelaan jenis yang diamati, data mikro dan makroklimat, serta kegunaannya/ potensinya. Pengamatan ekologi dilakukan dengan cara mengamati, mengetahui, mengukur antara lain letak koleksi, habitat, ketinggian tempat, pH tanah, suhu udara harian rata-rata, dan kelembaban harian rata-rata, dan lain-lain. Data ekologi ini sangat diperlukan untuk mengetahui kondisi alami jenis-jenis yang akan dikoleksi untuk menentukan strategi konservasinya di Kebun Raya Bogor.

HasIL

Berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi terungkap bahwa di kawasan CA Bukit Bungkuk terdapat 30 jenis tumbuhan paku yang terdiri atas 25 jenis paku terestrial dan 5 jenis paku epifit. Ke-30 jenis tersebut disajikan dalam Tabel 1.

Tumbuhan paku di CA Bukit Bungkuk tersebar di seluruh kawasan. Ada jenis-jenis yang hanya terdapat di tempat yang terbuka sampai sangat terbuka dan ada jenis-jenis yang hanya terdapat di tempat ternaung. Hampir semua jenis terdapat di tempat yang cocok untuk dirinya dan hampir tidak ditemukan satu jenispun yang tersebar di seluruh kawasan.

Ada tiga jenis Lygodium yang ditemukan dan dua jenis diantaranya (Lygodium microphyllum dan Lygodium flexuosum) ditemukan di tempat yang sangat terbuka yaitu kawasan hutan yang baru mengalami penebangan dan pembakaran sehingga menjadi kawasan yang siap untuk ditanami. Derajat keasaman tanah di lokasi ini rata-rata sekitar 5,4. Jenis-jenis ini hidup secara bergerombol dan tersebar hampir merata di seluruh kawasan yang terbuka. Banyak diantaranya masih merupakan tumbuhan kecil yang batangnya sudah mulai menjalar-jalar. Tumbuh bersama-sama dengan tumbuhan pioner seperti anakan Mallotus yang sangat melimpah tumbuh di lokasi terbuka ini, serta jenis-jenis tumbuhan semak lainnya. Di kawasan hutan yang masih utuh dengan kondisi yang ternaung jenis ini justru tidak dijumpai. Sedang jenis ketiga yaitu Lygodium circinnatum beberapa kali ditemukan di tempat yang ternaung di lereng-lereng tebing di tepi hutan, dan di dalam hutan tidak ditemukan. Batangnya menjalar-jalar pada tumbuhan lain yang ada di dekatnya.

Paku amo (Adiantum latifloium) ditemukan hanya di satu lokasi. Tumbuh secara bergerombol di tempat basah berbatu yang agak terbuka. Tidak jauh dari jenis ini ditemukan paku epifit Vittaria elongata yang tumbuh

menempel di batang yang sudah lapuk. Jenis ini ditemukan di beberapa tempat namun hampir semuanya tumbuh di tempat yang tidak mendapat banyak sinar matahari. Jenis lain yang hanya satu ditemukan adalah Christensenia aesculifolia dan Schizaea digitata. Christensenia aesculifolia terdapat di tempat yang sangat lembab dan ternaung di dekat aliran sungai kecil bersama-sama dengan Tectaria sp. Sedang Schizaea digitata tumbuh di lantai hutan pada kawasan yang mengalami penebangan total beberapa tahun yang lalu sehingga tumbuhan di lokasi tersebut merupakan tumbuhan pioner yang tingginya sekitar 2-4 m. Jenis ini tumbuh secara bergerombol dalam jumlah yang tidak banyak. Sepintas jenis ini mirip seperti rumput karena daunnya yang berbentuk garis, namun bila diperhatikan secara cermat di bagian ujung daunnya terdapat kelompok sori yang terbelah.

Jenis lain yang terdapat di tempat ternaung adalah Angiopteris evecta, Cyathea sp., Dryopteris sp., Lindsaea sp., Pteris semipinnata, Christensenia aesculifolia, Tectaria crenata dan Taenites blechnoides. Angiopteris evecta yang ditemukan masih dalam bentuk anakan dan tidak ditemukan tumbuhan dewasanya meskipun jenis ini termasuk jenis yang memiliki perawakan besar sehingga dinamakan paku gajah. Sedang jenis-jenis yang terdapat di tempat yang agak terbuka antara lain Diplazium crenato-serratum, Diplazium esculentum, Diplazium xiphophyllum, Dipteris conjugata, Selaginella spp., dan Selliguea enervis. Selliguea enervis termasuk jenis yang hampir tersebar di seluruh kawasan dan populasinya cukup besar. Sedang jenis lain yang tumbuh di tempat agak terbuka ini hanya beberapa kali saja ditemukan. Salah satu jenis Selaginella yang mempunyai perawakan pendek beberapa kali ditemukan namun dalam lokasi yang berdekatan. Jenis ini memiliki perawakan yang menarik dengan lembaran-lembaran lebar menutup permukaan tanah.

Satu jenis yang tidak umum ditemukan di tempat dengan ketinggian sekitar 100 m di atas permukaan laut seperti di kawasan CA Bukit Bungkuk ini adalah jenis Dipteris conjugata. Jenis ini biasanya terdapat di dataran tinggi atau di atas ketinggian 700 m dpl. Namun di lokasi ini Dipteris conjugata dapat tumbuh dan kondisinya sangat subur. Jenis ini ditemukan tumbuh di tepi tebing curam yang bila pagi hari terkena sinar matahari langsung. Tumbuh secara bergerombol dalam jumlah yang tidak terlalu banyak dan hanya ditemukan di satu tempat.

Jenis lain yang ditemukan di tempat terbuka adalah Pityrogramma calomelanos dan Stenochlaena palustris. Pityrogramma calomelanos tumbuh bersama semak-semak kecil di tepi hutan yang telah dibuka untuk area perkebunan. Sedang Stenochlaena palustris ditemukan tumbuh di

(3)

lokasi yang sama dengan lokasi tumbuhnya Lygodium microphyllum dan Lygodium flexuosum. Populasinya cukup besar meskipun pertumbuhannya tidak begitu subur.

Jenis epifit Platycerium coronarium ditemukan tumbuh di cabang pohon besar sekitar 15 m dari atas tanah dalam kondisi perawakan yang sudah sangat besar. Jenis ini

hanya satu kali ditemukan. Sedang jenis Asplenium nidus ditemukan menempel di batang pohon kecil di tepi sungai yang terbuka. Jenis ini juga tidak banyak ditemukan. Demikian juga dengan jenis epifit lainnya Drynaria quercifolia yang ditemukan menempel di pohon besar dengan jumlah yang juga tidak banyak.

tabel 1. Tumbuhan paku yang terdapat di kawasan CA Bukit Bungkuk, Riau

No. Nama Jenis Nama Daerah suku Cara Hidup

1. Adiantum latifolium Paku Amo Adiantaceae Terestrial

2. Angiopteris evecta (G. Forster) Hoffmann Paku gajah Marattiaceae Terestrial

3. Asplenium nidus L. Paku sarang burung Aspleniaceae Epifit

4. Blechnum orientale Linnaeus Paku lipan Blechnaceae Terestrial

5. Christensenia aesculifolia (Bl.) Maxon – Marattiaceae Terestrial

6. Cyathea sp. Paku pohon Cyatheaceae Terestrial

7. Diplazium crenato-serratum – Dryopteridaceae Terestrial

8. Diplazium esculentum (Retz.) Swartz Paku sayur Dryopteridaceae Terestrial

9. Diplazium xiphophyllum – Dryopteridaceae Terestrial

10. Dipteris conjugata Reinw. Sakek kuku elang Dipteridaceae Terestrial

11. Drynaria quercifolia (Linnaeus) Smith Paku daun kepala tupai Polypodiaceae Epifit

12. Dryopteris sp. – Dryopteridaceae Terestrial

13. Lindsaea sp. – Lindsaeaceae Terestrial

14. Lygodium circinnatum (N.L.Burman) Swartz Akar kawek Schizaeaceae Terestrial

15. Lygodium flexuosum (L.) Swartz Akar kawek Schizaeaceae Terestrial

16. Lygodium microphyllum (Cav.) R. Br. Akar kawek Schizaeaceae Terestrial

17. Pityrogramma calomelanos (L.) Link Paku perak Pteridaceae Terestrial

18. Platycerium coronarium (Konig ex Muller) Desvaux Sakai ampali Polypodiaceae Epifit

19. Pteris semipinnata Linnaeus Paku pelandok Pteridaceae Terestrial

20. Pteris sp. – Pteridaceae Terestrial

21. Pyrrosia piloselloides (L.) M.G.Price Paku picisan Polypodiaceae Epifit

22. Schizaea digitata (L.) Sw. Paku kucai Schizaeaceae Terestrial

23. Selaginella sp. Linggonae Selaginellaceae Terestrial

24. Selaginella sp. Linggonae Selaginellaceae Terestrial

25. Selliguea enervis (Cav.) Ching. – Polypodiaceae Terestrial

26. Stenochlaena palustris (Burm.f.) Bedd. Paku sampang Blechnaceae Terestrial 27. Taenites blechnoides (Wild.) Swartz Paku ringin Adiantaceae Terestrial

28. Tectaria crenata Cav. Paku kikir Dryopteridaceae Terestrial

29. Tectaria sp. Paku sigodang Dryopteridaceae Terestrial

30. Vittaria elongata Sw. – Vittariaceae Epifit

PEMBaHasaN

Dari ke-30 jenis tumbuhan paku yang ditemukan di kawasan CA Bukit Bungkuk beberapa jenis sudah dikenal manfaatnya oleh masyarakat sekitar kawasan dan telah dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, dan sebagian lainnya belum dikenal manfaatnya. Contoh

jenis yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat adalah jenis-jenis Lygodium yang diambil batangnya (sebenarnya merupakan tulang daun) sebagai tali pengikat. Selain itu juga jenis-jenis yang dapat dimakan daun mudanya seperti Diplazium esculentum dan Stenochlaena palustris. Berikut ini diuraikan pengetahuan botani beberapa jenis yang dianggap menarik.

(4)

Dipteris conjugata reinw.

Jenis yang termasuk suku Dipteridaceae ini dikenal dengan nama paku payung atau pitagar payung. Merupakan paku terestrial dengan akar rimpang yang menjalar panjang. Daunnya tunggal, berbentuk seperti payung, panjang tangkai daun sampai 200 cm, pada bagian ujung tangkai bercabang menjadi 2 bagian, masing-masing dengan helaian daun yang pecah bercabang di bagian ujung. Daun muda tertutup oleh rambut-rambut berwarna coklat. Sporangium berbentuk bundar, menyebar menutupi permukaan bawah daun (Backer dan Posthumus, 1939). Perawakannya yang menarik membuat tumbuhan ini berpotensi sebagai tanaman hias. Selain itu juga dapat digunakan sebagai obat tradisional.

Jenis ini umumnya tumbuh di daerah pegunungan sampai ketinggian 2.900 m dpl (de Winter and Amorosa, 1992), namun di CA Bukit Bungkuk yang ketinggian tempatnya hanya 100–200 m pakis ini ditemukan. Hal ini merupakan kejadian yang sangat jarang terjadi. Dengan demikian penemuan pakis ini di lokasi ini merupakan data baru tentang rentang ketinggian tempat hidupnya. Jenis ini biasanya tumbuh di berbagai jenis tanah yang tidak subur, seperti tanah berpasir, berbatu dan tanah liat di tempat yang terbuka. Biasanya tumbuh secara berkelompok. Di alam jenis ini tersebar di Indo-China, China, Malaysia, Siam, Indonesia, Kaledonia Baru, dan Australia (de Winter and Amorosa, 1992).

Taenitis blechnoides (Wild.) swartz

Taenites blechnoides termasuk suku Taenitidaceae. Dikenal dengan nama paku ringin, fillet fern, atau ribbon fern. Bersinonim dengan Pteris blechnoides Willd., Taenitis pteroides Skhkuhr, dan Taenitis chinensis Desv (Rosenburgh, 1908). Jenis ini merupakan tumbuhan paku yang dapat tumbuh baik secara terestrial maupun epilitik. Akar rimpangnya menjalar pendek, diameter 4–5 mm, bagian ujung ditutupi rapat oleh bulu-bulu hitam yang panjangnya 2–3 mm. Daun majemuk tunggal, anak daun tersusun berdekatan dalam 2 barisan, 1–12 pasang, dengan 1 daun di bagian ujung. Panjang tangkai daun 40–60 cm. Bentuk helaian anak daun lanset, bagian ujung runcing. Ada dua macam daun yaitu daun steril dan daun fertil. Daun fertil lebih sempit dari daun steril. Tekstur daun kaku dan agak tebal, berwarna hijau tua. Sori terdapat di kanan kiri ibu tulang daun, memanjang di bagian tepi anak daun, tersusun tidak terputus.

Di alam jenis ini tumbuh mulai dari daerah pantai sampai 750 m dpl, di hutan primer maupun sekunder,

di tempat yang kering dan agak ternaung. Di CA Bukit Bungkuk ditemukan pada ketinggian ± 100 m dpl, di tempat ternaung di lereng bukit, tumbuh di sela-sela tumbuhan bawah lainnya. Jenis ini dapat juga hidup di tanah miskin, tanah pasir, tanah liat atau liat berbatu kapur. Daerah penyebarannya mulai dari Sri Lanka dan China Selatan, Asia Tenggara sampai Australia, Vanuatu dan Kepulauan Fiji (de Winter and Amorosa, 1992). Berpotensi sebagai tanaman hias.

Schizaea digitata (L.) sw.

Tumbuhan paku ini jarang sekali ditemukan di hutan. Di CA Bukit Bungkuk jenis ini terdapat di hutan yang telah mengalami penebangan dan hidup bersama dengan jenis-jenis tumbuhan perdu yang tumbuh pasca penebangan seperti Alpinia javanica, Mallotus, Macaranga, Rinorea anguifera, Pavetta sp., Vitex trifolia, Musa salaccensis, dan lain-lain. Di alam jenis ini sering tumbuh di tanah kering yang agak terlindung dan sejuk. Tanah humus berpasir merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhannya, meskipun di tanah yang kurang subur juga tetap dapat tumbuh dengan baik. Di Indonesia paku ini dapat ditemukan ampir di semua kawasan mulai dari dataran rendan sampai ketinggian 1.000 m dpl. Daerah persebarannya meliputi Madagaskar, Asia Tropik sampai ke Polinesia (Sastrapradja dan Afriastini, 1985).

Habitusnya sangat mirip dengan Vittaria ensiformis dari bentuk daunnya. Namun bila diperhatikan posisiNamun bila diperhatikan posisi sporangia dan cara tumbuhnya sangat berbeda. Sporangia Schizaea digitata terletak di ujung daun yang berbentuk seperti jari-jari dan jumlahnya 4–18 buah. Setiap jari panjangnya 2,5–4 cm dan lebar sekitar 1 mm. Di bagian bawah jari terdapat sporangia yang tersusun dalam 4 baris dan menutupi jari-jari tersebut. Cara tumbuhnya juga terestrial dan tegak ke atas. Sedang Vittaria ensiformis tidak memiliki bentuk sporangia seperti pada Schizaea digitata, namun sporangianya berderet di sepanjang tepi daun serta merupakan jenis epifit yang tumbuh menjuntai. Paku Schizaea digitata memiliki rimpang pendek yang mendukung banyak daun. Daunnya berbentuk pita sempit seperti rumput dengan panjang 20–35 cm. Tekstur daun ini kaku dengan permukaan atas agak mengkilap dan hampir tidak bertangkai.

Di kawasan CA Bukit Bungkuk Schizaea digitata tidak dikenal nama daerahnya, namun di daerah Jawa Barat dikenal dengan nama paku kucai karena perawakannya yang mirip dengan tumbuhan kucai. Jenis ini memiliki basinim Acrostichum digitatum Linn.

(5)

Christensenia aesculifolia (Bl.) Maxon

Jenis paku anggota suku Marattiaceae ini di alam juga jarang sekali ditemukan. Jenis yang memiliki basinim Aspidium aesculifolium Bl. dan sinonim Kaulfussia aesculifolia Bl. ini biasanya tumbuh di tempat-tempat yang basah dan sangat ternaung bersama-sama dengan tumbuhan bawah lainnya. Jenis ini tersebar mulai dari Assam menuju ke selatan sampai seluruh Malaysia (Holttum, 1966). Di CA Bukit Bungkuk jenis ini hanya ditemukan satu kali yaitu di dekat aliran sengai kecil di tempat yang sangat lembab dan ternaung. Jenis lain yang berada di dekatnya antara lain salah satu jenis paku Tectaria, palem Arenga brevipes, dan Trevesia burckii.

Habitus Christensenia aesculifolia sangat lembek. Akar rimpangnya menjalar, berdaging, mendukung tangkai-tangkai daun yang saling berdekatan. Tangkai daun berwarna hijau, berdaging, panjang sampai 70 cm, mendukung 3–5 anak daun dengan tangkai pendek yang saling menyatu di ujung tangkai daun. Anak daun di bagian tengah memiliki ukuran paling besar yaitu panjang 6–30 cm dan lebar 10 cm, berbentuk elips, bagian pangkal meruncing dan bagian ujung runcing pendek, bagian tepi rata�� sedang anak daun yang paling tepi paling kecil dengan permukaan bawah berwarna keputihan. Sori terdapat di dekat urat-urat daun, tersusun dalam 2 atau lebih baris yang tidak teratur, masing-masing sori tersusun dalam satu grup berbentuk lingkaran yang terdiri atas 10–20 sporangia.

Vittaria elongata sw.

Jenis ini biasanya menyukai tempat tumbuh di batang-batang pohon yang telah lapuk. Daunnya tunggal, menjuntai indah dengan helaian berbentuk seperti pita. Dalam rumpun yang besar jenis ini menarik untuk tanaman hias tempel. Di CA Bukit Bungkuk jenis ini tumbuh menempel di batang yang sudah lapuk. Jenis ini ditemukan di beberapa tempat namun hampir semuanya tumbuh di tempat yang tidak mendapat banyak sinar matahari. Jenis ini pada umumnya tumbuh sebagai epifit di dataran rendah dii tempat yang ternaung, namun ditemukan juga di daerah pegunungan (Hovenkamp et al., 1998). Jenis yang memiliki sinonim Haplopteris elongata (Swartz) E.H. Crane ini merupakan tumbuhan yang berasal dari daerah tropic dan subtropik mulai dari Afrika sampai Polinesia (Hoshizaki and Moran, 2001).

Vittaria elongata memiliki akar rimpang yang biasanya agak menjalar panjang dengan sisik-sisik sepanjang hampir 1 m yang berwarna mendekati hitam. Daun-daunnya bertangkai jelas, panjang daun umumnya 30–60 cm, kadang

sampai 80 cm atau lebih dengan lebar 7–20 cm dan akan semakin menyempit ke arah kedua ujungnya. Tulang daun jelas terlihat di permukaan atas daun dan kurang begitu jelas di permukaan bawah daun. Sori terdapat di dalam lekukan yang agak dalam di bagian tepi daun dan agak semakin muncul keluar menjelang spora masak.

Platycerium coronarium (Konig ex Muller)

Desvaux

P. coronarium merupakan satu dari 8 jenis Platycerium yang terdapat di Indonesia (Rosenburgh, 1908). Jenis ini disebut juga Platycerium biforme (Hoshizaki and Moran, 2001). Tumbuhan yang di kawasan CA Bungkuk disebut dengan nama Sakai ampali ini termasuk epifit yang kokoh. Akar rimpangnya tertutup daun penyangga. Daun penyangga duduk, tegak, panjang 50–110 cm, lebar 25–55 cm, bagian pangkal tebal, berbentuk jantung, berdaging, bila kering seperti gabus, bagian ujung bercuping, berlekuk dalam, membengkok ke belakang. Daun fertil menjuntai ke bawah, bertangkai, panjang sampai 125 cm atau lebih, bercabang menggarpu 3–7. Mempunyi 4 cuping utama, ujung-ujung daun seperti lidah, tekstur menjangat, permukaan ditutupi oleh sisik-sisik halus berwarna putih. Pada cabang pertama daun fertil terdapat helaian daun berbentuk ginjal atau cawan terbalik, bertangkai, lebar 5–10 cm, berspora. Pada setiap daun hanya terdapat satu bentuk daun ini. Spora terdapat pada permukaan bawah daun.

P. coronarium tersebar luas di daerah tropik meliputi Birma, Thailand, Vietnam, Semenanjung Malaya, Singapura, Indonesia (Riau Archipelago, Bangka, Jawa, Anambas Archipelago, Borneo Utara dan Timur), serta Filipina (Mindoro, Luzon, Samar, Negros, dan Mindanao) (Hennipman & Roos, 1982). Di alam P. coronarium tumbuh menumpang pada cabang-cabang pohon besar di tempat yang terbuka. Biasanya hidup berkelompok, namun menurut Jones (1987) jenis ini tumbuh soliter, dapat ditemukan di hutan-hutan baik hutan primer maupun sekunder, juga di perkebunan-perkebunan dan tempat-tempat yang sudah terganggu lainnya. Di Sumatera dan Kalimantan sering ditemukan tumbuh liar di kebun-kebun karet atau di hutan primer. Dapat tumbuh mulai dari daerah pantai sampai daerah dengan ketinggian 500 m di atas permukaan laut, bahkan ada yang tumbuh sampai ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut (Andrews, 1990). Di CA Bukit Bungkuk jenis ini ditemukan tumbuh di cabang pohon besar sekitar 15 m dari atas tanah dalam kondisi perawakan yang sudah sangat besar. Di lokasi ini P. coronarium hanya satu kali ditemukan.

(6)

Koleksi di Kebun raya Bogor

Dari 30 jenis tumbuhan paku yang ditemukan di kawasan CA Bukit Bungkuk, 24 jenis diantaranya dikoleksi untuk tujuan konservasi. Dari 24 jenis yang dikoleksi tersebut yang merupakan koleksi baru Kebun Raya antara lain Lygodium microphyllum, Lygodium flexuosum, Taenitis blechnoides, Selaginella sp., Dipteris conjugata, Schizaea digitata, Christensenia aesculifolia, Vittaria elongata, dan Lindsaea sp. (Hartini, 2007).

Proses adaptasi jenis-jenis tumbuhan paku hasil eksplorasi tersebut dilakukan di komplek Pembibitan Gedung 9 Kebun Raya Bogor. Semua jenis yang dikoleksi setibanya di Kebun Raya (13 Desember 2007) langsung ditanam di polybag dengan media campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1. Koleksi kemudian ditempatkan di bedeng berparanet untuk diaklimatisasi sebelum ditanam di kebun.

Pengamatan pada bulan pertama beberapa koleksi sudah menghasilkan tunas baru. Bahkan koleksi yang pada saat di lapangan sudah mempunyai tunas, setibanya di Kebun Raya tunas tersebut sudah semakin besar ukurannya. Pengamatan pada bulan-bulan berikutnya menunjukkan pertumbuhan koleksi semakin baik. Metode penyungkupan dan pembersihan tanah pada akar koleksi ternyata merupakan metode yang bagus. Hasilnya koleksi menjadi cepat mengeluarkan tunas atau tunas menjadi tetap tumbuh dan terhindar dari kerusakan. Metode penyungkupan dan pembuangan seluruh tanah pada akar dan kemudian material dimasukkan ke dalam plastik besar (disungkup), merupakan perbaikan dari metode sebelumnya yaitu koleksi diperlakukan seperti pada pengambilan anakan tumbuhan berkayu.

Pengoleksian material berupa anakan (termasuk tumbuhan paku) di lapangan (hutan) biasanya dilakukan dengan cara memutar anakan/tumbuhan beserta tanah yang ada di sekitarnya. Tanah yang menempel di akar diusahakan untuk tetap menempel dan ditambah dengan humus, lalu dibungkus dengan plastik berwarna (plastik hitam) dan diberi label. Pemakaian plastik berwarna ini bertujuan untuk mempetahankan kestabilan auksin dalam akar. Untuk mengurangi penguapan yang berlebihan, sebaiknya dilakukan pengurangan daun atau bagian lainnya. Setelah sampai di camp media diganti dengan moss atau tissue basah. Namun sebelum dibungkus dengan media, tanah yang menempel di akar dibersihkan atau dikurangi terlebih dahulu, kemudian akar direndam dalam larutan perangsang tumbuh akar, misalnya rootone-f, dan kemudian dibungkus dengan plastik. Material kemudian disimpan di tempat yang terlindung dari sinar matahari sampai waktu pengepakan.

Pengamatan pada bulan ke-4 menunjukkan hampir semua koleksi telah menghasilkan daun baru, meski perkembangan daun antar koleksi berbeda. Jenis yang cepat perkembangan daunnya antara lain Lygodium microphyllum, Adiantum latifolium dan Diplazium esculentum. Sedang jenis yang pertumbuhan daunnya lambat yaitu Schizaea digitata, Christensenia aesculifolia, dan Vittaria elongata.

Ketinggian tempat CA Bukit Bungkuk yang hanya 100-200 m dpl. serta kondisi lingkungan yang hampir sama dengan di Kebun Raya Bogor, mendukung pertumbuhan dan perkembangan koleksi tumbuhan paku berjalan dengan baik. Sampai dengan pengamatan bulan ke-7 (Juli 2008), hampir semua koleksi dalam keadaan baik. Satu jenis yang belum berhasil hidup di Kebun Raya adalah Dipteris conjugata. Jenis ini sudah sering dikoleksi namun belum satupun koleksi yang berhasil tumbuh. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penggunaan media yang kurang cocok. Di alam jenis ini biasanya tumbuh di jenis tanah yang miskin hara seperti jenis tanah merah, namun di kebun raya ditanam di media kompos yang sarat dengan nutrisi.

Meskipun demikian belum saatnya koleksi yang sudah bagus dapat ditanam di kebun. Syarat koleksi dapat ditanam di kebun antara lain koleksi benar-benar sudah teradaptasi dengan lingkungan kebun raya, tanaman sudah kelihatan kokoh dan kuat dengan jumlah daun yang cukup, dan tanaman sudah mengalami berbagai pergantian musim sehingga dapat diyakinkan bahwa koleksi memang benar-benar sudah bisa menyatu dengan lingkungan kebun raya. Bahkan dalam waktu setahunpun belum menjamin koleksi dapat ditanam di kebun dengan hasil yang baik. Contoh jenis-jenis anggrek yang dikoleksi dari dataran tinggi dalam satu tahun proses aklimatisasinya di Kebun Raya dapat berjalan dengan baik, namun pada tahun-tahun berikutnya menunjukkan pertumbuhan yang menurun, bahkan beberapa diantaranya khususnya anggrek terestrial ada yang mati. Fenomena seperti ini tidak tertutup kemungkinan juga dapat terjadi pada tumbuhan paku. Untuk itu proses aklimatisasi tumbuhan paku di pembibitan membutuhkan waktu lebih dari satu tahun sebelum pada akhirnya koleksi dapat ditanam di kebun.

KEsIMPULaN

Kawasan konservasi CA Bukit Bungkuk di Provinsi Riau menyimpan kekayaan flora yang tinggi. Tigapuluh jenis tumbuhan paku yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan ditemukan di kawasan ini. Banyak jenis yang belum dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sekitarnya. Upaya pengembangan dan konservasi ex-situnya perlu dilakukan. Kebun Raya Bogor

(7)

sudah berusaha mengonservasi beberapa jenis diantaranya dan proses adaptasinya di Kebun Raya dapat berjalan dengan baik.

KEPUstaKaaN

Andrews SB, 1990. Ferns of Queensland. Brisbane. Queensland Department of Primary Industries.

Anonim, 2007. Kawasan Konservasi Indonesia 2006. Departemen Kehutanan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Sub Direktorat Informasi Konservasi Alam. Bogor.

Backer CA and � Posthumus, 1939. Varenflora Voor Java. Met 1 Titelplaat. Uitgave van�s Lands Plantentuin Buitenzorg Java.

de Winter WP and VB Amorosa (Editors), 1992. Ferns and Fern Allies. Plant Resources of South East Asia 15(2). Bogor. Indonesia.

Hartini S, 2007. Laporan Eksplorasi Flora Nusantara: Eksplorasi dan Penelitian Flora di Cagar Alam Bukit Bungkuk, Riau. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Hennipman E and MC Roos, 1982. A Monograph of the Fern Genus Platycerium (Polypodiaceae). North-Holland Publishing Company. New York.

Holttum RE, 1966. A Revised Flora of Malaya. Vol.II. Ferns of Malaya. Singapore. Authority Government Printing Office.

Hoshizaki BJ and RC Moran, 2001. Fern Grower's Manual. Revised and Expanded Edition. Portland, �regon. Timber Press.

Hovenkamp PH, MTM Bosman, E Hennipman, HP Nootebom, G Rodl-Linder, and MC Roos, 1998. Polypodiaceae. in Flora Malesiana Vol. 3 Series II - Ferns and Fern allies. Rijksherbarium. Leiden. The Netherlands. 1–234. Jones DL, 1987. Encyclopaedia of Ferns. Cromwell Road,

London. British Museum (Natural History).

Kenedie J, M Zanir, Nukman dan H Sasongko, 2002. Buku Informasi Kawasan Konservasi di Provinsi Riau. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau. Pekanbaru, Riau.

Rosenburgh CRWK van Alderwerelt, 1908. Malayan Ferns. Handbook to the Determination of the ferns of the Malayan Islands. The Department of Agriculture Netherlands India. Batavia.

Sastrapradja S dan JJ Afriastini, 1985. Kerabat Paku. Bogor. Lembaga Biologi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Gambar

tabel 1.  Tumbuhan paku yang terdapat di kawasan CA Bukit Bungkuk, Riau

Referensi

Dokumen terkait

Pada terbitan ini kami mempublikasikan judul dan penulis sebagai berikut; Pengaruh Pengobatan Alternatif sebagai Faktor Penyebab Keterlambatan Penanganan Medis Penderita

Emisi karena proses dekomposisi terjadi relatif lambat dibanding proses kebakaran, namun kehilangan simpanan C melalui proses dekomposisi seringkali terlambat disadari,

Konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya, Siti Mariyah Qibtiyah (2013), menunjukan bahwa Profitabilitas, Ukuran perusahaan, Financial Leverage tidak berpengaruh

Akan tetapi, hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut sehingga penelitian selanjutnya diharapkan juga menghitung dosis toksik (LD 50 ) ekstrak Delonix regia. Masing-masing

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen

Dengan demikian, berdasarkan hasil uji regresi atau uji pengaruh yang di- lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh minat bel- ajar terhadap hasil

Tingkat 1 Pasien yang memiliki risiko mengalami kondisi yang memburuk atau mereka yang baru saja dipindahkan dari tingkat perawatan yang lebih tinggi, yang kebutuhannya

Pada pengujian ini dilakukan Non elitism untuk Marmer-Tunua dengan percobaan yang sama yaitu 63 kali menghasilkan 38 kali jarak yang sama dan