• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 7 Kaligrafi Tionghoa, Korea dan Jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 7 Kaligrafi Tionghoa, Korea dan Jepang"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

7.1 Sejarah Kaligrafi Tionghoa

Aksara yang menandai kata mempunyai sebuah ciri yang sangat erat dengan kaligrafi. Pada kaligrafi Tionghoa, menuliskan sebuah kata adalah kaligrafi. Dalam konsep ini kaligrafi

memerlukan suatu teknik tertentu untuk menghasilkan gambar yang diinginkan. Perhatikan contoh kaligrafi di sini, yang diambil dari karya Han Yu.

S e k a l i p u n h a n y a s a t u aksara yang ditampilkan, tetapi fokus perhatian dalam kaligrafi tersebut adalah cara aksara tersebut digoreskan melalui kuas di atas permukaan kertas. Karakter go­ resan pertama kuas di atas kertas, dan saat kuas disapukan ke arah

Bab 7

Kaligrafi Tionghoa,

Korea dan Jepang

(2)

tertentu, lalu dimulai lagi pada bagian lain. Selanjutnya dapat diamati proporsi tebal tipisnya tinta di atas kertas, dan tak kalah pentingnya adalah komposisi dari setiap bagian aksara. Semua mengungkapkan teknik dan citarasa dalam kaligrafi Tionghoa. Ahli kaligrafi Tionghoa berkata, demi memudahkan pemahaman kita, kaligrafi Tionghoa dapat ditempatkan sebagai gambar abstrak. Dengan kata lain, kaligrafi Tionghoa menggunakan aksara Tionghoa sebagai bahan dasar dan mempunyai karakter yang abstrak.

Ciri khusus yang membuat aksara Tionghoa sebagai kaligrafi adalah karena alat untuk menulis aksara berupa kuas, sama dengan yang digunakan oleh pelukis. Penemuan kuas (pit) pada abad ke­3 SM memang memberi­ kan perubahan besar, dan secara revolusioner melahirkan karakter aksara Tionghoa. Bentuk­bentuknya yang bersudut­sudut memungkinkan untuk ditempatkan pada dasar komposisi segi empat. Dan tebal tipisnya garis yang dihasilkan menjadi elemen artistik yang kuat pada kaligrafi Tionghoa.

Aksara Tionghoa yang digunakan sehari­hari berjumlah 2000— 4000. Tetapi tak kurang dari �0.000 aksara diperlukan untuk menuliskanTetapi tak kurang dari �0.000 aksara diperlukan untuk menuliskan kembali tulisan­tulisan klasik. Jumlah aksara yang banyak itu menjadi modal bagi kaligraf untuk menciptakan berbagai ragam kaligrafi.

Membuat sebuah aksara Tionghoa yang dibentuk dengan berbagai goresan, arah, tebal/tipis, dan komposisi keseluruhan, merupakan acuan yang digunakan sebagai standar. Kotak persegi yang dibagi menjadi 9 bagian kotak (Gbr. 7­2) memperlihatkan keseimbangan antar bagian, posisi dari masing­masing bagian, dan porsi yang sesuai. Bagan kotak ini telah diajarkan sejak anak mulai mempelajari aksara Tionghoa. Setiap aksara Tionghoa mempunyai aturan untuk memulai dari bagian mana, dilanjutkan ke bagian ke dua, dan seterusnya hingga selesai. Cara menuliskanCara menuliskan aksara ini menjadi standar, begitu pun bagi kaligraf. Keahlian kaligraf, yang mem­ perlihatkan ekspresi keahlian dan kemampuan individu, terlihat dari setiap aksara yang dituliskan.

Gbr. 7-2: Kotak persegi yang dibagi menjadi 9 bagian untuk penulisan aksara Tionghoa.

(3)

Gambar 7­3 menunjukkan perbandingan antara satu aksara dengan aksara lainnya dalam keseimbangan proporsi dalam kotak­kotak acuan aksara.

Ciri khas penggunakan kuas dalam meng­ goreskan tinta memberikan kemungkinan yang leluasa dalam menghasilkan bentuk titik dan garis. Gambar berikut menyajikan sentuhan kuas dalam menghasilkan bentuk yang diinginkan.

Gbr. 7-4: Kuas yang ditemukan abad ke-3 SM membuka kemungkinan revolusioner dalam penulisan aksara Tionghoa. Gbr. 7-3: Keseimbangan antara satu aksara dengan aksara lainnya di dalam porsi kotak.

(4)

Kekayaan bentuk sapuan kuas diperkaya lagi dengan kemungkinan cara memegang kuas. Setiap cara memberikan kemungkinan untuk keleluasan menggoreskan kuas. Bentuk yang umum digunakan dalam menggunakan kuas terlihat pada gambar berikut ini.

Peranan kaligrafi dalam ke­ budayaan Tionghoa cukup khas jika dibanding dengan seni lain. Penikmat seni lain (seperti tari, musik, teater, patung, dan lukis) hampir tidak bisa menjadi pelaku seni itu sendiri, sedangkan penik­ mat kaligrafi setidaknya memiliki pengetahuan membuat kaligrafi, karena kaligrafi mirip dengan menulis aksara. Bagi masyarakat Tionghoa yang bisa baca tulis pasti mempelajari juga cara menuliskan aksara, yang merupakan dasar kaligrafi.

7.2 Gaya Kaligrafi Tionghoa

Kaligrafi Tionghoa dalam tataran lain ada yang lebih kompleks; lebih banyak unsur yang mem­ bangunnya, begitu juga pesan yang disampaikan melalui kali­ grafi itu. Menurut para ahli, secara umum ada empat gaya dalam kaligrafi Tionghoa: klasik, modern,

neo-klasik, dan avant-garde. Gaya

kaligrafi itu muncul seiring per­ jalanan waktu. Setiap gaya muncul pada masa tertentu dalam sejarah Tiongkok. Sebagai contoh pokok untuk membedakan keempat gaya tersebut mari perhatikan gambar berikut:

Gbr. 7-5: Sikap tangan menentukan goresan.

(5)

Gbr. 7-7: Kaligrafi Tionghoa gaya modern. Gbr. 7-8: Kaligrafi Tionghoa gaya neo-klasik.

(6)

Gaya klasik adalah bentuk yang jelas dan tegas dalam menggunakan

aksara. Gaya klasik juga banyak digunakan sebagai upaya melestarikan nilai­nilai tradisi sebanyak mungkin. Gaya neo-klasik menggunakan bentuk elemen aksara tradisi tapi dengan sentuhan kuas yang kurang tegas, terasa lebih bebas dalam mengutarakan makna tradisi. Begitupun, gaya neo­klasik berusaha untuk menghidupkan elemen klasik dan melakukan penyegaran dalam bentuk dan ekspresi.

Gaya modern mencari pendekatan yang radikal dalam bentuk dan isi

kaligrafi. Keterbacaan aksara menjadi lebih sulit, karena ketegasan yang kokoh seperti klasik diganti dengan gaya yang lebih bebas dan lugas. Sementara gaya avant-garde merupakan pendekatan yang menyingkirkan kaligrafi konvensional. Gaya ini berusaha untuk mencari bentuk ekspresi baru yang belum pernah dilakukan dalam gaya kaligrafi Tionghoa sebelumnya. Bentuk ekspresinya terasa semakin menggunakan berbagai elemen di mana tingkat keterbacaan aksara bukan lagi menjadi utama, dan kaligrafi menjadi lukisan abstrak murni. Peranan warna juga menjadi dominan dalam garapan avant­garde. Penjelasan lebih rinci akan kita lihat dalam berbagai gaya kaligrafi Tionghoa yang dibuat para kaligraf pada zaman tertentu.

Para kaligraf Tionghoa tidak menempatkan diri pada satu aliran sema­ ta. Banyak kaligraf yang menggunakan dua sampai tiga gaya untuk ekspresi kaligrafinya. Kaligraf abad ke­20 umumnya mencoba berbagai ragam gaya kaligrafi. Setiap gaya yang pernah ditemukan masih tetap digunakan sampai sekarang. Dan gaya tradisi yang umum dalam proses belajar menulis aksara lebih dominan digunakan. Dengan kata lain setiap kaligraf biasanya mampu mengekspresikan karyanya dengan gaya tradisi.

Penulisan kaligrafi dilakukan mulai dari atas ke bawah, baris pertama berada di sisi kanan dan baris seterusnya mengalir ke kiri. Bentuk penulisan aksara seperti ini telah dimulai sejak abad ke­8 SM, ketika aksara Tionghoa paling awal digunakan. Sampai sekarang, aturan menuliskan aksara tetap bertahan dengan cara seperti itu, demikian pula dalam kaligrafi. Cara menulis aksara Tionghoa dipahami sebagai upaya untuk mencermati hasil aksara yang telah ditorehkan seraya mempertimbangkan ruang bagian bawah dan kiri yang masih tersedia bagi aksara selanjutnya. Dalam proses penulisan, pertimbangan terhadap bidang yang telah ditorehkan dengan bidang yang masih tersedia menjadi satu keahlian tersendiri yang selalu diajarkan dalam setiap proses pembelajaran kaligrafi.

Banyak kaligraf berpendapat bahwa keahlian kaligrafi hanya bisa dida­ pat dengan latihan terus menerus. Slogan tiada hari tanpa kaligrafi, menjadi motivasi para kaligraf dalam mengembangkan keahlian. Proses belajar

(7)

berlangsung lama, bertahun­tahun bahkan dimulai sejak usia dini. Belajar kaligrafi umumnya dilakukan di bawah bimbingan para ahli, dengan lebih banyak meniru bentuk para ahli kaligraf sebelumnya. Peniruan dilakukan pada tingkat awal. Usaha peniruan dilakukan semirip mungkin, sehingga ekspresi rasa dari kaligraf ahli itu dapat ditangkap dan dikuasi dengan baik. Setelah tahap peniruan berhasil, pelajar kaligraf kemudian dapat mulai mengekspresikan gayanya sendiri. Bentuk karya latihan kaligrafi dapat kita lihat pada gambar berikut ini.

(8)

Setiap jenis aksara (gambar 7­10) ditulis dalam dua baris, dengan tidak menggunakan kotak bantuan. Sebenarnya, kotak tetap ada dalam imajinasi setiap kaligraf tingkat lanjut, dan menjadi acuan dalam menggoreskan bagian­bagian aksara. Kalau kita perhatikan lebih rinci setiap aksara yang “serupa”, tidak ada satu aksara pun yang persis sama (fotokopi). Setiap huruf memunculkan nuansa kecil yang menjadi karakter tersendiri. Namun bagi yang tidak terbiasa membaca aksara Tionghoa akan merasa aksara itu yang serupa. Perbedaan aksara dapat dibedakan dari tebal tipisnya, panjang pendeknya tekanan kuas pada bagian awal dan akhir setiap goresan. Latihan seperti ini dilakukan demi mencapai bentuk aksara dengan komposisi yang seimbang. Tidak ada yang salah dalam penulisan aksara Tionghoa, sehingga tidak perlu ada pengulangan. Satu bagian cukup digoreskan sekali saja. Jika terjadi kesalahan tidak perlu ada stip (penghapus), karenanya ketelitian dan kepastian menjadi unsur penting dalam menggoreskan setiap bagiannya.

7.2.1 Gaya Klasik

Gaya klasik menekankan kerapian dan keteraturan. Gambar di bawah adalah contoh­contoh bentuk klasik dalam tiga zaman. Yang penting dari berbagai gaya klasik ini adalah meski dari kategori yang sama tetapi mereka tetap memberi nuansa dan karakter berbeda. Pada tataran ini kaligrafi klasik tidak cuma meniru semirip mungkin, atau mengabaikan dasar. Yang terpenting adalah ekspresi individu dalam menggoreskan kuas.

Gbr. 7-11: Kaligrafi dari abad ke-18 yang mempunyai ciri yang sama dengan abad ke-7. Perbedaan yang terlihat pada bentuk aksara yang lebih tebal sehingga terasa lebih tegas.

(9)

Gbr. 7-12: Bentuk aksara Tionghoa yang cukup tua. Berasal dari abad ke-7.

Gbr. 7-13: Karya kaligraf abad ke-20 yang menggunakan gaya klasik. Bentuk aksara yang tegas masih terasa, walau bentuk goresan kuas terlihat lebih bebas.

(10)

7.2.2 Gaya Modern

Gaya kaligrafi modern berkembang pada pertengahan tahun 1980­ an. Walau perkembangannya menakjubkan, tetapi cikal bakalnya bisa ditelusuri sejak awal tahun 1960­an. Gagasan pokok yang diusung para kaligraf modern adalah menempatkan kaligrafi lebih sebagai karya lukis. Ciri yang menonjol adalah proporsi setiap bagiannya tidak harus sama. Ciri ketegasan karakter aksara juga menjadi hilang. Perhatikan dua gambar di bawah ini:

Gbr. 7-14: Kesan lukisan lebih menonjol ketimbang tulisan.

(11)

Usaha untuk mencari konvensi baru dalam mengemukakan aspek keindahan yang lebih menonjol dan peranan warna juga muncul. Dalam gaya modern, aturan untuk memulai tulisan dari atas dan dari kanan ke kiri tidak lagi menjadi penting. Tumpang tindih antara aksara bisa dilakukanTumpang tindih antara aksara bisa dilakukan demi mencapai kemungkinan ekspresi baru. Hal ini bisa dilihat dalam gambar berikut.

Penggunaan tinta juga dapat memberikan nuansa yang khas. Garis aksara diberi tekanan melebar atau garis memotong kecil di antara garis lurus.

(12)

Dalam berbagai upaya mencari kemungkinan dan cara baru dalam kaligrafi. dapat dirasakan perubahan kaligrafi dalam berbagai hal. Dan upaya mencari kesepakatan dan bentuk ekspresi itulah yang kemudian menjadi ciri gaya modern.

(13)

7.2.3 Gaya Neo-Klasik

Neo­klasik muncul akhir abad ke­20 sebagai sebuah tanggapan (antisipasi) atas proses modernisasi yang melanda Tiongkok. Kaligrafi, khususnya gaya klasik, mulai diabaikan, padahal telah digunakan lebih dari 2000 tahun. Aspek yang diutamakan dalam neo­klasik adalah tetap memakai gaya klasik sebagai acuan, tetapi dengan penyegaran dalam berbagai cara dan bentuk karakter.

(14)

Sebagian kaligraf memakai ukuran karakter beraneka ragam dan meletakkan hubungan antara aksara dalam posisi baru, sehingga terasa lebih menarik. Gambar di atas menggunakan tinta yang lebih kental dengan aksara yang disusun berpasangan sehingga terasa lain dengan gaya klasik, yang menggunakan jarak kotak yang sama. Ciri ketegasan karakter aksara masih terasa, namun secara keseluruhan tidak terasa sebagai aturan klasik (di mana jarak antara huruf dibagi dalam kotak­kotak yang sama). Dalam gaya neo­klasik ada tumpang tindih dengan gaya yang dikembangkan dalam gaya modern. Hal ini memperlihatkan bahwa batasan antara setiap gaya tidak selalu bisa ditetapkan dengan pasti. Beberapa kaligraf bisa saja menggunakan dua gaya sekaligus.

Gbr. 7-19: Aturan kotak tak jadi ikatan lagi demi mendapatkan bentuk baru.

(15)

Bentuk kaligrafi tersebut masih terinspirasi gaya klasik, tetapi karakter aksara dan proporsi yang digunakan berbeda. Bahkan muncul perbedaan karakter yang sangat individual dalam kaligrafi tersebut. Kaligrafi seperti ini akan lebih kompleks jika dilihat dalam kategori gaya: klasik atau neo­ klasik? Oleh karena kedua unsur itu terkandung di dalamnya.

7.2.4 Gaya “Avant-Garde”

Gaya avant-garde mencoba mencari berbagai kemungkinan lagi—aksara, bentuk susunan, dan proporsi warna—untuk digunakan dalam menghasil­ kan kaligrafi. Gambar berikut ini memberikan kesan itu.

Aksara yang digunakan berasal dari aksara yang sangat tua, piktogram. Susunan dan proporsi aksara tidak lagi mengikuti karakter aksara tradisio­ nal. Latar belakang kertas diberi warna tersendiri, demikian juga dengan tinta yang menggunakan warna putih dan sedikit sekali berwarna hitam. Terasa sekali ada usaha untuk menemukan bentuk dan cara yang berbeda dalam banyak hal. Perkembangan yang muncul dalam gaya avant-garde adalah adanya tantangan kepada pengamat dan penikmat kaligrafi untuk

(16)

melakukan apresiasi dengan cara yang tidak konvensional. Penikmat kali­ grafi harus mencari tahu cara memahami pesan atau makna yang ingin disampaikan oleh kaligraf. Hal ini terjadi, karena kaligraf itu sudah mele­ paskan acuan sebelumnya, yaitu kebiasaan menggunakan kotak imaginatif dalam melihat proporsi dan hubungan antaraksara. Karya avant-garde tidak dilihat dengan kotak imajinatif lagi, karena mereka memang sudah tidak memakai kotak tersebut. Bentuk akasara yang digunakan juga bukan yang digunakan sekarang, dan belum tentu aksara itu bisa dibaca. Keterbacaan aksara menjadi lebih sulit.

Lukisan dan kaligrafi menjadi semakin dekat atau menyatu dalam karya kaligraf, sebagaimana ada dalam contoh berikut :

Gbr. 7-21: Gaya lukisan dan kaligrafi menyatu. Sehingga kita bisa melihat sebagian ada unsur aksara sebagian ada unsur gambar di luar aksara walau juga abstrak.

7.3 Pesan Kaligrafi

Kaligrafi Tionghoa menggunakan unsur aksara, tetapi peran visualnya sering lebih penting dari makna yang terkandung di dalamnya. Peran kaligrafi sering dilakukan bersamaan, antara menampilkan visual yang menarik dan menyampaikan pesan lewat puisi. Kaligraf sekaligus ber­ peran sebagai sastrawan, menuliskan puisi dalam bentuk kaligrafi. Walau banyak pula karya kaligraf yang hanya menulis ulang puisi lama dengan menonjolkan kemahiran karakter kaligrafinya. Kaligrafi dan puisi adalah dua hal yang sering muncul dalam kaligrafi Tionghoa, bergantung pene­ kanan atas karya yang ditampilkan; peranan visual lebih dominan atau peran keduanya (visual dan puisi) sama penting.

(17)

Guo Moruo (1892—1978) sering menuangkan suasana tempat yang pernah dialami ke dalam kaligrafinya yang sarat puisi. Pengalamannya ber­ kunjung ke gunung Wu Yi di Propinsi Fujian, dirangkai dalam menuliskan kaligrafi ini.

(18)

Wang Dongling (lahir tahun 194�— ) yang beraliran modern juga sering menggarap aspek puisi yang menarik. Kaligrafi dengan tinta hitam dibuat dengan kuas yang sangat besar.

Gbr. 7-23: Jejak kuas besar pada kaligrafi karya Wang Dongling.

Keseluruhan luas kaligrafi tersebut adalah 272 x 142 cm. Baris pem­ buka puisinya, aksara lebih kecil, pada halaman yang sama dapat dibaca.

Aspek lain yang tak kalah penting dalam kaligrafi adalah lukisan. Banyak kaligrafi yang mempertimbangkan unsur lukisan, sehingga unsur keseluruhan gambar dibangun oleh 3 hal pokok: kaligrafi, puisi, dan lukisan.

(19)
(20)

7.4 Konteks Kaligrafi

Kemampuan membaca dan menulis aksara yang menjadi dasar kaligrafi Tionghoa tidak dikenal luas di masyarakat. Pada awal abad Masehi (tahun 320) kaligrafi adalah kegiatan para bangsawan dan keluarganya di lingkungan istana dan elit: filosof, raja, panglima, ilmuwan, pendeta, atau keluarga raja. Hasil karya terbaik dari kalangan elit itu sebagian besar telah di koleksi. Koleksi para kaligraf terkenal telah dikumpulkan dan ditata dalam

koleksi sistematis sejak Kaisar Wu (berkuasa tahun �02 SM­490 SM). PadaPada

kerajaan Han (tahun 2� — 220) keinginan untuk mengkoleksi kaligrafi semakin meluas ke luar lingkungan istana. Namun kolektor itu masih dari kalangan elit kerajaan.

Sejarah perjalanan panjang kaligrafi berkembang terutama di lingkungan kerajaan. Seiring berkembangnya sistem administrasi kerajaan, muncul berbagai keperluan pencatatan data, kegiatan, dan pelayanan kerajaan. Dan pekerja administrasi kerajaan semakin bertambah jumlahnya. Salah satu syarat penting adalah kemampuan baca tulis. Orang yang mampu menulis semakin meluas, dan kemampuan menciptakan kaligrafi dijadikan sebagai indikator dari kemahiran petugas. Kaligrafi menjadi syarat untuk mencapai status sosial tinggi. Ini terjadi karena kalangan elit, bahkan raja sendiri membuat kaligrafi. Aspek lain yang dianggap penting dalam meningkatkan status sosial dalam bidang kaligrafi adalah puisi (sastra). Kedua unsur ini diyakini mampu memperlihatkan karakter terdalam pembuatnya. Ahli kaligrafi sudah pasti orang berpendidikan, ahli budaya, dan mempunyai talenta sehingga status sosialnya meningkat. Status kaligraf yang baik (yang mempunyai reputasi) hanya bisa dicapai dengan cara kerja keras, tekun, dan disiplin. Ketika kegiatan tulis menulis semakin meluas, kesempatan menjadi ‘orang besar’ (ahli kaligrafi) dapat pula dicapai rakyat kebanyakan, asal mereka mampu mengusai kaligrafi dengan baik.

Peranan dan posisi kaligrafi masih dipertahankan sebagai sebuah simbol keberhasilan sampai sekarang. Mao Zedong yang berkuasa sejak tahun 1949 dikenal sebagai kaligraf yang baik sebelumnya, serta mempunyai koleksi kaligrafi para ahli bereputasi. Mao sendiri sangat menghargai dan menaruh para kaligraf sebagai orang penting di sekitarnya. Satu contoh yang menarik adalah Chen Bingchen (sekretaris Mao). Nota kesepakatan kerjasama perdamaian dan persahabatan antara Uni Sovyet dan Tiongkok ditulis oleh Chen Bingchen dengan tidak menggunakan mesin ketik.

Pada masa Mao Zedong juga muncul pemahaman bahwa kaligrafi dan kemampuan baca tulis penting untuk penyatuan Tiongkok. Sejak

(21)

masa kepemimpinannya, Mao berusaha untuk tetap menempatkan kali­ grafi sebagai satu sarana meningkatkan status sosial sekaligus pendidikan (termasuk baca tulis) bagi rakyat Tiongkok. Walaupun kemampuan menulis dan kegiatan kaligrafi semakin meluas, pada masa komunis berkuasa, praktek kaligrafi lebih banyak diarahkan untuk kepentingan penguasa. Hasil kaligrafi yang bertentangan dengan pandangan penguasa akan dilarang. Situasi ini berakhir pada masa Deng Xiaoping berkuasa pada tahun 1970. Masa keterbukaan ini berbarengan dengan semakin luasnyaMasa keterbukaan ini berbarengan dengan semakin luasnya hubungan Tiongkok dengan negara­negara lain. Pendidikan juga semakin berkembang dan banyak buku terbitan asing dapat dibeli di Tiongkok. Begitupun, pada tahun 1976 masih terjadi pembunuhan massal mahasiswa yang berdemonstrasi di lapangan Tiananmen. Demi mengenang kekejaman itu kaligraf Huang Miaozi menuliskannya di sini.

Gbr. 7-25: Kaligrafi sekaligus puisi ini berbunyi: ratusan ribu bunga liar telah berserakan, seperti dalam mimpi sekarang harapan rakyat, dengan tekanan mendasar bagai angin dan guntur selayaknya menentukan takdir Tiongkok.

(22)

Pesan kaligrafi yang mencatat pesan pembunuhan mahasiswa tersebut merupakan reaksi keras terhadap penguasa agar merubah nasib Tiongkok di masa depan. Dalam hal ini, kaligrafi memuat kritik sosial yang sangat tepat dengan suasana Tiongkok yang diidamkan rakyat, demi perubahan dalam politik dan ekonomi. Bunga liar pada puisi itu mengacu pada mahasiswa yang melakukan demonstrasi itu, yang sebagian ditembak mati di tempat, bagaikan bunga liar berserakan/berguguran.

Kaligrafi juga banyak digunakan sebagai koleksi pribadi dan ditempat­ kan di dinding rumah tinggal, kantor, dan berbagai ruang lainnya. Kaligrafi yang digantung dengan bingkai dan ditempatkan di dinding tempat tinggal sudah lazim dilakukan. Pada zaman kerajaan masih berkuasapunPada zaman kerajaan masih berkuasapun cara meletakkan koleksi seperti itu telah dilakukan oleh para kaisar dan kalangan elit.

Kaligrafi juga digunakan di luar bangunan, baik berupa tugu, atau makam. Toko yang menjual berbagai barang pun tidak ketinggalan meng­ gunakan kaligrafi dengan banir­banir yang terpampang di depan tokonya. Kaligrafi dalam bentuk banir itu untuk memajang nama toko, barang yang dijual dan sebagainya.

7.5 Kaligrafi Korea dan Jepang

Jejak kaligrafi Korea sulit ditelusuri, karena banyak kaligrafi hancur dalam perang saudara maupun serangan dari negara lain. Pada tahun 19�0 tentara Jepang menyerang Korea dan menghancurkan banyak benda budaya dan monumen bersejarah, termasuk warisan kaligrafi Korea. Beberapa kaligrafi yang masih tersisa dapat memberikan bukti bahwa kaligrafi Korea telah berkembang sejak

mengadopsi aksara Tionghoa (awal abad Masehi). Terlihat dari monumen batu yang mencatat sejarah peng­ gabungan kerajaan Silla tahun 668. Gambar berikut merupakan kaligrafi jiplakan yang dilakukan pada abad ke­8, karya kaligraf Ko­ rea Ouyang Sun (tahun

(23)

Dari bentuk dan komposisinya sulit dibedakan dari kaligrafi Tionghoa sezaman. Hal ini memang tidak bisa dihindari karena mereka menggunakan sistem aksara yang sama.

Bentuk kaligrafi Korea yang lebih baru sangat berbeda dengan kali­ grafi Tionghoa. Perbedaan terlihat dari bagian aksara yang digunakan dan susunan komposisi pada tempat yang melengkung setengah lingkaran. Kaligrafi yang berasal dari abad ke­20 berikut ini terasa khas Korea, karena menggunakan aksara han’gul.

Gbr. 7-27: Kaligrafi Korea yang lebih baru.

Kaligrafi Jepang sudah ditemukan pada abad ke­8, zaman Heian. Contoh kaligrafi terkenal adalah mengenai kata­kata bijaksana dari Buddha. Kaisar Shotoku memerintahkan untuk membuat ribuan kaligrafi dari kata­kata bijaksana Buddha, disebarkan ke seluruh kerajaan, dan bertujuan untuk meredam keinginan memberontak. Bentuk kaligrafinya masih menggunakan aksara Tionghoa sebagaimana terlihat berikut ini.

(24)

Aktivitas penulisan kaligrafi yang juga menonjol pada masa itu adalah menyalin ajaran Buddha di atas kain sutra. Media kain sutra merupakan ciri khas penulisan kaligrafi Jepang.

Searah dengan perubahan aksara dan gaya kaligrafi di Tiongkok, Jepang juga mengikuti perkembangan dengan menggunakan berbagai bentuk aksara seraya mengembangkan ciri khas kanji.

Ada lima karakter aksara di Jepang yang digunakan sebagai materi kaligrafi. Kelima kaligrafi ini digunakan pada masa yang berbeda. Paling kiri (dibaca dari atas ke bawah) adalah bentuk kaligrafi awal yang berasal dari abad ke­7, disebut gaya Tensho. Baris kedua dari kiri, adalah gaya

Reisho, banyak digunakan untuk aksara resmi kerajaan antara abad ke­14

hingga abad ke­16. Baris ketiga, gaya Kaisho, merupakan huruf seperti menyambung, baris keempat, gaya Sosho, dan baris kelima, gaya Gyosho, biasa digunakan untuk aksara nonformal, serta gaya menulis yang cepat.

(25)

Bentuk kaligrafi yang berkembang setelah abad ke­17 dan ke­18, menggunakan huruf Jepang (hiragana), juga menciptakan kaligrafi. Lukisan dan kaligrafi banyak ditemukan dalam kaligrafi Jepang. Perpaduan ini berbeda dengan gaya lukisan di Tiongkok.

(26)

Lukisan pada gambar 7­30 menjelaskan dua orang yang sedang membaca puisi. Kaligrafinya menggunakan gaya Gyosho (ditulis dengan cepat).

Gbr.7-31: Kaligrafi gaya Gyosho.

Kaligrafi yang menggunakan sistem hiragana sangat berbeda dengan gaya yang lebih dekat dengan aksara Tionghoa. Kaligrafi tersebut menggunakan hiragana, dengan sistem huruf fonetik. Hubungan antar huruf terlihat lebih fleksibel dan bebas, dibuat pada tahun 1730 . Bentuk kaligrafi hiragana dianggap sebagai ciri khas Jepang yang tidak terdapat di Tiongkok maupun Korea. Hiragana menggunakan huruf yang kadang menyambung dan juga secara sengaja menciptakan ruang kosong di antara huruf. Ini merupakan keindahan khas gaya hiragana.

Gambar

Gambar berikut menyajikan sentuhan kuas dalam  menghasilkan bentuk yang diinginkan.

Referensi

Dokumen terkait