• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KOMUNITAS PETANI PESISIR DAN PEGUNUNGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT PEDESAAN RAIS SONAJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KOMUNITAS PETANI PESISIR DAN PEGUNUNGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT PEDESAAN RAIS SONAJI"

Copied!
295
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN

KOMUNITAS PETANI PESISIR DAN PEGUNUNGAN

DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN

MASYARAKAT PEDESAAN

(Studi Kasus Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan

Pedesaan di Desa Cigadog, Kec. Cikelet dan Desa Girijaya, Kec.

Kersamanah, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat).

RAIS SONAJI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ; “Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan : Studi Kasus Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan Pedesaan di Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet dan Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut”, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir karya ilmiah ini.

Bogor, Februari 2009

RAIS SONAJI A 152040031

(3)

ABSTRACT

RAIS SONAJI. The Empowerment Dinamics of Coastal and Mountain Peasant community Institutions in Realizing Rural Society Food Security in Garut District. Case Study of Empowerment Dinamics at Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet and Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah, Garut District, West Java.

Under direction of FREDIAN TONNY NASDIAN and HANDEWI PURWATI P.S. RACHMAN

Food crisis and poverty elevation are the main problems of rural community development. The main objective of this research is to analyze the empowerment dynamic of coastal and mountain peasant community institutions to realizing rural community food security. Method used in this research were ”sustainable livelihood” approach and “community empowerment” studies, based on participatory and positive sum approaches, through qualitative and case studies.

The results of the research indicates that: (1) different of sociological and ecological characteristics caused different manner and form of food institutions, relatively, (2) process and results of food security programs implementation at mountain peasant community was relatively more successful in comparison with coastal peasant community, and this phenomenon happened because of institutions capacities in mountain peasant community are relatively more stronger than institutions capacity in coastal peasant community, (3) structures and processes of institutional change in coastal peasant community tends to supporting by two pillars of institution (regulative an normative), meanwhile structures and processes of institutional change in peasant community tends to supporting by three pillars of institution (regulative, normative and cultural-cognitive) continuously, (4) adaptation pattern that was developed by mountain peasant community to solve the food crisis problems, tends to have the character long-range (adaptive mechanism) and sustainable, while the mountain peasant community tends to have short-range (cope mechanism) and unsustainable character, (5) economic institutions characteristic of mountain peasant community expands toward ”gotong-royong” (mutual assistance) economic institution, where the nature of cooperation tend to positive sum, meanwhile economic institutions characteristic of coastal peasant community expand toward ”local capitalist” and “loan-shark” institutions, where the nature of cooperation tend to zero sum, especially for poor peasant.

Keywords : Empowerment Dinamics, Coastal and Mountain Peasant Community, Institution, and Rural Community Food Security.

(4)

RINGKASAN

RAIS SONAJI. Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan : Studi Kasus Dinamika Pemberdayaan Ketahanan Pangan Pedesaan di Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet dan Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh FREDIAN TONNY NASDIAN dan HANDEWI P.S. RACHMAN.

Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhan kebutuhan akan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan pilar utama bagi eksistensi dan kedaulatan sebuah bangsa. Latar belakang dilakukannya penelitian ini adalah mengingat bahwa bangsa Indonesia pada saat ini tengah menghadapi permasalahan pangan yang serius. Permasalahan pangan tersebut tidak hanya terbatas pada sub-sistem produksi, melainkan juga pada sub-sistem distribusi, dan sub-sistem konsumsi. Maka melalui penelitian ini, diharapkan dapat dirumuskan suatu strategi pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan dalam mewujudkan ketahanan pangan bagi komunitas petani pesisir dan pegunungan di Kabupaten Garut.

Penelitian ini memiliki tujuan pokok untuk mengkaji dinamika pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan komunitas petani di pedesaan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan, dengan berbasiskan pada keragaman aspek sosiologis dan ekologis. Sedangkan tujuan spesifik dari penelitian ini adalah untuk : (1) Mengidentifikasi peta sosial dan sumber-sumber kehidupan (human capital, social capital, natural capital, phisycal capital, financial capital) komunitas desa, (2) Mengidentifikasi proses kebijakan dan hasil implementasi program pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa, (3) Mengidentifikasi peran dan menganalisis tingkat partisipasi kelembagaan lokal, intervensi pemerintah dan swasta dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa melalui implementasi Program Desa Mandiri Pangan, (4) Menganalisis dinamika kelembagaan dan aktor (masyarakat, pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi) dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal untuk mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa.

Penelitian ini terutama difokuskan pada studi kelembagaan, maka penelitian ini didasarkan pada paradigma konstruktivisme yang berimplikasi pada penggunaan metode penelitian kualitatif dan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam (indepth interview), diskusi kelompok terarah (focus grup discussion), penelusuran sejarah hidup (life history), pengamatan berpartisipasi (participant observation), studi arsip, dokumen dan studi pustaka. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah model analisis siklus interaktif antara data yang terkumpul, pereduksian data, penampilan data dan penarikan kesimpulan. Agar penarikan kesimpulan memiliki validitas data yang kebenarannya dapat diyakini dan diuji, maka peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber data dan metode.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan pada aspek peta sosial dan sumber-sumber kehidupan (livelihood resources) maka dapat disimpulkan bahwa komunitas petani pesisir relatif memiliki kelebihan dan kekuatan pada modal alam (natural capital), jika dibandingkan dengan komuitas petani pegunungan. Sedangkan komunitas pegunungan relatif memiliki kelebihan dan kekuatan pada modal manusia

(5)

(human capital), kapital sosial (social capital), modal fisik (physical capital), dan modal keuangan (financial capital). Perbedaan dalam kepemilikan/penguasaan sumber-sumber kehidupan di atas, menjadi faktor pembeda dan penyebab mengapa komunitas petani pegunungan relatif lebih tahan pangan dan sejahtera jika dibandingkan dengan komunitas petani pesisir.

Perbedaan karakteristik sosiologis dan ekologis komunitas petani pesisir dan pegunungan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam karakteristik kelembagaan ketahanan pangan yang ada. Perbedaan tersebut terutama terletak pada aspek kapasitas kelembagaan. Dimana kapasitas kelembagaan komunitas petani pegunungan relatif lebih kuat dan efektif jika dibandingkan dengan kelembagaan komunitas petani pesisir. Ditinjau dari aspek sosiologis, faktor yang menyebabkan timbulnya perbedaan kapasitas tersebut adalah karena proses evolusi bersama (co-evolution) kelembagaan komunitas petani pegunungan ditopang oleh tiga pilar kelembagaan (regulative, normative, cultural-cognitive) secara kontinum. Sedangkan pada proses evolusi bersama (co-evolution) kelembagaan komunitas petani pesisir cenderung hanya ditopang oleh dua pilar saja yakni pilar regulative dan normative. Sementara itu, pilar cultural-cognitive nyaris tidak diberi ruang dalam proses perkembangan kelembagaan komunitas petani pesisir, terutama pada masa pemerintahan Orde Baru.

Proses dan hasil program-program pemberdayaan kelembagaan pangan pada komunitas pegunungan relatif lebih baik jika dibandingkan dengan komunitas pesisir. Dimana komunitas petani pegunungan relatif lebih berhasil membangun kelembagaan pangan berkelanjutan berbasis pada pendekatan partisipatif, penguatan jejaring kerjasama (networking) dan sinergy yang bersifat “positive sum” dengan para pemangku kepentingan (stakeholders). Sedangkan komunitas petani pesisir belum berhasil membangun kelembagaan pangan berkelanjutan yang bersifat “positive sum”, dan hal ini disebabkan oleh relatif masih lemahnya (SDM, kapasitas kelembagaan komunitas, kapital sosial, jejaring kerjasama), serta dukungan teknis dan non-teknis dari pemerintahan “atas desa”.

Ditemukan pula perbedaan dalam hal pola adaptasi yang dikembangkan kedua komunitas guna mengatasi kerawanan pangan. Pola adaptasi yang dikembangkan komunitas petani pegunungan cenderung bersifat jangka panjang (adaptive mechanism) yaitu dengan memperkuat sumber-sumber kehidupannya melalui membangun kelembagaan ekonomi yang berkelanjutan dengan berbasiskan pada nilai ”gotong royong” (lumbung paceklik, beras perelek, tabungan, arisan dan lembaga keuangan desa). Sedangkan pada kasus komunitas petani pesisir, pola adaptasi yang dikembangkan cenderung bersifat jangka pendek (coping mechanism) terutama bertujuan untuk mengakses pangan, dengan cara bergantung pada sumberdaya alam yang ada (pertanian dan kelautan) dan meminjam dari tengkulak/bandar. Ditemukannya gejala bahwa kelembagaan ekonomi masyarakat di Desa Girijaya berkembang ke arah kelembagaan “gotong royong” yang sifat jalinan kerjasamanya cenderung “positive-sum”, sedangkan untuk kelembagaan ekonomi masyarakat di Desa Cigadog cenderung berkembang ke arah kelembagaan “kapitalis lokal” atau “rentenir” (loan-shark), dimana jalinan kerjasamanya bersifat “zero-sum”, terutama bagi petani kecil.

Berdasarkan pada hasil-hasil penelitian ini, maka secara teoritis dapat dijelaskan bahwa kondisi ketahanan pangan sebuah komunitas dipengaruhi oleh faktor-faktor : (1) kondisi sumber-sumber kehidupan (human capital, social capital,

(6)

natural capital, physical capital dan financial capital) yang dimiliki komunitas tersebut, (2) Pola relasi sosial antar stakeholders dalam mengakses (pola entitlement) dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan yang ada pada komunitas tersebut, (3) Tingkat kerentanan (vulnerability) atau kemampuan suatu komunitas tersebut dalam merespon perubahan yang disebabkan oleh adanya tekanan shock, trend dan seasonality, (4) Struktur dan proses perkembangan kelembagaan pangan (lokal & intervensi) yang ada pada komunitas tersebut, dan (5) Proses dan implementasi kebijakan terkait dengan ketahanan pangan pada komunitas tersebut.

Terkait dengan hubungan antara kelembagaan dan ketahanan pangan komunitas petani pedesaan, maka dari hasil penelitian ini setidaknya dapat diajukan sebuah proposisi bahwa : suatu komunitas petani pedesaan dimana proses perubahan dan perkembangan kelembagaan ketahanan pangannya ditopang dengan tiga pilar kelembagaan (regulative, normative, cultural-coginitive) secara kontinum, maka secara relatif akan menunjukan kondisi ketahanan pangan komunitas yang lebih kuat jika dibanding dengan komunitas petani pedesaan dimana proses perubahan dan perkembangan kelembagaan ketahanan pangannya hanya ditopang oleh dua pilar kelembagaan saja (regulative dan normative).

Proposisi di atas sama sekali tidak ditujukan untuk membuat generalisasi karena pada dasarnya penelitian ini tidak ditujukan untuk verifikasi suatu teori atau hipotesis, melainkan lebih kepada untuk menjelaskan (explanatory) suatu realitas sosial yang berada dalam lingkup ruang dan waktu yang tertentu dan terbatas. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa fakta-fakta dan realitas sosial yang berhasil ditangkap dan dijelaskan oleh peneliti pada akhirnya juga akan bersifat relatif dan terbatas. Kata Kunci : Dinamika Pemberdayaan, Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan,

(7)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(8)

DINAMIKA PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN

KOMUNITAS PETANI PESISIR DAN PEGUNUNGAN

DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN

MASYARAKAT PEDESAAN

(Studi Kasus Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan

Pedesaan di Desa Cigadog, Kec. Cikelet dan Desa Girijaya, Kec.

Kersamanah, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat).

Rais Sonaji

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(9)
(10)

Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merubah keadaan suatu

kaum, sehingga mereka mau merubah keadaan yang ada pada

dirinya sendiri.”

(Al-Qur’an, Ar Ra’ad (Guruh), Surat ke – 13, ayat 11)

Segala sesuatu yang baik dan benar dari tesis ini dipersembahkan sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih penulis kepada :

1. Allah SWT

2. Kedua orang tua penulis tercinta, Ibu Suprapti dan Bapak Yusuf Suhanda

3. Seluruh guru-guru penulis dari sejak Taman Kanak-Kanak hingga saat ini

4. Kakak terkasih (Mbak Ratna Yusianti & Mas Sigit Yunanto) dan Adik tersayang (Ralin Dwisasi & Takwin Saptaji)

(11)

PRAKATA

Bismillahirrahmannirrahim.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang karena hanya melalui limpahan karunia, berkah dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan naskah tesis ini. Shalawat dan salam penulis sampaikan juga kehadapan Nabi Muhammad saw, guru terbaik peradaban manusia sepanjang masa, serta kepada para sahabat (r.a.) beliau, selaku pewaris dan penerus tongkat estafet beliau. Penelitian dengan judul : “Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan : Studi Kasus Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan Pedesaan di Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet dan Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut ini, dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2008. Meski waktu penelitian ini terhitung relatif pendek, namun sebenarnya peneliti memiliki bekal pengalaman berinteraksi dengan komunitas petani pesisir di Desa Girijaya dan komunitas petani pegunungan di Desa Cigadog sejak pertengahan Agustus 2007. Sehingga melalui bekal tersebut, peneliti telah memiliki sedikit pengetahuan tentang gambaran umum kedua komunitas tersebut, yang kemudian diperdalam pada saat penelitian ini berlangsung.

Rasa hormat, syukur dan terima kasih yang tulus dan mendalam juga penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis tercinta, Ibu Suprapti dan Bapak Yusuf Suhanda. Dimana selain beliau telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan penuh cinta kasih, juga telah memberikan bekal pendidikan yang teramat berharga bagi penulis untuk menjalani dan mengarungi hidup ini. Atas semuanya itu, kiranya hanya Allah SWT yang mampu membalasnya dengan limpahan rahmat, karunia, serta nikmat-Nya, yang semoga senantiasa mengalir tiada putus-putusnya, baik di dunia ini dan di akhirat kelak. Amin ya Rabbal alamin.

Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Handewi P.S. Rachman, MS selaku anggota komisi pembimbing, atas pembimbingannya sejak penyusunan proposal hingga selesainya penyusunan naskah tesis ini. Dalam pandangan penulis, beliau-beliau tidak hanya sekedar pembimbing tesis, melainkan lebih dari itu beliau-beliau telah memberi spirit kepada penulis untuk tetap semangat dan sabar dalam proses penyelesaian studi ini. Kepada Ibu Dr. Titik Sumarti, MS selaku dosen penguji luar, penulis juga sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas kritik, saran dan masukan-masukannya yang sangat konstruktif demi perbaikan tesis ini. Atas segala kebaikan, perhatian dan pengertian beliau-beliau, penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT, Dia Yang Maha Pemurah semoga kiranya ridho dan berkenan membalas segala amal kebaikan beliau-beliau dengan pahala yang berlipat ganda. Amin ya Rabbal’alamin.

Rasa hormat dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada Ibu dan Bapak Dosen pada Program Sosiologi Pedesaan IPB, Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA.., Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS., Ibu Dra. Winati Wigna, MDS., Ibu Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS., Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS., Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MS., Bapak Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS., Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS, Bapak Ir. Said Rusli, MS., Bapak Dr. Ir. Felix M.T. Sitorus, MS., Bapak Dr. Ir. Djuara Lubis, MS., dan Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc., Agr., atas segala bekal ilmu pengetahuan yang telah diberikan. Tidak lupa,

(12)

penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada Bapak Dr. Ir. Felix Sitorus, MS dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, dimana beliau-beliau sempat pula berkenan menjadi komisi pembimbing penulis, hingga akhirnya penulis meminta perubahan komisi pembimbing, karena mengingat terjadinya perubahan topik penelitian. Semoga Allah SWT, Dia Yang Maha Pemurah kiranya ridho dan berkenan membalas segala amal kebaikan beliau-beliau semuanya dengan pahala yang berlimpah. Amin ya Rabbal’alamin.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan pula kepada seluruh pimpinan dan staf karyawan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, LPPM IPB yakni Bapak Prof. Ir. Dedi Soedharma, DEA., Bapak Dr. Lilik B. Prasetyo, MSc., Bapak. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, Bapak Dr. Ir. Untung Sudadi, MS, Bapak Dr. Hefni, MSc., Bapak Dr. Ir. Parulian Hutagaol, MSc., Pak Wawan, Pak Kadir, Pak Eman, Pak Sumantri, Pak Jantan, Pak Kusma, Pak Nata, dkk., Ibu Syarifah, Mbak Arnis, Mbak Ellyn, Mbak Atik, Mbak Nana, Ibu Siti, Kang Yudi Setiawan, Kang Tri, Mas Syarif, Mas Setyo, Bang Mursalin, serta teman-teman di Laboratorium; Pak Ade, Pak Gamal, dkk., atas segala dukungan, bantuan dan kebaikan hatinya kepada penulis selama penulis menempuh studi S2 ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh keluarga Bapak H. Budi Mulyo Utomo, SE, MM., Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS., Mas Aji, De Indri, dan De Raras atas segala dukungan, kebaikan dan kemurahan hatinya. Bapak dan Ibu selama ini telah memperlakukan penulis sebagaimana layaknya bagian dari keluarga. Kiranya hanya do’a yang dapat penulis haturkan, semoga Allah SWT, Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, ridho dan berkenan membalas segala kebaikan budi Bapak dan Ibu dengan balasan yang sempurna. Amin Ya Rabbal’alamin.

Penulis juga sangat berterima kasih kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi Sosiologi Pedesaan dari berbagai angkatan, antara lain : Kak Ulfa, Kak Rossy, Mas Sindu, Mas Anton, Mbak Siti Masithoh, Pak Awal, Bang Rinto, Mas Husain As’adi, Mas Septri, Pak Witra, Mas Iman, Pak Hidayat, Mbak Heru, Mbak Dyah Ita, Mbak Hana atas segala persahabatan, kebaikan hati, serta diskusi-diskusinya yang kritis dan hangat. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada para sahabat ; saudari Vera Octafrina, Mbak Arnis, Mbak Siti Masithoh, Mbak Anggra, dan Mas Siwi atas segala doa, dukungan, bantuan, informasi dan kebaikan hatinya kepada penulis, terutama atas bantuannya pada kegiatan kolokium, seminar dan ujian sidang. Semoga Allah SWT, membalas segala kebaikan teman-teman semua dengan kebaikan yang berlimpah.

Mengingat bahwa penulis sewaktu kuliah pada Program Sosiologi Pedesaan pernah mendapat kesempatan untuk turut serta dalam kegiatan Exchange Research Student di Universitas Tsukuba, Jepang, maka penulis ingin menyampakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Profesor Misa MASUDA selaku pembimbing akademik (academic advisor ), atas segala ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan, serta perhatian, dukungan dan kebaikan hatinya selama penulis belajar di Universitas Tsukuba. Demikian juga untuk seluruh rekan-rekan di Laboratorium Kengkyo Gakusei ; Iwanaga San, Ishikawa San, Onda San, Iida San, Kaori Shiga San, Kaori Miyanaga San, Eriko San, Asanao San, dkk., terima kasih atas persahabatan dan diskusi-diskusinya yang hangat.

(13)

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada seluruh responden di Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet dan Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut, diantaranya adalah : Bapak Sukarna (Kepala Desa Cigadog) dan Ibu, Bapak Drs. Wawan Ridwan (Kepala Desa Girijaya) dan Ibu Ratih sekeluarga atas segala informasi, kebaikan dan perhatiannya kepada penulis selama belajar di desa. Bapak Ayi Priatna, SE. dan Bapak Matin, Ibu Neneng, SP., dan Ibu Yuyun, K.K. SE. (Pendamping Program Desa Mapan Desa Girijaya dan Cigadog) atas segala informasi dan kebaikannya. H. Mama Ajengan Koko atas segala kebaikan hati beliau yang telah menuturkan cerita tentang sejarah desa serta do’a-nya, Ajengan H. Dodo dan Ajengan A. Misbah atas informasi dan do’anya. Bapak Ir. Sutarya dan Bapak Lukman, SP. (Koordinator BPP Kec. Cikelet dan Kec. Kersamanah) atas segala informasi dan pengalaman, serta kebaikan hatinya. Bapak Omon, Bapak Apud, dan Bapak Muldan sekeluarga, atas segala informasi, pengetahuan, pengalaman dan kebaikan hatinya, para ketua kelompok afinitas di Desa Cigadog dan Girijaya (Pak Muldan, Pak Sutarman, Pak Mahdar, Pak Endin, Pak Rahmat, Pak Omon, Ibu Endang, Ibu Oyong, Ibu Nonok, Ibu Enung, Ibu Elin, Ibu Elis, Bapak Utet) beserta seluruh anggotannya atas segala informasi dan pengetahuannya, seluruh aparat pemerintahan Desa Cigadog (Pak Ahmad Juana, Pak Mahdar,Pak Satar, dkk.) atas informasi dan bantuannya, seluruh aparat pemerintahan Desa Girijaya (Pak Asep Sumarna, Pak Ici, Pak Lebe, Pak Punduh, dkk.) atas informasi dan bantuannya, serta Ibu Ir. Indriani, MM (Kepala KPSDM-KP Kab. Garut), Bapak Helyanto, SP, MP. (Kasi Ketahanan Pangan, KPSDM-KP Kab. Garut) beserta seluruh staf atas segala informasi dan fasilitasinya.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Teh Janah dan Mang Iwan atas segala dukungan, pertolongan, do’anya selama penulis berusaha menyelesaikan tesis ini di Ciampea. Kiranya hanya Allah SWT yang mampu membalas segala semua kebaikan saudara-saudara sekalian dengan balasan yang baik dan berlimpah.Amin.

Last but not least, penulis juga menyampaikan rasa cinta dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada (alm) Simbah Kakung dan Simbah Putri atas segala curahan kasih sayang dan do’a-do’anya. Serta kepada saudara-saudara sedarah dan sejiwa penulis ; Mbak Ratna Yusianti sekeluarga, Mas Sigit Yunanto sekeluarga, Ade Ralin Dwisasi sekeluarga, Ade Takwin Saptaji sekeluarga, terima kasih atas segala curahan kasih sayang, perhatian, dukungan, motivasi serta do’a-do’anya kepada penulis, baik itu di masa-masa bahagia maupun pada masa-masa yang terasa begitu berat dan sulit. Semoga Allah SWT, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang kiranya ridho dan berkenan untuk mengumpulkan semua keluarga kita kembali, di sini dan kelak di yaumil akhir dalam kondisi dan keadaan yang lebih baik. Amin ya Rabbal’alamin.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan demi menuju pada hasil yang lebih baik. Sesungguhnya semua pengetahuan yang baik dan benar itu datangnya dari Allah, Yang Maha Mengetahui lagi Maha Pemurah, sedangkan segala kekurangan yang ada pada karya ini sepenuhnya itu datang dari segala keterbatasan yang ada pada penulis sebagai manusia.

Alhamdulillahirabbil’alamin.

Bogor, Februari 2009 Penulis

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, Rais Sonaji dilahirkan di Desa dan Kecamatan Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 4 Februari 1976 dari orang tua Ibu Suprapti dan Bapak Yusuf Suhanda. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari TK Aisyiyah tahun 1981-1982, Madrasah Diniyah Awaliyah 1983-1988, SDN I Jampangkulon tahun 1982-1988, SMPN Jampangkulon 1988-1991, SMAN Jampangkulon tahun 1992-1994. Pada tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikan Sarjana (S1) pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menamatkan studi S1 pada tahun 2000 dengan tersusunnya sebuah karya ilmiah (skripsi) yang berjudul : ”Kemiskinan Struktural dan Gizi Buruk Pada Masyarakat Pedesaan (Kasus Marasmus di Desa Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor, Provinsi Jawa Barat)”. Hingga kemudian pada tahun 2004, penulis mendapatkan kesempatan lagi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 pada Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti Pendidikan Program S2, pada tahun 2005 penulis juga pernah mendapat kesempatan berpartisipasi dalam Program Exchange Research Student (Tokubetsu Kenkyugakusei) periode September 2005 – Agustus 2006 di Universitas Tsukuba, Jepang dengan pendanaan dari JASSO Scholarship. Selama setahun penulis melakukan penelitian dengan topik : “Study on Modernization Process of Forest Land Tenure in Japan and the Changing Role of Forest Resources for Farmhouse Management and Rural Society, with Special Attention to it’s Implication to Solve the Forest Issues in Indonesia”.

Sejak tahun 2000 hingga saat ini, penulis bekerja dan mengabdikan diri pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH), Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB, sebagai Peneliti. Disamping itu, penulis sejak masa kuliah hingga tahun 2005, juga memperoleh kesempatan menjadi Asisten Dosen di IPB untuk mata kuliah ; Sosiologi Umum (1997-1998), Ekologi Manusia (2002-2004), Penyuluhan Perkebunan (2003-2004). Pernah pula penulis mendapat kesempatan menjadi Asisten Dosen di Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Bogor untuk mata kuliah Ekologi Manusia (2004 - 2005).

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 10

1.4. Manfaat Penelitian... 11

BAB II. PENDEKATAN TEORITIS... 12

2.1. Masyarakat Desa dan Komunitas Petani ... 12

2.2. Kelembagaan Komunitas Petani... 15

2.2.1. Konsep dan Fungsi Kelembagaan ... 15

2.2.2. Kelembagaan dan Kepemimpinan... 17

2.2.3. Perkembangan Kelembagaan... 20

2.3. Pengembangan dan Pemberdayaan Komunitas Petani... 30

2.3.1. Konsep Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat... 30

2.4. Dinamika Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan... 33

2.4.1. Konsep dan Dimensi Ketahanan Pangan... 33

2.4.2. Dinamika Ketahanan Pangan ... 35

2.5. Kerangka Pemikiran... 39

BAB III. PENGALAMAN METODOLOGIS ... 47

3.1. Hipotesa Pengarah ... 47

3.2. Paradigma Penelitian... 49

3.3. Metode Penelitian... 51

(16)

Halaman

3.5. Teknik Analisis Data... 57

3.6. Lokasi dan Waktu Penelitian... 58

BAB IV. PETA SOSIAL DAN SUMBER-SUMBER KEHIDUPAN DI DESA CIGADOG DAN DESA GIRIJAYA ... 61

4.1. Gambaran Umum Lokasi Desa Cigadog ... 61

4.2. Gambaran Umum Desa Girijaya... 62

4.3. Modal Manusia (Human Capital) ... 63

4.3.1. Gambaran Umum Kependudukan ... 63

4.3.2. Gambaran Umum Tingkat Pendidikan... 64

4.3.3. Karakteristik Matapencaharian Penduduk... 66

4.4. Kapital Sosial (Social Capital) ... 69

4.5. Modal Alam (Natural Capital)... 71

4.5.1. Sejarah Pemanfaatan Sumberdaya Lahan ... 71

4.5.2. Sumberdaya Lahan Pertanian dan Pola Pemanfaatannya... 77

4.5.3. Sumberdaya Kelautan dan Pola Pemanfaatannya... 84

4.5.4. Sumberdaya Peternakan ... 86

4.6. Modal Fisik (Physical Capital) ... 88

4.7. Modal Keuangan (Financial Capital)... 92

4.7.1. Modal Keuangan Komunitas... 92

4.7.2. Modal Keuangan Lembaga Pemerintah Desa... 94

4.8. Ikhtisar ... 96

BAB V. PROSES KEBIJAKAN DAN HASIL IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBERDAYAAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN KOMUNITAS DESA... 100

5.1. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional... 100

5.2 Program dan Kegiatan Ketahanan Pangan Daerah Kabupaten Garut ... 105

5.3. Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Terkait Ketahanan Pangan pada Komunitas Petani Pesisir... 107

5.4. Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Terkait Ketahanan Pangan pada Komunitas Petani Pegunungan ... 110

5.5. Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan : Suatu Analisis... 114

(17)

Halaman BAB VI. PERAN DAN PARTISIPASI KELEMBAGAAN LOKAL,

PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM DINAMIKA

PEMBERDAYAAN PROGRAM DESA MANDIRI

PANGAN... 118

6.1. Kelembagaan Terkait dalam Program Desa Mandiri Pangan ... 118

6.1.1. Kelembagaan Aparat Pemerintah Pengelola Program Desa Mapan... 120

6.1.2. Kelembagaan Pelayanan Usaha Produktif Pedesaan... 125

6.1.3. Kelembagaan Masyarakat ... 131

6.1.3.1. Lumbung Paceklik dan Beras Perelek... 132

6.1.3.2. Lembaga Produksi Pertanian... ... 136

6.1.3.3. Lembaga Permodalan dan Pemasaran Produksi Pertanian... 138

6.1.3.4. Lembaga Produksi Industri Rumah Tangga... 139

6.1.3.5. Lembaga Agama, Sosial dan Seni Budaya Lokal... ... 140

6.2. Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan Program Mapan ... 142

6.2.1. Tahap Persiapan ... 143

6.2.2. Tahap Penumbuhan... 153

6.2.3. Tahap Pengembangan... 159

6.3. Analisis Peran dan Partisipasi Stakeholders dalam Implementasi Program Desa Mapan... 170

BAB VII. ANALISIS DAN STRATEGI DINAMIKA PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN KOMUNITAS PETANI PESISIR DAN PEGUNUNGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN... 177

7.1. Analisis Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan ... 177 7.1.1. Sosial-Budaya ... 182 7.1.2. Ekonomi... 187 7.1.3. Kesehatan ... 195 7.1.4. Politik ... 200 7.1.5. Ekologi ... 205

(18)

Halaman

7.2. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan Pangan ... 207

7.2.1. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir... 208 7.2.1.1. Sosial-Budaya... ... 208 7.2.1.2. Ekonomi... 210 7.2.1.3. Kesehatan... ... 215 7.2.1.4. Politik... ... 216 7.2.1.5. Ekologi... 217

7.2.2. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Komunitas Petani Pegunungan ... 218 7.2.2.1. Sosial-Budaya... ... 218 7.2.2.2. Ekonomi... 219 7.2.2.3. Kesehatan... ... 223 7.2.2.4. Politik ... 225 7.2.2.5. Ekologi... 226

BAB VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI... 228

8.1. Kesimpulan ... 228

8.2. Implikasi ... 232

DAFTAR PUSTAKA ... 240

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Tiga Pilar “Penopang” Kelembagaan (Three Pillar of Institutions) ... 27 Tabel 2 Jadwal Kegiatan Penelitian Dinamika Pemberdayaan

Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan dalam

Mewujudkan Ketahanan Pangan Masyarakat Pedesaan... 59 Tabel 3 Matriks antara Tujuan, Data yang Dibutuhkan, Sumber Data,

Teknik Pengumpulan Data... 60 Tabel 4 Keadaan Penduduk Desa Cigadog dan Desa Girijaya Berdasarkan

Kelompok Umur Tahun 2007 ... 63 Tabel 5 Tingkat Pendidikan Masyarakat di Desa Girijaya dan Desa

Cigadog Tahun 2007 ... 65 Tabel 6 Jenis Mata Pencaharian Pokok Masyarakat Desa Cigadog dan

Desa Girijaya, Kabupaten Garut Tahun 2007... 66 Tabel 7 Keadaan Lahan di Cigadog dan Desa Girijaya, Berdasarkan Jenis

dan Penggunaannya Tahun 2007... 78 Tabel 8 Luas Pertanaman dan Produksi Tanaman Pangan di Desa

Cigadog dan Desa Girijaya Tahun 2007... 79 Tabel 9 Penguasaan Aset Lahan oleh Rumah Tangga Petani di Desa

Cigadog Tahun 2007 ... 80 Tabel 10 Pola Tanam Komoditi Tanaman Pangan di Lahan Kering

(Ladang) di Desa Cigadog Tahun 2007 ... 81 Tabel 11 Pola Perubahan Musim Hujan dan Musim Kemarau di Desa

Cigadog Tahun 2002 - 2008... 81 Tabel 12 Pola Tanam Komoditi Tanaman Pangan di Lahan Sawah di Desa

Girijaya Tahun 2007 ... 83 Tabel 13 Pola Tanam Komoditi Tanaman Pangan di Lahan Kering (Darat)

di Desa Girijaya Tahun 2007... 83 Tabel 14 Jenis Musim dan Komoditas Ikan di Wilayah Perairan Laut

Garut Selatan Tahun 2008... 85 Tabel 15 Jenis dan Jumlah Ternak yang Diusahakan Penduduk Desa

Cigadog dan Desa Girijaya Tahun 2007... 87 Tabel 16 Kondisi Keuangan Lembaga Pemerintahan Desa Cigadog Tahun

2006 dan Desa Girijaya Tahun 2007... 94 Tabel 17 Sumber Pendapatan Keuangan Lembaga Pemerintahan Desa

(20)

Halaman

Tabel 18 Ringkasan Sumber-Sumber Kehidupan (Livelihood Sources)

Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan Tahun 2008 ... 97 Tabel 19 Analisis Prinsip-Prinsip Pemberdayaan pada Kebijakan dan

Kegiatan Operasional Ketahanan Pangan 2005-2009 ... 102 Tabel 20 Program-Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Cigadog,

Tahun 2008 ... 108 Tabel 21 Program-Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Girijaya

Tahun 2008 ... 111 Tabel 22 5 (Lima) Elemen Pengembangan Masyarakat dalam

Program-Program Pemberdayaan Masyarakat Komunitas Petani Pesisir

dan Pegunungan... 116 Tabel 23 Fungsi dan Peran Lembaga Aparat Pengelola dan Pelaksana

Program Desa Mandiri Pangan... 123 Tabel 24 Perbandingan Kondisi Lembaga Aparat Balai Penyuluhan

Pertanian (BPP) Kecamatan Cikelet dan Kersamanah, 2008 ... 124 Tabel 25 Jenis Kelembagaan Pelayananan (Sosial-Ekonomi) yang ada di

Desa Cigadog... 126 Tabel 26 Jenis Kelembagaan Pelayananan (Sosial-Ekonomi) yang ada di

Desa Girijaya ... 129 Tabel 27 Nama dan Kualifikasi Pendamping Program Desa Mandiri

Pangan di Desa Cigadog dan Girijaya... 146 Tabel 28 Jumlah dan Karakteristik Umum Kelompok Afinitas di Desa

Cigadog... 149 Tabel 29 Jumlah dan Karakteristik Umum Kelompok Afinitas di Desa

Girijaya ... 149 Tabel 30 Evaluasi Kegiatan Prioritas Tahap Penumbuhan Tingkat

Kabupaten dan Desa ... 155 Tabel 31 Perkembangan Program Aksi Desa Mandiri Pangan (Periode

Bulan Oktober 2008) di Desa Cigadog... 166 Tabel 32 Perkembangan Program Aksi Desa Mandiri Pangan (Periode

Bulan Oktober 2008) di Desa Girijaya ... 167 Tabel 33 Pihak-Pihak yang terlibat dalam Program Desa Mapan dan

Tingkat Keterlibatannya dalam memberdayakan kelompok

afinitas... 171 Tabel 34 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan

(21)

Halaman

Tabel 35 Karakteristik Sosial Budaya Komunitas Petani Pesisir dan

Pegunungan ... 186 Tabel 36 Karakteristik Sumberdaya Alam Komunitas Petani Pesisir dan

Pegunungan ... 188 Tabel 37 Tingkat Pengeluaran Pangan Rumah Tangga (RT) Miskin pada

Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan, 2006... 196 Tabel 38 Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin pada

Komunitas Pesisir dan Pegunungan Tahun 2006 ... 197 Tabel 39 Jumlah Rumah Tangga Miskin di Komunitas Petani Pesisir dan

Pegunungan Berdasarkan Kejadian Kekurangan Bahan Pangan

Pokok, Tahun 2006 ... 197 Tabel 40 Faktor Penyebab Kekurangan Pangan pada Rumah Tangga

Miskin di Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan, Tahun

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Lima Komponen Kegiatan dalam Pengembangan Masyarakat... 32 Gambar 2 Kerangka alur berfikir hasil perpaduan antara konsep Sustainable

Livelihood (DfID) dengan Entitlement (Amartya Sen)... 37 Gambar 3 Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan

Pangan Komunitas Petani Pesisir dan Pegunungan... 46 Gambar 4 Komponen-komponen Analisis Data : Model Interaktif ... 58 Gambar 5 Kelembagaan-kelembagaan yang Terkait Langsung Program

Desa Mapan... 120 Gambar 6 Alur Monitoring dan Evaluasi Program Desa Mandiri Pangan .... 121 Gambar 7 Alur Penyusunan Data Base Program Desa Mandiri Pangan ... 147 Gambar 8 Tingkatan Partisispatif Multi-Pihak dalam Implementasi

Program Desa Mandiri Pangan di Komunitas Petani Pesisir dan

Pegunungan... 172 Gambar 9 Kerangka Pemikiran Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan

Komunitas Petani Pedesaan dalam Mewujudkan Ketahanan

Pangan... 177 Gambar 10 Strategi Nafkah serta Mobilisasi Modal dan Sumberdaya

Manusia pada Komunitas Petani Pesisir di Desa Cigadog ... 191 Gambar 11 Strategi Nafkah serta Mobilisasi Modal dan Sumberdaya

Manusia pada Komunitas Petani Pegunungan di Desa Girijaya... 192 Gambar 12 Pilar Penopang Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir di Desa

Cigadog pada Masa Orde Baru... 202 Gambar 13 Pilar Penopang Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir di Desa

Cigadog pada Masa Orde Reformasi ... 203 Gambar 14 Pilar Penopang Kelembagaan Komunitas Petani Pesisir di Desa

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet dan

Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut... 245 Lampiran 2 Peta Penggunaan Lahan Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet,

Kabupaten Garut Tahun 1990... 246 Lampiran 3 Peta Penggunaan Lahan Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet,

Kabupaten Garut Tahun 2003... 247 Lampiran 4 Peta Penggunaan Lahan Desa Girijaya, Kecamatan

Kersamanah, Kabupaten Garut Tahun 1990 ... 248 Lampiran 5 Peta Penggunaan Lahan Desa Girijaya, Kecamatan

Kersamanah, Kabupaten Garut Tahun 2003 ... 249 Lampiran 6 Karakteristik Data Responden... 250 Lampiran 7 Gambaran Umum Kronologis Kasus Sengketa Lahan antara

Para Petani Penggarap di Desa Cigadog dengan Perusahaan

Perkebunan Sawit (PT. Condong)... 251 Lampiran 8 Foto-Foto Penelitian... 265

(24)

Penguji Luar Komisi Sidang Tesis :

(25)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, dan pemenuhan kebutuhan akan pangan merupakan bagian dari hak asasi setiap individu. Ketahanan pangan, disamping sebagai prasyarat untuk memenuhi hak asasi pangan masyarakat, juga merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan sebuah bangsa. Mengingat pentingnya masalah pangan, maka setiap negara akan menempatkan pembangunan di bidang ketahanan pangan sebagai pondasi bagi pembangunan di bidang lainnya. Bangsa Indonesia meskipun dikenal sebagai negara agraris, namun pada kenyataannya masih menghadapi masalah ketahanan pangan yang sangat serius. Masalah yang tengah dihadapi ini, tidak hanya terbatas pada sistem produksi, melainkan juga pada sub-sistem distribusi dan sub-sub-sistem konsumsi.

Dewan Ketahanan Pangan (2006) mengungkapkan bahwa meskipun keragaan ketahanan pangan nasional 2000-2005 menunjukan keadaan yang lebih baik di tingkat nasional, namun di tingkat rumah tangga, kondisi ketahanan pangan sebagian masyarakat masih lemah. Kondisi ini dibuktikan dengan masih banyaknya penduduk rawan pangan dan balita yang menderita kekurangan gizi. Pada tahun 2002 jumlah penduduk yang mengkonsumsi kurang 90 % dari konsumsi yang direkomendasikan (2.000 kkal/kap/hari) berjumlah 52,3 juta jiwa dan 15,4 juta jiwa diantaranya tergolong sangat rawan karena tingkat konsumsinya kurang dari 70 %. Sedangkan jumlah balita menderita kurang gizi pada tahun 2002 berjumlah 5,02 juta jiwa dan meningkat menjadi 5,12 juta jiwa pada tahun 2003. Jumlah penduduk miskin dan rawan pangan ini diperkirakan akan meningkat pada tahun-tahun terakhir ini, terutama terkait dengan dikeluarkannya kebijakan kenaikan harga BBM yang berimplikasi pada peningkatan harga-harga kebutuhan pokok.

Masalah ketahanan pangan di Indonesia pada dasarnya terkait erat dengan masalah kemiskinan di pedesaan. Data statistik bulan September 2006 menunjukan bahwa jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada bulan Maret 2006

(26)

tercatat sebanyak 39,05 juta (17,75 %). Sebagian besar dari penduduk miskin tersebut yaitu sekitar 63,41 % berada di pedesaan dan pada umumnya bergantung atau berbasis pada sektor pertanian (BPS, 2006). Sementara itu, data Sensus Pertanian tahun 2003 juga menunjukan terjadinya peningkatan jumlah rumah tangga pertanian dari sekitar 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta pada tahun 2003 (meningkat 2,2 % per tahun). Jumlah petani gurem juga meningkat dari 10,8 juta (52,7 %) menjadi 13,7 juta (56,5 %) rumah tangga. Sebagian besar petani gurem tersebut berada di Jawa, dimana selama periode 1993-2003, jumlahnya meningkat dari 70 % menjadi 75 %. Saat ini dari seluruh petani di Jawa, hanya 25 % yang tergolong berkecukupan, sementara sisanya sebanyak 75 % terjerat dalam belenggu kemiskinan (DKP, 2006).

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk miskin itu berada di pedesaan, dan pada umumnya mereka adalah petani gurem (skala kecil) dan buruh tani. Tentunya kondisi ini sangat ironis jika dikaitkan dengan fakta lain yang menunjukan bahwa sebagian besar produksi pangan di Indonesia diadakan oleh para petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 ha dan buruh tani. Di satu sisi para petani gurem dan buruh tani adalah produsen pangan terbesar di negeri ini, namun disisi lain mereka juga adalah kelompok terbesar yang tergolong miskin dan rentan terhadap masalah kerawanan pangan. Kondisi ini menunjukan kemungkinan telah terjadinya kesalahan (fallacy) dalam kebijakan pembangunan pertanian yang cenderung mengutamakan aspek produktivitas dan efisiensi, namun belum memberikan perhatian yang cukup bagi upaya pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan para petaninya, bahkan yang terjadi adalah ketidakberdayaan petani.

Upaya pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri akan membutuhkan adanya sebuah kelembagaan sebagai pintu masuk. Melalui wadah kelembagaan itulah setiap pihak yang berkepentingan (stakeholders) dapat berdialog, belajar dan bekerja bersama untuk mengkaji permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan sekaligus mencari alternatif jalan keluarnya. Sebenarnya sudah sejak lama masyarakat pedesaan memiliki kelembagaan lokal yang juga berfungsi sebagai pembangkit “energi sosial” untuk menyelesaikan beragam permasalahan hidup mereka secara mandiri. Namun kelembagaan lokal tersebut menjadi melemah, memudar dan bahkan hancur

(27)

karena digerus oleh pendekatan pembangunan masa lalu yang berciri terpusat, seragam dan mendominasi. Ketika kelembagaan lokal tersebut melemah, maka hal itu akan berdampak pada lemahnya kemampuan dan kemandirian masyarakat pedesaan dalam mengatasi masalah-masalah hidup yang dihadapinya. Jika kapasitas diri dan kapasitas kelembagaan masyarakat pedesaan melemah, maka hal ini juga melemahkan kapasitas lembaga negara secara keseluruhan. Hal ini terjadi karena ketidakberdayaan kelembagaan lokal sehingga tidak mampu berpartisipasi dalam implementasi program-program pembangunan, serta semakin meningkatkan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah.

Pihak pemerintah sebenarnya telah berupaya untuk memecahkan masalah kemiskinan di pedesaan melalui program-program pemberian bantuan dana bergulir seperti program Impres Desa Tertinggal (IDT) dan Kredit Usaha Tani (KUT), atau pun program bantuan lainnya yang sifatnya pemberian cuma-cuma seperti program pemberian beras miskin (Raskin) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun pada kenyataannya program-program tersebut belum mampu mengentaskan masalah kemiskinan, bahkan program bantuan yang sifatnya dana bergulir pada umumnya mengalami kegagalan. Program-program bantuan dana bergulir yang seharusnya diperuntukan bagi rumah tangga miskin, pada kenyataannya lebih banyak dinikmati oleh golongan lapisan elit desa dan kerabat-kerabatnya yang secara sosial-ekonomi relatif tergolong mampu. Fenomena ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Chambers (1987) bahwa jaringan kekerabatan dan koneksi kelompok lapisan elit pedesaan kerapkali menjadi “jaring penangkap” bantuan-bantuan yang diperuntukan bagi keluarga-keluarga miskin. Dalam kasus kemiskinan di Indonesia, Sajogjo (1988) menggambarkan kondisi ini sebagai kondisi kemiskinan struktural, yang menjadikan sebagian orang miskin menjadi semakin miskin dan sebagian orang kaya menjadi kaya, antara lain dengan cara mengambil porsi nafkah orang miskin.

Demikian pula halnya dalam upaya peningkatan ketahanan pangan, pemerintah pada masa Orde Baru melalui Program Revolusi Hijau telah merubah sistem pertanian rakyat secara sentralisasi yakni dengan cara “modernisasi” sub-sistem produksi dan distribusi. Meskipun program ini berhasil meningkatkan produksi pangan (padi), dan

(28)

lahan-lahan pertanian secara nasional, namun belum mampu mendorong sistem pangan lokal menjadi kuat dan berkelanjutan. Artinya, kebijakan itu bukan ditujukan untuk memperkuat sistem kelembagaan pangan lokal yang telah berkembang sebelumnya, misalnya dengan memperkuat akses masyarakat terhadap sumber-sumber agraria, teknologi lokal, kelembagaan pangan, pengembangan infrastruktur berbasis petani, sistem perdagangan lokal, atau sistem pengelolaan cadangan pangan seperti lumbung. Berbagai sub-sistem dalam sistem ketahanan pangan rakyat, bukannya semakin kuat tetapi justru semakin terpinggirkan oleh kebijakan Orde Baru yang bersifat searah, terpusat dan seragam. Lebih lanjut peranan swasta dalam perekonomian lokal justru menunjukkan fakta semakin merapuhkan kelembagaan ketahanan pangan lokal yang ada.

Sejalan dengan pernyataan di atas, Pakpahan, dkk. (2006) juga mengemukakan bahwa pembangunan pertanian di Indonesia cenderung dikembangkan dengan pola seragam di berbagai wilayah secara massal, dengan tujuan terutama dititikberatkan pada upaya untuk mencapai swasembada pangan (produktivitas) dan efisiensi, bukan pada kesejahteraan petani. Pola pembangunan seperti ini kerapkali melupakan satu hal penting yaitu keanekaragaman yang mampu memunculkan keunikan. Dimana keunikan itu sendiri merupakan “berkah” karena ia akan memberikan nilai yang tinggi akibat kelangkaannya. Maka dari itu, keanekaragaman sumberdaya, sosial dan ekonomi yang dimiliki haruslah menjadi sumber kekuatan baru dalam mengembangkan kerangka pembangunan pertanian yang bermanfaat.

Aktivitas pembangunan pertanian itu sendiri tidak akan berhasil dengan baik jika tanpa adanya upaya penataan dan pemberdayaan kelembagaan pertanian. Dengan kata lain, kinerja pertanian apa yang akan dicapai (misalnya tingkat produktivitas, efisiensi dan distribusi) ditentukan oleh karakteristik kelembagaan yang ada. Kelembagaanlah yang mengatur, mengendalikan dan mengontrol interdependensi antar pelaku ekonomi terhadap keseluruhan sumberdaya. Dengan demikian, kelembagaan itulah yang mengatur tentang siapa memperoleh apa dan seberapa banyak (Pakpahan, dkk., 2006).

Satu hal lain yang juga sangat penting adalah bahwa negara kita dihadapkan pada masalah kualitas lingkungan hidup dan sosial yang semakin menurun, berbagai bencana alam yang terjadi dewasa ini tidak terlepas dari kesalahan kita sebagai manusia yang

(29)

kurang arif dan ramah terhadap lingkungan. Karena pada hakikatnya krisis ekologi adalah krisis manusia. Kondisi kerawanan pangan di negara kita juga terkait erat dengan masalah kerusakan lingkungan. Sehingga upaya-upaya pembangunan ketahanan pangan baik di tingkat nasional, daerah, desa dan komunitas, harus memperhatikan aspek keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Sebagaimana dikemukakan oleh Soemarwoto (1997), “hanya dalam lingkungan hidup yang optimal, manusia dapat berkembang dengan baik, dan hanya dengan manusia yang baik lingkungan akan berkembang ke arah yang optimal”. 1 Masalah ketahanan pangan adalah masalah yang berat dan rumit, namun kita harus senantiasa optimis, dengan niat yang tulus dan upaya yang maksimal, maka suatu keniscayaan masalah ini dapat dipecahkan. Terlebih memasuki era reformasi dan otonomi daerah ini, cita-cita untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang mandiri, berkeadilan, mensejahterakan dan berkelanjutan semakin terbuka peluangnya untuk direalisasikan.

Mengacu kepada keseluruhan uraian di atas, maka dipandang perlu untuk mengkaji lebih mendalam mengenai dinamika pemberdayaan kelembagaan pada komunitas petani dengan karakateristik sosial, budaya, ekonomi, politik dan ekologi yang beragam dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan masyarakat pedesaan. Terkait dengan kajian ini, penulis akan melakukan studi kasus tentang dinamika pemberdayaan kelembagaan komunitas petani dalam mewujudkan ketahanan pangan di Desa Cigadog, Kecamatan Cikelet dan Desa Girijaya, Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.

Penulis memandang bahwa kedua lokasi tersebut sangat relevan untuk dijadikan lokasi studi kasus, terutama karena mengingat kedua desa ini memiliki karakteristik yang berbeda baik itu secara sosial, budaya, ekonomi, ekologi dan politik. Desa Cigadog adalah cerminan masyarakat petani pesisir yang ada di Kabupaten Garut dimana mata pencaharian penduduknya tidak hanya bergantung pada sumberdaya pertanian, melainkan juga pada sumberdaya kelautan. Sedangkan Desa Girijaya lebih mencerminkan masyarakat petani pegunungan yang mengandalkan hidupnya pada sektor pertanian, perkebunan, kerajinan tangan dan perdagangan. Dengan adanya perbedaan karakteristik tersebut,

1 Ungkapan tersebut disampaikan Otto Soemarwoto dalam Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional di Universitas Pajajaran, Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972.

(30)

diharapkan dapat diperoleh informasi yang lebih beragam, spesifik dan unik tentang dinamika pemberdayaan kelembagaan komunitas petani dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan masyarakat pedesaan. Pada akhirnya yang menjadi pokok kajian ini adalah “bagaimana dinamika pemberdayaan kelembagaan pangan komunitas pesisir dan pegunungan dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan dengan berbasiskan pada keragaman aspek sosiologis dan ekologis ?. ”

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan memiliki dimensi yang luas dan beragam. Masalah ketahanan pangan dapat dikaji dari dimensi sosial, ekonomi, budaya, politik dan ekologi. Apabila ketahanan pangan dipandang sebagai sebuah sistem, maka masalah ketahanan pangan dapat dikaji dari sub-sistem persediaan, sub-sub-sistem distribusi dan sub-sub-sistem konsumsi. Selain itu masalah ketahanan pangan juga dapat ditinjau dari aspek manajemen yakni berkaitan dengan efektifitas penyelenggaraan fungsi-fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian serta kordinasi dari berbagai kebijakan dan program. Mengingat begitu luasnya dimensi permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan, maka penelitian ini difokuskan pada aspek dinamika pemberdayaan kelembagaan pangan di tingkat komunitas dan desa.

Kondisi ketahanan pangan di suatu wilayah memiliki sifat multidimensional, yang ditentukan oleh berbagai faktor ekologis, sosial, ekonomi dan budaya serta melibatkan berbagai sektor dan pelaku yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat (Handewi dan Lusi, 2006). Pada kasus negara-negara berkembang, penyebab dari timbulnya kerawanan pangan suatu komunitas adalah karena penduduk dari komunitas tersebut tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber produksi pangan (terutama) tanah, air, input pertanian, modal dan teknologi.2 Kondisi ini pada akhirnya berimplikasi terhadap perlunya pemahaman yang mendalam tentang, bagaimana peta sos al dan kondisi sumber-sumber kehidupan komunitas petani pesisir dan pegunungan ?

i

2

Seeds of Hope : Feeding The World Through Community Based Food System. Salzburg Seminar 398 ©. 2002. W.K. KELLOGG Foundation.

(31)

Asumsi yang mendasari dari pertanyaan ini adalah bahwa setiap komunitas memiliki kondisi dan karakter sistem sosial dan sistem ekologis yang relatif berbeda dan beragam. Kondisi dan karakter sosial dan ekologi yang ada dalam suatu komunitas dapat diidentifikasi dengan cara memetakan kondisi sumber-sumber kehidupan (livelihood assets) yang ada pada komunitas tersebut. Adanya perbedaan karakteristik sosial dan ekologi yang terdapat pada komunitas petani pesisir dan pegunungan diperkirakan akan berpengaruh terhadap kondisi ketahanan pangan dan bentuk serta karakter kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di dalam kedua komunitas tersebut.

Kebijakan dan program pembangunan pertanian, khususnya ketahanan pangan jika ditinjau secara konseptual, pada umumnya relatif sudah baik dan memadai. Namun sebagaimana dikemukakan Kolopaking (2006), proses-proses kebijakan tersebut kerapkali berhenti hingga pada tahap perumusan. Sedangkan pada tahap implementasinya, kebijakan dan program tersebut pada umumnya tidak ada yang mengawal dari segi pelaksanaan, terlebih lagi hingga sampai tahap penilaian/evaluasi. Berdasarkan pada fenomena tersebut, maka perlu ada upaya untuk mengevaluasi program-program pemberdayaan yang terkait dengan upaya peningkatan ketahanan pangan komunitas pedesaan. Pertanyaannya, bagaimana proses kebijakan dan hasil dari implementasi program-program pemberdayaan masyarakat yang terkait dengan bidang ketahanan pangan pada komunitas petani pes sir dan pegunungan ? i

Upaya untuk memahami kondisi ketahanan pangan pada suatu masyarakat, membutuhkan informasi dan pengetahuan yang memadai tentang kelembagaan kelembagaan yang terkait dengan ketahanan pangan yang ada dalam masyarakat tersebut. Pada umumnya, permasalahan yang ditemui pada aspek kelembagaan lokal adalah rendahnya kapasitas lembaga tersebut dalam merespon perubahan yang datang dari dalam dan (terutama) dari luar komunitas. Kondisi ini menyebabkan lembaga tersebut tidak mampu untuk berkembang dan bahkan mengalami kehancuran. Contoh kasus, hancurnya kelembagaan ketahanan pangan lokal dapat diamati dan tercermin melalui proses hancurnya kelembagaan “lumbung paceklik” dan “beras perelek” yang sejak dulu berkembang di masyarakat pedesaan Jawa Barat.

(32)

Sedangkan permasalahan yang kerapkali ditemui pada lembaga-lembaga intervensi bentukan pemerintah yaitu pada umumnya lembaga tersebut tidak mampu mengintegrasikan antara kepentingan pemerintah atas desa dengan kepentingan masyarakat desa. Permasalahan tersebut muncul karena dalam proses pembentukannya, kurang melibatkan partisipasi masyarakat desa, terutama lapisan bawah. Seperti halnya proses pembentukan dan operasionalisasi lembaga KUD pada umumnya kurang melibatkan partisipasi dari lapisan masyarakat paling bawah (rumah tangga miskin dan rawan pangan). Pada akhirnya, meskipun di suatu wilayah kecamatan terdapat lembaga KUD, namun para petani lapisan bawah lebih memilih memanfaatkan atau “bekerjasama” dengan para tengkulak. Fenomena ini terjadi karena para tengkulak lebih “membumi”, lebih memahami serta pro-aktif dalam upaya memenuhi kebutuhan para petani kecil dibanding dengan lembaga KUD yang cenderung pasif menunggu. Kondisi yang sama terjadi pula pada lembaga-lembaga ketahanan pangan lain seperti PKK, UPGK dan Posyandu, dimana pada umumnya lembaga-lembaga tersebut hanya aktif jika ada program dan bantuan dari pemerintah atas desa. Sedangkan lembaga-lembaga swasta yang ada di wilayah desa, pada umumnya lebih mengutamakan upaya pemenuhan kepentingan perusahaan tersebut dalam mengejar keuntungan (profit oriented) daripada memperhatikan dan turut membantu memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat miskin yang ada di sekitar lingkup perusahannya.

Hasil-hasil riset sebelumnya menunjukan bahwa permasalahan pokok yang dihadapi dalam implementasi kebijakan dan program pertanian di pedesaan pada umumnya dan ketahanan pangan pada khususnya adalah disebabkan karena : (1) lemahnya kapasitas kelembagaan (institution capacity) komunitas petani di pedesaan, (2) rendahnya tingkat partisipasi, dukungan teknis serta lemahnya sinergy dari kelembagaan stakeholders lainnya, seperti lembaga pemerintah, swasta, LSM dan perguruan tinggi. Akibatnya, program-program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan kerapkali kurang memberikan hasil yang optimum, serta tidak berkelanjutan (Nasdian, 2006 ; Dharmawan, 2006). Oleh karena itu perlu upaya untuk mengkaji, bagaimana peran dan tingkat partisipasi kelembagaan lokal, intervensi pemerintah dan

(33)

swasta yang ada dalam mewujudkan ketahanan pangan di kedua komunitas desa tersebut ? 3

Setelah mengidentifikasi program-program pemberdayaan masyarakat yang telah dan sedang dilakukan di kedua desa tersebut berikut dengan peran kelembagaan-kelembagaan yang ada dalam mewujudkan ketahanan pangan, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimanakah dinamika kelembagaan dan para aktor (masyarakat, pemerintah, dan swasta) dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal untuk mewujudkan ketahanan pangan di kedua komunitas desa tersebut ?

Pada dasarnya proses pemberdayaan kelembagaan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan adalah bukan suatu proses yang berlangsung secara statis, melainkan bersifat kompleks dan dinamis. Permasalahan yang pertama kali muncul dalam implementasi program pemberdayaan di tingkat lokal (komunitas), pada umumnya terjadi dalam proses menentukan “sasaran” atau “penerima manfaat” program pemberdayaan. Banyak kasus menunjukkan bahwa program-program pemberdayaan pemerintah di tingkat komunitas malah justru menimbulkan kecemburuan sosial diantara sesama warga sebagai akibat dari proses penentuan sasaran program yang kurang melibatkan partisipasi rumah tangga- rumah tangga miskin dan rawan pangan. Disamping itu, implementasi kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat pada tataran praktis cenderung bersifat kaku dan seragam, sehingga kurang memberi ruang yang leluasa bagi adanya penyesuaian-penyesuaian dengan kepentingan/kebutuhan riil komunitas lokal.

Sedangkan permasalahan di tingkat supra desa, pihak pemerintah kerapkali dihadapkan pada permasalahan adanya “ego sektoral” atau “ego departemen” yang menghambat terjadinya proses kerjasama antar sektor/departemen/dinas. Sementara itu pihak swasta yang ada di komunitas desa, kerapkali cenderung hanya mementingkan tujuan-tujuan atau kepentingan perusahaan untuk memperoleh keuntungan ekonomis

3

Cakupan kajian ini dititikberatkan pada implementasi program “Desa Mandiri Pangan”. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti melupakan program-program pemberdayaan lainnya yang ada di masyarakat. Kasus implementasi program-program pemberdayaan yang lain (pusat dan daerah) tetap akan dikaji, sejauh hal ini akan memberi manfaat dan sekaligus sebagai bahan perbandingan dengan implementasi program Desa Mandiri Pangan.

(34)

yang sebesar-besarnya, dan kurang memiliki kepekaan sosial-ekonomi tentang kondisi kemiskinan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Guna menjawab pertanyaan di atas, maka peneliti menjadikan Program Aksi Desa Mandiri Pangan yang tengah diimplementasikan di dua lokasi studi sebagai “pintu masuk” dan sekaligus “ruang” untuk belajar memahami proses dan dinamika pemberdayaan kelembagaan dan pola relasi stakeholders (masyarakat, pemerintah dan swasta) dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan yang ada pada komunitas pesisir dan pegunungan dalam mewujudkan ketahanan pangan kedua komunitas tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

Tujuan Pokok :

Mengkaji dinamika pemberdayaan kelembagaan ketahanan pangan komunitas petani di pedesaan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan, dengan berbasiskan pada keragaman aspek sosiologis dan ekologis.

Tujuan Spesifik :

1. Mengidentifikasi peta sosial dan sumber-sumber kehidupan (human capital, social capital, natural capital, phisycal capital, financial capital) komunitas desa.

2. Mengidentifikasi proses kebijakan dan hasil implementasi program pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa.

3. Mengidentifikasi peran dan menganalisis tingkat partisipasi kelembagaan lokal, intervensi pemerintah dan swasta dalam mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa melalui implementasi Program Desa Mandiri Pangan.

4. Menganalisis dinamika kelembagaan dan aktor (masyarakat, pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi) dalam mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di tingkat lokal guna mewujudkan ketahanan pangan komunitas desa.

(35)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil-hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Sebagai salah satu sumber pengetahuan, data dan informasi bagi berbagai pihak

yang tertarik untuk mengetahui dan mempelajari kasus yang serupa dengan topik penelitian ini.

2. Bahan masukan bagi pihak penentu kebijakan (pemerintah pusat dan daerah), subyek atau pelaksana program (masyarakat, pendamping, penyuluh pertanian dan pemerintah kabupaten dan desa) terutama dalam upaya memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan di kedua desa tersebut.

(36)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Masyarakat Desa dan Komunitas Petani

Terdapat beragam definisi mengenai petani, hal ini disebabkan karena kata petani itu sendiri memiliki dimensi makna yang luas (sosial, budaya, ekonomi dan politik). Setidaknya tedapat dua pandangan umum terkait dengan konsep atau istilah petani. Pertama, konsep petani dalam arti luas yang merujuk kepada penduduk pedesaan secara umum, tidak peduli apapun jenis pekerjaannya. Kedua, konsep petani dalam arti yang lebih spesifik, yang hanya merujuk kepada anggota masyarakat yang bekerja atau memiliki mata pencaharian di bidang pertanian. Seperti halnya Scoot (1976), memandang bahwa petani adalah orang yang bercocoktanam (melakukan budidaya) di lahan pertanian. Sementara Wolf (1985) mendefinisikan petani sebagai segolongan orang yang memiliki sekaligus menggarap lahan pertanian dimana hasil produks pertaniannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan bukan untuk dijual.

Karakteristik dan ciri-ciri petani juga beragam, hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan karakteristik dan perkembangan masyarakat (sosial, budaya, ekonomi, politik dan ekologi) dimana petani itu berada. Berdasarkan pada aspek teknologi yang digunakan serta dari sifat usahatani yang dilakukan, tipe petani dapat dibedakan menjadi petani primitif, petani peasant dan farmer. Ditinjau dari aspek teknologi (peralatan yang digunakan), petani primitif masih sangat sederhana (seperti tugal dan golok), sedangkan petani peasant menggunakan peralatan cangkul, garu dan bajak. Redfield (1985) menyatakan bahwa perbedaan terpenting antara petani primitif dengan petani peasant adalah hubungannya dengan kota. Terbentuknya petani peasant itu karena munculnya kota, atau dengan kata lain kotalah yang membuat adanya petani peasant. Dengan kata lain, tidak ada yang dinamakan peasant sebelum kota pertama muncul di permukaan bumi. Sedangkan petani primitif adalah petani yang hidup dan hubungannya dengan kota relatif terisolir.

(37)

Sedangkan perbedaan yang mendasar antara petani peasant dengan farmer seperti yang dijelaskan oleh Wolf (1985) lebih pada aspek sifat dan orientasi usahataninya. Dimana petani peasant menjalankan usahataninya dengan memanfaatkan tenaga kerja keluarga dan hasil produksinya sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sementara itu, petani farmer menjalankan usahataninya dengan bantuan tenaga buruh tani dan orientasi usahataninya adalah untuk memperoleh keuntungan ekonomi (komersial). Persamaan antara petani peasant dan farmer adalah bahwa keduanya sama-sama memiliki hubungan dengan kota baik itu secara ekonomi, kultural dan politik.

Terkait dengan penelitian ini, peneliti cenderung untuk menggunakan konsep petani yang relatif lebih moderat dan dapat dioperasionalisasikan untuk konteks petani di Indonesia. Sebagaimana konsep Marzali (1999) tentang petani, yang penekanannya lebih kepada proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat. Dimana petani dicirikan melalui tiga aspek yaitu karakteristik perkembangan masyarakat, lokasi (tempat menetap), dan tipe produksi. Pertama, secara umum petani berada diantara masyarakat primitif dan modern, Kedua, petani adalah masyarakat yang hidup menetap di dalam komunitas pedesaan, dan Ketiga, ditinjau dari tipe produksi dan orientasi usahataninya, maka petani berada dalam posisi transisi antara petani primitif dan petani modern (farmer). Jadi sebenarnya konsep petani yang digunakan Marzali di atas, cenderung mengacu pada konsep Redfield tentang peasant. Perbedaan utamanya terletak pada aspek penggunaan tenaga kerja dan orientasi hasil usahataninya. Dimana petani pedesaan di Indonesia pada umumnya tidak lagi sepenuhnya menggunakan tenaga kerja keluarga, melainkan untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu, mereka juga memanfaatkan tenaga kerja dari luar keluarganya (buruh tani). Demikian pula dari orientasi hasil usahataninya, produksi petani tidak lagi semata-mata hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, melainkan juga untuk memperoleh keuntungan ekonomi (semi-komersil).

Mengacu kepada konsep atau definisi tentang petani sebagaimana telah diuraikan di atas, maka konsep petani itu jelas tidak dapat dilepaskan dari konsep komunitas. Sama halnya dengan konsep petani, konsep tentang komunitas pun beragam, tergantung dari dimensi apa seorang ahli memandang dan menjelaskannya. Sebagian ahli antropolog

(38)

mendefinisikan komunitas dengan menekankan pada dimensi ekologis (Redfield dalam Koentjaraningrat, 1990) dan sebagian lagi menggunakan pendekatan sistem sosial (Sander, 1958). Terkait dengan penelitian ini, penulis akan menggunakan konsep komunitas yang lebih moderat. Dimana komunitas tidak hanya dipandang melalui dimensi ekologisnya saja (spasial), melainkan juga dimensi perkembangan sistem sosialnya (sosio-kultural).

Gambaran komunitas sebagai sistem sosial menurut Sander (1958), mengacu pada ruang relasi sosial yang diisi oleh lima faktor yaitu :

1. Ekologi, komunitas berada dan terorganisasi di dalam suatu wilayah dengan pola hidup dan pola pemukiman tertentu. Di dalamnya tercipta jaringan komunikasi yang beroperasi dengan baik, ada distribusi berbagai fasilitas, layanan sosial dan orang mampu mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas.

2. Demografi, dalam komunitas yang terdiri dari populasi pada semua tahap lingkaran hidup, sedemikian rupa sehingga anggota baru muncul melalui proses kelahiran. Setiap individu di komunitas harus memiliki keterampilan dan pengetahuan teknis yang memadai untuk kelangsungan hidupnya.

3. Budaya, setiap komunitas bertujuan mencapai kesejahteraan tertentu, untuk itu mereka mempunyai cara dan nilai tersendiri. Kecenderunganya mencapai suatu integrasi normatif dan merangkum secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan satu atau beberapa kelompok di dalam komunitas.

4. Personalitas, komunitas mempunyai mekanisme mensosialisasikan anggota baru dan mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas.

5. Waktu, komunitas tentu berada dalam rentang waktu. Artinya komunitas membutuhkan waktu sehingga bisa mencapai tingkat kebudayaan yang berbeda satu sama lainnya.

Karakteristik komunitas petani di desa Cigadog dan desa Girijaya, Kabupaten Garut, pada faktanya tidak lagi dapat dibatasi hanya dengan pendekatan dimensi ruang-ekologi (spasial-ruang-ekologis), melainkan perlu pendekatan dimensi ruang-ruang-ekologi dan relasi sosial (spasial-ekologi dan sosio-kultural). Sehingga konsep tentang komunitas yang

(39)

dikemukakan oleh Sander (1958) di atas, dalam pandangan peneliti lebih mendekati dan dapat dioperasionalisasikan bagi komunitas petani yang akan diteliti.

2.2. Kelembagaan Komunitas Petani 2.2.1. Konsep dan Fungsi Kelembagaan

Kelembagaan masyarakat menurut Soemardjan dan Soemardi (1984) didefinisikan sebagai himpunan semua norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pada definisi tersebut, maka fungsi dasar dari keberadaan kelembagaan yaitu untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Soekanto (1990), membagi fungsi kelembagaan menjadi empat fungsi utama yaitu untuk ; (1) memenuhi kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah yang dihadapinya, terutama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, (3) menjaga keutuhan masyarakat, dengan adanya pedoman yang diterima bersama maka kesatuan dalam masyarakat dapat terpelihara, dan (4) memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control).

Setiap masyarakat pasti memiliki kebutuhan-kebutuhan pokok dan tujuan-tujuan hidup yang disepakati bersama. Mengingat bahwa kebutuhan hidup dan kepentingan anggota masyarakat itu beragam, maka perlu adanya nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi untuk mengatur sedemikian rupa agar proses pemenuhan kebutuhan hidup dan kepentingan tersebut berjalan secara lancar, tertib dan adil. Adanya keragaman kebutuhan hidup yang ada di masyarakat kemudian melahirkan beragam jenis dan bentuk kelembagaan masyarakat. Koentjaraningrat (1965) menggolongkan kelembagaan yang ada di masyarakat menjadi delapan bentuk/jenis kelembagaan yaitu ; (1) kelembagaan kekerabatan/domestik (kehidupan kekerabatan), (2) kelembagaan ekonomi (mata pencaharian, memproduksi, menimbun, dan mendistribusikan kekayaan), (3) kelembagaan pendidikan (penerangan dan pendidikan), (4) kelembagaan ilmiah (ilmiah manusia dan menyelami alam semesta), (5) kelembagaan politik (mengatur kehidupan kelompok secara besar-besaran atau kehidupan negara), (6) kelembagaan keaagamaan (mengatur hubungan

Gambar

Tabel 1.  Tiga Pilar “Penopang” Kelembagaan (Three Pillars of Institutions)  Principal
Gambar 1.   Lima komponen kegiatan dalam rangka pengembangan masyarakat (Lubis, 2007)
Gambar 2.   Kerangka alur berfikir hasil perpaduan antara konsep Sustainable Livelihood   (DfID) dengan Entitlement  (Amartya Sen)  dalam Witoro, 2003
Gambar 3.  Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Kelembagaan Ketahanan  Pangan Komunitas Petani Pesisir  dan Pegunungan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Operasi hitung pada volume kubus dan balok yaitu dengan mengalikan, maka ketika dibalikan pun antara panjang (p). Selain itu, terdapat soal yang akan menguji kemampuan

Kemampuan perusahaan dalam mengembangkan keahlian para karyawannya dengan baik akan menjadikan perusahaan tersebut unggul dan penerapan strategi yang berbasis sumber

Model Pembelajaran Saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengonstruksi konsep, hukum atau prinsip melalui

Tujuan yanq hedak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin melihat perbedaan hasil belajar siswa yang diajar oleh guru yang menggunakan model mengajar Rdvance Organizer

[r]

Berangkat dari hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan sebuah kajian yang dapat mengupas seperti apa penggunaan hadits-hadits dalam tafsir sufistiknya Syaikh

anaknya ke neneknya. Implikasi terhadap penelitian ini adalah; 1) untuk mengetahui peranan orangtua dalam membentuk kecerdasan emosional anak usia sekolah dasar

Berdasarkan penjelasan di atas maka 8,387 > 4,01 pada taraf 5%sehingga Ho ditolak artinya ada pengaruh kecerdasan emosional dalam memotivasi diri sendiri terhadap akhlak