• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Mencari penghidupan layak merupakan harapan yang diinginkan setiap tenaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Mencari penghidupan layak merupakan harapan yang diinginkan setiap tenaga"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mencari penghidupan layak merupakan harapan yang diinginkan setiap tenaga kerja yang datang ke kota. Namun, industrialisasi yang berkembang di Dunia Ketiga ternyata belum memberi peluang pada seluruh tenaga kerja di kota untuk bergabung di dalamnya. Industrialisasi memicu urbanisasi masyarakat desa dengan alasan mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Mengingat kondisi kehidupan di desa masih tradisional dengan perkembangan ekonomi yang rendah. Sektor industri diperkirakan menjadi potensi penyerapan tenaga kerja berlebih dari desa, seperti yang disampaikan oleh aliran ekonomi Neoklasik, Lewis, Fey, dan Ranis (dalam Rachbini, 1994: 12).

Arus urbanisasi yang sangat pesat merupakan kelemahan masyarakat yang tidak mampu menciptakan iklim pasaran dalam negeri yang memadai terhadap produktifitas pertanian. Produktifitas pertanian di desa semakin menurun akibat sumber daya manusia banyak bermigrasi ke kota. Alih-alih mampu menjadi cara meningkatkan kesejahteraan, industri yang berkembang justru menciptakan overubanization di mana kepincangan jumlah pencari kerja yang ada di kota maupun kawasan industri dengan lapangan kerja formal yang disediakan. Kebijakan mengimpor teknologi industri padat modal secara masiv mempersempit daya tampung dan mempertajam persyaratan kompetensi para pencari kerja di kota. Hal ini mengakibatkan hanya sebagian kecil tenaga kerja di kota yang memiliki kompetensi

(2)

yang dapat memasuki dunia kerja di perusahaan formal, seperti di sektor pemerintahan dan industri yang memiliki legalitas hukum. Sebagian yang lain mempercayai sektor informal yang hadir sebagai alternatif kesempatan bagi tenaga kerja yang tersingkir untuk bertahan hidup dan memperoleh penghasilan.

Kondisi perkotaan yang ramai membawa potensi yang menjanjikan untuk menghasilkan uang. Hal ini dimanfaatkan sebagian masyarakat yang merupakan angkatan kerja marginal untuk melakukan sektor informal bersifat subsisten. Sektor informal di perkotaan dijelaskan dalam berbagai kriteria kegiatan ekonomi yang agak arbiter. Kegiatan ekonomi mereka dapat ditemui saat seseorang menyusuri jalan-jalan di dalamnya. Pelaku sektor informal memanfaatkan peluang kecil di ruas-ruas jalan menjadi kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi yang telah banyak dimanfaatkan ialah sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjual barang seperti berbagai olahan makanan dan pedagang eceran yang sering dijumpai di terminal, di tempat rehat angkutan umum di pinggir jalan, di lampu merah, bahkan di tempat-tempat rekreasi.

Selain PKL, sektor informal juga dilakukan sebagai penjual koran, pengatur parkir, pedagang asongan, penyemir sepatu, pencukur rambut, penarik becak, penarik ojek motor, penyedia ojek payung, buruh gendong, bahkan penjaja seks komersial (PSK).

Mereka merupakan pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil dengan pendapatan rendah. Usaha mereka pun kadang berpindah-pindah namun masih di sekitar jalan perkotaan.

Semakin jelas bahwa laju urbanisasi yang begitu pesat memiliki kemungkinan kecil untuk bisa dikejar dengan laju pembangunan kota di negara-negara berkembang, mengingat dana pembangunan sendiri terbatas. Meski dalam taraf

(3)

tertentu laju urbanisasi masih dapat dilayani oleh sarana prasarana tertentu, namun tidak bisa dihindari bahwa makin lama prasarana itu tidak lagi memadai dan menjadi penyebab timbulnya kemacetan di banyak sektor. Salah satunya kendaraan-kendaraan pribadi dan umum yang jumlahnya semakin meningkat, terlebih di jam-jam puncak.

Ini sudah terlihat tidak bisa lagi ditampung oleh sarana jalan yang ada. Akibatnya, kemacetan lalu lintas sudah merupakan pengalaman biasa di kota besar maupun wilayah perkotaan.

Suasana kota yang menekan dan persaingan yang cukup keras membuat disiplin para pengemudi dan wibawa polisi semakin merosot dan hal ini makin memperparah suasana kemacetan lalu lintas. Ini ditambah dengan tidak teraturnya rambu lalu lintas di jalan-jalan kota di Indonesia (Herlianto, 1986: 36). Kemacetan lalu lintas ini menimbulkan peluang mendapatkan uang yang dilakukan di tengah ruas jalan perkotaan itu sendiri. Keramaian di ruas jalan perkotaan menawarkan peluang bagi sebagian angkatan kerja marginal untuk menawarkan jasa mengatur kesesakan lalu lintas. Mereka hadir dengan sebutan “pak ogah” atau “polisi cepek” atau dengan meniadakan konotasi menjadi pengatur lalu lintas (peltas) informal. Kesesakan adalah bentuk lain dari persepsi terhadap lingkungan. Kesesakan terjadi saat jumlah kendaraan memenuhi sebuah area, sehingga ruang gerak kendaraan di area tersebut sempit dan saling desak satu sama lain. Kendaraan bergerak perlahan, antrian panjang, dan saling berebut jalan merupakan kondisi kesesakan lalu lintas.

Kesesakan lalu lintas salah satunya disebabkan oleh volume kendaraan yang semakin bertambah. Francis Bello dalam buku The Exploding Metropolis (dalam Herlianto, 1986: 31) menyebutkan tentang hubungan antara kota dengan mobil. Bello

(4)

menekankan bahwa di kota besar dan modern cenderung terdapat banyak kepemilikan mobil yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas, kecelakaan, masalah parkir, polusi udara karena residu asap mobil, dan kebisingan karena klakson dan deru mesin mobil. BPS DIY mencatat jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar tahun 2012, sebagai berikut.

Tabel 1. Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar menurut Jenisnya di D.I.

Yogyakarta Tahun 2012

Sumber: http://yogyakarta.bps.go.id/index.php?r=site/ page&view=ekondag.tabel.8-1-4

Tabel 1 menunjukkan jumlah kendaraan yang ada di DIY mencapai satu juta.

Kepala Dinas Bidang Penganggaran Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Kas Aset Daerah (DPKAD) DIY, Suwantoro, menyampaikan laju pertumbuhan kendaraan bermotor setiap tahunnya naik sampai 15%. Jumlah ini membuat daya tampung jalan mengalami overload. Suwantoro mengkhawatirkan penambahan volume kendaraan di

(5)

masa mendatang mencapai tiga juta. Jumlah ini akan membuat kendaraan tidak bisa jalan dengan kemacetan yang sangat parah. Saat ini pun, pada waktu tertentu, khususnya peak season, volume kendaraan di Propinsi Yogyakarta semakin bertambah. Meski demikian, gelaja kemacetan parah belum terjadi karena jumlah kendaraan tersebut menggunakan jalan secara tidak serempak, hanya 10% saja di hari normal (http://krjogja.com, 2013)

Bukan hanya volume kendaraan yang meningkat, aktivitas urban di wilayah Kabupaten Sleman sendiri secara khusus terlihat dari pembangunan gedung yang diorientasikan sebagai pasar modern (mall) dan hotel. Hal ini memungkinkan terjadi kepadatan lalu lintas di ruas jalan sekitar bangunan. Proses teknis pembangunan membutuhkan ruang yang luas. Material dan peralatan yang besar serta kendaraan berat keluar masuk proyek pembangunan dan terkadang mengganggu akses publik sekitarnya, termasuk pengalihan arah lalu lintas.

Peltas informal merupakan refleksi rendahnya peluang kerja di sektor formal.

Ketidakmampuan dalam memenuhi kompetensi, baik akademis maupun keahlian spesifik di sektor formal merupakan penghalang bagi mereka. Sebagai pekerjaan, peltas informal tergolong sebagai pekerjaan sambilan. Peltas informal bekerja pada waktu tertentu dan tidak tetap. Walaupun beberapa peltas informal tidak murni datang dari gelandangan, namun mereka merupakan masyarakat marginal yang mengandalkan kegiatan mengatur lalu lintas informal ini sebagai kegiatan rutin.

Imbalan saat menjadi peltas informal di tengah ruas jalan memberi tambahan uang bagi masyarakat kalangan bawah dan golongan pengangguran di perkotaan Yogyakarta.

(6)

Melalui data BPS Yogyakarta, tingkat pengangguran di perkotaan Yogyakarta dapat dilihat sebagai berikut.

Gambar 1. Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Wilayah dan Jenis Kelamin D.I.Yogyakarta Februari 2012-2014

Data dalam gambar 1 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di wilayah perkotaan Yogyakarta mengalami penurunan. Namun demikian, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) perkotaan Yogyakarta sebesar 2,68% di atas TPT pedesaan yang hanya sebesar 1,24%. Hal ini memperlihatkan bahwa kondisi perkotaan lebih sulit dan selektif dalam menyediakan lapangan pekerjaan tetap.

Bukan sebagai peminta-minta, peltas informal hadir di tengah ruas jalan melakukan pekerjaan yang memiliki komunikasi dan kerjasama satu dengan yang lain. Tidak semua peltas informal berasal dari gelandangan. Seperti yang dikabarkan Joglosemar.co, salah satu peltas informal di Kota Solo, Sugiyarto mengatakan sebagai berikut.

“Kami ini bukan peminta-minta, dan kami ini tidak menambah ruwet jalanan Solo. Kami Sukarelawan pengatur lalu lintas yang dilatih dan diakui secara resmi oleh kepolisian. Jadi, saya serukan kepada masyarakat, jangan acuhkan kami, karena keberadaan kami membantu arus lalu lintas supaya lancar.”

(7)

(http://edisicetak.joglosemar.co, 2012)

Hal ini pula yang menjadi pembeda peltas informal dengan gelandangan dan pengemis yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) yang baru diberlakukan 1 Januari 2014 kemarin. Keseriusan Pemerintah Daerah (Pemda) Yogyakarta untuk mempertegas ketertiban umum tertuang di Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 tahun 2014 tentang penanganan gelandang dan pengemis (gepeng). BAB I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum menjelaskan tentang definisi perihal gepeng.

Gelandangan adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.

Pemberian uang pada peltas informal dapat ditegaskan bukan sebagai bentuk pengemisan yang ada di dalam Perda No.1 tahun 2014 tentang gelandangan dan pengemis. Kriteria gepeng dicantumkan pada BAB II pasal 5. Kriteria gelandangan yaitu tanpa Kartu Tanda Penduduk (KTP), tanpa tempat tinggal tetap, tanpa penghasilan tetap, dan tanpa rencana hari depan anak-anaknya maupun dirinya.

Kriteria pengemis yaitu mata pencahariannya tergantung pada belas kasihan orang lain, agak terpaksa atau takut, berpakaian kumuh dan compang-camping, berada di tempat-tempat ramai atau strategis, dan memperalat sesama untuk merangsang belas kasihan orang lain. Aktivitas meminta-minta pada pengemis dilakukan di tempat umum dan ramai, seperti di toko, mall, terminal, pasar, stasiun, lingkungan sarana,

(8)

fasilitas pariwisata, pemukiman, tempat ibadah, dan persimpangan jalan di mana terdapat lampu lalu lintas yang notabene tempat kerndaraan berhenti sejenak.

Penghasilan tetap yang dimaksud dalam Perda DIY No. 1 tahun 2014 tentang gepeng tidak mengacu pada nominal upah atau penghasilan yang didapat, namun pada kepastian bahwa seseorang memiliki pendapatan dalam skala waktu tertentu, misalnya harian, mingguan atau bulanan.

Tugas utama menjaga ketertiban lalu lintas memang menjadi tanggung jawab Polantas. Kewenangan untuk melaksanakan tugas penegakan hukum dan pengaturan di bidang lalu lintas ada pada Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia tertuang pada Perkapolri No.5 Tahun 2012 Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa Korps Lalu Lintas Polri yang selanjutnya disebut Korlantas Polri adalah unsur pelaksana tugas pokok bidang keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas yang berada di bawah Kapolri serta bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi lalu lintas yang meliputi pendidikan masyarakat, penegakan hukum, pengkajian masalah lalu lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor serta patroli jalan raya.

Masalahnya, jumlah Polantas di setiap pos penjagaan dengan jumlah persimpangan serta jalur ramai di wilayah perkotaan yang ada di DIY tidak berbanding lurus. Hasil observasi awal menggambarkan situasi pos penjagaan Polantas hanya berisikan jumlah aparat yang dapat dihitung dengan jari, sedangkan persimpangan dan jalur ramai di perkotaan jumlahnya melebihi Polantas yang ada.

Ditambah lagi, intensitas Polantas sebagai pihak yang berwenang untuk mengatur di setiap persimpangan dan jalur-jalur putar balik yang ramai masih jarang. Realitas di

(9)

lapangan, pengaturan oleh Polantas di titik persimpangan jalan dan arah putar balik yang ramai kendaraan hanya dilakukan setiap pagi hari dari pukul 06.00 hingga sekitar pukul 08.00 dan pada saat pejabat Negara melintas, dan malam hari di akhir pekan. Dengan demikian, jumlah dan keberadaan Polantas yang tersedia untuk mengatur trasnportasi kota pun belum dapat mengkover pengawasan ketertiban lalu intas di tiap persimpangan dan jalur putar balik di wilayah perkotaan Kabupaten Sleman. Hal inilah yang menjadi celah peltas informal memanfaatkan keramaian lalu lintas yang menjadi ranah urusan Negara (state based system).

Sebagai ranah Negara, informalisasi sarana publik ini mengindikasikan adanya deformasi struktur yang meyangkut peran Negara, peluang pekejaan, keberfungsian Polantas, dan mental masyarakat, khususnya pengendara di lalu lintas perkotaan. Informalisasi sarana publik sebagai strategi survival peltas informal memperlihatkan ada kekosongan Negara dalam mengamanatkan Polantas untuk mengatur ketertiban lalu lintas masyarakat urban. Di luar pengawasan Polantas, informalisasi sarana publik dilakukan sebagai strategi survival oleh peltas informal dengan mengambil uang yang diberikan pengendara atas jasa menyebrangkan kendaraan. Oleh sebab itu, deformasi struktur memiliki arti perubahan struktur dengan tidak meninggalkan bentuk aslinya, di mana Polantas tetap ada walau titik persimpangan atau jalur putar balik diinformalisasi peltas informal.

Tidak seperti wilayah kota Solo dan DKI Jakarta, peltas informal di DIY tidak mendapat legitimasi Ditlantas. Peltas informal di kota Solo dan DKI Jakarta diijinkan untuk mengatur persimpangan ramai dan memakai seragam. Ini berarti informalisasi sarana publik telah dilegitimasi oleh Pemerintah di wilayah tersebut. Setiawan

(10)

seorang sarjana Psikologi Universitas Muhammidyah Surakarta telah meneliti mengenai Kebersyukuran “Supeltas”. Setiawan (2013: 5-8) menyatakan bahwa peltas informal di Kota Solo berjasa dan membantu pengendara yang melintas di wilayah persimpangan padat lalu lintas. Hal ini membuat bersyukur bagi keluarga dan diri peltas informal. Meski pendapatan tidak menentu setiap harinya, namun legitimasi yang diberikan Ditlantas menjadikan ini pekerjaan yang tetap dan mampu menghidupi keluarga peltas informal. Penelitian tersebut juga mengungkapkan hal positif bahwa peltas informal di Kota Solo mampu menyisihkan penghasilannya untuk sedekah dan membantu fakir miskin, baik yang ditemui di tempat bekerja maupun di wilayah tempat tinggalnya.

Informalisasi sarana publik sebagai strategi survival peltas informal dipotret melalui analisis jaringan sosial antara sesama serta dengan Polantas di wilayah perkotaan di Kabupaten Sleman. Informalisasi sarana publik sebagai strategi survival peltas informal secara khusus menjadi fokus penelitian ini dan belum ada yang membahasnya, mengingat konsep informalisasi sarana publik sendiri belum dibahas sebagai masalah general. Keberadaan peltas informal hanya diungkapkan sebagai komentar umum yang dipublikasi dalam jaringan (online) di sejumlah website, blog, dan media sosial, khususnya dalam bentuk artikel.

B. Rumusan Masalah

Latar belakang di atas menjelaskan peltas informal mengindikasikan adanya informalisasi sarana publik dengan melakukan pengaturan lalu lintas wilayah perkotaan DIY. Oleh sebab itu, pertanyaan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana informalisasi sarana publik yang digunakan sebagai strategi survival peltas informal

(11)

di wilayah perkotaan di Kabupaten Sleman, DIY?” Upaya menjawab pertanyaan dalam penelitian ini menekankan deskripsi survival peltas informal dilihat dari jaringan antara sesama peltas informal dan Polantas.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian.

1. Untuk menjelaskan secara ilmiah keberadaan peltas informal di perkotaan, khususnya di wilayah perkotaan di Kabupaten Sleman.

2. Untuk mengetahui jaringan sosial yang dimiliki antarpeltas informal di wilayah perkotaan di Kabupaten Sleman.

3. Untuk menjelaskan segmentasi keilmuan baru berupa informalisasi sarana publik yang digunakan sebagai strategi survival oleh peltas informal dengan menawarkan jasa menyebrangkan kendaraan di tengah kesesakan lalu lintas.

Manfaat Penelitian.

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan acuan ilmiah kepada Ditlantas dan Dinas Perhubungan DIY dalam menertibkan kesesakan lalu lintas perkotaan.

2. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan acuan kebijakan sosial kepada Pemerintah DIY mengenai keberadaan peltas informal yang telah melakukan informalisasi sarana publik dengan mengambil alih tugas dan tanggung jawab Polantas.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan secara spesifik mengenai jaringan sosial peltas informal dalam mempertahankan survival mereka di tengah aturan formal di perkotaan di Kabupaten Sleman.

(12)

D. Tinjauan Pustaka

1. Informalisasi Sarana Publik Perkotaan

Informalisasi sarana publik memiliki fokus bahasan pada kata “informal”

sebagai kata dasar. Kata “informal” dengan penambahan “isasi”dapat dimaknai sebagai proses menjadi tidak resmi, khususnya sebagai sebuah sektor. Seperti informalisasi yang terjadi pada ekonomi dan ketenagakerjaan dewasa ini, informalisasi sarana publik berpotensi menjadi langkah kuratif yang kotradiktif.

Budiman (2005: 213) mengungkapkan bahwa informalisasi dipandang sebagai sebuah upaya untuk bertahan (survive) dari sebuah kondisi sistem yang kurang kondusif. Informalisasi sarana publik merupakan strategi bertahan peltas informal dengan menjual jasa menyebrangkan kendaraan di persimpangan padat kendaraan yang tidak ada rambu APILL dan jalur putar balik. Manning dan Effendi (1985: 27) berpendapat bahwa sektor jasa “informal” akan menjembatani jumlah jarak tenaga kerja yang terserap di Negara berkembang dan di Negara maju pada masa industrialisasi dulu. Akan tetapi, mereka berdua meragukan bahwa sektor jasa

“informal” ini dapat berlangsung sebagai peluang kerja karena pertumbuhannya tergantung pada pertumbuhan sektor modern. Dalam hal ini, bila rambu dan modifikasi sarana publik untuk mengatasi kongesti lalu lintas telah diimplemantasi oleh LLAJ, Ditlantas, dan Pemerintah Propinsi maka peltas informal akan kehilangan lahan kerjanya.

Informalisasi sarana publik merupakan segmentasi baru di mana jalan raya sebagai akses transportasi yang tidak dikenakan biaya, di jual oleh peltas informal dalam bentuk jasa penyebrangan kendaraan yang melintas di persimpangan ramai

(13)

tanpa rambu APILL dan jalur putar balik. Uang yang didapat peltas informal dari pengendara ini sama sekali berbeda dengan biaya yang dikenakan dalam Tax On Location (TOL). TOL dikenakan pada pengendara atas dasar peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh Negara. Meski TOL dapat diprivatisasi, pada konsepnya, peran pemerintah lebih bersifat fleksibel karena pertumbuhan produktifitas sektor swasta bergantung pada investasi sektor publik seperti jalan, pelabuhan, dan akses transportasi udara (Savas, 1987: 1733). Sementara, uang yang didapat peltas informal merupakan imbalan yang diberikan pengendara tanpa adanya tarif. Imbalan ini berdasar atas bantuan peltas informal yang menyebrangkan pengendara dari kesesakan di persimpangan tanpa lampu APILL dan jalur putar balik.

Dalam kasus peltas informal, yang menjadi konsumen ialah pengendara yang melintas menggunakan jalan raya, baik itu jalan lurus, berbelok, maupun persimpangan dan putar balik. Pengendara yang melintasi jalan raya memiliki keragaman. Seperti halnya kapabilitas ekonomi yang menentukan strata ekonomi di tengah masyarakat, pengendara pun memiliki kapabilitas yang bertingkat mulai dari miskin pengetahuan dan kesadaran berkendara yang aman hingga yang mahir secara teknis dan etika sosial di jalan raya. Selain itu, sikap buru-buru maupun ketidaksabaran merupakan hal yang lumrah dimiliki pengendara di jalan. Adanya peltas informal dapat dijadikan media pengendara untuk mengambil jalur belok maupun putar balik dan mendahului dari pengguna lain pengendara. Kenyataanya, adanya rambu jalan pun selain lampu merah saja jarang ditaati oleh sebagian besar pengendara. Padahal, tujuan utama rambu jalan ialah keselamatan bagi pengendara itu sendiri. Jasa peltas informal digunakan oleh pengendara yang merasa kesulitan

(14)

untuk lolos dari keruwetan lalu lintas di persimpangan ramai dan putar balik, seperti supir bis dan truk yang hampir selalu memberi imbalan kepada peltas informal karena membantu meloloskan bodi besar mereka saat berbelok di persimpangan perkotaan maupun putar balik di tengah keramaian lalu lintas perkotaan.

Meski beberapa pengendara memilih untuk membayar jasa peltas informal di tengah lajur persimpangan dan putar balik, akan tetapi banyak pengendara yang lebih percaya pada kapabilitas teknis dan etika yang mereka miliki berdasarkan jam terbang yang tinggi di jalan raya. Tipe pengendara seperti ini akan seluruhnya berusaha menataati rambu jalan yang terpasang, maupun memperhitungkan resiko keselamatan serta etika saling menghargai sesama pengendara saat tidak ada rambu jalan, dan yang pasti tidak membutuhkan jasa peltas informal untuk mengatur laju kendaraannya.

Layaknya penata parkir yang juga memanfaatkan bahu jalan, peltas informal menginformalisasi sarana publik akibat kesesakan lalu lintas yang terjadi di antara pengendara di tengah ruas persimpangan maupun jalur putar balik. Meski peltas informal tidak memiliki komoditi berupa barang dan mendiskreditkan hak dan tanggungjawab Polantas, beberapa pengendara yang merasa terbantu kelancaran jalannya memberikan imbalan tanpa tarif. Aksi pemberian imbalan ini mempertegas bahwa usaha peltas informal ini mengkomodifikasi jalan di persimpangan dan jalur putar balik untuk menawarkan jasa menyebrangkan kendaraan. Jadi, siapa yang membayar, maka pengendara itulah yang didahulukan jalannya, meski dengan keterbatasan keamanan bagi dirinya dan pengendara lain.

(15)

2. Strategi Survival di Wilayah Perkotaan.

Strategi hidup di wilayah perkotaan bukanlah hal yang mudah, terutama bagi masyarakat marginal. Di wilayah perkotaan, strategi untuk hidup dilakukan secara tangguh. Perkotaan merupakan wilayah dengan standar modernitas yang tinggi sehingga dibutuhkan banyak kreatifitas dan produktifitas untuk mengatasi tekanan hidup. Masyarakat urban mempunyai tuntutan hidup yang serba cepat, dimanis, dan produktif, sehingga pertumbuhan ekonomi, pembangunan insfrastruktur, dan fasilitas gaya hidup dibangun secara masiv di perkotaan. Putra (1986: 13-20) mendefinisikan bahwa strategi adalah suatu pemikiran yang dibentuk oleh berbagai usaha yang direncanakan manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Ahimsa-Putra mengartikan strategi sebagai cara berpikir di mana terbentuknya karena hasil pengamatan satu atau berbagai macam kegiatan tertentu. Strategi ini meliputi cara untuk tingkah laku, yang terdiri dari seperangkat aturan, strategi, norma dan gagasan yang tercakup dalam sebuah kebudayaan atau dalam hal ini sebagai kebiasaan.

Strategi ini timbul dari penafsiran manusia dengan menggunakan kerangka pemikiran tertentu atas lingkungan dan situasi yang dihadapi.

Survival merupakan pejuangan. Ini merupakan istilah serapan dari bahasa Inggris. Pengertian survival dalam hidup seseorang maupun kelompok mengandung makna memperjuangkan dan mempertahankan kelangsungan kehidupan, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Strategi survival secara esensial adalah strategi bertahan untuk pemenuhan kebutuhan hidup, sebagai akibat ruang yang penuh kesenangan dan kompetisi.

(16)

Strategi dalam memperjuangkan kehidupan di perkotaan, khususnya bagi peltas informal, pada hakikatnya mengandung pemikiran ke depan tentang tindakan- tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan survival bagi peltas informal, notabene berasal dari masyarakat marginal, tentunya berupa sebuah kesejahteraan. Ini sering dinilai sebagai mendapatkan penghasilan yang layak untuk mencukupi kebutuhan pokok. Meski faktor ekonomi menjadi satu alasan klise, namun hal ini merupakan realita masalah yang harus dihadapi hampir setiap orang, bukan hanya peltas informal saja. Maka dari itu, strategi dalam suatu komunitas maupun individu peltas informal dibutuhkan untuk dapat mempertahankan posisi di mana terdapat kesesakan lalu lintas serta situasi aman bagi mereka. Jadi dapat disimpulkan bahwa strategi survival peltas informal adalah cara kelompok maupun seorang peltas informal menyelesaikan problematika, meski dengan bantuan media apapun guna meneruskan penghidupan di ramainya jalanan perkotaan.

3. Teori Jaringan Sosial

Jaringan sosial berperan dalam strategi survival peltas informal. Hal ini terlihat di saat peltas informal beaksi tidak sendirian, bahkan berganti-ganti dari lokasi satu ke yang lain. Konteks jaringan sosial menjelaskan dinamika relasi yang terjalin antara usaha peltas informal, masyarakat, dan pihak penanggung jawab lalu lintas di sektor formal. Jaringan sosial yang menciptakan relasi ini menjelaskan bagaimana strategi survival peltas informal, khususnya di area ramai lalu lintas di perkotaan di Kabupaten Sleman.

Analisa jaringan sosial dapat diidentifikasi pada tingkatan antar individu maupun struktur. Tingkatan individu memperlihatkan jaringan hubungan yang khas

(17)

di antara sejumlah orang dengan sifat-sifat tambahan di mana ciri-ciri hubungan tersebut digunakan untuk menginterpretasikan tingkah laku sosial dari setiap individu yang terlibat. Meski demikian, sasaran perhatian analisisnya bukan pada individu sebagai aktor sukarela, namun pada paksaan struktur sosial yang kompleks yang berada di bawah pola jaringan. Tingkatan struktur memperlihatkan bahwa pola hubungan sosial dapat meningkatkan maupun menghambat perilaku orang untuk terlibat dalam bermacam arena kehidupan sosial. Oleh karenanya, tingkat ini memberikan suatu dasar dalam memahami bagaimana perilaku individu dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada. Selain itu, cara paling langsung mempelajari struktur sosial dalam jaringan ialah menganalisis ikatan yang menghubungkan anggotanya.

Jaringan sosial memiliki dasar pemikiran sosiologis. Penekanannya membedakan pendekatan “normatif” atau “atomistis” di diri aktor yang terlalu bersifat ciri pribadi dan mengabaikan struktur sosial. Ini merupakan pandangan Barry Wellman yang tidak menyetujui adanya perspektif atomistis dan normatif dalam penjelasan jaringan karena analisis jaringan sosial berfokus pada aktor yang berada di bawah paksaan strktural (Ritzer dan Goodman, 2007: 382-383). Teori jaringan sosial menekankan sasaran perhatian utama pada pola objektif ikatan yang menghubungkan anggota masyarakat, baik individual maupun kolektivitas. Tulisan Ritzer dan Goodman (2007: 384) menjelaskan enam prinsip pada teori jaringan, yaitu.

a) Ikatan antara aktor biasanya berpola simetris, baik dalam kadar maupun intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan mereka berbuat demikian dengan intensitas yang makin besar atau makin kecil.

(18)

b) Ikatan antara individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas.

c) Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan nonacak.

Jenis jaringan ini transitif, jika A, B, dan C memiliki ikatan maka ada kemungkinan A dan C memiliki ikatan sendiri. Akibatnya, lebih besar kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A, B, dan C.

Gambar 2. Ilustrasi Jenis Jaringan Sosial Transitif

Di lain pihak, ada keterbatasan jumlah hubungan yang muncul dan seberapa kuat hubungan itu dapat terjadi. Akibatnya juga ada kemungkinan terbentuknya kelompok-kelompok jaringan dengan batas tertentu yang saling terpisah satu sama lain.

d) Adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya hubungan silang antara kelompok jaringan maupun antara individu.

e) Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan yang mengakibatkan sumber daya yang terbatas akan terdistribusi secara tidak merata.

f) Distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan kompetisi maupun kerja sama. Asumsinya, beberapa kelompok akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan bekerja sama, sendangkan kelompok lain melakukannya dengan bersaing dan memperebutkannya.

A B C

(19)

Pada dasarnya, hubungan merupakan hasil dari interaksi atau rangkaian tingkah laku yang sistemik antara dua orang atau lebih. Suatu interaksi ada jika tiap individu dapat meramalkan secara tepat macam tindakan yang akan datang dari pihak lain terhadap dirinya. Hal ini disebut sistemik karena interaksi terjadi secara teratur berulang kali dengan pola yang relatif sama. Pola interaksi ini menjadi sebuah hubungan sosial yang dapat membentuk jaringan sosial antar individu dan pada struktur yang berlaku di tengah masyarakat. Di dalam enam prinsip Ritzer dan Goodman, Granovetter (1973: 1358) menyumbang klasifikasi dua jenis ikatan, yaitu ikatan kuat dan lemah, untuk menjelaskannya secara rinci. Ini mempermudah dalam menganalisis ritme interaksi yang terjalin antarindividunya maupun pola silang dengan antarkelompoknya. Argumentasi penting yang diberikan Granovetter (1973:

1360) di dalam jurnalnya The Strength of Weak Ties mengungkapkan mengenai analisis proses ikatan lemah dalam jaringan interpersonal, that it provides the most fuitful micro-macro bridge. In one way or another, it is throught these networks that small-scale interaction becomes translated into large-scale patterns, and that these, in turn, feed back into small group. Ini menjelaskan bahwa ikatan lemah mampu menjadi mediasi dengan kelompok di luar sistem jaringan sehingga menjadi pola jaringan yang besar dengan adanya umpan dari jaringan tersebut.

Penjelasan konsep jaringan sosial yang terjadi pada strategi survival peltas informal ditentukan oleh karkateristik morofologi (Mitchell, 1974: 284-290) yang kebanyakan analisis data sosialnya mempertimbangkan totalitas konteks yang dibentuk oleh jaringan sosial (anchorage), ketercapaian di mana perilaku individu dipengaruhi oleh individu yang lain (reachability), jumlah atau derajat link yang

(20)

melibatkan antara seseorang sebagai objek asli dan orang yang ditargetkan (density), serta jarak dan jumlah orang dengan anggota jaringan yang memiliki link (range).

Karakteristik morfologi Mitchell dapat dikatakan sebagai penunjuk tempat yang berujud dan merupakan tempat yang digunakan dalam transaksi ekonomi.

Keberadaan peltas informal menempati ruang lalu lintas perkotaan yang memiliki anchorage keramaian laju kendaraan. Sebuah latar atau ruang lingkup memiliki anchor person (sebutan Mitchell untuk aktor utama dari sebuah jaringan sosial di sebuah suku atau ras) dalam menentukan keputusan krusial. Titik labuh peltas informal di keramaian lalu lintas kota ini menciptakan pengaruh perilaku pada individu lain, baik sesama pelaku sektor informal, pengendara, dan juga Polantas sebagai pihak yang berwenang mengatur lalu lintas. Density dan range dapat diketahui dengan mengikuti pola jaringan yang terbentuk oleh peltas informal, baik dalam tingkatan individu maupun struktur yang bersinggungan terhadap wewenang pengatur lalu lintas formal.

Jaringan sosial peltas informal tingkatan individu dapat dilihat dari tingkah laku individu tersebut serta dari proses interaksi yang terjadi satu sama lain. Mitchell (1974: 291-295) mengidentifikasi content, directedness, durability, intensity, and frequency sebagai kriteria interaksional dalam jaringan sosial. Lima karakteristik ini perlu dipertimbangkan dalam menganalisis jaringan sosial.

a) Content, yaitu substansi mengenai hubungan yang ada antar individu berdasarkan tujuan tertentu. Konten hubungan dilihat berdasarkan norma, kepercayaan (trust), dan nilai yang telah disepakati bersama.

b) Directedness, yaitu alur orientasi hubungan antar individu, sepihak atau resiprok.

(21)

c) Durability, yaitu kesadaran individu terhadap hak dan kewajiban untuk mengidentifikasi individu lain. Kesadaran hubungan ini digunakan untuk tujuan tertentu, mencapai objek tertentu, memperoleh beberapa informasi.

d) Intensity, yaitu derajat individu yang dipersiapkan untuk memiliki tanggung jawab atau memiliki kebebasan mengekspresikan hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan individu lain.

e) Frequency, yaitu melihat kuantitas atau kontak antar individu sebagai karakteristik interaksi dalam jaringan.

Kriteria interaksional membantu menganalisis jaringan sosial yang terjadi antar peltas informal dan pihak pengatur lalu lintas formal. Teori jaringan sosial Mitchell digunakan karena memiliki konsep yang lebih detail dan terstruktur. Oleh karena itu, gabungan teori jaringan sosial yang ada pada tulisan Ritzer dan Goodman serta Mitchell menjelaskan hubungan antara jaringan sosial dengan mekanisme cara hidup peltas informal di jalanan perkotaan di Kabupaten Sleman.

Gambar

Tabel 1 . Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar menurut Jenisnya di D.I.
Gambar 1. Tingkat Pengangguran Terbuka menurut Wilayah dan Jenis Kelamin D.I.Yogyakarta  Februari 2012-2014

Referensi

Dokumen terkait

Mencari dan memilih jodoh bujang gadis Lampung dimulai dengan proses perkenalan di tempat-tempat yang telah menjadi tradisi. Pergaulan dan perkenalan bujang gadis

Selain itu Kondisi SD Se-Gugus IV SD Sentolo, di kecamatan Sentolo yang rata–rata daerahnya berada di pinggiran kota, dan sebagian besar letaknya jauh dari akses jalan raya dan

Mochtar Kusumaatmadja juga mengemukakan persetujuannya terhadap pendapat dari Ehrlich di atas bahwa hukum positif karenanya akan sangat efektif terhadap suatu

Membuat inferens – antara contoh aktiviti yang boleh diaplikasikan dalam pengajaran dan pembelajaran ialah membuat kesimpulan awal atau hipotesis berdasarkan pemerhatian,

(6) Surat Keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak atau Instansi yang berwenang sesuai dengan

ISO 9001:2000 sebagai bagian dari Total Quality Management (TQM), me- rupakan paradigma baru dalam men- jalankan organisasi yang berupaya me- maksimumkan daya

Tingkat akurasi metode multiple kernel support vector machine yang dihasilkan untuk data ekspresi gen leukimia yaitu 85% dan untuk data tumor usus besar sebesar

Oleh karena itu, dengan melalui proses yang panjang seperti yang telah dikatakan, diharapkan perancangan Interior Library & Co-working Space di Surabaya ini dapat