• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS TANAH DALAM PENGADAAN DAN PENCABUTAN HAK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS TANAH DALAM PENGADAAN DAN PENCABUTAN HAK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

64

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK

ATAS TANAH DALAM PENGADAAN DAN PENCABUTAN

HAK ATAS TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PROTECTION AGAINST THE LAW OF LAND RIGHTS IN

PROCUREMENT AND CANCELLATION RIGHTS LAND

FOR PUBLIC INTEREST

Arba, Arief Rahman, Wiwiek Wahyuningsih, & Shinta Andriyani.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami prinsip-prinsip hukum pengaturan perlindungan hukum hak-hak individu dan masyarakat dalam pengadaan tanah untuk pembangunan sarana kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, oleh karena itu metode pendekatannya adalah normatif guna mengkaji asas-asas, norma-norma, konsep-konsep hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, pendekatan analitis, dan pendekatan komparatif. Hasil penelitian setelah dianalisis menunjukan bahwa: baik pengadaan tanah untuk pembangunan sarana kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 maupun berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 sama-sama memberikan perlindungan hukum yang tinggi terhadap pemegang hak. Hal ini tercermin di dalam berbagai ketentuan hukum yang tertuang di dalam kedua UU tersebut. Selain itu walaupun memberikan perlindungan hukum yang sama, akan tetapi antara kedua UU ini terdapat persamaan dan perbedaan prinsip-prinsip hukum dan proses hukum dalam pelaksanaannya.

Key Wood: Perlindungan hukum, pencabutan & pelepasan hak. ABSTRACT

This research aims to study and understand the legal principles of legal protection arrangements rights of individuals and communities in the provision of land for the development of means of general interest based on Act No. 20 of 1961 and Act No. 2 of 2012.

These research is normative law, therefore the method of approach is useful to review the normative foundations, norms, concepts of the law written in the legislation. The approach is the approach of the legislation, the concept approach, analytical approach, and comparative approach.

The results after analysis showed that: a good provision of land for the development of means of general interest based on Act Number 20 of 1961 as well as based on Act Number 2 of 2012 while providing legal protection high on the right. This is reflected in the various provisions of the law are decanted in the second law. More over even provide the same legal protection, but between this law there are similarities and differences of laws principles and the legal process in the implementation.

Key Word : Protection Law, extraction & emission rights PENDAHULUAN

Setiap individu mempunyai hak dan kewajiban yang sama yang dlindungi oleh hukum, baik oleh hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Hak-hak

(2)

64

Hak-hak individu dan masyarakat diatur dengan jelas di dalam Pasal 27 dan 28 UUD 1945, untuk itu wajib dilindungi diatur dan dilindungi oleh hukum. Terutama sekali hak milik, khusus hak milik atas tanah. Hak milik atas tanah menurut UUPA adalah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh seseorang atas tanah dengan memperhatikan prinsip fungsi sosial. Artinya bahwa hak milik atas tanah itu adalah hak yang selalu melekat pada setiap subyek hak yang turun temurun yang dapat diwariskan secara terus menerus sampai kapanpun, dan merupakan hak yang paling kuat dan di dalamnya dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya, namun harus mengutamakan kepentingan umum. Demikian pula hak-hak atas tanah lainnya yang dikuasai oleh subyek hukum wajib dihormati dan dihargai oleh siapapun. Oleh karena itu apapun perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum wajib menghormati hak-hak individu.

Untuk mendapatkan tanah guna membangun sarana kepentingan umum ini, pemerintah dapat melakukan dengan dua cara, yaitu melakukan pembebasan hak atas tanah melalui pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan melakukan pencabutan hak atas tanah. Kedua cara ini mempunyai tatacara dan prosedur yang hampir sama, tetapi kedua cara ini dilakukan dalam kondisi yang berbeda, namun kedua-duanya sama-sama memutuskan hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanahnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum hak-hak individu dan kelompok dalam pengadaan tanah untuk sarana pembangunan kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012; dan untuk mengetahui dan memahami persamaan dan perbedaan prinsip dalam proses pengadaan tanah untuk sarana pembangunan kepentingan umum menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.

Konsepsi perlindungan hukum adalah sebaga berikut: Satjipto Rahardjo, mengatakan “perlidungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak

asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan hukum.”1

Adnan Buyung Nasution mengatakan:” perlindungan hukum adalah melindugi hak dan martabat manusia dari pemerkosaan yang pada dasarnya serangan hak pada orang lain telah melanggar aturan norma hukum dan Undang-undang.”2

Philipus M. Hadjon membedakan dalam dua macam, yaitu sebagai berikut: 1. Perlindungan hukum preventif adalah

perlindungan hukum di mana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum sesuatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.

2. Perlindungan hukum represif, yaitu upaya perlindungan hukum yang peradilan administrasi negara. Perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.”3

Konsepsi pengadaan tanah adalah sebagai berikut: Maria S.W. Soemardjono mengatakan Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah untuk memperoleh tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum. Pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya dperlukan untuk kegiatan pembangunan.4

1 Satjipto Raharjo, Pengelenggaraan

Keadilan Dalam Masyarakat yang sedang Berubah Masalah-Masalah Hukum, No. 1-6 Tahun X/10/2007.

2 Adnan Buyung Nasution, Hukum

dan Keadilan, Majalah, No. 1 Tahun 1996. hlm. 5-10.

3 Philipus M Hadjon, Perlindungan

Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya, penanganan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1987, hlm. 39

4 Maria S.W. Soemardjono, Tanah

Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan

(3)

64 Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan

untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.5 Boedi Harsono mengatakan: Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.6

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat antara instansi yang membutuhkan tanah tersebut

dengan pemegang haknya.

Penyelenggaraan Pengadaan Tanah memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.

Sedangkan Pencabutan hak atas tanah menurut Boedi Harsono sebagai berikut: “Pencabutan hak adalah lembaga sarana untuk memperoleh tanah secara paksa. Pencabutan hak adalah pengambilan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh negara secara paksa yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum.”7

Pencabutan hak atas tanah dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUPA yang menentukan menentukan: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan

Budaya, Jakarta Penerbit Buku Kompas, 2008, hlm. 280.

5

.Pasal 1 Angka 3, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

6.Boedi Harsono, Hukum Agraria

Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, Edisi Revisi, 2009, hlm. 327.

7 Boedi Harsono, Ibid, hlm. 326

memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Atas dasar ketentuan tersebut maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Di dalam Pasal 1 disebutkan bahwa : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan penbangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, mengkaji dan memahami asas-asas hukum, norma-norma hukum dan kebijakan-kebijakan di bidang pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Penelitian hukum normatif menurut Mukti Fajar dan Yulianto Achmad8 “adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma-norma, kaidah-kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran)”.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang utama yang dipergunakan adalah pendekatan normatif. Pendekatan normatif yang dipergunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan komparatif (compartive approach) dan

8 Mukti Fajar ND. dan Yulianto

Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, Normatif dan Empiris, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. I, 2010), hlm. 34.

(4)

64 pendekatn analitis (analiytical

approach).9

3. Sumber dan Jenis bahan hukum Penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (liberary research), yaitu untuk mengkaji bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan-bahan hukum sekunder berupa: konsep-konsep teori dan pendapat para ahli, dan dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil penelitian, serta bahan hukum tertier berupa kamus-kamus bahasa dan kamus hukum.10

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum (bahan kepustakaan) dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis bahan-bahan kepustakaan (mengkaji Undang-undang dan peraturan-peraturan, serta buku-buku literatur). Selain itu juga mengkaji dokumen-dokumen resmi negara, mengkaji pendapat-pendapat para ahli hukum, hasil-hasil penelitian hukum sebelumnya, kamus hukum dan ensiklopedia hukum.

4. Teknik Analisis Bahan hukum Untuk mengkaji hukum dari aspek normatif (law in book), maka metode normatif analitislah yang dijadikan acuan dalam mengkaji dan menganalis sesuatu permasalahan. Penelitian normatif pada ranah filosofis mendialogkan secara eksploratif asas-asas, nilai-nilai mengenai keadilan dan kepastian. Dengan demikian, analisis bahan hukum dengan cara menggunakan penafsiran-penafsiran hukum, baik penafsiran otentik, penafsiran gramatikal, penafsiran historical, maupun penafsiran secara ekstensif.11 Dari hasil analisis selanjutnya mencari prinsip-prinsip hukum, hubungan-hubungan antara prinsip hukum yang satu dengan prinsip hukum lainnya, persamaan hal-hal yang sering timbul, dan sebagainya

9 Mukti Fajar ND. dan Yulianto Achmad,

Op. Cit. hlm. 185 - 191, lihat juga Johnny Ibrahim, Op. Cit. hlm. 246 – 269.

10. Soerjono Soekanto, Pengantar

Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986. hal. 12

11. S. Nasution, Metode Penelitian

Naturalistik, (Bandung, Transito, 1982), hlm. 129.

kemudian disimpulkan dengan menggunakan penalaran deduktif-induktif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perlindungan hukum hak-hak

individu dan kelompok dalam

pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan UU. No. 20 Tahun 1961 dan UU. No. 2 Tahun 2012

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo pada bab-bab terdahulu bahwa perlidungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan hukum. Dengan demikian konsepsi kata perlindungan dalam kaitan dengan kata perlindungan hukum adalah pengaturan sesuatu hal tertentu agar medapatkan suatu tempat yang aman, atau pengaturan sesuatu oleh hukum sehingga hak dan kewajibannya dilindungi hukum.

Perlindungan hukum dalam hubungan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh pemerintah adalah perlindungan hak-hak individu dan kelompok masyarakat yang diberikan oleh hukum berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Artinya pemerintah walaupun mempunyai kewenangan untuk menguasai dan mengatur untuk kepentingan umum tidak boleh sewenang-wenang untuk mengambilalih tanah-tanah hak individu dan masyarakat. Hak-hak individu dan masyarakat yang melekat di atas tanah tersebut wajib dihormati dan dilindungi.

Hukum berfungsi dan bertujuan untuk menciptakan ketertiban, dan kepastian hukum, hukum harus mampu menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, dan hukum dapat memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan semua pihak. Hukum dibentuk untuk dapat memberi perlindungan hukum dan hak subyek hukum secara preventive maupun secara represif.

1. Perlindungan hukum hak-hak

individu dan masyarakat dalam pencabutan hak atas tanah untuk

pembangunan kepentingan

(5)

64

umum berdasarkan UU. No. 20 Tahun 1961

1.1. Pengertian, dan tujuannya.

Menurut Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria maka untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Di Atasnya.

Pasal 1 menentukan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka, Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.

Penjelasan Umum angka 1 mengatakan, bahwa pada azasnya maka jika diperlukan tanah dan/atau benda lainnya kepunyaan orang lain untuk sesuatu keperluan haruslah lebih dahulu diusahakan agar tanah itu dapat diperoleh dengan persetujuan yang empunya, misalnya atas dasar jual-beli, tukar-menukar atau lain sebagainya. Tetapi cara demikian itu tidak selalu dapat membawa hasil yang diharapkan, karena ada kemungkinan yang empunya meminta harga yang terlampau tinggi ataupun tidak bersedia sama sekali untuk melepaskan tanahnya yang diperlukan itu. Oleh karena kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan orang-seorang, maka jika jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang diharapkan, pemerintah bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan dengan jalan mengadakan pencabutan hak sebagai yang dimaksud dalam pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut di atas.

Atas dasar ketentuan Pasal 18 UUPA dan UU. No. 20 Tahun 1961 tersebut maka Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden

Nomor 9 Tahun 1973 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan/atau benda-benda yang berada diatasnya. Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang berada di atasnya, supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta dengan cara-cara yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan-perundangan yang berlaku.12

Tujuan utama pelaksanaan pencabutan hak atas tanah dalam rangka memperoleh tanah untuk pelaksanaan pembangunan kepentingan umum, dan kepentingan umum tersebut tidak bisa dipindahkan di lokasi lain, dan tidak bisa dilakukan dengan cara lain. Kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan orang-seorang, maka jika tindakan yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan yang memaksa.

1.2. Dasar Hukum Pencabutan hak atas tanah.

Pencabutan Hak Atas Tanah di Indonesia dilakukan berdasar peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Pasal 18 UUPA;

b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1960 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Berada di atasnya;

c. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentangpencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang berada di atasnya.

1.3. Prinsip-prinsip hukumnya

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 beserta penjelasan umum maupun penjelasan pasal demi pasal, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa asas-asaa umum pengadaan tanah melalui pencabutan hak adalah:

1. Prinsip kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat.

2. Prinsip pernghormatan hak-hak pemegang hak; Penguasaan tanah dan/atau benda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada surat keputusan pencabutan hak dari Presiden dan setelah dilakukannya

12 AP. Parlindungan, Komentar Atas

Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung, Alumni, Tahun 1988, hal. 57.

(6)

64 pembayaran ganti kerugian yang

ditetapkan oleh Presiden.

3. Prinsip musyawarah dan mufakat; pencabutan hak adalah jalan yang terakhir untuk memperoleh tanah dan/atau benda lainya yang diperlukan untuk kepentingan umum

dengan mengutamakan

musyawarah dan mufakat. 4. Prinsip ganti rugi yang layak;

yaitu bahwa pencabutan hak harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak dan harus pula dilakukan menurut cara yang diatur dalam

Undang-undang. Maria SW.

Soemardjono menggunakan istilah ganti rugi yang adil. Ganti kerugian sebagai upaya mewujudkan penghormatan terhadap hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum, dapat disebut adil apabila hal tersebut tidak membuat seseorang menjadi lebih kaya, atau sebaliknya menjadi lebih miskin dari pada keadaan semula.13 1.4. Prosedur dan tatacara

pencabutan hak-hak atas tanah. Berdasarkan UU. No. 20 Tahun 1961 dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 pencabutan hak atas tanah dan benda-benda d atasnya harus melalui suatu prosedur tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 s/d Pasal 9 UU. No. 20 Tahun 1961. Secara garis prosedur dilakukan sebagi berikut:

1. Setelah menerima pengajuan permintaan pencabutan hak atas tanah dari yang berkepentingan, Kantor wilayah BPN Provinsi meminta pertimbangan kepada Kepala Daerah untuk memberikan pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak atas tanah. Selain itu, Kantor wilayah BPN Provinsi juga meminta pertimbangan kepada panitia penaksir untuk menaksiran biaya ganti rugi.

13 Maria SW. Sumardjono, Kebijakan

Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Kompas, Tahun 2001, hal. 80.

2. Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan, Kepala Derah harus

sudah menyampaikan

pertimbangannya dan panitia penaksir sudah harus menyampaikan taksiran besar ganti kerugian kepada Kantor wilayah BPN Provinsi. Setelah mendapat pertimbangan dan tafsiran ganti kerugian Kantor wilayah BPN Provinsi menyampaikan permintaan pencabutan hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

3. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan Kepala Daerah dan panitia peaksir belum menyampaikan pertimbangannya, maka Kantor wilayah BPN Provinsi dapat menyampaikan permintaan pencabutan hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tanpa menunggu pertimbangan Kepala Daerah dan panitia penaksir.

4. Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengajukan permintaan pencabutan hak atas tanah tersebut kepada Presiden disertai dengan pertimbangan Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan. Pengajuan pencabutan hak atas tanah harus segera dilaksanakan untuk mendapatkan keputusan Presiden mengenai pencabutan hak atas tanah.

1.5. Perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah dan benda-benda di atasnya.

Berdasarkan UU No. 20 Tahun 1961, bahwa pencabutan hak atas tanah dan benda-benda di atasnya tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang dan dengan serta merta oleh pemerintah walaupun untuk kepentingan umum. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan sebagai berikut:

1. Adanya prinsip dalam Pasal 1 bahwa pencabutan hak atas tanah dan benda-benda di atasnya hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan;

2. Hanya Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan

(7)

64 benda-benda yang ada diatasnya

(Pasal 1);

3. Penguasaan tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada surat keputusan pencabutan hak dari Presiden (Pasal 5);

4. Penguasaan tanah dilakukan setelah dilakukan pembayaran ganti-kerugian, yang jumlahnya ditetapkan dalam surat-keputusan Presiden serta diselenggarakannya penampungan bekas pemegang hak (Pasal 5);

5. Jika pemegang tidak bersedia menerima ganti-kerugian yang ditetapkan dalam surat keputusan Presiden tersebut, karena dianggapnya jumlahnya kurang layak, maka ia dapat minta banding kepada Pengadilan Tinggi, yang daerah kekuasaannya meliputi tempat letak tanah dan/benda tersebut, agar pengadilan itulah yang menetapkan jumlah ganti-kerugiannya. Pengadilan Tinggi memutus soal tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir (Pasal 8 ayat 1);

6. Jika di dalam penyelesaian persoalan tersebut di atas dapat dicapai persetujuan jual-beli atau tukar-menukar, maka dengan jalan itulah yang ditempuh, walaupun sudah ada surat-keputusan pencabutan hak (Pasal 10);

7. Jika telah terjadi pencabutan hak sudah dilakukan tetapi kemudian ternyata, bahwa tanah dan/atau benda yang bersangkutan tidak dipergunakan sesuai dengan rencana peruntukannya, yang mengharuskan dilakukannya pencabutan hak itu, maka orang-orang yang semula berhak atasnya diberi prioritet pertama untuk mendapatkan kembali tanah dan/atau benda tersebut (Pasal 11). Memperhatikan berbagai prinsip-prinsip hukum yang digunakan, prosedur-prosedur pelaksanaannya, serta ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan perlindungan hukum dan hak bagi pemegangnya tersebut di atas, maka pemegang hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya selalu mendapat perlindungan hukum dan hak yang memadai dari UU, walaupun demi

kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan bersama dari rakyat banyak. Prinsip penghormatan terhadap hak-hak individu selalu di kedepankan. Prinsip ini telah mendapat jaminan dari Konstitusi Negara kita (UUD 1946) hasil amandemen kedua, Pasal 28 H ayat (4) yang menentukan: bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Namun demikian Pasal 28 J ayat (2) menentukan: bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban hukum dalam suatu masyarakat demokrasi.

2. Perlindungan hukum hak-hak

individu dan kelompok dalam

pengadaan tanah untuk sarana pembangunan kepentingan umum berdasarkan UU. Nomor 2 Tahun 2012

2.1. Pengertian dan tujuannya.

Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak (Pasal 1 angka 2). Dalam penjelasan umum angka I disebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pemerintah perlu menyelenggarakan pembangunan. Pembangunan untuk Kepentingan Umum tersebut memerlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip yang terkandung di dalam UUD 1945 dan hukum tanah nasional, antara lain prinsip kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan sesuai dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara.14

Objek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah,

14 Penjelasan Umum UU. Nomor 2 Tahun

2012.

(8)

64 bangunan, tanaman, benda yang berkaitan

dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai Pasal 1 angka 4). Pengadaan tanah dilakukan dalam upaya pemerintah membangun fasilitas kepentingan umum di atas tanah hak perseorangan, tanah hak badan hukum atau tanah hak kelompok masyarakat. Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 1 angka 6).

Pengadaan tanah dilakukan dengan cara pelepasan Hak, adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga Pertanahan (Pasal 1 angka 7). Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah (Pasal 3) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.

Ketentuan tersebut menunjukan bahwa perlindungan hak-hak pemegang hak atas tanah selalu di kedepankan walaupun alasan untuk pembangunan kepentingan umum. Kepentingan umum diutamakan tetapi hak-hak pemegang hak tidak boleh diabaikan. Antara kepentingan umum dan kepentingan individu pemegang hak harus sama-sama dilindungi. Yang termasuk pembangunan sarana untuk kepentingan umum yang dselenggarakan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU No. 2 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:

a. pertahanan dan keamanan nasional; b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur

kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;

c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;

d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. infrastruktur minyak, gas, dan panas

bumi;

f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;

g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;

h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;

i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;

j. fasilitas keselamatan umum;

k. tempat pemakaman umum

Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan

ruang terbuka hijau publik; m. cagar alam dan cagar budaya;

n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;

o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;

p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;

q. prasarana olahraga

Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. pasar umum dan lapangan parkir

umum.

Di dalam Undang-Undang ini ditentukan pokok-pokok pengadaan tanah yang diatur di dalam Pasal 6–9 yang menentukan sebagai berikut:

1. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

diselenggarakan oleh Pemerintah. 2. Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum

diselenggarakan sesuai dengan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah; b. Rencana Pembangunan

Nasional/Daerah; c. Rencana Strategis; dan d. Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.

3. Dalam hal pengadaan tanah dilakukan untuk infrastruktur minyak,

gas, dan panas bumi,

pengadaannya diselenggarakan berdasarkan Rencana Strategis dan Rencana Kerja Instansi yang memerlukan.

4. Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum

diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan.

5. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.

(9)

64 6. Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum

dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil.

2.2. Dasar hukum pengadaan tanah.

Dasar hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Indonesia dilakukan berdasarkan: 1. UUPA Pasal 6 tentang semua

hak atas tanah berfungsi sosial. 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 15 Tahun 1975 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum;

3. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

4. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

5. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

7. Peraturan Presiden Nomor 71

Tahun 2012 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;

2.3. Prinsip-prinsip hukumnya. Maria SW. Sumardjono mengatakan bahwa dalam pengadaan tanah tersangkut kepentingan dua pihak, yaitu instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan. Karena tanah sebagai kebutuhan dasar manusia merupakan perwujudan hak ekonomi, sosial dan budaya, maka pengadaan tanah harus dilakukan melalui suatu proses yang menjamin tidak adanya “pemaksaan

kehendak” satu pihak terhadap pihak lain.15

Pelaksanaan pengaadaan tanah untuk pembangunan sarana kepentingan umum oleh pemerintah harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang diatur dalam Pasal 2 UU dan penjelasannya sebagai berikut:

a. Asas kemanusiaan adalah Pengadaan Tanah harus memberikan pelindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

b. Asas keadilan adalah

memberikan jaminan

penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak dalam proses Pengadaan Tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.

c. Asas kemanfaatan adalah hasil Pengadaan Tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

d. Asas kepastian adalah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses Pengadaan Tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada Pihak yang Berhak untuk mendapatkan Ganti Kerugian yang layak. e. Asas keterbukaan adalah bahwa

Pengadaan Tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah.

f. Asas kesepakatan adalah bahwa proses Pengadaan Tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.

15. Maria SW. Sumardjono, Tanah

dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta, Kompas, 2008, hal. 282.

(10)

64 g. Asas kesepakatan adalah

dukungan dalam

penyelenggaraan Pengadaan Tanah melalui partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan.

h. Asas kesejahteraan adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk

pembangunan dapat

memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan Pihak yang Berhak dan masyarakat secara luas.

i. Asas keberlanjutan adalah kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus-menerus, berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

j. Asas keselarasan adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan negara.

Asas-asas hukum tersebut menjadi roh dan acuan dasar dari ketentuan-ketentuan yang tertuang di dalam undang-undang ini. Asas-asas ini merupakan nilai-nilai dasar yang bersifat abstrak, yang selanjutnya diwujdkan dalam perumusan peraturan perundangan.

2.4. Prosedur dan tatacara pelaksanaannya.

Pelaksanaan Pengadaan Tanah menurut ketentuan Undang-undang No. 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

Tahap I. Pengajuan pelaksanaan pengadaan tanah diatur dalam Pasal 26 dan 27 (1) Pasal 26 menentukan Instansi

yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah kepada Lembaga Pertanahan.

(2) Pasal 27 menentukan Badan Pertanahan melakukan kegiatan: a. inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; b.

penilaian Ganti Kerugian; c. musyawarah penetapan Ganti Kerugian; d. pemberian Ganti Kerugian; dan e. pelepasan tanah Instansi.

Tahap II: Inventarisasi dan identifikasi diatur dalam Pasal 28-29:

(1) Pasal 28 menentukan Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah meliputi kegiatan:

a. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan

b. pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.

(2) Pelaksanaannya dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

(3) Hasilnya wajib diumumkan di kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan, dan tempat Pengadaan Tanah dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.

(4) Pasal 29 menentukan: Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah wajib diumumkan secara bertahap, parsial, atau keseluruhan selama waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi. Jika dilakukan keberatan maka, dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi.

Tahap : III. Penilaian, diatur dalam Pasal 30-33 sebagai berikut: 1. Hasil pengumuman atau verifikasi

dan perbaikan ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan dan selanjutnya menjadi dasar penentuan pihak yang berhak dalam pemberian Ganti Kerugian.

2. Penilai wajib bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan. Pelanggaran

(11)

64 terhadap kewajiban Penilai

dikenakan sanksi administratif dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi: a. Tanah, b. ruang atas tanah dan bawah tanah, c. bangunan; d. tanaman; e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. kerugian lain yang dapat dinilai

Tahap IV. Ganti Kerugian: diatur dalam ketentuan Pasal 34-47 sebagai berikut:

1. Nilai Ganti Kerugian merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan.

2. Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan dengan berita acara.

3. Nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti Kerugian.

4. Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. 5. Pemberian Ganti Kerugian dapat

diberikan dalam bentuk: a. uang; b. tanah pengganti; c. permukiman kembali; d. kepemilikan saham; atau e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

6. Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian dilakukan dengan cara: a. Lembaga Pertanahan

melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai

disampaikan kepada

Lembaga Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian

berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian;

b. Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.

Bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam penentuan ganti kerugian yang dilakukan oleh pihak-pihak pihak-pihak tersebut, maka dapat melakukan keberatan sesuai ketentuan Pasal 38 – 44 dengan cara sebagai berikut:

1. Apabila tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian. 2. Pengadilan negeri memutus

bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan.

3. Pihak yang keberatan terhadap putusan pengadilan negeri dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

4. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.

5. Putusan pengadilan

negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.

6. Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu 14 hari kerja, maka karena hukum Pihak yang Berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian tersebut.

(12)

64 7. Ganti Kerugian diberikan kepada

Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah dan/atau

putusan pengadilan

negeri/Mahkamah Agung. 8. Pada saat pemberian Ganti

Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib: melakukan pelepasan hak; dan menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian bertanggung jawab atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang diserahkan. Tuntutan pihak lain atas Objek Pengadaan Tanah yang telah diserahkan kepada Instansi yang memerlukan tanah menjadi tanggung jawab Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian.

9. Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri/ Mahkamah Agung, maka Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat.

10. Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud diatas, juga dilakukan terhadap: a. Pihak yang Berhak

menerima Ganti Kerugian

tidak diketahui

keberadaannya; atau

b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:

1. sedang menjadi objek perkara di pengadilan; 2. masih dipersengketakan

kepemilikannya;

3. diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau

4. menjadi jaminan di bank. Tahap ke V Pelepasan Tanah oleh Instansi dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 45-46 sebagai berikut:

1. Pelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang dimiliki pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan barang milik negara/daerah.

2. Pelepasan Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang dikuasai oleh pemerintah atau dikuasai/dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah dilakukan berdasarkan Undang-Undang ini. 3. Pelepasan Objek Pengadaan

Tanah dilakukan oleh pejabat yang berwenang atau pejabat yang diberi pelimpahan kewenangan untuk itu.

4. Pelepasan Objek Pengadaan Tanah dimaksud tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali:

a. Objek Pengadaan Tanah yang telah berdiri bangunan yang dipergunakan secara aktif untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan;

b. Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau c. Objek Pengadaan Tanah kas

desa.

5. Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi.

6. Nilai Ganti Kerugian didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian.

Tahapan ke VI. Penyerahan Hasil

Pengadaan Tanah, berdasarkan

ketentuan Pasal 48-50 sebagai berikut: 1. Lembaga Pertanahan menyerahkan

hasil Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah setelah pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan Pelepasan Hak; dan/atau pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri.

2. Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai melaksanakan kegiatan pembangunan setelah dilakukan serah terima hasil Pengadaan Tanah.

(13)

64

3. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum karena keadaan mendesak akibat bencana alam, perang, konflik sosial yang meluas, dan wabah penyakit dapat langsung dilaksanakan pembangunannya setelah dilakukan penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum.

4. Dalam hal terdapat keberatan atau gugatan atas pelaksanaan Pengadaan Tanah, Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat melaksanakan kegiatan pembangunan.

5. Instansi yang memperoleh tanah wajib mendaftarkan tanah yang telah diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1.5. Perlindungan hukum

pemegang hak terhadap

pengadaan tanah bagi

pembangunan sarana untuk kepentingan umum.

Setelah mengkaji dan menganalisis ketentuan yang tertuang di dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 maka dapat difahami bahwa UU ini memberikan perlindungan hukum yang jelas kepada para pemegang hak sebagaimana diatur berikut ini: 1. Pasal 1 angka (2) menentukan

Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

2. Pasal 5 menentukan pihak yang berhak wajib melepaskan

tanahnya pada saat

pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

3. Pasal 16 menentukan Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi

berdasarkan dokumen

perencanaan Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 melaksanakan:

a. pemberitahuan rencana pembangunan;

b. pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan c. Konsultasi Publik rencana

pembangunan.

Menyimak berbagai ketentuan tersebut di atas, bahwa UU No. 2 Tahun 2012 sangat memberikan peluang dan perlindungan hukum dan hak yang sangat besar kepada para pemegang hak, walaupun pemegang hak diwajibkan untuk menyerahkan hak atas tanahnya jika tanah tersebut dijadikan obyek

pengadaan tanah untuk

pembangunan sarana kepentingan umum.

3. Persamaan dan perbedaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum menurut UU No. 20 Tahun 1961 dan UU No. 2 Tahun 2012.

1. Persamaan dan perbedaan dilihat dari prinsip-prinsipnya.

Setelah mengkaji dan menganalisis uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diuraikan persamaan dan perbedaan prinsip-prinsip pengadaan tanah menurut UU No. 20 Tahun 1961 dengan UU No. 2 Tahun 2012.

1. Persamaannya sebagai berikut:

a. Sama-sama untuk

kepentingan umum; baik pengadaan tanah melalui pencabutan hak maupun pengadaan tanah melalui pelepasan hak sama-sama diperuntukkan untuk pembangunan sarana kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah; b. Sama menggunakan prinsip

musyawarah mufakat; baik pelaksanaan pencabutan hak atas tanah maupun pengdaan tanah dengan cara pelepasan hak, sama-sama

dilakukan dengan

mengedepankan atau didahului oleh proses musyawarah dan mufakat. Jika kebutuhan akan tanah sangat mendesak dan tidak ada jalan lain, dan jalan musyawarah mufakat tidak dapat dilalui maka dapat

(14)

64 diajukan pencabutan hak

atas tanah kepada Presiden malalui Badan Pertanahan Nasional.

c. Sama-sama mengedepankan prinsip penghormatan terhadap hak-hak pemegang hak.

d. Baik melalui pencabutan hak atas tanah maupun melalui pelepasan hak dengan pengadaan tanah, sama-sama wajib memberikan ganti kerugian yang layak kepada pemegang haknya. e. Sama-sama memberikan hak

kepada pemegang hak yang tidak setuju dengan keputusan pemberian ganti rugi untuk mengajukan banding ke pengadilan.

2. Perbedaan dari segi prinsipnya adalah sebagai berikut:

a. pencabutan hak atas tanah

untuk pembangunan

kepentingan umum pada prinsipnya dilakukan dalam

keadaan terpaksa,

sedangkan pengadaan tanah

untuk pembangunan

kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dan mufakat yang diikuti dengan pembayaran ganti kerugian dan pelepasan hak secara sukarela oleh pemegang haknya;

b. untuk pencabutan hak atas tanah lokasi kegiatan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum tidak bisa dipindahkan di tempat lain dan mendesak, sedangkan pelepasan hak secara sukarela bisa saja dipindahkan lokasinya dan tidak mendesak;

c. pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum dilakukan oleh Presiden atas usul dari Badan Pertanahan Nasional dan Menteri yang terkait yang membutuhkan

tanah, sedangkan

pengadaan tanah melalui pelepasan hak dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah di daerah.

3. Persamaan dan perbedaan dilihat dari segi proses.

Persamaan dan perbedaan antara pencabutan hak atas tanah dengan pelepasan hak melalui

pengadaan tanah bagi

pembangunan untuk kepentingan umum sebagai berikut:

a. Pengadaan tanah melalui pencabutan hak diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden melalui Kepala Badan Pertanahan Nasional;

b. Meminta pertimbangan dari kepada kepala daerah yang mempunyai wilayah di mana tanah itu berada;

c. Penentuan besarnya ganti kerugian yang akan diberikan kepada pemegang hak oleh panitia penaksir;

d. Pengajuan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Presiden untuk dimintai keputusan;

e. Keberatan terhadap ketidaksetujuan terhadap ganti kerugian dilakukan di Pengadilan Tinggi setempat, yang merupakan pengadilan tingkat I dan terakhir.

Sedangkan proses

pengadaan tanah dengan cara pelepasan hak dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

a. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib

diselenggarakan oleh

Pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah;

b. Pembangunan untuk

Kepentingan Umum wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta.

c. Instansi yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi

berdasarkan dokumen

perencanaan Pengadaan Tanah melaksanakan:

a. pemberitahuan rencana pembangunan;

b. pendataan awal lokasi rencana pembangunan; dan

(15)

64 c. Konsultasi Publik rencana

pembangunan.

d. Konsultasi Publik rencana pembangunan dilaksanakan

untuk mendapatkan

kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang Berhak.

e. Konsultasi Publik dilakukan dengan melibatkan Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati.

f. Penentuan ganti kerugian yang dilakukan oleh panitia pengadaan tanah dan pemegang hak;

g. Penguasaan tanah-tanah obyek pengadaan tanah.

h. Jika keberatan terhadap besarnya ganti kerugian yang diberikan dilakukan lewat Pengadilan Tata Usaha Negara memutus diterima atau ditolaknya gugatan tersebut. Jika tidak setuju terhadap putusan tersebut dapat dilakukan kasasi di Mahkamah Agung RI.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Bertolak dari permasalahan dan berbagai uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda di atasnya, maupun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, sama-sama memberikan perlindungan hukum dan hak bagi para pemegang hak. Hak-hak pemegang hak dilindungi dengan baik dengan diaturnya secara renci berbagai persoalan hukum yang akan dilakukan dan dilalui oleh pemerintah jika melakukan pencabutan atau pelepasan hak-hak individu dan kelompok untuk pembangunan sarana kepentingan umum.

2. Terdapat persamaan dan perbedaan antara prinsip-prinsip hukum dan proses-proses pelaksanaan

pengadaan tanah untuk

pembangunan sarana kepentingan umum menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Adanya persamaan-persamaan karena sesungguhnya kedua aturan hukum ini dibentuk dalam rangka mengatur perbuatan hukum pemerintah dalam rangka memutuskan hubungan hukum antara pemegang haknya dengan

tanahnya. Sedangkan

perbedaannya adalah terletak pada orientasi dan tujuan kegiatan tersebut.

Saran-saran

Kajian ini belum dilakukan secara utuh dan lengkap sehingga hasilnyapun belum bisa sempurna. Oleh karena itu maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut sehingga hasilnya dapat melengkapi penelitian ini. Berdasarkan kajian ini, maka peraturan

perundang-undangan ini

sesungguhnya sudah mengatur semua persoalan, namun pelaksanaannya berdasarkan Perpres.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Adnan Buyung Nasution, Hukum dan Keadilan, Majalah, No. 1 Tahun 1996. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,

Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, Edisi Revisi, 2009, hlm. 327.

Maria S.W. Soemardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta Penerbit Buku Kompas, 2008. ---, Kebijakan Pertanahan Antara

Regulasi & Implementasi, Jakarta, Kompas, 2001 Parlindungan, AP., Komentar Atas

Undang-Undang Pokok

(16)

64 Agraria, Bandung, Alumni,

Tahun 1988,

Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya, penanganan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1987

Satjipto Rahardjo, Pengelenggaraan Keadilan Dalam Masyarakat yang sedang Berubah Masalah-Masalah Hukum, No. 1-6 Tahun X/10/2007. Kamus-Kamus:

Poerwardarminta, W.J.S., 1991, Kamus Umum Bahasa Indonesia, diolah kembali oleh Pusat

Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Yakarta, Balai Pustaka.

Yan Pramudya Pulpa, Kamus Hukum, Penerbit Aneka Ilmu Indonesia.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang telah diamandemen

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Araria.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Beserta Benda-benda di atasnya.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum.

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam kondisi seperti ini masyara- kat satu sama lain tidak ada batas di antara mereka, kepala desa ikut bergabung dan tidak membatasi diri dengan warga yang lain,

Makna stilistika yang terkandung dalam kalimat menceritakan tentang keadaan Jepang dimana saat itu pada tahun 1970an di daerah perkotaan banyak dibangun kolam resapan air

Hal ini benar, dalam kehidupan sehari-hari kita sudah berkomunikasi, dimana manusia bisa berkomunikasi dengan dirinya sendiri atau individu, dengan dirinya dan Tuhan serta

Anggaran ini sifatnya statis dari periode bulan yang satu ke periode bulan yang lain, dan dalam anggaran yang dibuat tidak dilaku­ kan pemisahan antara unsur biaya tetap dan

Kami memfokuskan kepada ciri-ciri lembaga pengarah dan bukan dimensi tadbir urus yang lain kerana struktur dan fungsi manusia yang membentuk satu mekanisme

redaksional yang diterapkan RRI Pro 1 Yogyakarta dalam menyiarkan berita.. terkait kasus sedang berkembang di tengah masyarakat seperti pada kasus penggusuran

Pokja Bidang Konstruksi 3 ULP Kabupaten Klaten akan melaksanakan [Pelelangan Umum/Pemilihan Langsung] dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara

Sekian