• Tidak ada hasil yang ditemukan

Center for Indonesia s Strategic Development Initiatives 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Center for Indonesia s Strategic Development Initiatives 2021"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Sebagai salah satu lokasi jumlah perokok terbesar di dunia dan negara yang paling parah terdampak pandemi di Asia Tenggara, muncul kekhawatiran tentang bagaimana pandemi COVID-19 dan dampak terkaitnya dapat memengaruhi perilaku merokok di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menggali arah perubahan status dan perilaku merokok setelah lebih dari sepuluh bulan pandemi COVID-19 dan determinan perubahan status dan perilaku merokok. Dengan mengumpulkan data perwakilan pengguna telepon seluler secara nasional di Indonesia, penelitian ini melibatkan 1.082 responden berusia 15-65 tahun yang bekerja baik pada masa pra- maupun pasca-pandemi. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, sebagian besar perokok hampir tidak mengubah status merokoknya dan tetap merokok selama masa pandemi. Di satu sisi, lebih dari setengah perokok tetap mempertahankan konsumsi rokok selama pandemi, di sisi lain sekitar empat dari sepuluh perokok responsif terhadap kondisi pandemi dengan mengurangi konsumsi rokok mereka. Kami juga menemukan bahwa sekitar seperempat perokok beralih ke rokok yang lebih murah dan beberapa perokok beralih ke jenis rokok yang berbeda, terutama dari rokok kretek ke jenis rokok lain yang lebih murah. Variasi harga rokok dapat memberikan peluang bagi perokok untuk beralih ke rokok yang lebih murah daripada berhenti. Oleh karena itu, jika kita hendak mengurangi konsumsi rokok, pembuat kebijakan perlu menyederhanakan sistem penetapan harga untuk mengurangi variasi harga rokok di pasaran dan meningkatkan harga rokok secara signifikan.

Perubahan Status dan Perilaku Merokok Setelah Sepuluh Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia 1

PERUBAHAN STATUS DAN PERILAKU MEROKOK

SETELAH SEPULUH BULAN PANDEMI COVID-19

DI INDONESIA

ABSTRAK

(3)

1 Dibandingkan dengan jumlah rata-rata yang diterima pada Agustus 2019.

2 Jumlah rokok yang dikonsumsi selama suatu periode tertentu, misalnya per hari atau per minggu.

1. Pendahuluan

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tingkat perokok tertinggi di dunia dengan lebih dari sepertiga penduduknya yang berusia di atas 15 tahun merupakan perokok [1]. Tingkat perokok pria dewasa di Indonesia yang pada tahun 2016 adalah sebesar 76,1 persen telah diakui sebagai yang tertinggi di dunia [2]. Epidemi merokok di Indonesia tampaknya akan terus berlanjut ke generasi berikutnya, terlihat dari tingkat merokok kaum muda (berusia 10 hingga 18 tahun) yang meningkat dari 7,2% pada tahun 2013 menjadi 9,1% pada tahun 2018 [3]. Tidak mengherankan, lima penyebab utama kematian di Indonesia terkait dengan konsumsi tembakau [3, 4]. Penggunaan tembakau diperkirakan bertanggung jawab atas 26 persen dari total kematian penyakit kardiovaskular (CVD) di negara ini setiap tahun [4]. Selain berdampak buruk bagi kesehatan, konsumsi tembakau juga berdampak negatif terhadap perekonomian. Satu kajian terbaru yang menggunakan data nasional tahun 2013 menemukan bahwa biaya pengobatan akibat penyakit yang berhubungan dengan merokok mencapai US$2.177 juta [5].

Bersamaan dengan itu, Indonesia kini juga menghadapi dampak pandemi COVID-19 terhadap kesehatan dan perekonomian. Sejak deklarasi pertama kasus COVID-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020, tercatat hingga 30 Agustus 2021 telah terjadi lebih dari 132.491 kematian dan 4.079.267 kasus terkonfirmasi yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kejangkitan terbesar di Asia Tenggara [6]. Pandemi juga telah menyebabkan krisis ekonomi, terlihat dari jumlah penduduk miskin yang meningkat menjadi 27,55 juta jiwa [7], 2,6 juta pekerja kehilangan pekerjaan, dan rata-rata upah bulanan baik untuk pekerja tetap maupun pekerja lepas yang menurun hingga 7% lebih rendah daripada nilai yang didapat pada Agustus 20191 [8]. Dengan beban yang sudah ada sebelumnya dan dampak yang berpotensi menghancurkan dari penggunaan tembakau secara besar-besaran terhadap kesehatan dan ekonomi, muncula kekhawatira mengenai bagaimana pandemi COVID-19 dan dampak terkaitnya dapat memengaruhi konsumsi tembakau di Indonesia.

Sebuah kajian terdahulu menemukan adanya peningkatan konsumsi tembakau pada krisis ekonomi sebelumnya [9]. Namun, sebagian besar penelitian lain menemukan bahwa krisis ekonomi menekan dampak pada konsumsi tembakau [10, 11]. Pola serupa juga terlihat di antara penelitian yang meneliti konsumsi tembakau selama pandemi COVID-19: beberapa peneliti mengungkapkan adanya peningkatan intensitas merokok2 [12, 13], sementara yang lain menemukan bahwa konsumsi rokok menurun selama pandemi saat ini [14, 15]. Kedua pandangan tersebut mungkin memiliki argumen yang valid, karena peningkatan konsumsi tembakau dipicu oleh tingkat stres, sedangkan tren sebaliknya timbul akibat dari memburuknya kondisi ekonomi yang dapat memengaruhi konsumsi rokok. Di sisi lain, beberapa penelitian menemukan bahwa perokok cenderung tidak mengubah konsumsinya selama masa krisis [16-19].

Meski sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengkaji konsumsi tembakau saat krisis atau pandemi COVID-19, sedikit penelitian yang mengkaji kondisi di Indonesia. Satu penelitian terbatas pada cakupan keterwakilan sampelnya dan evaluasinya mengenai perilaku merokok yang tidak berubah pada periode pandemi COVID-19 [20], sementara penelitian lain hanya mengevaluasi perubahan intensitas merokok dengan fokus utama pada masalah psikologis [19]. Dengan menggunakan data yang representatif terhadap pengguna ponsel secara nasional di Indonesia, kajian ini bermaksud untuk meneliti 1) arah perubahan status dan perilaku merokok setelah 10 bulan pandemi COVID-19 dan 2) gambaran karakteristik demografis, guncangan pekerjaan dan tekanan finansial selama pandemi, dan indikator terkait COVID-19 yang mungkin berkaitan dengan perubahan status dan perilaku merokok. Pola yang diamati mengenai bagaimana perokok bereaksi

(4)

Perubahan Status dan Perilaku Merokok Setelah Sepuluh Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia 3

terhadap situasi krisis atau pandemi di Indonesia dapat menjadi bukti untuk mendukung kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia.

Bagian kedua dari kajian ini menjelaskan data dan metodologi yang digunakan, kemudian bagian ketiga menjelaskan dan mendiskusikan temuan kajian ini. Bagian keempat merangkum temuan kajian ini dan memberikan rekomendasi untuk kebijakan.

2. Metode

Peneliti melakukan survei primer melalui telepon sejak Desember 2020 hingga Januari 2021 untuk mengumpulkan data terkait kondisi pra-pandemi (Februari 2020) dan kondisi pasca-pandemi (saat wawancara pada Desember 2020 hingga Januari 2021). Populasi sasaran survei adalah pengguna ponsel usia produktif di Indonesia, yang mewakili sekitar 76% dari total populasi Indonesia pada tahun 20193. Untuk mendapatkan sampel pengguna ponsel yang representatif secara nasional, penelitian ini menggunakan metode stratified random sampling dengan mengikuti metode pengumpulan data berbasis ponsel yang dilakukan oleh Nurhasana et al. [21]. Kriteria untuk memasukkan responden (inklusi) adalah: 1) berusia 15-65 tahun, 2) bekerja pada masa pra-pandemi dan/atau pasca-pandemi, dan 3) mampu berbahasa Indonesia dengan lancar.

Kami menentukan ukuran sampel dengan menggunakan metode ukuran sampel Cochran [22] pada tingkat signifikansi sebesar 5% dan margin of error atau batas galat sebesar 3%, yang membutuhkan 1.067 pengamatan atau sampel. Ukuran sampel distratifikasi dengan menggunakan dua strata: i) proporsi pelanggan dari lima penyedia layanan seluler terbesar dan ii) proporsi awalan (prefix)4 berdasarkan merek dari setiap penyedia layanan seluler. Kelima penyedia jaringan terbesar diperoleh dari BPS (2018), yang meliputi 1) Telkomsel, 2) Indosat, 3) XL, 4) 3 (Tri), dan 5) Smartfren. Seperti terlihat pada Tabel 1, ukuran sampel didistribusikan secara proporsional dengan jumlah pelanggan untuk setiap penyedia layanan seluler. Kedua, untuk penyedia layanan seluler yang memiliki beberapa merek (Telkomsel, Indosat, dan XL), sampel tersebut kemudian dibagi rata berdasarkan jumlah awalan nomor ponsel merek-merek tersebut.

3 Data tersebut dihitung dari SUSENAS 2019.

4 Awalan adalah 3-8 kode digit pertama yang mengidentifikasi nomor ponsel dari merek tertentu di sebuah kota/kecamatan, misalnya 0811211 untuk Telkomsel di Kota Tasikmalaya.

Tabel 1. Ukuran sampel menurut pelanggan penyedia seluler

Penyedia Jaringan Telkomsel Indosat XL 3 (Tri) Smartfren

Persentase (%) Ukuran Sampel Jumlah Telepon Seluler Konsumen Angka awalan berdasarkan penyedia jaringan 162,987,593 58,074,324 54,000,000 32,135,440 12,233,598 51.02 18.18 16.91 10.06 3.83 544 194 180 107 41 4 5 2 0 0 Total 319,430,955 100.00 1067

(5)

Untuk setiap penyedia, kami memperoleh daftar awalan nomor ponsel berdasarkan merek yang terdiri dari 4 hingga 8 digit5. Setelah awalan acak diperoleh, kami menetapkan jumlah pengamatan yang diperlukan untuk dimasukkan secara merata untuk setiap awalan berdasarkan kuota sampel masing-masing merek6. Kami melakukan pengacakan ‘ekor’7 dari awalan tersebut antara 10.000 dan 10.000.000 untuk mendapatkan setidaknya satu nomor aktif awal untuk setiap awalan nomor ponsel, yang berisi dua puluh kali lipat ukuran sampel untuk setiap awalan. Setelah kami mendapatkan nomor aktif awal, kami memperoleh daftar nomor acak dengan menambahkan 5.000 ke ekor nomor tersebut. Setiap daftar yang tidak dapat memenuhi ukuran sampel target akan diperbarui dengan menambahkan 10.000, 15.000, dan seterusnya hingga ke nomor awal. Gambaran keseluruhan proses pengumpulan data ini dapat dilihat pada Lampiran A. Secara keseluruhan, kami memperoleh total 91.048 angka acak dengan tingkat respons sekitar 1,5% (1.345 respons). Setelah hanya memasukkan responden yang memenuhi kriteria inklusi, total sampel dalam penelitian kami adalah 1.082 pengamatan.

Dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2019, kami menerapkan post-stratification weight untuk mencerminkan struktur penduduk berdasarkan jenis kelamin dan usia. Weight atau penimbang adalah proporsi jenis kelamin-usia di Indonesia dibagi dengan proporsi jenis kelamin-usia dalam sampel kami. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif untuk menggali i) perubahan status merokok setelah 10 bulan pandemi COVID-19, ii) perubahan perilaku merokok perokok aktif persisten, dan iii) faktor ekonomi, indikator yang berkaitan dengan pandemi, dan karakteristik demografis dari perubahan status dan perilaku merokok.

Ada enam perubahan status merokok dalam penelitian ini: tidak pernah merokok, perokok kambuh, perokok baru, baru berhenti merokok, mantan perokok persisten, dan perokok aktif persisten. Definisi masing-masing status merokok dapat dilihat pada Lampiran B. Perubahan perilaku merokok pada perokok aktif persisten antara lain penurunan pengeluaran rokok, penurunan intensitas merokok, dan beralih ke rokok yang lebih murah. Definisi masing-masing perilaku merokok dicantumkan pada Lampiran C.

3. Hasil

3. 1

Perubahan status merokok selama Pandemi COVID-19

Gambar 1 menyajikan persentase perubahan status merokok di antara responden pada Desember 2020/Januari 2021 dibandingkan dengan Februari 2020. Selama periode sepuluh bulan, 29% dari responden menyatakan diri sebagai perokok aktif persisten, sementara 65% di antaranya menyatakan tidak pernah merokok. Jumlah responden yang mengubah perilaku merokok selama pandemi sangat rendah: 0,3% responden adalah perokok baru, 0,4% responden adalah perokok kambuh, dan 1,4% responden baru berhenti merokok. Secara keseluruhan, angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perokok cenderung tetap merokok selama krisis dan masa pandemi, sedangkan hanya sedikit orang yang mengubah status merokok mereka. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Indonesia dan negara lain yang menunjukkan sedikit perubahan konsumsi tembakau selama pandemi COVID-19 dibandingkan dengan situasi sebelum pandemi [16-19]. Alasan tidak berubahnya status merokok selama pandemi antara lain aksesibilitas terhadap penjualan rokok dan ketersediaan rokok dengan harga lebih murah di Indonesia, sehingga konsumsi rokok tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi selama pandemi COVID-19.

5 Kami menetapkan ukuran awalan sebesar 2,5% dari ukuran sampel untuk setiap penyedia dan memilih secara acak awalan nomor ponsel tersebut

(misalnya, kami memilih 5 awalan nomor ponsel secara acak untuk penyedia dengan ukuran sampel sebesar 200.

6 Misalnya untuk merek X yang memiliki ukuran sampel 100 dan 5 yang awalan nomor ponselnya dipilih secara acak, kami menyasar untuk

mengumpulkan 20 pengamatan untuk setiap awalan.

(6)

Perubahan Status dan Perilaku Merokok Setelah Sepuluh Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia 5

Karakteristik demografis menurut status merokok ditampilkan pada Tabel 2. Jika melihat tabel lebih rinci, tabel tersebut menunjukkan bahwa hampir semua perokok aktif persisten adalah pria (95% vs 5%), sedangkan mereka yang tidak pernah merokok didominasi oleh wanita (74% vs 26%). Hasil ini sejalan dengan prevalensi perokok saat ini menurut jenis kelamin di Indonesia pada tahun 2019, di mana lebih dari 98% perokok saat ini adalah pria8. Jika kita beralih ke status merokok berdasarkan usia, hampir setengah dari perokok aktif persisten berasal dari kelompok usia 25-44 tahun. Sayangnya, remaja dan dewasa muda berusia 15-24 tahun menyumbang hampir seperempat dari perokok aktif persisten selama pandemi. Orang paruh baya (45-65 tahun) hanya menyumbang sekitar 28% dari perokok aktif persisten, sedangkan mereka mencakup hampir setengah dari mantan perokok persisten. Fakta bahwa mantan perokok persisten didominasi oleh orang paruh baya dapat dikaitkan dengan adanya dampak kesehatan terkait merokok di kemudian hari [23].

Gambar 1. Proporsi penduduk dengan perubahan status merokok 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 65% Tidak pernah merokok 3.90% Mantan perokok persisten 1.40% Baru berhenti merokok Perokok kambuh Perokok baru 0.30% 29% Perokok persisten aktif

Sumber : Perhitungan peneliti

0.40%

(7)

Perubahan status merokok Tidak pernah merokok [n=587] Mantan perokok persisten [n=53] Baru berhenti merokok [n=21] Perokok kambuh [n=6] Perokok baru [n=3] Perokok aktif persisten [n=412] Jenis Kelamin Perempuan Pria 74% 0% 9% 28% 61% 5% 26% 100% 91% 72% 39% 95% Kelompok umur 15-24 25-44 45-65 Pendidikan Tidak berpendidikan/ Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Pendidikan tinggi SekolahDasar 25% 14% 26% 46% 24% 23% 43% 37% 43% 34% 15% 49% 48% 44% 21% 30% 39% 42% 30% 34% 34% 39% 0% 22% 10% 16% 26% 20% 61% 20% 32% 49% 31% 20% 61% 28% 12% 6% 19% 11% 0% 16%

Tabel 2. Karakteristik demografi menurut status merokok

Sumber : Perhitungan peneliti

3.2 Perubahan perilaku merokok pada kelompok perokok aktif

persisten selama Pandemi COVID-19

Di satu sisi, status merokok relatif tidak berubah selama pandemi COVID-19, namun penelitian ini menemukan bahwa perokok aktif persisten menyesuaikan perilaku merokok mereka dalam hal intensitas merokok (jumlah batang rokok yang dikonsumsi), pengeluaran rokok, dan harga dari rokok yang paling banyak dikonsumsi. Seperti dapat dilihat pada Tabel 3, lebih dari sepertiga (37%) perokok aktif persisten melaporkan penurunan intensitas merokok dibandingkan dengan periode pra-pandemi, sementara lebih dari setengahnya (60%) mempertahankan intensitas merokok. Perokok persisten aktif yang mengurangi intensitas merokok rata-rata memiliki konsumsi rokok yang lebih rendah (60 batang per minggu) dan pengeluaran rokok yang lebih rendah (Rp75.334) dibandingkan dengan mereka yang tidak mengubah intensitas merokok (78 batang dan Rp108.104). Sedangkan perokok aktif persisten yang meningkatkan intensitas merokok lebih banyak (88 batang), tetapi pengeluaran rokoknya lebih rendah (Rp98.477) dibandingkan dengan yang mempertahankan intensitas merokok. Hal ini menunjukkan bahwa perokok mungkin mengonsumsi merek rokok yang lebih murah untuk mengimbangi peningkatan dalam konsumsi mereka.

(8)

The 2019 Health Care Cost of Smoking in Indonesia

Perubahan Status dan Perilaku Merokok Setelah Sepuluh Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia 7

Tabel 3. Perubahan perilaku merokok pada perokok aktif persisten [dengan penimbang] Menurun Tidak berubah Naik % Rata-rata konsumsi rokok (mingguan) 37% 60% 3% 60 78 88 75,334 108,104 98,477

Sumber: Perhitungan peneliti

Rata-rata konsumsi (batang) Rata-rata pengeluaran (Rp)

Perubahan intensitas merokok [n=412]

Menurun Tidak berubah Naik 42% 55% 3% 60 79 99 72,517 111,078 135,852

Perubahan pengeluaran rokok [n=412]

Lebih murah Tidak berubah Lebih mahal 24% 73% 3% 78 69 80 88,850 97,091 117,516

Perubahan harga dari rokok yang paling sering dikonsumsi [n=412]

Dari segi perubahan pengeluaran untuk rokok, sekitar 42% perokok aktif persisten melaporkan penurunan dalam pengeluaran untuk rokok, sedangkan lebih dari setengahnya (55%) mempertahankan pengeluaran untuk rokok. Rata-rata, perokok aktif persisten yang mengurangi pengeluaran untuk rokok mengonsumsi dan menghabiskan lebih sedikit uang untuk rokok dibandingkan dengan mereka yang mempertahankan atau meningkatkan pengeluaran untuk rokok.

Kajian ini juga menemukan bahwa meskipun hampir tiga perempat perokok aktif persisten tidak beralih ke rokok dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi, beralih ke produk rokok dengan harga yang lebih rendah (24%) adalah salah satu perubahan perilaku perokok aktif persisten (24%). Mereka yang beralih ke rokok yang lebih murah mengonsumsi lebih banyak rokok per minggu (78 batang) tetapi memiliki pengeluaran rokok yang lebih rendah per minggu (Rp88.850) dibandingkan dengan mereka yang tidak beralih ke rokok dengan harga berbeda (69 batang dan Rp97.091). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan rokok dengan harga yang lebih rendah dapat mendorong substitusi ke bawah karena perokok beralih ke merek rokok yang lebih murah untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan intensitas merokok. Hal ini terutama terjadi di Indonesia di mana beberapa tingkatan cukai tembakau telah berkontribusi terhadap harga rokok yang relatif terjangkau [24].

Sejalan dengan hasil perubahan harga rokok yang dikonsumsi, penelitian ini juga menemukan indikasi substitusi jenis rokok (Tabel 4). Seperempat perokok aktif persisten yang beralih ke rokok yang lebih murah juga beralih ke jenis rokok yang berbeda, yang memiliki harga rokok yang lebih rendah. Sebagai contoh, 7% perokok yang memilih rokok murah juga beralih dari rokok putih (harga rata-rata Rp1.700/batang) ke rokok kretek (harga rata-rata Rp1.500/batang)9. Sementara itu, mayoritas perokok aktif persisten yang memilih rokok yang lebih murah juga beralih dari rokok kretek ke rokok lain dengan harga yang

(9)

berpotensi lebih rendah, seperti rokok merek lokal atau yang tidak begitu populer, rokok tradisional (misalnya klobot, kawung, dll), rokok buatan sendiri, dan rokok yang mungkin ilegal. Hal ini menyoroti bahwa perokok dapat menjangkau berbagai jenis produk alternatif yang mungkin memiliki rentang harga rokok yang lebar, sehingga mereka dapat menyesuaikan perilaku merokok mereka.

Tabel 4. Perubahan jenis rokok yang dikonsumsi oleh perokok aktif persisten yang beralih ke rokok yang lebih murah [dengan penimbang; n=107]

Tidak mengganti jenis rokok

Rokok Putih Rokok Putih Rokok Kretek Rokok Kretek Rokok Lainnya Rokok Lainnya 7% 1% 17%

Sumber: Perhitungan peneliti

Mengganti ke jenis rokok dengan harga yang lebih murah

Dari Ke

75% 25%

Karena sebagian besar perokok aktif persisten menyesuaikan perilaku merokok mereka, pertanyaan lain yang perlu ditelusuri adalah bagaimana karakteristik demografis, guncangan pekerjaan, dan tekanan finansial selama pandemi berhubungan dengan perubahan perilaku merokok di antara perokok aktif persisten. Tabel 5 menyajikan tabulasi silang perubahan perilaku merokok dengan demografi serta guncangan pekerjaan dan pendapatan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa konsumsi rokok perokok pria secara signifikan lebih tinggi dibandingkan perokok wanita (74 vs 30 batang dan Rp98.504 vs Rp40.846 per minggu). Dari segi perubahan perilaku merokok terlihat bahwa peningkatan intensitas merokok, peningkatan pengeluaran rokok, dan beralih ke merek rokok yang lebih mahal banyak dilakukan oleh perokok pria. Dilihat dari usia perokok, perokok aktif persisten yang berusia 45–65 tahun lebih kecil kemungkinannya untuk mengurangi pengeluaran dibandingkan dengan kelompok referensi, yaitu perokok termuda (15–24 tahun). Hal ini ditunjukkan karena hanya 33% perokok tertua yang mengurangi pengeluaran rokok, dibandingkan dengan 50% perokok termuda yang melaporkan pengurangan pengeluaran untuk rokok. Namun demikian, konsumsi rokok pada kelompok usia dewasa (25–44 tahun) adalah yang paling tinggi, dengan konsumsi rokok 79 batang per minggu atau Rp109.469 dari pengeluaran untuk rokok. Hal ini tidak mengherankan karena orang-orang dalam kelompok usia 25-44 lebih cenderung memiliki kegiatan yang menghasilkan pendapatan dan merupakan populasi usia kerja prima dibandingkan dengan dua kelompok lainnya [25, 26]. Dilihat dari latar belakang pendidikan, tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara jumlah rokok yang dikonsumsi dan pengeluaran rokok antar tingkat pendidikan.

(10)

Perubahan Status dan Perilaku Merokok Setelah Sepuluh Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia 9

Tabel 5. Perubahan perilaku merokok menurut demografi perokok, guncangan pekerjaan dan guncangan ekonomi [dengan penimbang]

Persentase kebiasaan merokok yang meningkat, tidak berubah, menurun Intensitas merokok Jenis Kelamin Pengeluaran Rokok

Harga rokok yang paling banyak dikonsumsi Konsumsi Rokok (mingguan) Kelompok usia Pendidikan Turun Tidak berub ah

Naik Turun Tidak berub ah Naik Lebih murah Tidak berub ah Lebih mahal Rata-rata konsumsi (stik) Rata-rata pengelu aran (Rp) Perempuan [ref, n=12] Pria [n=400] 51% 49% 0% 44% 56% 0% 29% 71% 0% 30% 40,846 36% 60% 4%** 42% 55% 3%** 24% 73% 3%** 74** 98,504** 15-24 [ref, n=53] 25-44 [n=267] 45-65 [n=92] 41% 54% 5% 50% 46% 4% 17% 76% 7% 57 67,320 40% 58% 2% 43% 54% 3% 28% 71% 1% 79* 109,469** 28% 68% 4% 33%* 64%* 3% 25% 71% 4% 72 94,807 Tidak berpendi dikan/Sekolah Dasar [ref, n=70] Sekolah Menen gahPertama (SMP) [n=84] Sekolah Menen gah Atas (SMA) [n=162] Pendidikan tinggi [n=96] 40% 59% 1% 36% 63% 1% 25% 75% 0% 76 87,814 41% 57% 2% 48% 50% 2% 29% 68% 3% 64 83,746 34% 60% 6%* 42% 53% 5% 26% 69% 5%** 72 95,048 35% 62% 3% 39% 58% 3% 17% 81% 2% 75 113,330 Guncangan pekerjaan Tekanan Finansial Menjadi pekerja /terus bekerja [ref, n=358] Kehilangan pekerjaan [n=54]

Jam kerja tetap atau meningkat [ref, n=244] Jam kerja menurun [n=168] Jenis pekerjaan tetap/lebih baik† [ref, n=345] Memiliki pekerja an yang lebih buruk [n=67] 36% 61% 3% 41% 56% 3% 24% 72% 4% 75 101,503 39% 56% 5% 46% 53% 1% 25% 75% 0%** 53** 61,201** 32% 64% 4% 38% 58% 4% 25% 70% 5% 81 108,736 43%* 54% 3% 48%* 51% 1%* 23% 76% 1%* 54** 76,422** 35% 61% 4% 30% 56% 2% 23% 73% 4% 75 102,203 44% 53% 3% 49% 50% 1% 29% 71% 0%** 55** 63,950** Tidak mengalami tekanan finansial [ref, n=97] Mengalami teka nan finansial setidaknya satu kali [n=315] 23% 74% 3% 25% 71% 4% 19% 78% 3% 85 125,162 41%** 55%** 4% 47%** 51%** 2% 26% 71% 3% 68 87,882*

(11)

Indikator COVID-19 Tidak terpapar COVID-19 [ref, n= 400] Terpapar COVID-19 [n=12] Tidak mengalami pembatasan sosial [ref, n=138] Mengalami pem batasan sosial [n=274]

Waktu luang tet ap atau berkura ng [ref, n=253] Waktu luang meningkat [n=169] 37% 60% 3% 42% 55% 3% 25% 72% 3% 71 94,925 25% 68% 7% 25% 68% 7% 18% 82% 0%** 106 125,843 31% 66% 3% 33% 64% 3% 15% 80% 5% 82 110,241 40% 56% 4% 46%* 51%* 3% 30%** 69%* 2% 66 87,827 32% 65% 3% 36% 61% 3% 23% 73% 4% 78 104,961 45%** 51%** 4% 50%** 46%** 4% 26% 73% 1%* 62* 81,706* Berkumpul tetap atau meningkat [ref, n=163] Berkumpul men urun [n=249] 64% 33% 3% 37% 61% 2% 20% 79% 1% 76 98,455 57% 39% 4% 45% 51%* 4% 27% 68%** 5%** 69 93,886

** dan * menunjukkan nilainya berbeda secara statistic (t-test) dari kelompok referensi, dengan tingkat signifikansi 1% dan 5%, masing-masing.

+100% = Menurun + Tetap + Meningkat

jenis pekerjaan yang lebih baik menunjukkan perubahan dari pekerjaan informal menjadi pekerjaan formal, dan sebaliknya. Jenis pekerjaan informal terdiri dari pekerja mandiri, pekerja mandiri dengan pekerja sementara/tidak dibayar, pekerja lepas, dan pekerja yang tidak dibayar; sedangkan pekerjaan jenis formal adalah pekerja mandiri dengan pekerja tetap dan karyawan.

Sumber: Perhitungan peneliti

Beralih ke guncangan pekerjaan, perokok aktif persisten yang mengalami guncangan pekerjaan yang merugikan selama pandemi, seperti kehilangan pekerjaan, jam kerja yang berkurang, atau memiliki jenis pekerjaan yang lebih buruk (beralih dari pekerjaan formal ke informal, atau dari pekerjaan berbayar ke tidak dibayar), dikaitkan dengan konsumsi dan pengeluaran rokok yang jauh lebih rendah. Perokok yang mengalami guncangan rata-rata menghisap 53–55 batang rokok setiap minggu (Rp61.200 – Rp76.400 dari pengeluaran untuk rokok), lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak mengalami guncangan pekerjaan. Selain itu, mengalami guncangan pekerjaan dikaitkan dengan persentase yang lebih rendah untuk beralih ke rokok yang lebih mahal dibandingkan dengan perokok yang tidak mengalami guncangan pekerjaan. Jam kerja yang berkurang dikaitkan dengan persentase yang lebih tinggi dari pengurangan intensitas merokok dan pengurangan pengeluaran untuk merokok. Hal ini ditunjukkan oleh persentase perokok yang secara statistik lebih tinggi dengan pengurangan jam kerja yang melaporkan pengurangan intensitas merokok (43%) dan pengeluaran untuk rokok (48%) dibandingkan dengan perokok yang jam kerjanya tidak terpengaruh selama pandemi (32% melaporkan penurunan intensitas merokok dan 38% melaporkan penurunan pengeluaran untuk rokok). Hasil ini menunjukkan bahwa guncangan pekerjaan dapat membawa konsekuensi ekonomi bagi perokok, sehingga memotivasi mereka untuk menurunkan konsumsi rokok. Temuan serupa juga ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perokok yang kehilangan pekerjaan atau mengalami pengurangan jam kerja cenderung mengurangi intensitas merokoknya [27].

(12)

Perubahan Status dan Perilaku Merokok Setelah Sepuluh Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia 11

Perokok aktif persisten yang mengalami tekanan finansial juga memiliki persentase penurunan intensitas merokok yang lebih tinggi (41% vs 23%) dan penurunan pengeluaran untuk rokok (47% vs 25%) dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami tekanan finansial. Sebaliknya, hampir tiga perempat perokok yang tidak mengalami tekanan finansial mempertahankan intensitas merokok dan pengeluaran untuk rokok mereka. Secara keseluruhan, sifat kecanduan merokok mungkin membuat sebagian besar perokok yang terkena dampak finansial mempertahankan konsumsi rokok mereka, karena lebih dari setengahnya memiliki intensitas merokok dan pengeluaran rokok yang tidak berubah. Namun, temuan tersebut juga menunjukkan bahwa dampak ekonomi yang merugikan selama pandemi dapat mendorong perokok untuk mengurangi konsumsi rokok mereka.

Sejalan dengan dampak ekonomi selama pandemi pada Tabel 5, kami juga meneliti perubahan perilaku merokok di seluruh tingkat pendapatan seperti yang disajikan pada Gambar 2. Terlihat bahwa perokok yang meningkatkan atau mempertahankan intensitas merokok selama pandemi didominasi oleh mereka yang memiliki tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi (lebih dari Rp3.000.000 per bulan) dibandingkan dengan mereka yang berasal dari tingkat pendapatan yang lebih rendah (Rp0-3.000.000). Sekitar 66% persen dari perokok yang melaporkan peningkatan konsumsi rokok selama pandemi berasal dari kelompok berpenghasilan tinggi, sedangkan kelompok yang sama hanya menyumbang 51% dan 37% dari perokok yang tidak berubah dan intensitas merokoknya menurun. Temuan ini menunjukkan bahwa perokok dari kelompok yang berpenghasilan rendah cenderung menyesuaikan intensitas merokok mereka selama pandemi.

Tabel 5 juga menampilkan keterkaitan antara perubahan perilaku merokok dan indikator yang berhubungan dengan COVID-19, seperti mengalami pembatasan sosial, mempercayai informasi yang salah tentang COVID-19, penurunan kegiatan berkumpul, dan peningkatan waktu luang. Secara keseluruhan, paparan terhadap COVID-19, pembatasan sosial, dan kepercayaan pada informasi yang salah tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan intensitas merokok dan pengeluaran untuk rokok. Perokok yang mengalami pembatasan sosial cenderung mengurangi pengeluaran untuk merokok (46% vs 33%) dan beralih ke rokok yang lebih murah (30% vs 15%) dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami pembatasan sosial. Selain itu, perokok yang mengalami peningkatan waktu luang cenderung mengurangi intensitas merokok (45% vs 32%) dan pengeluaran untuk rokok (50% vs 36%) dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami peningkatan waktu luang.

P erub ahan Int ensitas Mer ok ok Meningkat [n=15] Tidak berubah [n=241] Menurun [n=156] 34% 66% 49% 51% 63% 37% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 0-Rp3,000,000 Lebih dari 3,000,000

Sumber: Perhitungan peneliti

Gambar 2. Perubahan intensitas merokok menurut kelompok pendapatan [dengan penimbang]

(13)

4.

Kesimpulan & rekomendasi kebijakan

Kajian ini meneliti bagaimana status dan perilaku merokok dapat berubah selama sepuluh bulan periode pandemi COVID-19. Secara keseluruhan, kami menyertakan 1.082 pengamatan yang dikumpulkan melalui survei telepon yang dapat mewakili pengguna telepon seluler nasional di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa status merokok hampir tidak berubah selama pandemi, karena sebagian besar perokok tetap merokok. Dalam hal intensitas merokok, lebih dari separuh perokok aktif persisten tidak mengubah intensitas merokok dan pengeluaran untuk rokok, termasuk mereka yang mengalami guncangan pekerjaan dan pendapatan. Terlepas dari itu, hampir empat dari sepuluh perokok mengurangi konsumsi rokok, terutama mereka yang telah mengalami jam kerja yang berkurang dan mengalami tekanan finansial. Pendapatan perokok juga dikaitkan dengan persentase pengurangan konsumsi rokok. Perokok juga secara aktif mengganti pembelian rokok mereka dengan rokok yang lebih murah dan jenis rokok yang berbeda selama pandemi. Selain itu, perokok yang mengalami pembatasan sosial cenderung mengurangi pengeluaran untuk merokok dan beralih ke rokok yang lebih murah. Meskipun demikian, paparan terhadap COVID-19, pembatasan sosial, dan kepercayaan pada informasi yang salah, dan penurunan waktu luang selama pandemi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan intensitas merokok dan pengeluaran rokok.

Keterbatasan penelitian ini adalah data yang dikumpulkan bersumber dari informasi atau pernyataan-pernyataan subjektif yang dilaporkan oleh responden. Karena tidak tersedianya data baseline atau dasar, kami hanya dapat memperkirakan perubahan variabel berdasarkan persepsi seseorang, yang mungkin mengalami bias ingatan (recall bias). Terlepas dari keterbatasan ini, sejauh yang kami ketahui, penelitian ini adalah penelitian pertama yang memberikan pengetahuan mengenai perubahan status dan perilaku merokok selama pandemi COVID-19.

Temuan-temuan kajian ini memberi bukti untuk mendukung kebijakan pengendalian tembakau dengan beberapa cara. Pertama, salah satu faktor yang menyebabkan konsumsi rokok cenderung tetap di tengah pandemi adalah tersedianya alternatif rokok yang lebih murah, dan oleh karena itu pemerintah perlu mengurangi variasi harga rokok melalui penyederhanaan tarif cukai. Kedua, fakta bahwa perokok bersedia menurunkan konsumsi rokoknya karena kesulitan ekonomi, terutama mereka yang berasal dari kelompok berpenghasilan rendah, dapat menjadi bukti untuk mendukung pemerintah menaikkan cukai rokok secara signifikan, yang dapat membawa efek serupa ‘guncangan ekonomi’ melalui kenaikan harga rokok. Berdasarkan temuan ini, kami mendesak pemerintah untuk menurunkan variasi harga melalui penyederhanaan golongan cukai dan secara signifikan meningkatkan tarif cukai serta harga rokok di Indonesia untuk mengurangi keterjangkauan rokok.

(14)

Perubahan Status dan Perilaku Merokok Setelah Sepuluh Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia 13

Astuti, P.A.S., M. Assunta, and B. Freeman, Why is tobacco control progress in Indonesia stalled?-a qualitative analysis of interviews with tobacco control experts. BMC public health, 2020. 20: hlm. 1-12.

Patricio V. Marquez and Divyanshi Wadhwa. On world no tobacco day: Highlighting Indonesia’s ominous tobacco use and disease burden. 2019; Tersedia di: https://blogs.worldbank.org/health/world-no-tobacco-day-highlighting-indonesias-omi nous-tobacco-use-and-disease-burden.

Zheng, R., et al., Cigarette affordability in Indonesia: 2002-2017. 2018: World Bank.

World Health Organization. World no tobacco day factsheet 2018 Indonesia. 2018;

Tersedia di: https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/272673/wntd_2018_indonesia_fs.pdf?se

quence=1.

Kristina, S.A., et al., Health care cost of noncommunicable diseases related to smoking in Indonesia, 2015. Asia Pacific Journal of Public Health, 2018. 30(1): hlm. 29-35.

Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Situasi virus COVID-19 di Indonesia. 2021; Tersedia di: https://covid19.go.id/.

IDN Financials. Covid-19 pandemic increased Indonesia’s poverty rate by 10.19%. 2021;

Tersedia di: https://www.idnfinancials.com/news/38104/covid-pandemic-increased-indonesias-pov

erty-rate.

Bodamaev, S., et al. COVID-19: Economic and Food Security Implications (4th Edition)

Indonesia. 2020; Tersedia di: https://docs.wfp.org/api/documents/WFP-0000122120/download/?_ga=2.90954396.7817

3148.1619762540-1169097358.1619762540.

Gallus, S., S. Ghislandi, and R. Muttarak, Effects of the economic crisis on smoking prevalence and number of smokers in the USA. Tobacco control, 2015. 24(1): hlm. 82-88. Petrelli, F., et al., Survey about the potential effects of economic downturn on alcohol consumption, smoking and quality of life in a sample of Central Italy population. Acta Bio Medica: Atenei Parmensis, 2018. 89(1): hlm. 93.

McClure, C.B., et al., Economic crisis and smoking behaviour: prospective cohort study in Iceland. BMJ open, 2012. 2(5).

Yach, D., Tobacco use patterns in five countries during the COVID-19 Lockdown. Nicotine & Tobacco Research, 2020.

Sidor, A. and P. Rzymski, Dietary Choices and Habits during COVID-19 Lockdown: Experience from Poland. Nutrients, 2020. 12(6): hlm. 1657.

Luk, T.T., et al., Exposure to health misinformation about COVID-19 and increased tobacco and alcohol use: a population-based survey in Hong Kong. Tobacco control, 2020.

Pišot, S., et al., Maintaining everyday life praxis in the time of COVID-19 pandemic measures (ELP-COVID-19 survey). European journal of public health, 2020.

Klemperer, E.M., et al., Change in tobacco and electronic cigarette use and motivation to quit in response to COVID-19. Nicotine & Tobacco Research, 2020.

Jackson, S.E., et al., COVID-19, smoking and inequalities: a study of 53 002 adults in the UK. Tobacco control, 2020.

Jackson, S.E., et al., Association of the Covid-19 lockdown with smoking, drinking, and attempts to quit in England: an analysis of 2019-2020 data. medRxiv, 2020.

Hanafi, E., et al., Alcohol-and Cigarette-Use Related Behaviors During Quarantine and Physical Distancing Amid COVID-19 in Indonesia. Frontiers in psychiatry, 2021. 12.

Daftar pustaka

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

(15)

20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.

Rahmayanti, K.P. and R. Ikhsan, Perilaku Merokok dan Implementasi Rumah Bebas Asap Rokok di Masa Pandemi COVID-19 di Indonesia. 2020.

Nurhasana, R., et al., Public support for cigarette price increase in Indonesia. Tobacco Control, 2020.

Cochran, W.G., Sampling techniques. 2007: John Wiley & Sons.

Gallus, S., et al., Why do smokers quit? European Journal of Cancer Prevention, 2013. 22(1): hlm. 96-101.

Prasetyo, B.W. and V. Adrison, Cigarette prices in a complex cigarette tax system: empirical evidence from Indonesia. Tobacco control, 2020. 29(6): hlm. 618-623.

International Labour Organization. The Impact of the COVID-19 pandemic on jobs and

incomes in G20 economies. 2020; Tersedia di:

https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---cabinet/documents/publicat ion/wcms_756331.pdf.

Organisation for Economic Co-operation and Development, Employment rate by age group. 2021.

(16)

The 2019 Health Care Cost of Smoking in Indonesia

Perubahan Status dan Perilaku Merokok Setelah Sepuluh Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia 15

Lampiran

Lampiran A. Proses pengumpulan data

Total Nomor Acak [N=91,048]

Total Nomor Tidak Aktif 83,093 (91.3%) Tidak Merespon/Menolak 6,610(83.1%) Responden yang dikecualikan 259(19.3%) Total Nomor Aktif

7,955(8.7%)

Sampel yang dihapus karena data tidak lengkap

(n=4) Merespon 1,345 (16.9%) Total responden 1,082 Responden yang diwawancara 1086 (80.7%)

(17)

Lampiran B. Deskripsi status merokok Status merokok Tidak pernah merokok Deskripsi Mantan perokok persisten Baru berhenti merokok Perokok kambuh Perokok baru Perokok aktif persisten

1 jika responden tidak pernah merokok pada Februari 2020 dan periode saat ini

1 jika responden merokok pada Februari 2020 dan periode saat ini

1 jika responden perokok pada Februari 2020 dan telah berhenti di periode saat ini

1 jika responden sebelumnya pernah menjadi perokok pada Februari 2020 dan menjadi perokok pada periode saat ini 1 jika responden tidak pernah merokok pada Februari 2020 dan menjadi perokok di periode saat ini

1 jika responden perokok aktif pada Februari 2020 dan periode saat ini

(18)

The 2019 Health Care Cost of Smoking in Indonesia

Perubahan Status dan Perilaku Merokok Setelah Sepuluh Bulan Pandemi COVID-19 di Indonesia 17

Lampiran C. Deskripsi perilaku merokok Kebiasaan Merokok

Perubahan intensitas merokok

Deskripsi

Rata-rata jumlah rokok yang dikonsumsi per minggu pada bulan berjalan (pasca pandemi) dibandingkan dengan rata-rata jumlah rokok yang dikonsumsi per minggu pada bulan Februari 2020 (pra pandemi); dalam tiga kategori: menurun, stagnan, meningkat.

Pengeluaran rokok saat ini (pasca-pandemi)

Perubahan pengeluaran rokok

Perubahan harga rokok yang paling sering dikonsumsi

Jenis rokok

Perubahan jenis rokok

Jumlah uang yang dikeluarkan untuk rokok per minggu dalam sebulan terakhir; dalam Rupiah

Rata-rata jumlah pengeluaran untuk rokok per minggu pada bulan berjalan (pasca pandemi) dibandingkan dengan rata-rata jumlah pengeluaran untuk rokok per minggu pada bulan Februari 2020 (pra-pandemi); dalam tiga kategori: menurun, stagnan, meningkat.

Harga per bungkus (atau batang) rokok yang paling banyak dikonsumsi pada bulan berjalan (pasca- pandemi)

dibandingkan dengan harga per bungkus (atau batang) rokok yang paling banyak dikonsumsi pada Februari 2020 (pra-pandemi); dalam tiga kategori: beralih ke harga rokok yang lebih rendah, harga rokok yang sama, harga rokok yang lebih tinggi.

Jenis rokok yang paling banyak dikonsumsi dalam sebulan terakhir dan Februari 2020; termasuk rokok putih merek terkenal, rokok kretek mesin dan tangan merek terkenal, dan rokok lainnya (rokok putih dan kretek merek tidak terkenal, rokok buatan sendiri, rokok tradisional, dan rokok yang mungkin ilegal)

Jenis rokok yang paling banyak dikonsumsi pada periode saat ini dibandingkan dengan periode Februari 2020

Sumber: Peneliti Intensitas merokok

saat ini (pasca- pandemi)

Jumlah rokok yang dikonsumsi per minggu dalam sebulan terakhir; dalam jumlah batang

(19)

Gambar

Tabel 1. Ukuran sampel menurut pelanggan penyedia seluler
Gambar 1. Proporsi penduduk dengan perubahan status merokok
Tabel 2. Karakteristik demografi menurut status merokok
Tabel 3. Perubahan perilaku merokok pada perokok aktif persisten  [dengan penimbang] Menurun Tidak berubah Naik % Rata-rata konsumsi rokok (mingguan)37%60%3%607888 75,334108,10498,477
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dan secara keseluruhan dari hasil proses yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa SMP yang pembelajarannya

Model tersebut merefleksikan kompleksitas organisasi dengan berbagai unit yang ada dan koordinasi organisasi dengan menggunakan mekanisme integrasi bagian-bagian yang

perencanaan selama pandemi covid-19 di LKP Lubuk Akal yakni menyesuaikan kurikulum sebelum masa pandemi dengan menyesuaikan selama masa pandemi yang berupa pertemuan

Kemudian dilakukan penekanan tombol sebagai intruksi robot memulai berkerja sesuai program yang tertanam khususnya program kendali PID yang mengontrol pergerakan kaki robot

Semua orang yang berada di lingkungan ruang bengkel dapat segera mengenal gejala kebakaran dari bahan yang mudah terbakar, mengenal jenis api kebakaran, mengenal

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa: (1) seharusnya pengolahan terbitan resmi pemerintah di Perpustakaan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Sumatera Barat lebih

Kelemahan uji banding berdasarkan pasangan perlakuan adalah dalam besar resiko jenis I yang sebenarnya, untuk pembandingan 2 perlakuan maka nilai α = ε , tetapi

Pentingnya pengembangan model ini dalam bidang keilmuan teknik industri adalah memberikan alternatif model pengukuran yang dapat mengukur kualitas dari pelayanan suatu perusahaan