• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejauh mana penanganan label halal yang dilakukan oleh MUI (LPPOM) sekarang?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sejauh mana penanganan label halal yang dilakukan oleh MUI (LPPOM) sekarang?"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

{mosimage}

KH M Anwar Ibrahim,

Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat |

Rancangan Undang-undang (RUU) Jaminan Produk Halal kini dalam pembahasan di DPR. Selama proses pembahasan itu mulai terasa ada upaya 'melengserkan' peran MUI yang

selama ini secara independen mengaudit produk-produk makanan, dan obatan-obatan. Ada ide agar audit ini diambil alih pemerintah atau lembaga lain. Sementara MUI nantinya cuma

menjadi stempel.

Bagaimana MUI terlibat dalam proses pembahasan RUU ini dan sikapnya menghadapi

berbagai trik yang sedang berkembang? Berikut wawancara dengan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat KH M Anwar Ibrahim dengan wartawan Media Umat Joko Prasetyo.  

Sejauh mana penanganan label halal yang dilakukan oleh MUI (LPPOM) sekarang?

Penanganannya sampai sekarang ini melalui dua tahap. Pertama, melalui LPPOM. LPPOM adalah salah satu badan dalam MUI yang bertugas melakukan audit. Jadi kalau ada produsen meminta sertifikat halal maka harus kita periksa apa produknya dan apa pula komposisinya. Nah, untuk memastikan bahwa komposisinya terbuat dari bahan yang halal, LPPOM tidak boleh percaya begitu saja atas keterangan lisan pihak produsen. Maka semua komposisi produk tersebut oleh LPPOM harus dibawa ke laboratorium.

Untuk mengetahui apa sebenarnya komposisi setiap produk tersebut, apakah sudah sesuai dengan yang ditulis dalam kemasan produk atau tidak, mengandung unsur haram atau tidak.

(2)

Setelah itu LPPOM memberikan laporan secara tertulis kepada komisi fatwa.

Kedua, komisi fatwa menyidangkannya bersama LPPOM. Kalau dalam penilaian kita halal maka kita halalkan. Kita sebut produk ini halal. Bila ternyata ada unsur haramnya,kita minta unsur-unsur yang haram itu dibuang. Tidak boleh lagi disertakan dalam produknya. Setelah itu dilakukan audit ulang sampai benar-benar komposisi produk tersebut merupakan bahan yang halal semua. Barulah sertifikasi halal dikeluarkan. Sehingga produsen berhak menyematkan label halal MUI di setiap kemasan produk tersebut. Di waktu lainnya MUI berhak untuk mengaudit lagi, untuk memastikan produk tersebut tetap berkomposisi dan proses pembuatannya halal. Sehingga tetap layak mencantumkan label halal MUI.

LPPOM dan komisi fatwa selalu bekerja sama. Kalau masalah pemotongan hewan komisi fatwa pun melihatnya secara langsung ke lokasi bersama LPPOM. Jadi antara LPPOM dengan

komisi fatwa itu tidak bisa dipisahkan.

Memang sering ada yang bertanya, ”Orang Islam ini kok keras sekali!”. Saya jawab, karena kita disuruh oleh Allah untuk mengkonsumsi produk-produk yang halal saja. Sebagai contoh waktu saya ke Atlanta mendampingi Ketua LPPOM saat itu Ibu Aisyah Mutia, saya gatal-gatal. Saya minta obat krim buat kulit. Ibu Aisyah menjawab, ”Jangan. Jangan beli di sini karena obat kulit di sini banyak menggunakan plasenta”.

Setiap bayi itu kan lahir bersama plasentanya. Kalau di Amerika tidak dibuang! Semuanya dikumpulkan kemudian diolah menjadi krim obat penghalus kulit dan lain sebagainya. Dalam ajaran agama kita itu kan najis!  Makanya, kalau kebiasaan di Indonesia plasenta itu kan dikubur ya, tidak dimanfaatkan jadi produk apapun karena diharamkan. Sehingga saat itu gatal-gatal saya tidak diobati.

Apakah MUI sudah bekerja maksimal atau masih ada kendala?

Ada yang menilai maksimal ada yang menilai belum. Tapi bagi komisi fatwa sendiri ingin mendapatkan hasil yang lebih baik lagi. Mendapatkan fakta produk sedetail mungkin. Karena semakin maju produk makanan, minuman, kosmetik, dan obat-obatan itu semakin rumit. Semakin tidak diketahui komposisinya oleh masyarakat umum. Yang mengetahui hanya

(3)

sangat berat.

Masalah kimia, vaksin misalnya, harus melibatkan ahli di bidang terkait. Dalam sidang pembahasan laporan LPPOM, komisi fatwa selalu mempertanyakan apa maksudnya yang tertulis dalam laporan tersebut kepada LPPOM. Karena para kyai kan kurang menguasai istilah-istilah kimia.

Sebagai contoh vaksin meningitis. Dalam fiqih itu kan sudah dikaji mengenai media,

bahan-bahan dan lain sebagainya. Tapi bagaimana proses pembuatan produk vaksin, kyai-kyai kan kurang mengerti. Yang mengerti adalah para ahli-ahli tersebut. Alhamdulillah,

kawan-kawan  kita di Indonesia cukup banyak  yang mempunyai pengetahuan tentang itu dan mau bekerja sama dengan MUI. Kita undang mereka. Mereka jelaskan satu persatu apakah memang di sana ada unsur haram atau tidak, bersinggungan dengan yang haram atau tidak. Dalam hal ini unsur haram tersebut adalah khamr dan unsur babi.

Atau posisinya sekadar istihalah, seperti halnya dalam pembuatan cuka, bahan bakunya itu mengalami proses berubah menjadi khamr sebelum menjadi cuka. Istihalah, dalam Islam terkategori halal. Contoh lainnya adalah pohon jeruk yang dipupuk oleh pupuk kandang. Apakah jeruknya halal? Para ulama menyimpulkan itu halal. Karena yang menjadi jeruk itu bukan pupuk kandang. Pupuk kandang hanya menjadi penyuburnya saja.

Nah, apakah pembuatan vaksin juga seperti itu? Ternyata tidak sama. Jadi harus kita ketahui secara mendetail dan memerlukan tenaga-tenaga ahli tersebut. Jadi vaksin meningitis haram! Dan ternyata produsennya sendiri mengakui bahwa dalam proses pembuatannya

bersinggungan dengan babi. Padahal dalam Alquran telah dinyatakan dengan tegas bahwa babi itu najis! Qath'i itu, tidak bisa diganggu gugat lagi.

Apakah kita butuh payung berupa UU untuk penanganan label halal?

Saya pribadai berpendapat, iya. Karena bagaimana pun juga tugas-tugas kita, di MUI itu, harus mempunyai dasar yang kuat terutama dari pemerintah. Kita memerlukan UU itu supaya apa yang kita lakukan di MUI itu mendapat perlindungan hukum. Selama ini yang membuat sertifikasi halal itu atas inisiatif produsen sendiri. MUI tidak bisa memaksa mereka membuat sertifikat. Bila ada UU yang mewajibkan produk yang beredar harus halal itu akan sangat

(4)

melindungi masyarakat.

Pada tahun 2004, pemerintah mendirikan Badan Perlindungan  Konsumen Nasional BPKN di bawah Departemen Perdagangan. Dan itu dibentuk oleh presiden langsung. Saya di sana

sebagai anggota Biro mewakili  

MUI. Tugasnya itu antara lain, untuk memberikan penjelasan pada masyarakat tentang hak-hak konsumen itu apa.

Kalau ada bahan jadi di supermarket

umpamanya apa yang perlu ditanyakannya, yang perlu diketahuinya, atau dia punya obat apa yang ingin diketahuinya.

Sayangnya lembaga yang baru berjalan 3 tahun ini pun ditutup. Sehingga seharusnya

masyarakat  menuntut menginginkan produk-produk yang halal , yang aman tapi karena tidak diarahkan ke sana. Ya masyarakat diam. Sebagai contoh   saya bilang sama istri, ”Ayo kita belanja ke supermarket”.

Ketika mau beli daging, saya bilang ”Tanyakan mana

sertifikat halalnya!” Istri jawab, ”jangan dong nanti tersinggung”.

Yakinlah kalau setiap ibu, yang masuk ke sana, tetap menanyakan mana sertifikat halalnya, tiga orang saja, produsen pasti berpikir tidak laku kalau tidak ada sertifikat halal. Tapi kita terlalu mempertimbangkan perasaan orang, padahal itu hak bahkan kewajiban kita terkait dunia

akhirat. 

Nah, draft yang ada di DPR itu atas inisiatif siapa?

Kurang tahu saya. Apakah itu pemerintah, DPR atau siapa? MUI hanya diajak rapat-rapat. Dalam rapat di MUI itu juga saya tidak pernah menanyakan siapa yang berinisiatif itu.

(5)

Sekarang ini masih dalam pembahasan beberapa pasal-pasal. Dalam RUU itu kita usahakan supaya dapat memenuhi harapan kita baik dari segi jaminan halalnya maupun lembaga yang berperan bertanggung jawab berkewajiban melaksanakan RUU ini. Yang sangat kita harapkan MUI mempunyai peran yang sangat besar di dalam pelaksanaan jaminan halal ini. Karena MUI sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun. MUI-lah yang mencetuskan jaminan halal ini.

Sehingga di masyarakat beredar produk-produk halal yang berlabel halal. Masa sudah berjalan bagus, nanti dilepaskan. Sebisa mungkin diusahakan lembaga yang dimaksud dalam RUU itu adalah lembaga yang independen, jangan pemerintah.

Contohnya seperti keuangan syariah. Itu kan lembaganya independen, bukan di bawah Bank Indonesia. Kalau di bawah Bank Indonesia nanti posisinya menjadi lemah. Bukannya kita tidak percaya pada kyai-kyai ya. Tetapi kita lihat di negara-negara lain, bila sudah masuk lembaga pemerintah, mungkin saja ada yang terpengaruh, ya macam-macam lah. Mungkin saja terpengaruh oleh hal-hal tertentu. Oleh karena itu kita tetap bertahan dalam UU perbankan syariah itu, fatwa tetap dipegang oleh MUI. Alhamdulillah itu berhasil. Dan semoga dalam masalah ini juga demikian.

Sudahkah MUI menyampaikan hal ini atau DPR mengundang MUI membicarakannya?

Iya.

Apa saja hasil kesepakatan pembicaraan itu?

Intinya ada dua. Pertama, UU JPH itu nantinya harus bisa mengungkapkan jaminan kehalalan buat  konsumen Muslim dan pelaksananya, tentu saja yang diharapkan MUI, adalah MUI sebagai lembaga yang independen, jangan pemerintah.  

(6)

Kemarin panja mengatakan kepada Media Umat, lembaga yang akan menanganinya adalah lembaga semacam Badan Layanan Umum, satuan kerja di bawah Depag atau BUMN, tanggapan MUI?

Ya, itu kan pemerintah juga!

Tapi panja DPR mengatakan fatwanya tetap dari MUI...

Iya. Yang mengeluarkan fatwanya kan komisi fatwa MUI. Dia independen, tidak di bawah pemerintah. Apakah MUI bisa berpegang kepada auditor pemerintah? Saya kira sulit.

Mengapa?

Ya.. kalau komisi fatwanya independen, auditornya juga harus independen. Jangan di bawah pemerintah. Kalau saya katakan saya tidak percaya sama Anda, mau diapakan? Apa benar laporan dalam auditnya itu tidak terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan? Jangan sampai nanti auditor itu memberikan laporan berdasarkan pesanan.

Kita mengharapkan berjalan seperti sekarang ini, tidak terpengaruh oleh

kepentingan-kepentingan itu. Lembaga audit dan fatwa itu harus jadi satu seperti sekarang ini. Kalau hasil akhirnya auditor tidak independen, jelas MUI kecewa, belum puas. Jadi MUI

dikesankan sebagai stempel saja!

Belakangan mulai muncul tanggapan negatif terhadap RUU itu seperti halnya dulu RUU APP karena dianggap diskriminatif, tanggapan Anda?

Itu yang kita khawatirkan. Mudah-mudahan saja bapak-bapak, ibu-ibu di DPR mau mendengar betul-betul MUI. Karena kan kita memandang mereka yang di DPR itu kan kepanjangtanganan

(7)

kita, apalagi sekarang sudah pada akhir-akhir tugasnya. Berikanlah kenang-kenangan yang menyejukkan ya. Jangan sampai masyarakat mengesankannya dengan kesan yang kurang memuaskan.

Kalau bapak-bapak dan ibu-ibu di DPR selama ini sudah banyak berbuat baik. Semoga terkait JPH ini baik juga. Kenapa? Karena, makan, minum, kosmetik, dan obat-obatan ini terkait

dengan kebutuhan kita sehari-hari dan sangat pokok. Jangan sampai apa yang dibuat sekarang yang sebentar berefek negatif pada jangka panjang, dunia akhirat.

Pernahkah MUI merasa ada pihak-pihak yang sengaja ingin mengambil alih peran MUI selama ini dalam hal penentuan halal-haram produk?

Ya, saya sendiri merasakan ada.

Siapa mereka itu?

Ya tidak bisa saya sebutkan pihak-pihak tertentu. Tapi ..ya... kawan-kawan kita juga lah. Yang menurut kita seharusnya melindungi kita tetapi sepertinya mau menarik... Saya juga pernah diajak, ”Ayo kita ke sana. Bapak sudah disediakan tempat di sana”. Tetapi saya tidak mau. Tapi kita masih punya harapan besar karena yang kita duga, kita sangka melakukan upaya-upaya itu adalah orang-orang kita sendiri. Namun, mudah-mudahan tidak benar sangkaan kita. Dan mereka dapat membuktikan bahwa mereka juga punya tujuan yang sama dengan kita.

Maksudnya diajak ke mana?

Departemen tertentu.

(8)

Siapa yang diuntungkan jika MUI tak lagi menjadi aktor utama dan satu-satunya yang menentukan halal-haram?

Ya... yang diuntungkan mungkin pihak yang ingin membuat lembaga baru itu yang ingin

mengambil alih fungsi LPPOM. Jadi kalau dia tidak yakin akan diuntungkan mengapa berkeras auditor ini harus lepas dari MUI. Sebab produsen belum tentu diuntungkan? Karena

kemungkian besar biaya auditnya jadi mahal. Konsumen belum tentu diuntungkan juga.

Keuntungan berupa uang?

Dugaan saya, dugaan saya begitu. Mereka itu menyangka kita ini mendapatkan uang yang sangat banyak. Padahal apalah? Kita tidak dapat gaji. Kita hanya dapat uang rapat saja. Kita rapat, dapat 200 ribu. Paling banyak itu 400 ribu. Rapat itu sebulan sekali mungkin dua kali. Kalau sebulan tidak rapat-rapat ya tidak dapat apa-apa.

Tadi dikatakan yang diuntungkan pihak yang ingin membuat lembaga pengganti LPPOM MUI? Kenapa konsumen tidak diuntungkan juga? Bukankah bagi konsumen yang

penting produk yang dikonsumsinya halal?

Justru karena itu. Ya, kemungkinan auditornya tidak jujur sehingga yang haram tidak dilaporkan ke komisi fatwa. Kemungkinan kedua produk yang dibeli konsumen menjadi mahal. Karena biaya auditnya mahal.

Lembaga yang baru nanti akan berbuat seperti LPPOM juga... dan yang memberikan fatwa tetap komisi fatwa MUI...

Ya itu masalahnya seperti yang saya katakan tadi. Apa saya sebagai pemberi fatwa tenang hati dengan hasil audit itu? Anda tidak independen! Saya independen! Apakah yang independen bisa berpegang kepada yang tidak independen. Itulah letak masalahnya.

(9)

Bagaimana sebaiknya peran MUI dalam menentukan halal-haram ini?

Seperti yang sekarang ini berjalan. Sama sama independen. Komisi fatwa tetap MUI. Auditornya juga tetap LPPOM MUI. Jangan diserahkan kepada yang lain.

Menurut laporan yang kita dengar, LPPOM MUI termasuk yang sangat ketat dalam sertifikasi produk halal ini. Saya juga pernah mengikuti pelatihan di Kuala Lumpur, pernah juga mengikuti pertemuan internasional di sini, Jakarta. Saya juga pernah berkunjung ke Amerika, Australia, Cina. Belum pernah saya melihat suatu lembaga seperti LPPOM MUI. Yang lembaganya sendiri itu independen, didukung oleh tenaga-tenaga ahli, mempunyai pengetahuan dan keikhlasan dalam bekerja dalam rangka melaksanakan ajaran Allah SWT.

Di sana (luar negeri) instrumen semacam LPPOMnya atau komisi fatwanya tidak selengkap MUI. Sehingga sekarang ini lembaga-lembaga halal di berbagai negara banyak yang belajar kepada MUI. Sampai sekarang LPPOM itu banyak melatih berbagai kalangan baik dari dalam maupun luar negeri.

Kalau RUU ini mandeg, sebaiknya langkah berikutnya apa?

Kita harapkan bapak-bapak, ibu-ibu di DPR cukup memahami dan tetap berusaha meyakinkan pemerintah. Jangan sampai nantinya UU JPH disahkan hasilnya mengecewakan kita. Kita tidak menginginkan seperti itu.

Tetapi kalau umpamanya tetap berkeras... sehingga auditornya menjadi tidak independen ya silakan. Tetapi kita tidak mau ikut bertanggung jawab terhadap produk-produk yang beredar di pasar. MUI tidak mau ikut UU yang mengharuskan memberikan fatwa terhadap produk yang telah diaudit oleh auditor tersebut. []

Referensi

Dokumen terkait

Said Ibn Ali Ibn Wahf Al-Qahthani, Memahami Makna dan Kandungan Asma’ul Husna Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Semarang: Pustaka Nuun, 2009), h.2.. Jika dikaitkan

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah industri pengolahan susu kambing fermentatif berupa kefir yang berada di wilayah Malang Raya yang terdiri

Proses ini merekam semua database yang masuk dan akan ditampilkan di website. Halaman website terdiri dari halaman publik web dan halaman admin. Halaman publik

coba kamu baca dan amati buku dan karya sastra di dalam majalah atau koran. Perlu kamu ketahui bahwa teks ulasan adalah sebuah teks yang dihasilkan dari sebuah analisis

Pada saat kompresor memampatkan udara atau gas, ia bekerja sebagai penguat ( meningkatkan tekanan ), dan sebaliknya kompresor juga dapat berfungsi sebagai pompa

Diriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa beberapa orang dari kalangan sahabat ada yang mengatakan, “Andaikan kami dapat berperang sebagaimana yang dilakukan kawan-kawan

Standar Struktur Biaya merupakan salah satu alat untuk mendukung efisiensi alokasi biaya dalam penyusunan RKA-K/L melalui penilaian kewajaran komposisi biaya

Dalam keadaan terpaksa, misalnya pasien tidak mungkin untuk diangkut ke kota/rumah sakit besar, sedangkan tindakan darurat harus segera diambil maka seorang dokter atau bidan