• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka 1. Novel

a. Pengertian Novel

Novel merupakan hasil karya sastra. Novel merupakan bentuk karya sastra yang digemari oleh masyarakat karena memiliki daya komunikasi yang luas dan daya imajinasi yang menarik. Novel merupakan karya sastra baru karena bila dibandingkan dengan jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain lain, maka jenis novel ini muncul kemudian (Tarigan, 2011:167). Maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya memang novel merupakan bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru.

Novel merupakan bentuk cerminan kehidupan nyata yang terjadi dalam bermasyarakat. Dalam sebuah novel memuat permasalahan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya, dan manusia dengan pencipta-Nya. Novel menceritakan kisah yang merepresentasikan suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan nyata atau untuk merangsang suatu imajinasi (Danesi, 2010:75). Novel merupakan karya fiksi yang mengungkap berbagai aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan luas.

Novel merupakan jenis karya sastra yang tentunya menyuguhkan nilai yang berguna bagi pembaca. Waluyo, (2011: 37) mengemukakan ciri-ciri yang ada dalam sebuah novel:

1) Terdapat perubahan nasib dari tokoh cerita

2) Terdapat beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya 3) Biasanya tokoh utama tidak sampai mati.

b. Unsur Instrinsik Novel

Unsur-unsur pembangun karya sastra menurut Nurgiyantoro (2013:

29) dibagi menjadi dua, yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur

(2)

instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.

Unsur inilah yang meyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur yang secara nyata dapat dijumpai oleh pembaca, dan secara langsung membangun cerita. Gabungan dari berbagai unsur instrinsik akan membuat sebuah novel berwujud. Unsur instrinsik pembangun karya sastra meliputi: tema, alur (plot), penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa.

1) Tema

Tema merupakan suatu gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar pada suatu karya sastra (Sudjiman dalam Wicaksono, 2014:

101). Berdasarkan beberapa pengertian mengenai tema, dapat disimpulkan bahwa tema adalah makna dalam sebuah cerita yang dapat dipahami melalui pemahaman keseluruhan cerita. Menurut Waluyo (2011: 8) tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:

a) Tema yang bersifat fisik, inti cerita berkaitan dengan kebutuhan fisik manusia.

b) Tema organik, tema yang menyangkut tentang hubungan antara manusia.

c) Tema sosial, tema yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan.

d) Tema egoik, tema yang berkaitan dengan penentangan diri terhadap ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu.

e) Tema divine (ketuhanan), menyangkut refleksi yang bersifat religius antara hubungan manusia dengan Tuhan.

(3)

2) Alur/Plot

Dalam sebuah karya terdapat sebuah cerita. Cerita terdiri atas peristiwa yang tidak dijajarkan begitu saja, akan tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu dengan lainnya. Hal ini biasa disebut dengan alur (Pujiharto, 2012 :32). Alur dalam karya sastra merupakan suatu tahapan peristiwa yang dirangkai menjadi sebuah cerita yang dihadirkan para pelaku dalam sebuah cerita. (Aminuddin, 2013:83)

Secara umum jalan cerita terbagi menjadi lima bagian.

Pengenalan situasi cerita (exposition) dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan para tokoh, menata bagian pergantian cerita tokoh dan hubungan antartokoh. Pengungkapan peristiwa (complication), dalam bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi para tokohnya. Bagian kedua merupakan timbulnya konflik (rising action), terjadi peningkatan perhatian kegembiraan , kehebohan, ataupun keterlibatan, berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.

puncak konflik (turning point), bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Merupakan bagian yang paling menegangkan dan puncak dalam cerita. Biasanya terdapat perubahan nasib dari beberapa tokoh cerita. Penyelesaian (ending) sebagai akhir cerita, berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak apakah terdapat perubahan nasib atau tidak (Kosasih, 2012: 63).

Nurgiyantoro (2013: 213-223) membedakan jenis alur menjadi empat kriteria. Pertama, berdasarkan kriteria urutan waktu dibedakan menjadi tiga jenis yaitu, alur lurus atau progresif atau alur maju, alur sorot balik atau alur flashback, dan alur campuran. Kedua, berdasarkan kriteria jumlah dibedakan menjadi dua yaitu, plot tunggal dan plot subplot atau plot paralel. Ketiga, berdasarkan kriteria kepadatan yang terdiri dari plot padat dan plot longgar. Keempat, berdasarkan kriteria kesamaan isi yang terdiri dari plot peruntungan dan plot tokohan.

(4)

Dapat disimpulkan bahwa alur adalah suatu rangkaian peristiwa yang menjelaskan secara urut suatu cerita mulai dari pengenalan tokoh, timbulnya konflik, klimaks, dan penyelesaian.

3) Tokoh dan Penokohan

Tokoh merupakan pelaku suatu peristiwa. Dalam sebuah peristiwa selalu melibatkan tokoh. Tidak ada peristiwa tanpa tokoh.

Demikian juga sebaliknya tidak ada tokoh tanpa suatu peristiwa (Ratna, 2014 :246). Tokoh mempunyai peranan penting dalam suatu cerita. Tokoh dan penokohan memiliki suatu perbedaan tersendiri.

Salah satu unsur instrinsik karya sastra adalah penokohan. Penokohan merupakan suatu pengembangan karakter tokoh-tokoh dalam cerita oleh pengarang. (Kosasih, 2012:67).

Wahyuningtyas dan Santosa (2011:3) berpendapat bahwa tokoh cerita merupakan unsur instrinsik yang paling tepat sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, yang ingin disampaikan pengarang pada pembaca dalam cerita dapat disimpulkan bahwa penokohan merupakan penggambaran karakter yang diekspresikan melalui suatu tindakan atau ucapan dalam menyampaikan pesan cerita. Dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku peristiwa dalam karya sastra dan memiliki karakter yang dapat ditunjukkan melalui tingkah laku atau ucapan dalam cerita.

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan berbagai sudut pandang. Menurut Nurgiyantoro (2013: 258) penamaan jenis tokoh dari berbagai sudut pandang, meliputi:

a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central character), yang kedua adalah tokoh tambahan atau tokoh periferal (peripheral character). Tokoh utama adalah tokoh yang dalam suatu cerita merupakan hal yang paling diutamakan. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling sering kita temukan dan

(5)

paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian atau senantiasa hadir dalam setiap kejadian dalam cerita.

Menurut Sayuti (2000:74) menjelaskan bahwa tokoh utama atau tokoh sentral merupakan tokoh yang memiliki peranan paling besar dalam setiap peristiwa dalam cerita. Perubahan sikap atau karakter pada tokoh terjadi karena suatu peristiwa yang terjadi dalam cerita. Hal ini menjadikan pula perubahan pandangan pembaca terhadap tokoh dalam cerita. Munculnya tokoh tambahan biasanya kurang mendapat perhatian atau sengaja diabaikan.

b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis merupakan tokoh yang baik atau tokoh yang mendapatkan banyak simpati dari pembaca. Dalam perkembangannya tokoh protagonis merupakan tokoh utama dalam cerita yang memiliki watak baik maupun jahat. Sedangkan tokoh antagonis merupakan tokoh yang jahat. Tokoh antagonis adalah penentang dari tokoh protagonis dalam cerita. Biasanya tokoh antagonis menimbulkan rasa benci pada pembaca (Waluyo, 2011:20).

c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Kenny dalam Nurgiyantoro (2013:265) berpendapat bahwa tokoh sebuah cerita fiksi yang sudah biasa dapat digolongkan sebagai tokoh-tokoh yang berwatak sederhana. Tokoh sederhana, merupakan tokoh yang memilki satu sifat watak tertentu saja.

Sifat, sikap, dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat dasar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 267) menyebutkan bahwa tokoh bulat lebih mirip dengan kehidupan manusia nyata karena memiliki berbagai kemungkinan sikap dan dalam tindakannya ia juga sering memberikan kejutan. Tokoh bulat adalah tokoh yang kemungkinan bisa diungkap sisi kehidupan dan jati dirinya. Tokoh kompleks kurang familiar karena menampilkan tokoh-tokoh

(6)

kurang dikenal, mempunyai tingkah laku yang tidak terduga,dan biasanya memberikan efek kejutan bagi pembacanya sehingga lebis sulit untuk dipahami. (Nurgiyantoro, 2013: 267).

d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara hakiki tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi (Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2013:272). Tokoh jenis ini tidak mengalami perubahan-perubahan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia karena kurang terlibat dan berpengaruh dalam suatu cerita. Tokoh statis memiliki sikap dan watak yang tidak mengalami perkembangan sejak awal sampai akhir cerita.

Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa dan plot dalam cerita. (Nurgiyantoro, 2013: 272).

e) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan sedikit keadaan dirinya.tokoh tipikal lebih banyak menampilkan kualitas pekerjaan atau kebangasaan (Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2013: 275). Tokoh tipikal merupakan suatu penggambaran terhadap seseorang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga yang ada di dunia nyata. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri, dan benar-benar merupakan tokoh imajinatif yang hanya hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi (Nurgiyantoro, 2013: 275).

4) Latar

Latar atau setting adalah lingkungan fisik tempat kegiatan dalam cerita berlangsung (Laverty dalam Tarigan, 2011:164).

Aminuddin (2013:67) menjelaskan bahwa setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, biasanya berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Menurut

(7)

Nurgiyantoro (2013:314) latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok.

Unsur- unsur tersebut saling memengaruhi dan berkaitan satu sama lain.

a) Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan bisa berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar tempat dalam sebuah novel meliputi berbagai lokasi, ia akan berpindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan perkembangan cerita atau plot dalam cerita. (Nurgiyantoro, 2013:

317).

b) Latar Waktu

Latar waktu berkaitan dengan kapan terjadinya suatu masalah yang muncul dalam peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Masalah waktu menurut Genette (Nurgiyantoro, 2013:318) dapat bermakna ganda, di satu pihak menunjuk pada waktu penceritaan, waktu penulisan sebuah cerita, dan menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan diceritan dalam karya fiksi. Kejelasan waktu amat penting dilihat dari segi waktu penceritaannya.

c) Latar Sosial-Budaya

Latar sosial-budaya menunjuk pada tempat terjadinya cerita yang memiliki berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial di masyarakat. Kehidupan sosial dalam masyarakat mencakup berbagai masalah yang cukup kompleks dalam suatu tata cara kehidupan. latar sosial-budaya juga berhubungan dengan status sosial atau kasta tokoh yang bersangkutan, misalnya status sosial rendah, menengah, atau atas. Dapat ditegaskan bahwa latar sosial- budaya merupakan bagian latar secara keseluruhan. Ia berada

(8)

dalam kepaduannya dengan unsur latar yang lain, yaitu unsur tempat dan waktu (Nurgiyantoro, 2013: 325).

5) Sudut pandang

Sudut pandang pengarang (point of view) merupakan salah satu teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu (Waluyo, 2011: 25). Menurut Tarigan (2011:136), sudut pandang adalah posisi fisik, tempat pembicara melihat dan menyajikan gagasan- gagasan atau peristiwa-peristiwa; merupakan perspektif/pemandangan fisik dalam ruang dan waktu yang dipilih oleh penulis bagi personanya, serta mencakup kualitas-kualitas emosional dan mental persona yang mengawasi sikap dan nada. Sudut pandang/point of view menunjuk pada cara suatu cerita dikisahkan. Ia merupakan c pandangan yang dipergunakan seorang pengarang sebagai sarana untuk menyajikan suatu kisah dalam sebuah karya fiksi kepada para pembaca (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2013: 338). Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan sudut pandang adalah cara yang digunakan oleh pengarang untuk menampilkan sebuah cerita dalam karya fiksi. Tarigan (2011: 138) membagi sudut pandang ke dalam empat jenis, yang meliputi:

a) Sudut pandang yang berpusat pada orang pertama (first person central point of view)

b) Sudut pandang yang berkisar sekeliling orang pertama (first person peripheral point of view)

c) Sudut pandang orang ketiga terbatas (limited third person point of view)

d) Sudut pandang orang ketiga serba tahu (third person omniscient point of view)

6) Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2013: 369). Gaya bahasa,

(9)

atau style adalah cara seorang pengarang dalam menyampaikan sebuah gagasannya melalui media bahasa. Gaya bahasa menurut Nurgiyantoro (2013: 370) adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan dan sekaligus untuk mencapai efek keindahan. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah teknik pengarang dalam bercerita menggunakan media bahasa untuk mencapai efek keindahan dalam cerita.

7) Amanat/Pesan Moral

Kenny dalam Nurgiyantoro (2013: 430) berpendapat bahwa pesan moral adalah saran atau masukan yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (ditafsirkan), lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Amanat menurut Siswandarti (2009: 44) adalah pesan-pesan baik tersirat atu tersurat yang ingin disampaikan pengarang melalui cerita. Amanat merupakan pesan yang disampaikan pengarang untuk dihadirkan melalui suatu peristiwa di dalam cerita agar dapat dijadikan refleksi diri atau bahan perenungan oleh pembaca. Dari dua pengertian tersebut, amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca yang disajikan dalam suatu peristiwa dan dapat dijadikan sebagai bahan untuk merenung atau refleksi diri.

2. Hakikat Semiotik a. Pengertian Semiotik

Menurut Luxembung, (1986:44) semiotik ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion, bhs Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses dalam perlambangan. Ilmu bahasa bisa juga disebut dengan ilmu semiotik.

Tanda-tanda menjadikan proses kehidupan manusia menjadi lebih efisien, hal ini kaitannya dengan kehidupan manusia yang dipenuhi oleh tanda- tanda. Dengan adanya tanda-tanda, manusia bisa berkomunikasi dengan sesama manusia, sekaligus menjadikan suatu pemahaman yang lebih baik

(10)

terhadap dunia. Menurut Preminger, dkk (dalam Pradopo, 2003: 119) semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu semiotik menganggap bahwa suatu fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan- aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai suatu arti.

Signs must be organized into meaningful systems according to certain conventions, which semioticians refer to ascodes. Such conventions represent the socio-cultural dimen-sion in semiotics (Fiske dalam ramzi, 2013). Tanda harus diorganisasikan dalam sistem yang bermakna menurut konvensi tertentu., yang oleh ahli semiotika disebut kode. Konvensi semacam itu mempresentasikan dimensi budaya dalam semiotika.

Culler dalam Nurgiantoro (2013: 114) mengatakan bahwa dalam pandangan semiotik yang berasal dari teori Saussure bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan makna merupakan suatu sistem tanda bahasa mewakili suatu yang lain. Hartoko dan Harmanto (1986: 131) memaparkan pengertian semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tanda, sistem tanda, dan proses suatu tanda dimaknai.

Menurut Endraswara (2008: 63) dari kodratnya, karya sastra merupakansuatu pemikiran dan perasaan lewat pemikiran pengarang menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa khas, yaitu bahasa yang memuat tanda-tanda atau yang disebut semiotik. Mukarovsky (dalam Faruk, 2017: 77), mengemukakan bahwa karya sastra khususnya karya seni umumnya adalah sebagai suatu fakta semiotik. karya sastra sebagai fakta kemanusian yang bersifat semiotik itu amat penting dierhatikan karena merupakan ekspresi dari kebutuhan tertentu manusia, sedangkan sebagai fakta semiotik karya itu mempunyai ciri khas yang perlu diketahui. Sebagai fakta semiotik, karya sastra berada dalam dunia inderawi (empirik) dan dunia kesadaran (consciousness) yang non empirik. Aspek keberadaannya yang pertama dapat ditangkap oleh indra

(11)

manusia, sedangkan aspek keberadaannya yang kedua tidak dapat ditangkap oleh indra.

Peirce (dalam Nurgiantoro,2013) menyatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Peirce membedakan hubungan antara tanda beserta acuannya menjadi tiga jenis hubungan, yaitu (1) ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan , (2) indeks, jika ia berhubungan kedekatan eksistensi, dan (3) simbol, jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk atas kesepakatan masyarakat tertentu atau secara konvensi.

Endraswara (2008: 64) mengungkapkan bahwa “Semiotik adalah salah satu model penelitian sastra dengan memfokuskan pada tanda-tanda.

Tanda tersebut dianggap mewakili sebuah objek representatif”. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yaitu, pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap atau dimengerti. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan.

Menurut Pradopo (2003: 120) ikon adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petanda.

Indeks adalah hubungan tanda yang menunjukan hubungan kausal (sebab- akibat) antara penanda dan petanda. Simbol adalah tanda yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, hubungannya bersifat abriter (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan konvensi.

Metode semiotik dalam pemaknaan sastra berupa pencarian tanda- tanda yang penting sebab keseluruhan sastra itu merupakan tanda-tanda, baik berupa ikon, indeks, atau simbol. Disamping itu, karena tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi, maka memberi makna itu mencari konvensi-konvensi apa yang menyebabkan tanda-tanda itu mempunyai arti atau makna.

b. Teori Semiotik

(12)

Menurut Peirce (Luxemburg, 1986:46) terdapat tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda, yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si penerima. Tanda itu merupakan suatu yang dicerap atau pun suatu gejala yang lewat penafsiran dapat dicerap. Antara tanda pertama dan apa yang ditandai terdapat suatu hubungan representasi.

Zaimar (Kusnadi dan Sutejo, 2010: 88) berpendapat bahwa teori Pierce yang berkaitan dengan Semiotik terkenal dengan istilah “segitiga semiotika”. Dalam segitiga semiotik tersebut, terdapat representamen, objek, dan intepretan. Respresentamen adalah unsur tanda yang mewakili sesuatu. Objek merupakan sesuatu yang diwakili tanda, sedangkan interpretan adalah tanda yang tertera di dalam pikiran si penerima setelah melihat represantemen.

Rusmana (2006: 54- 56), Menjelaskan bahwa trikotomi tanda ini selalu berkaitan dengan representamen/ground, yang masing-masing terdiri atas tiga bagian, yaitu:

1) Hubungan Representamen (R) dengan jenis representamen itu sendiri yang terdiri atas tiga bagian, yaitu qualisign (representamen yang berkaitan dengan kualitas atau warna); Sinsign (representamen yang berkaitan dengan fakta ril); dan Legisign (representamen yang berkaitan dengan kaidah atau aturan).

2) Hubungan Object (O) dengan jenis representamen yang memunculkan trikotomi bentuk tanda yang berkaitan dengan acuan (referent), yaitu:

Icon/Ikon (hubungan kemiripan, seperti „jejak kaki kucing‟

memunculkan acuan terhadap objek kucing atau foto/lukisan/peta yang masing-masing memunculkan acuan objek dalam foto/lukisan/peta tersebut); Index/Indeks (hubungan kausalitas, seperti „asap tebal‟

sebagai representamen yang mengacu pada objek „kebakaran‟, atau bau daging yang dibakar sebagai representamen mengacu pada objek

„warung sate‟); dan Symbol/Simbol (hubungan yang terbentuk karena adanya konvensi atau kesepakatan sosial, seperti dalam kode-kode

(13)

Morse, rambu-rambu lalu lintas, atau kata-kata dan objek-objek tertentu yang disepakati sebagai simbol, seperti mawar merah sebagai simbol cinta, bendera kuning simbol berkabung, dan lain-lain).

3) Hubungan Interpretant (I) dengan jenis representamen yang memunculkan trikotom penafsiran, yaitu: Rheme (hubungan yang memiliki tingkat probabilitas yang tinggi untuk ditafsirkan lagi);

Dicent Sign (hubungan yang tidak memiliki probabilitas tinggi karena sudah menjadi eksistensi aktual/fakta ril); dan Argument (hubungan yang dikaitkan dengn kaidah/aturan/proposisi/konsep).

Santosa (1993: 11) menjelaskan bahwa trikotomi tanda tersebut dapat digunakan sebagai dasar kombinasi antara satu dengan yang lainnya.

Dengan kata lain, cara kerja semiosis melalui trikotomi tanda bisa dikomuninasi satu sama lain, misalnya kombinasi Rhematic Indexical Sinsign untuk menjelaskan tanda dari “tertawa tiba-tiba”. Tertawa tiba-tiba itu menandai kenyataan (Sinsign/fakta ril) tertawa. Ekspresi tertawanya yang tiba-tiba itu mengisyaratkan sesuatu, mungkin lucu atau perubahan pikiran (pengaruh/kausalitas/indexical). Mungkin juga tertawa tiba-tiba itu adalah bentuk dari pemahaman seseorang terhadap apa yang dilihat atau didengarnya (rheme).

Objek (O)

Representemen (R) Interpretemen (I) Sumber: Christomy (2004:117)

Gambar 2. 1. Tiga dimensi tanda

Menurut Pierce (Kurniawan, 2001:21) sebuah tanda adalah representamen makna tanda sesungguhnya adalah apa yang diacunya.

Sebuah tanda mengacu pada sesuatu (obyeknya), untuk seseorang

(14)

(interpretand-nya), dan dalam semacam respek atau penghargaan (ground- nya). Relasi dari ketiga hal ini menentukan ketepatan proses semiosis.

Proses pembentukan tanda menurut Pierce terdapat tiga tipologi, yakni hubungan objek dengan tanda, hubungan representemen dengan tanda, dan hubungan interpretan dengan tanda. Dalam hubungan objek dengan tanda, proses pembentukan tanda berawal dari yang paling sederhana hingga yang paling canggih. Pembentukan tanda yang paling sederhana adalah ikon, kemudian indeks, dan paling canggih adalah simbol.

“The Pierce’s triangle model shows each point is connected by a line in two directions, means that every term can be understood only in relationship one another. Pierce uses different terms to explain the signfunction, which for him is a conceptualprocess, in ongoing and unlimited, he calls it“the infinite semiosis”, the chain of meaning decision by new signs interpreting theprevious signs or a set of signs.”(Robingah, 2020: 88).

Zaimar (Kusnadi dan Sutejo, 2010: 89) ikon merupakan tanda yang bermakna akibat kemiripan represantamen dengan objek yang diwakilinya.

Ikon dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni (1) ikon tipologis, (2) ikon diagramatik, dan (3) ikon metaforis. Ikon tipologis adalah ikon yang memiliki kemiripan bentuk. Misalnya, telur dengan mata, memiliki kemiripan bentuk yang bulat. Ikon diagramatik ialah ikon yang memiliki kemiripan tahapan. Misalnya, kedudukan seorang militer dapat dilihat dari tanda pangkat yang terletak di bajunya. Ikon metaforis adalah ikon yang memiliki kemiripan sebagian dari sifat objek. Misalnya, bunga dengan gadis memiliki kemiripan tentang keindahan, kecantikan, kesegaran, dan sebagainya.

Menurut Van Zoest dalam Ratna (2012:86), dalam teks sastra, di antara ikon, indeks, dan simbol, ikon yang paling menarik. Dalam teks argumentatif yang murnipun terdapat ikon., seperti aljabar, diagram, dan model. Berbeda dengan komunikasi langsung, dimana ciri-ciri nonverbal dapat difungsikan secara maksimal, secara indeksikal, dalam sastra,

(15)

dimana penulisnya tidak hadir, maka tanda ikonlah yang memegang peranan. Ikon ditandai dengan melihat persamaan ciri struktur, sebagai homologi struktural dengan salah satu ciri denotatum yang ditunjuknya.

Ikon, yaitu ciri-ciri kemiripan itu sendiri berfungsi untuk menarik partikel- partikel ketandaan, sehingga proses interpretasi dimungkinkan secara terus-menerus.persamaan.

Indeks adalah tanda yang mempunyai hubungan dengan eksistensial. Dalam kehidupan sehari-hari perilaku seseorang merupakan indeks dari sifat-sifatnya. Sebagai misal, belaian atau kedekatan dapat mengandung makna kecintaan, kesayangan, kerinduan, dan sebagainya.

Asap merupakan indeks adanya api, anak panah sebagai petunjuk jalan merupakan indeks yang dimaksud.Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan Wulandari dan Siregar (2020: 32).

Simbol merupakan tanda yang paling canggih, karena sudah merupakan perwujudan dari persetujuan masyarakan secara konvensionaL.

Misalnya, berbagai rambu-rambu lalu lintas merupakan simbol, tanda laki- laki dan perempuan di toilet juga merupakan simbol, dan lain sebagainya.

3. Hakikat Nilai Moral a. Pengertian Nilai

Semi (1993: 54) menyatakan, nilai adalah aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan yang lebih tinggi; nilai juga menyangkut masalah bagaimana usaha untuk menentukan suatu itu berharga dari yang lain., serta tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak. Menurut Bertens (2007: 149) nilai adalah sesuatu yang diiyakan atau diaminkan.

Nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku. Nilai berperan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai berbeda oleh berbagai orang. Nilai berkaitan dengan subjek, kalau tidak ada subjek yang menilai maka tidak akan ada nilai. Nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subjek

(16)

pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek, sehingga walaupun objeknya sama jika subjeknya berbeda maka akan menimbulkan nilai yang berbeda.

Nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia menilai dijadikan landasan, alasan dan motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari atau tidak (Kaelan, 2000: 92). Sedangkan, moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum yang menjadi perbuatan sikap kewajiban akhlak budi pekerti dan susila (Nurgiyantoro, 2013: 320-321).

Moral menurut Salam (2000: 12) adalah ilmu yang mencari keselarasan perbuatan-perbuatan manusia (tindakan insani) dengan dasar-dasar yang sedalam-dalamnya yang diperoleh dengan akal budi manusia.

Lickona, (2012: 62) nilai-nilai moral dapat dibagai menjadi dua kategori, yaitu universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal seperti memperlakukan orang dengan baik, serta menghormati pilihan hidup, kemerdekaan, dan kesetaraan dapat menyatukan orang dimana pun mereka berada karena kita tentunya menjunjung tinggi dasar-dasar nilai kemanusiaan dan penghargaan diri. Kita memiliki hak dan kewajiban untuk menuntut agar kita semua dapat berlaku sejalan dengan nilai-nilai moral yang berlaku secara universal ini.

Menurut Kenny (dalam Nurgiantoro, 2013: 429) Seperti halnya tema, dilihat dari segi dikotomi aspek isi karya sastra, moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Adakalanya moral diidentikan pengertiannya dengan tema walau sebenarnya tidak selalu menyaran pada maksud yang sama. Karena keduanya merupakan sesuatu yang terkandung , dapat ditafsirkan, dan diambil dari cerita , moral dan tema dapat dipandang sebagai memiliki kemiripan. Namun, tema bersifat lebih kompleks disamping moral tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang ditunjukan sebagai yang ditunjukan sebagai pembaca. Dengan demikian

(17)

moral dapat sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral.

b. Bentuk Nilai Moral

Menurut Suseno (1987: 142-150) sikap dan tindakan yang berkaitan dengan nilai moral, sebagai berikut:

1) Kejujuran

Kejujuran erat kaitannya dengan ketulusan hati. Jujur berarti terbuka terhadap orang lain, yang artinya selalu bersikap seperti diri sendiri dan tidak berusa menyembunyikan suatu apapun. Jujur juga dapat diartikan fair atau wajar memperlakukan menurut standard- standar yang dipergunakan orang lain terhadap dirinya dan besikap sesuai suara hati keyakinannya.

2) Nilai-nilai Otentik

Otentik berarti murni atau tidak munafik. Manusia yang memiliki nilai otentik yaitu manusia yang menjadi dirinya sendiri, tidak adanya kepura-puraan yang diperlihatkan, dan memiliki kepribadian yang sebenarnya.

3) Kesediaan untuk Bertanggung Jawab

Bertanggung jawab berarti bersedia melakukan tugas yang telah diberikan dan dijalankkan sebaik mungkin. Dalam nilai bertanggung jawab terdapat etika yang harus ditegakkan yaitu tidak bertentangan dengan agama.

4) Kemandirian Moral

Kemandirian moral berarti memiliki pemahaman atau sudut pandang sendiri terhadap sesuatu. Hal ini menjadikan manusia yang memiliki kemandirian moral tidak terpengaruh dengan pandangan orang lain dan bertindak sesuai dengan sesuai dengannya.

5) Keberanian Moral

Keberanian moral merupakan suatu tekad manusia dalam mempertahankan apa yang telah diyakininya. Hal ini mempunyai hubungan teresndiri dalam sikap tanggung jawab yang dimiliki oleh

(18)

manusia, sehingga manusia yang memiliki nilai keberanian moral tidak takut akan risiko yang dihadapinya nanti.

6) Kerendahan Hati

Kerendahan hati artinya berbesar hati mengakui kekurangan yang ada dalam dirinya. Akan tetapi, manusia yang memiliki nilai rendah hati tidak hanya berkutat dalam melihat suatu kelemahan pada dirinya, tetapi juga melihat akan kekuatan yang terdapat dalam dirinya.

7) Realitas dan Kritis

Realitas dan kritis yaitu berani dalam memperjuangkan keadilan pada masyarakat yang membuka kemungkinan lebih besar dari anggota-anggota untuk membangun hidup lebih tegas dari penderitan dan lebih bahagia.

Nurgiantoro (2013: 431) membagi nilai moral menjadi tiga bentuk sebagai berikut:

a. Hubungan manusia dengan manusia

Hubungan ini diartikan hubungan manusia sebagai mahluk sosial.

Hubungan ini tergambar dari interaksi antar manusia yang menggambarkan suatu hubungan tertentu.

b. Hubungan manusia dengan tuhannya

Hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Hubungan ini tergambar atas sikap manusia dalam kepatuhan manusia dalam menjalani aturan-aturan dari Tuhannya.

c. Hubungan manusia dengan diri sendiri

Hubungan manusia terhadap sikap yang mempengaruhi dirinya sendiri.

4. Relevansi Karya Sastra (Novel) Dengan Pembelajaran Sastra di SMA a. Pengajaran Sastra di SMA

Menurut Gani (Emzir dan Saifur Rohman, 2015: 223) mengatakan bahwa dalam penyampaian suatu pesan karya sastra dibutuhkan ketrampilan khusus supaya bisa diterima dengan baik oleh siswa. Dalam pembelajara karya sastra siswa dibebaskan untuk berpikir dan menanggapi

(19)

suatu karya sastra yang mempunyai suatu relasi dalam kehidupannya.

Pendekatan pembelajaran menurut Sagala (2010: 68) merupakan cara yang dillakukan guru dan peserta didik untuk memenuhi tujuan intruksional.

Guru memiliki andil yang besar dalam memilih suatu bahan bacaan untuk siswa, agar siswa mampu dalam memahami karya sastra sesuai dengan presepsi yang telah dipikirkannya terlebih dahulu. Dengan demikian tujuan penulis sastra tercapai yaitu siswa mampu memperoleh pengalaman sastra dengan suatu pembinaan apresiasi sastra

Abidin (2012: 213), hakikat pembelajaran sastra ialah membuat peserta didik mengenal akan suatu nilai yang terdapat dalam karya sastra dan diharapkan mampu merasakan pengalaman batin yang disajikan oleh penulis dalam karyanya. Suatu pembelajaran sastra memiliki tujuan melatih kepekaan batin para siswa terhadap pesan yang terdapat dalam isi suatu karya sastra.

b. Pengajaran Sastra di SMA dengan Kurikulum 2013

Menurut Ismawanti (2013: 1) pengajaran sastra adalah pelajaran yang menyangkut seluruh aspek sastra, yang meliputi: teori sastra, kritik sastra, sastra perbandingan, dan apresiasi sastra. Menurut Abidin (2012: 3) pembelajaran adalah suatu rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh siswa sebagai proses dalam terjapainya tujuan belajar. Pembelajaran dilaksanakan peserta didik dalam tujuannya mencapai hasil belajar tentunya dengan arahan pendidik.

Dalam Kurikulum 2013 salah satu buku nonteks yang dijadikan sebagai bahan ajar Bahasa Indonesia adalah novel. Menurut Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dalam Kurikulum 2013 tujuan pembelajaran apresiasi novel adalah sebagai berikut:

(20)

Tabel 2. 1 Kompetensi Inti Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas XI Kompetensi Inti 3 (Pengetahuan) Kompetensi Inti 4 (Keterampilan) 3. Memahami, menerapkan,

menganalisis, dan mengevaluasi pengetahuan faktua, konseptual, procedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, budaya, dan humanuiora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan procedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya memecahkan masalah.

4. Mengolah, menalar, menyaji, dan menciptakan dalam ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarainya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mapu menggunakan metoda sesuai kaitan keilmuan.

Tabel 2. 2 Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas XI

Kompetensi Dasar Kompetensi Dasar

3.20 Menganalisis pesan dari dua buku fiksi (novel dan buku kumpulan puisi) yang dibaca

4.20 Menyusun ulasan terhadap pesan dari novel atau dua buku kumpulan puisi yang dikaitkan dengan situasi kekinian

c. Pengertian Materi Ajar

Materi ajar adalah sesuatu yang mengandung pesan yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar (Ismawati, 2013:35). Majid (2007:174) juga menyatakan bahwa materi ajar adalah isi atau muatan kurikulum yang harus dipahami oleh siswa dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Menurut Panen (Prastowo, 2011: 16), bahan ajar merupakan bahan-bahan atau materi belajar yang disusun secara sistematis, yang digunakan guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran.

d. Pemilihan Materi Ajar Sastra

Guru harus memiliki kemampuan dalam menentukan bahan ajar satra yang dilandasi beberapa faktor. Beberapa faktor tersebut antara lain

(21)

adalah, jumlah karya sastra yang terdapat dalam perpustakaan sekolah, kurikulum yang dipakai oleh sekolah,dan faktor lainnya

Rahmanto, (1989: 42) agar dapat memilih bahan pengajaran sastra dengan tepat, beberapa aspek perlu dipertimbangkan, yaitu:

1) Bahasa

Selain masalah yang dibahas, aspek bahasa juga ditentuan oleh beberapa faktor yaitu , cara penulisan yang dipakai pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu penulisan karya itu, dan sasaran pembaca.

Dalam pembelajaran sastra guru harus memiliki ketrampilan khusus dalam pemilihan bahan ajar sastra degan memilih bahasa yang sesuai dengan tingkatan bahasa supaya pembelajaran berjalan dengan baik.

Guru diharapkan dalam pemilihan bahan berdasarkan wawasan yang ilmiah,seperti memperhatikan tata bahasa dan kosa kata baru. Selain itu perlu adanya pertimbangan dalam melakukan pengertian terhadap wacana yang dituangkan oleh penulis dalam karyanya berupa ide dan hubungan antar kalimat dalam wacana itu sehingga pembaca dapat memahami kata-kata kiasan yang digunakan.

2) Psikologi

Bahasa merupakan suatu pengetahuan yang sangat penting yang harus dimiliki oleh seorang guru sastra. Minat peserta didik dalam pembelajaran sastra dipengaruhi oleh pemilihan bahan ajar sastra. Sehingga dalam pengajaran sastra perlu adanya pendekataan secara psikologi. Perkembangan psikologis memiliki peranan penting terhadap kemampuan dalam mengingat, siap mengerjakan tugas, melakukan kerja kelompok, dan paham dalam suatu kondisi tertentu atau dapat menemukan solusi dalam suatu masalah yang ada.

3) Latar Belakang Budaya

Latar belakang karya sastra hampir meliputi semua faktor kehidupan manusia dan lingkungannya. Sering kali siswa akan memiliki ketetarikan sendiri terhadap suatu karya sastra yang memiliki suatu hubungan yang sama dengan kehidupan mereka. Dalam

(22)

pengajaran sastra diharapkan guru memilih bahan ajar yang memiliki latar belakang cerita dalam karya sastra yang berkaitan dengan siswa sehingga karya sastra bisa dinikmati siswa dan siswa mampu mendapat gambaran dari karya sastra yang disajikan.

Dalam karya sastra lama biasanya sulit dipahami karena mengandung kiasan dan ungkapan-ungkapan yang usang dan jarang dipakai, sedang karya sastra modern lebih mudah karena penggunaan bahasa yang digunakan lebih menyesuaikan dengan bahasa sehari-hari.

Hal ini belum dapat dijadikan sebagai patokan untuk menentukan dan mendeteksi karya sastra yang cocok untuk kelompok siswa tertentu.

(23)

B. Kerangka Berpikir

Karya sastra merupakan karya imajinatif dari pengarang yang tertuang menggunakan bahasa yang mempunyai tanda atau makna sendiri. Dalam sebuah karya sastra, pengarang ingin menyampaikan makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam isi novel tersebut. Akan tetapi dalam sebuah karya sastra pesan atau nilai-nilai tersebut tidak disampaikan secara gamblang oleh pengarang. Pesan atau nilai-nilai yang terdapat dalam novel disampaikan pengarang melalui tanda- tanda yang tersembunyi dalam suatu kalimat. Berdasarkan hal tersebut, peneliti bermaksud mengkaji novel Seribu Wajah Ayah karya Nurun Ala dengan menggunakan kajian semiotik. Kajian semiotik merupakan kajian yang memiliki tujuan untuk mengkaji makna yang tersembunyi dalam tanda-tanda pada novel tersebut. Pada penelitian ini peneliti menggunakan teori semiotik dari Pierce.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan makna unsur ikon, indeks, dan simbol yang terdapat dalam novel Seribu Wajah Ayah karya Nurun Ala.

Selain itu, peneliti juga mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam novel tersebut serta relevansinya dalam pembelajaran sastra di SMA.

Gambar 2. 2 Kerangka Berpikir Kajian Semiotik

Menurut Pierce

Relevansi dengan Pembelajaran di

SMA

KESIMPULAN Nilai Moral Novel Seribu Wajah Ayah

karya Nurun Ala

Gambar

Tabel 2. 1 Kompetensi Inti Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas XI    Kompetensi Inti 3 (Pengetahuan)  Kompetensi Inti 4 (Keterampilan)  3
Gambar 2. 2 Kerangka Berpikir Kajian Semiotik Menurut Pierce   Relevansi dengan Pembelajaran di SMA KESIMPULAN Nilai Moral Novel Seribu Wajah Ayah

Referensi

Dokumen terkait

Perhitungan dan hasil analisis adanya pengaruh sertifikasi guru bagi guru SMP/MTs dan SD/MI yang bersertifikasi terhadap kinerja dilihat dari empat aspek kompetensi

pertentangannya adalah tidak memberikan kesempatan kepada Pemohon yang mana hak tersebut berisifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial menurut penalaran

Hasil Lendutan yang didapat dari pengujian Split Hopkinson Pressure Bar berbentuk sarang lebah dengan ukuran 2 mm yang diimpak dengan sudut yang bervariasi

Studi observasional potong lintang pada bayi risiko tinggi yang tercatat di Bagian Neonatologi Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita dari Januari sampai Desember

(1) Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa memiliki tugas mencapai tujuan dan sasaran Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan

Adapun penegasan istilah secara operasional, penelitian yang berjudul “Upaya Guru Aqidah Akhlak dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas IV di MI Plus Darul Huda di

Keawetan suatu perkerasan jalan berhubungan dengan ketahanan permukaan perkerasan yang dapat dipengaruhi oleh beban lalu lintas, perubahan cuaca, material

Share , dan Debt to Assets Ratio berpengaruh terhadap harga saham perusahaan ritel yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode