Abstrak
Persoalan poligami dipahami oleh sebagian besar muslim sebagai salah satu ajaran yang mendapat legitimasi dari Tuhan melalui firmannya di dalam kitab suci al-Qur’an. Sehingga praktek poligami ini cukup banyak dilakukan terutama oleh ka-langan elit agama, seperti para kyai atau pengasuh pondok pesantren termasuk para ustadz. Padahal secara sepintas lalu sebenarnya praktek poligami ini dirasakan menimbulkan ketidakadilan. Di saat laki-laki bisa beristri lebih dari satu, sementara para wanita tidak bisa bersuamikan lebih dari sa-tu. Apalagi realitasnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh poligami pun ternyata be-sar. Tulisan ini menunjukkan adanya keke-liruan dalam memahami firman Tuhan ten-tang poligami dan dampak-dampak negative yang ditimbulkan. Kemudian disimpulkan bahwa praktek poligami merupakan praktek pernikahan yang diharamkan.
Kata Kunci: Praktek poligami
Abstract
The problem of polygamy is under-stood by most Muslims as one of the teach-ings that received legitimacy from God be-fore his word in the holy book of the Qur'an. If polygamy is quite a lot done mainly by religious elite groups, such as the kyai or caregivers of boarding schools including the ustadz. When men can have more than one wife, while women can not marry more than one. Moreover, the negative reality caused by polygamy was great. This paper shows a mistake in the face of God's word about po-lygamy and its negative impact. Then con-cluded that the practice of polygamy is a marriage practice is forbidden.
Key Word: polygamy practice
A. PENDAHULUAN
Persoalan poligami selalu menjadi satu bahan diskusi yang menggelitik, dan seolah-seolah tetap up to date sampai ka-pan pun, di saat ada saja bahkan tidak
KEHARAMAN PRAKTEK POLIGAMI
sedikit yang berpoligami.
Sayangnya praktek poligami ma-lah cukup banyak dilakukan oleh ka-langan elit agama, seperti para kyai atau pengasuh pondok pesantren termasuk para ustadz.
Padahal sebenarnya secara sepintas lalu saja, sudah bisa dirasakan akan adanya kejanggalan dalam poligami ini. Di saat laki-laki bisa beristri lebih dari satu, sementara para wanita tidak bisa bersuamikan lebih dari satu. Apalagi dampak negatif yang ditimbulkan oleh poligami pun ternyata besar. Namun ka-rena masih ada satu hal yang menjadi senjata untuk dapat mengesahkan praktek poligami yaitu dalil syariat yang dipa-hami sebagai dasar bolehnya poligami.
Oleh karena itu tulisan ini hen-dak meyakinkan masyarakat untuk men-jauhi praktek poligami melalui pemapa-ran pendapat para ulama mengenai ayat poligami dari masa klasik sampai masa modern. Dengan pengetahuan beberapa pendapat ulama tersebut akan dapat diketahui kelemahan dan kekuatan argu-mentasi masing-masing pendapat mere-ka, yang selanjutnya dapat diambil suatu kesimpulan penting bahwa poligami bukanlah perkara ringan, yang bisa
seenaknya dipraktekkan.
B. PEMBAHASAN
Dampak NegatifPoligami
Dampak negatif yang ditimbulkan misalnya: Menurut sebuah penelitian ta-hun 2016 yang dilakukan di Saudi Ara-bia, memiliki lebih dari satu orang pasan-gan (pacar maupun istri) ternyata dapat mengganggu kesehatan jantung. Pada penelitian ini para peneliti mengamati lebih dari 600 orang pria yang telah menikah, peneliti kemudian meminta pa-ra peserta untuk melakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk keadaan jantung mereka. Para peneliti kemudian menemukan bahwa para pria yang melakukan poligami memiliki resiko penyakit jantung koroner 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang hanya memiliki 1 orang istri. Para peneli-ti menduga bahwa stress merupakan akar permasalahannya. Rasa stress yang dirasakan oleh para suami untuk menjaga keutuhan rumah tangganya dengan be-berapa orang istrilah yang memicu ter-jadinya gangguan jantung tersebut.
Penelitian yang dilakukan Al-Krenawi pada wanita Syria mendapatkan bahwa wanita yang mengalami poligami mengalami penurunan kepuasan hidup
dan kepuasan perkawinan. Para wanita yang mengalami poligami akan mengala-mi masalah gangguan jiwa yang berdam-pak juga buat kesehatannya. Mereka lebih mudah jatuh dalam depresi, gangguan psikosomatik, mudah mengala-mi kecemasan dan juga bisa mengalamengala-mi paranoid. Penelitian ini dilakukan di Syr-ia dan di publikasi pada World Journal Psychiatry tahun 2013.
Apalagi, bila pernikahan terhadap istri kedua itu dilakukan di bawah tan-gan. Pernikahan di bawah tangan adalah menikah menurut ajaran agama (Islam) atau hukum adat, dan tidak merujuk pada hukum positif. Alhasil pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil (KCS). Poligami seperti ini tidak menggunakan perjanjian yang kuat (mitsaqon ghalidho) karena tidak ter-catat secara hukum. Apabila ditinggalkan oleh suami, istri tidak bisa menggugat suami. Kalaupun ingin menggugat cerai, penyelesaiannya diserahkan kepada pem-impin agama. Persoalannya makin rumit kalau sampai pasangan poligami itu pu-nya anak. Status anak mereka tidak jelas, karena untuk memperoleh kejelasan sta-tus, dibutuhkan data semacam akta
ke-lahiran. Padahal, untuk memperoleh akta kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah. Hal ini berimbas pada pembagian harta warisan, dimana sang anak akan kesu-litan mendapatkan hak warisnya. Lebih dari itu, istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, semisal asuran-si. Dan, apabila suami sebagai pegawai, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami (Syukri Fathudin AW, 2009).
Poligami juga berdampak Psikologis. Pada istri, munculnya perasaan bersalah atau bahkan menya-lahkan dirinya sendiri atas pilihan sua-minya untuk melakukan poligami diaki-batkan ketidak mampuannya dan kega-galannya dalam menjalankan tugas dan kewajiban sebagai istri. Memicu rasa ketidakadilan bagi sang istri karena sua-mi kini harus membagi perasaan, harta, dan lainnya kepada wanita lainnya. Men-jadi pemicu munculnya kasus-kasus KDRT dalam rumah tangga, tak hanya pada istri namun juga bisa terhadap anak. Istri merasa malu dengan lingkungan sekitar sehingga sering menghindari ak-tivitas sosial di lingkungan masyarakat. Memicu rasa stress dan depresi berat bagi istri yang belum siap menerima
kon-disi yang ada.
Dampak psikologis bagi anak. Anak merasa kurang kasih sayang dan perhatian, tak jarang kondisi ini dapat menjadi faktor penyebab kenakalan anak. Merasa tidak memiliki pegangan hidup dari kedua orang tuanya, sehingga mereka merasa tidak ada sandaran hidup dalam diri mereka. Memicu kerenggan-gan hubunkerenggan-gan yang terjalin antara anak dan orang tua, terutama pada ayah. Dapat menyebabkan kemerosotan pada moral anak dikarenakan kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua kepada anak. Memicu rasa benci anak kepada ayahnya sendiri, hal ini karena mereka merasa jika ibu yang disayanginya men-galami pengkhianatan dan disakit oleh ayahnya nya sendiri. Hal ini juga dipicu dari rasa ketidakadilan kepadanya se-hingga memunculkan rasa benci tersebut. Anak mulai tidak percaya dengan keluar-ganya, baik itu kepada orang tua dan saudara-saudaranya. Anak mulai mem-berontak dikarenakan tekanan pada kon-disi keluarganya, dampak psikologis anak yang tidak diinginkan ini tentu saja menjadi pemicu kerenggangan hubungan anak dan ayah. Bahkan tak jarang akan menyebabkan terjadi kekerasan pada
anak. Dampak kekerasan pada anak ini akan berlanjut hingga menginjak usia dewasa. Anak merasa malu dan enggan untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya, munculnya gangguan kepribadian antisosial. Anak mengalami penurunan pada nilai-nilai akademik, tid-ak berkeinginan sekolah entah karena rasa malu ataupun rasa stress dan depresi yang dihadapinya.
Dampak psikologis bagi keluarga Kondisi keluarga menjadi sering tidak harmonis akibat pertikaian yang terjadi, entah istri kepada suami ataupun anak kepada ayah. Sehingga tak heran keluar-ga menjadi berantakan dan tidak pernah akur satu sama lainnya. Memutuskan perceraian, dan menyebabkan anak men-jadi korban broken home. Penting mengetahui dampak broken home ter-hadap anak.
Badilag mencatat, sepanjang ta-hun 2005 saja perceraian yang disebab-kan poligami totalnya ada 879 atau 0,6 persen dari seluruh perkara perceraian di Indonesia. Menariknya, Pengadilan Ting-gi Agama (PTA) Bandung merupakan PTA yang paling sering menangani per-ceraian yang disebabkan poligami. Di kota kembang ini, tahun 2005, terdapat
324 perkara poligami. PTA Surabaya menempati urutan kedua, jumlahnya 162 atau separuh dari jumlah perkara serupa di Bandung. Menyusul di tempat ke tiga adalah PTA Semarang. Jumlahnya 104 perkara. Sangat memprihatinkan me-mang dampak yang ditimbulkan dari praktek poligami ini.
Demikianlah beberapa dampak negative yang timbul dari praktek poligami, semestinya sudah cukup mem-berikan alasan bagi semua pihak untuk menjauhi yang namanya poligami. Na-mun pada kenyataannya kesadaran akan adanya dampak negative dari praktek poligami yang dilakukan tidak cukup membuat poligami dijauhi.
Ayat Poligami dan Konteksnya
Ayat yang sering dikutip dalam masalah poligami adalah Al-Qur‟-an surah al-Nisâ‟ [4]: 3:
نم مكلباطام اوحكناف ىمتيلا فى اوطسقت لاأ متفخ نإف عابرو ثلاثو نىثم ءاسنلا
Jika kamu (para pengasuh anak-anak yatim) khawatir tidak bisa
bertindak adil (manakala kamu ingin mengawini me-reka), maka nikahilah perempuan-perem-puan yang kamu senangi dari perempuan-perempuan (lain) sebanyak: dua, tiga, atau empat. Lalu jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Beserta ayat lain, yaitu surah al-Nisâ [4]: 129:
تمصرح ولو ءاسنلا ينب اولدعت ن أ اوعيطت ست نلو
وليتم لاو
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri -istri kamu, walaupun kamu san-gat ingin berbuat demikian. Ka-rena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu membiar-kan yang lain terkatung-katung. Ayat itulah yang kerap men-jadi titik pijak ulama dalam membic-arakan poligami dalam perspektif Islam. Dalam studi ayat ini ditemukan argumen yang dipakai ulama untuk menerima poligami
secara mutlak dan menerima poligami dengan sejumlah persyara-tan, bahkan sampai kelompok yang menolak poligami secara mutlak. penting ditelaah secara kategoris pandangan ulama klasik dan ulama modern perihal poligami. Ini pent-ing dicermati. Sebab, ulama klasik hidup pada era keterbelakangan kaum perempuan. Sementara ulama modern hidup di era di mana ke-bangkit an per empuan yang menuntut kesetaraan dan keadilan gender telah menjadi isu dunia. Na-mun, sebelum mengulas pan-dangan ulama itu, penting juga men-elaah asbâb al-nuzûl QS. Al-Nisâ‟ [4]: 3.
Ada beragam riwayat mengenai sabab nuzûl (sebab turun) surah al-Nisâ [4]: 3 tersebut. Pertama, riwayat ‘Â’isyah menyebutkan bahwa ayat itu turun berkaitan dengan seorang laki-laki yang menjadi wali anak yatim yang kaya. Laki-laki itu ingin mengawini anak yatim tersebut demi kekayaannya semata dan dengan maskawin yang tidak standar bahkan maskawinnya tidak
dibayar. Tidak jarang, setelah menikah, perempuan yatim tersebut kerap mendapatkan perlakuan yang tidak wajar. Daripada menelantarkan per-empuan yatim tersebut, maka Allah me-lalui ayat tersebut mempersilakan laki-laki untuk menikahi perempuan lain yang tidak yatim dan disukai, bahkan sampai dengan empat orang perempuan jika mampu untuk bertindak adil. Dalam realitasnya, tawaran poligami itu lebih diminati dan anak-anak yatim dapat terselamatkan dari ketidakadilan. Pem-berian konsesi dan kompensasi poligami itu tampaknya cukup berhasil melindungi perempuan yatim dari kezaliman sebagian laki-laki saat itu.
Alkisah, ketika ‘Urwah ibn al-Zubayr bertanya pada ‘Â`isyah tentang ayat tersebut, maka ‘A’isyah menjawab demikian:
Wahai keponakanku, ayat ini terkait dengan anak perempuan yatim yang dalam pengampuan walinya, yang mana harta anak itu telah bercampur dengan harta walinya. Harta dan kecan-tikan anak tersebut telah memesonakan si wali tersebut. Lalu dia ber-maksud untuk menikahi anak perempuan terse-but dengan tidak membayar mahar anak
itu secara adil sebagaimana membayar mahar perempuan lain. Dengan alasan itu, dia dilarang untuk menikahi anak perempuan tersebut kecuali jika dia membayar maskawinnya secara adil se-bagaimana maskawin perempuan lain. Jika tidak demikian, maka dia dianjur-kan untuk menikahi perempuan-perempuan lain saja (Ibn Jarîr al-Thabarî, 1997: 222).
Setelah menyuguhkan penjelasan ‘Âisyah tersebut, al-Qurthubî menam-bahkan argumen lain:
Sekiranya si wali itu menikahi anak perempuan yatim tersebut lalu mem-perlakukannya dengan perlakuan bu-ruk, karena si wali itu tahu bahwa anak perempuan itu tidak punya pem-bela yang bisa melindungi diri-nya dari kejahatan suami (wali)nya itu, maka Al-lah seakan-akan berfir-man, “Jika kalian sudah yakin akan berbuat zalim kepada anak-anak pe-rempuan yatim ketika dinikahi, maka nikahilah perempuan lain yang halal bagimu (Fakhr Dîn al-Râzî, 1995).
Kedua, riwayat lain menyebut-kan bahwa ayat itu diturunmenyebut-kan berkaitan de-ngan seorang laki-laki yang memiliki sepululuh orang istri bahkan lebih. Di
samping sepuluh istri itu, dia juga mem-iliki beberapa anak yatim dalam per-waliannya. Dikisahkan bahwa laki-laki tersebut kerap mengambil kekayaan anak yatim yang di bawah perwaliannya itu untuk kepentingan memberikan nafkah kepada istri-istrinya yang banyak itu (Fakhr al-Dîn al-Râzî, 1995). Ketiga, riwayat yang menyebutkan bahwa ayat itu turun karena ada kecenderungan be-berapa laki-laki menikahi perempuan yatim untuk mengambil har-tanya bukan untuk betul-betul menikahinya (al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân: 575-575).
Dengan demikian, ayat ini turun sebagai teguran terhadap orang yang telah mengambil harta anak yatim secara zalim. Begitu juga, ayat ini menurut Sy-ekh Nawawî al-Jâwî merupakan teguran terhadap laki-laki yang tidak bisa adil dalam pemberian nafkah kepada para istri sebagaimana mereka tidak bisa adil dalam pemenuhan hak anak-anak yatim. Jika demikian kenyataannya, maka cukuplah baginya untuk menikahi satu perempuan saja, karena itu yang paling memungkinkan bagi laki-laki untuk terhindar dari kezaliman (Nawawî al-Jâwî: 139).
wayatkan dari berbagai jalur (Jamâl al-Dîn al-Qâsimî, 2003: 8).
Mengesampingkan hadis ahad yang membatasi pernikahan dengan em-pat perempuan, dengan mengandalkan pemahaman bahwa al-nisâ` dalam ayat tersebut merupakan kata umum yang tida bisa dispesifikasi dengan angka (matsnâ, tsulâtsâ`, rubâ’) (al-Râzî: 181). Angka itu disebutkan untuk menunjuk-kan bahwa laki-laki diperbolehmenunjuk-kan menikah dengan banyak perempuan, menimbulkan pertanyaan, “kalau me-mang dimaksudkan bahwa kata (matsnâ, tsulâtsâ`, rubâ’) adalah kebolehan menikah dengan banyak perempuan mengapa Allah tidak menggunakan kata “maa syi’tum”, jadi seharusnya redaksinya fankihu maa thooba lakum minan nisaai maa syi’tum?”
Ditambahkan pula, menurut mereka, jika benar Nabi pernah meminta beberapa sahabatnya untuk menceraikan istri-istrinya yang banyak dan menyisa-kan empat istri saja, maka itu harus dipahami konteksnya. Boleh jadi, menurut mereka, Nabi meminta menc-eraikannya itu karena ada sebab syar’i, misalnya karena ada hubungan nasab dan hubungan susuan yang menjadi
Ulama Pro Poligami
Umumnya ulama klasik tidak mempersoalkan kebolehan berpoligami. Mereka berselisih misalnya mengenai jumlah perempuan yang boleh dinikahi laki-laki dalam waktu bersamaan. Per-tama, ulama Zhahiriyah, Ibnu al-Shabbâgh, al-`Umrânî, al-Qâsim ibn Ib-râhîm, dan sebagian kelompok Syiah yang berpendapat, poligami bisa dil-akukan dengan lebih dari empat per-empuan. Pandangan ini didasarkan pada surah al-Nisâ`[4]: 3 di atas.
Bagi mereka, kata al-nisâ` dalam ayat tersebut merupakan kata umum yang tida bisa dispesifikasi dengan ang-ka (matsnâ, tsulâtsâ`, rubâ’) (al-Râzî: 181). Angka itu disebutkan untuk menunjukkan bahwa laki-laki dibolehkan menikah dengan banyak per-empuan. Karena itu, jika ada hadis ahad yang membatasi jumlah perempuan yang boleh dinikahi menjadi empat, itu tidak bisa diterima. Sebab, hukum Al-Qur’an tidak bisa dibatalkan oleh hadis ahad. Ibnu ‘Abd al-Bar menambahkan bahwa hadis yang membatasi per-nikahan dengan empat perempuan itu mengandung cacat walaupun ia
diri-penghalang untuk menikahi perempuan-perempuan itu. Namun, mereka tidak menunjukkan bukti tentang adanya sebab-sebab yang menghalangi per-nikahan para sahabat Nabi dengan ban-yak perempuan itu. Mereka hanya ber-kata demikian:
Boleh jadi Rasulullah Saw. me-nyuruh mengambil empat istri dan menceraikan yang lainnya karena mengumpulkan mereka secara kese-luruhan tidak dimungkinkan, karena adanya kesamaan nasab atau hub-ungan susuan (al-Râzî: 182). Mereka pun menambahkan bah-wa huruf bah-waw yang mengantarai matsnâ, tsulâstâ`, dan rubâ’ menunjuk pada penjumlahan (al-jam’ al-muthlaq) bukan pada pemilihan (al-takhyîr). Ka-rena itu, menurut mereka, jumlah per-empuan yang boleh dinikahi bukan han-ya empat tapi bisa sembilan perempuan. Al-Râzî menyebut satu pendapat yang menyatakan bahwa batas maksimal per-empuan yang boleh dinikahi adalah 18. Ini didasarkan pada analisa kata matsnâ, tsulâstâ`, dan rubâ`. Menurut mereka, kata matsnâ dalam ayat itu tidak menun-juk pada makna itsnaini yang bermakna dua melainkan itsnaini itsnaini yang
bermakna dua-dua yang berarti 4. Begitu juga, kata tsulâtsâ` dalam ayat itu bukan bermakna tiga (tsalâtsah), melainkan tiga-tiga (tsalâtsah tsalâtsah) yang jika digabung berjumlah 6. Selanjutnya, kata rubâ’ bermakna empat-empat (arba`ah arba`ah) yang berarti 8. Dengan demikian, 4 + 6 + 8 =18.
Mereka memperkuat argu-mennya bahwa Nabi menikahi lebih dari empat orang perempuan. Nabi wafat dengan meninggalkan 9 orang istri. Dengan merujuk pada argumen bahwa Nabi Muhammad Saw. merupakan suri teladan yang baik, maka mereka mem-bolehkan sekiranya seorang laki-laki Muslim hendak menikahi 9 perempuan dalam waktu yang bersamaan. Mereka merujuk pada ayat Al-Qur’an surah al-Hasyr [59]: 7, “wa mâ âtâkum al-rasûl fakhudzûhu” (apa yang dibawa Rasul pada kalian, ambillah); Al-Qur’an surah al-Ahzâb [33]: 21, “laqad kâna lakum fî rasûli Allâh uswatun ha-sanah” (Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik buat kalian); Al-Qur’an surah Âli ‘Imrân [3]: 31, “Qul in kuntum tuhibbûna Allâh fattabi`ûnî yuhbibkum Allâh” (Jika kalian mencintai Al-lah,
maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian).
Mereka juga menolak pendapat yang menyatakan bahwa pernikahan Na-bi dengan semNa-bilan istri secara bersa-maan itu sebagai kekhususan bagi Nabi Muhammad. Mereka berkata, wa da`wah al-khushûshîyah muftaqirah ilâ dalîl (klaim adanya kekhususan bagi Na-bi Muham-mad Saw. [untuk menikah lebih dari empat] itu membutuhkan se-buah dalil). Padahal, tidak ada hukum Islam yang tidak didasarkan pada dalil yang sahih. Karena tidak ada dalil yang menjelaskan bahwa kebolehan menikahi 9 perempuan itu khusus bagi Nabi Mu-hammad Saw., maka mereka tetap ku-kuh pada pendirian awalnya; sebagaima-na Nabi boleh menikah dengan sembilan perempuan, maka demikian juga umatnya.
Mereka mengutip argumen se-jarah. Setelah Khadîjah binti Khuwaylid wafat, Nabi Muhammad Saw. menikah dengan banyak perempuan; Saudah binti Zam‟ah, ‘Â`isyah binti Abû Bakar, Haf-shah binti ‘Umar ibn al-Khaththâb, Zainab binti Khuzaimah, Ramlah binti Abû Sufyân alias Ummu Habîbah, Um-mu Salamah Hindun binti Abû
Uma-yah, Zainab binti Jahsy, Juwairîyah binti al-Hârits ibn Abû Dhirar, Shafîyah binti Huyay ibn Akhthab, Maimûnah binti al-Hârits, al-„Alîyah binti Zhabyan, Asmâ` binti al-Nu’mân, Umrah binti Yazîd. Dalam sejarah disebutkan, Nabi meni-kah dengan 15 perempuan, yang digauli 13 orang, yang hidup bersama Nabi 11 orang. Dua istrinya dikembalikan ke keluarganya masing-masing adalah Um-rah binti Yazîd al-Ghifarîyah, Asmâ` binti al-Nu`mân al-Kindîyah dikenal dengan sebutan al-Syanba’. Ketika wafat, Nabi meninggalkan 9 orang istri.
Kalau memang untuk masalah poligami ini juga mereka anggap mengi-kuti sunnah rasul tanpa mengenal kekhususan nabi. Pertanyaannya adalah apakah nabi juga memiliki istri sebanyak itu (18 perempuan)? Sementa-ra sebagaimana yang sudah diketahui bahwa nabi saja tidak sampai sejumlah itu istri-istrinya. Lalu sudah diketahui juga bahwa semua istri nabi adalah para janda kecuali siti ‘aisyah itu pun ber-dasarkan perintah Allah melalui wahyu, lalu apakah juga mereka ketika ber-poligami dengan janda yang usianya di atas 50 tahun? Kalau pun dengan gadis harus berdasarkan wahyu
juga seperti nabi, sementara hal itu tid-aklah mungkin terjadi.
Kedua, jumhur ulama yang ber-pandangan bahwa poligami dapat diper-bolehkan dalam batas maksimal 4 istri. Di samping merujuk pada kata rubâ’ da-lam surah al-Nisâ di atas, juga ber-landaskan hadis Nabi yang menginstruksikan Ghaylân ibn Salamah al-Tsaqafî al-Dimasyqî untuk menc-eraikan 6 orang istrinya dan hanya mengambil 4 perempuan sebagai istrinya. Nabi juga meminta Nawfal ibn Mu’âwîyah yang memiliki 5 orang istri untuk menceraikan satu istrinya dan han-ya mengambil empat istri saja. Qais ibn al-Hârits ketika baru masuk Islam memi-liki 8 istri. Dia juga diminta Nabi untuk tetap dengan 4 istri dan menceraikan yang lain. Di samping surah al-Nisâ ayat 3, tiga hadis itu juga dijadikan dasar jum-hur ulama untuk membatasi jumlah maksimal istri menjadi empat.
Untuk menangkis argumen ula-ma pertaula-ma tersebut, kelompok kedua ini mengemukakan beberapa hal. Per-tama, Pernikahan Nabi yang lebih dari empat orang perempuan dianggap se-bagai salah satu kekhususan bagi Nabi Muhammad Saw. (khushûsîyât
al-nabîy). Artinya, pernikahan Nabi dengan lebih dari empat perempuan itu tidak bisa diteladani oleh umat Islam. Itu tidak mengikat bagi umat Islam. Sebab, ada beberapa hal yang mengikat kepada Nabi Muhammad Saw. secara terbatas tapi tidak mengikat kepada umat Islam secara luas. Ibn Katsîr mengutip pen-dapat al-Syâfi‟î berkata:
Al-Syâfi’î berkata, sunah Rasulullah yang bersumber dari Allah menunjukkan bahwa selain Rasulullah tidak dibolehkan bagi seorang laki-laki mengumpulkan empat perempuan dalam satu ikatan pernikahan. Inilah yang dikatakan al-Syâfi’î yang kemu-dian menjadi konsensus di ka-langan ulama.
Kedua, kelompok ini tidak mengartikan kata matsnâ dengan “dua-dua” yang dijumlahkan menjadi empat, melainkan menunjuk pada makna “dua” saja. Begitu juga dengan kata tsulâtsâ` dan rubâ’. Dengan ini, maka tertutup kemungkinan untuk membuka kran poligami hingga dengan 18 perempuan dalam waktu bersamaan. Demikian juga dengan huruf “waw” yang menyertai “matsnâ wa tsu-lâtsâ` wa rubâ’”.
Ber-beda dengan kelompok pertama yang mengartikan huruf “waw” sebagai li muthlaq al-jam`i, maka jumhur ulama mengartikannya sebagai li al-takhyir (pemilihan). Ini jelas punya konsekwen-si hukum berbeda. Jika “waw” diartikan sebagai li muthlaq al-jam’i berakibat pada kebolehan menikahi 18 perempuan dalam satu waktu, maka dengan mengartikan “waw” sebagai li al-takhyîr berarti batas maksimal poligami adalah empat perempuan .
Tampaknya pendapat ini paling masyhur dan paling banyak dipraktikkan para sahabat sepeninggal Nabi Muham-mad Saw. Tidak terdengar, ada sahabat Nabi yang memiliki istri lebih dari em-pat perempuan dalam waktu bersamaan. Yang terjadi, jika salah satu dari empat istri itu ada yang meninggal dunia atau yang diceraikan, maka sebagian sahabat mencari perempuan lain untuk dinikahi sehingga jumlahnya tetap empat istri. Misalnya, agak mirip dengan Nabi, keti-ka Fâthimah binti Muhammad masih hidup, sang suami ‘Alî ibn Abû Thâlib tidak pernah memadunya dengan per-empuan lain. Namun, setelah Fâthimah wafat, menurut al-Thabarî, ‘Alî ibn Abû Thâlib menikahi 8 orang perempuan
da-lam waktu yang berlainan. Istri-istri ‘Alî ibn Abû Thâlib itu adalah Khawlah binti Ja’far ibn Qays, Ummul Banîn binti Hi-zam, Lailâ binti Mas’ûd ibn Khâlid, As-mâ` binti Umais, Ash-Shabba` Ummu Habîb binti Rabî’ah, Amamah binti Abû al-‘Âsh, Ummu Sa’ad binti ‘Urwah ibn Mas’ûd al-Tsaqafî, Muhayyah binti Ismâ’îl Qays bin Uday. Dari per-nikahannya itu, ‘Alî dikarunia 31 anak; 14 laki-laki dan 17 perempuan. Muham-mad al-Hanafîyah yang dikenal cerdas adalah anak hasil perkawinan Alî ibn Abû Thâlib dengan Khawlah.
Kelompok kedua ini masih mem-iliki kemiripan pendapat dengan ke-lompok pertama menyangkut dimung-kinkannya dan dibolehkannya laki-laki (suami) menikah lebih dari satu orang istri dengan catatan mampu dan dapat berlaku adil. Demikian pentingnya kead-ilan ditegakkan dalam keluarga poligami, Muhammad Thâhir ibn ‘Âsyûr berkata:
Jika poligami tidak tegak di atas fondasi keadilan, maka bangunan keluarga akan rusak, fitnah da-lam keluarga tidak terelakkan. Istri-istri akan membangkang pada suaminya. Anak-anak akan
mendurhakai ayahnya denga menyakiti istri-istri dan anak-anak ayahnya yang lain.
Dengan pernyataannya itu, Ibn ‘Âsyûr tidak menuntut dihapuskannya poligami, melainkan bagaimana poligami itu dijalankan dengan adil. Alih-alih menolak poligami, Ibn ‘Âsyûr menjelaskan sejumlah kemaslahatan poligami yang dilakukan dengan keadi-lan. Pertama, poligami membantu mem-perbanyak jumlah umat Islam. Kedua, karena jumlah perem-puan lebih banyak dari laki-laki, maka poligami bisa mem-bantu perempuan-perempuan yang po-tensial tidak kebagian suami bisa mempunyai suami. Kelangkaan laki-laki ini terjadi, menurut Ibn ‘Âsyûr, karena banyaknya laki-laki yang menjadi korban perang. Terlebih, demikian Ibn Âsyûr, usia perempuan ditakdirkan Al-lah lebih panjang dari usia laki-laki. Ke-tiga, karena Allah telah mengharamkan zina begitu rupa, maka kebolehan ber-poligami ini akan ikut mengerem laju pertumbuhan perzinaan di masyarakat. Keempat, poligami dipandang Ibn ‘Âsyûr sebagai jembatan untuk memini-malkan terjadi perceraian.
Mungkin tidak seluruh argumen Ibn ‘Âsyûr untuk menerima poligami itu valid jika diuji dengan kenyataan empirik di lapangan. Namun, argumen itu telah menjadi argumen umum di kalangan umat Islam untuk menerima poligami. Itu sebabnya, tidak mudah untuk menolak poligami, bukan hanya karena poligami tercantum dalam Al-Qur’an dan diprak-tikkan Nabi, melainkan juga karena da-lam pandangan banyak kalangan poligami telah dianggap sebagai solusi yang mengandung banyak kemaslahatan.
Pandangan Pemikir Modern-Kontemporer
Sejauh yang bisa dipantau, tidak ada ulama di zaman klasik yang berkata secara tegas bahwa poligami terlarang. Ini karena poligami bukan hanya terkait dengan doktrin melainkan juga terkait dengan tradisi yang berkembang saat itu. Jauh dari era di mana perempuan menun-tut kesetaraan dan keadilan gender, maka agak susah membayangkan lahirnya satu pandangan yang menolak poligami. Yang maksimal bisa mereka katakan adalah kemungkinan untuk meminimal-kan jumlah perempuan yang dipoligami. Poligami yang tidak bersendikan
keadi-lan harus ditinggalkan. Ini misalnya dikatakan Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî dalam tafsir al-Kasysyâf:
Ketika ayat tentang anak-anak yatim turun termasuk ayat yang melarang memakan harta anak yatim, maka para pengampu anak yatim itu takut jika dirinya disebut sebagai pelaku kejahatan misalnya karena zalim tidak memenuhi hak-hak anak yatim sehingga mereka terjebak dalam dosa. Tidak jarang laki-laki saat itu memiliki enam, delapan, dan sepuluh istri. Pa-dahal, mereka tidak bisa mememu-hi hak istri-istri mereka. Mereka pun tidak bisa bertindak adil di antara istri-istri mereka. Dalam konteks itu, Al-Qur’an se-perti hendak mengatakan kepada mere-ka, jika kamu takut tidak bisa ber-buat adil terhadap hak-hak anak-anak yatim itu dan karena itu kamu berdosa, maka seharusnya kamu juga takut tidak bisa berbuat adil terhadap perempuan-perempuan yang kamu poligami itu. Karena itu, perkecillah jumlah perempuan yang kamu nikahi. … Jika kamu takut tidak bisa berbuat adil
ter-hadap istri-istri kamu dalam jumlah itu sebagaimana kamu takut tidak bisa adil dalam jumlah yang lebih dari itu, maka cukuplah dengan satu istri saja. Artinya, per-teguhlah dan pilihlah satu istri dan segeralah tinggalkan menikah dengan banyak istri. Sebab, segala sesuatu akan diukur dengan neraca keadilan. Di mana saja kamu men-jumpai keadilan, maka kamu harus tunduk pada hukum keadilan itu (Al-Zamakhsyarî, 1996: 144). Apa yang dikatakan al-Zamakhsyarî itu ditegaskan kem-bali oleh Baydlâwî. Menurut al-Baydlâwî, ayat itu hendak menya-takan: “Jika kamu tidak bisa ber-buat adil, maka lebih baik untuk menikah dengan satu perempu-an” (fain khif-tum an lâ ta`dilû fa al-ahsan antankihû wâhidah”. Apa yang dikemukakan dua ulama tersebut seperti modal awal bagi ulama modern untuk terus menekan angka laki-laki ber-poligami. Muhammad ‘Abduh, sebagaimana dikutip Muhammad Rasyîd Ridlâ dalam Tafsîr al-Manâr, adalah ulama
modern yang keras menolak poligami. Sebab, menurutnya, di dalam poligami terkandung ke-mafsadatan. Poligami bisa di-bolehkan jika kondisinya sudah sangat darurat, tapi tetap dijalan-kan dengan prinsip keadilan.
Muhammad ‘Abduh, sebagaima-na dikutip Muhammad Rasyîd Ridlâ, menyatakan demikian:
Siapa yang merenungkan dua ayat tersebut (QS. Al-Nisâ‟ [4]: 3 & 129), maka ia akan tahu bah-wa ruang kebolehan berpoligami dalam Islam adalah ruang sem-pit. Seakan akan ia merupakan suatu darurat yang hanya bisa dibolehkan bagi yang membu-tuhkannya dengan syarat yang bersangkutan diyakini bisa menegakkan keadilan dan tidak mungkin melakukan kezaliman. Jika setiap orang merenungkan kemafsadatan yang ditimbulkan dari poligami, maka jelas; tidak seorang pun bisa mendidik masyarakat yang di dalamnya telah menyebar praktik poligami. Betapa satu rumah yang dihuni
satu suami dengan dua istri, kon-disinya tidak akan stabil. Aturan pun tidak akan berjalan. Suami bahu membahu dengan para istrinya menghancurkan rumah tangga itu. Setiap anggota dalam rumah tang-ga itu akan menjadi musuh bagi anggota yang lain. Anak-anak juga akan saling ber-musuhan, satu dengan yang lain. Kemafsadatan poligami akan berpindah dari individu ke indi-vidu lain dalam rumah tangga. Dari rumah tangga yang rapuh itu kemafsadatan terus menjalar dan bergerak membentuk masyarakat yang juga rapuh. Itu-lah yang dikatakan Muhammad ‘Abduh dalam pelajaran pertama terkait tafsir ayat itu. Sedangkan pada pelajaran kedua, ia mene-gaskan lagi bahwa ruang ke-bolehan berpoligami itu adalah ruang sempit. Persyaratan-persyaratan yang ditetapkan di dalamnya akan sulit untuk di-penuhi. Jika demikian kon-disinya, seakan akan poligami itu memang terlarang. Juga telah dikatakan sebelumnya, haram
bagi seorang laki-laki untuk ber-poligami jika ia tahu bahwa dirinya tidak bisa berbuat adil buat istri-istrinya (Muhammad Rasyîd Ridlâ, 1999: 284-285).
Cukup jelas pandangan ‘Abduh tentang poligami. Dalam perkem-bangannya, apa yang dikemukakan ‘Abduh tersebut diikuti oleh murid-murid dan para pengikutnya. Qâsim Amîn adalah salah satu pengikut ‘Abduh yang cukup tegas menolak poligami. Ia berkata demikian:
Cukup jelas, poligami sangat merendahkan perempuan. Anda tidak akan menjumpai seorang perempuan yang rela berbagi suami dengan perempuan lain, sebagaimana anda tidak akan menjumpai seorang laki-laki yang rela berbagi istri dengan laki-laki lain... Dalam kondisi bagaimana pun, setiap perempu-an yperempu-ang menghargai dirinya sendiri pasti akan sakit hati keti-ka melihat suaminya punya “hubungan khusus” dengan per-empuan lain. Dari Al-Qur‟an (al-Nisâ‟ 4]: 3) jelas bahwa Allah
mengaitkan wajibnya mengambil satu istri dengan alasan; suami tidak bisa berbuat adil kepada istri-istrinya. Lalu ditegaskan (melalui QS. Al-Nisâ‟ [4]: 129) bahwa keadilan dimaksud di luar kemampuan manusia. Maka siapakah yang bisa berbuat adil ketika sudah ditetapkan bahwa keadilan itu tidak akan bisa di-capai. Seandainya orang yang merenungkan dua ayat itu mengambil hukum tentang keha-raman poligami, maka hukum itu tidak akan jauh dari substansi dua ayat itu sekalipun hadis dan dan apa yang dipraktikkan Nabi telah datang dengan membuka kemungkinan bolehnya ber-poligami(Qâsim Amîn, 1984). Apa yang dikemukakan Qâsim Amîn tersebut paralel dengan apa yang dikemukakan ‘Abduh. Poligami harus dijadikan sebagai pintu darurat. Qâsim Amîn memberikan dua contoh yang me-nyebabkan laki-laki boleh melakukan poligami. Pertama, ketika perempuan (istri pertama) mengidap satu penyakit yang menyebabkan yang bersangkutan tidak bisa menjalankan tugas-tugasnya
sebagai seorang istri. Kedua, ketika istri pertama mandul, tidak bisa memiliki anak. Dalam kondisi ini, menurut Qâsim Amîn, pilihan yang tersedia hanya ada dua, yaitu bertahan dengan istri lama sambil mengambil istri baru atau menc-eraikan istri lama dan mengambil istri baru. Selain dua alasan itu, Qâsim Amîn berkata demikian:
Selain dua kondisi itu (mengidap penyakit dan mandul), saya tidak melihat kemanfaatan poligami kecuali sebagai penyaluran nafsu kebinatangan dengan memanipu-lasi syariat. Ini menunjukkan te-lah terjadinya kerusakan akhlak, tidak berfungsinya panca indera, menempuh cara buruk dalam memperoleh kenikmatan.
Satu tarikan nafas dengan dapat dua pemikir Mesir itu adalah pen-dapat yang dikemukakan Ahmad Musthafâ al-Marâghî, dengan bahasa sedikit lebih halus. Menurut al-Marâghî, pernikahan monogami adalah per-nikahan paling ideal yang harus diterima umat manusia. Al-Marâghî menyatakan demikian:
Kebahagiaan keluarga itu
tercapai jika di dalam keluarga hanya ada satu istri bagi satu suami. Itulah puncak kesem-purnaan yang perlu diedukasikan ke masyarakat dan yang perlu diterima oleh seluruh manusia. Namun, karena sejumlah alasan terkait kehidupan suami istri, maka seseorang diperbolehkan untuk keluar dari yang ideal ter-sebut (Ahmad Musthafâ al-Marâghî, 1998: 151).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa al-Marâghî tetap memandang pernikahan monogami sebagai per-nikahan ideal yang akan mengantarkan seluruh anggota keluarga pada kebahagi-aan, sementara pernikahan poligami di-anggap sebagai kekecualian. Dengan perkataan lain, monogami adalah hukum ‘azîmah, sedangkan poligami sebagai rukhshah yang bisa dilakukan dalam kondisi tertentu. Bagi al-Marâghî, kon-disi tertentu yang menyebabkan ditoler-ansinya poligami adalah sebagai berikut. Pertama, jika seorang suami memiliki istri yang mandul padahal si suami ber-harap akan memiliki anak. Dalam kondi-si demikian, maka yang paling maslahat
bagi keduanya adalah poligami terlebih jika si suami adalah orang yang mem-iliki kedudukan mulia seperti raja atau kepala negara. Kedua, jika istri sudah memasuki masa menopause sementara si suami masih berkeinginan untuk menya-lurkan kebutuhan biologisnya. Sekiranya suami itu mampu memberi nafkah kepa-da lebih kepa-dari satu istri kepa-dan mampu juga menanggung biaya hidup banyak anak, maka si suami diperbolehkan untuk ber-poligami. Ketiga, kemampuan seksual suami cukup tinggi, sementara si istri kebalikannya. Ditambah lagi masa men-struasi istrinya cukup lama. Dalam kon-disi demikian, menurut al-Marâghî, pili-han pili-hanya ada dua, yaitu berpoligami atau berzina. Tentu pilihan yang terbaik adalah menikah lagi. Keempat, mening-katnya jumlah dan populasi perempuan bukanlah sesuatu yang baik bagi sebuah komunitas masyarakat. Ada potensi bagi terjadinya kemerosotan moral. Dalam konteks itu, poligami harus dimung-kinkan.
Hal yang sama dikemukakan M. Quraish Shihab. Menurutnya, poligami adalah pintu kecil yang hanya dapat di-lalui oleh yang sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Seperti al-Marâghî, Shihab menjelaskan hal-hal yang menyebabkan dibukanya pintu poligami, seperti istri mandul atau terkena penyakit yang memustahilkan istri menjalankan tugas-tugas sebagai istri. Dalam kondisi istri sakit itu, yang dipikirkan Shihab adalah bagaimana sang suami menyalurkan kebutuhan bi-ologisnya. Bahkan, sebagaimana al-Maraghi, Shihab mengukuhkan argu-mennya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurut dugaannya mungkin sulit untuk dibantah. Menurut Shihab, bukankah kenyataan menunjukkan bah-wa jumlah lelaki bahkan binatang jantan lebih sedikit daripada jumlah wanita atau betinanya? Bukankah rata-rata usia perempuan lebih panjang dari usia laki-laki, sedang potensi membuahi bagi laki -laki lebih lama daripada potensi per-empuan, bukan saja karena perempuan mengalami masa haid melainkan juga karena perempuan mengalami meno-pause sedang pria tidak mengalami keduanya? (M. Quraish Shihab, 2002: 410-411).
Dua alasan pertama al-Marâghî dan Shihab mirip dengan apa yang dikemukakan Qasim Amin. Namun, alasan ketiga dan keempat al-Marâghî
potensial bermasalah jika dilihat dari perspektif keadilan bagi perempuan. Misalnya, apa yang harus dilakukan seorang istri jika menghadapi kenyataan -kenyataan berikut: suami mandul yang menyebabkan tidak lahirnya anak atau keturunan; suami memiliki penyakit yang menyebabkan si suami tidak mam-pu memberi nafkah batin kepada sang istri; atau kemampuan seksual istrinya sangat tinggi sementara sang suami ke-mampuannya sangat rendah. Apa yang harus dilakukan istri usia muda ketika menghadapi suaminya yang sudah an-dropause? Bagaimana jika dalam satu kondisi, jumlah laki-laki lebih banyak ketimbang jumlah perempuan, maka apakah harus dibuka pintu poliandri, satu istri dengan banyak suami. Pertan-yaan pertanPertan-yaan ini wajar muncul sekiranya poligami dilihat dari perspek-tif perempuan.
Menghadapi pendapat-pendapat demikian itu, Faqihuddin Abdul Kodir menyatakan bahwa pendapat yang men-tolerir poligami itu muncul dari satu per-spektif di mana perempuan selalu dipo-sisikan sebagai obyek dan bukan subyek. Karena itu, menurut Abdul Ko-dir, menempatkan perempuan sebagai
subyek dalam poligami adalah penting terutama untuk memenuhi tuntutan prin-sip keadilan yang diamanatkan Al-Qur‟an. Sebab, demikian Abdul Kodir, yang menerima akibat langsung dari poligami adalah perempuan (Faqihuddin Abdul Kodir, 2005: 93). Abdul Kodir me-minta adanya perubahan terjemahan terhadap QS. Al-Nisâ‟ [4]: 3 yang di-anggapnya sangat bias laki-laki. Jika terjemahan Kementerian Agama RI ber-bunyi demikian, “Jika kamu (para pengasuh anak-anak yatim) khawatir tidak bisa bertindak adil (manakala kamu ingin mengawini mereka), maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dari perempuan-perempuan (lain) sebanyak; dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat. Lalu jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”, maka Abdul Kodir mengajukan terjemahan demikian, “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang suka kepada kamu; dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) satu saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Abdul Kodir: 89).
Menyetujui pendapat Abdul Ko-dir, Husein Muhammad menyerukan hal yang sama, yaitu pentingnya menghar-gai hak-hak perempuan dalam poligami. Husein Muhammad berang ketika yang dijadikan alasan kebolehan poligami itu agar laki-laki yang tinggi libidonya tidak jatuh dalam perzinaan. Argumen terse-but dengan kata lain, menurut Husein Muhammad, ingin menegaskan bahwa poligami dimaksudkan sebagai wahana menyalurkan hasrat seksual laki-laki yang tidak bisa dicukupi oleh satu istri. Jika ini alasannya, maka apakah alasan ini dapat dihubungkan dengan poligami Nabi? Dengan tegas Husein Muhammad menampik; poligami Nabi tidak di-dorong oleh kebutuhan libidonya. Menurut Husein Muhammad, poligami Nabi bukan didasarkan pada kepent-ingan biologis melainkan perlindungan terhadap orang-orang yang dilemahkan.
Dengan sejumlah argumen, Hu-sein Muhammad lalu memberikan
toler-ansi terhadap poligami zaman dulu tapi tidak mudah menoleransi poligami za-man sekarang. Untuk poligami Nabi, Husein Muhammad cenderung me-maklumi. Beda dengan sebagian orien-talis yang kerap mengkritik poligami Nabi Muhammad, sebagai orang beriman Husein Muhammad tidak pu-nya pu-nyali dan stamina untuk melakukan hal yang sama. Alih-alih mengkritik poligami Nabi Muham-mad, Husein Muhammad justru memaklumi poligami sebagai sebuah kenyataan umum saat Al -Qur’an diturunkan. Karena itu, demikian Husein Muhammad, tidak mungkin Al-Qur’an melarang poligami secara sekaligus. Yang dilakukan Al-Qur’an adalah membatasi ruang gerak poligami dan meminimalkan jumlah perempuan yang dipoligami, dari yang tanpa batas menjadi terbatas. Menurut Husein Muhammad, keputusan reduksi dan minimalisasi poligami itu bukan tanpa maksud dan alasan penting. Kemungkinan paling kuat, demikian Husein Muhammad, adalah poligami sesungguhnya merupakan tindakan yang merugikan perempuan. Poligami mem-buat penderitaan batin bagi para istri, baik yang menjadi madunya maupun
bagi istri pertamanya. Poligami juga dinyatakan seringkali menimbulkan kesulitan lain yang mengan-tarkan pada kondisi disharmoni dalam keluarga. Jika ini terjadi, menurut Husein Muhammad, jelas hal tersebut tidak sejalan dengan misi perkawinan yang digariskan Al-Qur’an, yaitu menciptakan kehidupan sakînah, mawaddah dan rahmah .
Jauh sebelum Husein Muhammad berpendapat seperti di atas, pendapat se-rupa telah dikemukakan Fazlur Rahman. Menurut Rahman, ideal moral yang di-tuju Al-Qur’an adalah monogami. Se-dangkan penerimaan Al-Qur’an terhadap pranata poligami harus dilihat dari ketid-akmungkinan untuk menghapuskan poligami saat itu juga, mengingat poligami telah berakar kuat dalam struktur sosial Arab di masa Nabi. Yang dituju Al-Qur’an dengan memperketat aturan poligami itu, menurut Rahman, adalah pelarangan poligami. Menurut Rahman, jika lingkungan sosial telah memungkinkan untuk melarang poligami, maka pelara-ngan itu perlu dil-akukan. Dengan perkataan lain, dalam pandangan Rahman, dibukanya pintu poligami walau dengan syarat yang ketat itu merupakan keputusan sementara
Al-Qur’an karena situasinya sangat tidak kondusif untuk “melarang” poligami secara mutlak.
Dengan paparan itu jelas, baik Rahman, Husein Muhammad maupun Abdul Kodir, memberikan toleransi ter-hadap poligami yang terjadi pada zaman Nabi, tapi tidak pada zaman sekarang. Berbeda dengan ‘Abduh, Qâsim Amîn, al-Marâghî, dan Shihab yang membuka kran poligami ketika darurat, maka Rah-man, Husein Muhammad, dan Abdul Kodir tidak melihat dalam dunia modern sekarang satu titik darurat yang memungkinkan dibolehkannya kembali praktik poligami. Tiga pemikir Muslim terakhir tersebut sama sekali tidak mem-percakapkan kondisi “darurat” yang me-nyebabkan kran poligami bisa dibuka kembali. Dengan perkataan lain, pintu poligami hanya dibuka pada zaman klasik, tapi tidak pada zaman modern.
Tidak sekeras Rahman, pe-nolakan Husein Muhammad dan Abdul Kodir terhadap poligami dibungkus dengan diksi yang santun agar tidak menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Keduanya tidak eksplisit mengharamkan poligami (Fazlur Rah-man, 2000: 190).
Alih-alih mengharamkan poli-gami, Abdul Kodir memberi judul bukunya “Memilih Poligami”. Husein Muhammad yang memberi kata pengan-tar dalam buku Abdul Kodir itu mem-beri judul tulisan pengantarnya dengan “Sebaiknya memang Tidak Poligami”. Penggunaan diksi yang halus untuk me-nolak poligami ini bisa dipahami karena keduanya hidup dalam masyarakat Mus-lim Indonesia yang arus utamanya menerima poligami.
Berbeda dengan dua pemikir di atas, pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang Poligini lebih tegas, sebagaima-na selama ini menjadi topic yang me-lahirkan pro dan contra yang diakibat-kan oleh perbedaan interpretasi dalam memahami surat an-Nisa ayat 3 yang menjelaskan tentang poligini tersebut. Dalam persoalan ini Nasr Hamid abu zaid memiliki perangkat analisis tersendiri, yang menggunakan tela’ah linguistic dan hermeneutika yang mengedepankan kontekstualisasi sebagai bahan acuan dalam setiap produk ijti-hadnya.
Pertama, Menurut Abu Zaid pembolehan poligini sampai dengan 4 istri harus dipahami dan ditafsirkan
dalam konteks karakter hubungan kemanusiaan khususnya hubungan laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat pra islam. Dengan cara demikian akan terlihat bahwa pembolehan poligini merupakan tadyiq (penyempitan) terhadap kepemilikan dan pengkondisian perempuan dalam masyarakat arab pra Islam, khususnya jika perempuan itu berasal dari status social yang rendah.
Bagi Abu Zaid interpretasi yang dilakukan untuk membolehkan poligini merupakan upaya untuk kembali meletakkan dominasi laki-laki dan kesemena-menaannya terhadap eksistensi perempuan, dengan demikian kebolehan poligini hingga dengan 4 istri secara historis lebih merupakan transisi (naqlah) dalam rangka pembebasan perempuan dari keterikatannya dengan laki-laki, disebut transisi karena di Arab pra Islam tidak ada batasan dalam mengawini perempuan. Asghar Ali menyebutnya sebagai jalan ideologis pragmatis yang ditempuh Al-Quran untuk mengatasi problem tersebut.
Kedua konteks Al-Quran secara keseluruhan, yaitu sesuatu yang tersembunyi atau sengaja
disembunyikan. Dalam kaitan ini Abu Zaid meletakkan syarat keadilan sebagaimana tercantum dalam teks ”kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja” Sebagai hal yang niscaya. Namun dengan mengaitkan keniscayaan syarat keadilan itu dengan teks “dan kamu sekalian tidak akan bisa berlaku adil terhadap isteri-istri kamu walaupun kamu sangat menginginkannya” Abu Zaid menegaskan bahwa Al-Quran sesungguhnya memastikan sikap dan hampir mengabaikan (membatalkan) perkawinan poligini.
Penjelasan linguistik terhadap ayat di atas, menurut Abu Zaid, menegaskan bahwa syarat keadilan terhadap para istri secara mutlak adalah tidak mungkin, hal ini terlihat dari struktur kalimat kondisional dalam fa in lam ta’dilu fawahidah kemudian melalui penggunaan adat al-sart “law” yang berfaedah untuk menghalangi terjadinya akibat (jawab) karena keterhalangan terjadinya syarat. Kata “lan” yang dipakai di awal teks (lan ta’dilu bayna al -nisa’ wa law harastum) menegaskan terjadinya suatu kejadian untuk masa sekarang dan masa yang akan datang
secara bersama. Dari sini Abu Zaid menegaskan bahwa penggunaan jawab al-syart dengan “lan” yang didahulukan atas fi’il al-syart dengan “ law” menegaskan ketidak mungkinan untuk bertindak adil selamanya (nafy abady) kepada dua istri atau lebih dan ketidak mungkinan seorang suami berkeinginan untuk berbuat adil kepada mereka. Dari analisis ini, Abu Zaid menegaskan bahwa hampir-hampir Al-Qur’an secara diam-diam atau implicit sebenarnya mengharamkan poligini (Ahmad Badlawi, 2008: 231-232).
Ketiga, berdasarkan pada penjelasan sebelumnya Abu Zaid menegaskan tidak setuju terhadap pemikir klasik yang memasukkan poligini dalam kategori ibahah, penjelasan Abu Zaid menempatkan pembatasan poligini maksimak 4 merupakan penyempitan terhadap poligini masyarakat pra arab yang tidak terbatas. Penyempitan itu bertujuan untuk meluruskan hukum sosial yang tidak sesuai dengan kesadaran yang ingin direalisasikan oleh Al-Quran.
Namun, lepas dari itu, secara le-gal formalistik, Indonesia sesungguhnya termasuk negara yang mengatur secara
ketat penyelenggaraan poligami. Menya-dari bahwa poligami tidak bisa diha-puskan, maka pemerintah RI membuat peraturan atau undang- undang yang di dalamnya mengatur soal poligami. Da-lam kaitan itu, lahirlah UU No. 1 Tahun 1974 tentang pokok perkawinan dan juga dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur secara ketat praktek poligami di Indonesia. Dalam pasal 57 disebutkan, “Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: per-tama, istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri; kedua, istri mendapat catat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; ketiga, istri tidak melahir-kan keturunan”. Ini sebagai penegasan dari UU Pokok Perkawinan Pasal 4 yang mempersyaratkan hal yang sama.
Selanjutnya, ketika dinyatakan bahwa seorang suami yang hendak beris-tri lebih dari seorang wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan, maka dalam pasal 5 ayat (1) UU Pokok Per-kawinan disebutkan, “untuk dapat mengajukan permohonan kepada Penga-dilan, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini ha-rus dipenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari istri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menja-min keperluan- keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c. adanya ja-minan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mere-ka”.
Dengan terbitnya Inpres dan Un-dang-Undang Pokok Perkawinan terse-but, maka pengetatan poligami sudah dilakukan pemerintah. Hanya masa-lahnya, apa yang tercantum dalam un-dang-undang tersebut tidak sepenuhnya bisa terlaksana dengan baik. Ini terkait dengan cara pandang sebagian ulama yang menolak campur tangan negara dalam penyelenggaraan poligami. Tidak ayal lagi, sebagian besar poligami di In-donesia tidak dicatatkan ke pemerintah, sebagian juga tidak mendapatkan izin dari istri pertama. Dengan perkataan lain, meminjam bahasa yang populer di masyarakat Islam Indonesia, poligami banyak dilakukan secara sirri (sembunyi -sembunyi) ketimbang secara ‘alânîyah (dicatatkan ke pemerintah).
C. KESIMPULAN
Dari paparan di atas, kelemahan pendapat ulama klasik ini adalah pada pemahaman terhadap ayat yang sangat literalistik, tidak memperhatikan konteks turunnya ayat dan keterkaitan dengan ayat sebelumnya. Sama sekali bukan sedang menjelaskan kebolehan poligami. atau sebenarnya hendak menghapus praktek poligami yang se-dang marak saat itu. karena ketid-akmungkinan Al-Qur’an untuk mengha-puskan praktik poligami secara sekaligus. Poligami telah menjadi tradisi di berbagai belahan dunia. Yang paling strategis dilakukan Al-Qur’an melalui Nabi bukan menghapus poligami sampai tuntas melainkan membatasi jumlah poligami dengan syarat-syarat yang sulit untuk dijalankan. karena yang dituju dari syariat pernikahan adalah monoga-mi bukan poligamonoga-mi.
Di samping juga ada beberapa pemahaman yang janggal, misal ketika memahami kata matsna, wa tsulasa wa ruba’ dipahami dengan arti jumlah yang banyak. Seharusnya kalau yang dimak-sud adalah jumlah yang banyak redaksinya tidak menyebutkan angka, tapi dengan kata maa syi’tum. kemudian
praktek poligami yang dilakukan dengan alasan mengikuti sunnah rasul pun tern-yata tidak sesuai sunnah rasul. Terutama di zaman sekarang. Bahkan dampak negatifnya tidaklah sedikit dan ringan.
Sekalipun ada ulama yang men-tolerir praktik poligami dalam kondisi darurat. Darurat yang dimaksud ternyata sulit untuk dijadikan alasan bolehnya poligami. Karena tidak bisa keadaan da-rurat itu hanya dilihat pada kaum lelaki tapi juga kaum perempuan. Akhirnya cukup beralasan kalau kemudian praktek poligami saat ini diharamkan. Dalam rangka لحاصلما بلج لىع مدقم دسافلما ءرد.
D. DAFTAR PUSTAKA
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tan-tangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hu-kum Fazlur Rah-man. Bandung: Mi-zan, 1996. Amîn, Qâsim. Tahrîr Mar’ah wa
al-Mar’-ah al-Jadîdah. Kairo: Al-Markaz al-„Arabî li al-Bahts wa al-Nasyr, 1984.
‘Asyur, Muhammad Thâhir ibn. Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr. Tunis: Dâr Suh-nûn li Nasyr wa al-Tauzî‟, 1997.
Baidhowi, Ahmad, Tafsir Feminis; Studi Pemikiran Aminah Wadud dan Nasr Ha-mid Abu Zaid, Yogyakarta, Disertasi UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Baydlâwî, al-. Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl. Beirut: Dâr al-Fikr, 1996.
Fathudin, Syukri AW , Vita Fitria, Problematika Nikah Sirri dan Akibat Hukumnya bagi Perempuan, dalam Jurnal Penelitian HUMANIORA, Volume 15, No. 1. Januari 2009. Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: t.p.,
1971. Jawzî, Abû al-Faraj al-. Târîkh ‘Umar ibn al-Khaththâb. Mesir: Maktabah al-
Salâm al-„Âlamîyah, 1394 H. Karîm, Khalîl „Abd. Al-Judzûr Târîkhî-yah li Syarî’ah al-Islâmîyah. Mesir:Sina, 1997. Katsîr, Ibn. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm.
Bei-rut: Dâr al-Fikr, 1999. _________. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah.
Kai-ro: Dâr al-Hadîts, 2005. dir, Faqihuddin Abdul. Memilih
Mono-gami: Pembacaan atas Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Yogyakarta: LKiS-Fah-mina Institute, 2005. Marâghî, Ahmad Musthafâ . Tafsîr
al-Marâghî. Beirut: Dâr al-Kutub al -„Ilmîyah, 1998.
Nawawî al-Jâwî. Marâh Labîdz. Indone-sia: Dâr Ihyâ` Kutub al-„Arabîyah, t. th.
Qâsimî, Jamâl al-Dîn al-. Mahâsin al-Ta` -wîl. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2003. Qurthubî, . Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân. Kairo: Dâr al-Hadîts, 1995. Rahman, Fazlur. Islam. Bandung:
Pen-erbit Pustaka, 2000.
Râzî, Fakhr Dîn . Al-Tafsîr al-Kabîr. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995.
Ridlâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Qur’-ân al-Hakîm. Beirut: Dâr al -Kutub al-„Ilmîyah, 1999.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pe-san, Kesan, dan Keserasian Al -Qur’-an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Suyûthî, Jalâl al-Dîn al-. Al-Dur al-Man-tsûr fî al-Tafsîr al-Ma’al-Man-tsûr.
Bei-rut: Dâr al-Fikr, 1993.
Team Pengarusutamaan Gender Depar-temen Agama RI. Pembaharuan Hu-kum Islam: Counter Legal Draft Kom-pilasi Hukum Islam. Jakarta: 2004.
Thabarî, Ibn Jarîr al-. Jâmi’ al-Bayân fî Ta`-wîl al-Qur’ân. Beirut: Dâr al -Kutub al-„Ilmîyah, 1999.
---. Târîkh al-Rusul wa al-Mulûk. Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, 1969.
Thabathabâ`î, . Al-Mîzân fî Tafsîr Qur’ân. Beirut: Mu`assasah al-„Âla-mî li al-Mathbû‟ât, 1991. Wahid, Marzuki. Fiqh Indonesia:
Kompi-lasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia. Ci-rebon: ISIF, 2014.
Zamakhsyarî, al-. Al-Kasysyâf ‘an Haqî’iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al -Aqâwîl fî Wujûh al-Ta`wîl. Mesir: Maktabah Mishr, t. th. https://lifestyle.kompas.com/ read/2014/08/17/1205334/ Dampak.Poligami.pada.Kesehata n.Istri.yang.Dimadu https://dosenpsikologi.com/dampak- psikologis-dari-poligami-menurut-psikologi http://www.hukumonline.com/berita/ baca/hol15941/menguak-sisi-gelap-poligami www.dokter.id