BAB VI PENUTUP
Pada bab ini dijelaskan hasil temuan dari penelitian, kemudian kesimpulan yang diambil berdasarkan kondisi di lapangan dan menurut teori (hasil analisis), serta memberikan rekomendasi dan implikasi kebijakan sebagai output bagi pembangunan dan perencanaan di masa yang akan datang. Selain itu, akan dijelaskan pula kelemahan dari penelitian yang dilakukan, dan saran bagi studi lanjutan.
VI. 1 Temuan Studi
Setelah melalui tahapan-tahapan di dalam melakukan penelitian mengenai perkembangan harga lahan pada wilayah studi, didapat hasil yang berkaitan dengan sasaran dari penelitian yang dilakukan, yaitu:
• Menjelaskan faktor-faktor penentu harga lahan di wilayah studi, pada waktu sebelum dan sesudah keberadaan UNPAR:
Sebelum keberadaan UNPAR (1965 - 1975), Ciumbuleuit dikenal sebagai suatu wilayah pemukiman dengan citra yang sangat baik. Dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi di dalam wilayah yang cukup menunjang aktivitas, dan juga meningkatkan kenyamanan bagi para penduduk yang tinggal di dalamnya.
Sejak jaman penjajahan, Ciumbuleuit dikenal sebagai suatu wilayah dengan kondisi topografi dan iklim yang nyaman dan cocok bagi aktivitas bercocok tanam, sehingga tidak sedikit para penduduk kolonial yang memilih tinggal di dalam wilayah ini. Namun seiring dengan kemerdekaan Indonesia jumlah penduduk pribumi jumlahnya semakin meningkat, yang kemudian mendominasi populasi penduduk. Kawasan tempat tinggal utama di wilayah studi banyak berlokasi di sekitar jalan raya, sehingga aktivitas utama yang terjadi pun banyak terletak di sekitar jalan raya tersebut, yaitu Jalan Setiabudhi, jalan Ciumbuleuit dan Jalan Hegarmanah.
Dalam faktor-faktor yang dapat dijadikan penentu dalam menentukan kesesuaian
suatu harga lahan (Lichfield, 1956), wilayah studi memiliki satu faktor yang
sangat dominan, yaitu letak dari infrastruktur jalan sebagai akses ke dalam
wilayah. Kondisi ini dapat terlihat pada peta harga lahan pada tahun 1965 (gambar
5. 1 dan 5. 2) dan peta isovalue harga lahan pada tahun 1965 (Gambar 5.22), letak
dari RT dengan golongan harga tertinggi dan tinggi, banyak terletak di sekitar jalan utama ,dengan perbedaan harga lahan antara di sekitar jalan raya dan di bagian dalam yang cukup curam (peta isovalue harga lahan).
Pada tahun 1975, UNPAR sudah beroperasi di wilayah studi, namun belum beraktivitas secara optimal. Ini dapat terlihat bagaimana mereka pada saat itu hanya menggunakan bangunan yang sebelumnya sudah tersedia (bangunan milik Solsana) dan belum ditambah dengan bangunan baru. Jumlah mahasiswa yang berlokasi di kampus Ciumbuleuit pun jumlahnya belum terlalu besar, mengingat masih banyaknya mahasiswa yang berada di kampus Merdeka. Meskipun jumlah mahasiswa yang berada di kampus Ciumbuleuit belum terlalu besar (hanya fakultas teknik sipil), namun aktivitasnya mulai melahirkan permintaan terhadap fasilitas pendukung yang tersedia di dalam wilayah studi. Ini bisa dilihat dari jumlah fasilitas yang timbul pada tahun ini (bab 4. 1. 2. 2). Tetapi apabila dilihat dari formasi harga lahan, pada tahun 1975 tidak terlalu berubah dari tahun 1965, pada peta harga lahan pun bisa dilihat tidak terlalu banyak berubah (gambar 5. 3 dan 5. 4), faktor akses yaitu infrastruktur jalan masih memegang peranan penting dalam menentukan harga lahan. Meskipun pada peta mulai terlihat adanya kenaikan golongan harga lahan pada RT-RT yang berlokasi di sepanjang jalan utama, dari golongan harga tinggi ke sangat tinggi.
Seiring dengan meningkatnya kinerja UNPAR dan reputasinya sebagai salah satu perguruan tinggi terbaik di Bandung, jumlah mahasiswa dan fasilitas di dalam kampus Ciumbuleuit mengalami peningkatan yang cukup signifikan, demand yang ditimbulkan terhadap penambahan kawasan semakin meningkat pula.
Kondisi ini terjadi mulai dari akhir 1970 an hingga sekarang, ketika jumlah fasilitas publik yang terbangun semakin meningkat dengan pesatnya (bab 4. 1. 2.
2). Perkembangan fasilitas ini ikut merubah tatanan formasi harga lahan yang terjadi, yang dimulai dari tahun 1975. RT yang berada di sekitar kampus UNPAR mengalami peningkatan golongan harga, dengan rentan yang berbeda antara RT yang berlokasi di dekat jalan utama dan di bagian yang lebih ke dalam seperti RW 11 Kelurahan Hegarmanah dan RW 06 dan 07 dari Kelurahan Ciumbuleuit.
Dari kondisi ini terlihat bahwa dengan adanya UNPAR dan perkembangan
fasilitas publik yang bersifat ekonomi, ikut memberikan nilai tambah atau added
value terhadap harga lahan yang berlaku. Sehingga pada kawasan studi setelah
keberadaan UNPAR, selain masih terpengaruh oleh keberadaan akses atau jalan
utama, ketersediaan dan jumlah dari fasilitas publik ikut memberikan pengaruh terhadap pembentukan harga lahan. Kondisi ini bisa dilihat pada isovalue harga lahan tahun 1990 dan 2005 (gambar 5. 49 dan 5. 51), RT-RT yang berada di sekitar kampus UNPAR dan memiliki fasilitas publik dengan jumlah yang cukup besar, memiliki golongan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan RT-RT yang memiliki karakter fisik dan lokasi yang sama, namun tidak berada di dekat UNPAR atau memiliki jumlah fasilitas publik yang cukup besar.
• Menjelaskan perubahan yang terjadi pada faktor penentu harga lahan di kawasan studi, setelah keberadaan UNPAR:
Pada desain riset (bab 3) diterangkan bahwa fasilitas publik yang diambil sebagai tolak ukur yaitu, kamar sewa, rumah makan-kantin, toko-warung, foto copy, dan warnet, kelima fasilitas ini dicari keterkaitannya dengan jumlah penduduk, jumlah mahasiswa dan harga lahan.
Pada waktu sebelum keberadaan UNPAR, jumlah fasilitas publik yang tersedia tidak terlalu besar jumlahnya, jenisnya pun hanya ada warung-toko dan kantin- rumah makan. Karena UNPAR sendiri belum beraktivitas di sana, maka tidak terdapat forward linkages dari keberadaannya. Perkembangan pada fasilitas pun lebih banyak dipengaruhi oleh jumlah penduduk pada wilayah studi.
Dari hasil analisa pada kondisi wilayah studi setelah keberadaan UNPAR didapat bahwa, dengan berkembangnya kampus UNPAR sebagai fasilitas publik yang cukup dominan di wilayah studi, jumlah mahasiswa di dalamnya pun ikut bertambah. Pertambahan jumlah mahasiswa ini melahirkan suatu demand, yang paling utama dan yang terkait cukup besar yaitu dengan perkembangan jumlah kamar sewa, karena peran fasilitas ini cukup penting sebagai tempat tinggal sementara. Keberadaan kamar sewa terkait langsung dengan jumlah mahasiswa UNPAR, dan juga memiliki hubungan yang cukup kuat dengan harga lahan di wilayah studi.
Selain itu, fasilitas kamar sewa juga memiliki pengaruh terhadap perkembangan
dan pertumbuhan dari fasilitas publik yang lainnya. Pada Kelurahan Hegarmanah,
perkembangan jumlah kamar sewa memberikan pengaruh terhadap perkembangan
rumah makan, foto copy dan warnet. Sedangkan, pada Kelurahan Ciumbuleuit,
jumlah kamar sewa mempengaruhi perkembangan rumah makan, toko-warung,
dan warnet.
Maka dapat dikatakan bahwa demand yang lahir akibat perkembangan UNPAR (jumlah mahasiswanya), mengakibatkan terjadinya forward linkages pada perkembangan jumlah kamar sewa, yang kemudian dilanjutkan pada pembangunan fasilitas-fasilitas publik yang bersifat ekonomi lainnya.
• Menganalisis pengaruh UNPAR terhadap dinamika harga lahan yang berlaku di wilayah studi:
Seperti yang dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa dari perkembangan UNPAR, lahir suatu demand terhadap perkembangan fasilitas publik pendukung yang bersifat ekonomi. Di awali pada tahun 1974, tahun ketika UNPAR pertama kali beraktivitas di wilayah studi. Dengan hanya satu fakultas dan jumlah mahasiswa yang berjumlah puluhan hingga bertambah menjadi ratusan pada tahun 1975, aktivitas dari para mahasiswa dan beberapa staf pengajar memberikan demand pertama kali pada ketersediaan kamar sewa sebagai tempat tinggal.
Tidak membutuhkan waktu lama, fasilitas-fasilitas publik lain yang bersifat ekonomi ikut tumbuh dan berkembang seiring dengan meningkatnya intensitas dari aktivitas UNPAR di wilayah studi. Semakin banyaknya mahasiswa dan semakin berkembangnya UNPAR, fasilitas ekonomi yang tersedia pun akan terus berkembang seperti sekarang.
Pembangunan UNPAR
Meningkatnya jumlah mahasiswa
Meningkatnya jumlah fasilitas
publik Bertambahnya
jumlah penduduk
Perkembangan Harga Lahan
Meningkatnya jumlah kamar
sewa
Sumber: Hasil Analisa
Gambar VI. 1 Skema Dari Keterkaitan Antara UNPAR dan Perkembangan Harga Lahan di Wilayah Studi
Skema tersebut dibuat dengan melihat analisis statistik (tabulasi silang dan koefisien kontingensi), yang kemudian dibandingkan dengan pola persebarannya (spasial). Perkembangan jumlah mahasiswa yang terepresentasikan dengan pertumbuhan jumlah kamar sewa, dan pertumbuhan jumlah penduduk di wilayah studi telah memberikan permintaan terhadap ketersediaan fasilitas publik.
Perkembangan fasilitas publik dan keberadaan UNPAR telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan harga lahan disekitarnya.
VI. 2 Kesimpulan
Setelah melalui tahapan-tahapan dalam penelitian dan identifikasi terhadap perkembangan harga lahan di wilayah studi, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat kaitan antara keberadaan UNPAR dan aktivitasnya, terhadap pola harga lahan yang terjadi. Adapun wilayah studi sendiri sebelum keberadaan UNPAR, sudah dikenal sebagai kawasan yang cukup elit, dan penelitian ini menelusuri demand lahan terhadap daerah tersebut seiring dengan perkembangan UNPAR.
Harga lahan yang berlaku di dalam wilayah studi pada awalnya berpatokan serta memiliki keterkaitan kuat terhadap letak infrastruktur jalan, dan setelah keberadaan UNPAR tampak terjadi perubahan pola harga lahan. Keberadaan UNPAR dan aktivitasnya memberikan pengaruh terhadap pola perkembangan fasilitas yang terjadi di dalam wilayah studi, melalui peningkatan amenities daerah-daerah yang memiliki lokasi dekat dengan UNPAR. Kondisi ini terjadi karena dalam proses forward linkages jarak dan akses akan menjadi salah satu faktor yang sangat penting (Healy;Ilbery, 1990). Akibatnya timbul daerah-daerah di dalam wilayah studi yang mengalami kenaikan golongan harga lahan, meskipun tidak berada di sepanjang jalan utama.
Perubahan harga lahan yang terjadi ini merupakan respon dari pembangunan dan perkembangan yang terjadi di wilayah studi, dalam hal ini keberadaan fasilitas sosial. Benke (1976) telah menjelaskan mengenai kondisi ini, ketika terdapat suatu pembangunan fasilitas publik, peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas dari suatu wilayah, maka harga yang berlaku pun akan mengalami peningkatan.
Dari kondisi ini terlihat bagaimana UNPAR memberikan pengaruh yang
cukup kuat terhadap perkembangan di wilayah studi, dan pembangunan ini tampaknya
tidak akan berhenti, karena demand yang ada masih sangatlah besar. Sebagai contoh
pada tahun 1990, ketika jumlah mahasiswa turun hingga mencapai jumlah 465 siswa
(Bab 5.3.3) jumlah kamar sewa dan fasilitas yang lain tidak turut mengalami penurunan, bahkan jumlahnya malah terus bertambah. Ini juga terjadi pada tahun- tahun setelahnya, ketika mulai tahun 2000 jumlah mahasiswa UNPAR mencapai jumlah yang cukup ideal dan sesuai dengan kapasitasnya, yaitu ada dalam rentang jumlah 10.000 mahasiswa (gambar 4.12), jumlah kamar sewa dan fasilitas lainnya terus mengalami pertumbuhan.
Beberapa penelitian terdahulu lebih memfokuskan mengenai pengaruh aktivitas pendidikan terhadap kegiatan yang ditimbulkannya. Sherry (2001), misalnya, memperlihatkan pengaruh yang signifikan dari kegiatan pendidikan di Amerika Serikat terhadap pertumbuhan rumah sewa, tetapi tanpa mengikutsertakan pengamatan terhadap harga lahan yang berubah seiring pertumbuhan kegiatan ikutan tersebut. Penelitian yang dilakukan di Ciumbeleuit ini mengkonfirmasi temuan yang diperoleh oleh Sherry bahwa keberadaan fasilitas pendidikan (UNPAR) menghasilkan permintaan terhadap keberadaan kegiatan-kegiatan pendukung. Kegiatan-kegiatan ini secara fisik dapat diamati dari keberadaan fasilitas-fasilitas ekonomi (tidak hanya rumah sewa, tetapi juga dapat juga berupa toko, rumah makan, foto copy dan warnet).
Pada akhirnya keberadaan fasilitas tersebut meningkatkan kebutuhan terhadap lahan dan menentukan perkembangan harga lahan di wilayah studi.
Seperti halnya karakteristik dari suatu kota, daerah Ciumbuleuit pun telah mengalami siklus dari suatu town plan. Konsep yang dimaksud adalah “the burgage cycle concept” (Conzen, 1960, dalam Yunus 2000), diawali dengan tahap “Institutive”
(mulai dibangun gedung), “Replitive” (mulai penuh dengan gedung-gedung),
“Climax” (tahap tak memungkinkan dibangun gedung-gedung lagi), “Recessive”
(tahap kemerosotan). Kondisi ini juga bisa dilihat dari harga lahan, pada awalnya
harga mengalami peningkatan yang cukup signifikan, namun semakin lama
peningkatan yang terjadi semakin kecil, hingga akhirnya menurun (lihat Gambar 6.2).
Sumber: Hasil analisis, berdasarkan Conzen (1960), dalam Yunus, (2000).
1980 awal Akhir 1990 2005
1970 (Keberadaan
UNPAR)
WAKTU Intensitas
Pembangun
Institutive
Replitive
Climax
Recessive
Tren yang mungkin terjadi
Gambar VI. 2 The Burgage Cycle Concept dari Wilayah Studi