• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERJANJIAN BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) DIATAS TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK ATAS TANGGUNGAN (ANALISIS PUTUSAN NO.311/Pdt.G/2015/Pn.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PERJANJIAN BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) DIATAS TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK ATAS TANGGUNGAN (ANALISIS PUTUSAN NO.311/Pdt.G/2015/Pn."

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERJANJIAN BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) DIATAS TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK ATAS TANGGUNGAN

(ANALISIS PUTUSAN NO.311/Pdt.G/2015/Pn.Sby)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NADA SYIFA RANGKUTI NIM: 160200023

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

NAMA : NADA SYIFA RANGKUTI

NIM : 160200023

DEPARTEMEN : HUKUM EKONOMI

JUDUL SKRIPSI : ANALISIS PERJANJIAN BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) DIATAS TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK ATAS TANGGUNGAN(ANALISIS PUTUSAN NO. 311 / Pdt.G / 2015 / Pn.Sby)

Dengan ini menyatakan:

1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari Skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini Saya perbuat dengan sebenarnya tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Januari 2020

Nada Syifa Rangkuti 160200023

(4)

ABSTRAK

ANALISIS PERJANJIAN BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) DIATAS TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK ATAS TANGGUNGAN

(ANALISIS PUTUSAN NO.311/Pdt.G/2015/Pn.Sby)

Nada Syifa Rangkuti * Bismar Nasution **

Mahmul Siregar ***

Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) belakangan bukan hanya perjanjian antara swasta dan pemerintah, sekarang juga sering dibuat antara swasta dengan swasta salah satunya adalah antara PT. Kemasan Lestari dan Liem Effendy Satiadi. Isi perjanjiannya adalah sewa menyewa tanah dengan konsep BOT. Akan tetapi pada saat perjanjian tersebut berlangsung ternyata Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan atas tanah tersebut ingin mengeksekusi tanah tersebut, karena kreditur selaku pemilik tanah telah melakukan wanprestasi.

Padahal, diatas tanah tersebut sudah didirikan bangunan oleh investor.

Metode penelitian hukum yang digunakan adalah normatif-deskriptif, yaitu dengan meneliti bahan pustaka yang telah ada dan disusun serta disajikan secara deskriptif yakni menjelaskan gambaran lengkap dan mendeskripsikan serta memvalidasinya dari permasalahaan yang ada.

Berdasarkan hasil penelitian, putusan No. 311/Pdt.G/2015/Pn.Sby ternyata perjanjian BOT yang dibuat dilakukan setelah pemasangan Hak Tanggungan, sehingga perjanjian tersebut tidak sah karena tidak mendapatkan izin dari pemegang Hak Tanggungan, akan tetapi bangunan yang berdiri diatasnya sah oleh pengadilan karena bangunan diatasnya dibangun setelah tanah tersebut dibebani Hak Tanggungan, untuk itu menurut azas horizontal dalam Undang-Undang Pokok Agraria, memungkinkan pemilik tanah dan pemilik bangunan berbeda, sehingga dilakukan sita jaminan atas bangunan tersebut dengan maksud agar pemilik bangunan dapat memanfaatkannya meskipun tanah yang ada dibangunan tersebut akan dieksekusi.

Kata Kunci : Build Operate and transfer (BOT), Hak Tanggungan.

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Ekonomi USU

**)Dosen Pembimbing I,

***)Dosen Pembimbing II

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) diatas Tanah Yang Telah Dibebani Hak Atas Tanggungan (analisis putusan No.311/Pdt.G/2015/Pn.Sby). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini membahas tentang pengaturan-pengaturan perjanjian Build Opera and Transfer pada tanah yang telah di bebankan hak tanggungan, serta ke absahan perjanjian tersebut di atas tanah yang telah dibebankan Hak Tanggungan bila ditinjau dari putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.

311/Pdt.G./2015/Pn.Sby

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan ilmu pengetahuan, bimbingan, bantuan, dukungan secara moril maupun materil serta dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/i demi kemajuan dan perkembangan pendidikan hukum di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Saidin, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Jelly Leviza SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. Dr. Bismar Nasution SH., MH., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus merupakan Dosen Pembimbing I, penulis mengucapkan terimakasih karena telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam proses penulisan skripsi ini.

6. Ibu Tri Murti Lubis, SH., MH., selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum., Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus merupakan Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktuknya, telah sabar, banyak menuntun dan mengarahkan penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

8. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH., MA. Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing Akademik penulis yang selalu memberikan dukungan kepada penulis selama belajar di Fakultas Hukum.

9. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan membantu selama masa perkuliahan.

(7)

10. Teristimewa kepada Papa Ir. Syarmsul Bahri Rangkuti MA dan Mama Tersayang Dan Mama tersayang Fifi Rizani SH., SpN., MKn. yang selalu mendoakan dan memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

11. Termakasih Kepada Sahabat-sahabat ku yang paling aku sayangi walau berbeda kampus tapi tetap support aku Mujahidah Ulya, Nurhaliza, Nova Sukma.

12. Terimkasih kepada Sahabat-Sahabat seperjuangan Amirah Ainun Shofiyyah, Annisa Nur Qomariyah Daulay, Aisyah Maulidina Pane, Kristania Felita, Wina Rebecca Bangun, Ray Fauzan Lubis, Mufti Azizi, Chairil Gibran yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan meluangkan waktunya menemani penulis mengerjakan skripsinya.

13. Terimakasih kepada Sulthan Sulaiman Siddik, yang memberikan semangat, dukungan, dan meluangkan waktunya untuk menemani penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

Demikianlah dengan skripsi ini sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya, penulis dengan kerendahan hati mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan menuju yang lebih baik dan bermanfaat bagi kita semua, terutama para mahasiswa/i dan kalangan praktisi dibidang hukum.

Medan, Januari 2020

Nada Syifa Rangkuti Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang ... 8

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penulisan ... 14

D. Manfaat Penulisan ... 15

E. Tinjauan Pustaka ... 16

F. Metode Penelitian ... 17

G. Keaslian Penulisan ... 20

H. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II KONSTRUKSI HUKUM KERJASAMA BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) BERDASARKAN HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA ... A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Asas-asas hukum dalam perjanjian ... 24

2. Perjanjian Nominaat dan Innominaat ... 32

3. Syarat sah perjanjian dan akibat hukumnya ... 34

4. Wanprestasi dan akibat hukumnya ... 37

B. Perjanjian Kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) berdasarkan hukum perjanjian di Indonesia 1. Perjanjian BOT merupakan perjanjian Innominaat ... 43

2. Sumber hukum dalam perjanjian BOT ... 45

3. Para pihak dalam perjanjian BOT ... 47

4. Syarat sahnya perjanjian BOT ... 49

(9)

C. Konstruksi Hukum Kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) berdasarkan Hukum Perjanjian di Indonesia

1. Bentuk-bentuk dan tujuan Perjanjian BOT ... 50

2. Objek Perjanjian BOT ... 53

3. Hak dan kewajiban para pihak dalam Perjanjian BOT... 55

4. Wanprestasi dalam Perjanjian BOT ... 57

BAB III AKIBAT HUKUM ATAS KERJASSAMA BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) PADA TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK ATAS TANGGUNGAN... A. Tinjauan Umum Hak atas Tanggungan 1. Pengertian dan Unsur-unsur Hak Atas Tanggungan ... 60

2. Pembebanan Hak atas Tanggungan ... 63

3. Hak dan Kewajiban para pihak dalam Perjanjian Hak Atas Tanggungan ... 67

4. Hapusnya Hak atas Tanggungan ... 70

5. Eksekusi Hak atas Tanggungan ... 72

B. Akibat Hukum Atas Kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) Pada Tanah yang telah dibebani Hak Atas Tanggungan 1. Legalitas kerjasama BOT atas Tanah yang telah dibebani Hak atas Tanggungan ... 74

2. Akibat Hukum terhadap Perjanjian BOT apabila pemilik tanah wanprestasi terhadap kreditor pemegang Hak Tanggungan ... 78

3. Perlindungan hukum terhadap pihak pemilik modal (Investor) dalam perjanjian BOT atas tanah yang telah dibebani Hak Atas Tanggungan ... 82

(10)

BAB IV PENERAPAN HUKUM OLEH MAJELIS HAKIM TERHADAP KERJASAMA BUILD OPERATE AND TRASNFER (BOT) PADA TANAH YANG TELAH DIBEBANI HAK ATAS TANGGUNGAN DALAM PUTUSAN No. 311/Pdt.G/2015/Pn.Sby

A. Posisi Kasus

1. Kronologi Singkat dan fakta Hukum ... 90 2. Isu Hukum (Legal Issues) ... 96 3. Dalil-dalil para pihak ... 97 B. Pertimbangan Majelis Hakim dan Putusan

1. Pertimbangan Majelis Hakim ... 110 2. Putusan ... 114 C. Analisa Penerapan Hukum dalam Putusan... 117 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 123 B. Saran ... 125 DAFTAR PUSTAKA ... 127 LAMPIRAN ...

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Karena kelebihan sumber daya, banyak sekali investor – investor asing maupun dalam negeri untuk mendirikan berbagai macam jenis bisnis yang menjanjikan. Demi menyejahterakan rakyatnya, Indonesia mendukung investasi – investasi tersebut karena dapat mendorong pembangunan nasional. Sehingga hal tersebut mampu mewujudkan salah satu tujuan bangsa yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan alinea ke empat Pembukaan Undang – Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD 1945).

Istilah Investasi berasal dari bahasa Latin, yaitu investire (memakai), sedangkan dalam bahasa Inggris, disebut dengan investment. Para ahli memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep teoritis Investasi. Fitzgeral mengartikan investasi adalah “aktivitas yang berkaitan dengan sumber-sumber (dana) yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat sekarang, dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran produk baru di masa yang akan datang”.1

Investasi juga di sebut sebagai penanaman modal. Kegiatan penanaman modal di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1967, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan

1 Salim dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi Di Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2008) Hlm.31

(12)

Undang-Undang No.6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.2 Keberadaan kedua instrumen hukum itu, diharapkan agar investor, baik investor asing maupun investor domestik untuk dapat menanamkan investasinya di Indonesia.3

Adapun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan danTambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA (UU PMA),sedangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang PMDN telah diubahdengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan TambahanUndang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang PMDN (UU PMDN).4

Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 jo.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang PMA (UU PMA) dan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1968 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang PMDN(UU PMDN), dapat dikatakan kegiatan penanaman modal atau investasi di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Di dalam perkembangan hukum di Indonesia Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) kini tidak berdiri secara sendiri-sendiri lagi. Pada saat ini pengaturan mengenai penanaman modal atau investasi telah diatur dalam sebuah undang-undang, yakni Undang-Undang

2Ibid.Hlm.1

3 Ibid.

4 Ressi Purnamasari Affandi, Tesis: Arah Kebijakan Pemerintah dalam Pembentukan Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Bandung : UNPAD,2017) Hlm. 2

(13)

Nomor 25Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM), yang disahkan pada tanggal 26 April 2007.5

Karena ketertarikan investor dalam berinvestasi di Indonesia maka seiring berjalannya waktu ada berbagai macam pola – pola perjanjian yang sudah terbentuk, khususnya dibidang investasi itu sendiri. Akhir – akhir ini banyak bermunculan tipe kontrak kerjasama konstruksi dan pemborongan yang umumnya disesuaikan dengan sistem pembiayaan. Banyak corak ragam tersebut merupakan hasil kreasi para pelaku dalam bisnis konstruksi sebagai tuntutan dari perkembangan bisnis kontruksi itu sendiri. Produk-produk baru di bidan kontrak konstruksi tersebut ada yang merupakan kombinasi dari beberapa pola tradisional, namun banyak pula yang merupakan benar-benar produk yang baru. Kiranya tipe kontrak konstruksi seperti Build Operate and Transfer (BOT).6 Terciptanya berbagai macam pola – pola tersebut disebabkan oleh kebutuhan para pihak untuk menjalankan bisnisnya. Salah satu polanya yaitu pola Build Operate and Transfer (BOT). Pola Build Operate and Transfer (BOT) belakangan ini sering digunakan untuk pembangunan – pembangunan infrastruktur pemerintahan. Selain itu pula sistem ini juga sering digunakan antara kerjasama pemerintah dan swasta untuk berbagai bisnis.

Build Operate and Transfer (BOT) merupakan jenis perjanjian yang baru dikenal di Indonesia pertengahan tahun 1980-an yang diadaptasi dari Amerika dan

5Ibid.

6 Nyoman Martha Jaya, Analisa Perbandingan Kerjasama Proyek Antara Sistem BOT dan Turn Key (Study Kasus Proyek Multy Investmen PT. (Persero) Pos Indonesia,Jurnal Ilmiah Teknik Sipil, Vol 12, No.01, Januari 2008, Hlm 14,; Mahmudi, Kemitraan Pemerintah daerah dan Efektifitas Pelayanan Publik, Sinerji Kajian Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No.1, Januari 2007, Hlm 59.

(14)

Eropa. Pada prinsipnya, Build, Operate and Transfer merupakan perjanjian antara dua pihak, dimana pihak yang satu menyerahkan penguasaan tanah miliknya untuk diatasnya didirikan suatu bangunan yang bersifat komersial oleh pihak kedua (investor), dan pihak kedua berhak mengoperasikan bangunan komersial terserbut dengan memberikan fee tertentu kepada pemilik tanah untuk jangka waktu tertentu, dan menyerahkan kepada pemilik tanah setelah jangka waktu tertentu tersebut habis.7

Perjanjian dengan pola Build Operate and Transfer (BOT) tersebut terjadi bertujuan untuk mengembangkan wilayah pemerintahan pusat maupun daerah untuk membangun infrastruktur yang dapat menunjang kegiatan yang dilakukan pemerintah. Dimana pembangunan tersebut sering sekali terkendala biaya, untuk itu dibutuhkanlah bantuan dana dari pihak lain. Maka dari itu perjanjian dengan pola ini terbentuk. Tidak hanya kerjasama yang terjadi antara pemerintah dan swasta, pola Buid Operate and Transfer (BOT) sekarang sudah sering dipakai untuk kerja sama antar perseorangan maupun badan hukum. Hal ini disebabkan karena tanah yang semakin sulit dicari dan kebanyakan sudah dimiliki oleh orang lain. Sehingga membuat investor ataupun pengusaha susah mendapatkan tempat yang cocok untuk membangun usahanya.

Karena sudah semakin banyak dipakai masyarakat terkadang timbul konflik dan sengketa diantara para pihak. Hal terjadi karena tidak terjalinnya kewajiban antara para pihak sesuai dengan perjanjian. Namun, bisa pula terjadi karena faktor eksternal lain yang dapat merugikan investor. Oleh sebab itu

7 Siti Ummu Adillah, Kontruksi Hukum Perjanjian Build Operate Tranfers (BOT) Sebagai Alternate Pembiayaan Proyek, Jurnal Hukum, Vol. XIV, No. I, April 2004

(15)

diperlukan tinjauan – tinjauan kembali yang dapat menanggulangi hal hal tersebut.

Salah satu permasalahan yang terjadi adalah antara PT. Kemasan Lestari dan Liem Effendy Satiadi. PT. Kemasan Lestari merupakan perusahaan swasta yang melakukan perjanjian sewa menyewa tanah dengan pola Build Operate and Transfer (BOT) kepada saudara Liem Effendy Satiadi. Dimana sewa menyewa tersebut dilakukan di atas 8 (delapan) bidang tanah seluas 20.924 M2 (dua puluh ribu sembilan ratus dua puluh empat meter persegi) dilakukan dibawah tangan dan dilegalisasi dihadapan Notaris setempat pada Oktober 2010. Perjanjian sewa menyewa tersebut dimulai dari 06 Oktober 2010 sampai 05 Oktober 2030 alias selama 20 Tahun.

Sebelumnya diatas tanah milik saudara Liem Effendy Satiadi ini terdapat bangunan dan pula bangunan dan tanah tersebut telah menjadi jaminan bank.

Namun pada 08 September 2008 telah terjadi kebakaran sehingga seluruh bangunan menjadi jaminan itu hancur dan tidak dapat difungsikan. Karena obyek merupakan jaminan, sehingga pihak asuransi telah memberikan gantirugi atas bangunan tersebut. Ganti rugi itu telah di bayarkan pihak asuransi kepada bank untuk melunasi hutang – hutang. Karena telah terlunasinya hutang tersebut, Pihak penggugat alias PT. Kemasan Lestari mendirikan bangunan baru dengan segala instalasi penunjang diatas tanah tersebut.

Namun setelah beberapa tahun berjalan, ternyata pihak lain muncul ingin mengeksekusi tanah tersebut. Pihak itu ialah PT. BANK CIMB NIAGA,TBK., PT. BANK INTERNASIONAL INDONESIA,TBK., PT. BANK NEGARA

(16)

INDONESIA (Persero), Tbk., menurut pihak bank tanah tersebut telah di jaminkan oleh PT. Integra Lestari dan PT. Lestari Karya Makmur. Namun pihak yang bersangkutan wanprestasi sehingga jaminan tersebut haruslah di eksekusi untuk melunasi hutang.

Karena PT. Kemasan Lestari telah membangun diatas tanah tersebut, PT.

Kemasan Lestari merasa keberatan atas keinginan Bank untuk mengeksekusi tanah tersebut, PT. Kemasan Lestari merasa Perjanjian BOT yang dilakukan setelah pembebanan hak tanggungan adalah sah sesuai bukti yang menyatakan telah memberitahukan pihak Bank dan telah ada bukti apriasal atau penilaian secara priodik. Faktanya, Bank tidak mengetahui soal perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) yang dilakukan pihak PT. Kemasan Lestari dan Liem Effendy Satiadi.

Anehnya, meskipun perjanjian Build Operate and Trasfer (BOT) yang dibuat setelah pembebanan hak tersebut dinyatakan tidak sah tetapi bangunan yang berdiri diatasnya tetap tidak bisa di eksekusi oleh Bank karena menurut pertimbangan hakim dari ketrangan saksi para ahli di persidangan. Para ahli berpendapat hukum tanah UUPA menganut azas pemisahan horizontal, artinya dimungkinkan pemilik tanah tidak sama dengan pemilik bangunan yang ada diatasnya. Sehingga dalam perkara ini walaupun bangunan tersebut didirikan diatas perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) yang tidak sah akan tetapi faktannya bangunan tersebut adalah kepunyaan penggugat dan tidak terikat dalam perjanjian kredit antara Tergugat I dengan Tergugat II,III dan IV. Sehingga bangunan tersebut dinyatakan sah dan berharga.

(17)

Dari pertimbangan-pertimbangan hakim atas putusan No.

311/Pdt.G/2015/PN.SBY penulis merasa perlu mengkaji lagi tentang bagaimana pengaturan tentang perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) yang benar dan berkekuatan hukum yang sah. Untuk itu penulis menulis skripsi ini yang berjudul Analisis Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) Diatas Tanah Yang Telah Dibebani Hak Atas Tanggungan (Analisis Putusan No.311/Pdt.G/2015/Pn.Sby).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konstruksi hukum kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) berdasarkan hukum perjanjian di Indonesia?

2. Bagaimana akibat hukum atas kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) pada tanah yang dibebani hak atas tanggungan?

3. Bagaimana penerapan hukum oleh Majelis Hakim terhadap kerja sama Build Operate and Transfer (BOT) pada tanah yang telah dibebani hak tanggungan dalam Putusan Nomor 311/Pdt.G/Pn/Sby.

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas adapun tujuan penulisan yang akan dicapai pada skripsi ini adalah :

1. Untuk memahami dan mengetahui bagaimana konstruksi hukum kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) sesuai hukum perjanjian yang ada di Indonesia.

(18)

2. Untuk memahami dan mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan pada perjanjian kerjasama dengan skema Build Operate and Transfer (BOT) dimana perjanjian kerjasama itu dilakukan diatas tanah yang sudah dibebani hak tanggungan oleh Bank.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan hukum oleh Majelis Hakim atas kasus yang terjadi dalam putusan NO. 311/

Pdt.G/2015/Pn.Sby

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini berupa manfaat teoritis dan praktis yakni : 1. Manfaat Teoritis

a. Menjadi bahan lebih lanjut untuk berbagai kepentingan maupun kajian ilmu yang berkaitan dengan perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) maupun yang berkaitan dengan Hak Tanggungan.

b. Mengetahui perkembangan hukum perjanjian di Indonesia terutama perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) yang dahulu biasa digunakan antara pemerintah dengan swasta, namun sekarang telah dipakai juga oleh antar perorangan atau badan hukum.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat digunakan dan dapat dijadikan refrensi penyelesaian sengketa terkait perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) diatas tanah yang telah dibebani hak atas tanggungan.

(19)

b. Pelaku – pelaku yang akan ataupun yang ingin membuat sebuah perjanjian dengan skema Build Operate and Transfer (BOT) dapat lebih teliti dalam praktik perjanjian itu terutama pada surat kepemilikan hak atas tanah yang akan di jadikan objek kerjasama Build Operate and Transfer (BOT).

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini ada tiga topik atau pun unsur yang akan peneliti bahas yang pertama adalah perjanjian, kedua adalah Build Operate and Transfer (BOT) dan yang terakhir adalah Hak Tanggungan.

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan antara satu atau lebih subjek hukum yang sepakat untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan kata lain pihak satu dan pihak lainnya telah berjanji untuk berbuat sesuatu atau untuk memenuhi sesuatu. Perjanjian juga berisi hak dan kewajiban para pihak yang telah mengikatkan dirinya satu dengan yang lain.8

Build Operate and Transfer (BOT) adalah perjanjian Innominaat yang belum pernah di jelaskan di dalam KUH Perdata. Akan tetapi perjanjian BOT tersebut muncul karena kebutuhan masyarakat. Perjanjian ini di Indonesia disebut dengan perjanjian Bangun, Guna, Serah (BGS). Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan barang/milik kekayaan negara yang berupa tanah oleh pihak lain, dengan cara pihak lain tersebut mendirikan bangunan atau sarana lain berikut fasilitasnya di atas tanah tersebut, serta mendayagunakan dalam jangka waktu

8 Subekti R, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2009) hlm.84

(20)

tertentu, untuk kemudian menyerahkan kembali tanah, bangunan dan atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut beserta pendayagunaannya kepada instansi/lembaga yang bersangkutan setelah berakhirnya jangka waktu yang di sepakati.9

Terakhir adalah tentang Hak Tanggungan. Hak Tanggungan adalah Hak hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.10

F. Metode Penelitian

Metode penelitian menurut Soerjono Soekanto adalah: “Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis,sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistemats adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal – hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu”.11 Sehingga secara sederhana metode penelitian dapat disimpulkan sebagai cara ilmiah dan sistematis untuk menemukan data baru yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan.

9 Keputusan Mentri Keuangan Nomor: 470/KMK.01/1994 tentang Cara Penghapusan dan Pemanfaatan Barang Milik/Kepunyaan Negara.

10 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Pasal 1 angka 1

11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI-Press, 1981) Hlm. 43

(21)

Berdasarkan penjabaran singkat diatas maka metode penelitian yang dipakaian untuk melengkapi skripsi ini adalah :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum Normatif.

Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.12 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).13

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif.14Sehingga penelitian ini nantinya dapat memberikan informasi secara lengkap tentang penggunaan perjanjian Build Operate and Transfer pada tanah yang telah dibebani hak tanggungan.

2. Sumber Data

Data yang dipakai pada penulisan skripsi ini adalah data Sekunder yang diperoleh melalui :

12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), Hlm. 13–14.

13 Hardijan Rusli, Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, Hlm. 50.

14 Soerjono Soekanto, op. cit. Hlm. 32.

(22)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang terdiri atas aturan – aturan tertulis yang mengkat dan biasanya ditaati oleh masyarakat. Aturan tersebut bisa berupa perundang – undangan maupun peraturan yang telah di tetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer yang di pakai pada skripsi ini adalah :

1. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer) Buku 3 tentang Perikatan / Van Verbintenessenrecht

2. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara-Daerah.

3. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

4. Undang – Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

5. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.311/Pdt.G/2015/Pn.Sby b. Bahan Hukum Skunder, yaitu bahan hukum yang berkaitan dengan

bahan hukum primer yang merupakan olahan pemikiran orang – orang yang telah memahami tentang suatu permasalahan biasanya berasal dari pendapat para ahli, buku, jurnal, internet, karya ilmiah.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum skunder maupun bahan hukum priemer. Biasanya berisi penjelasan – penjelasan yang berasal dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library research) yang merupakan pengumpulan data –

(23)

data melalui literatur atau dari sumber buku – buku, peraturan perundang – undangan, karya ilmiah para ahli, artikel – artikel baik dari surat kabar, majalah, media elektronik dan bahan bacaan lain yang terikat dengan penulisan skripsi ini.15

4. Analisis Data

Analisis data yang dipakai untuk melengkapi skripsi ini adalah dengan analisis data kualitatif, yaitu upaya yang dilalukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasi data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.16 Jadi penulis akan mencari data-data yang berkaitan dengan penelitian lalu mengumplkan dan menyusunnya menjadi satu kesatuan yang berujung pada penyelesaian masalah

G. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi dengan judul Analisis Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) Diatas Tanah Yang Telah Dibebani Hak Atas Tanggungan (Analisis Putusan No.311/Pdt.G/2015/Pn.Sby) , adalah murni hasil gagasan dan ide dari penulis. Berdasarkan pemeriksaan di Perpustakan Fakultas Hukum dan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara serta berdasarkan hasil

15Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,2009), Hlm.107

16Lexy J.Moleyong,Metodologi Penelitian,Hlm. 28

(24)

pencarian melalui internet, belum ada skripsi dengan judul yang sama. Sehingga penulis menjamin akan keasliannya.

Penulis membuat skripsi ini dibantu oleh literatur, buku, karya ilmiah dan data data pendukung lainnya sehingga secara ilmiah skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh skripsi yang baik, maka perlu ada sistematika yang teratur dan rinci agar lebih mudah di mengerti dan dipahami. Untuk itu tulisan ini Tulisan ini memiliki 5 (lima) Bab yang terdiri lagi dari sub bab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Bab pertama peneliti menguraikan pendahuluan, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.

Bab kedua dengan judul konstruksi hukum kerja sama build operate and transfer (BOT) berdasarkan hukum perjanjian di Indonesia. Bab ini terdiri dari 3 (tiga) Sub bab masing masing sub bab terdiri lagi pula beberapa uraian. Sub bab yang pertama adalah tinjauan umum tentang perjanjian diuraikan menjadi asas – asas hukum dalam perjanjian , perjanjian nominan dan innominaat, syarat sah perjanjian dan akibat hukumnya, wanprestasi dan akibat hukumnya. Sub ab yang kedua ialah perjanjian kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) berdasarkan hukum perjanjian di Indonesia di uraikan menjadi perjanjian BOT merupakan perjanjian innominaat, sumber hukum dalam perjanjian BOT, para pihak dalam

(25)

perjanjian BOT dan syarat sahnya perjanjian BOT. Sub bab yang ketiga adalah konstruksi hukum kerjasama Build Operate and Transfer (BOT) berdasarkan hukum perjanjian di Indonesia yang di uraikan menjadi bentuk – bentuk dan tujuan perjanjian BOT, objek perjanjian BOT, Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian BOT, wanprestasi dalam perjanjian BOT.

Bab ketiga berjudul akibat hukum atas kerjasama build operate and transfer (bot) pada tanah yang telah di bebani hak atas tanggungan. Di bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab, dan sub bab tersebut di uraikan ke beberapa bagian.

Sub bab pertama ialah tinjauan umum tentang hak atas tanggungan di uraikan menjadi pengertian dan unsur – unsur dalam hak atas tanggungan, pembebasan hak atas tanggungan, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian hak atas tanggungan, hapusnya hak atas tanggungan, eksekusi hak atas tanggungan. Sub bab kedua ialah akibat hukum atas perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) pada tanah tanah yang dibebani hak atas tanggungan yang di uraikan menjadi legalitas kerjasama BOT atas tanah yang telah dibebani hak atas tanggungan, akibat hukum terhadap perjanjian BOT apabila pemilik tanah wanprestasi terhadap kreditur pemegang hak atas tanggungan, perlindungan hukum terhadap pihak pemilik modal (Investor) dalam perjanjian BOT atas tanah yang telah dibebani hak atas tanggungan.

Bab keempat berjudul penerapan hukum oleh majelis hakim terhadap kerjasama build operate and transfer (bot) pada tanah yang telah di bebani hak atas tanggungan dalam putusan nomo 311/pdt.g/pn.sby. Bab ini terdiri dari 3 sub bab yang mana sub bab tersebut juga di uraikan kebeberapa bagian. Sub bab

(26)

pertama adalah kasus posisi diuraikan menjadi kronologi singkat dan fakta hukum, isu hukum (legal issues),dalil – dalil para pihak. Sub bab kedua ialah pertimbangan majelis hakim dan putusan yang terakhir ialah sub bab ketiga yakni analisis penerapan hukum dalam putusan.

Bab kelima merupakan penutup. Bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab, yaitu Kesimpulan dan saran. Dimana bab ini merupakan bab penutup dari keseluruhan materi skripsi.

(27)

BAB II

KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) BERDASARKAN HUKUM PERJANJIAN DI

INDONESIA.

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Asas Hukum Dalam Perjanjian

Suatu aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip sebagai rohnya. Merupakan kejanggalan bahkan konyol apabila suatu norma tidak mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip dalam konteks operasionalnya.17 Terkait dengan pengertian “asas” atau

“prinsip” yang dalam bahasa Belanda disebut “beginsel” atau “principle” (bahasa Inggris) atau dalam bahasa Latin disebut “principium” (“primus” artinya pertama dan “capare” artinya mengambil atau menangkap), secara leksikal berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir, bertindak atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.18Asas hukum berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental, mengandung nilai-nilai, dan tuntutan etis.19

Secara umum nilai-nilai keadilan haruslah merupakan pencerminan sikap hidup karakteristik bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 45 yaitu didasarkan pada nilai proporsional, nilai keseimbangan, nilai kepatutan, itikad baik, dan perlindungan. Namun, di dalam pembuatan dan

17 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian asas proporsionalitas dalam kontrak komersial,(Jakarta:Prenada Media,2010), Hllm. 21.

18 Ibid.

19 Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2000) Hlm.45

(28)

pelaksanaan perjanjian tersebut sering tidak berjalan dengan baik, bahkan menimbulkan konflik, tidak mencerminkan keadilan bagi para pihak, terutama dalam perjanjian baku, ini tentu bertentangan dengan tujuan dari pembuatan perjanjian tersebut. Hal semacam ini memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya. Eksistensi hukum sangat diperlukan untuk dihormati dan asas- asas hukum dijunjung tinggi. Asas-asas dalam hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan masyarakat. Harapan untuk menaati hukum dalam praktik hendaklah berjalan dengan baik.20

Untuk mencapai perjanjian yang mengatur hubungan hukum yang jelas maka asas-asas hukum haruslah ada didalam perjanjian tersebut. Menurut Buku II KUH Perdata dikenal lima macam asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik, asas kepribadian.21

A. Asas Kebebasan Berkonrak

Para pihak yang membuat kontrak ataupun perjanjian pastilah memiliki kehendak ataupun tujuan yang ingin dicapai. Untuk itu kehendak tersebutlah yang dituangkan pada kesepakatan. Berdasarkan ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan

20 Niru Anita Sinaga,Peranan Asas-asas Hukum Perjanjian dalam Mewujudkan Tujuan Perjanjian Binamulia Hukum Vol.7 No.2, Desember 2018, Hlm. 108

21 Salim,Abdulah dan Wiwiek, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU),(Jakarta: Sinar Grafika,2007) Hlm. 1

(29)

siapapun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan; dan (4) menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.22

Selain itu kebebasan berkontrak atau Freedom of Contract memiliki ketentuan sebagai berikut :

(a) Memenuhi syarat sebaga suatu kontrak, dan (b) Tidak dilarang oleh undang-undang, dan (c) Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan

(d) Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (Open System) dari hukum kontrak tersebut.23

Kebebasan berkontrak ini juga merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi dengan semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan berindividu. Didalam BW buku III menganut sistem terbuka, dimana memberikan keleluasaan para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur BW buku III hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht – aanvullendrecht ).24

B. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme berdasarkan Pasal 1320 ayat 1 BW bahwa syarat sah nya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dimana asas ini berkaitan dengan “kehendak para pihak” untuk saling mengikatkan diri menimbulkan kepercayaan. Sehingga perjanjian tersebut tidak akan sah bilamana

22 Ibid. Hal.2

23 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),(Bandung: Citra Aditya Bakti,2001) Hlm. 30

24 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit Hlm. 109.

(30)

tidak ada kata “sepakat”. Meskipun perjanjian sudah dibuat sedemikian rupa dan ternyata salah satu pihak tidak sepakat, maka tidak mengikatlah isi perjanjian tersebut.

Jadi dengan adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban para pihak. Dengan demikian pada prinsipnya syarat tertulis tidak diwajibkan untuk suat kontrak. Kontrak lisan pun menurut hukum sah-sah saja. Akan tetapi, terhadap beberapa jenis kontrak diisyaratkan harus dibuat dalam bentuk tertulis atau bahkan harus dibuat dihadapan pejabat tertentu.25 Pada intinya, kontrak dibuat bukan hanya sekedar menjadi formalitas saja, tapi harus ada konsensual atau persesuaian kehendak untuk terjadinya kesepakatan bersama.

C. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas Pacta Sunt Servanda adalah asas yang berkaitan dengan akibat hukum dari perjanjian. Dimana jika suatu saat terjadi sesuatu maka hakim ataupun pihak ketiga harus tunduk pada substansi yang ada pada kontrak atau perjanjian tersebut. Didalam asas ini suatu kontrak juga berlaku seperti Undang-Undang.

Asas Pacta Sunt Servanda disebut juga asas daya mengikat kontrak, karena setiap para pihak harus tunduk pada hak dan kewajiban yang ada didalam kontrak tersebut.

Kontrak disebut juga dengan perjanjian, perjanjian didasarkan pada janji.

Janji itu mengikat (Pacta Sunt Servanda) sehingga perlu diberikan kekuatan untuk

25 Munir Fuady, Op. Cit. Hlm. 31

(31)

berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya berlaku atau daya mengikat kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.26 Hal ini juga terdapat pada pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang”.

Asas ini berawal dari hukum gereja, dimana ada kedua belah pihak yang bersepakat lalu dikuatkan dengan bersumpah, perkembangan asas ini menurut hukum romawi terbagi atas empat tahap, pertama tahap dimana kekuatan mengikat kontrak terhadap penyerahan barang, kedua tahapan mengikat kontrak pada pengucapan,pernyataan dan sumpah, ketiga tahap mengikat kontrak pada bentuk-bentuk yang tertulis seperti buku kredit. Terakhir adalah tahapan dimana kesepakatan para pihak seperti jual beli, sewa menyewa, kerja sama dan sebagainya.27

Pada perkembangannya, asas Pacta Sunt Servanda tidak perlu lagi membuat sumpah, dengan telah ada kata “sepakat” maka mengikatlah perjanjian tersebut kepada pihak pihak yang sepakat. Kekuatan sepakat disini ialah terhadap komponen-komponen yang telah di sepakati terkait hak dan kewajiban para pihak.

Kekuatan mengikat kontrak (strekking) ini hanya sebatas para pihak yang membuatnya. Walau pada utamanya hanya mengikat pihak-pihak yang berkontrak, tetapi bisa juga meluas kepada pihak lain beradasar padal 1317 BW

“Lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna

26 Ibid, Hal. 124

27 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, Hlm. 125

(32)

kepentingan seorang pihak ketiga, apabbila suatu penetapan perjanjian, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat janji seperti itu.”28

Terakhir, asas ini juga memuat kepastian hukum, yaitu para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum dan oleh karenanya mendapatkan perlindungan hukum, apabila terjadi sengketa dalam perjanjian maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa pihak yang melanggar untuk melaksanakan hak dan kewajibannya yang telah disepakati di perjanjian.29 Hal ini di kuatkan pada penerapan-penarapan hakim di beberapa putusan contoh putusan tanggal 07 Oktober 1972 No. 401K/Sip/1972, dengan pertimbangan “... Sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung perihal bunga hutang, maka berapapun besar bunga, asal sudah di perjanjikan harus dipenuhi.”

D. Asas Itikad Baik

Dalam perjanjian, asas itikad baik juga merupakan komponen utama hal ini berdasarkan Pasal 1338 (3) BW menyatakan bahwa, “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Itikad baik bukanlah unsur ataupun istilah dalam hukum, akan tetapi itikad baik merupakan suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan”. Kesulitan dalam mengartikan itikad baik tersebut tidak menjadikan itikad baik sebagai suatu istiah

28 Ibid, Hlm. 131

29 Dadang Sukandar, Pacta Sunt Servanda (https://www.legalakses.com/pacta-sunt- servanda/ diakses pada 4 Desember 2019)

(33)

yang asing.30 Selain itu menurut M.L. Wery, itikad baik merupakan perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja tapi dengan melihat kepentingan orang lain.31 Maka perjanjian haruslah dibuat sesuai dengan norma-norma kesusilaan dan mengindahkan kepatutan.32

Tujuan dari asas itikad baik ini adalah agar tidak adanya niatan buruk dalam membuat perjanjian tersebut yang dapat merugikan mitranya maupun tidak pula merugikan kepentingan umum. Itikad baik tidak hanya di gunakan saat praktik saja tetapi saat membuatnya juga, sehingga dari itikad baik tersebut itulah dapat menentukan isi dari perjanjian tersebut. Secara umum itikad baik dapat dibedakan atas dua :

1. Itikad baik dalam pengertian subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan perbuatan hukum atau perbuatan dan sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum, misalnya saat membuat perjanjian dibutuhkan kejujuran, tidak menyembunyikan sesuatu.

2. Itikad baik dalam pengertian objektif, yaitu kepatutan seseorang pada praktik pelaksanaan perjanjian, tidak adanya hal hal yang melenceng dari apa yang sudah di janjikan.

30 Satria Dharma, Itikad Baik Menurut Hukum, (http://lbh-

madani.blogspot.com/2013/02/itikad-baik-menurut-hukum.html diakses pada 4 Desember 2019).

31 Khoirul, Hukum Kontrak, Slide 1, Ppt. (http://Sunan-

ampel.ac.id.http://www.blogger.com/post- create.g?blogID=4721434971760548512#_ftnref2, diakses tanggal 4 Desember 2019).

32 Muhammad Abdulkadir, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992) Hlm.99

(34)

Itikad baik juga dibedakan dalam sifatnya yaitu nisbi (relatif-subjektif) dan mutlak (absolut-objektif). Pada itikad baik yang relatif-subjektif, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad baik yang absolut-objektif atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran objektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya (penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang objektif).33

Dalam azas itikad baik sebenarnya kesimpulannya ada pada pihak pihak yang berkontrak maupun membuat suatu perjanjian ataupun kesepakatan, hendaklah tidak ada maksud tujuan jahat yang dapat merugikan orang lain, terutama tipu muslihat dan pula mengakali pihak lain.

E. Asas Kepribadian.

Di dalam asas kepribadian adalah asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Maksudnya adalah didalam perjanjian tersebut dibuat untuk diri dari pihak-pihak yang membuatnya. Karena hakikatnya orang yang melakukan kesepakatan dengan pihak lain pasti memiliki tujuan untuk dirinya sendiri. Sesuai dengan pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 berbunyi

“pada umumnya tak seorang pun dapat mengikat diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, kecuali untuk dirinya sendiri” Dan pasal 1340 berbunyi “perjanjian-perjanjian hanya berlaku di antara pihak-pihak yang membuatnya”.34

33 N. E. Algra. et. al.,Kamus Istilah Hukum Fokema Andreae Belanda-Indonesia, (Jakarta:

Bina Cipta, 1983), Hlm. 580-581

34 B.N Marbun, Membuat Perjanjian Yang Aman dan Sesuai HukumI, (Jakarta: Puspa Swara, 2009), Hlm. 6

(35)

Asas ini juga menekankan bahwasannya didalam perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang telah membuatnya, sehingga tidak boleh didalam perjanjian membebani pihak ketiga. Pembebanan kepada pihak ketiga bisa dilakukan asal dengan sesuai dengan ketentuan yang ada dipasal 1317 KUH Perdata yakni:“Lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat suatu janji seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut menyatakan hendak menggunakannya.”

2. Perjanjian Nominaat dan Innominaat

Perjanjian apabila digolongkan berdasarkan namanya menurut pasal 1319 KUH Perdata; Artikel 1355 NBW terbagi atas kontrak nominaat (bernama) dan kontrak Innominaat (tidak bernama). Kontrak nominaat dalam bahasa Belanda ialah enoemd overeenkomst. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang namanya telah ada dan dikenal di KUH Perdata. Perjanjian tersebut berupa jual beli, sewa- menyewa, hibah, pinjam pakai, penanggungan dan lain-lain.35

Sedangkan pada perjanjian tidak bernama atau Innominaat adalah perjanjian yang tidak ada disebutkan maupun dijelaskan di KUHP. Perjanjian itu timbul dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, seperti perjanjian waralaba, perjanjian antara dua pihak dalam kerjasama bisnis ataupun joint venture,

35 Salim, Abdullah, Wiwiek, Op. Cit., Hlm. 18

(36)

perjanjian sewa beli dan lain sebagainya. Timbulnya perjanjian tidak bernama ini dilatar belakangi bahwa KUH Perdata yang merupakan produk hukum dijaman kolonial Belanda tidak dapat menampung atau mengakomodir kebutuhan, keinginan, kepentingan dalam kehidupan yang berkembang dalam masyarakat, khususnya bagi kalangan pelaku bisnis. Meskipun munculnya jenis perjanjian tidak bernama yang tidak ditemukan dalam KUH Perdata, bukan berarti perjanjian (perjanjian tidak bernama ) tersebut melanggar atau bertentangan dengan KUH Perdata.36

Namun belakangan, tidak adalagi yang disebut sebagai perjanjian tidak bernama, semua perjanjian bernama hanya saja tidak disebutkan nama itu didalam KUH Perdata. Perjanjian tidak bernama ini ada perjanjian baru dan perjanjian lama yang dicampurkan ataupun di kombinasi sehingga membentuk sebuah perjajian baru. Terjadinya perjanjian yang tidak diatur ataupun disebutkan dalam KUH Perdata maupun KUHD ini, berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak, dimana setiap orang bebas membuat kontrak dengan bentuk apa saja sesuai kebutuhan dan kontrak atau perjanjian tersebut tetap sah37.

Perjanjian tidak bernama diatur pada pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi: “semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”.

36 Irawan Soerdjo, Hukum Perjanjian dan Pertanhan Perjanjian Build Operate And Transfer (BOT), (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2017) Hlm.36

37 ibid

(37)

3. Syarat Sah Perjanjian dan Akibat Hukumnya

Suatu perjanjian dikatakan sah dan mengikat kedua belah pihak sehingga menimbulkan hak dan kewajiban yanag jelas antara kedua belah pihak, pada intinya syarat sah perjanjian dalam pasal 1320 KUH Perdata mencakup 4 unsur, yaitu ;

(1). Adanya kesepakatan kedua belah pihak

(2). Kecapakan untuk melakukan perbuatan hukum (3). Adanya objek;dan

(4). Adanya kausa yang halal.

Pada doktrin hukum perjanjian, unsur pertama dan kedua merupakan syarat subyektif dan unsur ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Tidak dipenuhinya syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat dimohonkan untuk dibatalkan, akan tetapi sebelum adanya pembatalan perjanjian tersebut tetap sah.

Apabila tidak memenuhi syarat obyektif, berarti perjanjian tersebut otomatis batal demi hukum, dan dianggap tidak pernah ada sama sekali.38

1. Adanya Kesepakatan kedua belah pihak

Kesepakatan merupakan kerelaan dari para pihak dalam melaksanakaan kewajiban dan menerima hak yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan bersama sepakat juga merupakan tawar menawar yang terjadi, bila sang penawar menawarkan dan yang ditawarkan menerima tawaran maka telah terjadilah kesepakatan, dengan kata lain kedua pihak setuju dengan kehendak yang sama.

Dimana kesepkatan itu sendiri adalah hal yang sulit di rumuskan kapan kata

38 Ibid,Hlm. 25

(38)

sepakat itu terjadi, untuk itu menurut pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata persesuaian pernyataan kehendak adalah berupa : 39

a. Bahasa yang lengkap dan ditulis b. Bahasa yang sempurna secara lisan

c. Bahasa yang kurang sempurna, sepanjang dapat dimengerti dengan jelas oleh pihak lawannya

d. Bahasa isyarat sepanjang dapat diterima oleh pihak lawannya e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami pihak lawannya,

Biasanya yang paling banyak dilakukan adalah dengan bahasa yang sempurna secarala lisan dan tertulis, sebab perjanjian tetulis memiliki poin plus karena memiliki kepastian hukum sebagai alat bukti di kemudian hari bila terjadi sengketa.

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

Kecakapan merupakan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum.

perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dilakukan manusia yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak. Untuk itu, perjanjian merupakan salah satu perbuatan hukum. kecakapan seseorang ditentukan berdasarkan undang-undang, yakni orang yang sudah dewasa berusia lebih dari 21 tahun ataupun yang sudah menikah, hal ini dicetuskan dalam pasal 330 KUH Perdata “ Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.”

39 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008 ) Hlm. 33

(39)

Akan tetapi kecakapan tidak serta merta tentang usia kedewasaan.

Kecakapan juga kaitannya dengan kelayakan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, apakah seseorang itu faham atas akibat hukum dari tindakannya. Selain itu kecakapan juga soal kewenangan. Kewenangan yang dimaksud adalah kapasitas seseorang dalam melakukan perbuatan hukum tersebut. Bilamana telah terpenuhi umur dewasa menurut hukum, serta kelayakan untuk melakukan perbuatan hukum akan tetapi dia tidak memiliki kewenangan maka ia tidak berhak dalam menandatangani ataupun menyetujui suatu perjanjian ataupun kontrak. Apabila dia lakukan, padahal ia tidak mempunyai kewenangan, maka jelaslah kontrak tersebut tidak sah.

3. Adanya Objek

Adanya objek adalah adanya sesuatu yang diperjanjikan atau bahasa belandanya ialah Onderwerp van de Overeenkomst. Menurut pasal 1333 KUH Perdata perjanjian haruslah terdapat objek yang diperjanjikan. Objek tersebut bisa berupa barang atau benda serta prestasi. Prestasi yang dimaksud adalah sesuatu yang hendak dicapai. Ada tiga bentuk prestasi yakni memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Bilamana tidak memiliki objek dalam bentuk barang atau benda, maka objek perjanjian dalam bentuk prestasi berupa penjelasan tentang hak dan kewajiban yang disepakati.

Hak dan kewajiban yang disepakati tersebut juga harus jelas dan rinci, sehingga dapat menjadi suatu objek perjanjian. Jika tidak ada sesuatu yang diperjanjikan maka tidak adalah objek perjanjia tersebut, sehingga berakibat batal

(40)

demi hukum (vanrechtwegenitig) dan perjanjian tersebutpun dianggap tidak pernah ada.

4. Adanya Kausa Yang Halal

Syarat sah perjanjian yang terakhir adalah adanya kausa yang halal atau sebab yang halal. Menurut pasal 1335 yang berbunyi “ suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang tidaklah mempunyai kekuatan.” Secara jelas bahwa bahwa suatu perjanjian mempunyai tujuan tertentu. Halal yang terdapat didalam KUH Perdata tidak dijelaskan. Akan tetapi menurut pasal 1337 KUH Perdata terdapat larangan dalam membuat perjanjian apabila perjanjian tersebut memiliki sebab yang :

a. Bertentangan dengan undang-undang b. Bertentangan dengan kesusilaan

c. Bertentangan dengan ketertiban umum.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu sebab yang halal adalah suatu yang tidak dilarang di pasal 1337 KUH Perdata. Bilamana suatu perjanjian telah bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum maka perjanjian tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum, serta dianggap tidak pernah ada dan pada akhirnya tidak mendapatkan perlindungan hukum.

4. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya

Wanprestasi adalah kebalikan dari prestasi. Prestasi yang ada didalam hukum kontrak berupa pelaksanaan dari apa yang telah disepakati, jelasnya adalah saat membuat kontrak masing masing pihak telah setuju apapun yang ketentuan yang

(41)

ada didalam kontrak tersebut, pelaksanaan ketentuan maupun terms dan conditions inilah disebut sebagai prestasi. Sedangkan wanprestasi melupakan lawan dari prestasi, yakni tidak adanya pelaksanaan dari apa yang sudah disepakati ataupun pelaksanaan yang dilakukan tidak sesuai apa yang telah diperjanjikan.40

Tindakan wanprestasi merupakan tindakan yang merugikan salah satu pihak, sehingga perlu adanya ganti rugi. Dalam tindakan wanprestasi dapat terjadi karena kesengajaan,kelalaian maupun tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).

namun didalam hukum kontrak tidak memerlukan apakah kelalaian dilakukan sengaja atau tidak, sebab akibat hukumnya tetap sama yaitu ganti rugi. Menurut Mariam Darus Badrulzaman ada tiga bentuk dari wanprestasi yaitu pertama, debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan; kedua, debitur terlambat memenuhi perikatan; dan ketiga, debitur keliru dan tidak pantas memenuhi perikatan.41

Pada umumnya wanprestasi baru ada ketika ada pernyataan lalai (in mora stelling; ingebereke stelling) dari pihak kreditur kepada debitur. Pernyataan lalai ini pada dasarnya bertujuan menetapkan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitur untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditor. Selain pernyataan lain adapula sommatie yaitu peringatan atau pernyataan tertulis secara resmi dari kreditur kepada debitur melalui Pengadilan Negeri. Somasi ini dilakukan minimal tiga kali oleh kreditor atau jurusita apabila tidak di indahkanya, maka kreditor berhak membawa

40 Munir fuady, Op.cit, Hlm. 87

41 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Perikatan dengan Penjelasan , (Bandung: alumni, 1983) Hlm. 23

(42)

kepengadilan lalu setelah itu pengadilan lah yang menentukan apakah debitor wanprestasi atau tidak.

Dengan adanya wanprestasi pihak yang dirugikan dapat mempunyai hak gugat dalam upaya penegakan hak kontraktualnya, sebagaimana yang diatu pasal 1267 BW yang menyatakan bahwa “ pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk mememnuhi kontrak, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.” 42

Setelah dinyatakan wanprestasi maka akan menimbulkan akibat hukum.

akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala peruatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.43 Akibat hukum yang ditimbulkan bilamana telah dinyatakan wanprestasi ada 4 (empat) macam yaitu :

a. Ganti rugi

b. Pembatalan perjanjian

c. Peralihan resiko kepada debitur sejak terjadinya wanprestasi d. Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan dimuka hakim.

a. Ganti rugi

Menurut pasal 1243 KUH Perdata yang berbunyi:“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan,

42 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., Hlm. 261

43 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Setia, 2011). Hlm. 71

(43)

bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah di tentukan”

Dalam undang-undang ketentuan ganti rugi telah diatur apa saja yang menjadi ketentuan ganti rugi. Ketentuan tersebut berisi batasan apa saja yang bisa dituntut sebagai ganti rugi. Dengan demikian seseorang yang telah lalai masih dilindungi oleh undang-undang agar terhindar dari kesewenangan yang dilakukan kreditur.44 Batasan yang dimaksud dalam undang-undang adalah Pasal 1249 KUH Perdata berbunyi : “ Jika dalam suatu perikatanan, si yang lalai memenuhinya, sebagai ganti rugi harus membayar suatu jumlah uang tertentu, maka pihak yang lain tidak boleh diberkan suatu jumlah yang lebih maupun yang kurang dari pada jumlah tersebut”.

Dari pasal diatas artinya, apa yang sudah di tentukan sebagai ganti rugi maka itulah yang harus dibayar tidak boleh dikuragi ataupun dilebihkan. Apabila ganti rugi tidak di sebutkan di dalam perjanjian, maka besarnya ganti rugi ini harus ditentukan berdasarkan kerugian yang benar-benar telah terjadi, atau dapat diduga sedemikian rupa sehingga keadaan kekayaan dari si berpiutang harus sama seperti seandainya siberutang memenuhi kewajibannya. Kerugian yang jumlahnya melampaui batas-batas yang dapat diduga tidak boleh ditimpakan kepada debitur.

Kreditur harus mampu pula membuktikannya di depan pengadilan bahwa debitur telah melakukan wanprestasi dan dapat membuktikan jumlah dari kerugian tersebut. Namun kembali lagi kepada isi dari perjanjian,biasanya

44 Dermina Dalimunte, Akibat Hukum Wanprestasi dalam Perspektif KitabUndang-Undang Hukum Perdata (BW),Jurnal Al-Maqasid Vol. 3 No. 1 Edisi Januari – Juni 2017, Hlm. 8

(44)

didalam kontrak sudah ditetapkan soal ketetapan ganti rugi secara pasti, dan pula terdapat klausula-klausula tidak bisa dilaksanakannya perjanjian karena “force majure” yang membebaskan pihak untuk melakukan prestasi.45

b. Pembatalan perjanjian

Pembatalan yang dimaksudkan disini bukan pembatalan perjanjian yang dikarenakan tidak memenuhi syarat sah perjanjian. Akan tetapi sebagai sanksi dari pihak kreditur kepada pihak debitur yang telah wanprestasi. Karena dalam perjanjian timbal balik, hak dankewajiban suatu pihak selalu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lain, yang dalam hukum Romawi sebagai suatu asas yang menyatakan apabila suatu pihak dalam perjanjian timbal balik tidak memenuhi kewajibannya maka pihak lain pun tidak perlu memenuhi kewajibannya.46

Pembatalan perjanian dilakukan bertujuan untuk mengembalikan kedua belah pihak ke keadaan sebelum terjadinya perjanjian, semisal sebelumnya sudah ada penerimaan sesuatu dari pihak lain, baik itu berupa barang, uang dan lain sebagainnya pokoknya harus dikembalikan dan perjanjian itu di tiadakan.47 Pada pasal 1226 KUH Perdata ada tiga hal syarat untuk terlaksanakannya pembatalan perjanjian yaitu :

1. Adanya persetujuan timbal balik.

2. Adanya wanprestasi.

45 Munir Fuady, Op. Cit.

46 Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT) Membangun Tanpa Harus Memiliki Tanah (Persepektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian dan Hukum Publik). (Bandung: Keni Media, 2013), Hlm. 84-85.

47 Subekti, Op. Cit. , Hlm.49

(45)

3. Adanya putusan hakim.

Sebelum kreditur menuntut pembatalan, maka harus ada terguran sebagaimana diatur pasal 1238 KUH Perdata. Namun, setelah itu wanprestasi tidak terjadi begitu saja, harus ada putusan hakim yang menyatakan perjanjian tersebut batal.

Bila mana tidak dimintakan kepada hakim pembatalan perjanjian maka perjanjian tersebut masih mengikat secara hukum, dan bila hakim sudah menyatakan batal perjanjian tersebut maka tidak adalagi kewajiban dari para pihak untuk prestasi.

Tidak ada hubungan hukum antar para pihak, bila sebelum pembatalan terlah prestasi salah satu pihak, maka pihak lain dapat meminta untuk mengembalikannya. Sehingga bisa dimintakan kepada hakim pembatalan perjanjian beserta ganti rugi akibat wanprestasi yang dibuat pihak lain itu.48

c. Peralihan resiko sejak terjadinya wanprestasi

Peralihan resiko dapat digambarkan sebagai berikut: Menurut pasal 1460 Kitan Undang-Undang Hukum Perdata, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli meskipun barangnya belum diserahkan.“Kalau si penjual itu belum terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual, jadi dengan lalainya si penjual, resiko itu beralih kepada dia“. Menurut pasal di atas resiko atas barang yang diperjanjikan dijual, sejak ditutupnya perjanjian jual beli dibebankan kepada si pembeli. Kalau si penjual terlambat menyerahkan maka ia telah melakukan wanprestasi. Dapat disimpulkan dalam perjanjian timbal balik, apabila terjdi keadaan memaksa, sehingga suatu pihak

48 Anita Kamilah, Op. Cit. Hlm. 86

Referensi

Dokumen terkait