• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Kerjasama Build Operate and Trasnfer (BOT) Berdasarkan Hukum Perjanjian di Indonesia

KONSTRUKSI HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT) BERDASARKAN HUKUM PERJANJIAN DI

B. Perjanjian Kerjasama Build Operate and Trasnfer (BOT) Berdasarkan Hukum Perjanjian di Indonesia

1. Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) Merupakan Perjanjian Innominaat

Ragam tipe kontrak kontruksi seiring perkembangan jaman ada beraneka ragam. Ada yang mencoba menkombinasikan dengan tipe kontrak tradisonal dan moderen adapula tipe kontrak yang dibuat benar-benar baru tanpa adanya campuran kontrak terdahulu, salah satunya adalah Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT). Perjanjian BOT merupakan perjanjian baru, dikenal di Indonesia sekitar tahun 1980-an yang diadaptasi dari amerika dan eropa. Perjanjian BOT mempunyai prinsip dimana pihak yang satu menyerahkan penguasaan tanah miliknya untuk diatasnya didirikan suatu bangunan yang bersifat komersial oleh pihak kedua (investor), dan pihak kedua berhak mengoprasikan bangunan

49 Dermina Dalimunte, Loc. Cit. Hlm. 10

komersial tersebut dengan memberikan fee tertentu kepada pemilik tanah dalam jangka waktu tertentu, dan menyerahkan kepada pemilik tanah setelah jangka waktu itu habis.50

Di Indonesia perjanjian ini awalnya dibuat oleh masyarakat dan pemerintah dalam menunjang pembangunan infrastruktur. Namun seiring perkembangan, kontrak ini juga sering di pakai antar swasta. Sehingga awal mula kontrak ini adalah baru dan dibuat oleh masyarkat dan dinamai oleh masyarakat Perjanjian ini memiliki beberapa istilah, ada yang menyebutnya sebagai BOT ada juga yang menyebutnya sebagai bangun, guna, serah. Bangun, guna serah merupakan terjemahan dari BOT.51

Perjanjian ini merupakan perjanjian yang lahir berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang disimpulkan dari pasal 1338 KUH Perdata ayat (1). Dari asas tersebut muncullah perjanjian ini guna melengkapi kebutuhan masyarakat untuk mendukung bisnisnya, untuk itu masyarakat membuat sendiri metode dari perjanjian ini dan menamainya. Karena perjanjian ini merupakan perjanjian yang baru, untuk itu perjanjian ini tidak ditemukan ataupun disebutkan di dalam KUH Perdata, makanya perjanjian ini disebut sebagai perjanjian tidak bernama (onebenoemde overeenkomst).

Meskipun disebut perjanjian innominaat atau tak bernama dan pula tak disebut didalam KUH Perdata, perjanjian ini tetap sah sebagai perjanjian yang berkekuatan hukum karena dalam pembentukan perjanjian ini menerapakan asas kebebasan berkontrak yang tertera pada pasal 1338 KUH Perdata. Di beberapa

50 Siti Ummu Adillah, Loc.Cit.

51 Irawan Soerdjo, Op. Cit., Hlm. 56

undang-undang telah ada beberapa yang menyebutkan tentang perjanjian BOT itu sendiri seperti, Keputusan Mentri Keuangan Nomor: 470/KMK.01/1994 tentang Cara Penghapusan dan Pemanfaatan Barang Milik/Kepunyaan Negara, disebutkan bahwa :

“ Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan barang/milik kekayaan negara yang berupa tanah oleh pihak lain, dengan cara pihak lain tersebut mendirikan bangunan atau sarana lain berikut fasilitasnya di atas tanah tersebut, serta mendayagunakan dalam jangka waktu tertentu, untuk kemudian menyerahkan kembali tanah, bangunan dan atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut beserta pendayagunaannya kepada instansi/lembaga yang bersangkutan setelah berakhirnya jangka waktu yang di sepakati.”

Lalu juga terdapat di Keputusan Mentri Keuangan Nomor:

248/KMK.04/1995 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Pihak-pihak yang melakukan kerja sama dalam bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah, selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara sebagaiman atelah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 pada Pasal 1 angka 12.52

2. Sumber hukum dalam perjanjian Build Operate and Transfer (BOT).

Hingga saat ini pengaturan BOT masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur perjanjian BOT dan saat ini tengah disusun rancangan Undang-undang Tentang Perjanjian BOT. Peraturan yang menjadi dasar dalam Perjanjian BOT meliputi aspek Hukum Perdata, Hukum Pertanahan (Agraria) dan Hukum Administrasi53.

52 Irawan Soerdjo, Op. Cit, Hlm. 59

53 Ibid.,Hlm. 62

Pertama, Hukum Perdata pengaturan dari aspek Hukum Perdata dapat kita

lihat di dalam KUH Perdata, khusus nya Buku III. Beberapa ketentuan Buku III KUH Perdata yang dapat dijadikan dasar pengaturan bagi perjanjian BOT adalah Titel II Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1352 KUH Perdata. Akan tetapi sumber hukum utama bagi lahirnya BOT adalah pasal 1338 KUH Perdata yang mengatur tentang kebasan berkontrak.

Kedua, aspek Hukum Pertanahan (agraria), perjanjian BOT tidak terepas

dari aturan-aturan (regulasi) di bidang pertanahan (agraria) misalnya, Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintahan, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Mentri, Instruksi Mentri, Peraturan dan Keputusan Kepala BPN RI sehubungan dengan perolehan, pengelolaan, penggunaan, pemindahan maupun pemanfaatan tanah sebagai obyek perjanjian BOT. Ketentuan bersumber pada Pasal 33 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Ketiga, yang terakhir adalah aspek Hukum Administrasi, pengaturan

perjanjian BOT tidak dapat terlepas dari peraturan perundang-undangan yang mengatur barang milik negara/daeerah. Hal ini dikarekanakan obyek perjanjian BOT adalah kekayaan negara yang harus dipertanggungjawabkan dalam pengelolaannya, apapun bentuknya, termasuk bila diserahkan kepada pihak ketiga (swasta/investor) melalui BOT.

Berikut pula merupakan pelengkap yang dijadikan dasar pengauran perjanjian BOT adalah :

1. UU nomor 1 Tahun 20004 tentang Perbendaharaan Negara

2. PP Nomor 38/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/

Daerah jo PP Nomor 27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah.

3. Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaaan Barang/ Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.

4. Peraturan Mentri Keuangan RI Nomor 248/KMK.04/1995, tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Pihak yang melakukan kerjasama dalam bentuk perjanjian bangun guna serah.

5. Peraturan Mentri Keuangan RI 50/PMK.06/2014 jo Keputusan Mentri Keuangan RI Nomor 96/PMK.06/2007 jo Keputusan Mentri Keuangan RI nomor 470/KMK.01/1994, tentang Cara Penghapusan dan Pemanfaat Barang Milik Negara.

3. Para Pihak dalam Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT).

Merujuk kepada pengertian perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) diberbagai sumber yang pada intinya, perjanjian BOT merupakan perjanjian yang isinya berupa pemanfaatan tanah atau lahan yang dimiliki seseorang, badan hukum maupun pemerintah yang di atasnya akan di bangun bangunan oleh investor dan digunakan investor dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kespakatan.

Menurut Anjar Pachta Wirana yang di sebut para pihak dalam perjanjian BOT adalah pihak Investor dan pihak pemilik tanah.54 Para pihak dalam perjanjian BOT ini juga merupakan Subjek Perjanjian BOT. Subjek Perjanjian adalah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian dan memiliki hak serta kewajiban yang harus dipenuhi.

1. Pihak Investor

Pihak perorangan maupun lembaga yang berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri yang melakukan kegiatan investasi baik itu investasi jangka panjang ataupun jangka pendek.55 Pada dasarnya investor terbagi atas dua yaitu investor dalam negri dan investor luar negri.56 Dan dalam bentuk investasi juga bemacam-macam. Akan tetapi, di dalam perjanjian BOT investor yang dimaksud berkarakteristik sebagai investor yang memiliki dana, lalu dana tersbut di investasikan untuk membangun di suatu lahan, bangunan tersebut juga merupakan sarana fasilitas yang dikemudian hari akan mendatangkan profit. Biasanya investasi yang dilakukan juga sifatnya sebagai investasi jangka panjang.

2. Pemilik Lahan

Pemilik lahan adalah orang yang memiliki lahan atau tanah baik itu perorangan, badan hukum maupun pemerintah. Orang yang memiliki lahan biasanya akan menyewakan lahannya. Saat telah terjadi perjanjian tersebut maka lahan tersebut menjadi kekuasaan sang investor, sehingga pemegang lahan tidak berhak menjual ataupun melakukan hal lain terhadap lahan tersebut tanpa

54 Andjar Pachta Wirana, Penelitian Tentang Aspek Hukum Build Operate and Transfer (BOT), Departemen Kehakiman, 1995, Hlm. 10

55 Irsan Nasarudin dan Indra surya, Aspek Hukum Pasar Modal di Indonesia, (Jakarta:Prenada,2006) Hlm. 20

56 Sentosa sembiring, Hukum Investasi, ( Bandung: Nuansa Aulia, 2007) Hlm.55

sepengetahuan investor. Investor juga harus menggunakan lahan tersebut seperti apa yang sudah di perjanjikan.

4. Syarat Sahnya Perjanjian Build Operate and Transfer (BOT).

Hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem tebuka, para pihak yang mengadakan perjanjian dapat mengadakan ketentuan-ketentuan sendiri, mungkin menyimpang dari ketentuan hukum perjanjian, mungkin juga melengkapi, menambah atau menguranginya. Sistem terbuka yang dianut oleh hukum perjanjian mempunyai motif dan tujuan memberikan kesempatan kepada semua orang yang dalam hukum perjanjian hanya berlaku apabila kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian yang kita adakan itu.57

Sifat terbuka tersebut melahirkan sebuah persyaratan sah atau tidaknya dalam perjanjian. Pada perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) meskipun tidak tertera di KUH Perdata akan tetapi syarat sah nya masih sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu sesuai dengan pasal 1320 KUH Perdata pertama, sepakat mereka yang mengikat dirinya. Kedua, kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Ketiga, harus mengenai suatu hal tertentu. Keempat, suatu sebab yang halal.

Dalam perjanjian BOT hal diperjanjikan haruslah di tuangkan dalam perjanjian tersebut. Karena, kebasan yang dimilikai para pihak tersebut harus didasarkan pada perbuatan hukum yang tidak boleh bertentangan dengan

57 Subekti, Op. Cit. Hlm. 14

undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Karena akan menimbulkan keadaan tidak seimbangan.58 Hal yang dituangkan di dalam perjanjian juga harus berdasarkan apa yang telah disepakati, sehingga perjanjian itu menjadi jelas termasuk para pihak yang dilibatkan, semuanya harus sesuai dengan ketentuan yang telah ada. Dan yang paling utama setiap perjanjian BOT haruslah ada itikad baik, tidak boleh ada tipu muslihat di dalamnya yang pada akhirnya merugikan sebelah pihak. Apalagi perjanjian BOT itu sendiri banyak melibatkan pemerintahan serta banyak aset negara yang dijadikan objek. Makanya, dalam perjanjian BOT itikad baik adalah hal yang menjadi prioritas dalam pelaksanaan perjanjian, dengan memperhitungkan perubahan keadaan yang berpengaruh terhadap prestasi yang diperjanjikan.59 Bila semua syarat sah perjanjian berdasarkan KUH Perdata telah dipenuhi. Maka berdasar pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata Perjanjian BOT telah memiliki kekuatan hukum yang sama seperti undang-undang.

C. Konstruksi Hukum Kerjasama Build Operate and Transfer (BOT)