• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karsinoma Nasofaring 2.1.1. Defenisi

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring. Letaknya kadang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital sehingga diagnosa dini sulit untuk ditegakkan (Roezin dan Adam, 2007).

2.1.2. Epidemiologi

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak ditemukan pada daerah kepala dan leher di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring. KNF menduduki urutan keempat dari seluruh keganasan setelah kanker mulut Rahim, payudara, dan kulit (Munir, 2010).

Insiden KNF rendah di sebagian besar dunia. Insiden dari penyakit ini lebih besar di beberapa populasi dan bagian di dunia. Angka insiden yang tinggi telah dilaporkan di beberapa populasi dari Negara-negara di Asia Tenggara terutama pada populasi Ras Cina. Insiden KNF juga telah dilaporkan di beberapa populasi lain seperti Suku Eskimo di Kutub Utara dan Suku Arab di Afrika Utara (Ganguly et al, 2003).

Meskipun banyak ditemukan di Negara dengan penduduk non-Mongoloid, namun demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guang-dong atau prevalensi 39.84/100.000 penduduk (Roezin dan Adham, 2007).

Kanada, Alaska, Malaysia, Thailand dan beberapa suku di Indonesia termasuk ke dalam tingkat insiden sedang. Sekitar 4-15 per 100.000 kasus dijumpai di beberapa daerah tersebut. Sedangkan Cina bagian Utara, Jepang, Eropa dan Amerika termasuk ke dalam tingkat insiden yang rendah. Kurang dari 4 per 100.000 kasus terdapat di beberapa daerah tersebut (Tambunan, 1995).

(2)

Pada penelitian yang dilakukan di Medan (2008), ditemukan perbandingan penderita laki-laki dan perempuan 3:2. Hormon testosterone yang dominan pada laki-laki dicurigai mengakibatkan penurunan respon imun dan surveillance tumor sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi Virus Eipstein-Barr dan kanker (Munir, 2010).

2.1.3. Etiologi dan Faktor Resiko 1. Virus Eipstein-Barr

Virus Eipstein-Barr adalah herpes virus umum yang merupakan penyebab infeksi mononukleosis akut dan salah satu faktor etiologi pada karsinoma nasfaring, karsinoma gaster serta limfoma burkitt. Virus Eipstein-Barr termasuk family virus herpes dan subfamily gammaherpesviridae. Virus Eipstein-Barr mempunyai komponen inti, kapsul dan selaput pembungkus. Inti dikelilingi oleh kapsul yang disebut kapsomer yang di dalamnya terdapat DNA. Inti dan kapsul dikelilingi selaput pembungkus glikoprotein yang disebut envelope (Munir, 2010).

Penyebaran virus Eipstein-Barr kebanyakan melalui saliva, terjadi di Negara-negara berkembang, dimana kondisi kehidupan sangat kurang hygienic.

Pada penelitian yang telah dilakukan, 80% dari anak-anak di Hong Kong telah terinfeksi Virus Eipstein-Barr pada umur 6 tahun dan berkembang pada umur 10 tahun. Virus Eipstein-Barr pertama kali menginfeksi epitel bermukosa daripada orofaring, dimana Virus Eipstein-Barr mereplikasi DNA genome dan menghasilkan partikel virus baru yang kemudian akan menginfeksi limfosit B (Chang dan Adami, 2006).

2. Karsinogen Lingkungan

Bahan makanan dan zat kimia tertentu dicurigai berperan pada penyebab terjadinya KNF. Makanan yang mengandung nitrosamine yang dikonsumsi di masa kecil, mempunyai risiko untuk terjadinya KNF pada usia dewasa.

Nitrosamine merupakan mediator yang dapat mengaktifkan Virus Eipstein-Barr.

Bahan kimia ini merupakan pro-karsinogen serta promotor aktivasi Virus Eipstein-Barr, yang ditemukan dalam kadar tinggi pada ikan asin. Pro-

(3)

menjadi karsinogen aktif, sehingga dapat menimbulkan perubahan DNA, RNA atau protein sel tubuh (Tabuchi, et al, 2011).

3. Faktor Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma nasofaring (Chang dan Adami, 2006) .

2.1.4. Klasifikasi dan Histopatologi

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dibagi atas 3 tipe, yaitu :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.

2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.

3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif.

Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif (Brennan, 2006).

2.1.5. Tanda dan Gejala 2.1.5.1 Gejala Dini

(4)

Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumor masih terbatas di nasofaring, yaitu :

1. Gejala telinga

a. Rasa penuh pada telinga b. Tinitus

c. Gangguan pendengaran 2. Gejala hidung

a. Epistaksis

b. Hidung tersumbat 3. Gejala mata dan saraf

a. Diplopia

b. Gerakan bola mata terbatas (Tabuchi, et al., 2011)

2.1.5.2 Gejala Lanjut

Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter (Roezin dan Adham, 2007)

Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar, perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan

(5)

pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima, 2006; Nurlita, 2009).

Metastasis jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal dan limpa.

Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang, paru-paru, hepar dan kelenjar getah bening supraklavikular. Metastasis sejauh ini menunjukkan prognosa yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan (Siregar, 2010).

2.1.6. Diagnosa

Pengetahuan mengenai epidemiologi dan gambaran klinis KNF sangat diperlukan untuk meningkatkan kewaspadaan dokter terhadap pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya keganasan ini. Setelah dicurigai kemungkinan adanya KNF,pemeriksa yang menyeluruh dan teliti harus segera dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang pasti dan stadium penyakit ini (Roezin dan Adham, 2007).

2.1.6.1 Anamnesis

Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Gejalanya sangat bervariasi antara satu pasien dengan pasien yang lain (Munir, 2010).

Demikian pula dengan keluhan yang ditimbulkannya. Pada stadium dini, keluhan yang ada sering tidak menimbukan kecurigan atas keberadan tumor ini. Jika ada biasanya berupa keluhan telinga, hidung atau keduannya (Tabuchi, et al., 2011)

2.1.6.2 Pemeriksaan

1. Pemeriksaan klinisi dari ukuran dan lokasi cervical lymph nodes.

2. Indirect nasopharyngoscopy untuk memeriksa tumor primer.

3. Pemeriksaan neurologis saraf kranial.

4. CT/MRI scan kepala dan leher.

5. Chest radiotherapy (AP and lateral) untuk melihat penyebaran KNF ke paru-paru.

6. Bone scintigraphy untuk melihat penyebaran KNF ke tulang.

(6)

7. Pemeriksaan darah lengkap.

8. Urea, elektrolit, kreatinin, fungsi hati, Ca, PO4, alkalin fosfat..

9. EBV viral capsid antigen.

10. Biopsi nasofaring. (Brennan, 2006)

2.1.7. Computer Tomografi (CT) Scan

Pemeriksaan CT Scan, mempunyai makna klinis dimana aplikasinya adalah membantu diagnosis, memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat, menetapkan zona target terapi dan merancang medan radiasi secara tepat, serta memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan lanjut (Japaris, 2008).

Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk mengetahui metastase ke organ lain, hal ini penting untuk mementukan staging sehingga dapat dipilih penatalaksanaan yang tepat. Kemudian CT Scan juga dilakukan untuk mengetahui apakah tumor sudah mengecil setelah pemberian kemoterapi, dilakukan pemeriksaan setelah 4-6 minggu setelah pemberian kemoterapi. CT Scan juga dilakukan untuk mendeteksi rekurensi, dilakukan pemeriksaan setiap 5 tahun.

Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk melihat dan mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan dan dapat melihat konsistensi daripada tulang (Frank, et al., 2011).

CT Contrast-Enhanced menunjukkan nasopharyngeal carcinoma dengan perluasan parapharyngeal kanan dan retropharyngeal adenopathy. CT Scan non- enhanced menunjukkan bagian yang menebal pada dinding parapharyngeal kanan.

Sedangkan pada CT Scan axial contrast-enhanced sebelum nasofaringektomi, pada tingkatan nasofaring menunjukkan suatu massa di dalam fossa pterygoid yang menutup nasofaring kanan. Terdapat erosi dari pterygoid pada bagian kanan dan juga menutup tuba eustachius dan bagian posterior sinus maksilaris kanan.

Pada CT scan axial contrast-enhanced setelah nasofaringektomi pada leher memperlihatkan massa dengan ukuran 3,3x2,6 cm, bulat, homogeny yang meningkat, dengan lesi solid di leher kanan bagian posterior ke kelenjar

(7)

CT Scan dengan kontras pada leher menunjukkan massa yang besar dengan berbagai ukuran atau tingkatan pada nasofaring dan meluas ke clivus dan turun ke C1 anterior. Kemudian massa besar pada tengah sinus sphenoid dengan destruksi tulang. Massa terlihat seolah-olah terkikis atau terjadi erosi melalui clivus dank e dalam fossa pituitary (Frank, et al., 2011).

2.1.8. Stadium

Sistem stadium TNM berdasarkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer/ International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium KNF menurut AJCC/UICC, yaitu (National Cancer Institute, 2012):

2.1.8.1 Tumor primer (T)

TX : Tumor primer tidak ditemukan T0 : Tidak ada bukti tumor primer Tis : Karsinoma in situ

T1 : Tumor terbatas di nasofaring, atau tumor menyebar ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan parafaring

T2 : Tumor dengan perluasan parafaring

T3 : Tumor menginvasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 : Tumor dengan ekstensi intracranial dan/atau keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, atau orbita, atau ruang masticator

2.1.8.2 Kelenjar limfe regional (N)

NX : Pembesaran kelenjar limfe regional tidak dapat ditemukan N0 : Tidak dijumpai metastasis kelenjar limfe regional

N1 : Metastasis kelenjar limfe unilateral, ukuran ≤6 cm, terletak di atas fossa supraklavikular

N2 : Metastasis kelenjar limfe bilatelar, ukuran ≤6 cm, terletak di atas fossa supraklavikular

N3 : Metastasis kelenjar limfe N3a : Ukuran >6cm

(8)

N3b : Meluas ke fossa supraklavikular

2.1.8.3 Metastasis Jauh (M)

M0 : Tidak dijumpai metastasis M1 : Dijumpai metastasis jauh

Tabel 2.1.7 Stage Grouping

Stage T N M

0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0

II T1 N1 M0

T2 N0 M0

T2 N1 M0

III T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N0 M0

T3 N1 M0

T3 N2 M0

IVA T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

IVB Any T N3 M0

IVC Any T Any N M1

(Sumber: National Cancer Institute, 2012).

2.1.9 Terapi

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua

(9)

pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi tambahan (Roezin dan Adham, 2007).

Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5- fluorouracil saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2012).

Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi (Lutan, 1983).

Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.

Mulut rasa kering disebakan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur.

Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual (Roezin dan Adham, 2007).

Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung

(10)

dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002).

2.1.10 Follow-Up

Tidak seperti keganasaan kepala leher yang lainnya, KNF mempunyai resiko terjadinya rekurensi dan follow-up jangka panjang diperlukan.

Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antar 5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu dilakukan follow-up setidaknya 10 tahun setelah terapi (Roezin dan Adam, 2007).

2.1.11 Prognosis

Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada kedua tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus berkeratinasi. Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih (National Cancer Institute, 2013).

2.1.12 Pencegahan

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak makanan dari bahan-bahan yang berbahaya.

Meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan- kemungkinan faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini (American Society of Clinical Oncology, 2012).

Referensi

Dokumen terkait

TOTAL PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN TOTAL LABA KOMPREHENSIF TAHUN BERJALAN Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing. Keuntungan

[r]

Cadangan kerugian penurunan nilai dari aset non keuangan -/- 17.a. Liabilitas spot

[r]

Informasi Keuangan Konsolidasian ini disusun berdasarkan informasi keuangan yang diambil dari Laporan Keuangan Konsolidasian untuk tahun yang berakhir tanggal 31 Desember 2015

Pada penulisan ilmiah ini, penulis mencoba menerapkan suatu aplikasi forum komunikasi pelajar secara online pada sekolah yang dapat digunakan oleh murid, guru serta alumni sekolah

pendidikan yang lebih tinggi pada anak ada dengan adanya “ feeling ” orangtua : pendidikan anak lebih baik dari mereka, namun keterbatasan. biaya/dana yang

Judul : “ USAHA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN STRATEGI PEMBELAJARAN INKUIRI PADA MATA PELAJARAN IPA MATERI PESAWAT SEDERHANA KELAS V DI MIS