• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gus-Ji-Gang Dalam Praktik Bisnis: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus D 902012109 BAB V"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

AKTUALISASI

GUS-JI-GANG

DALAM BISNIS

Pendahuluan

Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan cara bersikap etis (berperilaku etis) pada tata krama Jawa bermakna spiritual (nilai Islam) yang secara internal menjadikan seseorang merasa dalam tatanan prosesnya berkeyakinan pada yang suci. Keyakinan itu, di satu sisi, sebagai acuan bersikap etis baik dalam hidup beragama, bersosial dengan lingkungannya maupun dalam kegiatan ekonomi (berdagang) di masyarakat (komunitas) maupun pribadi (individual). Saling kerja sama antara agama Islam (nilai etis) dan pedagang (nilai ekonomi) dalam proses ekspansi, tidak merupakan konjungsi kerja sama yang terjadi secara kebetulan antara gejala ekonomi dan agama, tetapi kerja sama itu timbul dari watak sesungguhnya akulturasi nilai-nilai agama Islam1.

(2)

Demikian pula, pengembangan agama Islam di Kudus3 tidak akan lepas dari peran Sunan Kudus4 karena dalam melaksanakan agamanya masyarakat Kudus banyak meneladani ajaran Sunan Kudus. Sunan Kudus adalah putra dari pasangan Sunan Ngundung (Sayyid Utsman Haji)5. Sunan Kudus telah membawa perubahan kehidupan sosial yang sangat besar pada masyarakat Kudus yang memiliki struktur sosial yang hierarkhis-diskriminatif6 (kehidupan masyarakat Hindu dan Budha sebagai agama yang sudah ada sebelumnya) setelah menerima ajaran baru Sunan Kudus menjadi tatanan sosial yang egaliter-religius

di bawah semangat keimanan. Abdurrahman Mas‟ud (2004) menyimpulkan bahwa, tanpa sufisme, Islam tidak pernah menjadi ”Agama Jawa”. Sufisme yang begitu toleran terhadap tradisi masyarakat Jawa telah menimbulkan akulturasi budaya Islam dapat diterima masyarakat Jawa, hal itu terbukti telah diikuti oleh para tokoh masyarakat pesisiran utara Jawa, termasuk komunitas masyarakat Islam di seputar Masjid Menara Kudus yang dikenal dengan istilah Kudus Kulon, sejalan dengan proses perkembangan sosial antara struktur spasial Masjid Menara Kudus berikut figur panutan kunci yaitu Sunan Kudus telah mengkonstruksi sistem sosial masyarakat Kudus Kulon.

Masyarakat Islam Kudus Kulon atau sering disebut wong ngisor

(3)

Mayarakat yang tinggal di sekitar Menara Kudus merasa lebih

insider dan merasa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam struktur fisik dan ruang sosial dari aura makam Sunan Kudus karena merasa lebih menerima keberkahan atas keramat makam Sunan Kudus, sehingga menjadi sesuatu yang sangat bermakna bagi masyarakat

ngisor Menara. Adanya perkembangan jaman dan pengaruh mobilitas manusia maka spirit “wali saudagar” menyebar dan dipercayai oleh seluruh masyarakat di Kudus.

Ibadah, Tawakal, dan Rasionalitas dalam Bisnis di Kudus

Pada masyarakat Kudus sebagai masyarakat pesisiran kota dengan memiliki permasalahan yang sangat kompleks. Masyarakat pesisiran ini telah lama dikenal sebagai kaum pedagang yang menghabiskan waktu sehari-hari untuk bekerja giat dalam bidang perdagangan disamping bidang lain, seperti pertanian maupun industri. Namun justru menjadi sangat penting mengapa masyarakat Kudus dapat tumbuh dan berkembang usaha dagangnya. Sebutan “santri saudagar” bagi masyarakat Kudus merupakan spirit positif bagi masyarakat (Islam) Kudus dalam mengembangkan etos kerja (dagang) yang tinggi dan dijiwai semangat religiusitas yang kuat. Kerja bagi manusia merupakan fitrah sekaligus identitas kemanusiaan itu sendiri. Kerja pada hakekatnya rasionalitas manusia. Dengan demikian kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Ketuhanan (ibadah) sekaligus meningkatkan martabat dirinya sebagai mahkluk Tuhan yang mampu mengelola alam semesta sebagai perwujudan rasa bersyukur kepada Tuhan sebagai pemilik alam semesta ini.

(4)

“tawakal” seseorang, karena tindakan “tawakal” pada dasarnya merupakan hubungan transendensi kepada Tuhan. Semakin bekerja keras dan dekat dengan pemilik rejeki, maka semakin banyak rejeki yang akan diterima seseorang.

Hal itu seperti yang diungkapkan informan Ibu Hj.Sri Murni‟ah10 bahwa kerja itu ibadah dan rasional, katanya:

“nyambut damel meniko ibadah, kagem bantu semah,

nambah kebetahan keluarga, keperluan lare-lare, lan menawi rejeki pikantuk katah, injih saget kagem Umroh, amargi kawulo sampun bidhal haji lan wadhean meniko injih kedah pitungan kagem nentukaken regi bordir, bathi kawulo pinten, ngih menawi ingkang tumbas lan pesen bordir sampun lengganan lami, reginipun mandap sekedik injih

boten menopa-nopo, kagem jalin sirahturahmi”

Artinya:

bekerja itu ibadah, buat membantu suami, nambah kebutuhan keluarga, keperluan anak-anak dan kalau rejeki banyak bisa untuk Umroh, karena saya sudah berangkat haji, dan jualan itu ya harus perhitungan buat menentukan harga bordir, keuntungan saya berapa.... ya kalau yang membeli pelanggan lama, harga turun sedikit ya tidak apa-apa untuk menjaga sirahturahmi).

Hal ini seperti ungkapkan ajaran manusia hidup “pasrah dan rela” menerima apapun pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa, tetapi bukan fatalis, karena telah berusaha secara keras. Lebih lanjut informan kunci Ibu Hj. Sri Murni‟ah mengungkapkan:

“....menawi kawulo tiyang gesang meniko kedhah pasrah dan

rela menerima menopo kemawon ingkang dipun paringi Gusti Allah, ingkang baku sampun makaryo boten kendat-kendat, kadang-kadang injih sepi pesanan, ingih tetap damel jilbab, kebayak ingkang dipun bordir, dipun wadhe dateng peken lan menawi ramai pesanan ya kedhah raos bersyukur

dateng Gusti Allah,sampun dipun paringi rejeki ”

Artinya:

(5)

kalau ramai pesanan ya, harus bersyukur dengan Gusti Allah, kalau telah diberi rejeki.

Supaya sukses berusaha orang harus kerja keras, rasional dan selalu bersyukur kata Ibu Nurul Hikmah11 yang mengungkapkan pada peneliti sebagai berikut:

“yang penting sebagai manusia harus berusaha keras sesuai dengan pekerjaanya, bagaimana cara agar pelanggan mau membeli hasil produksinya, namun kalau hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, misal menjual taplak meja kecil bordir yang seharusnya harganya Rp.75.000,- dengan untung Rp.10.000,- tetapi pelanggan hanya mau membeli seharga Rp.70.000,- ya hanya untung sebesar Rp.5.000,- setiap lembarnya harus disyukuri dan laku 25 lembar taplak meja dan itu adalah “barokah” yang harus disyukuri”.

Ibu Mirah12 mengungkapkan bahwa ajaran manusia tetap kerja

keras dan hidup ”pasrah dan rela” menerima apapun pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai berikut:

“injih leres menawi rejeki meniko saking Gusti Ingkang Moho Agung, kadang-kadang pesanan inggih katah ngantos kuwalahan, namun injih sok wonten sepi nipun, kita kedah nyuwun teras dateng Gusti Allah supados dipun paringi rejeki ingkah barokah lan tetep makaryo boten kendat-kendat”

Artinya:

ya benar kalau rejeki itu dari Tuhan Yang Maha Agung, kadang-kadang pesanan banyak sampai tidak mampu, namun ya suatu saat sepinya, kita harus minta terus kepada Gusti Allah supaya diberi rejeki yang barokhah dan tetap bekerja terus-menerus.

Sedangkan Bapak Haji Hasan13menyampaikan kepada peneliti sebagai berikut:

“manusia itu harus berusaha sekeras mungkin misal kalau dapat pesanan banyak ya mengerjakan sampai nglembur-nglembur sampai pagi dan rejeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, ya kita harus pasrah, kalau dapat rejeki sedikit ya disyukuri yang penting masih bisa untuk membeli haban

(6)

Demikian pula ungkapan informan kunci yang lain, yang intinya hampir sama yaitu Bapak H.Moch Anshori14 yang diwancarai peneliti mengungkapkan sebagai berikut:

“orang itu harus tetap„ikhtiar‟ dan bekerja keras sesuai usaha

yang ditekuni, disamping selalu berdo‟a setiap menjalankan

sholat 5 waktu sebagai tuntunan hidup supaya dalam berusaha atau berdagang dapat berjalan lancar dan kalau mendapat keuntungan yang berlebih bisa digunakan sedekah bagi orang

yang membutuhkan atau memberikan zakat”.

Fenomena yang telah diungkapkan para informan, antara doktrin-doktrin keagamaan dengan situasi struktural masyarakat memiliki hubungan yang dekat sekali. Suasana keyakinan tertentu dari ajaran agama yang dianutnya telah memberikan sumbangan yang besar terhadap perilaku dan corak kelembagaan. Demikian pula situasi sosial ekonomi akan menunjukkan pengaruhnya kepada cara memahami dan mengerti ajaran agama yang diyakininya. Oleh karena itu kemungkinan perbedaan manifestasi dalam kehidupan dan pelaku kegiatan ekonomi kemungkinan dapat terjadi dan ditemukan dalam kehidupan masyarakat Kudus.

Dalam ajaran Calvinisme dapat mengubah takdir atau

predistinasi yang menyatakan pada dasarnya manusia ditakdirkan masuk surga atau neraka, dan bila manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan duniawinya maka ia akan masuk neraka tetapi bila manusia dapat memenuhi kebutuhannya dan sejahtera dapat dipastikan masuk surga. Manusia tidak mampu nuntuk memberontak atau menolaknya. Oleh karena itu, Islam menolak gagasan predistinasi sebagai dipersepsikan Calvinisme. Persoalan mengenai siapa yang termasuk golongan terpilih dan siapa termasuk golongan terkutuk tidak dikenal dalam Islam, karena itu semua rahasia Tuhan.

(7)

dengan adanya “panggilan” (calling) terhadap tugas duniawi. Arti penting dari gagasan panggilan menurut kepercayaan Protestan adalah bahwa panggilan berfungsi membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. Maka bekerja bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi tetapi suatu tujuan akhir spritual. Menurut Weber, agama merupakan penjelasan rasional dan sekaligus mengatur nilai-nilai serta kepercayaan teologis, artinya kepercayaan berarti membangun pemikiran-pemikiran rasional dalam perilaku hidup melalui disiplin diri, kalkulasi rasional, individualisme, dan dipraktikkan secara sistematis.

Bekerja dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, dengan cara berperilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-harinya dengan bekerja keras, mencari uang, menabung dari pendapatan yang diperolehnya serta menginvestasikan lagi atau mengakumulasi semua keuntungan yang diperoleh agar mendapat keuntungan lebih besar lagi. Sehingga dapat mengubah “takdir” atau “predistinasi” dengan indikasi bahwa mereka termasuk orang yang terpilih yang selamat masuk ke surga, karena mereka sukses di dunia bisnis dan mampu mengumpulkan harta kekayaan demi kemuliaan Tuhan diyakini sebagai ”tanda” atau “konfirmasi” bahwa mereka adalah orang-orang terpilih. Weber (1978) menyebutnya “suatu tanda keberkahan Tuhan” dan “tanda keselamatan”. Islam tidak mengajarkan sebagai tanda keselamatan dengan mengumpulkan harta kekayaan dari keuntungan bisnis tetapi mempertimbangkan konsekuensi sosial dengan memberikan sedekah, zakat sebagai sarana mencapai kebahagiaan spiritual. Deliar Noer (1982) mengatakan bahwa, kekayaan pribadi dalam Islam merupakan amanat suci yang harus dinikmati.

Deskripsi tentang Fenomena Bisnis yang Berbasis Filosofi

Gus-ji-gang

(8)

lain merupakan bagian dari kunstruksi identitas antara ruang spasial yang diciptakan Sunan Kudus yang dikenal sebagai “waliyyul ilmy dan wali saudagar”15 dengan reproduksi sistem sosial yang dibangun oleh Muslim Kudus Kulon. Gejala tersebut sebagai bagian kesadaran sense of place, sebuah kesadaran akan kuatnya memiliki perasaan keterikatan yang kuat terhadap lingkungannya sehingga sense on community juga semakin tinggi.

Hubungan antara masyarakat Masjid Menara Kudus atau wong ngisor menoro sebagai sense of place dan sebagai komunitas Kudus

sense on community akhirnya memunculkan paradigma positif sebagai identitas karakter dan kepribadian unggul yang dimiliki masyarakat Kudus dengan sebutan “Ji-gang” atau Gus-ji-gang. Pemaknaan pada awalnya menurut Hasyim16 merupakan karakter masyarakat Kudus atau sering disebut wong Kudus, adalah sosok Gus-ji-gang, orang yang memenuhi kreteria bagus, kaji, dagang. Tiga hal itu menjadi semacam karakteristik yang melekat pada diri wong Kudus khususnya ngisor menara, yang kemudian berkembang, dipahami, diikuti sampai seluruh masyarakat Kudus,

Abdul Jalil17 Sekretaris Yayasan Masjid dan Makam Sunan Kudus dan juga Staf Pengajar STAIN Kudus menjelaskan pada peneliti mengenai makna ”Gus” dari Gus-ji-gang sebagai berikut:

“asal mula pemaknaan Gus-ji-gang pada awalnya dari

terminologi Wong Ngisor Menara Kudus tentang „Gus‟ adalah bagus lebih pada fisik dengan penampilan “maliter”

itu identik dengan pakaian yang bagus, rumah bagus. Penampilan eksternal yang bagus ini menjadi identik dengan banyaknya rejeki atau “bathi” yang dimiliki sehingga simbol mensyukuri menikmati kekayaannya akan ditampilkan

dalam bentuk fisik yang bagus yaitu penampilan”maliter”18

(9)

tambahan sebagai “pedagang”, sebagaimana lazimnya masyarakat Kudus. Dominasi bekerja di sektor perdagangan dalam memilih pekerjaan tersebut telah menumbuhkan cara hidup rasional dan ekonomis dalam masyarakat Kudus. Jadi pemaknaan Gus-ji-gang

seperti yang diungkapkan Abdul Jalil adalah profil masyarakat Kudus memiliki fisik bersih atau bagus ”maliter”, telah naik haji dan pintar berdagang”.

Namun akibat perkembangam jaman pemaknaan Gus-ji-gang

mulai bergeser berdasarkan berbagai tafsir. Menurut Said (2013), adalah orang Kudus yang memenuhi Gus-ji-gang yaitu Bagus/mulia akhlaknya, pintar mengaji, dan pintar berdagang. Gus-ji-gang sebagai pengalaman spiritual keagamaan (Islam) merupakan objektivitas atau konkretisasi cara bersikap etis pada tata krama Jawa bermakna spiritual internal menjadikan seseorang merasa dalam suatu tatanan keyakinan sebagai dasar cara bersikap etis baik dalam hidup beragama (Islam) maupun sosial-budaya melalui cara bersikap etis (tata krama Jawa) yang bermakna spiritual internal bersifat komunal (memasyarakat) dan individual (mempribadi). Hal itu menunjukan pengejawantahan akulturasi antara budaya Arab (agama Islam) dengan budaya Jawa (budaya lokal) yang dilakukan oleh Sunan Kudus dalam melaksanakan dakwah ajaran agama Islam. Penilaian terhadap perilaku Gus-ji-gang

tentu berasal dari dua sisi, yaitu di satu sisi merupakan pandangan internal masyarakatKudus guna identifikasi diri. Sedangkan di sisi lain, penilaian eksternal merupakan hasil pengamatan, pandangan orang luar yang membedakan perilakumasyarakat Kudus dengan masyarakat di luar Kudus.

(10)

Ketiga karakter ideal Gus-ji-gang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Nilai-nilai Gus“Bagus Perilaku” dalam Bisnis

Pada awalnya ”Gus” bermakna sebagai wong Kudus ngisor menara harus memiliki penampilan fisik bagus dan memiliki perilaku yang bagus, sehingga “gus” memiliki makna menjadi bagus rupa dan

bagus laku. Namun seiring perkembangan jaman, penafsiran”Gus” lebih menekankan pada bagus perilaku yaitu sifat moral yang harus dimiliki setiap kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Begitu seseorang buruk perilakunya, tentu akan berakibat masalah yang panjang, paling tidak akan mengurangi kepercayaan kepada orang lain terhadap dirinya, dan pada gilirannya akan merugikan usaha dagangnya. Jadi, menjaga “kebagusan” perilaku dan penampilan fisik seolah melekat pada diri masyarakat Kudus.

Meskipun kata “Gus” dalam tradisi Jawa biasanya diberikan sebagai panggilan untuk anak laki-laki, namun ”Gus” dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran pemaknaan “Gus” yaitu sebagai bagus laku yang mencerminkan sifat moral dan ahklak mulia yang harus dimiliki seorang laki-laki maupun perempuan. Bagus atau tampan dalam hal ini bukanlah ukuran standar fisik tetapi lebih pada bagus atau tampan secara kepribadiannya (inner beauty). Aspek moral sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus, yaitu “bersikap baik atau hormat terhadap apa dan siapa saja” merupakan behavior sebagai gejala psikis. Proses lahirnya perilaku tersebut tidak lahir secara serta merta, melainkan setelah melalui proses psikis dan pengkristalisasi yang kemudian menjadi dasar perilaku masyarakatKudus.

(11)

orang Jawa memiliki 2 (dua) kaidah sebagai dasar prinsip hidupnya yaitu: Pertama, bahwa setiap situasi, hendaknya setiap anggota masyarakat bersikap dan berbuat sedemikian rupa sehingga ia tidak menimbulkan pertentangan atau terjadi konflik. Sikap dan perbuatan seperti itu disebut sebagai kerukunan. Kedua, bahwa setiap situasi, dimanapun orang berada, hendaknya setiap anggota masyarakat dalam cara berbicara dan membawakan diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya (status). Sikap tersebut selanjutnya disebut prinsip hormat.

Bersikap hormat akan memainkan peran yang sangat penting dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa (termasuk masyarakat Kudus) yaitu prinsip hormat. Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan membawakan diri selalu harus menujukkan sikap hormat terhadap apa dan siapa saja, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Bersikap baik atau hormat terhadap apa dan siapa saja menurut Suseno (2005), memiliki dua pengertian yaitu: Pertama, bersikap baik berlaku bagi segenap mahkluk yang ada, dan bersikap hormat hanya berlaku bagi manusia sebagai person, termasuk sikap hormat terhadap diri sendiri. Kedua, inti motivasi dan maksud bersikap baik atau hormat terhadap apa saja adalah merasa wajib bertanggung jawab untuk memelihara dan atau menerima, mendukung serta membiarkannya. Sikap itu mengimplikasi bahwa bukan berarti makhluk alam (dunia) selain manusia tidak boleh diubah, melainkan berlakunya bersifat prima fice19.

Bersikap baik atau hormat dan peduli ini berdasarkan pada pendapat bahwa, semua hubungan dalam masyarakat Jawa (termasuk Kudus) teratur secara hierarkis20. Setiap orang harus pandai-pandai menempatkan dan membawakan diri sesuai dengan tata krama sosial. Orang Jawa harus menghormati mereka yang lebih tinggi dan sebaliknya tidak meremehkan mereka yang lebih rendah. Sikap hormat tersebut tertanam sejak kecil dalam keluarga dengan perasaan wedi,

(12)

prinsip hormat. Dengan demikian individu merasa terdorong untuk selalu menganbil sikap hormat, sedangkan kelakuan yang kurang hormat menimbulkan rasa tak enak. Pembatinan perasaan-perasaan itu adalah tanda kepribadian yang matang.

Hal itu, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh informan-informan berikut ini, dimana pendapat informan-informan yang satu dengan pendapat informan yang lain semakin memperjelas dan memberikan gambaran yang tegas, seperti penuturan-penuturan berikut ini.

Ibu Hj Sri Murni‟ah22 mengungkapkan dalam wawancara dengan peneliti mengenai perilaku hormat, tetap menjaga keharmonisan yang hangat kepada sesama sebagai berikut:

”……..dagang niku, nggih kedah berhubungan kalian tiyang, sing wajib niku nggih menghormati kaliyan menghargai tiyang sanes,lan tetap jaga keharmonisan kaliyan tetanggi, utawi darek kempalan pengajian, menopo malih kaliyan

konsumen ingkang badhe tumbas ya kedah ngormati”.

Artinya:

…..dagang itu, ya harus berhubungan dengan orang, yang

wajib itu ya menghormati dan menghargai orang lain serta tetap menjaga keharmonisan dengan tetangga atau ikut kumpulan pengajian, apalagi dengan konsumen yang akan membeli harus menghormati).

Begitu juga Bapak H.Hasan23 menyampaikan dalam wawancara dengan peneliti sebagai berikut:

“dalam berusaha dagang itu pasti berhubungan dengan siapa saja, hidup ini harus bermanfaat, tetapi yang penting kita sama orang lain harus menghormati, baik pada setiap orang apalagi sebagai pengusaha bordir, berhubungan baik itu tidak hanya kepada pelanggang/konsumen saja, tetapi dengan toko menyedia bahan baku atau dengan sesama pengusaha

bordir”.

(13)

“berhubungan dengan siapa saja itu harus saling menghormati dan selalu menjaga sillahturahmi baik itu di pasar, kumpulan RT/RW, hajatan atau kumpulan pengajian, ini merupakan ibadah, yang nantinya akan mendapat barokhah, seperti pesanan bordir meningkat, karena dari

„gatuk tular‟ dan hubungan silahturahmi yang baik”.

Dari ketiga jawaban informan itu hampir sama bahwa pada dasarnya perbuatan rukun dan hormat kepada siapa saja itu merupakan

ibadah untuk membangun silahturahmi dan “getuk tular”. Hal itu bisa terjadi karena menanamkan hormat dan kepercayaan kepada konsumen, sehingga konsumen tersebut akan menceritakan kepada teman-temannya atas rasa hormat, kejujuran pengusaha. Dengan rukun dan hormat, orang dapat menciptakan keadaan masyarakat yang selaras dan terhindar dari perselisihan. Hal tersebut dapat terlihat dalam kerja sama dengan keluarga, karyawan, tetangga, pemasok bahan baku, konsumen maupun masyarakat luas. Walaupun tidak berarti, bahwa setiap orang harus meninggalkan pendiriannya. Orang tetap saja berhak mempertahankan pendiriannya dengan cara yang memperlihatkan kerukunan, misalnya, terjadi perbedaan pendapat yang saling bertentangan, maka diusahakan adanya jalan tengah yang tidak merugikan kedua belah pihak.

Setiap orang dalam cara berbicara dan berkelakukan harus dapat menunjukkan sikap terhadap orang lain sesuai dengan kedudukan dan derajatnya. Orang wajib mempertahankan dan membawakan dirinya sesuai dengan tingkatnya dalam masyarakat (Seseno, 1984). Sikap hormat yang demikian telah ditanamkan sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga, yang menurut H.Geertz (1983), pendidikan itu melalui rasa wedi, isin dan sungkan. Anak dididik untuk takut dan menghormati orang lain dan untuk malu akan apa yang tidak pantas bagi orang lain. Perasaan malu dapat muncul dalam setiap situasi sosial (Suseno, 1983).

(14)

diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap pengelompokan tetap. Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernapaskan semangat kerukunan26. Rukun berarti tidak menganggu keadaan selaras yang sudah ada dan menjaga keselarasan, mencegah konflik. Orang rukun, sehingga dapat hidup damai. Ada perbedaan pendapat, tetapi tidak sampai menimbulkan konflik. Untuk dapat rukun damai, orang harus dapat mengendalikan diri dan membawakan diri secara dewasa. Dalam konteks itu rukun menjadi penting bagi keberhasilan gotong-royong dan menjadi dasar dari kebiasaan bermusyawarah. Rukun tampak dan menjadi konkrit dalam keluarga. Setiap anggota keluarga merasa aman, saling memperhatikan dan membutuhkan.

Menurut Willner (1970), rukun mengandung usaha terus- menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan. Tuntutan kerukunan merupakan kaidah prañata masyarakat yang menyeluruh, sehingga apa yang dapat mengganggu keadaan rukun dan suasana keselarasan dalam masyarakat harus dicegah. Di sinilah Suseno (1984) dan H. Geertz (1983) menekankan bahwa, rukun adalah usaha mencegah segala tingkah laku yang dapat menimbulkan konflik terbuka. Dengan rukun orang menciptakan keadaan masyarakat yang tenang selaras dan terhindar perselisihan. Orang saling membantu sejauh kemampuannya, baik dalam kepentingan perorangan maupun kepentingan umum.

(15)

yang dewasa. Suatu konfrontasi terbuka dalam bentuk emosional adalah pandangan yang tidak estetis, membahayakan kehidupan bersama dalam masyarakat dan oleh karena itu harus dicegah. Suasana ketentraman sosial tetap harus dipelihara.

Sifat rukun dan hormat terhadap apa dan siapa saja berlaku agar kehidupan masyarakat dapat mencapai keselarasan. Dalam masyarakat Jawa (Kudus) orang harus sabar, kerja sama, patuh dan rela berkorban. Manusia dan lingkungan alam merupakan suatu keutuhan yang mengandung unsur-unsur dan relasi yang teratur. Terpeliharanya relasi antara manusia dan lingkungan alam akan menciptakan keadaan yang selaras, serasi dan seimbang, yang sering disebut sebagai keadaan tata titi tentrem kerta raharja. Menurut H. Geerts (1984), semua unsur yang ada dalam keadaan keselarasan dan memusat pada konsep rukun dan hormat dipakai sebagai dasar perilaku hidupnya.

Dalam hal ini yang paling menonjol adalah, kemampuan seseorang menguasai emosi karena ketaatan spiritual agama yang dianutnya sehingga dapat terkendali, sekalipun orang dapat juga berpura-pura yang dapat merugikan diri sendiri, namun kerugian tersebut tidak pernah dipikirkan dan diperlihatkan kepada orang lain. Sehingga bila terjadi konflik tidak terlibat, seperti ketika salah satu dari karabat mempunyai hajat seperti pernikahan, sunatan, mitoni, melahirkan, terkena musibah sakit, kecelakaan dan meninggal dunia pasti memunculkan simpati. Pada saat demikian, di antara mereka seperti tidak ada persoalan apa-apa dan saling memberikan bantuan kepada yang sedang membutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa panggilan untuk memberikan bantuan kepada kerabatnya yang sedang mempunyai “hajatan” atau terkena musibah mampu menghilangkan jarak akibat suatu konflik.

(16)

menjadi pedoman hidup bagi pemeluknya, yang berfungsi sebagai pendorong, sekaligus penahan, tingkah laku menuju keselamatan. “Gus” dalam Gus-ji-gang yang berarti berahlak baik merupakan obyektivitas (kristalisasi) dari pengalaman keagamaan dan kepercayaan masyarakat Kudus sebagai dasar sikap etisnya baik dalam hidup beragama maupun bersosial-budaya di masyarakatnya. Dimana agama (Islam) mengajarkan agar manusia hidup ”pasrah” dan “rela” menerima apapun pemberian Tuhan. Rela terhadap pemberian Tuhan ditempuh melalui hidup sederhana dan merasa puas dengan apa yang ada. Pelaksanaan kembali dan berpegang kepada Allah itu dilakukan dengan ucapan tahmid dan syukur (Aboebakar Atjeh, 1988).

Berdasarkan nilai-nilai hormat dan rukun masyarakat Kudus memiliki prinsip hidup yang dipegang erat, sadar atau tidak, masyarakat Kudus senantiasa berpegang pada etika27 hidup sak titahe yaitu sikap hidup pasrah dan rela menerima apapun pemberian Tuhan. Etika sak titahe ini menjadi pegangan dan sekaligus panduan nilai sikap perilaku bagi masyarakatKudus dalam mengarungi hidupnya, terutama dalam menjalankan usahanya. Sak titahe dan bukan “fatalis” (menyerah pada nasib), kalau dikaji secara mendalam lebih mendekati pada konsep tawakal28 dalam Islam. Sebaliknya orang mbluboh bila

seseorang telah mengaku-ngaku bersikap pasrah namun sesungguhnya belum pernah melakukan kerja keras atau ikhtiar. Orang Kudus yang telah bekerja keras, perilaku ulet, rajin dan hemat. Perilaku-perilaku tersebut merupakan modal dasar dalam berusaha atau

entrepreneurship. Sehingga bukan mustahil apabila pengusaha-pengusaha Kudus berhasil dalam usahanya.29

(17)

dipersepsikan sebagai sosok transenden. Tampak bahwa spiritualitas masyarakat Kudus merupakan cara pandang mereka terhadap dirinya tentang kesadaran bertransendensi. Kesadaran ini merupakan proses formulasi yang dilakukan secara terus-menerus dan mengkristal menjadi pemahaman bahwa foundation of reality adalah spirit. Pemahaman tersebut dipertegas sebagai pemahaman keberadaan maupun pengalaman mengenai adanya kenyataan transenden, yang oleh Schreurs (2006) dijelaskan sebagai hubungan personal seseorang terhadap sosok transenden.

Hal ini seperti yang diungkapkan informan kunci Ibu Hj.Sri Murni‟ah maupun H.Moch Anshori kepada peneliti sebagai berikut:

Ibu Hj.Sri Murni‟ah31 mengungkapkan:

“Injih kawolo ingkang dipun paringi rejeki radi katah kaliah

Gusti Allah ketimbang adik-adik kawulo,sakmangkene kulo kedah mikirake adik-adik kawolu supados kiyambake sak keluargane saget gesang sae, ngeh kulo damelaken usaha bordir atawi konveksi, injih pokokipun kulo bantu, sedoyo kesugihan meniko kan mboten dipun betho pejah namun

ibadah ingkang kawulo betho”

Artinya:

ya saya yang diberi rejeki lebih banyak dari Gusti Allah daripada adik-adik saya, seharusnya saya wajib memikirkan adik-adik saya supaya adik saya dan keluarga hidup lebih baik, ya saya buatkan usaha bordir atau konfeksi, ya pokoknya saya bantu, semua kekayaan itu kan tidak dibawa mati tetapi yang dibawa mati hanya ibadah saya.

Begitu juga Bapak H.Moch Anshori32 yang pernah belajar di salah satu pesantren dan pendiri KSU Padurenan Jaya menyampaikan bahwa:

“pengusaha itu harus kerja keras, ulet,rajin, dan hemat, hemat ini bukan „pelit‟ tetapi penuh perhitungan setiap pengeluaran dan penerimaan, namun kalau pengeluaran untuk ibadah seperti zakat, shodakoh tetap saya lakukan,

(18)

didapat memperoleh ridhaning gusti Allah (keiklasan dari

Tuhan). Dan ini sangat barokhah”

Demikian pula informan yang lain Bapak H.Hasan,33 pengusaha bordir berusia 31 tahun lulusan SMA yang memulai usaha bordir tahun 2006 mengungkapkan kepada peneliti tentang perilaku kesadaran keagamaannya selalu berbuat baik kepada sesama, sebagai berikut:

“Saya mengawali usaha bordir sebagai buruh bordir, aktif

dalam kegiatan di Masjid, sholat 5 (lima) waktu tidak pernah saya tinggalkan dan menjalankan puasa Senin-Kamis. Sebagai pengusaha bordir saya mengutamakan kejujuran, jejaring dan harus ramah, supel kepada semua orang. Pernah saya dizalimi orang seperti piutang tidak dibayar setelah pesan bordir, semuanya saya kembalikan kepada Allah pasti akan mendapat ganti rejeki yang lain, buktinya sampai sekarang usaha bordir saya masih berjalan dan masih bisa menghidupi

keluarga”.

Nilai-nilai Ji“Pintar Mengaji” sebagai Kekuatan Bisnis

Seperti diketahui “Ji‟ pada awalnya memiliki makna kaji, ukuran kesolehan beragama bagi masyarakatKudus adalah “kaji” atau “berhaji” yaitu menunaikan rukun iman yang terakhir, setelah tahap sebelumnya telah melaksanakan syahadat, sholat, puasa dan zakat. Orang Islam yang telah menunaikan haji ke Mekah dengan biaya yang tidak sedikit merupakan simbol status sosial yang tinggi. Menjadi “kaji” atau ”haji” berarti orang itu sudah menjadi penganut agama Islam yang sempurna dan menjadi idaman bagi setiap masyarakat Kudus. Ini yang menjadi penyebab mengapa jumlah jema‟ah haji Kudus setiap tahunnya ada kecenderungan mengalami peningkatan. Seperti yang diungkapkan Ibu Hj Sri Murni‟ah34 kepada peneliti berikut ini:

“kawulo lan semah sampun ngidul “ ke Mekah” kangge sangu

sakmangkene menawi dipun timbali Gusti Allah sampun

siap,lan supados gesang kawulo dipun paringi barokah”

Artinya:

saya dan suami sudah pergi ke arah barat “ke Mekah” buat tabungan kalau dipanggil Gusti Allah sudah siap dan supaya hidup saya diberi barokah).

(19)

“Naik haji itu kewajiban setiap muslim yang telah melaksanakan syahadat, shalat, puasa dan zakat, dan saya sangat bersyukur telah melaksanakan pada 5 tahun yang lalu dan ingin berangkat haji lagi bersama anak-anak, sebab kalau sudah berhaji itu seseorang akan lebih baik perilakunya tambah bersyukur, sabar, jujur, hati-hati dalam bertutur kata,

dan dampaknya dalam berbisnis semakin dipercaya”.

Namun dalam perkembangan jaman makna dari “Ji” mulai bergeser tidak berati “kaji” naik haji pergi haji merupakan bentuk pengamalan rukun Islam tetapi memiliki arti rajin mengaji atau lebih populer dengan sebutan santri36. Karakter santri bagi struktur hierarki sosial masyarakat Kudus Kulon sebagai dasar bagi pembangunan rumah tangga yang berorientasi ketaatan pada syari‟at Islam. Namun seiring perkembangan zaman perilaku Ji “Ngaji” berarti belajar37. Ngangsu kawruh (bahasa Jawa) atau learning bukan berarti membaca, mempelajari dan menelaah kitab suci Al Quran saja, tapi merupakan amal yang mengarah pada kemuliaan hidup di akhirat dan ngaji menyiratkan keutamaan seorang muslim dalam mempelajri ilmu pengetahuan. Istilah ngaji dalam legenda ketokohan Sunan Kudus atau Raden Dja‟far Shadiq merupakan suatu hal yang istimewa. Sunan Kudus di kalangan Walisanga dikenal sebagai wali yang sangat pintar. Gelar ini menunjukkan geliat keilmuan yang telah lama terpancangkan di Kudus. Para kyai/ulama tidak sekedar sebagai sumber keilmuan Islam tetapi sebagai tempat berguru dalam segala persoalan yang ada terkait masalah individu, keluarga maupun sosial kemasyarakatan, sehingga terbangun hubungan patron-clieant dan kondisi ini diperkuat dengan karakter masyarakat Kudus yang paternalistik.

(20)

setiap hari Jumat38 atau malam hari (setelah sholat Isya) setelah kegiatan mencari nafkah (bekerja) dilakukan siang hari, dengan tujuan untuk menambah pengetahuan dan memperoleh berkah, selain itu mereka umumnya juga melakukan berbagai amalan tertentu di rumah mereka masing-masing seperti yang disarankan oleh guru-mursyidnya. Mengamati kegiatan keagamaan di daerah penelitian, setiap ada kegiatan pengajian yang diisi oleh seorang kyai atau ustad di masjid-masjid atau di mana saja pengajian diadakan, masyarakat Desa Padurenan berbondong-bondong mengikuti pengajian. Bila peserta pengajian ditanya, mengapa mereka mengikuti pengajian itu, selalu dijawab dengan ungkapan “kanggo sangu mati”, untuk bekal nanti

kalau meninggal. Bahkan kadang-kadang apa yang disampaikan para kyai atau ustad mereka tidak penting, yang paling penting dengan mengikuti pengajian ia akan mendapatkan pahala. Semakin banyak pahala yang mereka kumpulkan akan semakin besar kemungkinan kalau meninggal akan hidup bahagia “munggah suwargo” atau naik ke surga.

Bapak H.Noor Kholid,39 pengusaha bordir lulusan SMP, mengungkapkan keikutsertaannya setiap ada pengajian pada hari Kamis malam Jumat di Masjid Desa Padurenan, bahkan kadang-kadang kalau kegiatan usaha bordir bisa ditinggal sebentar akan mengikuti pengajian di daerah lain, katanya: “supaya dapat barokahdan “kanggo

sangu mati” untuk bekal nanti kalau meninggal”.

Demikian pula Ibu Mirah40 menjawab pertanyaan mengapa sering ikut pengajian, katanya: “kanggo nebus dosa”, untuk nebus dosa suami yang sedang sakit dan supaya dapat barokah dalam berusaha”. Lain halnya Bapak H. Moch Anshori41 yang mengikuti pengajian

(21)

mengikuti pengajian-pengajian di masjid atau pengajian yang diadakan masyarakat, tetapi ada yang tidak bisa mengikuti acara pengajian dikarenakan harus menyelesaikan pesanan bordir, seperti Bapak Rosyadi42 yang menyatakan kepada peneliti sebagai berikut:

“saya tidak pernah meninggalkan membaca Al Qur‟an setelah

sholat Magrib, tetapi kalau mengikuti pengajian yang diadakan di Masjid atau yang diadakan masyarakat, saya kadang-kadang hadir, kadang-kadang tidak hadir, kalau pekerjaan bordir cukup banyak dan waktunya sangat sibuk karena pesanan harus selesai segera, saya tidak hadir pengajian dan bila waktu pekerjaan agak longgar pasti saya

mengikuti pengajian tersebut”.

Dalam kehidupan pengusaha bordir, proses belajar tidak hanya bagi para pengusaha dalam mencari ilmu keagamaan melalui kegiatan pengajian, tetapi proses pembelajaran juga dilakukan para pengusaha bordir terhadap anak-anaknya maupun para pekerja dalam memberikan pengarahan proses membuat bordir yang baik, berkualitas dan benar.

Seperti Ibu H.Sri Murni‟ah43 yang menjelaskan kepada peneliti, ia bisa membordir dan bisnis bordir belajar dari orang tuanya dan sekarang anak-anaknya dilatihnya berbisnis bordir, katanya:

“kawolu rumiyen saget jahit damel bordir, injih saking sinau

dateng tiyang sepuh kawulo, ugi saget usaha bordir injih sinau saking tiyang sepuh, lha lare-lare kawulo ajari damel bordir lan sakmeniko sampun saget damel bordir engkang sae lan sampun sanget wakili kawulo melayani menawi wonten

tiyang ingkang pesan bordir lan wadhe bordir”

Artinya:

(22)

Ibu Nurul Hikmah44 pengusaha bordir lulusan SMK jurusan Tata Busana menjelaskan kepada peneliti dalam memberikan pembelajaran bordir kepada karyawannya terungkap:

“karyawan saya, rata-rata lulusan SD dan SMP yang terpenting sudah bisa menjahit, dan saya ajarkan membordir dan mengkombinasikan warna benang sampai mereka pintar

bordir sendiri, juga saya latih bagaimana cara “membatil”,

merapikan bordir dengan menggunting benang yang tidak beraturan atau dengan alat soldir listrik untuk melubangi motif bordir dan itu saya lakukan dengan sabar dan telaten”.

Sedangkan Bapak Achsanudin Ismanto45, Sekretaris Kantor Kelurahan/Desa Padurenan dan juga pengurus KSU Padurenan Jawa yang diwancarai peneliti di Kantor KSU Padurenan mengatakan sebagai berikut:

“Proses pembelajaran para pengusaha dan pekerja bordir di lingkungan Desa Padurenan sering dilakukan kegiatan pelatihan oleh KSU Padurenan Jaya bekerja sama dengan Dinas terkait (Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM ) di Kabupaten Kudus, misalnya pelatihan membuat disain bordir, belajar menjalankan mesin bordir computer, tehnik-teknik dasar bordir dan lanjutan, sampai model pemasaran bordir, kita lakukan setiap tahun 2 kali, sehingga diharapkan kemampuan membordir semakin

meningkat dan dapat menjaga keberlanjutan usaha bordir”.

Namun bagi pengusaha IKBK bordir non Muslim, seperti yang diungkapkan informan Bapak Siswanto46, usia 39 tahun beragama Katolik, pendidikan SMA serta memilki 2 anak yang masih sekolah di SMP dan SD, dan mulai berusaha bordir sejak tahun 2000, yang tadinya hanya sebagai karyawan bordir dan kemudian setelah menikah mencoba membuka usaha bordir sendiri, saat ditanya peneliti mengenai Gus-ji-gang ia menjelaskan sebagai berikut:

“Saya mengerti istilah „Gus-ji-gang” dari pertemuan

pengusaha bordir dan konveksi dalam rangka pelatihan yang diselengarkan oleh KSU Padurenan Jaya, namun saya dalam

kehidupan saya, saya hanya melakukan “gus‟ berperilaku baik sesuai dengan ajaran agama saya, itu untuk semua orang

(23)

saya berdagang sebagai pengusaha bordir, sedangkan “ji‟ saya tidak ikut pengajian maupun naik haji karena saya Katholik tetapi mencari ilmu saya lakukan seperti mengikuti pelatihan

bordir”.

Selanjutnya Bapak Siswanto menjelaskan:

”setiap hari Jum‟at usaha bordir tutup sampai jam 11.00 pagi

karena karyawan melaksanakan sholat Jum‟at dan jam 14.00 mulai kerja lagi, namun ada karyawan yang setiap hari Jum‟at

minta libur, yah kalau saya ikuti sajalah kebiasaan dan keinginan para karyawan di Desa Padurenan ini, yang penting usaha tetap jalan dan kalau hari Minggu usaha tutup karena saya harus ke Gereja tetapi kalau ada pesanan pas hari Minggu, ya tetap saya terima tetapi setelah selesai dari

kegiatan kebaktian di Gereja”.

Mencermati berbagai penjelasan tersebut, maka pola keutamaan

(24)

Berdasarkan pemahaman tiga cara bersikap sebagai dorongan batin untuk melakukan transformasi sosial pada ji dalam rangka membangun spiritual Gus-ji-gang tersebut, maka pola keutamaannya sebagai proses pembelajaran merupakan satu kesatuan dengan hal-hal yang transendental, yang mampu mengembangkan kesadaran internal

(internalisasi) akhirnya mampu menggerakkan etos dagang

(eksternalitas) dan ini sebagai dasar social capital masyarakat Kudus dalam mengembangkan usaha bisnisnya.

Nilai-nilai Gang ”Pintar Berdagang” sebagai Kekuatan Profesi Bisnis Istilah “Gang” artinya terampil berdagang. Keterampilan berdagang ini ditonjolkan karena tidak lepas dari pilihan mata pencaharian yang lebih menjunjung tinggi profesi sebagai pedagang. Karena spirit dagangnya didasari dengan nilai-nilai Islam maka profesi dagang yang diinginkan adalah pedagang yang jujur, sebagaimana Sunan Kudus juga seorang wali saudagar49 dan Nabi Muhamad SAW

juga seorang pedagang pada masanya. Spirit Sunan Kudus sebagai saudagar yang dalam menjalankan aktivitas ekonomi berdasarkan kaidah-kaidah Islam (Teguh Sunardi, 2009: 4) terdiri dari hukum primer (al-Qur‟an dan as-Sunnah)50 dan hukum sekunder (Ijma‟, Ijtihad dan Qiyas)51yang dalam banyak hal diorientasikan untuk kepentingan dakwah sehingga keuntungan berdagang digunakan untuk memperindah Masjid Al Aqsha Kudus dan Menara Kudus dengan diberikan ornamen keramik dari berbagai negara sebagai petanda telah terjadi hubungan perdagangan antar-negara dalam rangka mencapai kemakmuran dan pentingnya pembangunan kekuatan ekonomi.

Informan kunci Bapak H. Moch Anhori dan Ibu Hj. Sri Murni‟ah yang aktif dalam kegiatan pada perkumpulan Haji menyampaikan kepada peneliti mengenai dagang yang didasari kepribadian „gus‟ dan „ji‟ dalam Gus-ji-gang sebagai berikut:

Bapak H.Moch Anshori mengatakan52:

(25)

disain bordir, menawarkan hasil bordir ke berbagai daerah, mencari bahan baku yang sesuai, ini semua dalam rangka mencari rejeki untuk kebutuhan keluarga, tetapi di satu sisi saya melakukan kegiatan ibadah sholat, puasa, berzakat dan mengikuti berbagai pengajian. Ini harus imbang, kalau hanya mencari rejeki saja tanpa ibadah, maka rasanya akan kosong, dan hanya ibadah saja bisnis bordir bisa berhenti dan

keluarga tidak makan”.

Sedangkan, Ibu Hj. Sri Muni‟ah53 mengatakan kepada peneliti sebagai berikut:

“menawi tasih bisnis ngih bisnis, namun wedal ibadah ngih ibadah, kedah kalih-kalih ipun dilampahi sedoyo, injih

supados rejekinipun pikantuk barokah kangge keluargo”

Artinya:

masih menjalankan bisnis ya bisnis, namun waktu ibadah ya ibadah, harus dua-duanya dijalankan semua, supaya rejekinya dapat barokhah buat keluarga).

Pada umumnya, tidak seorang pengusaha yang mau menyebutkan berapa jumlah penghasilan yang mereka peroleh. Mereka hanya menjawab: “rejeki itu yang penting bukan jumlahnya, tetapi barokhahnya, sehingga tidak perlu dihitung-hitung”. Sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka tidak bisa memperhitungkan hasil yang dicapai karena penghasilan itu terus diputar-putar dan mengalami pasang surut terus-menerus. Kadang-kadang untung banyak, tetapi keuntungan itu dapat habis seketika untuk menutup kerugian yang telah dialami sebelumnya. Kadang-kadang untung sedikit tetapi bisa menyisihkan untuk membeli barang-barang, begitu seterusnya. Perhitungan penghasilan mereka pada umumnya hanya berdasarkan perkiraan sesuai keuntungan normal tetapi pelanggan dan saudara bertambah banyak, ya tidak apa-apa buat kami, ya seperti istilah tuna satak bati sanak.

(26)

para pedagang (bakul) ini yang menunjukkan bahwa kebahagiaan seorang pedagang tidak diukur dengan keuntungan berupa uang. Bagi pedagang mendapatkan saudara atau pelanggan dalam berusaha pun dihitungnya sebagai keuntungan ”bathi”. Oleh karena itu seorang pengusaha bordir rela menjual hasil produksinya dengan harga sedikit lebih rendah dari penawarannya demi menjalin hubungan dengan orang lain, yaitu pembeli.

Spirit dalam filosofi Gus-ji-gang yang mewarnai perilaku kegiatan ekonomi (dagang) sesuai dengan filosofi budaya Jawa dan ajaran agama Islam didasarkan pada 4 (empat) nilai utama yaitu

Ilahiyah, akhlak, kemanusiaan, dan pertengahan serta keseimbangan

(Teguh Suhardi, 2009). Pertama, Ekonomi Ilahiyah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syari‟at-Nya. Kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi, pertukaran, dan distribusi, diikatkan pada prinsip ilahiyah dan tujuan ilahiyah artinya ekonomi menurut pandangan Islam bukanlah tujuan, tetapi merupakan kebutuhan dan sarana yang lazim bagi manusia agar dapat bertahan hidup dan bekerja untuk mencapai tujuannya yang tinggi. Kedua, ekonomi akhlak, karena akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan Islami. Islam sama sekali tidak mengizinkan umatnya untuk mendahulukan kepentingan ekonomi di atas pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan agama. Ketiga, ekonomi kemanusiaan, adalah ekonomi yang berwawasan kemanusiaan, karena menghargai kemanusiaan adalah bagian prinsip ilahiyah yang memuliakan manusia dan menjadikan sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini. Keempat, ekonomi pertengahan, artinya ekonomi Islam adalah ekonomi yang berlandasan pada prinsip pertengahan dan keseimbangan yang adil yaitu keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat maupun keseimbangan di segala bidang. Tanda Sunan Kudus sebagai wali saudagar telah melahirkan tanda paradigmatik masyarakat santri Kudus yang berdagang/saudagar.

(27)

hasil usahanya yang membuahkan penghasilan yang banyak, akan ditampilkan dalam bentuk penampilan fisik yang bagus ”maliter, cah”

kata orang Kudus. Gaya maliter menjadi pandangan negatif bila hanya untuk pamer kekayaan, tetapi bergaya maliter akan dihormati bila maliter sebagai rasa syukur atas keberhasilannya sehingga muncul istilah mati ora gowo bondho. Namun lebih dari itu, masyarakat Kudus punya filosofi sak titahe sebagai pegangan hidup. Sehingga mereka yang bergaya “maliter” mengungkapkan bahwa “maliter yah lah, ning urip kuwi mung sa titahe”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Gus-ji-gangmerupakan pemaknaan “gus”, “ji” dan “gang” adalah

holistik dan koherensi, satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Artinya perilaku masyarakat Kudus dalam melakukan Gus-ji-gang bisa dimulai dari kegiatan ”gang” pintar dagang supaya dapat memenuhi kebutuhan fisik/duniawi yang didasarkan pada kehidupan “gus‟ dan “ji” artinya bahwa perilaku dagang masyarakat Kudus, khususnya komunitas pengusaha IKBK bordir Kudus di dalam melakukan dagang selalu didasarkan pada nilai-nilai “gus” yang menekankan nilai-nilai hubungan sosial yang bagus dan “ji” didasarkan pada nilai-nilai spiritual atau nilai-nilai Ketuhanan.

Demikian pula melakukan perilaku nilai-nilai Gus-ji-gang dimulai dari “gus” dan “ji” yaitu dengan menumbuhkan kesadaran diri dengan berperilaku “bagus” dan “menunaikan ibadah haji dan pintar ngaji” agar terbangun kekuatan spiritualitas yang justru memegang peranan penting dalam memenuhi seluruh kebutuhan melalui kegiatan ekonomi misalnya berdagang, membutuhkan sikap jujur, dipercaya, hubungan timbal balik yang baik, besyukur. Jadi berdasarkan filosofi

(28)

seluruh kebutuhan yang ada melalui kegiatan perdagangan industri bordir.

Pembagian Waktu antara Berdagang dan Beribadah

Dalam memanfaatkan waktu yang ada disamping untuk kegiatan ekonomi juga digunakan untuk kepentingan ibadah sehingga kehidupan ekonomi akan lebih sehat dan seimbang. Hal itu bisa dilihat secara empiris dalam kehidupan masyarakat Kudus. Kehidupan mencari nafkah dan kegiatan keagamaan masyarakat Kudus, sejalan dengan pemikiran Max Weber (1958) yaitu ada keterpaduan antara nilai agama dengan ekonomi. Demikian juga pemikiran Geertz (1989) bahwa, agama merupakan sistem kebudayaan54. Dalam hal ini agama merupakan pedoman yang dijadikan kerangka interpretasi tindakan manusia. Selain itu, agama juga merupakan pola dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup pada diri manusia yang tampak dalam kehidupan kesehariannya.

Kecenderungan untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan material adalah ”pembawaan naluriah” dan bagian dari sisi emosi manusia. Dalam hubungan ini, Weber memperlihatkan suatu sikap tentang perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya dengan konsep ”semangat kapitalisme”. Menurut Gerdon Marshall (1982), untuk menunjukkan manusia sebagai “homo economicus”, Weber mengatakan bahwa tujuan dalam hidup untuk mendapatkan kemakmuran dan kekayaan, maka untuk mencapai tujuan ini seseorang mesti ingat “waktu adalah uang”, hemat dalam pemakaian uang, tidak memboroskannya pada hal-hal yang tidak perlu dan tidak dipakai untuk hidup bermalas-malasan serta mencari kesenangan yang bersifat sementara, melainkan sedikit demi sedikit ditabung dan dijadikan kapital yang tentu akan menghasilkan keuntungan yang berlipat.

(29)

bagaimana membagi waktu yang ada untuk ibadah dan bisnis, adalah sebagai berikut:

Bapak H. Moch Anshori menyatakan bahwa:

“tujuan bisnis bordir adalah mewujudkan keseimbangan dunia dan akherat. Kebutuhan dunia, saya bekerja keras dalam usaha bordir dengan melakukan berbagai inovasi disain bordir, menawarkan hasil bordir ke berbagai daerah, mencari bahan baku yang sesuai, ini semua dalam rangka mencari rejeki untuk kebutuhan keluarga, tetapi di satu sisi saya melakukan kegiatan ibadah sholat, puasa, sedekah, zakat dan mengikuti berbagai pengajian. Ini harus imbang, kalau hanya mencari rejeki saja tanpa ibadah, maka rasanya hati kita akan kosong, dan hanya ibadah saja bisnis bordir bisa berhenti dan keluarga tidak makan”.

Sedangkan Ibu Hj.Sri Muni‟ah mengatakan:

“menawi tasih bisnis ngih bisnis, namun wedal ibadah ngih ibadah, kedah kalih-kalih ipun dilampahi sedoyo, injih

supados rejekinipun pikantuk barokah kangge keluargo”

Artinya:

masih menjalankan bisnis ya bisnis, namun waktu ibadah ya ibadah, harus dua-duanya dijalankan semua, supaya rejekinya dapat barokhah buat keluarga).

Lain halnya pendapat Ibu Islahiyah57 yang diungkapkan kepada peneliti:

”waktu sangat berharga sekali buat saya, ya untuk bisnis dan

(30)

Apa yang diungkapkan ketiga informan, kalau meminjam pemikiran Weber (1958), sudah sepantasnya kalau mereka tidak membuang-buang waktu dan bersenang-senang, melainkan harus bertekun dalam berbagai karya. Tentu saja dengan maksud untuk meningkatkan kebesaran Tuhan sekaligus mengikuti kehendak-Nya. Baxter (dalam Weber, 1958) menganjurkan setiap orang Kristen “bekerja keras dalam panggilannya”. Akan tetapi yang sangat penting adalah supaya “kerja” dipandang sebagai tujuan hidup seperti dikehendaki Tuhan dan orang yang tidak punya keinginan untuk bekerja adalah sebagai isyarat bagi tidak adanya anugerah Tuhan kepada diri seseorang.

(31)

CATATAN-CATATAN KAKI

1 Karel A Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kaca Mata Barat, (Yogyakarta: t.p.,1987),

hlm.31.

2 Ajat Sudrajat, Etika Protestam dan Kapitalisme Barat: Relavansinya dengan agama

Indonesia”.Jakarta:Bumi Aksara.1994), hlm.112)

3 Menurut R.Ng.Poebatjaraka, di seluruh tanah Jawa hanya ada satu tempat yang

namanya berasal dari bahasa Arab yaitu “Al Qudus” yang berarti “Suci”. Baca, Agus

Salim,H, “Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia”.Jakarta,1941.

4 Solichin Salam.1986. “Ja‟far Shadiq Sunan Kudus” Menara Kudus.hal 12.

5 Muljana, Slamet.2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya

negara-negara Islam di Nusantara”. PT LKIS Pelangi Aksara, hal 52.ISBN 9798451163.

6 Solichin Salam.1986. “Ja‟far Shadiq Sunan Kudus” Menara Kudus.hal 12

7 Tharekat berarti jalan, yaitu jalan menuju Tuhan. Secara khusus, tharekat diartikan

sebagai metode praktis untuk membimbing seseorang dengan jalan berpikir, merasa dan bertindak melalui tahap-tahap berkesinambungan ke arah pengalaman tertinggi yaitu hakekat. Dalam tharekat terdapat guru yang disebut mursyid, yang berfungsi sebagai pembimbing,pemimpin sekaligus menjadi tokoh sentral bagi penganutnya yang disebut murid. Selanjutnya untuk dibaca,Radjasa Mu‟tasim & Abdul Munir Mulkhan.

“Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyaraakat Sufi”. Yogyakarta. Pustaka Pelajar,

1998. hlm 3.

8 Etos adalah sikap yang diambil berdasarkan tanggung jawab moral. Mengingat sikap

moralnya itu sebagai sikap kehendaknya, maka tuntutan peningkatan etos secara implisit memuat tuduhan bahwa nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan atau sebagai budayanya, mengandung kehendak kurang baik. Karenanya, pihak yang menuntut etos tahu bagaimana orang lain harus bersikap supaya menjadi manusia baik. Baca. Frans Magnis Suseno, “Berfilsafat dari…”, op cit.,hlm 1-27.

9 Sunan Kudus yang saudagar atau pengusaha ulet ini didukung dengan jejak sejarah

Sunan Kudus yang dalam menjalankan misi dakwahnya tidak lepas dari jaringan lokal maupun global dalam dunia saudagar. Berdasarkan teori masuknya Islam ke Nusantara dari India, Persia atau Arab dengan kontak perdagangan meskipun akhirnya

memperluas untuk urusan dakwah Islam. Lihat Nur Said.”Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa„, (Bandung: Brillian Media Utama, 2010), hlm 38-39.

(32)

15 Disamping predikat“waliyyul ilmy dan wali saudagar”, Sunan Kudus memiliki citra

yang menonjol, yaitu sebagai (a)sosok pluralis dan multikultural, (b) filosof, (3) negarawan yang patriotis, (d) pujangga, (e) pemimpin yang merakyat, (f) ahli tasawuf (esoteris), (g) seniman dan arsitek handal. Lihat.Nur Said. Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa, (Bandung; Brillian Media Utama, 2010) hal 35-47

16 Hasyim Asy‟ari.2003.”Wong Kudus:Bersikap Sak Titahe, Bergaya Meliter”, Suara

Merdeka,23 Juli.

17 Wawancara dengan Dr.Abdul Jalil.M.Ei tanggal 7 Februari 2015.

18 Penampilan maliter itu identik dengan pakaian yang bagus,kendaraan yang mulus,

dan rumah yang bagus, tentu saja bergaya hidup maliter akhirnya juga harus mengikuti perkembangan mode. Bergaya maliter akan menjadi pantangan dan disorot secara tajam, manakala gaya maliter itu hanya pamer kekayaan. Sebaliknya, bergaya maliter akan dihormati bila sebagai salah satu simbol mensyukuri nikmat atas keberhasilan, dan ini merupakan bagus dalam kategori Gus-ji-gang. Abdul Jalil. Spritual Entrepreneurship:Tranformasi Spiritual Kewirausahaan. (PT.LkiS Printing Cemerlang, 2013). hal.141-142.

19 Prima facie, artinya sejauh tidak ada pertimbangan tambahan yang menurut

penilaian khusus, dalam hal ini berati bersikap tahu diri atau eling ini mengimplikasikan maksud, menyadari (dalam rasa) sebagai warga ekosistem bumi, sebagai bagian masyarakat dan alam maka tidak merusak melainkan memperindah dan

atau menjaga keselamatannya. Franz Magnis Suiseno,”Etika Dasar…,op cit., hal.136. Lihat juga Franz Magnis Suseno,”Kuasa…,op.cit, hal.168.

20 Keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib

untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya, Lihat Hildred

Greertz,”The Javanese Family,A Study of Kinship and Socialization” (The free Press of Glencoe,1961), hal.147.

21Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa

takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan. Isin berarti malu, juga dalam arti malu-malu, merasa bersalah, dan sebagainya.Isin dan sikap hormat merupakan suatu kesatuan.Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif. Berbeda dengan rasa isin, perasaan sungkan bukanlah suatu rasa yang mesti dicegah.Sungkan bisa diggambarkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal, atau sebagai “pengakuan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain. Hilderd Geertz, Keluarga Jawa; Terjemahan dari : “The Javanese Family a Study of

Kinship and Socialization‟ (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hlm.113-117.

(33)

25 Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tenteram”,” tanpa

perselisihan dan pertentangan”,“bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Lihat Niels Murder, “Mysticism and Everyday Life in Comtenporary Java Cultural Persistence and Change”. Singapore;Singapore University Press,1978).hlm.39.

26 Segi ini ditekankan oleh H.Geertz (1976. pp.47,53,147), Willner (1970;268).

27 Etika di sini dimaknai sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan

oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Lihat Franz Magnis Suseno,Etika Dasar….,op.,cit.hlm.37

28 Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah setelah melakukan usaha keras. Jadi,

sikap pasrah itu syaratnya, yaitu baru dilakukan setelah terlebih dahulu berusaha secara keras. Bukan sebaliknya, tidak pernah berusaha keras, namun pasrah. Wawancara dengan Prof. Akdullah Kelib, SH. tanggal 5 Desember 2014.

29 Masyhuri, 2001. Tradisi Ekonomi Santri Masyarakat Kudus dalam Era Otonomi dan

Globalisasi”, makalah pada Seminar ”Tradisi Ekonomi Masyarakat Kudus:Antara

Otonomi Daerah dan Globalisasi”,diselenggarakan oleh Yayasan Masjid dan Menara Kudus (YM3SK) dan Central Riset dan Manajemen Informasi (Cermin,Kudus,31 Maret 2001.

30 Spiritual terdiri dari hal-hal sebagai berikut: (a) Berhubungan dengan sesuatu yang

tidak diketahui/tidak pasti; (b) Bertujuan menemukan arti dan tujuan hidup; (c) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dari dalam diri sendiri; dan (d) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha tinggi. Lihat dalam. Burkhardt, “Characteristics of spirituality in the lives of

women in a rural appalachian community”,dalam Journal of Transcultural Nursing.vol.4,1993,hlm.12-18.

31Wawancara dengan Ibu Hj Sri Murni‟ah tanggal 21 Oktober 2014. 32 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori pada 14 Oktober 2014 33 Wawancara dengan Bapak Hasan pada 10 Agustus 2014.

34Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah pada 13 Oktober 2014.

35 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori pada tanggal 14 Oktober 2014

36 Kamus Besar Bahasa Indonesia,2004. santri berari orang yang mendalami agama

Islam atau orang yang beribadat dengan sungguh - sungguh; orang yang saleh

37 Belajar adalah perubahan tingkah laku seseorang dianggap telah belajar sesuatu bila

ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.

38 Wawancara dengan Bp. Denny Nurhakim, pada hari Sabtu,15 Februari 2014 jam

10.15 di Kantor Yayasan Masjid Menaro Kusus.

(34)

41 Wawancara dengan Bapak Haji Moch Anshori tanggal 14 Oktober 2014. 42 Wawancara dengan Bapak Rosyadi tanggal 9 Oktober 2014.

43Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 12 Oktober 2014 44 Wawancara dengn Ibu Nurul Hikmah tanggal 5 Januari 2015

45 Wawancara dengan Bapak Achsanudin Ismanto tanggal 16 Oktober 2014 46 Wawancara dengan Bapak Siswanto Non Muslim tanggal 3 Januari 2015

47 Menurut The Liang Gie, dorongan batin adalah, keingintahuan yang tidak dapat

ditindas untuk menemukan alam semesta dan dirinya sendiri serta meningkatkan kesadarannya tentang dunia yang di dalamnya manusia hidup dan bertindak. The Liang Gie, Segi-segi Pemikiran Ilmiah, (Yogyakarta: PBIB, 2003), hal. 9.

48 Menurut Suwito, transformasi sosial pada hakikatnya adalah, transformasi kesadaran.

Transformasi sosial dilahirkan dari teori kritis, bisa disebabkan karena perubahan penafsiran dan pemahaman terhadap nilai-nilai yang telah diyakini. Pemahaman dahulu (pemahaman lama atau tradisional) dianggap usang dan tidak sesuai lagi dengan konteks ruang ke-disini-an (hereness) dan waktu ke-kini-an (nowness), yang secara otomatis akan mengubah cara pandang, teori dan gerak langkah (aktivitas). Suwito N.S., Transformasi Sosial: Kajian Epistemologis Ali Sari‟ati tentang Pemikiran Islam

Modern, (Yogyakarta: Unggul Religi, 2000), hal 89-90.

49 Kecenderungan spirit dagang masyarakat Kudus juga diikuti oleh sebagian kaum

tharikat Kudus yang cukup menonjol, baca dalam Radjasa Mu‟tasyin dan Abdul Munir Mulknan.1998.”Bisnis Kaum Sufi,Studi Tharikat dalam Masyarakat Industri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

50 Ayat-ayat al-Qur‟an banyak mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim

berperilaku,baik yang secara jelas mengatur hukum-hukum syari‟at Islam maupun secara implikasi menjelaskan garis-garis besarnya saja, as –Sunah berarti cara, adat istiadat, dan kebiasaan hidup yang mengacu pada perilaku Rasuullah SAW, yang dijadikan suri tauladan oleh manusia. Baca Teguh Suhardi,” Ekonomi

Syari‟ah,Konsep,Praktik & Penguatan Kelembagaanya”, Semarang: Pustaka Rizki Putra,

2009), hal 5.

51Ijma‟ merupakan hasil konsensus, baik dari masyarakat maupun para cendekiawan

agama; Ijtihat secara teknik berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit

banyaknya suatu permasalahan syari‟at, Qiyas adalah analogi yang memperluas hukum

ayat kepada persoalan yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya. Perluasan hukum melalui qiyas atau analogi tidak membentuk hukum yang baru, malainkan

membentuk manusia untuk menemukan hukum. Teguh Suhardi,” Ekonomi Syariat…”,

op.cit,hal 5-6.

(35)

54 Sistem kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam

pengertian di mana individu-individu dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-orang mengkomunikasikan, mengabdikannya, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur

perilaku, sumber informasi yang ekstrasomik. Baca Clifford Geertz, 1981.”Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa”. Pustaka Jaya, Jakarta. Kebudayaan merupakan

suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan, Selanjutnya baca dalam Kuper. Adam, 1999. hal.98.

Referensi

Dokumen terkait

Teknik penjamin keabsahan data didasarkan pada empat kategori yaitu: uji kredibilitas (kepercayaan), transferabilitas (keteralihan), dependebilitas (kebergantungan)

Penelitian ini berjudul Persepsi Mahasiswa Mengenai Go-Jek (Studi Deskriptif Kuantitatif Tentang Persepsi Mengenail Layanan GO-Jek di Kalangan Mahasiswa Universitas Sumatera

Jika enzim xilanase yang digunakan dalam proses kraft tidak memiliki stabilitas yang tinggi terhadap pH dan suhu tinggi, maka penggunaan enzim xilanase di industri kertas tidak

Download file pesanan sekolah yang sudah diupload dan pesanan dinas Mengirim pesanan ke penyedia.. Kirim

Mahasiswa bisa melakukan estimasi parameter atas beda mean dua populasi, estimasi proporsi populasi, dan estimasi beda proporsi..

Bangka Tengah, Komplek Perkantoran dan Permukiman Terpadu Pemerintah Kabupaten Bangka i Tengah, Jl Raya By Pass No.. 1

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara