BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Anak Berkebutuhan Khusus
Istilah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merujuk pada anak yang memiliki kesulitan atau ketidakmampuan belajar yang membuatnya sulit untuk belajar atau mengakses pendidikan dibandingkan kebanyakan anak seusianya (Thompson, 2014:2).
Anak-anak berkebutuhan khusus, seperti anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunalaras, tunadaksa, dan anak berkesulitan belajar, serta anak dengan kecacatan ganda merupakan anak yang relatif mengalami hambatan dalam perkembangan, maupun dalam kariernya. Berbagai macam problem sering dihadapi mereka, baik problem dibidang akademik, psikologis, maupun problem-problem sosial (Suharmini, 2009: 1).
Anak berkebutuhan khusus memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Delphie (2006: 1) mengatakan di negara Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan layanan antara lain sebagai berikut:
a. Anak yang mengalami hendaya (impairment) penglihatan (tunanetra), khususnya anak buta dimana seseorang tidak dapat menggunakan indera penglihatannya untuk mengikuti segala kegiatan belajar maupun kehidupan sehari-hari. Umumnya kegiatan belajar dilakukan dengan rabaan atau taktil karena kemampuan indera raba sangat menonjol untuk menggantikan indera penglihatan.
b. Anak dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu wicara), pada umumnya mereka mempunyai hambatan pendengaran dan kesulitan melakukan komunikasi secara lisan dengan orang lain.
c. Anak dengan hendaya perkembangan kemampuan (tunagrahita), memiliki problema belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan inteligensi, mental, emosi, sosial, dan fisik.
otot-otot tubuhnya, sehingga digolongkan sebagai anak yang membutuhkan layanan khusus pada gerak anggota tubuhnya.
e. Anak dengan hendaya perilaku maladjustment. Anak yang berperilaku maladjustment sering disebut dengan anak tunalaras. Karakteristik yang menonjol antara lain sering membuat keonaran secara berlebihan, dan bertendensi kearah perilaku kriminal. f. Anak dengan hendaya autism (autistic children). Anak autistik mempunyai kelainan
ketidakmampuan berbahasa. Hal ini diakibatkan oleh adanya cedera pada otak. Kelainan pada anak autistik meliputi kelainan berbicara, kelainan fungsi saraf dan
intelektual, serta perilaku ganjil.
g. Anak dengan hendaya hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive). Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms. Ciri-ciri yang dapat dilihat antara lain selalu berjalan, tidak mau diam, suka mengganggu teman, suka berpindah-pindah, sulit berkonsentrasi, sulit mengikuti perintah atau suruhan, bermasalah dalam belajar, dan kurang atensi terhadap pelajaran.
h. Anak dengan hendaya belajar (learning disability). Istilah ini ditujukan pada siswa yang mempunyai prestasi rendah dalam bidang akademik tertentu, seperti membaca, menulis dan kemampuan matematika.
i. Anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multi handicapped and developmentally disabled children). Sering disebut dengan istilah tunaganda yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup hambatan-hambatan perkembangan neurologis.
2. Tunagrahita
Anak penyandang tunagrahita memiliki karakteristik yang berbeda dibanding dengan anak-anak normal seusianya. Dalam beberapa referensi, ada beberapa istilah untuk menyebut anak tunagrahita, diantaranya adalah mental illness, mental retardation, mental retarded, mental deficiency, mentally defective, mentally handicapped, mental sub normality, feeblemindedness, oligophrenia, amentia, gangguan intelektual, dan terbelakang mental, anak dengan hendaya perkembangan kemampuan, dll.
perkembangan intelegensi, mental, sosial dan fisik. Delphie (2006: 15) juga menambahkan, anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual di bawah rerata. Seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan spesifik, termasuk dalam program pendidikannya (Bratanata dalam Efendi, 2009: 88).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa tunagrahita adalah cacat mental dimana seseorang memiliki kemampuan intelektual yang sangat kurang dan
dibuktikan dengan IQ (kemampuan kognitif) mereka dibawah rata-rata normal, sehingga dalam melakukan aktivitas dan perkembangannya memerlukan bantuan khusus dari orang lain.
Karakteristik anak dengan tunagrahita menurut Delphie (2006: 17) meliputi hal-hal berikut ini.
a. Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama seperti anak-anak yang tidak menyandang tunagrahita.
b. Selalu besifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali melakukan kesalahan (expectancy for filure).
c. Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness).
d. Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri.
e. Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial (social behavioral). f. Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar.
g. Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan. h. Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik.
i. Kurang mampu untuk berkomunikasi.
j. Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak.
k. Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala depresif. Berbagai cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita.
sosial mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada derajat kemampuan menyesuaikan diri atau ketidaktergantungan pada orang lain, sehingga untuk menentukan berat-ringannya ketergantungan dilihat dari tingkatan penyesuaiannya, seperti tidak tergantung, semi tergantung, atau sama sekali tidak tergantung pada orang lain. Psikolog mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada aspek indeks mental intelegensinya, indikasinya dapat dilihat pada angka hasil tes kecerdasan (IQ). Seorang pedagog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak, yaitu anak tunagrahita mampu didik, mampu latih, dan mampu rawat.
Berdasarkan hasil tes intelegensi-nya (tes IQ), anak tunagrahita dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Somantri (2006: 106-108) mengelompokkannya sebagai berikut:
a. Tunagrahita ringan
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut skala Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih bisa belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Mereka juga dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled (petani, peternak, pekerjaan rumah tangga, dll). Namun demikian, mereka tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen. Secara fisik, anak tunagrahita tampak seperti anak normal pada umumnya sehingga sedikit sukar untuk membedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal.
b. Tunagrahita sedang
Anak tunagrahita sedang disebut imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan 54-40 pada skala Weschler (WISC). Mereka dapat dididik mengurusi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya,
berlindung dari hujan, dan sebagainya. Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung
sehari-hari, membutuhkan pengawasan yang terus menerus. Mereka juga masih dapat bekerja di tempat kerja terlindung (sheltered workshop).
c. Tunagrahita berat
[image:5.612.76.545.71.540.2]Anak tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memilik IQ 35-20 menurut skala Binet dan antara 39-25 menurut skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19 menurut skala Binet dan IQ di bawah 24 menurt skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian, mandi, makan, dll. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.
Tabel 1. Klasifikasi Anak Tunagrahita Berdasarkan Derajat Keterbelakangannya Sumber: Blake dalam Somantri (2006:108)
Level Keterbelakangan
IQ
Stanford Binet Skala Weschler
Ringan 68-52 69-55
Sedang 51-36 54-40
Berat 32-90 39-25
Sangat Berat > 19 > 24
Pendapat berbeda juga dikemukakan oleh Efendi (2009: 90) yang mengklasifikasikan anak tunagrahita kedalam beberapa klasifikasi berdasarkan pada penilaian program pendidikan yang disajikan, sebagai berikut:
tunagrahatia mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan.
b. Anak tunagrahita mampu latih (imbecil, IQ 25-50), adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik. Beberapa kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu diberdayakan, yaitu belajar mengurus diri sendiri, belajar menyesuaikan di lingkungan rumah atau sekitarnya, dll. Jadi, anak tunagrahita mampu latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk
mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari, serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya.
c. Anak tunagrahita mampu rawat (idiot, IQ 0-25), adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus diri sendiri sangat membutuhkan orang lain dengan kata lain, anak tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain.
3. Soal Cerita
Menurut Mampouw, dkk, soal cerita adalah situasi yang dinyatakan secara hipotetik menggunakan kata-kata. Di dalam matematika, soal cerita yang dinyatakan secara verbal diterjemahkan ke dalam bahasa matematika. Menemukan nilai, mendefinisikan variabel, memilih operasi hitung, menentukan formula, membuat ilustrasi gambar, bagan dan menetapkan langkah solusi adalah contoh-contoh bahasa matematika.
Tidak semua anak yang paham dan hafal mengenai perkalian dapat dengan mudah mengerjakan perkalian dalam bentuk soal cerita. Aktivitas menemukan solusi soal cerita adalah bagian dari cara siswa berlatih dan meningkatkan kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Untuk bisa memahami soal cerita, dapat mengaplikasikan konsep teori Bruner.
yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu.
Bruner melalui teorinya mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak baiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat digunakan oleh siswa untuk memahami suatu konsep matematika. Proses pembelajaran yang diterapkan oleh Bruner akan terjadi secara optimal bila memenuhi 3 tahap berikut:
a. Tahap Enaktif
Dalam tahap ini individu melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya memahami lingkungan sekitarnya atau memanipulasi objek sekitar.
b. Tahap ikonik
Individu memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar dan visualisasi verbal. Memahami lingkungan sekitar dengan bentuk perumpamaan dan perbandingan. c. Tahap Simbolik
Tahap ini, individu telah mampu memiliki ide atau gagasan abstrak yang dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Memahami lingkungan sekitar dengan simbol-simbol yang ada.
Ketiga tahapan tersebut dapat diaplikasikan bagi siswa yang kesulitan memahami soal cerita. Tahap yang paling sulit adalah tahap simbolik dimana siswa dituntut untuk memahami soal cerita hanya dengan membaca soal saja. Jika siswa belum bisa memahami soal cerita tersebut, siswa diberikan gambar atau visualisasi verbal (tahap ikonik). Apabila siswa masih mengalami kesulitan dalam memahami soal cerita, diberikan benda nyata yang memberikan gambaran dari soal cerita tersebut (tahap enaktif).
4. Perkalian
Perkalian adalah salah satu operasi hitung dasar matematika yang dipelajari di
a. Scalar Multiplication
Scalar multiplication berlaku pada situasi dimana ada beberapa kelompok objek-objek yang memiliki jumlah yang sama di setiap kelompoknya. Pascual-Leone menuliskan contoh soal sebagai berikut: “Three children have four cookies each. How many cookies do they have altogether?”.Ia juga memberikan contoh lain “Today at my store 1 candy costs 5 cents. How much will 3 candies cost?”.
b. Array Multiplication (a type of Cartesian Problem)
Untuk memahami tipe perkalian ini, seseorang harus dapat
memvisualisasikan/membayangkan 2 nilai yang berbeda dalam permasalahan ini ke dalam bentuk kolom dan baris serta tampilan yang diciptakan dari 2 dimensi tersebut. Pascual-Leone memberikan contoh soal “We are baking cookies. If we can fit 5 cookies along the long side of the tray and 3 cookies along the short side of the tray, how many
cookies can we bake on the tray?”. Untuk mengkonsepsikan masalah ini sebagai Array
Problem, seseorang harus mengenali bahwa jumlah pada satu sisi itu (misalnya 5 roti)
konstan untuk pengulangan yang yang diindikasikan oleh jumlah yang lain (misalnya
3 roti). Tipe ini berhubungan dengan kesatuan 2 dimensi yang tetap dan tidak berubah.
c. Combinatorial Multiplication (a type of Cartesian problem)
Combinatorial multiplication melibatkan pembentukan sebuah satuan komposit (gabungan) baru (atau unit) dari dua satuan yang berbeda dan lebih sederhana. Unit baru yang dibentuk dari dua unit yang berbeda itu secara semantik berbeda jika dibandingkan dengan unit asalnya. Contoh dalam tipe ini adalah “Brian has 6 shirts
and 3 pairs of pants. How many different outfits can he make with all his shirts and
pants?”.
Menyelesaikan variasi-variasi masalah perkalian membantu siswa untuk memahami
bagaimana operasi perkalian dapat diaplikasikan dalam situasi yang berbeda. Ontario
Education dalam buku Number Sense and Numeration, Grades 4 to 6 volume 3
Multiplication (2006: 13) juga menjelaskan mengenai tipe-tipe perkalian. Tipe perkalian
dalam buku ini sedikit berbeda dengan tipe-tipe menurut Pascual-Leone. Tipe-tipe tersebut
yaitu:
Equal-group problems melibatkan penggabungan himpunan-himpunan/kelompok-kelompok yang memiliki ukuran sama. Contoh: “In a classroom, each work basket contains 5 markers. if there are 6 work baskets, how many markers are there?”, “Kendra bought 4 packs of stickers. Each pack cost $1.19. how much did she pay?”. b. Multiplicative-Comparison Problem
Multiplicative-comparison melibatkan perbandingan dua bilangan dimana salah
satunya adalah kelipatan bilangan lainnya. Contoh: “Luke’s dad is four times older than
Luke is. If Luke is 9 years old, how old is his dad?”, “Felipe’s older sister is trying to
save money. This month she saved 5 times as much money as she did last month. Last
month she saved $5.70. How much did she save this month?”.
c. Array Multiplication
Dalam array multiplication, angka di setiap baris mewakili satu dari faktor-faktor yang
ada dalam perkalian, sedangkan angka dari kolom-kolom mewakili factor lainnya. Contoh: “Amy’s uncle has a large stamp collection. Her uncle displayed all his stamps from Australia on a large sheet of paper. Amy noticed that there were 8 rows of stamps
with 12 stamps in each row. How many Australian stamps are there?”.
Meskipun siswa-siswa telah mempelajari perkalian beserta aplikasi dalam bentuk
soal cerita sejak bangku sekolah dasar, namun mereka tidak diajarkan mengenai tipe-tipe
perkalian ini. Dalam penelitian ini, penulis mengacu pendapat Pascual-Leone, yang
menyebutkan 3 tipe perkalian yaitu Scalar Multiplication, Array Multiplication, dan
Combinatorial Multiplication.
B. Penelitian yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan siswa tunagrahita dan pembelajaran operasi hitung perkalian yang telah dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Sri Hartati pada tahun 2009 yang menyimpulkan bahwa dengan media pembelajaran
permainan kartu dapat meningkatkan prestasi belajar matematika bagi anak tunagrahita kelas D1/C SLB.B-C YPA ALB Langenharjo tahun ajaran 2008/2009. Dengan media permainan
permainan kartu anak tunagrahita akan lebih mudah dalam mengingat materi pelajaran matematika.
Ranu Fitra Pradhitya juga telah melakukan penelitian mengenai profil berpikir geometri siswa tunagrahita berdasarkan tingkatan van Hiele di SMPLB Negeri Salatiga (2015) dan menyimpulkan bahwa ketiga siswa tunagrahita cenderung memiliki kemampuan yang sama dalam berpikir geometri. Ketiga siswa dapat mencapai tingkat satu (visualisasi) berdasarkan tingkatan berpikir geometri van Hiele, namun terbatas pada bentuk-bentuk bangun geometri yang dipahami atau dikenalnya.
Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Jhoni Hendra (2012) mengenai kemampuan operasi hitung penjumlahan dengan pembelajaran matematika realistik pada anak tunagrahita sedang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan terhadap kemampuan penjumlahan pada anak tunagrahita dengan pembelajaran matematika realistik.
I Ketut Yarta (2010) juga telah melakukan penelitian mengenai peningkatan kemampuan belajar matematika melalui permainan memancing pada anak tunagrahita sedang (C1) kelas dasar V di SLB/C Kemala Bhayangkari Tabanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada peningkatan kemampuan belajar matematika melalui permainan memancing.
Poulomee Datta (2014) dalam penelitiannya mengenai Test Anxiety Research: Students with Vision Impairments and Students with Mild Intellectual Disabilities menghasilkan siswa dengan gangguan penglihatan lebih tinggi physical reactions (emotionality) daripada cognitive fears (worry), sedangkan bagi anak tunagrahita kebalikannya.