OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBINAAN DAN PENGAWASAN KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI UNTUK
MEWUJUDKAN KEDAULATAN MIGAS NASIONAL
Lomba Karya Tulis Mahasiswa Piala Haryo Mataram
Disusun Oleh:
Handayani Eka Budhianita ( 120710101205) Fatchur Rochman (120710101144)
UNIVERSITAS JEMBER JEMBER
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan Makalah yang berjudul “Optimalisasi Peran Pemerintah Dalam Pembinaan Dan Pengawasan Kegiatan Usaha Minyak Dan Gas Bumi”.
Karya Tulis Ilmiah ini dibuat dalam rangka Lomba Karya Tulis Mahasiswa Tingkat Nasional Piala Haryo Mataram yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan Makalah ini, khususnya kepada :
Ibu Ikarini D selaku Dosen Pembimbing kami, yang dengan sabar membimbing dan mendukung kami dalam penilisan Karya Tulis Ilmiah ini sehingga dapat diselesaikan tepat waktu,
Ayah dan Ibu tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis,
Dan tidak lupa teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember yang telah membantu dalam penelitian dan pengumpulan data untuk kami.
Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun bahasanya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi menyempurnakan penulis ini di masa yang akan datang.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat membawa manfaat terutama bagi penulis sendiri dan para pembaca sekalian. Terimakasih.
Jember, 09 April 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PENGESAHAN...ii
KATA PENGANTAR...iii
RINGKASAN ...iv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...1
1.2 Rumusan Masalah...4
1.3 Tujuan dan Manfaat...4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Negara Kesejahteraan...6
2.2 Pengertian Kedaulatan...6
2.3 Kedaulatan Atas Sumber Daya Alam...7
2.4 Minyak dan Gas Bumi...9
2.5 Hukum Migas Nasional...9
2.6 Dasar Hukum pengelolaan Migas di Indonesia... BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian...12
3.2 Pendekatan Masalah...12
3.3 Sumber Bahan Hukum 3.3.1 Bahan Hukum Primer...13
3.3.2 Bahan Hukum Sekunder...14
3.3.3 Bahan Non Hukum...14
3.4 ANALISA BAHAN HUKUM...14
BAB IV. PEMBAHASAN 4.1 Tata Kelola Migas di Indonesia Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012...16
4.3 Upaya Optimalisasi Peran Pemerintah dalam Pembinaan dan
Pengawasan Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi...22
BAB V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan...30
5.2 Saran...30
DAFTAR PUSTAKA...31
BIODATA PENULIS...32
Optimalisasi Peran Pemerintah Dalam Pembinaan Dan Pengawasan Kegiatan Usaha Minyak Dan Gas Bumi; Handayani Eka Budhianita, 120710101205; Fatchur Rochman, 120710101144; 2014: 32 halaman; Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Jember.
Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam yang melimpah yang mana patut disyukuri dan dipelihara. Berdasarkan Lembaga Kajian untuk Reformasi Pertambangan, Energi, bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi negara yang besar dan makmur. Hal ini juga didukung dengan adanya pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mencerminkan bahwa adanya komitmen negara untuk memakmurkan rakyatnya melalui sumber daya alam yang ada di wilayah negara Indonesia. Akan tetapi nilai yang terkandung dalam pasal tersebut dirasa dicederai dan menjadi norma yang kosong seiring dengan diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang dirasa membuka peluang asing untuk menguasai sumber daya alam dan hal ini berpengaruh kepada kedaulatan Indonesia atas Minyak dan Gas Bumi. Undang – Undang No 22 Tahun 2001 seharusnya menjadi “jawaban” atas persoalan Minyak dan Gas Bumi di wilayah Indonesia, akan tetapi adanya Undang-Undang tersebut seolah membuat masalah baru terkait dengan adanya lembaga – lembaga pengelola Minyak dan Gas Bumi, dan lemahnya peran pemerintah dalam pembinaan dan pengawasannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu optimalisasi peran pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Tujuan penelitian Karya Tulis Ilmiah ini yaitu untuk mengetahui pengaturan mengenai pengelolaan migas di Indonesia; untuk mengetahui kelemahan – kelemahan dalam pengaturan kelembagaan pengelola migas di Indonesia serta mengevaluasi sekaligus memberikan suatu gagasan konsep pengaturan migas nasional yang lebih menekankan pada konsep kedaulatan Negara atas Sumber Daya Alam.
Tipe penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif sehingga difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah – kaidah atau norma – norma dalam hukum positif dan kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan. Metode pendekatan masalah yang dipergunakan adalah metode pendekatan undang – undang dan pendekatan konseptual, yang mana pendekatan undang – undang dilakukan dengan menelaah semua undang – undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, sedangkan pendekatan konseptual dengan mengedepankan pandangan dan doktrin yang sedang berkembang di dalam ilmu hukum.
kontaktor padahal pemerintah adalah pemegang kuasa migas. Dengan beberapa alasan munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X-2012 mengakibatkan adanya beberapa pembatalan pasal di dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 dan adanya pembubaran BP Migas karena dirasa bertentangan dengan UUD 1945 dan “merendahkan” kedaulatan negara atas migas. Jika dilakukan suatu evaluasi terkait dengan permasalahan migas Nasional, pemerintah sebagai pemegang peran dalam kuasa pertambangan, pembina sekaligus pengatur tata kelola migas Nasional kurang dalam pengawasan lembaga dan kewenangan sekaligus tugas dari setiap lembaga pengelola Migas yang pada akhirnya terjadi suatu “tumpang tindih: kewenangan antar lembaga, sekaligus memberikan celah bagi asing untuk menguasai sektor Migas Indonesia yang mengakibatkan kerugian bagi negara sebagai negara kesejahteraan.
Banyaknya lembaga pengelola migas dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 yang mengakibatkan kurang efektif dan kerancuan atas segala kewenangan dan kebijakan, mengakibatkan kurang optimalnya sumber pendapatan negara atas Migas yang pada dasarnya migas Nasionl akan diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat ( Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Oleh karena itu, upaya optimalisasi peran pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sangat diperlukan guna kemajuan dan perbaikan sistem tata kelola Migas dan juga untuk mengembalikan kedaulatan migas kepada Pemerintah yang akan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pembenahan yang harus dimuat di dalam Undang – Undang pengganti Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 adalah terkait penyatuan lembaga pembinaan dan pengawasan dalam usaha kegiatan migas dengan cara memberikan kewenangan pembinaan dan pengawasan kepada Kementrian yang terkait dengan sumber daya mineral dengan langkah awal menjadikan Pertamina sebagai satu satunya Perusahaan Negara yang telah ditugaskan untuk melaksanakan semua kegiatan pengolahan Minyak dan Gas Bumi yang dapat dikatakan sebagai pengembalian tata kelola migas kepada UU Nomor 8 tahun 1971, sehingga pemerintah akan mudah mengontrol dan mengawasi segala kegiatan terkait pengelolaan migas nasional.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan sumber daya alam yang melimpah ruah kepada Bangsa Indonesia. Emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, serta sumber daya alam lain yang terkandung di dalam bumi Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang patut disyukuri dan dipelihara. Berdasarkan Lembaga Kajian untuk Reformasi Pertambangan, Energi, dan Lingkungan Hidup (ReforMiner Institute), cadangan minyak per tahun 2011 sekitar 3,74 miliar barel, dan untuk cadangan gas bumi, menurut catatan ReforMiner sebesar sekitar 104,71 triliun standar feet kubik/Tera Standard Cubic Feet (TSCF). 1Survei tersebut merupakan sebuah bukti bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi negara yang besar, dan makmur.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “ Bumi dan air serta kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini merupakan suatu komitmen Negara Indonesia untuk memakmurkan rakyatnya melalui penguasaan atas sumber daya alam yang terkandung di dalam perut bumi pertiwi Indonesia. Dalam hal ini, hak penguasaan negara atas sumber daya alam memberi wewenang kepada negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Akan tetapi, Nilai-nilai yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 seakan hanya menjadi norma dan nilai kosong ketika diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tersebut pada pasal 41 ayat (2) ditegaskan bahwa Badan Pelaksana ( BP MIGAS) memiliki tugas sebagai badan pengawas usaha Minyak dan Gas Bumi akan tetapi, pada kenyataannya BP Migas yang mana adalah Badan Hukum Negara, juga menandatangani Kontrak Kerja Sama Migas yang meliputi seluruh transaksi pengaturan dan jual beli Migas Negara yang pada akhirnya menimbulkan penurunan dan kerugian bagi negara. Oleh karena itu, Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 dirasa bertentangan dengan semangat yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini merupakan sebuah ironi dimana undang-undang tersebut yang seharusnya menjadi peraturan pelaksana atas Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 justru mengebiri kedaulatan Indonesia atas Minyak dan Gas Buminya sendiri. Hal ini diperkuat dengan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan mengatakan sebesar 75 persen proyek minyak dan gas dikuasai oleh perusahaan asing.2
Sesungguhnya, ketika diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi pada tanggal 23 November 2001, masyarakat Indonesia mengharapkan setidaknya masalah Minyak dan Gas akan segera teratasi. Hal ini dikarenakan minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selain itu, peraturan perundang-undangan mengenai
Minyak dan Gas Bumi merupakan peraturan perundang-undangan yang banyak dikaji dan dianalisis oleh para ahli karena peraturan tersebut memberikan fondasi yang kuat dan landasan yuridis bagi suatu sektor yang sangat penting bagi masyarakat banyak.
Namun, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi menyisakan masalah krusial. Salah satunya adalah dalam hal pengelolaan minyak dan gas bumi. Sejak diundangkannya undang-undang tersebut, pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia menjadi terfragmentasi ke beberapa kementerian dan institusi. Selain Kementerian ESDM, terdapat pula BP Migas (yang kemudian diganti dengan SKK Migas), BPH Migas, Pertamina, PGN yang ikut serta dalam pengelolaan migas nasional. Selain itu, BUMD, swasta nasional dan kalangan asing ikut meramaikan pengelolaan migas di Indonesia.
Sebagaimana yang kita ketahui, aspek pemberdayaan perusahaan nasional dalam pengelolaan migas meliputi sektor hulu dan sektor hilir. Kaitan dan kontribusi masing-masing segmen tata kelola migas yang terdiri atas eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga serta jasa penunjang diharapkan dapat meningkatkan kemandirian dan daya saing perusahaan nasional.
mewujudkan kedaulatan migas nasional ditinjau dari aspek kelembagaan pengelola migas nasional.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah mekanisme tata kelola migas di Indonesia berdasarkan UU no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012?
2. Bagaimana bentuk evaluasi pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam tata kelola migas?
3. Bagaimanakah upaya untuk mengoptimalisasikan Peran Pemerintah dalam Pembinaan dan Pengawasan Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, adalah:
1. Sebagai tujuan deskriptif, yaitu untuk mengetahui pengaturan mengenai pengelolaan migas di Indonesia. 2. Sebagai tujuan edukatif, yaitu untuk mengetahui
kelemahan-kelemahan dalam pengaturan kelembagaan pengelola migas di Indonesia.
3. Sebagai tujuan kreatif, yaitu untuk menciptakan suatu konsep pengaturan mengenai migas Nasional yang lebih menekankan pada konsep kedaulatan Negara atas Sumber Daya Alam.
Adapun manfaat yang ingin dicapai penulis, adalah
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai referensi mengenai pengaturan mengenai pengelolaan migas di Indonesia.
masyarakat, maupun bagi DPR dan Presiden, selaku lembaga yang berwenang untuk membuat undang-undang. 3. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
wacana pengembangan ilmu hukum, terutama mengenai pengaturan mengenai migas Nasional yang lebih menekankan pada konsep kedaulatan Negara atas Sumber Daya Alam.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Negara Kesejahteraan
terutama melalui perlindungan sosial yang mencakup jaminan sosial yang ditujukan untuk kesejahteraan warga negara secara adil dan berkelanjutan.
Definisi welfare State atau negara kesejahteraan juga ada dalam collin colbuid English Dictionary dikutip Safri Nugraha menyebutkan : Negara Kesejahteraan adalah suatu sistem pemerintahan yang menyediakan pelayanan sosial secara dalam hal: kesehatan, pendidikan, dan bantuan keuangan tidak mampu bekerja karena usia lanjut, pengangguran atau sakit. 3 Oleh karena itu, secara garis besar bahwa negara kesejahteraan mengedepankan terhadap langkah-langkah pemerintah demi mewujudkan suatu kesejahteraan dalam segala aspek kehidupan bernegara.
2.2 Pengertian Kedaulatan
Kedaulatan dari Bahasa latin “supremus” yang artinya supremasi sama dengan di atas dan menguasai segalanya. Dalam Negara kedaulatan mempunyai arti kekuasaan tertinggi yang mengatasi segala kekuasaan lainnya kecuali kekuasaan Tuhan.4 Ciri khas kedaulatan adalah kekuasaan itu sama sekali tidak terikat dan tidak dibatasi oleh apapun. 5Kedaulatan adalah suatu kekuasaan tertinggi pada suatu Negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah dalam suatu Negara tersebut.
Kedaulatan adalah atribut dari suatu negara, yaitu sebagai atribut hukum negara. Dalam arti sempit, kedaulatan dapat diartikan kemerdekaan sepenuhnya. Dalam arti luas kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang merdeka dari pengaruh kekuasaan lainnya di muka bumi. Kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri terdapat penganut dalam dua teori yaitu berdasarkan pemberian dari Tuhan atau Masyarakat.6
Dalam hukum konstitusi dan internasional, konsep kedaulatan terkait dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam
3 Collin Colbuild English Dictionary, 1997, hal. 1898, dalam Safri Nugraha, Pivatisation of Siafe Enterprises ln The 20th Century A Step Forwards Or Backwards, Fakultas Hukum Ul, Jakarta, 2004, hal. 1.
4 Suryono,Hasan, 2008, Ilmu Negara. Solo: UNSPress, hal. 53
5 Ibid.
6http://blogbelajar-pintar.blogspot.com/2014/01/pengertian-kedaulatan.html
negerinya sendiri dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri. Dalam menjalankan kekuasaannya, setiap negara mempunyai cara-cara yang berbeda. Oleh sebab itu, kedaulatan suatu negara juga ada bermacam-macam antara lain kedaulatan Negara, Hukum, Rakyat.
2.3 Kedaulatan Atas Sumber Daya Alam
Kedaulatan negara atas Sumber Daya Alam (SDA) adalah kata lain dari “dikuasai oleh negara”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada tiga kosa kata yang terkait dengan kedaulatan, yaitu daulat; berdaulat; dan kedaulatan yang masing-masing berarti “kekuasaan”, “mempunyai kekuasaan tertinggi atas suatu pemerintahan negara atau daerah”, dan “kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya”7. Dengan demikian, kedaulatan atas sumber daya alam berarti kekuasaan tertinggi yang dimiliki negara atas sumber daya alam.
Pengertian “dikuasai oleh negara” juga mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.
Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.8 Prinsip ”dikuasai negara” tersebut dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang SDA yang lahir
7 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI); hal. 96
pascakemerdekaan maupun pascareformasi, di antaranya Undang-Undang No. 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara untuk kegiatan usaha di bidang pertambangan umum dan Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi untuk kegiatan usaha di bidang migas.9
2.4 Minyak dan Gas Bumi
Ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi mendefinisikan minyak bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Gas bumi menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi. Penyelenggaraan
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 pasal 2, didasarkan pada ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan.
2.5 Hukum Migas Nasional
Konsepsi dasar pengusahaan pertambangan migas di Indonesia adalah pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dinyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kewenangan Negara selanjutnya dinyatakan dalam pasal 2 ayat 2 UUPA No 5 tahun 1960, yang meliputi :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
2. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
menguasai hajat hidup orang banyak termasuk sumber daya alam yang dikuasai negara.
2.6 Dasar Hukum Pengelolaan Migas di Indonesia
Minyak dan gas bumi (MIGAS) adalah kekayaan alam sebagai karunia Tuhan yang diberikankepada bangsa Indonesia.10 Pengaturan hukum Migas di Indonesia, pada tataran konstitusi diatur dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal 33 ayat 2, menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Selanjutnya pasal 33 ayat 3 menegaskan bahwa Bumi, air dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada tataran legislasi, perangkat pengaturan hukum Migas diatur dalam Undang- Undang nomor 44 tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan Gas Bumi. Undang-undang nomer 15 tahun 1962 tetang Penetapan Pengaturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 2 tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak memenuhi kebutuhan dalam negara dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
Mengingat undang - undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sekarang dan kebutuhan masa depan, maka diadakan penyempurnaan, yakni dengan undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak Bumi dan Gas Bumi. Undang-undang ini telah membawa perubahan besar baik dalam sektor hulu maupun sektor hilir. Diantaranya adalah mengubah sistem monopoli ke arah sistem kompetisi, liberalisasi harga BBM, diciptakan badan baru yakni badan pelaksana dan badan pengatur yang menggantikan fungsi dan peran Pertamina selama ini.11
10 Boedi Harsono, 1997:217
Karena dianggap bertentangan dengan pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pada tanggal 14 Januari 2003 diaajukan Judicial Review UU Migas No 22 tahun 2001, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada tataran Regulasi pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomer 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha hulu Migas, Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomer 34 tahun 2005 tentang kegiatan usaha Migas, Peraturan Pemerintah nomer 36 tahun 2004 tentang usaha hilir migas, Peraturan Pemerintah nomer 1 tahun 2006 tentang besaran dan penggunaan iuran badan usaha dalam kegiatan usaha penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak dan pengangkutan Gas Bumi melalui pipa; Perpres nomer 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan faktor penting untuk penulisan yang bersifat ilmiah, metodologi merupakan cara kerja bagaimana menemukan atau memperoleh sesuatu atau menjalankan suatu kegiatan untuk memperoleh hasil yang konkrit dan cara utama untuk mencapai tujuan. Bahwa penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.12
Sehubungan dengan hal tersebut, agar tercipta suatu karya tulis yang sistematis dan terarah untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru yang sesuai dengan perkembangan yang ada, maka dalam penelitian skripsi ini akan digunakan metode penelitian sebagai berikut:
3.1 Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah yuridis normatif. Yuridis normatif adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Kemudian dihubungkan dengan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok pembahasan.13
3.2 Pendekatan Masalah
Metode pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Sedangkan pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang sedang berkembang di dalam ilmu hukum.14 Dalam karya ilmiah ini, peraturan perundang-undangan yang dijadikan pokok kajian adalah Undang-Undang no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
3.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum merupakan sarana dan alat dari suatu penelitian yang digukana untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan perskripsi mengenai apa yang seharusnya diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber hukum yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini, yaitu:
3.3.1Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer mempunyai sifat autiritatif, yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.15 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian karya tulis ilmiah ini, terdiri dari:
1. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi
4. Putusan Mahkamah Konstusi Nomor 36/PUU-X/2012
3.3.2 Bahan Hukum Sekunder
Sumber bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar atau putusan pegadilan.16 Dalam Karya Tulis Ilmiah ini, penulis menggunakan buku – buku teks dibidang Ilmu Negara, Hukum Pertambangan, Buku tentang Minyak dan Gas Bumi, Jurnal – Jurnal Hukum serta Putusan pengadilan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012.
3.3.3 Bahan Non Hukum
Sumber bahan non hukum sebagai penunjang dari sumber bahan hukum primer dan sekunder. Bahan non hukum dapat berupa buku, jurnal, laporan, penelitian, dan lain-lain (buku-buku politik, ekonomi, teknik, filsafat, kedokteran, kebudayaan, dan lain-lain) sepanjang relevan dengan objek penelitian.17 Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, bahan non hukum yang dihunakan oleh penulis berupa buku pedoman penulisan karya ilmiah dan bahan-bahan lain
15 Ibid, hlm. 141
16 Ibid,
berupa informasi dari internet.
3.4 Analisa Bahan Hukum
Metode analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan analisis deduktif, yaitu cara melihat suatu permasalahan secara umum sampai dengan pada hal-hal yang besifat khusus untuk mencapai perskripsi atau maksud yang sebenarnya. Langkah selanjutnya yang digunakan dalam melakukan suatu penelitian hukum adalah:
1. Megidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum yang dipandang mempunyai relevansi;
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dan menjawab isu hukum; dan
5. Memberikan perskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.18
Berdasarkan metode penelitian yang diuraikan di atas diharapkan di dalam penulisan skripsi ini mampu memperoleh jawaban atas rumusan masalah sehingga memperoleh hasil yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan dapat memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan diterapkan.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Tata Kelola Migas di Indonesia Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012.
Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tidak terbarukan merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan pengelolaannya untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan Migas sebagai aset pendapatan negara sangat besar, sehingga perlu adanya suatu “aturan main” yang relevan sebagai acuan pemerintah untuk melaksanakan segala aktivitasnya.
Perusahaan Minyak memenuhi kebutuhan dalam negara ,dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara dan diperbaharui dengan UU Nomor 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
Jika ditelaah antara UU Nomor 8 tahun 1971 dan UU Nomor 22 tahun 2001, telah terjadi suatu perubahan regulasi yang sangat signifikan yang pada akhirnya membuat kerancuan dalam tata kelola Migas Nasional. Ketika UU No.8 tahun 1971 masih berlaku, Pertamina berperan sebagai satu-satunya perusahaan migas negara dan sebagai pemegang kuasa bisnis
(economic/business rights). Di bawah kendali Pertamina, para investor bersedia bekerja sama dengan Pertamina atas kontrak-kontrak kerja yang telah disepakati, oleh karena itu pemenuhan kebutuhan energi Indonesia jauh lebih baik dan meningkat pesat. Berbeda ketika berlakunya UU Nomor 22 tahun 2001 yang mana salah satu hal utama sebagai konsekuensi pengesahan UU Nomor 22 tahun 2001 ini adalah perlu dibentuknya adanya Badan Pelaksana (dibentuk BPMIGAS) dan Badan Pengatur (dibentuk BPH MIGAS) serta perubahan bentuk PERTAMINA menjadi persero yang mana PERTAMINA bukan lagi sebagai perusahaan pengelola dan pemegang kuasa pertambangan. Dalam kegiatan hulu PERTAMINA akan menjadi perusahaan yang diberlakukan seperti perusahaan-perusahaan kontraktor. Dan akhirnya PERTAMINA juga menandatangani KKKS dengan BP MIGAS pada tanggal 17 September 200519.
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi BPMIGAS dibentuk pada tanggal 16 Juli 200220 berperan sebagai pembina
dan pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran migas Indonesia. BPMIGAS berwenang sebagai wakil pemerintah untuk mengatur masalah pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerja Sama yang sebelumnya dikerjakan oleh PERTAMINA. BP Migas kemudian mengambil alih kendali
19 http://MIGAS/Analisis Mafia - Migas Carut Marut Pengelolaan Migas diIndonesia Eramuslim.htm diakses pada tanggal 05 April 2014.
Pertamina sebagai pemegang kuasa bisnis migas yang notabene National Oil Company di Indonesia selain itu, keputusan kontrak-kontrak kerja dengan investor dialihkan kepada BP MIGAS selaku badan ‘independen’ hukum negara. Bahkan pada pasal 44 ayat (3) poin (b) salah satu tugas BP Migas adalah melaksanakan penandatanganan kontrak kerja sama, yang mana wewenang tersebut dirasa kurang wajar karena tugas dari BP Migas hanya menjadi badan yang memberikan pertimbangan dan melakukan pengawasan usaha migas di Indonesia.
Berdasarkan fakta tugas BP Migas berdasarkan UU tersebut, kontraktor asing yang akan mengusahakan migas di Indonesia, langsung menandatangani kontrak dengan BP MIGAS sebagai representasi Pemerintah. Secara tidak langsung, UU No 22 tahun 2001 ini menjadikan posisi Pemerintah “sejajar” dengan kontraktor asing. Selain itu, BP MIGAS sebagai institusi yang akan menerima dan mengelola migas bagian negara, bukanlah institusi bisnis namun BP Migas juga memiliki tugas untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan konsekwensi bahwa BPMIGAS tidak dapat melakukan sendiri jual-beli migas yang menjadi bagian Negara, yang mana hal itu dapat merugikan dan menurunkan pendapatan Negara atas Migas.
Selain itu berlakunya UU Nomor 22 tahun 2001 menyebabkan penurunan investasi Migas karena sebelumnya, pada UU Nomor 8 tahun 1971 investor cukup melalui Pertamina namun, ketika berlakunya UU Nomor 22 tahun 2001 investor harus mengikuti tiga birokrasi lembaga pengelola migas yaitu ESDM, BP MIGAS dan Depkeu cq Bea Cukai. Selain birokrasi yang lebih panjang, investor juga harus melalui pintau Bea Cukai, untuk mendatangkan berbagai peralatan yang akan digunakan untuk kegiatan ekslorasi. Padahal, seharusnya ada keringanan bagi investor yang akan melakukan kegiatan eksplorasi yang pada akhirnya menyebabkan penurunan investasi Migas di Indonesia.
bumi Indonesia, yang pada akhirnya masalah masalah pengelolaan minyak dan gas bumi mempengaruhi kedaulatan energi migas nasional. Selain itu, UU No 22 tahun 2001 ini telah membawa perubahan besar baik dalam sektor hulu maupun sektor hilir. Diantaranya adalah mengubah sistem monopoli ke arah sistem kompetisi, liberalisasi harga BBM, diciptakan badan baru yakni badan pelaksana dan badan pengatur yang menggantikan fungsi dan peran Pertamina selama ini. Karena dianggap bertentangan dengan pasal 33 ayat 2 dan ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka diajukannya
Judicial Review UU Migas No 22 tahun 2001, ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU/-X/2012 terkait dengan peninjauan kembali (Judicial Review) UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka secara garis besar, ada dua sub item yang ditekankan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu terkait dengan pembatalan pasal 1 angka 23 dan pasal 4 ayat, pasal 41 ayat 2, pasal 44, pasal 45, pasal 48, pasal 59 huruf a dan pasal 61 dan pasal 63 UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang mana bertentangan dengan UU 1945 demi mengembalikan kedaulatan Migas kepada Pemerintah sebagai pemegang peran kuasa pertambangan. Selain itu, adanya Putusan MK No 36/PUU-X/2012 memutuskan ketentuan yang berkaitan BP Migas inkonstitusional oleh karena itu BP Migas dinyatakan bubar sejak putusan dikeluarkan oleh MK.
Putusan MK yang dibacakan pada 13 November 2012, sebagai ‘jawaban’ atas permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 200121
mengakibatkan Pemerintah dengan cepat membuat alur teknis terkait dengan pengelolaan Migas untuk menindaklanjuti pembubaran BP Migas. Alur teknis yang dibuat oleh pemerintah antara lain dengan keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Ada tiga pasal yang diatur yaitu kepastian kontrak kerjasama dimuat dalam pasal 2 Perpres, yang
menegaskan semua Kontrak Kerja Sama (KKS) yang ditandatangani antara BP Migas dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap, tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir. Dua pasal lain mengatur tentang pengalihan tugas, fungsi dan organisasi BP Migas ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pasal 3 memberi wewenang kepada Menteri ESDM melanjutkan seluruh proses pengelolaan kegiatan usaha hulu migas yang selama ini ditangani BP Migas, yang mana disertai dengan pembentukan
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), hal ini dilakukan guna menjamin kelangsungan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, yang seharusnya dilakukan menurut dengam UU Revisi yang sedang dirancang oleh DPR.
4.2 Evaluasi Pembinaan dan Pengawasan oleh Pemerintah dalam Tata Kelola Migas
dan Sumber Daya Mineral diserahkan wewenangnya kepada pelaku usaha melalui pasal 1 angka 5 dan pasal 12 ayat 3.22
Peran Pemerintah selanjutnya yaitu (2) Peran sebagai pembina, (3) Peran sebagai pengatur dan , (4) Peran sebagai pengawas . Pasal 38 Undang undang tahun 2001, menegaskan bahwa pembinaan terhadap kegiatan usaha Migas dilakukan oleh pemerintah. Pembinaan tersebut meliputi; (1) Penyelenggaraan utusan pemerintah di bidang kegiatan usaha Migas, (2) Penetapan kebijakan mengenai kegiatan usaha Migas berdasarkan cadangan dan potensi sumber daya Migas yang dimiliki, kemampuan produksi, kebutuhan bahanbakar minyak dan gas bumi dalam negeri, penguasaan teknologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional dan kebijakan.23
Berkaitan dengan pasal 12 ayat 3 Mahkamah Konstitusi memutuskan agar direvisi oleh pemerintah, karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut membuka tafsir bahwa kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah telah diserahkan sepenuhnya pada kontraktor. Konsep ini berarti UU Migas mereduksi kuasa pertambangan yang dimiliki pemerintah sebagai wujud kedaulatan negara atas tambang Migas. Ini juga berarti menghilangkan kekuasaan kostitusional negara atas bahan tambang migas24. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengawasan pemerintah dalam tugas dan wewenang Badan pengelola Migas yang mana berkaitan dengan penandatanganan Kontrak Kerja Sama yang tidak seharusnya dilakukan oleh BP Migas yang cenderung “mengecilkan” Peran Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan yang pada akhirnya menimbulkan suatu kerugian bagi negara.
Jika dilihat dari sisi pembinaan dalam tata kelola migas secara struktural, dengan banyaknya sektor lembaga pengelola migas dalam negara yang dirasa memiliki tugas dan wewenang yang saling “tumpang tindih” dan ‘ketidakjelasan” tugas yang dibebankan kepada suatu lembaga pengelola,
22 Kurtubi, 2004:14 23 Abrar Saleng, 2004:33
menyebabkan pemerintah kurang fokus dalam pembinaan dan pengawasan sehingga dapat secara tidak langsung membuka celah bagi asing untuk menguasai sektor migas yang ada di dalam Negara yang dapat dilihat dari kedudukan pemerintah dan kontraktor yang dirasa”sejajar” dan menyebabkan tercorengnya kedaulatan Migas Nasional.
4.3 Upaya Optimalisasi Peran Pemerintah dalam Pembinaan dan Pengawasan Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi.
Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini dikarenakan Migas yang merupakan sumber energi yang tidak dapat diproduksi kembali dan habis sekali pakai adalah sumber energi yang paling banyak digunakan untuk menggerakkan perekonomian nasional. Karena mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional inilah, pengelolaan minyak dan gas bumi harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal inilah yang menjadi landasan filosofi dalam pengelolaan Migas, bahwa pengelolaan Migas harus dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan secara maksimal bagi rakyat Indonesia.
Pasal 33 UUD Tahun 1945 merupakan landasan yuridis konstitusional bagi negara/pemerintah dalam pengelolaan Migas. Pasal 33 ayat (2) menyebutkan: ’Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara’. Kemudian Pasal 33 ayat (3) menyebutkan: ’Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’.
itu, harus dikuasai oleh negara. Kekuasaan negara tersebut diwujudkan dalam bentuk hak menguasai atas sumber alam oleh negara.
Undang-Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi menyebutkan bahwa
“Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha, sekalipun memiliki hak atas sebidang tanah di permukaan, tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki Minyak dan Gas Bumi yang terkandung dibawahnya.”25
Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 33 tersebut di atas, terdapat hak negara untuk menguasai sumber daya alam, termasuk sumber alam Migas untuk dipergunakan sebagai sarana memakmurkan rakyat. Konsep dasar hak menguasai negara atas Migas ini memberi kewenangan luas bagi negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan Migas, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang (badan usaha) dengan Migas, dan menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai Migas.
Migas dipandang merupakan salah satu cabang produksi yang penting bagi negara yang penguasaannya harus diserahkan kepada negara, karena migas merupakan cabang produksi energi yang menguasasi hajat hidup orang banyak. Hal ini dijabarkan lebih jauh bahwa setidaknya terdapat 11 undang-undang yang mengatur hak negara dalam sektor-sektor khusus yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hak negara dimaksud tertuang antara lain dalam: UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria; UU No. 5 tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan; UU No. 11 tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan; UU No. 1 tahun 1973 tentang Landasan kontinen; UU No. 11 tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Pengairan; UU 13 Tahun 1980 tentang Jalan; UU No. 20
tahun 1989 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan; UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 9 tahun 1985 tentang Ketentuan Pokok Perikanan; UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian; UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati.26
Kekuasaan negara atas sumber daya alam, mengandung arti harafiah bahwa negara harus bisa membuat kebijakan, mengatur, membina, dan mengawasi kegiatan pemanfaatan sumber daya alam Migas tersebut. Penguasaan negara atas sumber daya alam tidak harus dilakukan melalui BUMN, namun bukan berarti begitu saja diserahkan pengelolaan sepenuhnya ke pihak asing atau pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Negara masih menguasai Migas di Indonesia. Negara tetap mengurus, mengatur dan mengawasi pelaku kegiatannya. Tanggungjawab pemerintah dalam hal kebi-jakan dan regulasi ada di tangan Departemen Energi Sumber Daya Mineral, sementara untuk pengawasan dan pembinaannya ada di bawah Badan Pelaksana Migas.27
Dalam hal pembinaan terhadap kegiatan usaha minyak dan gas bumi, Pemerintah harus cermat, transparan, dan adil yang pelaksanaannya meliputi: a) penyelenggaraan urusan Pemerintah di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi; dan b) penetapan kebijakan mengenai kegiatan usaha minyak dan gas bumi berdasarkan cadangan dan potensi sumber daya minyak dan gas bumi yang dimiliki, kemampuan produksi, kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas bumi dalam negeri, penguasaan teknologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional, dan kebijakan pembangunan.28
Dalam kerangka pembinaan, badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menjamin standar dan mutu yang berlaku sesuai dengan ketentuan
26’Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45’, dalam http://www.pacific.net.id/~dede_s/Mem -bumikan.html, diakses Senin, 7 April 2014, pukul 12.52 wib
27Negara Masih Kuasai Sumber Daya Alam Indonesia’
dalam http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/2539-negara-masih-kuasai-sumber-daya-alam-indonesia.html, diakses Senin, tanggal 7 April 2014, pukul 13.21 wib
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menerapkan kaidah keteknikan yang baik dan menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Pengelolaan lingkungan hidup berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan. Selain itu, bagi badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, jasa, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri secara transparan dan bersaing serta ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat.29
Dalam hal pengawasan, tanggung jawab berada pada departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan departemen lain yang terkait, yang meliputi kegiatan: konservasi sumber daya dan cadangan minyak dan gas bumi; pengelolaan data minyak dan gas bumi; penerapan kaidah keteknikan yang baik; jenis dan mutu hasil olahan minyak dan gas bumi; alokasi dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan bahan baku; keselamatan dan kesehatan kerja; pengelolaan lingkungan hidup; pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; penggunaan tenaga kerja asing (TKA); pengembangan tenaga kerja Indonesia; pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat; penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi minyak dan gas bumi; kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi sepanjang menyangkut kepentingan umum. Selain itu, pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha hulu berdasarkan kontrak kerja sama yang dilaksanakan oleh pemerintah dan badan pengusahaan, dilaksanakan oleh BP Migas (yang kemudian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012 dihapuskan, dan diganti dengan SKK Migas). Sedangkan pengawasan
atas pelaksanaan kegiatan usaha hilir berdasarkan Izin Usaha dilaksanakan oleh Pemerintah.30
Hal inilah yang menjadi problematika Migas Indonesia. Semakin banyaknya lembaga yang ikut campur dalam pengelolaan migas hanya membuktikan bahwa Indonesia tidak memiliki efektif dalam menjalankan kekuasaannya sebagai pemegang hak menguasai atas sumber daya alam. Dalam sektor migas saja dapat ditemukan fakta bahwa Indonesia memiliki lembaga yang berbeda dalam kewenangan pembinaan dan pengawasan. Pembinaan dilakukan pemerintah, sedangkan pengawasan dilakukan oleh SKK Migas (atas pelaksanaan kegiatan usaha hulu) dan BPH Migas (atas pelaksanaan kegiatan usaha hilir). Alih-alih untuk memperkuat sistem check and balances di dalam sektor kelembagaan Migas, Indonesia justru terjerembab di dalam sistem yang jauh dari efisiensi.
Jika berkaca pada sistem yang digunakan oleh Negara Malaysia, maka adalah sama ketika berbicara tentang UU Migas Indonesia sebelum UU Migas No. 22 Tahun 2001, yakni UU Pertamina No. 8 Tahun 1971. Negara Malaysia mengadopsi langsung UU Pertamina Indonesia sebagai regulasi pengelolaan migas dinegaranya, dan diadaptasi menjadi nama Petroleum Development Act Malaysia 1975 (PAD 1975). Hingga kini, Malaysia masih menggunakan PAD 1975 dan terbukti sukses menjaga ketahanan produksi minyak dalam negerinya serta melejitkan Petronas menjadi perusahaan migas papan atas dunia.31 Di sektor hulu migas Malaysia, semua investor asing berada di bawah pengawasan Petronas secara langsung. Petronas memiliki hak istimewa untuk menjadi pengatur sekaligus pemain dalam tata kelola migas negaranya tanpa ada suatu badan perantara pemerintah yang ada didalamnya. Kemudian di sektor hilir, pemerintah Malaysia (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri) langsung memegang peranan penting untuk menetapkan harga jual BBM di
30 Pasal 42 UU no 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
pompa bensin sekaligus mentetapkan marjin yang diperoleh oleh perusahaan minyak.
Setelah melihat dan membandingkan antara sistem tata kelola Migas di Malaysia yang notabene mengadobsi tata kelola migas Indonesia (Undan-Undang Nomor 8 Tahun 1971) yang hanya dengan satu lembaga pengelola migas dengan pengawasan dan pembinaan secara langsung dari pemerintah dan dibandingkan dengan tata kelola migas Indonesia dengan banyaknya lembaga pengelola yang secara global dapat dilihat prosentase keberhasilannya, Oleh karena itu, Indonesia dirasa perlu suatu kesatuan lembaga untuk mengoptimalkan peranan pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha Migas. Dengan adanya kesatuan lembaga pembinaan dan pengawasan, Pemerintah akan lebih optimal dalam memainkan perannya sebagai pemegang hak menguasai atas sumber daya alam, khususnya Migas.
pemerintah untuk mewujudkan suatu negara kesejahteraan bagi rakyat Indonesia dalam hal pemenuhan segala kebutuhan masyarakat negara. Hal ini dikarenakan penyatuan lembaga akan memaksimalkan kinerja pemerintah dan lembaga pengawas dalam mengelola migas demi kemakmuran rakyat Indonesia.32
Sebagaimana yang dikemukan oleh Lawrence M. Friedmann, untuk membangun sebuah sistem yang baik, maka kita harus memperhatikan tiga hal, yaitu substance, structure, dan culture. Dalam upaya untuk mengoptimalkan peranan pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha migas, diperlukan tiga hal, yaitu Pertama, merevisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Pembenahan yang harus dimuat di dalam undang-undang pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi adalah menyatukan lembaga pembinaan dan pengawasan dalam usaha kegiatan migas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan kewenangan pembinaan dan pengawasan kepada Kementerian yang terkait dengan sumber daya mineral.
Kemudian, Kementerian yang terkait dengan sumber daya mineral haruslah mempersiapkan diri untuk menerima kewenangan pembinaan dan pengawasan. Oleh karena itu, langkah awal yang dapat dilakukan agar hal tersebut dapat dilaksanakan adalah menjadikan Pertamina menjadi satu-satunya Perusahaan Negara yang telah ditugaskan untuk menampung dan melaksanakan semua kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia. Pertamina seutuhnya kembali menjadi pengatur sekaligus pemain untuk selanjutnya melakukan kerjasama dengan para kontraktor migas lainnya. Dengan demikian, pengawasan Menteri ESDM yang dalam hal ini ditujukan pada Ditjen Migas harus memiliki fungsi dan kedudukan yang diperkuat untuk dapat mengawasi dengan baik keberjalanan pengelolaan sektor hulu hingga ke sektor hilir migas di Indonesia Pada saat ini, perusahaan minyak dan gas bumi bercerai berai dan oleh karenanya sulit untuk melakukan
kontrol. Oleh karena itu, kesatuan usaha yang meliputi berbagai-bagai cabang pengusahaan minyak dan gas bumi (suatu Integrated State Oil Company) di Indonesia mutlak diperlukan.
BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X?2012, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yaitu terkait dengan pelimpahan wewenang sepenuhnya kepada Kementrian ESDM sekligus pembentukan SKK Migas sebagai badan pengawas tata kelola migas.
2. Adanya masalah yang terjadi dalam tata kelola migas di Indonesia karena banyaknya lembaga pengelola migas sehingga menimbulkan kurangnya pengawasan dan pembinaan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan .
3. Tata kelola Migas Indonesia dirasa perlu adanya kesatuan lembaga pengawasan dan pembinaan migas demi mewujudkan optimalisasi peran pemerintah dalam pengawasan dan pembinaan, yang mana seharusnya dilimpahkan kepada Kementrian Sumber Daya Alam ,dengan langkah awal menjadikan Pertamina sebagai satu-satunya Perusahaan Negara yang telah ditugaskan untuk menampung dan melaksanakan semua kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia sebagai wujud pengintegrasian kebijakan migas.
5.2 SARAN
melakukan pengawasan dalam usaha Minyak dan Gas Bumi. Demi mewujudkan negara kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka Buku
M.Kholid Syeirazi, Di Bawah Bendera Asing : Liberalisasi Industri Migas di Indonesia, Penerbit LP3ES, Jakarta, Cetakan Pertama, Juli 2009.
Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Energi: Teori dan Praktik, Penerbit LP3ES, Jakarta,Cetakan Pertama, Maret 2000
Collin Colbuild English Dictionary, 1997, dalam Safri Nugraha, Pivatisation of Sfafe Enterprises ln The 20th Century A Step Forwards Or Backwards, Fakultas Hukum Ul, Jakarta, 2004.
Hasan Suryono, 2008, Ilmu Negara. Solo: UNSPress,Surakarta
Peter Mahmud Marzuki.2010.(Penelitian Hukum.Jakarta: Kencana Prenada Media Group),
Jakarta.
Boedi Harsono. 1997. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Jakarta : Djambatan
Abrar Saleng, 2004. Hukum Pertambangan, Jogjakarta: UII Press Jurnal
Saleng, Abrar. 2000. Hubungan Hukum Antara Pemerintah dengan Badan Usaha Swasta dalam Berbagai Pola Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan. Jurnal Hukum, Yogyakarta : UII.
Drs. Sugiaryo, S.H, M.Pd, M.H. 2010. Globalisasi : Intervensi Kekuatan Politik Dan Ekonomi Dalam Pembentukan Hukum Dan Pengusahaan Migas Di Indonesia. Jurnal Hukum,
Lembaga Management Fakultas Ekonomi UI. Analisis Industri Minyak Dan Gas Di Indonesia. Jakarta : UI.
J.M Keyness. Teori Welfare State “ Negara Kesejahteraan”. Jurnal Hukum. Internet
http://www.tempo.co/read/news/2012/10/11/090434998/75-Persen-Proyek-Minyak-dan-Gas-Dikuasai-Asing, diakses Selasa, 1 April 2014 pukul 13.25 wib.
http://blogbelajar-pintar.blogspot.com/2014/01/pengertian-kedaulatan.html
diakses pada 02 Maret 2014.
http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/2539-negara-masih-kuasai-sumber-daya-alam-indonesia.html, diakses Senin, tanggal 7 April 2014, pukul 13.21
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. NAMA LENGKAP : HANDAYANI EKA BUDHIANITA
TEMPAT, TANGGAL LAHIR : JOMBANG, 18 JANUARI 1994
JURUSAN/FAKULTAS : FAKULTAS HUKUM / ILMU HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER.
NOMOR TLP : 08563441513
EMAIL : [email protected]
ALAMAT RUMAH : Jl. Manyar 01/03 Slawu, Patrang, Jember KARYA ILMIAH YANG : 1. Peradilan Ad Hoc Menurut Perspektif
PERNAH DIBUAT Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Dalam Keterkaitannya Dengan
Pelanggaran Ius Cogens Serta Tanggung Jawab Negara
2.Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam
2. NAMA LENGKAP : FATCHUR ROCHMAN
TEMPAT, TANGGAL LAHIR : PASURUAN, 31 MARET 1994
JURUSAN/FAKULTAS : FAKULTAS HUKUM / ILMU HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER.
NOMOR TLP : 081936953696
EMAIL : Faturtahun20101
ALAMAT RUMAH : Jl. Jawa 8 No 30, Jember
KARYA ILMIAH YANG : 1. Analisis Yuridis Pasal 6A UUD 1945 :
PERNAH DIBUAT Upaya memperkukuh Pancasila Melalui
Presiden
2. Peranggung jawaban Perdata atas hilangnya