• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor keberhasilan resosialisasi bekas keluarga jalanan di perkampungan sosial pingit yayasan sosial Soegiyapranata [PSP YSS] Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor keberhasilan resosialisasi bekas keluarga jalanan di perkampungan sosial pingit yayasan sosial Soegiyapranata [PSP YSS] Yogyakarta."

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

vii

ABSTRAK

A Eko Widayantyo (2007). Faktor-faktor Keberhasilan Resosialisasi Bekas Keluarga Jalanan di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS) Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor keberhasilan bekas keluarga jalanan di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS) Yogyakarta. Latar belakang permasalahan yang terjadi adalah 60,6 % bekas keluarga jalanan yang menetap di PSP YSS kembali lagi ke jalanan.

Responden penelitian ini adalah warga PSP YSS yang sudah tinggal di PSP YSS minimal selama tiga bulan atau sudah menetap di masyarakat. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah tiga keluarga. Metode yang digunakan untuk mengambil data adalah metode fenomenologi. Pengumpulan data menggunakan observasi partisipan, wawancara primer dan wawancara sekunder. Teknik verifikasi menggunakan intersubjective validity, serta menggunakan sumber data majemuk (wawancara dengan orang dekat dan observasi partisipan).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keberhasilan resosialisasi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal berupa kepemilikan akan konsep tentang masyarakat, motivasi yang kuat dari luar, dukungan sosial, serta partisipasi aktif dalam masyarakat. Sedangkan faktor internal adalah kemampuan individu untuk mengatasi masalah serta kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

(2)

viii

ABSTRACT

A Eko Widayantyo (2007). The factors of success in resocialization of ex-homeless family in Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS) Yogyakarta. Yogyakarta: Faculty of Psychology Sanata Dharma University.

This qualitative research aimed to investigate factors influencing the success of ex-homeless family in Perkampungan Sosial Pingit Soegiyapranata Social Foundation (PSP YSS) Yogyakarta. The background of the problem was 60,6 % of ex-homeless family who stayed in PSP YSS returned to the street.

The respondents of this research were those who had lived in PSP YSS for at least 3 months or those who had settled there. The respondents were three family. The method applied in this research was phenomenology method. The participant observation, primary and secondary interview were conducted to collect the data. Verification technique used in this research was intersubjective validity and using complex data source (doing interview with the close people and participant observation).

The research result shows that the success of resocialization was influenced by the external factors and the internal factors. The external factors were community concept, high external motivation, social support and active participation in the society. Whereas the internal factors were the individual`s ability to solve the problem and to adjust to the environment.

(3)

FAKTOR-FAKTOR KEBERHASILAN RESOSIALISASI BEKAS KELUARGA JALANAN DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikolo gi

Oleh :

A Eko Widayantyo NIM : 019114020

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Amo et facio qoud folo

(akan kucintai dan kuhadapi apa yang sudah kupilih)

walaupun

biasanya harus bersusah payah melaluinya, dengan tubuh yang penuh luka goresan duri semak belukar

(Kamijyo akimine)

sehingga

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi dengan Judul

FAKTOR-FAKTOR KEBERHASILAN RESOSIALISASI BEKAS KELUARGA JALANAN DI PERKAMPUNGAN SOSIAL PINGIT YAYASAN SOSIAL SOEGIYAPRANATA (PSP YSS) YOGYAKARTA

Saya persembahkan kepada

:

BUNDAKU MARIA

BAPAK L DAGI

IBU TH. SUMIYANTI

ADIKKU MARIA DWI KURNIANINGTYAS

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

(9)

vii

ABSTRAK

A Eko Widayantyo (2007). Faktor-faktor Keberhasilan Resosialisasi Bekas Keluarga Jalanan di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS) Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor keberhasilan bekas keluarga jalanan di Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS) Yogyakarta. Latar belakang permasalahan yang terjadi adalah 60,6 % bekas keluarga jalanan yang menetap di PSP YSS kembali lagi ke jalanan.

Responden penelitian ini adalah warga PSP YSS yang sudah tinggal di PSP YSS minimal selama tiga bulan atau sudah menetap di masyarakat. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah tiga keluarga. Metode yang digunakan untuk mengambil data adalah metode fenomenologi. Pengumpulan data menggunakan observasi partisipan, wawancara primer dan wawancara sekunder. Teknik verifikasi menggunakan intersubjective validity, serta menggunakan sumber data majemuk (wawancara dengan orang dekat dan observasi partisipan).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keberhasilan resosialisasi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal berupa kepemilikan akan konsep tentang masyarakat, motivasi yang kuat dari luar, dukungan sosial, serta partisipasi aktif dalam masyarakat. Sedangkan faktor internal adalah kemampuan individu untuk mengatasi masalah serta kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

(10)

viii

ABSTRACT

A Eko Widayantyo (2007). The factors of success in resocialization of ex-homeless family in Perkampungan Sosial Pingit Yayasan Sosial Soegiyapranata (PSP YSS) Yogyakarta. Yogyakarta: Faculty of Psychology Sanata Dharma University.

This qualitative research aimed to investigate factors influencing the success of ex-homeless family in Perkampungan Sosial Pingit Soegiyapranata Social Foundation (PSP YSS) Yogyakarta. The background of the problem was 60,6 % of ex-homeless family who stayed in PSP YSS returned to the street.

The respondents of this research were those who had lived in PSP YSS for at least 3 months or those who had settled there. The respondents were three family. The method applied in this research was phenomenology method. The participant observation, primary and secondary interview were conducted to collect the data. Verification technique used in this research was intersubjective validity and using complex data source (doing interview with the close people and participant observation).

The research result shows that the success of resocialization was influenced by the external factors and the internal factors. The external factors were community concept, high external motivation, social support and active participation in the society. Whereas the internal factors were the individual`s ability to solve the problem and to adjust to the environment.

(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Bunda Suci Maria dan PutraNya karena berkat kasihNya penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Tanpa bimbinganNya, skripsi ini akan semakin lama terselesaikan.

Penulisan skripsi ini dilakukan sekitar tiga tahun. Sebuah proses yang panjang untuk sebuah penulisan skripsi. Selama proses yang panjang ini, penulis mengalamai banyak dinamika hidup. Dinamika unt uk mengalahkan diri sendiri. Melatih fokus terhadap sebuah tujuan. Namun semua tantangan ini sudah dapat dilalui dan tiba saatnya untuk mempertanggunjawabkannya. Meskipun demikian, peneliti menyadari berbagai kekurangan yang masih ada dalam skripsi ini, oleh karena itu, masukan- masukan akan sangat berguna bagi kesempurnaan skripsi ini.

Untuk semuanya itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan waktu, informasi, dan dukungan hingga selesainya penyusunan skripsi ini, secara khusus kepada:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberi kesempatan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr. A. Supratiknya selaku pembimbing skripsi, yang denga n teliti memeriksa dan senantiasa memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

(12)

x

4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S. Psi dan Ibu Silvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, S.Psi, M.Psi selaku dosen pembimbing akademik.

5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi USD Yogyakarta; Ibu MB.

Rohaniwati, Mas Gandung Widiyantoro, Mas P. Mujiono, Mas Doni, dan Bpk Giyono yang dengan setia senantiasa membantu. Pak Gik, senyumannya menyejukkan lho Pak.

6. Rama Windyatmoko S.J, Br. Hadi S.J realino Mataran 66 dan Keuskupan Agung Semarang, terimakasih atas dukungan dan bantuan untuk menyelesaikan skripsi ini. Mo, maaf ya, skripsinya telat dua tahun dari target awal.

7. Keluarga-keluarga di Pingit yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Terimakasih, saya banyak belajar tentang hidup dari nJenengan sedaya. Tetap menjadi sahabat yang tidak terlupakan.

8. Buat keluarga besar P2TKP; Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, Bapak Ant. Soesilastanto, Ibu Yuliana Pratiwi, dan Mbak Ertina Kusumawati yang senantiasa memberikan dukungan, serta semua temen-temen asisten P2TKP yang pernah berjuang bersama; Cik Vinda, Heru Cwt, Agung Ontel, Ari 00, Rani, Soe Lek, Yessy, Okta. Soe Lek dan Rani, kapan meh lulus??? Ayo berjuang pren. Gak lupa juga anak-anak baru Adi, Desta, Kobo, Otikwati, Abe, Tyo, Etik dkk.

(13)

xi

sudah mengajariku tentang hidup bersama dalam suka dan duka. Thanks guys.

10. Dani meka, Vian tm, Bambang, Seto, Tintus farmasi. Terimakasih atas

pertemanan kalian di kos pojok Paingan tujuh ya...

11. Teman-teman 01, Adi Gendut, Kris dan Pati. Makasih banyak atas pertemanan selama ini, kalian adalah rahmat bagiku. Ndut, kapan aku pinjam laptop lagi buat main game dan ngetik skripsi??? Tak lupa juga, Maria, Diana, Etik, Tyo, Deasy, Tien. Plus sesepuh Yb n Dyda.

12. Pak Cahyo, makasih telah menanamkan bibit-bibit pengetahuan tentang outdoor activities lewat Forma.

13. Watukali Training center, Acong, Vembri, Kobo, Tumbur, dan Mbak Etta. 14. Teman-teman JRS nasional dan JRS Bantul. Terimakasih sudah

mengajariku tentang kerja dan hidup di lembaga sosia l.

15. Transformind Counsultainment, Mas Is, Mbak Mei, Windra, Neri, Suko, Adri, Berta, dkk. Mari kita mengembangkan diri pren.

(14)

xii

Kalian tidak akan mengubah mereka tapi memperkenalkan alternatif lain selain pisuhan dan kekerasan dalam hidup mereka.

17. Kris, Baba dan Seno, terimakasih selalu mendukungku dan mengingatkanku

ketika aku main game untuk kembali mengerjakan skripsi. Thanks atas rumah dan komputernya ya... Anik, ths a lot.

18. Pak Heri dan Mbak Etta, terimakasih sudah menjadi pelita ketika jalan di depanku gelap akibat ulahku sendiri dan tongkat untuk mendaki bukit terjal. 19. Lusia Gita Gracia, terimakasih atas cinta, dukungan, kesetiaan dan

kesabaran yang pernah kamu limpahkan. Dirimu akan tetap tersimpan dalam hatiku. Selamat berjuang!!! Kamu adalah motivator imajinerku. Aku berharap Bundaku akan menoleh ke arahku dan mengabulkan permintaanku. 20. Sebastiana SPM, makasih yo dek, atas dukunganmu ketika aku di titik

terendahku. Tetap setia dengan jalan yang sudah kamu pilih ya....

21. Bu Guru Wanti J, terimakasih atas sms dan telponmu yang telah memacu

dan memotivasiku untuk menyelesaikan skripsi ini.

22. Bapak, Ibu dan adikku. Terimakasih banyak atas semuanya. Tanpa kalian aku tidak tahu akan seperti apa.

23. Serta semua dosen, karyawan, teman-teman mahasiswa Fakultas Psikologi

(15)

xiii

Akhirnya, saya ucapkan terimakasih atas semua yang telah mewarnai hidup saya. Karena warna itu, hidup saya semakin dikembangkan. Bunda, dampingilah dan berkatilah semuanya.

Yogyakarta, 22 November 2007 Hormat saya,

(16)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...…...………..i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

MOTTO...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN...v

PERNYATAAN KEASLIAN DATA...vi

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

KATA PENGANTAR...ix

DAFTAR ISI...xiv

DAFTAR TABEL...xvii

DAFTAR BAGAN...xviii

DAFTAR LAMPIRAN...xix

DFTAR FOTO...xx

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Masalah Penelitian...8

C. Tujuan...8

D. Manfaat Penelitian...8

BAB II LANDASAN TEORI...10

(17)

xv

1. Definisi (bekas) keluarga jalanan...10

2. Karakteristik keluarga jalanan...13

3. Bekas keluarga jalanan...15

4. Karakteristik masyarakat...16

5. Pandangan masyarakat terhadap keluarga jalanan...18

B. Resosialisasi...20

1. Definisi resosialisasi...20

2. Proses akulturasi...21

C. Resosialisasi Bekas Keluarga Jalanan dalam Masyarakat Umum...27

D. Kerangka Penelitian...28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...29

A. Metode Penelitian...29

B. Responden Penelitian...29

C. Teknik Pengumpulan Data...31

1. Pengamatan Berperan-serta...31

2. Wawancara...33

D. Pemeriksaan Keabsahan Data...34

E. Analisis Data...35

1. Organisasi data...36

2. Pengkodean...36

(18)

xvi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...40

A. Identitas dan Deskripsi Informan...40

1. Identitas...40

2. Deskripsi Informan...41

B. Tahap Pengambilan Data...45

C. Hasil Penelitian...46

1. Keluarga pertama...46

2. Keluarga kedua...55

3. Keluarga ketiga...62

D. Pembahasan...67

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...72

A. Kesimpulan...72

B. Saran...73

DAFTAR PUSTAKA ...75

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

TABEL 1. Identitas Subyek ...40

TABEL 2. Tahap pengumpulan data...45

TABEL 3. Wawancara primer...83

TABEL 4. Catatan lapangan...97

(20)

xviii

DAFTAR BAGAN

(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

(22)

xx

DAFTAR FOTO

(23)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

(24)

2

Sosialisasi adalah proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dalam lingkungannya (Salim dan Salim, 1991). Anggota masyarakat dituntut untuk belajar tentang kebudayaan yang ada di lingkungannya. Resosialisasi bisa diartikan sebagai proses pengenalan dan penghayatan kembali akan kebudayaan yang ada di lingkungan. Menurut Marshal (1994), Salim dan Salim (1991) resosialisasi dimaknai sebagai pemasyarakatan kembali sesuai dengan budaya, norma serta sanksi masyarakat. Schaefer (2001) mengartikan resosialisasi sebagai proses mengesampingkan pola kebiasaan dan menerima hal baru sebagai bagian dari perubahan hidup. Bisa diartikan bahwa anggota masyarakat yang mengalami resosialisasi harus melakukan adaptasi dengan meninggalkan kebudayaan yang telah ada dan memakai kebudayaan yang baru. Mereka dimasukkan dalam kebudayaan yang ada di dalam masyarakat agar bisa menyatu dengan masyarakat.

(25)

Budaya jalanan yang mereka pahami adalah budaya bebas tanpa peraturan, individualis, saling “memakan”. Kebudayaan bebas yang sangat mencolok terlihat dari bagaimana mereka memilih pasangan. Mereka bebas bergonta-ganti pasangan tanpa adanya suatu ikatan resmi. Mereka seringkali memperoleh keturunan dari hubungan kumpul kebo. Dasar hubungan yang mereka pakai adalah saling suka. Apabila mereka sudah saling bosan, mereka bebas berganti kembali. Kebudayaan yang ada tidak memperlihatkan adanya norma-norma sosial seperti di masyarakat umum. Mereka tidak memiliki ikatan yang sah secara hukum agama dan negara. Pernikahan bagi mereka merupakan hal yang sangat sulit karena syarat untuk dapat menikah adalah kartu tanda penduduk (KTP), sedangkan mereka tidak memiliki KTP (Prasetyo & Koestanto, 2005; “Kami dilahirkan untuk tidak menikah”, 2004). Mencari pasangan merupakan salah satu cara untuk menghindari kekerasan pada dirinya. Selain sebagai sarana perlindungan diri (terutama untuk wanita) adanya pasangan juga berdampak pada naiknya ”status sosial” serta ekonomi mereka (Ade, 2000).

(26)

4

Kebutuhan fisik mereka seperti sandang, papan merupakan hal yang sangat minim bisa mereka penuhi. Dalam kondisi seperti ini, secara otomatis mereka dituntut untuk bertahan secara individualis (hanya memperhatikan kelompok/keluarga/pasangannya) tanpa perlu memperhatikan orang lain. Mereka hanya memikirkan kebutuhan ekonomi untuk diri dan keluarganya (“Mereka yang disebut”, 2004). Biasanya, keluarga-keluarga ini akan hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain (Anak Jalanan Antara Ditipu dan Menipu, 2007). Lokasi yang mereka pilih adalah lokasi yang bisa membuat mereka bertahan hidup dan nyaman bagi mereka.

Sebagai sebuah subkultur yang berada dalam kultur yang besar, seringkali oleh kelompok mayoritas keluarga-keluarga ini dipandang sebelah mata, dianggap sebagai sekelompok sampah (Ade, 2000). Stereotipe yang ada di masyarakat melihat kehidupan jalanan sebagai kehidupan yang “liar” (Ertanto, 2000). Mereka sering mendapat penghinaan dari masyarakat pada umumnya. Perilaku yang diperlihatkan oleh masyarakat umum adalah perilaku yang kurang bersahabat. Masyarakat memiliki prasangka negatif terhadap warga jalanan yang berada di luar mereka.

(27)

menjelaskan perbedaan budaya yang terjadi antar sub kultur jalanan dan masyarakat umum.

Budaya masyarakat diinternalisasi oleh anggota kelompok (Dayakisni dan Yuniardi, 2004). Hal ini juga dialami oleh keluarga jalanan yang mencoba untuk masuk ke kebudayaan baru (masyarakat umum). Marvin Haris (dalam Spradley, 1997) mengatakan bahwa konsep kebudayaan dinyatakan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dalam kelompok-kelompok masyarakat tertentu seperti adat, atau cara hidup masyarakat. Matsumoto (2004) mendefinisikan budaya sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain.

Proses resosialisasi mengakibatkan mereka akan me nginternalisasi kebudayaan masyarakat umum ke dalam diri mereka agar bisa menjadi anggota kelompok masyarakat umum. Proses internalisasi yang mereka jalani akan memunculkan dua kemungkinan. Pertama, mereka akan berhasil menjalani proses internalisasi kebudayaan baru. Kedua, mereka gagal dalam proses tersebut. Mereka yang berhasil akan diterima oleh masyarakat dan mampu bertahan di dalam masyarakat umum. Bagi mereka yang gagal, maka mereka akan ditolak oleh masyarakat dan kembali ke kebudayaan jalanan.

(28)

6

beradaptasi dengan lingkungan sosial, antara lain terlihat dari kemampuan yang rendah dalam menjalankan norma sosial yang ada. Sebagai contoh, ada diantara mereka yang memakai uang “jimpitan” untuk diri mereka sendiri, padahal uang tersebut seharusnya disetorkan kepada pengurus RT.

Mereka cenderung bertabiat keras (Ena, Ouda Teda, tanpa tahun; Sindhunata, tanpa tahun; Fajar dkk, tanpa tahun; Pudji, tanpa tahun; Dewanto, Aria, tanpa tahun). Tabiat keras yang mereka miliki seringkali terlihat ketika mereka mengalami konflik dengan tetangga. Mereka seringkali lebih senang menggunakan otot untuk menyelesaikan masalah. Mereka mengalami kesulitan dalam interaksi dengan orang lain bisa disebabkan karena mereka terbentuk oleh budaya saling memakan sehingga membuat mereka bertabiat keras serta oleh lingkungan individualis, padahal saat ini mereka dihadapkan pada budaya baru yang sosialis.

(29)

mendasar dari kegagalan resosialisasi karena mereka tidak memiliki konsep tentang rumah dan mereka memiliki nilai tersendiri tentang budaya jalanan (Suyanto, 2005), serta masyarakat memiliki labeling terhadap keluarga jalanan. Stereotipe dari masyarakat umum tentang mereka akan selalu negatif dan mereka dianggap orang-orang `liar` (Ertanto, 2000). Padahal menurut Mary Hardy (1998) pemberian cap yang negatif (negative social-typing) itu akan mengakibatkan kekalnya suatu tindakan yang menyimpang.

Bekas keluarga jalanan yang mampu bertahan di lingkungan masyarakat mengatakan bahwa mereka mampu bertahan karena niat mereka untuk hidup lebih baik dibandingkan ketika mereka masih di jalan (Nursin, wawancara pribadi, 13 Desember 2005). Hal ini memperlihatkan bahwa mereka memiliki pemikiran ke depan. Sebagai contoh, mereka ingin agar anak mereka bisa bersekolah agar anak mereka tidak kembali ke jalan (Dewanto, Aria, tanpa tahun). Mereka berpikir ketika masih di jalan, mereka tidak akan bisa lebih baik. Hal terpenting dari keberhasilan mereka hidup di masyarakat umum adalah kepemilikan konsep tentang masyarakat umum. Mereka yang berhasil dalam proses resosialisasi biasanya orang yang tidak terlalu lama tinggal di jalan dan sebelumnya mereka pernah tinggal di masyarakat umum. Motivasi, pemikiran ke depan dan konsep tentang masyarakat menjadi landasan yang cukup kuat bagi mereka agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru.

(30)

8

kebudayaan masyarakat ke dalam diri mereka. Berry, Portinga, Segall, & Dasen (2002) menyebutnya sebagai intercultural strategies.

Proses perpindahan kebudayaan dari budaya jalanan kepada kebudayaan masyarakat pada umumnya akan menghasilkan culture shock bagi keluarga jalanan. Hal itu disebabkan karena kebudayaan masyarakat pada umumnya memiliki karakteristik yang sangat bertolak belakang dengan kebudayaan di jalanan. Tekanan sosial dan perubahan kebudayaan yang mereka alami akan sangat mempengaruhi bagaimana keberhasilan mereka dalam proses resosialisasi.

B. Masalah Penelitian

Masalah dalam penelitian ini adalah apa saja faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan resosialisasi keluarga jalanan di PSP YSS?

C. Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan resosialisasi keluarga jalanan di PSP YSS.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

(31)

2. Manfaat Praktis a. Bagi Subyek

Subyek menggali kembali pengalaman-pengalaman dan merefleksikannya. b. Bagi Yayasan

Membantu pendamping dalam memahami kebutuhan bekas keluarga jalanan dalam proses resosialisasi.

Sebagai sarana evaluasi pendampingan. c. Bagi Masyarakat Umum

(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. (Bekas) Keluarga Jalanan 1. Definisi (bekas) keluarga jalanan

Keluarga jalanan adalah pria dan wanita yang hidup dan tinggal di jalanan, memiliki komitmen untuk membina hidup bersama, kadang kala memiliki anak serta berbagi dalam hal ekonomi (Suharyadi, wawancara pribadi, 6 Agustus 2007). Mereka menghabiskan waktu mereka di jalanan. Mereka tinggal di emperan toko, gerbong kereta api, dan lahan- lahan kosong di pinggir jalan, pasar, terminal, stasiun (Indrawati, 2004), taman-taman, bawah jembatan, dan pinggiran kali (Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007; Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005). Kehidupan mereka didukung oleh jalanan karena mereka mencari nafkah dari jalan. Pekerjaan mereka biasanya sebagai pengemis, pengamen, pemulung, tukang becak.

(33)

sangat tinggi dan mereka cenderung tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005).

Warga jalanan, sama seperti manusia pada umumnya mengalami proses perkembangan dalam hidupnya, baik secara psikologis maupun secara fisiologis, mulai dari lahir, bayi, anak-anak, muda, dewasa, tua dan mati. Dalam rentang kehidupan ini, ada satu hal yang penting yaitu proses reproduksi yang dilakukan oleh sepasang manusia. Pada umumnya, pasangan manusia ya ng melakukan proses reproduksi akan bersama. Hal ini juga terjadi di kalangan warga jalanan yang sudah menginjak dewasa. Kebutuhan fisiologis dan psikologis menuntut dirinya untuk mencari pasangan yang cocok dan hidup berdua. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2002) yang mengatakan bahwa menikah pada orang dewasa adalah hal yang standar dilakukan oleh individu. Wagner (2002) mengatakan bahwa walaupun tidak tertulis, tuntutan untuk hidup berumah tangga dan memiliki keturunan seakan-akan adalah norma umum yang suka atau tidak suka harus diterima. Hal ini yang mengakibatkan munculnya keluarga jalanan. Keluarga jalanan seringkali tidak seperti keluarga di masyarakat pada umumnya. Apabila dilihat dari sudut pandang kita, mayoritas diantara mereka adalah pasangan kumpul kebo.

(34)

12

mencari kesenangan dengan cara minum minuman keras. Minuman keras juga menjadi salah satu sumber kesenangan diantara mereka.

Warga jalanan menganggap rasa aman merupakan sesuatu yang sulit untuk dicari ketika mereka berada di jalan. Mereka harus sering berhadapan dengan para pemeras, pencuri. “Harta” yang mereka miliki seringkali hilang/diminta dengan paksa oleh orang lain. Jalanan identik dengan kriminalitas. Hal ini mengakibatkan mereka memiliki sikap curiga yang cukup besar bila berhadapan dengan orang asing/tidak dikenal. Mereka merasa tidak aman bukan hanya terhadap para “gentho” (preman), tetapi juga terhadap pemerintah (Anak jalanan antara dit ipu dan menipu, 2007; Demonstrasi ratusan anak jalanan tuntut Walikota, 2007). Mereka sering mendapat “garukan” (penangkapan) dari pemerintah. Kehidupan di jalan membuat mereka menjadi individu yang individualis. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil untuk bertahan hidup. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan rasa aman bagi mereka, karena setiap anggota kelompok akan saling melindungi (Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007; Ade, 2007).

(35)

sosial, 2005). Pekerjaan mereka sangat tergantung dari lingkungan sosial yang ada di sekitar mereka. Mereka mendapatkan penghasilan setiap hari, akan tetapi seringkali kurang dan apabila cukup akan dipakai semua. Mereka biasanya menggunakan uang hasil pendapatan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup dan apabila ada yang sisa digunakan untuk bersenang-senang.

Mayoritas warga jalanan adalah orang-orang yang tidak berpendidikan sehingga mereka buta huruf (Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007). Pendidikan yang relatif rendah tersebut menjadikan kendala bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005). Selain itu, hal ini mengakibatkan pengetahuan mereka cukup sempit.

2. Karakteristik keluarga jalanan

(36)

14

abuse dan kekerasan seksual baik pada anak laki- laki maupun perempuan (Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007; Suyanto, 2003; Ade, 2000).

Kedua, hukum rimba. Di jalanan, orang yang paling kuat adalah pemegang ‘kekuasaan’ dan orang yang lemah adala h objek (Santoso, 2004; Indrawati, 2004). Hal ini yang mengakibatkan banyak sekali gentho/preman di jalanan. Para preman ini sering melakukan pemerasan dan kekerasan kepada pengamen atau orang–orang yang berada di jalan yang tidak memiliki “kekuasaan” (Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007).

Ketiga, nomaden dalam artian tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (Kisah anak-anak stasiun, 2007; Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007; Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005) sehingga mereka selalu berpindah-pindah (Guiness, 1985). Sifat nomaden ini berpengaruh secara langsung dengan kekuasaan administratif (RT/RW) karena mereka tidak menjadi bagian dari RT/RW. Hal ini yang mengakibatkan sebagian besar dari mereka tidak memiliki identitas diri (KTP, kartu keluarga, akte kelahiran) (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005; Prasetyo dan Koestanto, 2005; “Kami dilahirkan”, 2004; Soewondo, 1985).

Keempat, mereka bekerja dalam lapangan pekerjaan informal (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005) yang biasa dilakukan di jalanan. Keluarga jalanan biasanya bekerja sebagai pemulung, pengamen, tukang becak (Soewondo, 1985).

(37)

pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005). Keenam, mereka menganggap bahwa kemiskinan dan kondisi mereka sebagai warga jalanan adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk melakukan perubahan (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005).

Ketujuh, kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang. Ada kenikmatan tersendiri dari sebagian warga jalanan yang hidup menggelandang, karena mereka merasa tidak terikat oleh norma atau aturan yang kadang-kadang membebani mereka, sehingga mengemis dan menggelandang menjadi salah satu mata pencaharian (Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005).

Kedelapan, dari segi kesehatan, mereka termasuk kategori warga negara dengan tingkat kesehatan fisik yang rendah (Pemulung TPA Piyungan penghasilan lebih baik dari buruh tani, 2007; Anak jalanan antara ditipu dan menipu, 2007) akibat rendahnya gizi makanan dan terbatasnya akses pelayanan kesehatan (Perlindungan anak masih kurang, 2007; Direktorat pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna sosial, 2005).

3. Bekas keluarga jalanan

(38)

16

4. Karakteristik masyarakat

Masyarakat pada umumnya memiliki beberapa ciri yang cukup menonjol. Pertama, masyarakat mengenal norma sosial dan pranata sosial serta pihak otoritas. Fungs i dari norma, pranata dan pihak otoritas ini memberikan rasa aman dan penghormatan sebagai pribadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat hidup bersosial dengan orang lain. Salah satu contoh kehidupan bersosial dalam masyarakat adalah kegiatan gotong-royong. Kegiatan ini tidak menginginkan pamrih secara material (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982). Mereka hidup dalam batasan-batasan norma sosial dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Mereka akan mendapatkan sanksi atau hukuman jika melanggar norma-norma dan peraturan yang berlaku. Norma terbentuk supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan (Soekanto, 1990). Kedua, adanya kepemilikan identitas diri (KTP, kartu keluarga, surat nikah, kartu sehat). Dengan adanya identitas diri, mereka dengan mudah dapat mengakses fasilitas umum yang ada.

Ketiga, pihak otoritas dalam masyarakat (aparat negara/pimpinan formal) membuat hukum yang jelas yang mengatur dan menjaga masyarakat (Sumintarsih, Wibowo, Herawati, 1991). Mereka diatur secara jelas tentang bagaimana hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara yang bermasyarakat.

(39)

1992; Sumintarsih, Wibowo, Herawati, 1991). Masyarakat juga masih berpandangan bahwa di keluarga, kedudukan istri tergantung pada suami dan kedudukan anak perempuan tergantung pada ayah/saudara laki- laki (Murniati, 1992). Menurut Murniati (1992) lapisan kelompok atas menempatkan diri pada posisi mengatur dan menentukan nasib lapisan bawah.

(40)

18

memakai kata-kata biasa atau kata-kata Krama Inggil, selalu ditentukan oleh status sosial diantara mereka (Geertz, 1983; Magnis-Suseno, 1977).

5. Pandangan masyarakat terhadap keluarga jalanan

(41)

Potensi tinggi, 2002) yang mengatakan bahwa kehidupan jalanan yang bebas

sangat sulit untuk dialihkan ke dalam kehidupan `normal`. Pendapat Suyanto dan Wahyudi mungkin menjadi alasan yang cukup mendasar atas ketidakberhasilan bekas keluarga jalanan untuk melakukan pembauran dengan masyarakat umum.

Berdasarkan data yang diambil dari PSP YSS, sejak tahun 2000-2007, jumlah keluarga yang pernah tinggal di PSP YSS sebanyak 33 keluarga. Jumlah warga yang kembali ke jalan sebesar 60,6%, warga yang tinggal menetap di Yogyakarta sebesar 6,06 %, pulang ke rumah sebesar 18,18 %, dan transmigrasi sebesar 16,66%. Hal ini memperlihatkan bahwa mayoritas bekas keluarga jalanan kembali lagi ke jalan setelah tinggal di PSP YSS (Daftar warga PSP, tanpa tahun).

Bekas keluarga jalanan yang mampu tinggal di masyarakat dan memiliki alamat yang tercatat di kantor PSP YSS sebesar 18,18% atau enam keluarga. Salah satu penyebab keberhasilan mereka adalah niat untuk bertahan (Nursin, wawancara pribadi, 13 Desember 2005), pemikiran ke depan dan konsep tentang bagaimana hidup di masyarakat. Mereka juga mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan, khususnya sukarelawan dari PSP YSS untuk berkembang. Keberhasilan mereka selain dukunga n sosial dari lingkungan juga dipengaruhi oleh bagaimana sikap lingkungan terhadap mereka.

(42)

20

B. Resosialisasi

1. Definisi resosialisasi

Resosialisasi adalah pembelajaran baru tentang sikap, nilai, dan kebiasaan yang berbeda dari pengalaman dan latar belakang seseorang (Abarca, 2005; Lonsdale, 2005; Schaefer, 2001). Lonsdale (2005) mengkategorisasikan resosialisasi menjadi dua: (1) resosialisasi sukarela yang terjadi ketika seorang individu dengan sukarela memilih untuk mengubah sikap dan kebiasaannya, (2) resosialisasi paksaan yaitu resosialisasi yang terjadi melawan sikap bebas seseorang dan pada umumnya berlangsung pada suatu institusi. Berdasarkan definisi di atas, resosialisasi sukarela lebih didasarkan kepada kesadaran dari individu untuk melakukan perubahan atas dirinya. Resosialisasi paksaan lebih didasarkan pada pemaksaan terhadap individu, contohnya perubahan yang terjadi di penjara dimana individu dipaksa untuk membentuk suatu pola kebiasaan baru.

(43)

2. Proses akulturasi

Proses internalisasi kebudayaan baru yang dilakukan dalam resosialisasi oleh Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) disebut sebagai intercultural strategies. Intercultural strategies diartikan sebagai proses dimana orang berusaha untuk hidup dalam dua kebudayaan. Intercultural strategies digunakan dalam pembahasan ini karena mayoritas bekas keluarga jalanan masih mencari nafkah dari jalanan. Mereka mengalami proses transisi dari kebudayaan jalanan ke kebudayaan masyarakat normal. Selama proses transisi tersebut, mereka akan mengalami perubahan tekanan secara psikologi. Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) menyebutnya sebagai psychological acculturation. Tekanan yang dialami bisa berupa kontrol kognitif dan

bagaimana mereka menilai masalah dalam konteks kebudayaan yang baru. Tekanan itu akan menghasilkan stres apabila tidak mampu diatasi oleh individu. Namun apabila individu mampu mengatasi tekanan, maka individu akan mampu beradaptasi.

(44)

22

Akulturasi individu adalah proses internalisasi kebudayaan baru yang mengakibatkan perubahan pada identitas seseorang, nilai dan sikap (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002). Proses akulturasi individu akan melalui beberapa faktor. Faktor- faktor akulturasi pada tingkat individu terbagai atas lima kelompok besar (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002); pertama, faktor perantara sebelum akulturasi; kedua, faktor perantara selama akulturasi; ketiga, pengalaman akulturasi; keempat stressors; kelima, stres. Apabila mereka mampu menjalaninya, maka mereka akan sampai pada tahap adaptasi, dimana mereka mampu bertahan dalam lingkungan masyarakat.

Faktor perantara sebelum akulturasi mempunyai peranan yang sangat besar dalam proses keberhasilan resosialisasi. Faktor perantara sebelum akulturasi terlihat dari bagaimana budaya asal (society of origin) membentuk karakteristik yang khas individu. Budaya jalanan yang penuh dengan tekanan baik mental maupun fisik membentuk karakter individu warga jalanan sebagai pribadi yang keras. Budaya baru (society of settlement) adalah budaya yang akan diinternalisasikan. Apabila perbedaan kedua kebudayaan itu semakin kecil, maka internalisasi kebudayaan baru akan semakin mudah lewat akulturasi.

Faktor perantara sebelum akulturasi (fpsba) merupakan latar belakang (lb) individu seperti umur (umr), jenis kelamin (jk), pendidikan

(45)

dilakukan sejak muda, proses akulturasi akan lebih mudah dilakukan sedangkan apabila dilakukan pada umur yang tua, ada kemungkinan memunculkan konflik budaya. Konflik akan muncul karena mengubah paradigma warga jalanan yang sudah tertanam selama bertahun-tahun. Beiser & Carballo (dalam Berry, Portinga, Segall, & Dasen, 2002) mengatakan bahwa wanita lebih beresiko terhadap masalah daripada lelaki. Hal ini mengatakan bahwa laki- laki lebih mudah melakukan adaptasi dibandingkan perempuan. Tingkat pendidikan juga berpengaruh secara signifikan terhadap proses adaptasi karena diprediksi seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan mengalami stress yang rendah dalam akulturasi (Beiser; Jayasuriya dalam Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002). Akan tetapi pada faktanya, tingkat pendidikan warga jalanan yang rendah menjadi faktor yang kurang mendukung dalam proses akulturasi. Seperti diungkapkan Nursin (wawancara pribadi, 13 Desember 2005), hal yang memudahkan untuk melakukan akulturasi adalah motivasi yang merupakan faktor kuat untuk mengubah seseorang. Jarak budaya (keyakinan, kond isi sebelum akulturasi, bahasa) juga menjadi faktor yang perlu diperhitungkan. Keyakinan dan bahasa tidak begitu menjadi masalah karena adanya kesamaan. Hal ini menjadikan akulturasi semakin mudah dilakukan.

(46)

24

masyarakat agar tidak memberikan uang kepada orang miskin semakin menekan warga miskin (Walikota Palangkaraya, 2002). Disini, Pemerintah memiliki andil yang besar dalam membangun kondisi sosial warga jalanan.

Kedua, faktor perantara selama akulturasi (fpsla) menunjuk pada interaksi yang terus menerus antara individu dengan lingkungannya. Interaksi dengan lingkungan baru akan menimbulkan pertentangan-pertentangan

(47)

individu mengatasi masalah akan memperlihatkan siapa saja tetangga/teman yang membantunya dan membiarkannya. Dukungan sosial bisa dilihat dari kejadian tersebut.

Ketiga, pengalaman akulturasi (pa) merupakan pengalaman yang didapat oleh individu dalam interaksinya dengan lingkungan baru karena budaya dan kebiasaan yang berbeda (new). Pengalaman akulturasi terjadi dalam setiap kegiatan dalam interaksi. Dalam interaksinya, individu dituntut untuk mampu berpartisipasi (par) dalam keseharian serta memahami masalah-masalah (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002). Persinggungan antara pengalaman masa lalu dan pengalaman baru akan menghasilkan permasalahan yang harus dipahami oleh individu. Individu dituntut untuk mampu menggunakan pola pikir baru dalam memahami masalah yang dihadapinya agar mampu meminimalkan permasalahan yang muncul. Sebagai contoh, mereka harus mampu bersikap ramah terhadap tetangga sebagai tuntutan dari lingkungan, mengikuti kegiatan-kegiatan kampung (sarasehan, menarik jimpitan) dimana kegiatan tersebut tidak ada ketika mereka masih tinggal di jalan. Proses pertemuan dengan pengalaman baru tersebut bukan hal yang mudah karena seringkali menimbulkan potensi konflik. Ketika mereka tidak pernah ikut kegiatan kampung maka mereka akan mendapat tekanan sosial seperti di pergunjingkan oleh tetangga.

(48)

26

hal- hal yang harus dihadapi oleh individu. Menurut Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) individu harus mempertimbangkan makna dari pengalamannya, serta menge valuasinya (pm). Ketika individu menilai pengalaman akulturasi tidak bermasalah bagi dirinya, maka perubahan bagi individu akan lebih mudah dan perilakunya akan mengikuti secara berlahan. Akan tetapi ketika individu menganggap interaksi yang dilakukannya mengalami masalah dan individu tidak mampu mengatasinya maka individu akan mengalami stres. Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) mengatakan bahwa mereka harus menghadapi masalah yang berasal dari hasil kontak budaya tersebut dan mereka harus memahami bahwa hal itu tidak dapat diatasi dengan mudah dan cepat.

Kelima, stres (s). Masalah dalam akulturasi bisa mengalami peningkatan. Apabila hal ini tidak dapat dilalui dengan baik oleh individu maka individu itu akan mengalami stres dan menghasilkan efek ne gatif, seperti krisis personal (kp) (kecemasan (kpc), depresi (dp) dan psikosomatis

(psi)). Stres yang tidak mampu diatasi oleh individu bisa mengakibatkan gagalnya proses akulturasi karena pada umumnya ketika mereka tidak mampu mengatasi masalah, mereka akan kembali lagi ke jalan. Namun apabila bisa diatasi oleh individu, maka individu akan semakin dekat dengan proses adaptasi.

Adaptasi adalah proses terakhir dari akulturasi psikologi. Adaptasi

(49)

memperlihatkan kepuasan (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002). Adaptasi terdiri atas dua hal (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002), yaitu adaptasi psikologi (ap) (merasa berfungsi sepenuhnya (sense of well-being), kesadaran akan harga diri) dan adapatasi sosiokultural (as) (berhubungan dengan individu lain dalam lingkungan baru, contohnya berkompeten dalam kegiatan keseharian di lingkungan baru). Ketika individu sudah mengalami adaptasi secara baik, maka perubahan sikap dan perilaku akan mengikuti dengan sendirinya sesuai dengan lingkungan barunya.

Individu mampu mencapai adaptasi, maka akan ada faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilannya dalam pencapaian adaptasi tersebut. Penelitian ini akan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan resosialisasi (adaptasi) bekas keluarga jalanan dalam masyarakat umum.

(50)

28

D. Kerangka Penelitian

Berdasarkan kerangka penelitian di atas, peneliti ingin meneliti faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan resosialisasi bekas keluarga jalanan dalam masyarakat umum.

Bekas Keluarga Jalanan

Internalisasi budaya masyarakat umum

Pengalaman akulturasi

stressor

stres

Adaptasi (resosialisasi)

Faktor perantara selama

akulturasi Faktor

perantara sebelum

(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode fenomenologi. Menurut Schutz (dalam Hasan, 2005) metode fenomenologi dirumuskan sebagai media untuk memeriksa dan menganalisis kehidupan batiniah individu yang berupa pengalaman mengenai fenomena atau penampakan sebagaimana adanya. Dunia sosial merupakan sesuatu yang intersubyektif dan pengalaman yang penuh makna (meaningfull).

Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi dengan pertimbangan bahwa fenomenologi memungkinkan untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilan resosialisasi bekas keluarga jalanan. Penelitian ini dilakukan dalam natural setting (Creswell, 1998) artinya individu tidak terpisah dari konteks lingkungan sehingganya sehingga tidak membatasi dalam menentukan variabel- variabel yang berpengaruh dalam keberhasilan resosialisasi bekas keluarga jalanan.

B. Informan Penelitian

(52)

30

ketegori ekonomi menegah ke bawah (Ena, Ouda Teda, tanpa tahun). Mereka pada umumnya bekerja sebagai pedagang, pengamen, pemulung, tukang becak bahkan pekerja seks (Sindhunata, tanpa tahun). Sindhunata (tanpa tahun) mengatakan bahwa Pingit adalah lingkungan yang tidak berpendidikan. Orang tua mendidik anak-anak mereka dengan kasar, membentak-bentak penuh kemarahan dan caci maki (Fajar dkk, tanpa tahun; Pudji, tanpa tahun). Wilayah ini merupakan wilayah padat penduduk. Penduduk dari luar daerah ini sering menyebutnya sebagai “daerah hitam” karena banyaknya pelaku tindak kriminal berasal dari daerah ini.

(53)

1. Keluaraga yang sedang atau pernah tinggal di PSP YSS minimal 3 bulan atau sekarang tinggal menetap di suatu wilayah administrasi tertentu.

2. Mempunyai pengalaman hid up bersama dengan pasangan di jalan.

C. Teknik Pengumpulan Data 1. Pengamatan Berperan-serta

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik pengamatan berperan-serta (participant observation). Moleong (2002) dan Becker (dalam Mulyana, 2001) mengatakan bahwa pengamatan berperan-serta adalah pengamatan yang dilakukan sambil sedikit banyak berperan-serta dalam kehidupan orang-orang yang kita teliti, sehingga kita bisa memaknai eksistensi manusia berdasarkan sudut pandang orang dalam (Bruyn dalam Mulyana, 2001). Pengamatan terlibat mengikuti orang-orang yang diteliti dalam kehidupan sehari-hari mereka, melihat apa yang mereka lakukan, kapan, dengan siapa, dan dalam keadaan apa, dan menanyai mereka mengenai tindakan mereka (Creswell, 1998). Jorgensen (dalam Mulyana, 2001) mengemukakan bahwa metode pengamatan berperan-serta dapat didefinisikan berdasarkan ciri-ciri berikut:

a minat khusus pada makna dan interaksi manusia berdasarkan perspektif

orang-orang dalam/anggota-anggota/situasi/keadaan tertentu

b fondasi penelitian dan metodenya adalah kedisinian dan kekinian kehidupan sehari- hari

(54)

32

d logika dan proses penelitian yang terbuka, luwes dan oportunitik dan menuntut redefinisi apa yang problematik, berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam situasi nyata eksistensi manusia

e pendekatan dan rancangan yang mendalam, kualitatif,

f penerapan peran partisipan yang menuntut hubungan langsung dengan pribumi/penduduk di lapangan

g pengamatan berperan-serta juga memungkinkan peneliti dari orang luar menjadi orang dalam agar memperoleh data yang lebih baik (Jorgensen dalam Creswell, 1998)

Peneliti juga menggunakan fieldnotes (catatan data lapangan) agar data yang dikumpulkan semakin lengkap (Mulyana, 2001; Danim, 2002). Catatan lapangan menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2002), Danim (2002) adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif serta ditulis lengkap; dengan keterangan tanggal dan waktu (Poerwandari, 1998; Miles & Huberman, 1992). Catatan lapangan penting karena penentuan kepercayaan dan keabsahan data, didasarkan atas data yang terdapat dalam catatan lapangan (Moleong, 2002).

Panduan observasi:

(55)

2. Wawancara

Pengamatan berperan-serta membutuhkan keterlibatan aktif dari peneliti, selain itu menggunakan wawancara dan obeservasi pada situasi yang ingin diteliti. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang dinamakan interview guide, berdasarkan tujuan tertentu (Moleong, 2002; Mulyana, 2001; Creswell, 1998; Nazir, 1988). Pedoman wawancara ini digunakan sebagai landasan utama/pedoman umum dalam mencari data dari informan. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang ingin diteliti sekaligus sebagai dasar pengecekan apakah aspek-aspek tersebut relevan dengan tujuan penelitian (Mulyana, 2001; Nazir, 1988). Wawancara yang digunakan di sini adalah wawancara terbuka. Mulyana (2001) dan Patton (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa wawancara terbuka bersifat luwes, susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara. Menurut Denzim (dalam Mulyana, 2001) keunggulan wawancara terbuka adalah:

a wawancara terbuka memungkinkan informan menggunakan cara-cara unik mendefenisikan dunia

b wawancara terbuka mengasumsikan bahwa tidak ada urutan tetap pertanyaan yang sesuai untuk semua informan

(56)

34

Mulyana (2001) mengatakan bahwa wawancara mendalam dan pengamatan berperan-serta saling melengkapi dan mengurangi ketidakajegan data yang diperoleh dari subjek.

Pedoman wawancara mengacu pada landasan teori yang telah dicantumkan di bab II. Pedoman wawancara yang akan digunakan untuk memperoleh data adalah sebagai berikut:

a. Latar belakang subyek

b. Kondisi lingkungan dan cara hidup di jalan

c. Konflik-konflik yang terjadi ketika beradaptasi dengan masyarakat d. Keikutsertaan dalam kegiatan di masyarakat

e. Perencanaan ke depan

f. Faktor-faktor yang membuat mereka menetap di lingkungan masyarakat

D. Pemeriksaan Keabsahan Data

(57)

Selain itu, peneliti menggunakan sumber data yang majemuk (wawancara dengan orang lain yang memiliki hubungan dekat dengan subjek (Mulyana, 2001) serta observasi partisipan).

E. Analisis Data

Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto) ataupun bentuk-bentuk non angka lain (Strauss & Corbin, 2003; Poerwandari, 1998). Menurut Miles dan Huberman (1992) analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyiapan data, penarikan kesimpulan/verifikasi. Pertama, reduksi data sebagai proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Hal ini berlangsung terus menerus. Kedua, penyajian data sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Ketiga, penarikan kesimpulan/verifikasi. Kesimpulan dibuat sejak awal, semakin lama semakin kokoh tetapi harus longgar, tetap terbuka dan skeptis. Kesimpulan direvisi selama penelitian berlangsung.

(58)

36

1. Organisasi data

Data yang diperoleh diorganisasikan secara rapi dan sistematis sehingga memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data serta memudahkan peneliti dalam melakukan penelusuran data.

Data yang disimpan adalah : a. Kaset rekaman dan verbatim

b. Verbatim yang telah dikoding sesuai dengan tema-tema yang telah ditentukan c. Kategori data yang merupakan hasil penyusunan koding sebelumnya. Kategori data dilakukan untuk mengurangi jumlah unit yang harus dikerjakan (Creswell, 1998). Kategori adalah proses pengelompokan konsep yang tampaknya berhubungan dengan fenomena yang sama (Strauss & Corbin, 2003). Kategori dibuat atas dasar pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu (Moleong, 2002). 2. Pengkodean

Tujuan dari pengkodean adalah mengorganisasikan dan mensistematisasikan sehingga data nantinya dapat memunculkan gambaran yang akan diteliti (Poerwandari, 1998).

Langkah koding:

(59)

b. melakukan penomeran dimana untuk pertanyaan diberi kode huruf dan abjad secara kontinyu sedangkan untuk pernyataan informan diberi nomer secara kontinyu setiap baris transkrip.

c. memberi nama masing- masing berkas dengan kode tertentu. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemberian data ketika hendak dilakukan. Pada penelitian ini dipakai kode WWCR.KK1.L.PSP.1Jan06, artinya wawancara pada keluarga pertama laki- laki (ayah) dilakukan di Perkampungan Sosial Pingit pada tanggal 1 Januari 2006.

Setelah semua langkah dilakukan, peneliti mulai membaca beberapa kali dengan tujuan untuk menganalisa. Kata-kata kunci yang ditemukan dituliskan pada bagian kolom kanan/kiri yang telah disediakan.

Substansi dalam koding ini diperhatikan dengan cara sebagai berikut: a. membaca transkrip begitu transkrip selesai dibuat untuk mengidentifikasikan

tema-tema yang dibuat. Tema-tema ini seringkali memodifikasi proses pengambilan data selanjutnya

b. membaca transkrip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema

c. membaca kembali data-data dan catatan analisis secara teratur, membuka

(60)

38

Fokus penelitian ini adalah kedalaman sehingga analisis dilakukan terlebih dahulu pada data dari tiap informan. Setelah dinamika setiap informan terbentuk maka akan dilakukan analisis keseluruhan informan yang diperoleh. Dengan demikian gambaran yang diperoleh peneliti lebih mendalam dan komprehensif.

3. Interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 1998) membedakan istilah analisis dan interpretasi. Menurutnya, interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensi sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasikan data melalui perspektif tersebut. Peneliti beranjak melampaui apa yang secara langsung dikatakan oleh subjek penelitian, untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera ditampilkan dalam teks (data mentah/transkrip wawancara).

Kvale (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa interpretasi memang tidak tunggal. Adalah sah-sah saja (legitimate) bila satu pihak dengan pihak lain mengembangkan interpetasi berbeda tentang data yang sama, dan hal itu tidak langsung berarti bahwa metode kualitatif tidak ilmiah. Kvale (dalam Poerwandari, 1998) menguraikan konteks-konteks situasi dan komunitas validasi dalam mana muncul interpretasi yang berbeda.

(61)

Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri informan penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian informan penelitian tersebut.

Konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis terjadi bila peneliti beranjak lebih jauh dari pemahaman diri subjek penelitiannya. Peneliti menggunakan pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman subjek. Walaupun demikian, hal ini tetap di tempatkan dalam konteks penalaran umum, peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana subjek penelitian berada.

(62)

BAB IV

Hasil dan Pembahasan

A. Identitas dan Deskripsi Informan 1. Identitas

Pekerjaan Pemulung Ibu rumah tangga

Penyapu jalan, pemulung

Pengemis Penarik becak

Pengamen

Usia 35 tahun 41 tahun 49 tahun 39 tahun 44 tahun 44 tahun

Pendidikan STM

kelas II

SMP Tari

- - - -

Agama Islam Islam Islam Islam Kristen Kristen

Kesehatan Sehat Mudah

lelah

Status Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah

(63)

2. Deskripsi Informan Informan pertama

Keluarga informan pertama sudah tinggal di masyarakat selama kurang lebih 4 tahun. Mereka adalah pasangan yang bertemu di jalan dan memilih hidup bersama. Setelah mereka hidup di jalan selama kurang lebih satu tahun, mereka tinggal di Perkampungan Sosial Pingit selama kurang dari dua tahun lalu menetap di kampung sejak 20 Januari 2004. Informan pertama laki- laki bekerja sebagai pemulung. Informan laki- laki pertama bekerja di sekitar Kecamatan Jetis. Informan laki- laki pertama memulung dengan berjalan kaki dan membawa karung dan ganco (besi berganggang dengan ujung melengkung). Sedangkan istrinya menunggu di rumah. Istrinya bekerja sebagai tukang pijat.

Istrinya menunggu di rumah karena sudah tidak begitu kuat bekerja berat. Informan perempuan pertama memiliki tinggi kurang lebih 155 cm dan berat sekitar 47 kg sehingga tergolong kecil. Informan laki- laki pertama bertinggi 165 cm dan berat 53 kg. Informan laki- laki pertama berbadan kecil dan berkulit agak hitam.

(64)

42

Mereka saat ini tinggal di rumah kontrakan dengan lebar 2,5 m x 5 m. Ruangan ini digunakan sebagai tempat tidur, tempat menerima tamu dan kadang digunakan sebagai tempat untuk menaruh barang hasil memulung yang sudah dikelompok-kelompokkan.

Informan kedua

Keluarga kedua sudah tinggal di PSP YSS selama kurang lebih satu tahun. Pada awalnya mereka tingal di Alun-alun utara sebelah timur. Mereka tidur di gubuk berukuran 1,5 x 2,5 m. Mereka makan, tidur di Alun-alun utara. Mereka adalah pasangan yang menikah ketika keduanya sudah berada di jalan. Informan laki- laki kedua adalah seorang duda beranak satu. Istri pertama bekerja di tempat yang sama dengan Informan laki- laki. Pada awalnya mereka bekerja di tempat yang sama. Informan laki- laki kedua menyapu sampah di jalan sebelah barat alun-alun dan istrinya membantu memilah sampah yang bisa dijual. Biasanya informan laki- laki membawa gerobak, dua buah sapu dan seng pengambil sampah (serok). Akan tetapi sejak tinggal di PSP YSS, informan perempuan bekerja sendiri dengan mengemis bersama anak terkecilnya di perempatan Kentungan.

(65)

Selama proses wawancara, informan laki- laki sangat terbuka dan lancar. Ketika wawancara berlangsung, dia seringkali menghisap rokoknya. Sedangkan informan perempuan kurang begitu terbuka karena pada awalnya hampir menolak wawancara karena adanya tape recorder. Setelah diberi penjelasan dan menggunakan pengantar bahasa Jawa, akhirnya informan perempuan lebih terbuka. Informan perempuan beberapa kali tidak mau menjawab pertanyaan dari peneliti.

Saat ini mereka tinggal di salah satu rumah di PSP YSS. Dinding rumah ini 75 cm dari tanah berupa tembok dan sisanya berupa anyaman bambu. Ukuran rumah sekitar 3x4 m dengan dua ruangan. Ruangan ini disekat menggunakan anyaman bambu. Ruangan pertama sebagai ruang tamu dan ruang kedua sebagai dapur dan ruang tidur.

Informan ketiga

Informan laki- laki ketiga berbadan pendek kekar, dia bertinggi 157 cm dan berat 55 kg. berkulit hitam dan pada bagian tangan kanan ada bekas tato yang masih terlihat samar-samar. Informan perempuan ketiga lebih tinggi dari pada informan laki- laki ketiga. Informan perempuan berkulit gelap dan rambut yang selalu diikat.

(66)

44

sebagai pengamen. Biasanya informan perempuan mengamen di sebelah barat perempatan Tugu.

Mereka tinggal di salah satu rumah PSP YSS. Rumah ini berukuran sekitar 3x4 m dengan dua ruangan. Ruangan ini disekat menggunakan anyaman bambu. Ruangan pertama sebagai ruang tamu dan ruang kedua sebagai dapur dan ruang tidur. Dinding rumah ini sebagian berupa tembok (75 cm dari tanah) dan sisanya masih gedeg (anyaman bambu). Ruang tamu mereka gunakan untuk menerima tamu dan tidur. Ketika ada tamu, alas tidur di sandarkan di dinding rumah. Sedangkan ruangan yang satu lagi digunakan sebagai dapur dan tempat menaruh baju.

Foto 1 Tempat tinggal

Informan ketiga baru pulang dari transmigrasi karena disana mereka kesulitan untuk mena nam tanaman. Mereka dari jalan ditampung di PSP YSS selama kurang lebih tiga bulan dan berangkat transmigrasi. Di tempat transmigrasi mereka bertahan selama lima bulan setelah itu mereka kembali lagi ke Yogyakarta. Ini adalah kesempatan kedua mereka untuk tinggal di PSP YSS.

(67)

B. Tahap Pengambilan Data

Setelah melakukan tahap pre lapangan yaitu menyusun rancangan penelitian, menetapkan lokasi, informasi dan informan serta menetapkan metode pengambilan data, peneliti kemudian melanjutkan pada tahap memasuki lokasi penelitian.

1. Tahap catatan lapangan pre penelitian

Peneliti melakukan kunjungan ke lokasi penelitian untuk mengetahui gambaran tentang lokasi penelitian. Gambaran lokasi tersebut berupa kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan sedikit gambaran karakteristik warga.

2. Tahap pengurusan perijinan

Tahap pengurusan perijinan hanya berlangsung satu hari. Setelah ijin diterima oleh kordinator divisi orang tua, peneliti diantar kepada dua keluarga yang sesuai dengan kriteria yang akan diambil oleh peneliti. Keluarga ketiga, peneliti datang sendiri dan meminta kesediaan mereka untuk menjadi informan penelitian.

3. Tahap pengumpulan data

(68)

46

sebelumnya karena peneliti adalah salah satu volunter yang masih aktif di PSP YSS.

Tabel 2 Tahap pengumpulan data

No Tanggal Keterangan Lokasi

1 4 Mei 2006 Perijinan untuk tinggal di

Perkampungan Sosial Pingit dan meminta kesediaan informan 2

Perkampungan Sosial

Catatan lapangan partisipan informan pertama

Catatan lapangan partisipan informan kedua

5 4 Desember 2006 Wawancara sumber lain untuk

informan pertama

Wawancara sumber lain untuk informan kedua

Kolsani Jl Abu Bakar Ali no 1

7 11 Juni 2007 Meminta kesediaan informan 3 Perkampungan Sosial

Pingit 8 13 Juni 2007 - 28

Juni 2007

Catatan lapangan partisipan informan ketiga

Perkampungan Sosial Pingit, Puskesmas Jetis, Tugu

9. 21 Juli 2007 Wawancara sumber lain untuk

informan ketiga

Hasil penelitian lapangan yang diperoleh dari proses wawancara maupun catatan lapangan (sebagai hasil observasi) kemudian digabungkan dan dikategorisasikan menurut aspek-aspek yang diteliti. Hasil penelitian ini dituliskan dalam bentuk narasi.

(69)

Informan laki- laki pertama (RL 1) mengatakan bahwa dia pernah belajar di pondok pesantren. Pendidikan formalnya hanya sampai tingkat STM tetapi tidak tamat. Walaupun secara formal tidak lulus STM, RL 1 sering belajar secara informal.

“ ...Abah Abu itu guru saya. Dia guru magic. Juga guru teluh. Betul. Orangnya pintar, dulu sering berbincang berdua seperti ini...”. (KK 1. L, 2-5)

Keinginan untuk belajar dari RL 1 yang cukup tinggi, terbukti dari perilaku RL 1 banyak belajar tentang mahluk halus dari banyak guru. RL 1 juga suka sekali melakukan lelaku seperti menggelandang tanpa bekal dan berpuasa. Tujuan lelaku dilakukan agar RL 1 bisa mengetahui sesuatu. Harapanya, pengetahuan tersebut akan bisa dimanfaatkan untuk menolong orang lain.

Sekitar tahun 2000, RL 1 memutuskan untuk turun ke jalan.

”Di Solo itu menjadi apa…. Penjudi. Di Solo bekerja mas. Parkir” (KK 1. L, S 8)

Merupakan pekerjaan yang digeluti oleh RL 1. Bekerja sebagai pengamen, tukang parkir, bandar judi, dan pemulung. RL 1 melakukan pekerjaan itu ketika dia merasa senang maka pekerjaan itu akan dijalaninya.

Ketika malam datang, RL 1 mencari tempat tidur yang nyaman dalam kelompok kecil. Beberapa temannya bekerja sebagai pemulung, pengamen, bahkan pencopet. Tempat yang mereka gunakan sebagai tempat tidur juga seringkali berpindah-pindah.

(70)

48

gerombolan itu disana. Ada anak Surabaya”(KK1. L, X 3-5, 7, AF 18-21)

Beberapa tempat yang pernah ditinggali oleh RL 1 antara lain sekitar Purosani, perempatan Bethesda dan juga lapak (tempat pengepul barang bekas) serta pernah menumpang ditempat teman. Ketika berkumpul, mereka saling berbagi cerita, bercanda, bernyanyi bersama dan makan bersama. Mereka melakukan ini sebagai sarana untuk mengurangi beban hidup.

RL 1 mengatakan bahwa dia pernah mengalami perkelahian dengan pengeroyokan, penipuan, garukan dan pencurian. RL 1 mengatakan bahwa perkelahian merupakan hal yang biasa karena emosi yang mudah meluap. Alat yang sering dipakai adalah alat-alat yang dekat dengan keseharian mereka antara lain ganco, dan ketapel.

“...ganco saya sudah makan dua orang mas. Pernah mengenai dua orang. Mengganco orang dua kali. Anjing tiga kali. Ganco itu ganco kenang-kenangan” (KK1. L, AA 19-20)

(71)

RL 1 bertemu dengan istrinya ketika berada di jalanan. Pertama kali bertemu dengan informan perempuan 1 (RP 1) di Yogyakarta.

“...sewaktu pertama ya sama Joar itu, duduk-duduk situ, saya tu merasa kasihan, kok saya sama teman saya makan ada perempuan ini kata Pak Pari, Mbak beli nasi Mbak, tolong belikan Mbak” (KK1. L, AQ 9-11)

Merupakan sejarah pertama kali RL 1 bertemu dengan RP 1. RL 1 merasa kasihan melihat perempuan yang ada di dekatnya. Lalu RL 1 meminta bantuan untuk membelikan nasi bungkus. Awal pertemuan dilalui dengan biasa. RL 1 akhirnya memutuskan untuk menikahi RP 1 karena RL 1 mendapatkan mimpi ketika tidur agar menikahi dan menjaga RP 1. Dalam mimpinya, RL 1 merasa bertemu dengan seorang pendeta yang dimaknai sebagai orang tua dari RP 1.

RL 1 mengatakan bahwa salah satu ciri khas pasangan di jalanan, mereka mudah bergonti-ganti pasangan.

“...memang mayoritas memang seperti itu memang bisa dikatakan begitu bisa mas, masalahnya mereka itu seperti yang laki-laki, laki-laki kadang memandang cuman apa sebagai kayak diluar dikatakan sebagai sedotan, digunakan bersama, sedoroyokan (digunakan bersama), sedoroyokan iku yo perempuan seperti itu, tapi yo tidak sampai (tertawa), tidak sampai berkelahi Mas, tapi kalau sudah bersama dengan orang itu , kalau ingin maju pasti tidak mau, diam saja..” (KK1. L, AH 1-14)

(72)

50

RP 1 mengatakan bahwa dia merasa tertarik dengan RL 1 karena RL 1 dimata RP 1 adalah sosok pekerja yang rajin dan penuh perhatian. Selain itu, awal pertemuan mereka ketika berada di jalan, RP 1 pernah disembuhkan ketika stres akibat masalah yang dialaminya oleh RL 1.

Sebelum turun ke jalan, RP 1 pernah memiliki suami dan bekerja sebagai buruh, petani dan pembantu. RL 1 berkata, “...di Jakarta sebagai buruh...”. Ketika masih muda, pernah belajar menari di padepokan Bagong

Sudiarjo dan pernah memberi kursus tari. Ketika kecil, RP 1 diadopsi oleh sudara ayahnya.

“...betul itu, makanya saya kalau ingat anak saya seperti orang stres (anaknya pernah dibunuh oleh suami pertamanya)... Ya anak saya, yang tidak ada, setiap ingat anak saya, saya pasti stres...” (KK1. P, B 7-9)

(73)

Sebelum bertemu dengan suaminya, RP 1 sempat bekerja sebagai pengamen, pemulung, pemijat, tukang cuci baju dan pedagang.

“...sebelum kenal, nanti kalau ada orang yang mencuci, nyuci, saya juga belum mencuci, nyuci. Setelah itu saya memakai icik-icik (tutup botol dipipihkan, beberapa buah lalu dipaku dibagian tengah disebuah kayu) buat mengamen. Pernah beli kentrung (gitar kecil dengan tiga senar), ya beli kentrung satu” (KK1. P, B 21-25, C 10)

Alat yang biasa digunakan untuk mengamen adalah ecek-ecek (tutup botol seng dipipihkan lalu beberapa buah di lubangi di tengah dan dipaku pada sebatang kayu kalau digerakkan maka akan menimbulkan bunyi ecek-ecek-ecek serta kentrung. Penghasilan RP 1 bisa mencapai Rp

40.000-50.000 per hari. Penghasilannya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari dan sebagian sempat ditabungkan di tempat juragan lapak.

(74)

52

Foto 2. Hasil memulung yang sudah di pisah-pisahkan

Motif yang muncul dari RL 1 untuk kembali lagi ke masyarakat karena dia berpikir tidak mungkin terus berada di jalanan karena umur yang semakin tua dan kemampuan yang semakin berkurang.

“...sekarang seandainya punya istri. Andaikata kalau wanita apa tidak kasihan. Apalagi kalau masih anak-anak. Apa tidak kasihan anak-anaknya”. (KK1. L, E 12-14)

Selain itu, perempuan dan anak merupakan alasan utama. Bagi RL 1, perempuan itu seperti ibunya sendiri yang harus di jaga dan lebih mudah menjaga di dalam masyarakat.

Selain itu, kemudahan yang terjadi karena jarak sosial yang tidak terlalu jauh dengan masyarakat. RL 1 dan RP 1 tidak terlalu lama tinggal di jalanan dan dia memiliki konsep tentang masyarakat. RL 1 pernah bekerja di perusahaan dan banyak belajar di pondok sedangkan RP 1 pernah bekerja sebagai pembantu, petani dan buruh.

(75)

memiliki harapan untuk kembali lagi ke Katolik walaupun itu ditentang oleh suaminya. Selain itu semua, motif yang paling mendasar dari keluarga ini karena mereka tidak ingin mendapat cap tidak bermasyarakat.

Konflik yang terjadi pada keluarga pertama ketika mereka membaur dengan masyarakat adalah konflik dengan pasangan dan konflik dengan tetangga. Konflik dengan pasangan biasanya dipicu oleh penghasilan yang sulit dan emosi sesaat. Ketidak-percayaan terhadap pasangan juga menimbulkan ketegangan yang berujung pada adu mulut. Sedangkan ketegangan dengan tetangga disebabkan oleh hutang-piutang yang belum terbayar. Keluarga pertama memberikan hutang kepada keluarga kedua. Ketika keluarga pertama mena gih, ternyata keluarga kedua mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati. Selain itu, kesalahan dalam mengirimkan makanan punjungan (makan dari orang yang memiliki hajat, diberikan kepada orang yang telah menyumbang ke tempatnya). Makanan punjungan tersebut diterima oleh tetangga dari keluarga pertama dan tetangganya tidak memberikan sumbangan. Hal ini juga menimbulkan ketegangan pada keluarga pertama. Selain itu, ketegangan yang dialami oleh RL 1 antara : ketidak hadiran warga lain dalam kerja bakti, sarasehan dan siskamling serta kegemaran warga untuk membicarakan kejelekan orang lain.

Pemecahan masalah dilakukan oleh individu dan pasangannya. RL 1 mengatakan

(76)

54

RL 1 berupaya berupaya memecahkan masalah dengan memahami lebih dahulu akar permasalahan dan membicarakan bersama. Apabila diperlukan, RL 1 akan mendorong orang lain untuk muncul ke permukaan. Tetapi kadangkala tidak perlu menanggapi dan dihadapi dengan akal sehat dan sabar. Biasanya, apabila mereka tidak mampu mengatasi sendiri, mereka akan meminta bantuan dari volunter atau frater yang ada di sana, sebagai tempat berbagi. Dukungan sosial tidak hanya terlihat dari bantuan dalam memecahkan masalah, tetapi juga terlihat dari penerimaan masyarakat terhadap keluarga pertama. RL 1 oleh warga sekitar dipanggil dengan sebutan Pak Dhe, yang memperlihatkan bahwa RL 1 cukup dipandang oleh

tetangganya. Penerimaan itu juga tampak ketika warga menerima RP 1 untuk menonton televisi di rumah mereka. Ketika RP 1 sakit, beberapa warga juga membesuknya. Selain itu, seringkali orang-orang yang lewat depan rumah mereka menyapa terlebih dahulu keluarga ini.

Keluarga pertama merupakan keluarga yang aktif di masyarakat. Mereka berusaha mengikuti kegiatan-kegiatan warga. RL 1 mengatakan bahwa dia aktif dalam pertemuan-pertemuan warga, walaupun seringkali menolak ketika tampil dan memilih berada di belakang layar. RL 1 juga suka membantu tetangga dengan keahliannya sebagai orang tua. RP 1 seringkali datang di hajatan tetangganya ketika mendapatkan undangan. Undangan dari tetangga memperlihatkan bahwa mereka sudah diterima oleh warga yang lain.

Gambar

TABEL 3. Wawancara primer...............................................................................83
Tabel 1
Tabel 2 Tahap pengumpulan data
Tabel 6 Faktor keberhasilan resosialisasi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Gabungkan pemetaan kegiatan anda selama 3 hari dan analisis lokasi kegiatan yang dapat di dekatkan atau di jauhkan.. Tentukan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Rincian Tugas, Fungsi Auditor dan

Berdasarkan hasil analisa data dan model regresi linier dengan bantuan tool SPSS 13.00 menyatakan bahwa pengaruh pelaksanaan pengadaan tanah terhadap kinerja waktu proyek

Hubungan antara variabel terikat (tarikan pergerakan kendaraan) dan variabel bebas berupa Total Luas Lahan pada gambar 3 mempunyai hubungan yang lemah terlihat dari

Berdasarkan pengertian atau maksud dari Rutan di dalam Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan KUHAP tersebut di atas, kiranya dapat ditarik pengertian bahwa dalam

Karya Kita Bandung, diperoleh informasi bahwa motivasi kerja karyawan pada saat ini cenderung menurun hal ini disebabkan oleh kurangnya penghargaan diri dan pengakuan akan

Komponen kebugaran jasmani yang berhubungan dengan kesehatan ini sangat diperlukan oleh setiap orang untuk melakukan aktivitas atau pekerjaan dalam kehidupan

26.1 [Untuk pekerjaan yang menggunakan Kontrak Harga Satuan atau Kontrak Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan pada bagian harga satuan, apabila terdapat perbedaan