• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Resosialisasi

2. Proses akulturasi

Proses internalisasi kebudayaan baru yang dilakukan dalam resosialisasi oleh Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) disebut sebagai intercultural strategies. Intercultural strategies diartikan sebagai proses dimana orang berusaha untuk hidup dalam dua kebudayaan. Intercultural strategies digunakan dalam pembahasan ini karena mayoritas bekas keluarga jalanan masih mencari nafkah dari jalanan. Mereka mengalami proses transisi dari kebudayaan jalanan ke kebudayaan masyarakat normal. Selama proses transisi tersebut, mereka akan mengalami perubahan tekanan secara psikologi. Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) menyebutnya sebagai psychological acculturation. Tekanan yang dialami bisa berupa kontrol kognitif dan bagaimana mereka menilai masalah dalam konteks kebudayaan yang baru. Tekanan itu akan menghasilkan stres apabila tidak mampu diatasi oleh individu. Namun apabila individu mampu mengatasi tekanan, maka individu akan mampu beradaptasi.

Akulturasi bisa terjadi antar kelompok dan antar individu. Resosialisasi mencoba melihat akulturasi yang terjadi dalam individu. Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) membedakan akulturasi kelompok dan akulturasi individu. Perbedaan akulturasi kelompok dengan akulturasi individu didasari oleh dua alasan utama. Pertama, perubahan pada kelompok lebih pada perubahan budaya, ekonomi, dan kelompok politik, sedangkan pada tingkat individu perubahan terjadi pada identitas seseorang, nilai dan sikap. Kedua, tidak semua perubahan individu berpengaruh pada level kelompok.

Akulturasi individu adalah proses internalisasi kebudayaan baru yang mengakibatkan perubahan pada identitas seseorang, nilai dan sikap (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002). Proses akulturasi individu akan melalui beberapa faktor. Faktor- faktor akulturasi pada tingkat individu terbagai atas lima kelompok besar (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002); pertama, faktor perantara sebelum akulturasi; kedua, faktor perantara selama akulturasi; ketiga, pengalaman akulturasi; keempat stressors; kelima, stres. Apabila mereka mampu menjalaninya, maka mereka akan sampai pada tahap adaptasi, dimana mereka mampu bertahan dalam lingkungan masyarakat.

Faktor perantara sebelum akulturasi mempunyai peranan yang sangat besar dalam proses keberhasilan resosialisasi. Faktor perantara sebelum akulturasi terlihat dari bagaimana budaya asal (society of origin) membentuk karakteristik yang khas individu. Budaya jalanan yang penuh dengan tekanan baik mental maupun fisik membentuk karakter individu warga jalanan sebagai pribadi yang keras. Budaya baru (society of settlement) adalah budaya yang akan diinternalisasikan. Apabila perbedaan kedua kebudayaan itu semakin kecil, maka internalisasi kebudayaan baru akan semakin mudah lewat akulturasi.

Faktor perantara sebelum akulturasi (fpsba) merupakan latar belakang (lb) individu seperti umur (umr), jenis kelamin (jk), pendidikan

(pddk), keyakinan (kyk), bahasa (bhs), status (sts), kondisi sebelum akulturasi (gu), motivasi untuk bergabung (mtv), harapan (hrp) dan jarak sosial (js). Umur seorang individu perlu diketahui karena apabila akulturasi

dilakukan sejak muda, proses akulturasi akan lebih mudah dilakukan sedangkan apabila dilakukan pada umur yang tua, ada kemungkinan memunculkan konflik budaya. Konflik akan muncul karena mengubah paradigma warga jalanan yang sudah tertanam selama bertahun-tahun. Beiser & Carballo (dalam Berry, Portinga, Segall, & Dasen, 2002) mengatakan bahwa wanita lebih beresiko terhadap masalah daripada lelaki. Hal ini mengatakan bahwa laki- laki lebih mudah melakukan adaptasi dibandingkan perempuan. Tingkat pendidikan juga berpengaruh secara signifikan terhadap proses adaptasi karena diprediksi seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan mengalami stress yang rendah dalam akulturasi (Beiser; Jayasuriya dalam Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002). Akan tetapi pada faktanya, tingkat pendidikan warga jalanan yang rendah menjadi faktor yang kurang mendukung dalam proses akulturasi. Seperti diungkapkan Nursin (wawancara pribadi, 13 Desember 2005), hal yang memudahkan untuk melakukan akulturasi adalah motivasi yang merupakan faktor kuat untuk mengubah seseorang. Jarak budaya (keyakinan, kond isi sebelum akulturasi, bahasa) juga menjadi faktor yang perlu diperhitungkan. Keyakinan dan bahasa tidak begitu menjadi masalah karena adanya kesamaan. Hal ini menjadikan akulturasi semakin mudah dilakukan.

Kondisi sebelum akulturasi (gu) bisa dilihat dari kondisi lingkungan sosial mereka ketika berada dimasyarakat. Banyaknya penertiban (garukan) yang dilakukan oleh pemerintah lewat Satuan Polisi Pamong Praja terhadap warga jalanan menjadi gambaran kondisi jalanan. Peraturan yang mengatur

masyarakat agar tidak memberikan uang kepada orang miskin semakin menekan warga miskin (Walikota Palangkaraya, 2002). Disini, Pemerintah memiliki andil yang besar dalam membangun kondisi sosial warga jalanan.

Kedua, faktor perantara selama akulturasi (fpsla) menunjuk pada interaksi yang terus menerus antara individu dengan lingkungannya. Interaksi dengan lingkungan baru akan menimbulkan pertentangan-pertentangan

(knflk) dengan orang lain. Pada awalnya masalah yang ada sedikit, diikuti masalah- masalah yang cukup serius dan akhirnya sampai pada pencapaian adaptasi. Permasalahan dalam interaksi akan memperlihatkan bagaimana dukungan sosial (ds) terhadap seorang individu dan sikap sosial orang lain. Selama proses akulturasi tersebut individu juga akan mengalami proses penyesuaian terhadap masalah yang dihadapinya. Keberhasilan dalam memecahkan masalah akan mempermudah individu dalam proses akulturasi serta menimbulkan suatu pola pemecahan masalah sehingga terbentuk strategi akulturasi (sa) dalam diri individu. Seperti yang dialami oleh sebuah keluarga baru yang tinggal pada umumnya, biasanya pada awal mereka menetap masalah tidak akan muncul. Masalah-masalah akan muncul kurang lebih satu bulan pertama dan biasanya intensitasnya akan semakin tinggi. Pada proses ini, individu dituntut untuk melakukan pemecahan terhadap masalah yang dihadapinya. Apabila individu tidak mampu melakukan pemecahan terhadap masalah yang dihadapinya, biasanya individu akan kembali lagi (melarikan diri) ke jalan. Namun apabila individu mampu mengatasinya, maka tahap pembelajarannya akan semakin mendekati proses adaptasi. Proses bagaimana

individu mengatasi masalah akan memperlihatkan siapa saja tetangga/teman yang membantunya dan membiarkannya. Dukungan sosial bisa dilihat dari kejadian tersebut.

Ketiga, pengalaman akulturasi (pa) merupakan pengalaman yang didapat oleh individu dalam interaksinya dengan lingkungan baru karena budaya dan kebiasaan yang berbeda (new). Pengalaman akulturasi terjadi dalam setiap kegiatan dalam interaksi. Dalam interaksinya, individu dituntut untuk mampu berpartisipasi (par) dalam keseharian serta memahami masalah-masalah (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002). Persinggungan antara pengalaman masa lalu dan pengalaman baru akan menghasilkan permasalahan yang harus dipahami oleh individu. Individu dituntut untuk mampu menggunakan pola pikir baru dalam memahami masalah yang dihadapinya agar mampu meminimalkan permasalahan yang muncul. Sebagai contoh, mereka harus mampu bersikap ramah terhadap tetangga sebagai tuntutan dari lingkungan, mengikuti kegiatan-kegiatan kampung (sarasehan, menarik jimpitan) dimana kegiatan tersebut tidak ada ketika mereka masih tinggal di jalan. Proses pertemuan dengan pengalaman baru tersebut bukan hal yang mudah karena seringkali menimbulkan potensi konflik. Ketika mereka tidak pernah ikut kegiatan kampung maka mereka akan mendapat tekanan sosial seperti di pergunjingkan oleh tetangga.

Keempat, stressors (ss). Stressors (permasalahan-permasalahan yang muncul akibat persinggungan antara individu dengan individu lain yang berbeda latar belakang/budaya yang mengganggu individu) dimaknai sebagai

hal- hal yang harus dihadapi oleh individu. Menurut Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) individu harus mempertimbangkan makna dari pengalamannya, serta menge valuasinya (pm). Ketika individu menilai pengalaman akulturasi tidak bermasalah bagi dirinya, maka perubahan bagi individu akan lebih mudah dan perilakunya akan mengikuti secara berlahan. Akan tetapi ketika individu menganggap interaksi yang dilakukannya mengalami masalah dan individu tidak mampu mengatasinya maka individu akan mengalami stres. Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2002) mengatakan bahwa mereka harus menghadapi masalah yang berasal dari hasil kontak budaya tersebut dan mereka harus memahami bahwa hal itu tidak dapat diatasi dengan mudah dan cepat.

Kelima, stres (s). Masalah dalam akulturasi bisa mengalami peningkatan. Apabila hal ini tidak dapat dilalui dengan baik oleh individu maka individu itu akan mengalami stres dan menghasilkan efek ne gatif, seperti krisis personal (kp) (kecemasan (kpc), depresi (dp) dan psikosomatis

(psi)). Stres yang tidak mampu diatasi oleh individu bisa mengakibatkan gagalnya proses akulturasi karena pada umumnya ketika mereka tidak mampu mengatasi masalah, mereka akan kembali lagi ke jalan. Namun apabila bisa diatasi oleh individu, maka individu akan semakin dekat dengan proses adaptasi.

Adaptasi adalah proses terakhir dari akulturasi psikologi. Adaptasi

(a) adalah proses yang berkesinambungan yang dilakukan oleh individu untuk menata kembali hidupnya dan menetap pada suatu tempat dengan

memperlihatkan kepuasan (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002). Adaptasi terdiri atas dua hal (Berry, Poortinga, Segall, & Dasen, 2002), yaitu adaptasi psikologi (ap) (merasa berfungsi sepenuhnya (sense of well-being), kesadaran akan harga diri) dan adapatasi sosiokultural (as) (berhubungan dengan individu lain dalam lingkungan baru, contohnya berkompeten dalam kegiatan keseharian di lingkungan baru). Ketika individu sudah mengalami adaptasi secara baik, maka perubahan sikap dan perilaku akan mengikuti dengan sendirinya sesuai dengan lingkungan barunya.

Individu mampu mencapai adaptasi, maka akan ada faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilannya dalam pencapaian adaptasi tersebut. Penelitian ini akan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan resosialisasi (adaptasi) bekas keluarga jalanan dalam masyarakat umum.

C. Resosialisasi Bekas Keluarga Jalanan dalam Masyarakat Umum

Dokumen terkait