4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Incinerator
Incinerator adalah alat yang didesain dan digunakan untuk menghilangkan limbah padat dengan pembakaran yang menggunakan suatu teknologi pada suhu pembakaran tertentu pada kisaran suhu yang tinggi. Sistem yang digunakan oleh alat ini adalah salah satu cara alternatif untuk mengurangi banyaknya tumpukan limbah sampah yang ada pada lingkungan. Alat ini melibatkan pembakaran dengan menggunakan suhu yang tinggi. (Tami, 2021)
Gambar 2.1 Desain Incinerator (https://id.pinterest.com/)
2.2 State Of The Art
Pada penelitain ini, yang dibahas yaitu pemilihan material penyaring udara (Collecting Plate) pada Incinerator berkapasitas 25 Kg berbasis electrostatic precipitator (ESP). Adapun penelitian serupa dilakukan dengan tema pembahasan mengenai pemilihan material Collecting plate pada electrostatic precipitator (ESP) ini, tetapi dengan pengaplikasian yang berbeda. Berikut adalah penelitian yang pernah diajukan oleh peneliti sebelumnya:
5
 “Pemilihan Material Penyaring Udara Portabel Bagi Keperluan Rumah Tinggal dan Kantor Berbasis Electrostatic Precipitator”.
Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan Abdurrosyid pada tahun 2019 dengan menggunakan material tembaga, alumunium, dan stainless steel didapat hasil yang optimum menggunakan material Stainless steel pada tegangan yang diberikan sebesar 6900 volt dan 9000 volt dan jarak antar platnya 0.9 cm dan 1.5 cm, dikarenakan mampu menangkap partikulat dalam rumah dan kantor dengan nilai efisiensi >99%. Selain itu, menggunakan Stainless Steel juga memiliki beberapa keuntungan seperti biaya yang terjangkau, tahan akan karat, kemampuan tangkap yang baik, dan tahan lama.
 “Analisis Electrostatic Precipitator (ESP) Untuk Penurunan Emisi Gas Buang Pada Recovery Boiler”.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sepfitrah dan Yoze Rizal pada tahun 2015 ini, material yang digunakan adalah Steel dengan perhitungan luas area spesifik (SCA) nya sebesar 19.87 m2 per 1000 m3/jam. Tetapi kalau salah satu ESP nya tidak berfungsi, maka nilainya menjadi 14.9 m2 per 1000 m3/jam. Meskipun ESP tidak berfungsi salah satu, nilai dari SCA nya masih pada desain ESP yaitu sebesar 11 – 45 m2 per 1000 m3/jam, dengan nilai efisiensinya > 99%.
 “Proses Pemanfaatan Flue Gas Setelah Pembakaran Pada Boiler PC di PLTU Keban Agung 2 x 135 MW”.
Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh Deni Fernando pada tahun 2021 ini, dari hasil pembakaran yang dilakukan boiler ini, menghasilkan udara panas berupa gas dan abu. Setelah melalui beberapa tahapan sebagaimana fungsi dari gas tersebut, hingga tahap terakhir masuk lah gas panas dan abu ini ke ESP yang dimana terdapat Collecting Plate.
Nilai efisiensi penyerapan abu dari penelitian ini adalah sekitar 99.5%
dengan menggunakan Steel sebagai material dari Collecting Plate tersebut.
6 2.3 Bagian-bagian Incinerator
Berikut adalah bagian-bagian yang ada pada Incinerator, yaitu:
1. Ruang pembakaran
Ruang pembakaran adalah ruangan tempat benda atau limbah dibakar, yang dilengkapi dengan burner. Terdapat dua ruang pembakaran pada incinerator, pada ruang pembakaran pertama temperatur yang digunakan sekitar 400°C sampai dengan 1000°C, dan pada ruang pembakaran kedua temperatur yang digunakan sekitar 1000°C sampai dengan 1200°C.
(AJMTech, 2017) 2. Blower
Blower merupakan alat yang berfumgsi untuk menaikkan atau memperbesar tekanan udara pada tempat atau ruang tertentu. Blower pada incinerator memiliki fungsi sebagai penyuplai udara yang dibutuhkan untuk melakukan pembakaran, karena pada saat pembakaran memerlukan panas dari api dan udara yang cukup. Biasanya, ukuran dari Blower menyesuaikan dari ukuran Incinerator nya. (AJMTech, 2017)
3. Burner
Burner adalah suatu alat yang digunakan untuk membakar. Burner pada Incinerator ini digunakan untuk membakar timbunan limbah. (AJMTech, 2017)
4. ESP (Electrostatic Precipitator)
Electrostatic Precipitator adalah alat yang digunakan untuk menangkap debu atau abu hasil dari pembakaran. (AJMTech, 2017)
2.4 ESP (Electrostatic Precipitator)
Asal mula nama Electrostatic Precipitator diambil dari kata electrostatic yang berarti listrik statis dan precipitator berarti pengendapan. Electrostatic Precipitator sendiri merupakan salah satu alternatif untuk penangkap debu atau abu dari hasil pembakaran, yang memiliki efisiensi sebesar >99% dan partikel yang bisa ditangkap lumayan besar. (Sepfitrah & Rizal, 2015)
7 Gambar 2.2 Ilustrasi sistem ESP
(http://empowerment.co.id)
ESP (Electrostatic Precipitator) pada pengaplikasiannya memiliki tugas sebagai penangkap debu atau abu halus yang berada pada saluran buang hasil pembakaran. ESP memiliki beberapa sirip elektroda dengan muatan positif dan negatif yang diberi tegangan DC maksimal 90 kV DC dengan arus sebesar 500 mA. Sirip-sirip elektroda tersebut, akan dialiri listrik dan menyebabkan terjadinya korona yang memberikan muatan negatif pada partikulat debu atau abu halus.
Singkatnya, partikulat debu atau abu halus yang memiliki muatan negatif akan menempel pada plat yang memiliki muatan positif. (Sepfitrah & Rizal, 2015)
2.5 Prinsip kerja ESP (Electrostatic Precipitator)
Prinsip kerja dari ESP (Electrostatic Precipitator) ini yaitu mengalirkan gas atau udara yang tercemar melalui sebuah medan listrik yang letaknya ada di antara elektroda yang memiliki polaritas berlawanan. Udara atau gas yang mengandung partikulat seperti debu atau abu ini bergerak melewati medan listrik tersebut.
Dengan demikian, udara dan gas yang mengandung partikulat tercemar seperti debu atau abu ini akan mendapat muatan elektron. Potensial listrik akan mengakibatkan partikel debu atau abu yang memiliki muatan elektron tersebut menempel pada collecting plate. (Muttaqin, Trimulyono, & Hadi, 2015)
8 Gambar 2.3 Ilustrasi prinsip kerja ESP
(http://www.artikel-teknologi.com)
2.6 Proses Pemilihan Material
Material adalah zat yang dibutuhkan untuk menjadi bahan baku pembuatan suatu produksi, dan bahan baku merupakan salah satu unsur yang paling aktif dari sebuah perusahaan yang secara terus menerus diperoleh. (duniapcoid, 2022)
Tahap pertama untuk proses pemilihan material yaitu translasi, translasi yaitu menguji kebutuhan desain untuk mengidentifikasi kendala sehingga dapat menentukan material yang cocok. Setelah itu dilakukan proses penyaringan (screening) dan pemeringkatan (ranking) atas material kandidat yang memiliki kemampuan yang maksimal. Kriteria untuk penyaringan dan pemeringkatan diturunkan dari kebutuhan setiap komponen dengan melakukan analisis fungsi, kendala, tujuan, dan variabel bebas.
Berikut adalah material yang digunakan untuk dijadikan plat ESP dan masing-masing dari material ini mempunyai kekurangan dan kelebihan setelah dilakukan proses pemilihan pada material.
2.6.1 Baja Karbon Rendah
Baja st 37 adalah logam paduan yang memiliki bahan dasar besi yang memiliki sifat ulet yang tinggi, namun kurang kuat dan mudah berkarat. Baja st 37 merupakan paduan besi dan beberapa unsur lainnya salah satunya yaitu karbon, karbon disini berfungsi untuk memodifikasi karakterisitiknya agar menjadi lebih kuat namun elastisitasnya berkurang. Baja memiliki titik lebur sebesar 1500 °C. Beberapa sifat yang dimiliki oleh baja yaitu sebagai berikut:
9
 Lentur
 Konduktivitas
 Ulet
Baja juga memiliki spesifikasi sebagai berikut:
 Titik Lebur : 1500°C
 Konduktivitas Panas : 50,2 W/mK
 Konduktivitas Listrik : 0,7 x 107 Ωm
2.6.2 Stainless Steel 304
Stainless Steel 304 adalah material yang mempunyai kandungan senyawa besi dan kromium sebesar 10,5% sebagai pencegah dari korosi. Stainless Steel 304 dapat tahan dari korosi karena terbentuknya lapisan film oksida besi yang menghambat proses oksidasi pada material ini, bisa dikatakan juga kalau Stainless Steel 304 tahan akan karat. Komponen dari Stainless Steel 304 antara lain besi, kromium, nikel, karbon, molybdenum, dan sejumlah kecil logam lainnya. (Kusminah & 'Aadziima, 2018)
Stainless Steel 304 mempunyai titik lebur sebesar 1783,15 K atau sama dengan 1510 °C dan hambatan jenis sebesar 100 x 10−8 Ωm. Stainless Steel merupakan paduan logam yang sering digunakan untuk bahan membuat peralatan dapur karena tidak mempengaruhi dari rasa makanan dan kualitas tahan lama yang baik, dan keunggulan lainnya yaitu permukaan Stainless Steel mudah dibersihkan. (Purnosidi, 2018)
2.7 Uji Laju Korosi Weight Loss
Metode Penurunan berat pada material ini dapat diterapkan untuk pengujian korosi jika spesimen benda memiliki ukuran yang sama dan telah diuji dengan jarak waktu yang sama. Metode ini bisa dinyatakan sebagai kehilangan berat per satuan luas atau per satuan luas per satuan waktu. Jika massa jenis benda diketahui, kehilangan ketebalan benda per satuan waktu dapat dihitung.
10 (Pattireuw, Rauf, & Lumintang, 2013) Laju korosi dapat dihitung dengan metode penurunan berat atau dengan standar ASTM G31-72 sebagai berikut:
Laju Korosi (𝑚𝑚/𝑦𝑒𝑎𝑟) =(𝜔0− 𝜔1).87,6 .104
𝑎.𝑡.𝑑 ……….…….(1.3)
Dimana:
𝜔0 = Berat mula mula benda (gr) 𝜔1 = Berat benda setelah terkorosi (gr) 𝑎 = Luas Area (cm2)
𝑡 = Waktu (h)
d = Densitas benda uji (gr/cm3)
Tabel 2.3 Tabel tingkat ketahanan korosi berdasarkan laju korosi
Relative Corrosion Resistance
Approximate Metric Equivalent
mpy mm/year μ m/yr nm/yr pm/sec Outstanding <1 <0.02 <25 <2 <1
Excellent 1-5 0.02-0.1 25-100 2-10 1-5
Good 5-20 0.1-0.5 100-500 10-50 5-20
Fair 20-50 0.5-1 500-1000 50-100 20-50
Poor 50-200 1-5 1000-5000 150-500 50-200
Unacceptable 200+ 5+ 5000+ 500+ 200+
Di atas merupakan tabel tingkatan dari ketahanan korosi suatu material berdasarkan dari laju korosi material tersebut. Semakin besar angka laju korosi nya, maka semakin tidak baik ketahanan korosi dari material tersebut.
Begitupun sebaliknya, semakin rendah angka laju korosi nya maka semakin baik ketahanan terhadap korosinya.
2.8 Scanning Electron Microscope (SEM) EDX
Scanning Electron Microscope (SEM) EDX merupakan pengujian yang menggunakan mikroskop elektron dan memiliki fungsi untuk melihat permukaan
11 dari suatu material, selain itu juga dapat memberikan informasi terkait komposisi kimia dalam suatu material, baik material konduktif maupun non- konduktif. Kemampuan ini lah yang membuat pengujian SEM EDX banyak digunakan untuk keperluan penelitian dan keperluan industri. Jenis mikroskop ini menggunakan elektro magnetik dan elektro statik sebagai pengganti cahaya untuk mengontrol cahaya yang masuk dan penampakan gambar yang dihasilkan.
Gambar 2.4 Scanning Electron Microscope (SEM) EDX
Pengujian SEM EDX memiliki Field of view yang besar, mikroskop ini bisa melakukan pembesaran terhadap objek hingga sebesar satu sampai dua juta kali, dan juga menjamin resolusi gambar yang jauh lebih bagus dibandingkan dengan mikroskop cahaya. (dti, 2020)
Gambar 2.5 Contoh Hasil SEM
12 2.9 Diagram Fasa
Diagram fasa dalah gambar diagram yang menjelaskan hubungan antara temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan atau pemanasan yang lambat dengan kadar karbon. Diagram ini merupakan dasar dari pemahaman untuk operasi-operasi perlakuan panas. Fungsi diagram fasa adalah untuk memudahkan memilih temperatur pemanasan yang sesuai untuk setiap proses perlakuan panas baik proses anil, normalizing maupun proses pengerasan.
(Fendi, 2017)
Ada beberapa macam struktur yang terdapat pada baja, yaitu sebagai berikut:
1. Feritte (Ferit)
Ferit adalah senyawa besi dengan karbon dan unsur paduan lainnya pada besi (Fe). Ferit terbentuk akibat proses pendinginan yang lambat dari austenit baja hypotektoid pada saat mencapai A3. Ferit bersifat sangat lunak ,ulet dan memiliki kekerasan sekitar 70 - 100 BHN dan memiliki konduktifitas yang tinggi.
2. Cementitte (Sementit)
Sementit adalah senyawa besi dengan karbon yang biasa dikenal sebagai karbida besi dengan presentase karbon sekitar 6,67%. yang bersifat keras sekitar 5-68 HRC.
3. Pearlitte (Perlit)
Perlit adalah campuran antara sementit dan ferit yang memiliki kekerasan sekitar 10-30 HRC. Perlit yang terbentuk berada sedikit di bawah temperatur eutectoid. Perlit memiliki kekerasan yang lebih rendah dan memerlukan waktu inkubasi yang lebih banyak.
4. Bainitte (Bainit)
Bainit adalah fasa yang kurang stabil, yang diperoleh dari austenit pada temperatur yang lebih rendah dari temperatur transformasi ke perlit dan lebih tinggi dari transformasi ke martensit.
13 5. Martensitte (Martensit)
Martensit merupakan senyawa padat dari karbon yang kadarnya lewat jenuh dari pada besi alfa sehingga lapis-lapis sel satuanya terdistorsi.
Karbon merupakan unsur penyetabil austenit.
2.9.1 Diagram Fasa Fe-C
Diagram keseimbangan besi karbon merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengetahui sifat dari baja. Besi karbon terbagi dari dua bagian, yaitu baja dan besi. Pembagian ini didasarkan atas kandungan karbon yang dimiliki kedua material tersebut. Apabila dilakukan pemanasan pada besi atau baja sebelum mencapai titik eutectoid, pada titik hypereutectoid terbentuk fasa pearlite dan ferrite. Sedangkan dibawah hypereutectoid mempunyai fasa pearlite dan sementite. Di bawah merupakan gambar diagram fasa Fe-C.
(siskadwiyanti, 2020)
Gambar 2.6 Diagram Fasa Fe-C
14 2.9.2 Diagram Fasa TTT (Time TransformationTemperature)
Diagram Fasa TTT (Time Transformation Temperature) adalah diagram yang menunjukkan atau menggambarkan hubungan dari fasa atau struktur yang terbentuk dikarenakan terjadinya perubahan fasa akibat berubahnya temperatur dan waktu. Perubahan fasa yang terjadi bisa dikarenakan temperatur yang konstan.
Gambar 2.7 Diagram Fasa TTT
2.10 X-Ray Diffraction (XRD)
X-Ray Diffraction (XRD) merupakan salah satu teknik analisis material dengan cepat dan non-destruktif yang digunakan untuk mengidentifikasi fasa bahan kristal dan dapat memberikan informasi tentang dimensi unit sel. Material yang dapat dianalisa oleh XRD berupa material padat yang mempunyai struktur kristal, dan berbentuk serbuk (powder). (Jawabanapapun, 2020)
15 Gambar 2.8 Mesin XRD
XRD memiliki prinsip kerja yaitu sinar-X yang dihasilkan pada tabung sinar- X ditembakkan menuju spesimen melewati celah logam dengan nomor atom yang tinggi, seperti molibdenum atau tantalum. Celah logam ini digunakan sebagai pelurus berkas sinar-X. Setelah terdifraksi oleh spesimen, berkas sinar-X akan melewati celah yang lain. Celah anti-hambur mengurangi radiasi latar dan meningkatkan rasio dari puncak dengan latar, dengan cara memastikan bahwa detektor hanya dapat menerima sinar-X hanya dari area sekitar spesimen. (MRF, 2020)
Peningkatan lebar celah akan meningkatkan intensitas refleksi maksimum pada pola difraksi, namun sebaliknya akan menurunkan resolusi. Puncak difraksi atau refleksi pada pola difraksi sesuai dengan sinar-X yang didifraksikan dari bidang kristal tertentu. Setiap puncak memiliki intensitas atau ketinggian yang berbeda, dimana intensitas ini sebanding dengan jumlah photon sinar-X atau energi tertentu yang terhitung oleh detektor pada setiap sudut 2θ. Posisi puncak difraksi tergantung pada struktur kristal, khususnya bentuk dan ukuran sel satuan, pada material. Posisi ini dipengaruhi oleh panjang gelombang sinar-X yang digunakan. Jumlah puncak difraksi suatu material akan bertambah seiring dengan menurunnya tingkat simetri struktur kristal material tersebut. (MRF, 2020)
16 Gambar 2.9 Diagram Ilustrasi XRD