ARTIKEL ILMIAH
Judul
TEKNIK KULTUR JARINGAN
DALAM RANGKA PENGADAAN BIBIT DAN PELESTARIAN
JERUK BESAR (Citrus grandis (L.) Osbect) VAR. CIKONENG
Oleh :
Ketua : Erni Suminar, S.P.
Anggota I : Denny Sobardini Sobarna., Dra.,MP. Anggota II : Murgayanti, S.P.,M.P.
Dibiayai oleh Dana Penelitian Dosen DIPA PNBP Tahun Anggaran 2005
Berdasarkan SK No. 211/J06.14/LP/PL/2005 Tanggal 29 Maret 2006
LEMBAGA PENELITIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
ABSTRAK
TEKNIK KULTUR JARINGAN
DALAM RANGKA PENGADAAN BIBIT DAN PELESTARIAN JERUK BESAR (Citrus grandis (L.) Osbect) Varietas Cikoneng
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kultur Jaringan Teknologi Benih Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran sejak bulan Maret 2006 sampai dengan Nopember 2006. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk perbanyakan dan pelestarian species ini melalui multiplikasi secara kultur jaringan. Eksplan pucuk dikulturkan dalam media MS normal dan setengah konsentrasi hara makro, hara mikro dan vitamin yang dikombinasikan dengan (0.0; 0.01; 0.1; and 1.0 md/L) and BAP ( 0.0; 1.0; and 2.0 mg/L).
Metode percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak lengkap pola Faktorial. Subkultur pertama dilakukan pada 14 hari setelah tanam dari media MS tanpa pemberian zat
pengatur tumbuh dan subkultur kedua dilakukan dari media MS dengan penambahan 0.5 mg/L BAP to media dengan penambahan TDZ dan BAP. Parameter yang diamati terdiri
dari jumlah tunas, jumlah akar, dan jumlah daun setelah 84 hari dalam media perlakuan. Jumlah tunas tertinggi (3.67 tunas), jumlah akar (1.00) dan jumlah daun (8.67 cm).
Key words : Thidiazuron (TDZ) . 6-Benzylaminopurine (BAP). Murashige Skoog (MS).
ABSTRACT
IN VITRO TECHNIQUE
IN ORDER TO SERVE OF SEEDLING AND CONSERVATION OF Citrus grandis (L.) Osbect Varietas Cikoneng*
Erni Suminar, Denny Sobardini, Murgayanti. 2006
Tissue Culture Laboratory of Seed Technology, Agriculture Faculty, Padjadjaran University.
PENDAHULUAN
Citrus grandis (L.) Osbect yang dikenal dengan nama daerah jeruk besar atau jeruk bali. Jeruk besar ini merupakan tanaman asli Indonesia. Di Indonesia tiap daerah mempunyai nama yang berbeda diantaranya Munter, Nagiri (Aceh), Unte balon, unte godang, unte susu (Toba), limau gadang (Minagkabau), jeruk dalima (Sunda), jeruk adas, jeruk gulung (Jawa), jeruk macan (Madura), jeruk muntis, jeruk jeruti (Bali) (Fried dan Eiseman, 1988).
Perkembangan varietas jeruk besar tidak sebaik jeruk keprok atau jeruk manis, bahkan cenderung merosot jumlahnya, mendekati punah. Kejayaan Jeruk Cikoneng terjadi pada tahun 1980-an, setelah itu mengalami kepunahan akibat dari debu yang berasal dari letusan Gunung Galunggung serta serangan penyakit CVPD , sehingga untuk memenuhi tuntutan pasar/konsumen dalam hal kualitas dan kuantitas maupun kontinuitas, diperlukan upaya terobosan yang mengarah pada terwujudnya kawasan sentra produksi yang mantap dan dikelola secara profesional (Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, 2004).
Menurut hasil identifikasi Lembaga Biologi Nasional (LBN), terdapat 15 kultivar jeruk yang masih dapat dijumpai, yaitu : jeruk besar nambangan, bali, cikoneng, pandanwangi, pandan, sinyonya, simanalagi, jomblang, delima, silempang, oyod, gondrong, kepyar, macan, sabun, celeng, dan gulung. Namun, secara umum keberadan jeruk besar ini hampir punah (Tabel 1.), sehingga tindakan konservasi pun perlu dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup jenis ini
Tabel 1. Daerah produksi jeruk di Indonesia
Propinsi Sentra Produksi Keterangan
DKI Jakarta Ragunan Pasar Minggu Hampir punah
Jawa Barat Sumedang Hampir punah
Jawa Timur Madiun (Nambangan)
Bali Sambas Data tidak lengkap
Selama ini tanaman jeruk besar diperbanyak dengan menggunakan biji, cangkok dan okulasi. Bibit yang berasal dari biji atau generatif mempunyai beberapa kekurangan diantaranya sifat tidak selalu sama dengan induknya, masa berbuahnya lebih lama, dan sifat-sifat tanaman baru diketahui setelah besar, sedangkan bibit cangkokan tidak bisa diperoleh dalam jumlah banyak dan perakaran dangkal sehingga mudah roboh untuk daerah berangin keras. Secara umum bibit okulasi memberikan keuntungan yang lebih daripada kedua cara perbanyakan di atas, namun seringkali batang atas tidak sesuai dengan batang bawah, sehingga proses pengangkutan air dan hara dari dalam tanah sering terhambat (Janick dan Moore, 1995).
Untuk tujuan komersial dibutuhkan bibit yang sehat dalam jumlah besar dan homogen yang ternyata sulit diperoleh melalui perbanyakan konvensional. Teknik kultur jaringan dapat dimanfaatkan dalam membantu usaha konservasi dan perbanyakan tanaman klonal secara kultur jaringan dapat diupayakan untuk meningkatkan populasi tanaman. Sedangkan penyimpanan plasma nutfah secara in vitro pada suhu rendah telah dikembangkan untuk tanaman anggur, Fragaria, Rubus, Alfalfa (Bhojwani & Razdan, 1983). Pada jeruk-jerukan konservasi plasma nutfah in vitro diusulkan oleh Marin & Duran-Vila (1991), melalui siklus perbanyakan tunas dari eksplan buku batang, pengakaran dan pemanjangan tunas. Dengan metoda ini subkultur bisa diperpanjang sampai 12 bulan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu diadakan untuk penelitian sebagai langkah awal penyediaan bibit dan konservasi plasma nutfah Jeruk Besar var. Cikoneng .
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi Benih Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran di Jatinangor pada bulan Maret 2006 sampai bulan Nopember 2006.
dikecambahkan kemudian disterilisasi dengan menggunakan deterjen selama 5 menit, alkohol 70% selama 15 menit, clorox 1% selama 10 menit selanjutnya dibilas dengan akuades steril..
Eksplan dikulturkan pada media I (MS0) untuk mendapatkan pucuk steril selama 6 minggu kemudian dilakukan subkultur I kedalam media 0.5 mg/L BAP selama 2 minggu, selanjutnya subkultur II ke media II (1/2 MS atau MS dengan penambahan Thidiazuron dan 6-Benzylaminopurine). Kultur diamati setelah 12 minggu dalam media II. Pengamatan dilakukan terhadap parameter jumlah tunas, jumlah akar, dan jumlah daun.Rancangan yang digunakan pada percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial, terdiri dari 24 perlakuan dengan 3 ulangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Tunas
Berdasarkan hasil sidik ragam, ternyata perlakuan media subkultur dengan penggunaan BAP dan TDZ yang dikombinasikan memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap jumlah tunas. Dari data yang diperoleh tampak bahwa penggunaan sitokinin (0.1 mg/L TDZ dan 2 mg/L BAP) pada media ½ MS, menghasilkan rata-rata jumlah tunas
yang relatif lebih tinggi daripada perlakuan lainnya yaitu sebanyak 3.67 buah. Lain halnya dengan media MS penuh maupun ½ MS, dengan konsentrasi sitokinin yang sama (0.1 mg/L TDZ dan 2 mg/L BAP) menghasilkan rata-rata jumlah tunas 1 buah, hal ini kemungkinan penambahan 0.1 mg/L TDZ dan 2 mg/L BAP telah bersifat toksik karena pertumbuhan tunas mencapai nilai yang lebih rendah daripada perlakuan kontrol.
Pada media konsentrasi hara MS penuh tanpa penambahan sitokinin baik TDZ maupun BAP, terlihat bahwa rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan lebih tinggi ( 3.00 buah) daripada media ½ konsentrasi hara MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh (1.67 buah). Selain zat pengatur tumbuh yang menentukan keberhasilan kultur secara in vitro antara lain garam-garam mineral makro dan mikro yang terdapat dalam media dasar turut mempengaruhinya pula.
ammonium merupakan hal yang menentukan dalam pembentukan tunas in vitro yaitu dalam konsentrasi yang tinggi dapat meningkatkan sintesa sitokinin (Preece, 1995).
Tabel 2. Rata-rata jumlah Tunas pada 12 MST
No. Kode Perlakuan Rata-rata Jumlah
Ket : Angka rataan yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji Scottknott taraf 5%
Jumlah Akar
Berdasarkan hasil sidik ragam, perlakuan media dasar baik konsnetrasi hara MS penuh maupun ½ konsentrasi hara tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan akar. Dari Tabel 4, terlihat bahwa pada media ½ MS tanpa penambahan sitokinin BAP dan TDZ cenderung menghasilkan rata-rata jumlah akar yang relatif lebih tinggi (1.00 buah) dibandingkan dengan penggunaan TDZ dan BAP pada konsentrasi yang tinggi.
Pada media dengan penambahan TDZ sampai dengan 1 mg/L tanpa pemberian BAP, ternyata menghasilkan rata-rata jumlah akar yang relatif lebih rendah daripada perlakuan lainnya, hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa TDZ pada konsentrasi yang tinggi cenderung menghambat inisiasi tunas dan perakaran (Chang and Chang, 2000).
Tabel 3. Rata-rata Jumlah Akar pada 12 MST
Hal ini disebabkan penambahan sitokinin baik TDZ maupun BAP dalam konsentrasi yang tinggi dapat merangsang biosintesis etilen yang dapat menghambat proses pertunasan dan perakaran (Khakafalla dan Hattori, 2000.).
Jumlah Daun
Berdasarkan Tabel 4. terlihat bahwa jenis media dasar yaitu MS dan ½ MS dengan penambahan sitokinin berupa BAP dan TDZ menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah daun. Penggunaan 0.01 mg/L TDZ yang dikombinasikan dengan berbagai konsentrasi BAP (1 – 2 mg/L) pada media MS penuh, ternyata menghasilkan rata-rata jumlah daun yang lebih banyak daripada perlakuan lainnya.
Tabel 3. Rata-rata Jumlah Daun pada 12 MST
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sitokinin baik BAP maupun TDZ secara bersamaan dalam media konsentrasi hara MS penuh maupun ½ MS sangat berpengaruh pada pertumbuhan daun.
Pada media dimana rata-rata jumlah tunas tertinggi yaitu media I (1/2 MS + 0.1 mg/L TDZ + 2 mg/L BAP), M (MS + 0 mg/L TDZ + 2 mg/L BAP), dan T (MS + 0.1 mg/L TDZ + 1 mg/L BAP), ternyata menghasilkan rata-rata jumlah daun yang relatif lebih rendah daripada perlakuan lainnya. Peningkatan jumlah daun yang sangat nyata dihasilkan dari penambahan 0.01 mg/L TDZ dengan penambahan konsentrasi BAP sampai dengan 2 mg/L pada konsentrasi hara MS penuh, menghasilkan jumlah daun yang relatif lebih banyak daripada perlakuan lainnya. Hal ini teramati pula pada percobaan G. procumbens dimana kultur dalam media dasar MS yang konsentrasi hara makro normal cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan kultur dalam media dasar hara makro ½ MS bagian dengan perlakuan zat pengatur tumbuh yang sama (Hoesen, 2001).
KESIMPULAN
1. Jumlah tunas tertinggi (3.67 buah) diperoleh pada media ½ konsentrasi hara MS dengan penambahan 0.1 mg/L TDZ dan 2 mg/L BAP, sedangkan pada media MS penuh tanpa penambahan BAP dan TDZ menghasilkan rata-rata jumlah tunas sebanyak 3.00 buah 2. Media dengan penambahan sitokinin baik TDZ maupun BAP tidak berpengaruh secara
nyata terhadap jumlah akar yang terbentuk.
3. Jumlah daun tertinggi diperoleh pada media konsentrasi hara MS penuh dengan penambahan 0.01 mg/L TDZ dan 2 mg/L BAP.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1991. “Buah jeruk punya potensi menurunkan kadar kolesterol darah” Pedoman Rakyat, 15 September 1991.
Bhojwani, S.S. and M.K. Razdan. 1986. Plant tissue culture : theory and practice.Elsevier. Amsterdam-Oxford-New York-Tokyo.
Chang, C. and Wein-chin Chang 2000. Effect of Thidiazuron on bud development of Cymbidium sinense Willd in vitro. Plant Growth Regulation 30 : 171 – 175. Kluwer Acadeic Publishers. Printed in Netherlands.
Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2004. Pencanangan kebun contoh Jeruk Cikoneng oleh Bupati Sumedang bersama Direktur Tanaman Buah.
Jakarta.
Endang, Titik. 1988. Jeruk Besar Bernilai Dan Bergizi Tinggi”, Dharma Wanita, April 1988.
Fried dan Eiseman. 1988. Teknik kultur jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian. Bogor.
Gamborg, O.L. and J.P. Shyluk. 1981.Nutrition, media and characteristic of plant cell and tissue culture. In Thorpe, T.A. (ed) Plant tissue culture : Methods and application in agriculture. Academic Press. Inc. New York.
George, E.F. and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation; by tissue culture. Exegetics. Ltd. England.
Hoesen DSH.2000. Penyimpanan plasma nutfah Musa spp. Kultivar Ambon, Raja dan Tanduk secara In-Vitro dengan metode pertumbuhan minimal. Dalam : Panduan Simposium Naisonal Pengelolaan Plasma Nutfah Dan Pemuliaan. Bogor. 22-23 Agustus 2000. PERIPI-Badan Litbang Pertanian-Dirjen Perkebunan Komnas Plasma Nutfah.
Janick, J. and Moore, J.N. 1995. Fruit Breeding. Tree and trpoical fruit. Vol. I. John Wiley and Sons Inc. USA.
Kitto, S.L., and M.J.Young.1981.In vitro propagation of Carrizo citrange. Hort. Science 16(3) : 305-306.
Livy Winata Gunawan. 1988. Teknik kultur jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas. Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.
Marin, M.L. and N.Duran-Vila. 1991.Conservation of citrus germplasm in vitro. J. Amer. Soc. Hort. Science 116 (4) : 740 – 746.
Murashige, t. and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and biassays with tobacco tissue culture. Physiol. Plant. 15 : 473 – 497.
Pierik, R.L.M. 1987. In vitro culture of highest Plants. Martinus Nijhoof of Publishers. Neteherland.
Preece J.E., 1995. Can Nutrients Salts Partially Substitute for Plants Regulators? Plant Tissue Culture and Biotechnology 1 (1) 26-27.
Watada, A.A., Ahroni, A., Zuke, A., Shejtman, H., Nissim, A. and Vaistein, A. 1996. Adventititous shoot formation from carnation stem segments : a comparison of different culture procedures. Scientia Horticulture 65:313-320.
U capan Terima Kasih kepada :
Rektor U niversitas Padjadjaran, Ketua Lembaga Penelitian, D ekan Fakultas Pertanian U npad, Ketua Jurusan Budidaya Pertanian, Kepala Laboratorium Teknologi Benih,, Koordinator Laboratorium Kultur Jaringan, Ketua Program Studi Agronomi,
asisten serta para teknisi laboratorium kultur jaringan U niversitas Padjadjaram