OPTIMALISASI TATA KELOLA KELEMBAGAAN MASYARAKAT DI WILAYAH PESISIR KOTA PAREPARE MENUJU KEWIRAUSAHAAN MASYARAKAT
YANG MANDIRI DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN 1)
Ir. Hj.Damilah Husain 2); Ir. Nasir, M.Si.3); Yuliana, S.Pi,M.Si. 4) Andi Muhammad Ibrahim,M.ST.,M.Sc. 5) Ir.Muhammad Saenong,MP.6)
ABSTRAK
Wilayah pesisir memiliki sumberdaya yang kaya dan berpotensi untuk
didayagunakan sebagai sumber pendapatan masyarakatnya, namun kenyataan
menunjukkan kemiskinan dan keterbelakangan di kalangan masyarakat pesisir masih
banyak. Realitas kemiskinan keterbelakangan dan ketertinggalan masyarakat pesisir adalah
fakta nyata yang dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Parepare.
Beberapa isu dan permasalahan terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir di
Parepare antara lain adalah masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia pesisir, masih
terbatasnya kapasitas kelembagaan pengelola sumberdaya pesisir, tata kelola
pembangunan pesisir yang belum kuat, dan belum majunya kewirausahaan di kalangan
masyarakat pesisir Parepare.
Berkenaan dengan implementasi Program Pembangunan Masyarakat Pesisir
(CCDP-IFAD) di Parepare, tiga komponen yang saling berkaitan satu sama lain dalam
kerangka proyek ini yaitu Pemberdayaan Masyarakat, Pembangunan dan Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir; Pengembangan Ekonomi Berbasis Kelautan dan Perikanan ; serta
Pengelolaan Proyek, maka untuk mencapai tujuan meningkatkan pendapatan rumah tangga
masyarakat pesisir dan mengelola sumberdayanya secara berkelanjutan, berbagai kegiatan
sebagai penjabaran dari masing-masing komponen tersebut, dilaksanakan dalam kerangka
tatanan kelembagaan yang mencakup dimensi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan hidup,
serta hukum dan kelembagaan secara utuh dan terpadu.
1) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil di Surabaya, November 2014.
2) Ketua Project Implementation Unit (PIU) Coastal Community Development Project (CCDP) International Fund for Agricultural
Development (IFAD) Kota Parepare / Kepala Dinas Pertanian Kehutanan Perikanan Kelautan Kota Parepare.
3) Sekretaris Project Implementation Unit (PIU) Coastal Community Development Project (CCDP) International Fund for
Agricultural Development (IFAD) Kota Parepare / Kepala Bidang Perikanan Kelautan Dinas PKPK Kota Parepare.
4) Bagian Perencanaan Project Implementation Unit (PIU) Coastal Community Development Project (CCDP) International Fund
for Agricultural Development (IFAD) Kota Parepare / Kepala Seksi Sarana Prasarana Bidang Perikanan Kelautan Kota Parepare
Pembangunan masyarakat pesisir idealnya dilandasi dengan pemberdayaan
masyarakat, pendampingan dan penguatannya, hingga pengaturan pemanfaatan dalam
mengelola sumberdaya pesisir. CCDP-IFAD bekerja dalam kerangka ini, di mana
kegiatan-kegiatan sosialisasi, identifikasi isu dan permasalahan serta kebutuhan masyarakat
dilakukan secara partisipatif. Kemudian pembentukan dan pengorganisasian
kelompok-kelompok masyarakat pesisir difasilitasi oleh Tenaga Pendamping Desa dan para Petugas
Penyuluh Lapangan Perikanan, sebagai dasar penyusunan dan penetapan RDKK (Rencana
Definitif Kebutuhan Kelompok) dan proposal guna mendapatkan BLM (Bantuan Langsung
Masyarakat penunjang usaha ekonomi produktif), kemudian disalurkan serta dipantau
penggunaannya, dan diharapkan berdampak positif meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir.
Dari 9 kelurahan pesisir CCDP-IFAD Parepare, telah terbentuk VWG (Village
Working Group), Kelompok-kelompok Usaha (Perikanan Tangkap, Pembudidaya Ikan,
Pengolah Hasil Ikan, Penjual dan Pemasar Ikan), serta Kelompok Infrastruktur, Kelompok
Pengelola Sumber Daya Alam dan Kelompok Tabungan. Kelompok ini memerlukan
pendampingan terus-menerus dan penguatan secara berkelanjutan. Salah satu point
terpenting atau faktor kritis yang perlu diperhatikan adalah adanya tata kelola pemanfaatan
sumberdaya wilayah pesisir. Bagi Kota Parepare, saat ini yang mendesak untuk diperkuat
adalah kesepakatan-kesepakatan awal yang telah diinisiasi oleh kelompok-kelompok di
tingkat kelurahan, kemudian dilanjutkan dengan proses adopsi legal formal ke dalam bentuk
PerWali (Peraturan Walikota) agar memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Sejalan
dengan itu tata kelola pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kota Parepare juga
membutuhkan perangkat aturan Zonasi Wilayah Pesisir sebagaimana telah diamanahkan
oleh Undang-undang no. 27 tahun 2007 dan perubahannya yaitu Undang-undang no. 1
tahun 2014. Saat ini di Kota Parepare belum memiliki Perda Zonasi Wilayah Pesisir,
sementara hal ini menjadi kebutuhan yang cukup strategis dan mendesak saat ini,
mengingat berbagai kegiatan perencanaan dan pembangunan pesisir di Kota Parepare
semakin meningkat saat ini.
Bagi kelompok-kelompok masyarakat pesisir CCDP –IFAD Parepare agar
kegiatannya dapat berkelanjutan, maka baik infrastruktur perekonomian di pesisir, maupun
inisiatif konservasi ekosistem pesisir yang telah dirintis perlu didukung agar memiliki
kekuatan hukum dan kepastian hukum, sehingga ke depannya dapat dilanjutkan secara
mandiri.
Tata kelola ini perlu dioptimalkan dan sangat dipengaruhi kemampuan
masyarakat pesisir, kemudian penguatan kelompok, dukungan sinergi kolaborasi di
kalangan jajaran pemerintahan lintas SKPD, kolaborasi para pengusaha dan kalangan
bisnis sebagai garda terdepan pemberdayaan ekonomi pesisir, termasuk peran aktif para
pihak pemangku kepentingan lainnya di dalam masyarakat pesisir seperti LSM, pers dan
perguruan tinggi serta berbagai program/proyek pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat baik lokal, nasional maupun internasional yang dibangun atas dasar komitmen
multipihak, kesepakatan aturan yang dijalankan secara konsisten dan dukungan
kelembagaan masyarakat pesisir yang kuat.
Tata kelola sumberdaya pesisir inilah yang tidak mudah diwujudkan pada saat ini di
Parepare. Tantangan ini yang menjadi motivasi sejauhmana CCDP-IFAD di Parepare
mampu berkontribusi bagi upaya menuju perwujudan tata kelola dengan penekanan pada
pembangunan dan pemberdayaan kewirausahaan, kemandirian dan pelestarian lingkungan.
Kata kunci : pesisir; tata kelola; pemberdayaan; masyarakat
PENGANTAR
Kota Parepare, sebagai Kota Pantai, dikenal sebagai Bandar Madani yang religius, adalah harapan bersama masyarakat Parepare yang memerlukan kerja keras mewujudkannya. Sebagai salah satu kota pantai yang tua, sejak dahulu Parepare merupakan salah satu daerah strategis di Sulawesi Selatan karena terletak pada jalur perlintasan transportasi darat maupun laut, baik arah Utara – Selatan maupun Timur – Barat. Parepare, telah sejak lama dikenal sebagai kota pelabuhan, dagang, niaga, jasa, dan tentunya kota maritim.
Meski bagi kebanyakan penduduknya, saat ini perikanan bukanlah sektor yang sangat diunggulkan di Parepare, tercermin dari tidak dominannya aktivitas perikanan mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi budaya keseluruhan masyarakat di kota ini, jumlah nelayan yang tidak banyak dan tidak mendominasinya tenaga kerja nelayan, pembudidaya serta pengolah dan pemasar di kota ini, relatif tradisionalnya alat tangkap dan budidaya ikan yang dipakai, dan teknologinya yang terbatas. Namun demikian, Parepare karena posisi strategisnya di tengah jalur lintas baik darat maupun laut di Pulau Sulawesi dan dengan Pulau Kalimantan khususnya Kalimantan Timur, dapat menjadi sentra pengumpulan, pengolahan, produksi, dan pemasaran produk hasil-hasil perikanan bagi daerah di sekitarnya.
Melalui Program Pembangunan Masyarakat Pesisir CCDP (Coastal Community
Development Project) sebagai kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia dengan IFAD (International Fund for Agricultural Development), Pemerintah Kota Parepare khususnya Dinas Pertanian Kehutanan Perikanan dan Kelautan Kota Parepare berkeinginan kuat untuk mendorong terjadinya perubahan cara pandang, cara berpikir, kebiasaan hidup dan motivasi bekerja keras masyarakat nelayan, perempuan pesisir, dan masyarakat pesisir Parepare pada umumnya, sehingga menjadi sumber daya manusia yang kreatif dan produktif mengolah potensi sumber dayanya. Salah satu upaya yang sedang direalisasikan adalah menjadikan Parepare sebagai “Sentra Pengumpulan - Pengolahan - Penjualan – Pemasaran hasil-hasil perikanan” yang dapat melayani pangsa pasar dan konsumen skala Kota Parepare sendiri, regional Ajattappareng, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat hingga antar provinsi di Kalimantan. Untuk itulah dibutuhkan kerja keras semua pihak agar dapat merealisasikannya. Secara bertahap ini dapat diarahkan sehingga menjadikan Kota Parepare sebagai sentra produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil – hasil perikanan kelautan berbasis masyarakat, yang sehat, murah dan berkualitas. Sehingga dampaknya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Meskipun hal ini cukup berat direalisasikan, terutama kendala koordinasi dan kolaborasi multistakeholders dalam kerangka tata kelola sumberdaya pesisir yang baik, namun hal ini adalah tantangan di mana CCDP-IFAD dapat menjadi salah satu sumber pemicu terjadinya gerakan penyadaran, pembangkitan motivasi kewirausahaan nelayan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
METODOLOGI
Tulisan ini disusun dengan metodologi analisis deskriptif kualitatif berdasarkan pengalaman
pelaksanaan atau implementasi CCDP-IFAD Kota Parepare sejak tahun 2013 hingga
menjelang akhir 2014. Data yang digunakan berasal dari hasil observasi lapangan,
wawancara, FGD, Participatory Rural Appraisal (PRA) dan studi pustaka.
CAKUPAN DAN KOMPONEN KERJA CCDP-IFAD PAREPARE
Tujuan dari Proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir (CCDP) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui peningkatan pendapatan rumah tangga dari masyarakat pesisir. Dalam implementasinya program CCD di Parepare terdiri dari
Komponen 1 (Fasilitasi Perencanaan Pemberdayaan dan Pembangunan Pesisir Berbasis Masyarakat) ; serta Komponen 2 (Pemasaran dan Pengembangan Usaha) ; sedangkan untuk mendukung pelaksanaan komponen 1 dan komponen 2 tersebut dibackup oleh komponen pengelolaan proyek (project management) yang kegiatannya antara lain adalah sinkronisasi perencanaan dan koordinasi, pertemuan tim teknis, dukungan sekretariat dan kegiatan penunjang lainnya.
Kegiatan Komponen 1 (Fasilitasi Perencanaan Pemberdayaan dan Pembangunan Pesisir Berbasis Masyarakat) meliputi kegiatan antara lain ;
masih berlanjut hingga saat ini. Proses rekruitmen layanan fasilitator yaitu TPD (Tenaga Pendamping Desa) dilakukan melalui seleksi terbuka. Adapun TPD yang telah direkrut sebanyak 6 orang yaitu : 3 orang pada tahun 2013, dan 3 orang pada tahun 2014, semuanya telah bertugas penuh di lapangan bekerjasama dengan Petugas Penyuluh Perikanan Lapangan sesuai wilayah kerja kelurahan pesisirnya masing-masing. Pada umumnya TPD bekerja memfasilitasi pertemuan di tingkat kelompok masyarakat, di tingkat kelurahan dan antar kelurahan pesisir dalam lingkup pesisir Kota Parepare. Selain itu membantu mendata, menyediakan informasi yang diperlukan terkait dengan penilaian awal (preliminary assessment) , terlibat dalam
melakukan survey Results and Impact Management System, memfasilitasi
pembuatan proposal kelompok masyarakat pesisir dan membantu menafsirkan pelaksanaan strategi intervensi baik pendampingan pemberdayaan masyarakat, pengelolaan sumber daya pesisir, pemasaran dan pengembangan usaha.
- Sosialisasi : sejak awal 2013 dan dilanjutkan tahun 2014, lokasinya mencakup 9 kelurahan pesisir di Parepare (baik kelurahan lama yang telah mulai sejak 2013 yaitu : Sumpang Minangae, Labukkang, dan Watangsoreang; maupun kelurahan baru sejak 2014 yaitu : Lumpue, Cappagalung, Tiro Sompe, Kampung Baru, Kampung Pisang, Lakessi). Sosialisasi ini diikuti tokoh masyarakat kelurahan, pengurus Village
Working Group (VWG), beberapa kelompok masyarakat pesisir penerima manfaat
BLM baik POKMAS Usaha, POKMAS Infrastruktur, POKMAS PSDA, serta diikuti staf aparat kelurahan dan kecamatan setempat. Pada kegiatan sosialisasi ini dijelaskan konsep pendekatan, strategi, program dan mekanisme implementasi kegiatan-kegiatan CCDP-IFAD di Kota Parepare, terutama mengenai prosedur pembentukan kelompok, pengorganisasian, hingga mekanisme pencairan dan penggunaan dana BLM oleh Kelompok Masyarakat.
- Review Kegiatan Berbasis Masyarakat :dilakukan dalam bentuk pertemuan dengan masyarakat pesisir, utamanya kelompok-kelompok penerima manfaat CCDP-IFAD, tokoh-tokoh masyarakat pesisir, pengurus VWG, dan staf kelurahan setempat.
membangun dan memperkuat tata kelola dan kelembagaan pengelola sumberdaya wilayah pesisir di Kota Parepare secara berbasis masyarakat.
- Pelatihan Peningkatan Kapasitas POKMAS : dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, sejak 2013 dan 2014, dengan peserta anggota POKMAS baik dari VWG, POKMAS Usaha, POKMAS Infra maupun POKMAS PSDA kelurahan penerima manfaat tahun 2013 (Labukkang, Sumpang Minangae, Watangsoreang), dan kelurahan pemanfaat tahun 2014 (Tiro Sompe, Cappagalung, Lakessi, Lumpue,
Kampung Pisang,
Kampung Baru).
- Pertemuan antar POKMAS untuk Sharing Pembelajaran : dilaksanakan dengan mengundang perwakilan dari POKMAS usaha di pesisir guna berbagi pengalaman dalam hal pembelajaran berkelompok, pengorganisasian kelompok, pengolahan hasil perikanan dan pengelolaan usaha mikro berbasis masyarakat pesisir di Parepare. Hasilnya sangat positif dapat membangkitkan daya kritis dan motivasi bekerjasama di antara anggota kelompok masyarakat, dan tumbuhnya solidaritas dan kerjasama.
- Perlengkapan Inventory Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat : sudah dilakukan sejak 2013 di mana dihasilkan 9 dokumen profil sumberdaya dan kondisi sosial ekonomi wilayah pesisir kelurahan-kelurahan sasaran CCDP IFAD. Kemudian pada tahun 2014 telah dilengkapi melalui kegiatan pemetaan sumberdaya pesisir, dan pembuatan peta-peta potensi sumberdaya pesisir di masing-masing kelurahan pesisir, serta dukungan peralatan untuk melakukan inventarisasi sumberdaya pesisir seperti peralatan selam dasar (masker, snorkel dan fins) untuk mengamati kondisi ekosistem pesisir bagi pokmas di kelurahan. Output dan proses dari kegiatan inventory ini adalah juga bagian yang penting dalam membangun dan memperkuat tata kelola dan kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir Parepare secara berbasis masyarakat, karena dihasilkannya peta-peta sumberdaya pesisir sebagai informasi yang penting dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya.
- Pondok Informasi Masyarakat Pesisir : telah dibangun 9 Pondok Info di 9 kelurahan lokasi sasaran CCDP-IFAD Parepare sejak tahun 2013. Selain itu Pondok Info telah diperlengkapi dengan berbagai peralatan penunjang. Keberadaan Pondok Informasi ini sangat berguna dan telah digunakan baik untuk kegiatan CCDP-IFAD (misalnya pertemuan perencanaan desa, perencanaan proposal POKMAS, membahas masalah-masalah masyarakat pesisir dan masalah kenelayanan pada umumnya; maupun dipakai instansi / SKPD / lembaga lain antara lain : Posyandu untuk penimbangan bayi balita; Kegiatan Pemilu Legislatif dan PILPRES; serta untuk sosialisasi program pembangunan pemerintah dari dinas-dinas/SKPD terkait.
sebagai duta lingkungan pesisir dan dari masyarakat pesisir yang siap berpartisipasi melaksanakan pembersihan Pantai Parepare. Telah lahir tokoh-tokoh perintis konservasi lingkungan hidup di Parepare antara lain Bapak Amran dari Cappagalung, Bapak Bakri Nengke dari Lumpue. Bukti nyata yang dapat dilihat adalah telah dilakukannya inisiatif menanam mangrove di pesisir Parepare dan dapat mendorong memotivasi kelompok masyarakat lainnya yang didukung oleh CCDP-IFAD.
- BIMTEK Kelompok Tabungan (Grameen Bank) : pelatihan mengenai pentingnya menabung bagi kelompok usaha juga ditindaklanjuti dengan pembahasan tentang pentingnya mengelola usaha bagi perempuan pesisir yang rentan terhadap kemiskinan, dan pentingnya membangun sinergi antar rumah tangga pesisir dalam menabung dan mengelolanya menjadi modal usaha bersama yang dapat dimanfaatkan para anggotanya maupun pihak lain yang berminat melalui mekanisme yang transparan dan disepakati bersama. Pada umumnya para perempuan pesisir yang berasal dari keluarga atau rumah tangga rentan kemiskinan sangat berkeinginan untuk dapat menabung dan berpartisipasi dalam simpan pinjam berbasis usaha produktif pesisir.
- Fasilitasi P3MP Parepare : Pusat Pemberdayaan dan Pelayanan Masyarakat Pesisir telah dibentuk dengan nama P3MP Teluk Kota Parepare sejak tahun 2013 , dan masih sementara terus berkembang. Di Kota Parepare telah dibentuk dan telah beberapa kali mengadakan rapat guna membahas struktur organisasi, pengurus, dan rencana kerja organisasi. Sudah dilakukan penelitian dan pengkajian mengenai kondisi sosial ekonomi budaya dan lingkungan hidup serta seputar permasalahan pesisir Kota Parepare. Kemudian anggota pengurus P3MP telah mengikuti beberapa pelatihan tingkat nasional bersama pengurus P3MP dari daerah-daerah lainnya. Inisiatif lokal dari aktivis P3MP yaitu tokoh penggerak lingkungan pesisir Parepare yang telah berhasil adalah Bapak Amran, dimana telah merintis penanaman mangrove di daerah pesisir Cappagalung. Keberadaan P3MP Teluk Kota Parepare juga sudah menginisiasi pertemuan dengan pihak pengelola PERTAMINA Depo Parepare dan sedang menjajaki untuk bekerjasama dengan CSR PERTAMINA dalam hal pengelolaan lingkungan, pembersihan pantai, penanaman mangrove dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir melalui kegiatan-kegiatan
pengembangan usaha kecil. Selanjutnya P3MP ini masih akan terus dikembangkan.
- Dana Community Enterprise Group & Infrastructure (BLM/Bantuan Langsung Masyarakat) : sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat pesisir, maka telah diberikan dukungan bantuan dana untuk usaha, dalam bentuk transfer dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) ke rekening POKMAS pada masing-masing kelurahan pesisir sasaran CCDP-IFAD Parepare. Prosesnya dilakukan secara bertahap, yaitu setelah kelompok masyarakat teridentifikasi, kemudian dibentuk, disahkan dan dikukuhkan oleh Badan Ketahanan Pangan dan diketahui oleh Perikanan Kelautan. Berikutnya difasilitasi oleh TPD (Tenaga Pendamping Desa) para anggota kelompok masyarakat melakukan analisis dan menyusun perencanaan usaha dalam bentuk Proposal Usaha termasuk Rencana Usulan Biaya dan Rencana Pemanfaatan Dananya. Kemudian kelompok-kelompok tersebut diverifikasi oleh tim teknis PIU untuk memastikan memenuhi kriteria persyaratan dan kelayakannya. Selanjutnya proposal direview oleh TPD, tim teknis PIU CCDP-IFAD, dan Komite DOB, kemudian disahkan oleh DOB dan PIU. BLM ini disalurkan apabila kelompok masyarakat telah memenuhi dan melengkapi persyaratan sebagaimana dalam Pedoman Teknis. Proposal yang telah disetujui Komite DOB, kemudian disahkan oleh Ketua PIU dan proses berikutnya adalah pencairan dana BLM ke rekening kelompok oleh Ketua dan Bendahara Kelompok dilakukan setelah diperiksa didampingi oleh TPD dan penyuluh , setelah mendapat rekomendasi dari PIU.
Pembelanjaan dana BLM oleh POKMAS didampingi oleh Tenaga Pendamping Desa untuk membeli peralatan sesuai kebutuhan guna mendukung usaha kelompok masyarakat. Proposal yang diajukan bervariasi baik berupa sarana penunjang penangkapan ikan, budidaya ikan, budidaya rumput laut, peralatan untuk pembuatan abon ikan, nugget ikan, bakso ikan, freezer, jumbo, dan peralatan penunjang pengeringan ikan, pengolahan ikan, pemasaran ikan dan pembuatan cinderamata dan hiasan dari cangkang kerang.
Selain itu proposal infrastruktur ada yang berupa sarana pendukung kegiatan nelayan dan aktivitas masyarakat pesisir berupa dermaga tambat labuh di Kelurahan Sumpang Minangae, Kelurahan Labukkang, Kelurahan Lakessi, dan tangga turun di Kelurahan Wattangsoreang. Sebagian lainnya sedang dalam proses penyelesaian seperti Kedai Pesisir dan dukungan perbaikan bagi Rumah Produksi Kelompok Masyarakat Pesisir Pengolah Hasil Perikanan.
Sedangkan proposal kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir berupa penanaman mangrove, rehabilitasi dan konservasi terumbu karang, inisiasi daerah perlindungan laut, serta pembuatan dan pemasangan rumah ikan/fish apartment di daerah pesisir Parepare. Penanaman mangrove telah berhasil dilaksanakan oleh Kelompok PSDA Mega Fish di Kelurahan Cappagalung, serta Kelompok Alee-Kale’e di Kelurahan Lumpue. Rencana penanaman mangrove juga di Lakessi dan Sumpang Minangae.
- Market Awareness : kegiatan penyadaran pentingnya aspek pasar bagi kelompok usaha pesisir sudah dilakukan, pada tahun 2013 dan tahun 2014. Materi yang disampaikan antara lain mengenai pentingnya mencermati peluang pasar dalam mengembangkan usaha. Hasil dari Market Awareness ini positif membuka cakrawala
Sementara dari Komponen 2 (Pemasaran dan Pengembangan Usaha) telah dilaksanakan kegiatan :
- Bimtek Knowledge Sharing Pemasaran : guna membuka cakrawala dan sharing pengetahuan mengenai pengetahuan pemasaran, bagi POKMAS-POKMAS Parepare telah dilakukan pada tahun 2014; mengundang narasumber dari KKP, Universitas Muhammadiyah Parepare, UKM Mangga 3 Makassar, KWN Fatimah Az Zahrah Makassar); dan kunjungan ke lapangan ke Kabupaten Bantaeng, dimana diperoleh banyak sekali manfaat, antara lain motivasi kewirausahaan, peran Pemerintah dan stakeholders yang sangat baik di Kabupaten Bantaeng telah mendorong PIU dan DOB Kota Parepare serta POKMAS berusaha membangun kelompoknya lebih maju lagi.
- Dukungan Infrastruktur dan Pengembangan Usaha : di Kota Parepare setelah melalui analisis value chain, kajian aspek pemasaran, maka telah disepakati oleh PIU, DOB dan konsultan untuk membangun rumah kemasan. Saat ini pembangunan rumah kemasan telah dalam proses finishing konstruksi dan penyiapan pengadaan peralatan dan mesin pendukungnya. Dalam perencanaan ke depan sarana
infrastruktur rumah kemasan ini akan siap beroperasi tahun berikutnya.
- Pertemuan Dalam Rangka Pengembangan Pasar (Market and Value Chain) :
guna mendorong perluasan peluang pasar hasil-hasil produksi perikanan masyarakat pesisir CCDP-IFAD Parepare, khususnya kelompok pengolah telah dilakukan
penandatanganan MoU melalui pertemuan mengundang perwakilan pengusaha, antara lain UD.Lela Mandiri Parepare, AKRINDO (Asosiasi Koperasi Retail Indonesia - Makassar SULSEL), ASPRINDO (Asosiasi Pengusaha Industri Makanan Minuman Indonesia di Makassar), Toko Gallapuang Mini Market dari Pangkajene Sidrap, Kelompok Wanita Nelayan Fatimah Az Zahrah Makassar.
- Validasi Peluang Pasar : dilakukan bersama oleh tim dari Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Parepare dan dibantu oleh Konsultan Pemasaran dan Konsultan Pemberdayaan serta tim PIU. Hasilnya menjadi landasan dalam
pengembangan strategi intervensi pemasaran lebih lanjut.
- TOT tentang Teknis dan Isu-isu Pemasaran : guna meningkatkan pemahaman dan wawasan staf tim teknis dan tenaga pendamping desa dan penyuluh perikanan lapangan, telah dilakukan Training of the Trainer dengan para peserta adalah PIU, TPD, penyuluh dan DOB serta konsultan PIU Parepare. Kunjungan lapangan dilakukan ke perusahaan eksportir ikan di daerah lain Kabupaten Maros.
Beberapa permasalahan usaha perikanan masyarakat Parepare antara lain adalah : - ketidaksesuaian/mismatch produk dengan yang permintaan pasar
- ketidaktepatan penyediaan bahan baku/tidak selalu tersedia sesuai kebutuhan - ketidakberlanjutan pasokan (discontinuity)
- masih rendahnya kualitas (low quality)
- Pertemuan dalam Rangka Pengembangan Pasar bagi Produsen Skala Kecil :
untuk mendukung langkah pemasaran produk dari kelompok binaan CCDP-IFAD maka telah dilaksanakan pertemuan dengan mengunjungi pengusaha perikanan / pengolahan hasil perikanan lainnya yang telah eksis,ke UKM Citra Lestari (Ratna Mentari) di Bulu Cindea, Biringkassi, Bungoro - Kabupaten Pangkep; dan kunjungan ke pengusaha pengolah ikan teri Bapak Ir.Idham di Mannaku, Labakkang -
Kabupaten Pangkep. Perwakilan anggota POKMAS Usaha yang ikut sangat antusias dan mempelajari bagaimana kelompok usaha dibangun dan merintis dan
mengembangkan pasar nya. Hingga saat ini bagi POKMAS Parepare peluang pemasaran ini masih penjajakan dan terus dalam penumbuhan / pengembangan secara bertahap. Diperkirakan tidak lebih baru 15% potensi pasar yang sudah dapat dikuasai, selebihnya masih belum, inilah yang memerlukan optimalisasi strategi pemasaran ke depan.
- Pelatihan Market Oriented bagi Produsen Skala Kecil : bagi kalangan pengusaha pemula sebagaimana Kelompok Masyarakat Perempuan Pesisir di Parepare , maka Pelatihan Teknik Pemasaran, Market Oriented, dan Pengembangan Usaha bagi UKM pesisir ini sangat bermanfaat. Wawasannya, berbagi informasi, motivasi dan tips tips memahami dan menguasai kecenderungan pasar menjadi topik yang hangat dibahas. Para peserta dari kelompok-kelompok pengolah, pemasar dan penangkap ikan antusias mengikuti kegiatan ini dan memperoleh pengkayaan informasi pengetahuan pemasaran.
- Temu Usaha Pengembangan AIG dan Jaringan Pemasaran : dalam kaitannya dengan aktivitas pengembangan pemasaran, maka telah dilakukan Temu Usaha Pengembangan Alternative Income Generating dan Jaringan Pemasaran. Dalam rangkaian dengan pengembangan pemasaran bagi produk CCDP-IFAD Parepare, maka telah dilakukan partisipasi dan inisiasi mendorong diperkenalkannya produk binaan CCDP-IFAD yaitu dengan mengikuti pameran-pameran antara lain :
1). Pameran dalam rangka HUT Koperasi ke 67 tingkat Provinsi Sulsel di Kampung/Pasar Kuliner di Parepare.
2) Pameran dalam rangka Pasar Tradisional Insidentil tingkat Provinsi Sulsel di Gubernuran Sulsel, Makassar.
3) Pameran pada Festival Budaya Pesisir di Salo Karajae di Parepare.
4) Pameran pada rumah jabatan Walikota Parepare.
5) Pameran pada acara : “The 2nd BIMP EAGA and IMT GT Trade Fair and Business Leader
Conference di Davao , Philippines bersama tim Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Parepare.
6) Pameran Produk-produk Hasil Perikanan kelompok CCDP-IFAD Parepare dalam rangka Hari Nusantara dan Baksos Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Perempuan Pesisir di Aula Pertemuan Tim Penggerak Kota Parepare.
latihan dan pembuktian akan kemampuan memasarkan produk (marketing trial) oleh kelompok-kelompok masyarakat/jejaring nya. Setidaknya produk unggulan (abon ikan tuna, ikan teri, ikan kering, dan olahan dari ikan-ikan campuran) yang diprioritaskan pembinaannya oleh CCDP-IFAD di Parepare telah mulai dikenal masyarakat.
MENDORONG TATAKELOLA KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM MENGELOLA PESISIR PAREPARE
Dari sejumlah lokasi proyek PMP (CCDP-IFAD) yang ditetapkan, tersebar di 10 provinsi dan
13 kabupaten/kota, salah satunya adalah di wilayah pesisir Kota Parepare. Pemanfaatan
sumberdaya laut oleh masyarakat Parepare secara historis telah lama dilakukan. Sebagai
salah satu kota tua pelabuhan, bagi masyarakat Parepare keberadaan pelabuhan rakyat,
dermaga serta aktivitas pelayaran rakyat dan perikanan laut telah sejak lama akrab bagi
penduduk kota yang bermottokan Bandar Madani yang religius ini. Namun demikian potensi
letak geografis yang strategis ini belum banyak dirasakan kemanfaatannya bagi peningkatan
kesejahteraan nelayan kecil. Sementara itu keberadaan sumber daya alam pesisir seperti
makin berkurangnya berbagai hasil-hasil perikanan laut, ekosistem terumbu karang dan
hutan mangrove yang kian lama kian tergerus, rusak dan mengalami degradasi makin
dirasakan nyata oleh mayoritas masyarakat Parepare. Kerusakan terumbu karang akibat
penggunaan bahan peledak dan bius dalam menangkap ikan, penebangan hutan mangrove
dan konversinya menjadi areal pemukiman perumahan penduduk, areal perindustrian, jasa
dan perdagangan, juga telah banyak mengubah wajah pesisir Parepare dewasa ini. Polusi
dari buangan limbah kapal, minyak kapal, pendangkalan daerah perairan pesisir akibat
sedimentasi melalui aliran sungai yang bermuara di pesisir, dan pencemaran dari limbah
domestik adalah masalah yang kini dihadapi pesisir Parepare.
Bentang alam pesisir yang berubah, ekosistem dan lingkungan hidup yang rusak serta
menurunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya pesisir yang menjadi habitat bagi beragam
mahluk hidup adalah realitas yang sudah terjadi. Terumbu karang dan mangrove adalah
ekosistem pesisir yang mengalami kerusakan berat akibat pembangunan yang dilakukan
tanpa pertimbangan kelestarian lingkungan. Degradasi hutan mangrove, konversi hutan
mangrove menjadi areal pertambakan dan pemukiman secara besar-besaran, penangkapan
ikan secara belebihan, destructive fishing, pencemaran, abrasi dan sedimentasi di daerah
pantai adalah bentuk-bentuk kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir Parepare.
Di samping itu mengingat wilayah pesisir sangat rentan terhadap perubahan iklim yang
antara lain diakibatkan pengaruh pemanasan global dimana memicu bencana. Sebagai
contoh angin puting beliung yang menghancurkan pemukiman masyarakat pesisir, muka air
telah menyebabkan kerugian bagi masyarakat, juga telah menyebabkan kegagalan panen
dari kegiatan budidaya laut yang dilakukan masyarakat.
Perubahan iklim masih sering dipandang sebagai fenomena baru dengan potensi resiko
yang mungkin terjadi, namun dengan antisipasi kebijakan dan strategi yang sangat terbatas.
Masih terbatasnya pengetahuan dan pemahaman mengenai pengaruh perubahan iklim
terhadap kelestarian sumber daya dan dampaknya terhadap penghidupan masyarakat
pesisir, serta bagaimana adaptasi yang perlu dilakukan, perlu dijawab dengan upaya
sosialisasi dan kampanye penyadaran masyarakat guna membangun kesadaran dan
komitmen pemerintah serta masyarakat pada umumnya, terlebih lagi agar dampak
negatifnya terhadap kaum perempuan dapat diminimalkan.
Kebanyakan kondisi pantai di Parepare belum dijaga kebersihannya, dan tidak dikelola
sehingga tidak nyaman untuk disinggahi, dan tidak dapat memberikan kontribusi bagi
pendapatan asli daerah (PAD) Kota Parepare. Terutama pantai di sepanjang kelurahan
pesisir Lakessi, Kampung Pisang, Labukkang yang tidak terawat, maka memerlukan aksi
nyata dalam bentuk Gerakan Aksi Massal Bersih Pantai yang di pesisir negara-negara lain
dikenal sebagai : “Clean up the Beach”. Event bersih-bersih pantai perlu disosialisasikan
secara intensif dan dikampanyekan kepada seluruh lapisan generasi, terutama para
pedagang di Pasar Lakessi, Pasar Kampung Pisang, Pasar Senggol yang banyak
membuang sampah dan kotoran ke laut.
Sosialisasi kepada berbagai lapisan generasi masyarakat, hingga generasi muda dan
anak-anak perlu dilakukan melalui berbagai media, melalui koran, siaran radio, jejaring sosial,
memanfaatkan komunitas warung kopi dan kelompok anak muda. Bahan kampanye yang
dapat digunakan misalnya memanfaatkan media poster, flyer, leaflet, iklan himbauan
masyarakat dan lainnya. Bahan dan material kampanye sosialisasi penyadaran pelestarian
lingkungan hidup ini didistribusikan ke kelurahan-kelurahan dan telah dipasang di pondok
informasi yang ada. Kampanye konservasi sebagian telah dilakukan melalui kunjungan ke
sekolah-sekolah dan pertemuan dengan masyarakat nelayan dan pesisir di Pondok-pondok
Informasi. Selain itu ke depannya memungkinkan dirangkaikan dengan beragam event khas
seperti : Festival Salo Karajae, atau semacam Festival Pesisir, Tani dan Nelayan, di
dalamnya dilakukan lomba menggambar, lomba melukis bagi anak-anak dan remaja
dengan tema kebersihan lingkungan hidup dan konservasi ekosistem terumbu karang dan
rehabilitasi hutan mangrove.
Dalam bentuk yang lebih strategis, kegiatan konservasi ekosistem dan lingkungan hidup
sekolah-sekolah dasar dan menengah. Hal ini dapat diupayakan melalui lobby kepada
Dinas Pendidikan dan Dewan Pendidikan Kota Parepare.
Jika telah membudaya maka membersihkan pantai bukanlah hal yang sulit dan tidak
membutuhkan biaya besar. Namun di masa-masa awal memang memerlukan inisiatif kecil
yang konsisten, melalui ketokohan dan kekuatan sosialisasi yang intensif dan terus-menerus
akan dapat membangun budaya peduli lingkungan hidup masyarakat pesisir. Diharapkan
pada gilirannya akan dapat membangun budaya menjaga, merawat pantai dan
menjadikannya sebagai halaman depan Kota Parepare yang bersih, terawat, terjaga dan
nyaman untuk disinggahi dan dinikmati pemandangannya, bukan sebaliknya sebagai
halaman belakang untuk membuang segala macam kotoran sampah yang sangat tidak
nyaman untuk disinggahi.
Berkembangnya pengetahuan tentang ekosistem, mulai dirasakannya dampak
perubahan iklim terhadap kehidupan manusia, meningkatkan kekhawatiran akan dampak
kegiatan eksploitasi sumberdaya alam seperti penangkapan ikan tidak ramah lingkungan
(destructive fishing practices) dan dampaknya terhadap terumbu karang. Pembangunan
dengan memanfaatkan lahan di areal pesisir seperti penebangan hutan mangrove juga
sudah sangat mengkhawatirkan. Kekhawatiran ini misalnya terhadap ketersediaan
sumberdaya perikanan, kelestarian ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove,
keberlanjutan kehidupan di pesisir dan laut, maupun bagi kelangsungan hidup dan
kesejahteraan nelayan. Demikian juga dengan kejadian perubahan iklim dan dampaknya
bagi kehidupan masyarakat. Bagi pemerintahan Kota Parepare yang melayani
masyarakat, dalam tugas-tugasnya menyusun kebijakan, perencanaan serta
mengimplementasikan program-programnya, memerlukan pemahaman, kesadaran,
dukungan dan tindakan nyata yang dapat mengurangi dan menghentikan pengrusakan
sumber daya alam dan ekosistem pesisir laut tersebut.
Dibutuhkan pemahaman, kesadaran dan komitmen untuk menyusun kebijakan dan
perencanaan pembangunan yang adaptif, dilandasi data dan informasi yang benar, aktual
dan lengkap, serta responsif gender. Komitmen terhadap pentingnya adaptasi terhadap
perubahan iklim dalam mengelola pesisir, perlu dibangun melalui pemahaman
multistakeholders, tidak hanya kalangan akademisi, lembaga swadaya masyarakat, namun
juga pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
Bentuk kegiatan lain yang perlu dalam rangka mendorong budaya peduli lingkungan hidup
adalah penanaman dan rehabiitasi ekosistem hutan mangrove dan transplantasi karang
pilot project melalui BLM), setelah sebelumnya dilakukan survei kelayakan lokasi, ujicoba
pembibitan mangrove dan penanaman serta pemeliharaan mangrove, dan atau penanaman
transplantasi karang, pemasangan karang buatan, rumah ikan (fish apartment). Jika
berkembang maka daerah yang telah ditanami mangrove dan direhabiltasi karangnya ke
depan dapat diusulkan untuk dilindungi sebagai daerah konservasi berbasis masyarakat
melalui proses partisipatif. Hal ini telah diinisiasi di Cappagalung oleh POKMAS PSDA
“Mega Fish” dan di Lumpue oleh POKMAS PSDA “Alee Kalee”.
Di tiap kelurahan sasaran CCDP-IFAD di Parepare telah berhasil menghasilkan nota
kesepakatan dari para pihak di masing-masing kelurahan tersebut untuk mengelola
sumberdaya pesisir, mengelola infrastruktur yang dibangun melalui fasilitasi CCDP-IFAD
dan mendorong adanya pengembangan usaha perikanan berbasis masyarakat yang ramah
lingkungan secara berkelanjutan. Ini adalah langkah awal /cikal bakal tata kelola
kelembagaan masyarakat pesisir yang telah difasilitasi CCDP-IFAD dalam memanfaatkan
mengelola sumberdaya pesisir Parepare.
Secara garis besar telah dapat dirumuskan pokok-pokok pikiran berdasarkan penggalian
input dan saran untuk menyusun kesepakatan di kalangan masyarakat pesisir, misalnya
antara lain menyangkut kewajiban menjaga sarana prasarana infrastruktur yang dibangun di
kelurahan-kelurahan pesisir, serta kesepakatan tentang pentingnya menjaga kebersihan
pantai, mengkonservasi sumberdaya pesisir seperti terumbu karang, mangrove dan padang
lamun, termasuk lokasi-lokasi yang perlu diusulkan menjadi Daerah Perlindungan Laut
(DPL). Selanjutnya dari pertemuan perencanaan desa ini dibawa ke proses berikutnya guna
menghasilkan tingkatan produk hukum yang lebih tinggi semacam PERWALI (Peraturan
Walikota) agar memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Bagian ini selanjutnya ditempuh
melalui fasilitasi draft pokok-pokok pikiran kesepakatan awal di tingkat masyarakat
kelurahan pesisir , kemudian diberikan telaahan dari aspek yuridis formal oleh Bagian
Hukum PEMKOT Parepare, sebelum pada akhirnya mengikuti proses untuk diadopsi
menjadi PERWALI di Kota Parepare. Output dan proses dari kegiatan ini adalah salah satu
hal terpenting dalam membangun dan memperluat tata kelola dan kelembagaan pengelola
sumberdaya wilayah pesisir di Kota Parepare secara berbasis masyarakat.
Dalam konteks perencanaan pembangunan daerah di Kota Parepare, maka pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir Parepare ke depan membutuhkan adanya
kepastian hukum terkait dengan alokasi ruang dan penggunaannya. Berkenaan dengan
aspek hukum ini maka penjabaran amanah UU no.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, (yang telah diperbaharui melalui UU no.1 tahun
Parepare, karena sejauh ini baru sebatas Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir
Kota Parepare.
Di sinilah pendekatan pemberdayaan masyarakat melalui CCDP-IFAD memegang peran
strategis, karena sejak proses pembentukan kelompok, penilaian kebutuhan, perencanaan
pembangunan kelurahan pesisir secara partisipatif, perencanaan pengembangan usaha dan
pemasaran hasil kelompok-kelompok masyarakat pesisir, pembangunan infrastruktur
pesisir, hingga implementasi kegiatan pembangunan masyarakat pesisir berupa
infrastruktur (Pondok Informasi, Tambat Labuh, Tangga Turun Dermaga, rencana Kedai
Pesisir, dukungan bagi Rumah Produksi dan pembangunan Rumah Kemasan), penanaman
mangrove (seperti di Cappagalung dan Lumpue), serta inisiasi penetapan usulan Daerah
Perlindungan Laut (DPL) di Tonrangeng, Lumpue, memerlukan dukungan berupa kebijakan
politik dari pemerintah misalnya kebijakan perencanaan untuk menyusun zonasi
pengelolaan wilayah pesisir Kota Parepare.
PENGORGANISASIAN MASYARAKAT PESISIR DALAM MEMBANGUN
KEWIRAUSAHAAN MASYARAKAT PESISIR YANG MANDIRI : ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN
Masyarakat Parepare merupakan masyarakat yang telah sejak lama berinteraksi dengan
alam dan lingkungannya. Pelaut, nelayan dan saudagar Bugis Parepare terkenal sejak dulu
sebagai pelaut ulung dan agen transformasi sosial budaya pembangun peradaban di
berbagai daerah yang disinggahi atau ditinggalinya. Turun-temurun mereka telah
mengembangkan pengetahuan dan kebudayaan tentang kehidupan mereka sendiri. Sudah
barang tentu pengembangan masa depan sosial ekonomi dan budaya mereka sangat
tergantung pada kemampuan mereka dalam mengorganisasi dirinya agar mampu bertahan
menghadapi pengaruh negatif dari luar. Berbagai pengaruh modernisasi dari luar,
seyogyanya mampu disikapi dengan ketahanan sosial budaya setempat, maupun
program-program yang direncanakan tanpa menghilangkan jati diri asli budaya setempat tersebut.
Kultur maritim dan budaya bahari dengan kearifan-kearifan lokalnya inilah yang mesti tetap
dipertahankan dan diwariskan pada generasi muda dan generasi yang akan datang di
Parepare, sehingga tetap relevan dengan keberadaan Kota Parepare menjadi Bandar
Madani bagi masyarakatnya yang terkenal akan kultur bahari yang bermartabat dan religius
dengan segala dinamika aktivitas keseharian masyarakatnya.
Sudah menjadi hal yang tidak terbantahkan bahwa masyarakat pesisir adalah masyarakat
miskin, berpendidikan rendah, banyak yang putus sekolah, masyarakat yang terpinggir
melaut dan kultur bahari bagi kebanyakan masyarakat pesisir Parepare telah kian bergeser,
kebanyakan penduduk tidak lagi menjadikan perikanan sebagai profesinya. Menangkap ikan
dan berlayar di laut sebagian masih menjadi mata pencaharian utama, namun sebagian lagi
kurang menarik dan tidak lagi menjadi mata pencaharian utama. Sebagian masyarakat
sudah mulai beralih profesi menjadi pedagang, penjual dan bekerja pada pelayanan jasa
seperti pegawai negeri maupun pegawai perusahaan swasta. Pada beberapa lokasi di
pesisir Parepare seperti di Sumpang Minangae, Lumpue, Cappagalung, Wattangsoreang,
Labukkang, Kampung Baru masih dijumpai masyarakat yang bekerja sebagai nelayan.
Selebihnya di Kampung Pisang, Lakessi dan Tiro Sompe lebih dominan para pedagang
dan penjual ikan. Di Lumpue, nelayan masih menjalankan ritual upacara adat sebagai
penghormatan sebelum turun melaut.Di Cappagalung masih terdapat nelayan yang
menjalankan adat leluhurnya secara taat semacam pamali “maccilaka” yaitu tidak turun
melaut pada waktu malam Jumat, untuk menghindari kecelakaan di laut. Dalam konteks
kultur bahari Islami hal ini berkaitan dengan dimuliakannya malam Jumat oleh
masyarakat pesisir. Sementara dari sisi konservasi hal ini sangat positif, semacam
memberikan jeda waktu atau kesempatan kepada lingkungan ekosistem untuk
beristirahat melakukan pemulihan dan mereproduksi sumberdayanya.
Tentunya budaya-budaya lokal seperti itu ada maksud dan tujuannya jika dilakukan dan
diwariskan kepada generasi berikutnya. Hal ini memerlukan upaya kajian lebih mendalam
untuk menggali atau mengeksplorasi maknanya lebih jauh. Apabila kegiatan-kegiatan
ritual ini positif tetap dapat dipertahankan, memungkinkan dapat dikembangkan menjadi
atraksi dalam bentuk event wisata bagi turis yang berkunjung di Parepare dan menarik
kedatangan wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Ini berarti kearifan lokal
yang pernah dan masih ada, direvitalisasi dan secara sosial budaya ritual upacara
tersebut mengalami transformasi melalui proses rekayasa guna memperoleh manfaat
yang lebih luas dari ritual adat istiadat tersebut. Namun demikian tentunya proses ini
perlu dikaji secara mendalam dan hati-hati agar nilai-nilai luhur yang terkandung dari
ritual adat upacara sebelum melaut tersebut tidak kehilangan makna.
Sudah sejak lama dipersepsikan oleh masyarakat umum bahwasanya kebanyakan daerah
pesisir dengan masyarakat nelayan adalah kantong-kantong kemiskinan yang tersebar dan
sejak lama kerap kali dianggap lebih sebagai beban ketimbang keunggulan suatu daerah, di
mana modal sosialnya yang berpotensi positif sulit untuk dikembangkan dan
didayagunakan. Demikian juga halnya dengan kebanyakan keluarga dan rumah tangga
laut, pengumpul ikan, kelompok-kelompok nelayan pengolah sekaligus pedagang / penjual
hasil-hasil perikanan masih seringkali dianggap sulit untuk ditingkatkan kesejahteraannya,
pendapatannya, karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilannya. Kendala
ketergantungan yang tinggi akan aktivitas para nelayan terhadap cuaca di laut dan musim
penangkapan atau budidaya rumput laut atau ikan laut tertentu, dan terbatasnya pilihan
untuk mengembangkan mata pencaharian alternatif juga masalah utama yang dihadapi.
Namun hal ini tidak terlepas dari masih kurangnya pengetahuan, kesadaran dan
kemampuan mereka untuk secara sadar mengorganisir potensi yang dimilikinya sendiri.
Hingga kini hal ini masih menjadi tantangan yang berat agar kelompok-kelompok
masyarakat pesisir mampu mandiri mengelola potensinya secara berkelanjutan.
Walaupun beberapa komoditas ikan-ikan laut yang potensial dan sudah sejak dahulu
memberikan pencaharian bagi nelayan seperti ikan cakalang, tuna, kerapu, sunu, ikan
terbang, ikan teri (losa-losa), kakap, baronang, tembang, layang, cumi-cumi, sotong,
namun sejalan dengan kian meningkatnya aktivitas penangkapan ikan (illegal fishing)
oleh nelayan dari daerah lain di luar Parepare yang masuk ke perairan Parepare, yang
seringkali melakukan penangkapan ikan dengan cara-cara merusak (destructive fishing)
seperti bom dan bius, ditambah terjadinya kerusakan lingkungan pesisir laut akibat
pencemaran dan sedimentasi pada muara-muara sungai sekitar pesisir, maka
kebanyakan nelayan lokal Parepare menyatakan bahwa kondisi hasil-hasil perikanan
nelayan Parepare makin menurun dan menyebabkan penurunan pendapatan nelayan.
Alat tangkap nelayan Parepare yang digunakan beragam seperti pancing, jala, jaring, pukat,
sero, belle’, alat tangkap kepiting, bagang tancap, ada yang menggunakan kapal bermotor,
perahu dengan mesin tempel, dan perahu tanpa motor. Daerah penangkapan ikan (fishing
ground) menyebar di sekitar Teluk Parepare, Ujung Lero perbatasan Pinrang, Panikiang
perbatasan Barru, hingga Selat Makassar di sekitar perairan laut daerah Majene.
Hasil-hasilnya dijual langsung ke pasar, ada juga yang dijual ke pelelangan ikan.
Beberapa isu dan permasalahan sosial ekonomi yang dianggap penting untuk diatasi, antara
lain karena rendahnya tingkat pendidikan kebanyakan masyarakat nelayan pesisir Parepare,
di mana pada umumnya hanya tamat Sekolah Dasar, sebagian kecil saja yang mampu
lanjut hingga SLTP dan SMA/SMU, dan hanya sangat sedikit yang mampu berpendidikan
tinggi, adalah salah satu kendala yang dihadapi. Imbasnya adalah pada ketidakmampuan
merencanakan dan mengelola usaha secara baik. Hal-hal yang mendasar dalam mengelola
usaha seperti kemampuan menyusun proposal usaha; menemukan, mengolah,
menyediakan dan mengembangkan komoditas produk yang bernilai jual tinggi dengan
(cashflow); mengelola keuangan usaha sehingga terpisah dan tidak bercampur dengan
keuangan rumah tangga; kemampuan perencanaan penjualan dan pemasarannya sangat
terbatas. Sehingga karenanya tidak mudah untuk mendorong berproduksi apalagi menjual
dan memasarkan produksi nelayan dan masyarakat pesisir secara besar-besaran.
Pada umumnya kelompok-kelompok nelayan terbentuk melalui proses alamiah yang
memakan waktu panjang. Di dalamnya ada ikatan kekeluargaan, kesejarahan yang kuat
mengakar dalam budaya patron client punggawa-sawi, sebagai bentuk ikatan hubungan
kekeluargaan antar para keluarga nelayan. Selain itu juga merupakan bentuk hubungan
kerja, termasuk permodalan, penyediaan sarana prasarana penunjang usaha
kenelayanan seperti kapal, perahu, mesin motor kapal, alat tangkap, hingga tempat
penjualan dan jalur pemasaran hasil-hasil laut serta pengelolaan usaha di antara nelayan.
Selama ini hubungan kerja kenelayanan seperti ini sangat jarang digarap lembaga
pembiayaan/permodalan demikian juga pengelolaan keuangannya kurang diusahakan
oleh perbankan, dan kurang diintervensi oleh hubungan kerja sebagaimana dalam dunia
industri. Sebagian lainnya dari kelompok-kelompok nelayan di Parepare yang telah atau
pernah mengalami proses pendampingan oleh program/proyek pemerintah pada
umumnya adalah kelompok yang belum optimal fungsinya. Sebagian kelompok-kelompok
seperti ini tidak cukup menyadari pentingnya budaya kerjasama berkelompok apalagi
menjadi kelompok yang mandiri. Inilah yang menjadi tantangan untuk dibenahi melalui
CCDP-IFAD.
Dalam konteks pemberdayaan dan pembangunan masyarakat pesisir di Parepare,
keberadaan fasilitator kelurahan, petugas penyuluh lapangan, dan staf dinas terkait dari
pemerintah sangat diperlukan dan dirasakan manfaat nyata bagi terjadinya alih
pengetahuan, dukungan pelatihan, pemberian keterampilan maupun tempat
berkomunikasi dan pertukaran informasi yang dianggap perlu oleh masyarakat.
Sebagaimana mafhumnya kita pahami bersama, kondisi kesejahteraan di kebanyakan
desa-desa pesisir biasanya jauh berbeda dibandingkan kota-kota besar. Namun sebenarnya tidak
selamanya masyarakat pesisir adalah termiskin dan tertinggal, jika saja masyarakatnya
memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, kesadaran perilaku dan kemampuan untuk
mengelola sumberdayanya secara efektif. Hal ini sangat ditentukan oleh kemampuan
mengorganisir individu-individu anggota dan rumah tangga di dalam masyarakat tersebut
melalui kesepakatan aturan yang dijalankan secara konsisten dan kelembagaan yang kuat.
Jika dipahami lebih cermat hal ini tidak terlepas dari 3 elemen dasar fungsional suatu
kelembagaan masyarakat; dan Norms = norma atau tata aturan yang berlaku dalam
memanfaatkan dan mengelola sumberdaya tersebut di tengah masyarakat tersebut).
Dalam konteks pengelolaan sumberdaya dan ekosistem wilayah pesisir, maka pengelolaan
berbasis masyarakat melalui pendekatan partisipatif adalah pendekatan yang penting. Salah
satu langkah pendekatan terpenting yang diterapkan adalah mafhumnya dikenal sebagai
pengorganisasian masyarakat (CO = community organizing). Pendekatan partisipatif penting
diterapkan karena dapat meningkatkan rasa kepemilikan (sense of belonging) dan tanggung
jawab (sense of responsibility) dari masyarakat itu sendiri terhadap proses-proses
pengorganisasian masyarakat yang ditujukan untuk membangun dan memperkuat
kelembagaan masyarakat termasuk tata aturan (norms) / tata kelola (governance) di tengah
masyarakat tersebut.
Salah satu masalah paling mendasar yang prioritas diatasi pada suatu masyarakat adalah
tersedianya kebutuhan dasar manusia (human basic needs), ketahanan pangan (food
security), terpenuhinya kebutuhan ekonomi rumah tangga, penciptaan lapangan kerja
(employment) dan berjalannya kegiatan ekonomi produktif yang memberikan keuntungan
(profitable). Hal ini tiada lain dapat terwujud jika terdapat aktivitas perekonomian produktif
yang menguntungkan. Untuk dapat memberikan keuntungan, produksi yang dihasilkan oleh
masyarakat tersebut haruslah berkualitas, unik/khas/spesifik, mempunyai pasar yang jelas,
mudah diakses, dapat diserap pasar dan menguntungkan bagi penghasil atau produsennya.
Kegiatan ekonomi produktif ini di tengah masyarakat pesisir cukup banyak, namun
permasalahannya adalah pada kemampuan pengelolaannya yang menguntungkan dan
berkelanjutan. Di sinilah terletak tantangan terberatnya, yaitu bagaimana mengubah perilaku
masyarakat dari konsumtif menjadi produktif, meningkatkan dan mengembangkan kapasitas
kelola suatu usaha ekonomi produktif yang profitable di tengah masyarakat pesisir. Hal ini
hanya dapat diwujudkan jika masyarakat tersebut memiliki kesadaran kritis, motivasi
berusaha yang kuat, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan mendayagunakan sumber
daya yang ada, kemampuan menggalang kerjasama melalui organisasi / kelembagaan yang
kuat dan tata aturannya yang disepakati dan dijalankan secara konsisten. Di sinilah
diperlukan upaya memberdayakan masyarakat dalam membangun wilayahnya melalui
pengelolaan sumber daya.
Manakala suatu komunitas masyarakat telah mengalami dan melewati siklus pengelolaan
baik yang berhasil maupun yang gagal, diharapkan dapat diketahui, direkam dan dipelajari
dan diperbaiki ke depannya. Hal-hal yang dapat dijadikan hikmah pembelajaran (lessons
learned) inilah yang kemudian dapat digunakan, diperbaiki, diterapkan dan dikembangkan
di daerah-daerah lainnya (untuk direplikasi dan diperluas skala kegiatannya).
Pada akhirnya pemberdayaan (empowerment) akan melahirkan kemandirian masyarakat,
dan bagi sumber daya ekosistem dan kelembagaan masyarakat akan menuju keberlanjutan
(sustainability). Sebuah kondisi yang belakangan ini di Indonesia sulit untuk ditemukan.
Inilah esensi dari pembangunan masyarakat (community development) yang menjadi spirit
dari proyek Coastal Community Development ini.
Hal ini sejalan dengan elemen kunci terpenting dari CCDP ini yaitu :
1. Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment / Community-driven)
2. Penguatan ekonomi yang berfokus pada pasar (Market-oriented)
3. Fokus pada kelompok masyarakat yang termiskin (Pro-poor / the poorest focused)
4. Replikasi dan Perluasan (replication and scaling up)
Dalam menjabarkan kerangka implementasi CCDP-IFAD sangat diperlukan sinergi di antara
para pihak yang berkaitan dengan pemberdayaan dan pembangunan masyarakat pesisir.
Sebagai contoh diperlukan pemahaman dan koordinasi antar komponen CCDP, pengelola
proyek (PIU) , komite pemberdayaan masyarakat pesisir (District of Board) dengan Tenaga
Pendamping Desa (TPD) serta Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) sebagai ujung tombak
pelaksanaan CCDP-IFAD sangat penting. Sehingga tahapan yang terpenting adalah
membangun komunikasi dan koordinasi di antara segenap elemen proyek CCDP ini baik di
tingkat pusat (PMO), Satker Pembangunan Masyarakat Pesisir, Direktorat Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir dan Pengembangan Usaha - Ditjen KP3K Kementerian Kelautan
Perikanan, maupun di daerah (kabupaten/kota hingga kecamatan dan kelurahan/desa
pesisir) seperti PIU pada Dinas Kelautan Perikanan kabupaten/kota (dalam hal ini di Kota
Parepare adalah Dinas PKPK), Komite Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (District
Oversight Board) di kabupaten/kota, Tenaga Pendamping Desa (TPD) dan Petugas
Penyuluh Lapangan (PPL) sebagai ujung tombak pelaksanaan proyek CCDP, dan membina
komunikasi yang intens dengan contact persons atau pengurus kelompok calon penerima
Bantuan Langsung Mayarakat (BLM) serta pimpinan pemerintahan di tingkat lokasi sasaran
proyek.
Dalam tahapan sosialisasi, perlu dipahami sebagai persiapan sosial sebagai langkah awal
titik kritis yang penting diperhatikan, mengingat jika terjadi kesalahan pemahaman
(mispersepsi) akibat sosialisasi yang tidak tuntas, tidak tepat caranya, tidak tepat sasaran
dan tidak tepat waktu akan menyebabkan bias pemahaman, yang jika tidak segera
diluruskan akan makin menyimpang dan berpotensi memicu kegagalan pencapaian indikator
proyek secara keseluruhan. Contoh misalnya jika terjadi kesalahan dalam menyampaikan
pengertian, tujuan, manfaat, bentuk, waktu dan cara penyaluran BLM (Bantuan Langsung
Masyarakat) maka bisa saja yang dipahami oleh calon kelompok sasaran penerima manfaat
(beneficiaries) proyek dianggap sebagai bantuan hibah cuma-cuma (gratis) yang hanya
dibagikan begitu saja dan harus habis terbagi ke masyarakat. Tanpa mempertimbangkan
kriteria kelayakan usaha, ketepatan sasaran penerima dan kemampuan pengelolaannya,
maka BLM sangat mungkin tidak berhasil menggerakkan perekonomian yang
menguntungkan dan berkelanjutan. Jika ini terjadi maka tidak dapat menuju pemberdayaan
masyarakat pesisir melalui peningkatan usaha ekonomi produktif sebagaimana yang ingin
diharapkan. Konflik biasanya akan muncul dan kecemburuan antar anggota masyarakat
atau kelompok masyarakat yang menerima dan yang tidak menerima BLM. Di sinilah sangat
pentingnya kejelasan pedoman teknis dan petunjuk operasional kegiatan diterjemahkan dan
disampaikan ke masyarakat calon penerima manfaat proyek secara benar.
Penafsiran yang tepat berdasarkan petunjuk operasional, perlu dilakukan bersama-sama
PIU, Komite DOB, TPD dan PPL, sehingga melalui proses dialog dapat disepakati metode
sosialisasi yang dijalankan di tengah masyarakat lokasi proyek.
Dalam tahap-tahap berikutnya seperti Identifikasi Stakeholders, Lokasi, Ruang Lingkup, dan
Identifikasi Kelompok Sasaran Calon Penerima Manfaat (beneficiaries) , perlu dipastikan
bahwa desain implementasi proyek telah mempertimbangkan keberadaan dan peran
pihak-pihak, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan pelaksanaan
proyek ini. Karena keberhasilan pencapaian proyek tentunya berkaitan dengan peran dan
keterlibatan stakeholders yang berkepentingan dengan proyek ini.
Lokasi kelurahan pesisir yang dipilih, demikian juga dengan calon kelompok penerima
manfaat dan bentuk aktivitas ekonomi produktif yang akan diinvestasikan melalui BLM
(Bantuan Langsung Masyarakat) tentunya telah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu.
Kriteria-kriteria ini, tahapannya dan proses menggunakannya perlu secara hati-hati
dijalankan di tengah masyarakat, guna mencegah kecemburuan sosial yang berujung pada
konflik di tengah masyarakat pesisir. Di sinilah peran dari Tenaga Pendamping Desa sangat
Mengingat pada tahapan berikutnya ditetapkan lokasi sasaran, kelompok sasaran, bentuk
investasi produktif yang akan disalurkan kepada masyarakat pesisir dalam bentuk BLM
(Bantuan Langsung Masyarakat) dan diharapkan dikelola secara menguntungkan dan
berkelanjutan oleh Kelompok Masyarakat Pesisir dalam bentuk Kelompok Usaha Bersama
(KUB), maka dalam hal ini “Profil Kelurahan Pesisir” hasil dari Inventory diperlukan sebagai
rujukan awal menentukan arah pengembangan desa pesisir, termasuk potensi sumber daya
alam, infrastruktur dan kelembagaan yang ada, potensi peluang ekonomi sumber daya alam
pesisir setempat yang dapat diolah dan didayagunakan, serta daftar kebutuhan mendesak
prioritas masyarakat pesisir setempat, termasuk dukungan yang dibutuhkan untuk
mengembangkan kapasitas masyarakat calon penerima. Peran konsultan bersama TPD dan
PPL adalah meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dalam mengidentifikasi, mengkaji,
memanfaatkan dan mengembangkan peluang ekonomi dari sumberdaya lokal.
Selanjutnya di dalam menyusun daftar prioritas kebutuhan masyarakat juga tidak kalah
sensitif dan pentingnya untuk dicermati secara hati-hati. Karena dari daftar prioritas
kebutuhan masyarakat akan difollow up dalam Perencanaan Pengembangan Desa Pesisir
secara Partisipatif. Penting pada tahap ini diberikan saran pertimbangan dan pengkayaan
materi khususnya dalam Rencana Pengembangan Desa Pesisir secara Partisipatif dan
Proposal Rencana Kerja Kelompok KUB, dari aspek perekonomian yaitu kewirausahaan
ekonomi produktif di wilayah pesisir, pengenalan mata pencaharian alternatif (Alternative
Income Generating Activities) yang ramah lingkungan, mekanisme penyaluran bantuan
usaha bagi kelompok usaha bersama (KUB), model pengelolaan dana usaha simpan
pinjam, dan pentingnya aspek pemasaran (market awareness) dalam menyusun usaha,
quality control dan diversifikasi produk untuk memberikan nilai tambah produk.
Selain itu konsultansi menyangkut strategi peningkatan nilai tambah dari kegiatan usaha
ekonomi produktif masyarakat pesisir, informasi pasar dan jejaring pemasaran yang dapat
diakses oleh pengelola usaha tersebut, membangun kemitraan usaha dengan
mengoptimalkan rantai pasok (supply chain) yang ada. Kajian aspek pemasaran diperlukan
agar hasilnya dapat digunakan untuk membantu perencanaan usaha kelompok-kelompok
usaha bersama untuk ditindaklanjuti dengan menyusun rencana pemasaran produk bermutu
dari masyarakat pesisir.
Beberapa aspek-aspek ekonomi produktif yang perlu diperkaya, antara lain seperti aspek
perencanaan pengelolaan usaha; penyusunan proposal; peningkatan teknis produksi;
inovasi teknologi/pengenalan teknologi tepat guna dalam produksi; penanganan pasca
produk; pengembangan produk melalui peningkatan nilai tambah produk dan
penganekaragaman produk; penjualan dan pemasaran; keorganisasian, tertib administrasi
dan pembukuan; masalah perijinan dan sertifikasi; pengelolaan keuangan untuk usaha kecil;
ketenagakerjaan; keselamatan dan kesehatan lingkungan kerja
Selain itu, apabila kualitas produk telah meningkat dan terjaga mutunya, guna mendukung
pengembangan usaha dan perluasan jaringan pemasaran usaha ekonomi masyarakat
pesisir tersebut, menjadi penting untuk anggota pengurus kelompok usaha bersama (KUB)
melakukan penjajakan peluang pasar secara bertahap dari pembeli skala kecil (warung, kios
kaki lima, penjual keliling, pagandeng, toko-toko penjual eceran) hingga toko-toko besar
(supermarket dan hypermarket). Selain itu bentuk percontohan lainnya yang telah dilakukan
adalah membangun rumah kemasan dan untuk jangka panjang didukung dengan outlet
tempat penjualan produk hasil olahan masyarakat pesisir tersebut seperti kios, warung atau
toko cinderamata khas Parepare di tempat-tempat strategis yang ramai dikunjungi orang,
misalnya pasar-pasar tradisional, pelabuhan, dan bisa juga pemasaran produk dilakukan
dengan sistem titip jual (konsinyasi) di toko supermarket yang ada, pedagang warung dan
pedagang lainnya.
Fasilitasi Temu Usaha (“Business Gathering”) menjadi penting dengan contact persons
pengusaha yang berminat dengan produk olahan masyarakat pesisir tersebut, baik dari Kota
Parepare, Makassar dan tempat-tempat strategis lainnya, atau mengikutsertakan kelompok
usaha dalam pameran produk-produk usaha kecil menengah dan koperasi (UKMK) di kota
atau provinsi. Ini telah difasilitasi dengan kerjasama Dinas Koperasi Perindustrian
Perdagangan, Kamar Dagang Industri (KADIN), KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu), AKRINDO (Asosiasi Koperasi Retail Indonesia) dan ASPRINDO (Asosiasi
Pengusaha Industri Makanan Minuman Indonesia).
Salah satu bentuk kelembagaan yang perlu dibentuk dan diperkuat adalah kelembagaan
ekonomi produktif berbasis masyarakat yang dapat mewadahi kebutuhan masyarakat desa
pesisir dan saling menguatkan potensi sumberdaya di desa tersebut. Kelembagaan yang
mungkin dibentuk adalah Koperasi yang akan menjadi salah satu elemen terpenting dalam
suatu daerah yang mandiri. Proses pembentukannya dan membangun struktur
organisasinya memerlukan waktu dan keterlibatan masyarakat setempat dan pemerintah
setempat secara partisipatif. Namun ini dapat dibentuk hanya jika dibutuhkan berdasarkan
kesepakatan masyarakat dan pemerintah di desa tersebut. Jika tidak, maka mungkin belum
Bentuk-bentuk pengorganisasian masyarakat khususnya berkaitan dengan mengubah cara
berpikir (changing mindset), pendekatan partisipatif (Participatory Rural Appraisal),
Participatory Monitoring Evaluation, manajemen/resolusi konflik adalah sangat penting, di
mana secara keseluruhan dapat didekati melalui metode PLSD (Participatory Local Social
Development).
Setidaknya di dalam PLSD terdapat 6 elemen terpenting yang saling berhubungan menjadi
suatu siklus pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat, yaitu : (i) Membangun
kemitraan (Partnership Building); (ii) Analisis Isu-isu Berbasis Masyarakat (
Community-based Issues Analysis); (iii) Rencana Aksi (Action Plan); (iv) Pelaksanaan (Implementation)
(v) Monitoring & Evaluation (vi) Umpan Balik (Feedback) (JICA, Commit Foundation, 2011).
Selain itu tidak kalah pentingnya adalah dukungan dari konsultan terhadap proses
sinkronisasi perencanaan dan koordinasi antara tim teknis (PIU), TPD, PPL dan Komite
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (DOB). Dalam hal ini sangat penting dijembatani
komunikasi demi terlaksananya rencana kerja PIU yang mantap.
Tiga komponen yang saling berkaitan di dalam pelaksanaan CCDP ini adalah :
- Pemberdayaan Masyarakat, Pembangunan dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
dengan sub komponen nya : (i) Fasilitasi Perencanaan dan Pemantauan Masyarakat
dan (ii) Penilaian, Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir, serta (iii)
Pembangunan Desa berorientasi pasar melalui investasi dana hibah Bantuan
Langsung Masyarakat;
- Pengembangan Ekonomi Masyarakat Berbasis Kelautan Perikanan dengan sub
komponen nya : (i) Dukungan Pengembangan Usaha Perikanan Skala Kecil, dan (ii)
Dukungan Pemasaran Tata Niaga dan Rantai Pasok.
- Pengelolaan Proyek yaitu dalam kaitannya dengan koordinasi pelaksanaan
menyeluruh baik dari tingkat pusat ke daerah hingga ke lokasi sasaran proyek.
Ketiga komponen tersebut sangat penting saling berkomunikasi dan berkoordinasi agar di
dalam pelaksanaan CCDP ini tidak saling bertentangan, ada kejelasan proses implementasi
dan capaian hasil yang diharapkan antara pusat dan daerah saling menunjang dalam
Desentralisasi telah menjadi spirit yang sangat mendasar pasca reformasi di Indonesia,
terlebih dalam era otonomi daerah sekarang ini. Memperhatikan proses-proses dalam
implementasi berbagai proyek pembangunan di daerah dan capaian yang telah ada
sebelumnya, maka disadari bahwasanya perbedaan kemampuan daerah, kapasitas
sumber daya manusia dan kelembagaannya, kapasitas fiskal anggaran daerahnya, ragam
karakteristik lokasi geografis dan sosial ekonomi budaya masyarakatnya, berbedanya isu
dan permasalahaan yang dihadapi, perbedaan prioritizing dan stressing point masing
masing daerah dalam menjabarkan arah kebijakan pembangunan daerah khususnya pada
sektor perikanan kelautan, dan demikian pentingnya political will dari pimpinan di daerah
bagi keberhasilan suatu program, maka sudah selayaknya hal-hal tersebut
dipertimbangkan dalam menetapkan arah kebijakan strategis dan capaian-capaian antara
(milestones) berikut indikator keberhasilan yang akan ditetapkan dan digunakan dalam
monitoring dan evaluasi guna menilai keberhasilan proyek CCD ini.
Pendekatan desentralisasi dalam melaksanakan proyek CCD ini akan berhasil jika
terdapat pemahaman yang benar, kesiapan, dan kemampuan sumber daya manusia,
pendanaan yang memadai dan kelembagaan yang kuat serta konsistensi dalam
melaksanakannya. Keberhasilan pembangunan masyarakat pesisir secara desentralistik
dan digunakannya pendekatan partisipatif perlu mempertimbangkan banyak aspek, baik
dari proses pemberdayaan masyarakat itu sendiri dan tantangan yang dihadapinya yang
mana memerlukan waktu untuk meningkatkannya, aspek dukungan kebijakan pemerintah
daerah, aspek pendanaan (budgeting), aspek kelembagaan masyarakat, terkhusus
kelembagaan ekonomi di tengah masyarakat pesisir, dan dimensi perubahan sosial
budaya masyarakat pesisir yang memerlukan waktu.
KESIMPULAN
1. Pemerintah Kota Parepare khususnya Dinas Pertanian Kehutanan Perikanan dan
Kelautan Kota Parepare melalui Program Pembangunan Masyarakat Pesisir CCDP
(Coastal Community Development Project) sebagai kerjasama antara Kementerian
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan IFAD (International Fund for
Agricultural Development), berkeinginan kuat untuk mendorong terjadinya perubahan
cara pandang, cara berpikir, kebiasaan hidup dan motivasi bekerja masyarakat nelayan,
perempuan pesisir, dan masyarakat pesisir Parepare pada umumnya, sehingga menjadi
sumber daya manusia yang kreatif dan produktif mengolah potensi sumber dayanya.