ANALISIS MULTI-RISIKO DAERAH ALIRAN SUNGAI COMAL
Oleh :
I. LATAR BELAKANG
Daerah aliran sungai merupakan suatu megasistem kompleks yang dibangun atas sistem fisik (physical systems), sistem biologis (biological systems) dan sistem manusia (human systems). DAS sering didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU. No. 7 Tahun 2004). Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan dari hulu sampai hilir.
Peran DAS Comal sangat vital dalam menyangga kehidupan masyarakat di Jawa Tengah bagian tengah. DAS Comal merupakan DAS strategis sebagai penyedia air baku untuk berbagai kebutuhan seperti irigasi, industri dan lain-lain. DAS Comal memiliki luas 81.435,58 ha,meliputi 3 wilayah administrasi yaitu Kabupaten Tegal, Pemalang dan Pekalongan.Interaksi antara manusia dengan sumberdaya alam menciptakan karakteristik pada wilayah DAS dimana interaksi itu berlangsung. Karakteristik yang terbangun pada suatu DAS merupakan hasil perpaduan yang saling mempengaruhi antara sifat biofisik DAS dengan kultur sosial masyarakat. (BPDAS Pemali Jratun, 2013)
Bencana yang sering terjadi di DAS Comal adalah bencana banjir dan tanah longsor. Pengaturan tata air pada wilayah hulu masih belum optimal akibat
gangguan fungsi masing-masing kawasan, terutama kondisi tutupan lahan dan drainase wilayahnya belum mampu mengendalikan banjir dan tanah longsor.
II. NATURAL SYSTEM OBSERVATIONS 1. Kondisi Fisik Daerah Aliran Sungai (DAS)
(BPDAS Pemali Jratun, 2013)
Daerah Aliran Sungai Comal merupakan suatu wilayah daratan di bagian utara Jawa Tengah yang dipisahkan oleh pemisah topografi berupa punggung bukit yang mengalirkan air hujan yang turun melalui sungai utama menuju Laut Jawa.
1) Letak
DAS Comal terletak antara 109°11’29” - 109°38’27” BT dan 06°46’09” -
07°14’41” LS. Batas administrasi DAS Comal adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tegal serta sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Batang.
Sedangkan batas DAS nya adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan DAS Serayu, sebelah barat berbatasan dengan DAS Rambut serta sebelah timur berbatasan dengan DAS Sengkarang.
Gambar 1. Peta Wilayah DAS Comal
Sumber : BPDAS Pemali Jratun, 2013
2) Kondisi Geologi
Sumber : Sumber : BPDAS Pemali Jratun, 2013
3) Jenis Tanah
Gambar 3. Jenis tanah
Sumber : BPDAS Pemali Jratun, 2013
4) Kemiringan Lereng atau Topografi
Sumber : BPDAS Pemali Jratun, 2013
5) Sistem Lahan
Gambar 5. Peta Kemiringan Lereng DAS Comal
Sumber : BPDAS Pemali Jratun, 2013
6) Penutupan Lahan
Sumber : BPDAS Pemali Jratun, 2013
2. Morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS)
Morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan keadaan jaringan alur sungai secara kuantitatif. Morfometri DAS Comal meliputi :
a. Sungai Utama
Sungai utama dapat ditentukan sebagai berikut (Horton, 1945 dalam Rahman, 2011) :
Dimulai dari alur sungai sebelum percabangan. Sungai utama adalah sungai yang menunjukkan arah yang sama atau hampir sama dengan alur sungai sebelum mencapai titik percabangan, atau alur sungai yang membentuk sudut terkecil terhadap pelurusan alur sungai utama sebelum mencapai percabangan
Apabila sungai bercabang dua dan membentuk sudut yang sama terhadap pelurusan alur sungai sebelum titik percabangan, maka alur sungai yang terpanjang dipilih sebagai sungai utama.
Sungai Utama DAS COMAL yaitu Kali Comal dengan panjang sungai 109,18 km. Dengan anak sungai yaitu Kali Layangan, Kali
b. Luas DAS
Garis batas antara DAS adalah punggung permukaan bumi yang dapat memisahkan dan membagi air hujan ke masing-masing DAS. Setelah diketahui batas DAS, maka akan dapat diukur luas DAS. DAS Comal memiliki luas 81.435,58 ha atau 814,3558 km², meliputi 3 wilayah administrasi yaitu Kabupaten Tegal, Pemalang dan Pekalongan.
Tabel 1. Luas DAS Comal berdasarkan wilayah administrasi
No Kabupaten Luas (km²) Persentase (%) Jml. Kecamatan Jml. Desa
Tabel 2. Luas DAS Comal berdasarkan sub DAS
No Sub DAS Luas (km²) Persentase (%)
1 Comal Hilir 217,1004 26,66
2 Genteng 186,4105 22,89
3 Lomeneng 67,1489 8,25
4 Pulaga Sringseng 94,4074 11,59 5 Wakung/Comal Hulu 249,2887 30,61
Jumlah 814,3558 100,00
Sumber : http://www.bpdas-pemalijratun.net/
Sedangkan secara morfologi terbagi menjadi DAS bagian hulu seluas 661,4814 km², DAS bagian tengah seluas 33,5718 km² dan DAS bagian hilir seluas 119,3025 km². Sebagian besar DAS Comal merupakan DAS bagian hulu yang tentu saja pengelolaannya akan berpengaruh langsung terhadap wilayah-wilayah yang berada di bawahnya.
c. Panjang Alur Sungai
Pengukuran panjang alur sungai berguna untuk menentukan kesepakatan alur dan nisbah panjang alur. Panjang alur sungai di DAS Comal adalah 897,57 km.
d. Panjang dan lebar DAS
tidak ditentukan dengan pengukuran langsung, menggunakan rumus sebagai berikut (Seyhan, 1977) :
W = A/Lb
W = lebar DAS (km) A = luas DAS (km²)
Lb = panjang sungai utama (km)
Panjang DAS Comal yaitu sama dengan panjang sungai induk (Kali Comal) 109,18 km. Sehingga dapat diketahui lebar tiap sub DAS
berdasarkan perhitungan rumus diatas yaitu sebagai berikut : Tabel 3. Lebar DAS Comal
No Sub DAS Luas
Adalah panjang igir yang mengelilingi atau membatasi suatu DAS. Tabel 4. Bentuk dan Keliling DAS Comal
Sub DAS Bentuk Keliling (Km)
Comal Hilir Memanjang 20,4156
Genteng Memanjang 28,0321
Lomeneng Memanjang 12,3768
Pulaga Sringseng Memanjang 17,5289 Wakung/Comal Hulu Membulat 36,0075
Sumber : http://www.bpdas-pemalijratun.net/
Secara keseluruhan tinjauan bentuk DAS Comal hasil deliniasi catchment area menginformasikan bentuknya mendekati bentuk memanjang dengan keliling 114,3609 km.
f. Kemiringan atau gradien sungai
1) Menentukan kemiringan alur, hal pertama harus diketahui adalah mengetahui profil sungai utamanya.
2) Selanjutnya dilakukan pengukuran ketinggian titik-titik sepanjang alur sungai utama yang ditentukan.
3) Dari data tersebut dibuat profil untuk menentukan ketinggian titik yang terletak pada jarak 0,10 lb sampai 0,85 lb diukur dari muara sungai sampai ke bagian hulu sungai.
4) Kemiringan alur sungai dapat ditentukan dengan menggunakan
metode ”85–10 slope factor” dari Seyhan (1977) dengan rumus sebagai berikut :
Su = kemiringan alur sungai utama
h10 = ketinggian titik yang terletak pada jarak 0,10 Lb h85 = ketinggian titik yang terletak pada jarak 0,85 Lb Lb = panjang alur sungai utama
Sungai utama di DAS Comal adalah Kali Comal dengan panjang sungai 109,18 km.
5) Jarak 0,10 lb = 10,918 km. Ketinggian titik yang berada 10,918 km dari hilir Kali Comal adalah 24 meter.
6) Jarak 0,85 lb = 92,803 km. Ketinggian titik yang berada 92,803 km dari hilir Kali Comal adalah 356 meter.
7) 0,75 lb = 81,885 km
= 0,004
Kemiringan alur sungai utama DAS Comal adalah 0,004 meter. g. Orde dan tingkat percabangan sungai
pertama (orde1), pertemuan antara orde pertama disebut orde kedua (orde2), demikian seterusnya sampai pada sungai utama ditandai dengan orde yang paling besar.
Gambar 7. Penentuan alur sungai metode Strahler
Jumlah alur sungai suatu orde dapat ditentukan dari angka indeks percabangan sungai (bifurcation ratio) dengan persamaan berikut :
Perhitungan Rb biasanya dilakukan dalam unit Sub DAS atau sub-sub DAS. Untuk memperoleh nilai Rb dari keseluruhan DAS, maka digunakan tingkat percabangan Sungai Rerata Tertimbang (weighted mean bifurcation ratio/WRb), yang dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ;
∑
Keterangan :
Rb = indeks tingkat percabangan sungai Nu = jumlah alur sungai untuk orde ke-u Nu+1 = jumlah alur sungai untuk orde ke-(u+1)
Rb < 3 alur sungai mempunyai kenaikan muka air banjir dengan cepat, sedangkan penurunannya berjalan lambat.
Rb 3 – 5 alur sungai mempunyai kenaikan dan penurunan muka air banjir tidak terlalu cepat atau tidak terlalu lambat
Rb > 5 alur sungai mempunyai kenaikan muka air banjir dengan cepat, demikian pula penurunannya akan berjalan dengan cepat.
Sumber : Penulis
Gambar 8. Orde DAS Comal
Dalam DAS Comal terdapat tujuh orde. Indeks tingkat percabangan rerata tertimbang sungai di DAS Comal dihitung berdasarkan rumus diatas adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Penghitungan tingkat percabangan rerata tertimbang DAS Comal
Orde u Jumlah Orde u (Nu) Nu / Nu+1 (Rb) Nu + Nu-1 Hasil
-1 -2 -3 -4 (3x4)
1 1 0,33 1 0,33
2 3 0,16 4 0,63
3 19 0,66 22 14,41
Orde u Jumlah Orde u (Nu) Nu / Nu+1 (Rb) Nu + Nu-1 Hasil
-1 -2 -3 -4 (3x4)
5 49 1,96 78 152,88
6 25 25,00 74 1850,00
7 1 0,00 26 0,00
Jumlah 127 2046,67
Sumber : Penulis
= 16,11
Tingkat percabangan rerata tertimbang sungai di DAS Comal adalah 16,11. Ini berarti alur sungai mempunyai kenaikan muka air banjir dengan cepat, demikian pula penurunannya akan berjalan dengan cepat.
h. Kerapatan sungai
Kerapatan sungai adalah suatu angka indeks yang menunjukkan banyaknya anak sungai di dalam suatu DAS. Kerapatan alur mencerminkan panjang sungai rerata dalam satu satuan luas tertentu. Kerapatan alur dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
Dd = kerapatan alur (km/km²) Ln = total panjang alur (km) A = luas DAS (km²)
Indeks kerapatan aliran sungai diklasifikasikan sebagai berikut : Dd < 0,25 km/km² rendah
Dd 0,25 – 10 km/km² sedang Dd 10 – 25 km/km² tinggi Dd > 25 km/km² sangat tinggi
= 1,102
Dalam DAS Comal yang memiliki total panjang alur 897,57 km dan luas DAS 814,3558, maka kerapatan alirannya adalah 1,102 km/km². Kerapatan ini masuk dalam klasifikasi sedang.
No Dd (km/km2)
Kelas
Kerapatan Keterangan
1 < 0,25 Rendah Alur sungai melewati batuan dengan resistensi keras maka angkutan sedimen yang terangkut aliran sungai lebih kecil jika dibandingkan pada alur sungai yang melewati batuan dengan resistensi yang lebih lunak, apabila kondisi lain yang mempengaruhinya sama 2 0,25 – 10 Sedang Alur sungai melewati batuan dengan resistensi yang
lebih lunak sehingga angkutan sedimen yang terangkut aliran akan lebih besar
3 10 – 25 Tinggi Alur sungai melewati batuan dengan resistensi yang lunak sehingga angkutan sedimen yang terangkut aliran akan lebih besar
4 < 25 SangatTinggi Alur sungai melewati batuan yang kedap air. Keadaan ini akan menunjukkan bahwa air hujan yang menjadi aliran akan lebih besar jika dibandingkan suatu daerah dengan D drendah melewati batuan yang permeabilitas besar
i. Bentuk Daerah Aliran Sungai
Pola sungai menentukan bentuk suatu DAS. Bentuk DAS mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan aliran sungai, yaitu berpengaruh terhadap kecepatan terpusat aliran. Bentuk DAS sulit untuk dinyatakan dalam bentuk kuantitatif, bentuk DAS dapat didekati dengan nisbah kebulatan (circularity ratio) menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
Rc = nisbah kebulatan A = luas DAS (km²)
P = keliling (perimeter) DAS (km)
= 0,7821
Dalam DAS Comal yang memiliki luas DAS 814,3558 dan keliling 114,3609 km, maka nisbah kebulatannya adalah 0,7821. Jika nila Rc > 0,5 maka DAS berbentuk bulat, Rc < 0,5 DAS berbentuk memanjang. Dengan demikin DAS Comal bentuknya membulat.
Tabel 7. Bentuk kebulatan (circularity ratio/Rc)
Rc Keterangan
>0,5 Bentuk daerah aliran sungai membulat, debit puncak datangnya
< 0,5 Bentuk daerah aliran sungai memanjang, debit puncak
datangnya cepat, begitu juga penurunannya
3. Network Design
a. Stasiun Hujan Daerah Aliran Sungai Comal
Gambar 9. Peta lokasi stasiun hujan di DAS Comal
Lokasi stasiun hujan di DAS Comal hanya ada 2 yaitu stasiun watukumpul yang terletak di hulu dengan ketinggian 415 mdpl dan nomor stasiun 33270401a. Sedangkan stasiun yang terletak di hilir adalah stasiun sokawati dengan ketinggian 24 mdpl dan nomor stasiun 33271087. Selain 2
stasiun tersebut, perlu penambahan stasiun yaitu di luar wilayah DAS Comal untuk mempermudah penentuan network design yaitu stasiun kajene dengan ketinggian 166 mdpl sebagai penyokong daerah tengah dan nomor stasiun 33270702a.
b. Stasiun AWLR
Penempatan AWLR disesuakan dengan karakteristik morfologi DAS sehingga berdasarkan karakteristik DAS Comal, AWLR yang harus dipasang ada 6 yaitu :
1) bagian hulu DAS dipasang 4 AWLR yang masing-masing pemasangannya disesuaikan dengan arah aliran sungai
2) bagian tengah DAS dipasang 1 AWLR 3) bagian hilir DAS dipasang 1 AWLR
III. HAZARD POTENTIAL 1. Banjir Limpasan
Banjir (flood) adalah debit aliran air sungai yang secara relative lebih besar dari biasanya/normal akibat hujan yang turun di hulu atau disuatu tempat tertentu secara terus menerus, sehingga tidak dapat ditampung oleh alur sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah sekitarnya. Banjir merupakan suatu peristiwa alam biasa, kemudian menjadi suatu masalah apabila sudah mengganggu kehidupan dan penghidupan manusia serta mengancam keselamatan. Dalam memformulasikan banjir, parameter-parameter yang terkait dibedakan antara karateristik potensi air banjir dan kerentanan daerah rawan banjir. Potensi banjir terkait dengan sumber (asal) penyebab air banjir itu terjadi dimana hal ini berkaitan dengan factor meterologis dan kerakteristik DAS-nya. a. Debit banjir
Metode rasional adalah metode yang digunakan untuk memperkirakan debit puncak (peak discharge). Jika curah hujan dengan intensitas I terjadi secara terus-menerus, maka laju limpasan langsung akan bertambah sampai mencapai waktu konsentrasi tc. Waktu konsentrasi tc tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi aliran di outlet. Laju masukan pada
sistem adalah hasil curah hujan dengan intensitas I pada DAS dengan luas A. Nilai perbandingan antara laju masukan dengan laju debit puncak (Qp) yang terjadi pada saat tc dinyatakan sebagai run off coefficient (C) dengan nilai 0<=C<=1.
Qp = 0,2778 C . I . A Keterangan:
I = intensitashujan rata-rata (mm/jam) A = luas daerah pengaliran (km²)
Dalam menghitung debit banjir maka harus mengetahui beberapa hal, antara lain:
a) Menentukan koefisien pengaliran / limpasan (C)
Tabel 8. Koefisien Pengaliran tiap subdas pada DAS Comal
No Sub DAS Tutupanlahan Topografi Tanah C
1 Comal Hilir Sawah Datar Latosol 0.5
2 Genteng Pertanianlahankering Agakcuram Latosol 0.6
3 Lomeneng Hutan Agakcuram Latosol 0.35
4 PulagaSringseng Hutan Sangatcuram Latosol 0.5 5 Wakung/Comal Hulu Hutan Datar Latosol 0.3
Sumber : Penulis
b) Menentukan intensitas curah hujan rata-rata (I)
Bahwa intensitas hujan rata-rata di DAS Comal adalah 60 mm/jam c) Menentukan luas daerah aliran sungai (A)
Tabel 9. Luas DAS Comal berdasarkan sub DAS
No Sub DAS Luas (km²) Persentase (%)
1 Comal Hilir 217,1004 26,66
2 Genteng 186,4105 22,89
3 Lomeneng 67,1489 8,25
4 PulagaSringseng 94,4074 11,59 5 Wakung/Comal Hulu 249,2887 30,61
Jumlah 814,3558 100,00
Sumber : Penulis
Jadi, untuk menentukan debit banjir adalah sebagai berikut :
Tabel 10. Periode Ulang dan Peluang terjadinya banjir di DAS Comal
No Sub DAS Konstanta C I
akan terjadi. Jika peristiwa pasti akan terjadi, probabilitas adalah 1,0 dan jika tidak dapat terjadi, probabilitas 0,0.
Periode ulang banjir dan probabilitasnya dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
Tr = periode ulang banjir (returned period) n = jumlah data intensitas hujan yang dimiliki m = nomor urutan data
P = probabilitas
Berikut adalah periode ulang banjir dan peluang terjadinya banjir di DAS Comal berdasarkan intensitas hujan pada tiga stasiun hujan yaitu Stasiun
Sokawati, stasiun Kajene dan stasiun Watukumpul.
Tabel 11. Periode Ulang dan Peluang terjadinya banjir di DAS Comal
m Intensitas Hujan (mm/jam) Returned Period (tahun) Probability
Sokawati Kajene Watukumpul Tr P
1 137,00 224,50 352,00 11,00 0,09
2 132,75 181,00 276,00 5,50 0,18
3 121,50 178,00 278,25 3,67 0,27
4 116,75 175,25 263,50 2,75 0,36
5 115,50 173,50 236,50 2,20 0,45
6 115,25 172,50 221,00 1,83 0,55
7 110,25 166,50 213,50 1,57 0,64
8 108,90 157,25 178,75 1,38 0,73
9 102,00 127,00 153,50 1,22 0,82
10 101,00 115,25 144,75 1,10 0,91
Sumber : Penulis
pada bagian hilir DAS Comal mencapai 137 mm/jam. Ketiga intensitas hujan ekstrim tertinggi di DAS Comal tersebut mempunyai periode ulang setiap 11 tahun dengan angka peluang terjadi sebesar 0,09 atau 9%.
Intensitas hujan ekstrim terendah yang diukur oleh stasiun Watukumpul sebesar 144,75 mm/jam, 115,25 mm/jam oleh stasiun Kajene dan 101 mm/jam oleh stasiun Sokawati. Ketiga intensitas hujan ini memiliki periode ulang setiap 1,1 tahun dengan peluang terjadi sebesar 91%.
c. Potensi Banjir Limpasan DAS COMAL
DAS Comal memiliki potensi banjir limpasan tinggi terutama di daerah dengan topografi berat. Kelas limpasan ekstrim paling banyak dijumpai di Sub DAS Wakung (Comal Hulu), Sub DAS Genteng dan Sub DAS Pulaga Srengseng. Hal ini disebabkan karena kondisi alam di wilayah tersebut memiliki kemiringan lereng yang curam, kerapatan aliran yang rapat, kondisi tanah dengan infiltrasi lambat, serta ditambah dengan kondisi tutupan vegetasi yang jarang. Disamping itu curah hujan di DAS Comal juga termasuk tinggi yaitu mencapai 7000 mm pertahun dengan Tipe Iklim B yang artinya perbandingan antara bulan kering dan bulan basah lebih banyak bulan basahnya sehingga termasuk daerah basah.
Berikut adalah klasifikasi tingkat kerentanan banjir limpasan di DAS Comal yang dihitung berdasarkan luas daerah potensi banjir limpasan di masing-masing subdas.
Tabel 12. Klasifikasi tingkat banjir limpasan DAS Comal
SUBDAS Luas Daerah Potensi (Ha) Z-Score Klasifikasi
Comal Hilir 1418,90 -1,27 RENDAH
Genteng 12013,51 0,66 TINGGI
Pulaga Sringseng 7627,93 -0,14 SEDANG
Lomeneng 5500,77 -0,53 RENDAH
Wakung/Comal Hulu 15433,80 1,28 TINGGI
Sumber : Penulis
Klasifikasi Z-Score : TINGGI = 0,44 – 1,28 SEDANG = -0,42 – 0,43 RENDAH = -1,27 – -0,41
khususnya banjir adalah dari aspek antropogenik atau manusia itu sendiri. Perilaku dan mindset dalam menjaga kelestarian ekosistem perlu dibenahi, sehingga diharapkan kerusakan-kerusakan yang terjadi selama ini dapat dikurangi sedini mungkin dan berlangsung secara berkesinambungan.
2. Banjir Genangan
Banjir genangan pada kelas sangat rawan paling banyak dijumpai di Sub DAS Comal Hilir. Kondisi alam di wilayah tersebut berpotensi untuk terjadinya banjir genangan khusunya di daerah hilir Sub DAS yang merupakan pertemuan
antara anak sungai dengan sungai utama. Pada daerah pertemuan dua sungai bisa terjadi pertemuan aliran arus air yang mengakibatkan adanya perlambatan atau penahanan aliran air sehingga elevasi air pada daerah pertemuan tersebut bertambah melebihi tanggul palung sungainya sehingga menggenangi daerah sekitar.
Apabila sungai kecil bertemu dengan sungai yang lebih besar sering terjadi penahanan aliran air oleh aliran air sungai besar atau bahkan aliran air sungai besar masuk ke dalam sungai yang lebih kecil (back water) sehingga daya tampung palung sungai kecil tidakmuat dan mengakibatkan banjir di sekitarnya. Keberadaan meandering atau sungai yang berkelok-kelok atau bentuk seperti tapal kuda juga berpotensi untuk menghambat kecepatan aliran sungai sehingga mengidentifikasikan daerah rentan kebanjiran.
Proses banjir juga terjadi pada daerah muara sungai akibat aliran balik oleh adanya penahanan aliran air sungai dari air laut pasang. Demikian juga pada tempat penyempitan palung sungai, adanya aliran air yang terhambat menjadikan daerah hulu titik tersebut rawan kebanjiran. Sedangkan Sub DAS yang tidak masuk daerah rawan banjir yaitu Sub DAS Pulaga Sringseng. Hal ini disebabkan karena sebagian wilayahnya berada di bagian
hulu dengan kemiringan lereng didominasi oleh kelerengan diatas 25 %. Disamping itu masih memiliki tutupan vegetasinya yang cukup baik berupa
hutan. Berikut adalah klasifikasi tingkat kerentanan banjir genangan di DAS Comal yang dihitung berdasarkan luas daerah potensi banjir genangan di masing-masing subdas.
Tabel 13. Klasifikasi tingkat banjir genangan DAS Comal
SUBDAS Luas Daerah Potensi (Ha) Z-Score Klasifikasi
SUBDAS Luas Daerah Potensi (Ha) Z-Score Klasifikasi
Genteng 3981,06 -0,01 RENDAH
Pulaga Sringseng 4,56 -0,69 RENDAH
Lomeneng 125,74 -0,67 RENDAH
Wakung/Comal Hulu 1992,77 -0,35 RENDAH
Sumber : Penulis
Klasifikasi Z-Score : TINGGI = 0,93 – 1,72 SEDANG = 0,12 – 0,92 RENDAH = -0,69 – 0,11
3. Longsor Lahan
Tanah longsor (landslide) merupakan salah satu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan masa tanahnya terjadi pada suatu saat secara tiba-tiba dalam volume yang besar (sekaligus). Tanah longsor adalah salah satu bentuk dari gerakan masa tanah, batuan dan reruntuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan oleh gaya gravitasi
dan meluncur di atas suatu lapisan kedap yang jenuh air (bidang luncur). Tanah longsor terjadi jika dipenuhi 3 keadaan yaitu lereng cukup curang, terdapat bidang peluncur di bawah permukaan tanah yang kedap air dan terdapat cukup air (dari hujan) dalam tanah di ata lapisan kedap (bidang luncur) sehingga tanah jenuh air. Air hujan yang jatuh di atas permukaan tanah yang kemudian menjenuhi tanah sangat menentukan kestabilan lereng, yaitu melalui menurunnya ketahanan geser tanah yang jauh lebih besar daripada penurunan tekanan geser tanah, sehingga faktor keamanan lereng menurun tajam, menyebabkan lereng rawan longsor.
Berikut adalah klasifikasi tingkat kerentanan longsorlahan di DAS Comal yang dihitung berdasarkan luas daerah potensi banjir genangan di masing-masing subdas.
Tabel 14. Klasifikasi tingkat longsorlahan DAS Comal
SUBDAS Luas Daerah Potensi (Ha) Z-Score Klasifikasi
Comal Hilir 356,11 -0,76 RENDAH
SUBDAS Luas Daerah Potensi (Ha) Z-Score Klasifikasi
Pulaga Sringseng 1458,82 -0,41 RENDAH
Lomeneng 262,29 -0,80 RENDAH
Wakung/Comal Hulu 3917,93 0,40 SEDANG
Sumber : Penulis genangan, dan longsorlahan. Ketiga bencana tersebut diintegrasi dan menghasilkan klasifikasi tingkat potensi bencana alam di DAS Comal. Berikut adalah integrasi tingkat kerawanan bencana alam di DAS Comal.
Tabel 15. Klasifikasi tingkat kerawanan masing-masing bencana di DAS Comal
SUBDAS Tingkat Kerawanan
Banjir Limpasan Banjir Genangan Longsor Lahan
Comal Hilir Rendah Tinggi Rendah
Genteng Tinggi Rendah Tinggi
Pulaga Srengseng Sedang Rendah Rendah
Lomeneng Rendah Rendah Rendah
Wakung/Comal Hulu Tinggi Rendah Sedang
Sumber : Penulis
Tabel 16. Klasifikasi tingkat kerawanan integrated hazard di DAS Comal
Subdas Rawan Jumlah Klasifikasi
Banjir Limpasan Banjir Genangan Longsorlahan
SEDANG = 5 - 6 RENDAH = 3 - 4
IV. ASSESS VULNERABILITY 1. Hazard Exposure (Kerentanan)
Kerentanan adalah sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana. Faktor-faktor kerentanan sebagai berikut :
a. Kerentanan Sosial – Ekonomi
Kerentanan sosial suatu wilayah terhadap bencana dapat ditunjukkan
dengan jumlah penduduk untuk setiap satu kilometer persegi atau sering disebut kepadatan penduduk. Semakin tinggi angka kepadatan penduduk di suatu wilayah menyebabkan tingginya korban jiwa yang terancam terkena bencana dan sulitnya pelaksanaan evakuasi. Berikut adalah data kepadatan penduduk di Kabupaten Pemalang yang merupakan wilayah administrasi dari DAS Comal.
Tabel 17. Kepadatan Penduduk di DAS Comal
No. Kecamatan Luas (km²) Penduduk Kepadatan (jiwa/km²)
1 Moga 41,41 62.991 1521
2 Warungpring 26,31 38.111 1449
3 Pulosari 87,52 55.314 632
4 Belik 124,54 103.790 833
5 Watukumpul 129,02 63.712 494
6 Bodeh 85,98 53.223 619
7 Bantarbolang 139,19 71.009 510
8 Randudongkol 90,32 95.326 1055
9 Pemalang 101,93 175.785 1725
10 Taman 67,41 159.044 2359
11 Petarukan 81,29 147.513 1815
12 Ampelgading 53,3 65.408 1227
13 Comal 26,54 87.590 3300
14 Ulujami 60,55 98.621 1629
Sumber : http://pemalangkab.bps.go.id/
ditunjukkan dengan jumlah keluarga sejahtera. Keluarga yang rentan terhadap bencana yaitu Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I.
Keluarga Prasejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal atau belum seluruhnya terpenuhi seperti:spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan dan KB. Keluarga Sejahtera I adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya seperti kebutuhan akan pendidikan, KB, interaksi dalam
keluarga, interaksi lingkungan tempat tinggal, dan transportasi. Berikut adalah data jumlah keluarga rentan bencana di Kabupaten Pemalang yang merupakan wilayah administrasi dari DAS Comal.
Tabel 18. Jumlah Keluarga Rentan Bencana di DAS Comal
No. Kecamatan Pra Sejahtera Sejahtera I Jumlah
1 Moga 6.930 2.188 9.118
2 Warungpring 5.784 2.853 8.637
3 Pulosari 12.784 6.395 19.179
4 Belik 9.212 3.044 12.256
5 Watukumpul 5.512 2.175 7.687
6 Bodeh 8.062 5.777 13.839
7 Bantarbolang 10.699 8.657 19.356 8 Randudongkol 12.536 11.551 24.087
9 Pemalang 14.384 12.420 26.804
10 Taman 14.425 9.197 23.622
11 Petarukan 5.161 3.939 9.100
12 Ampelgading 6.658 4.667 11.325
13 Comal 8.891 7.427 16.318
14 Ulujami 4.363 2.540 6.903
Jumlah 125.401 82.830 208.231
Sumber : http://pemalangkab.bps.go.id/
Dari kedua data diatas, maka dapat diketahui klasifikasi kerentanan sosial-ekonomi untuk masing-masing subdas di DAS Comal. Klasifikasi tersebut ditentukan berdasarkan penghitungan Z-Score.
Hasil Z-Score yang diperoleh dapat dibuat rentang untuk menentukan klasifikasi Tinggi, Sedang, atau Rendah.
No. Sub DAS Kecamatan Kerentanan Z-Score Jumlah Klasifikasi
Kerentanan fisik lingkungan suatu wilayah terhadap bencana dapat dilihat berdasarkan jenis batuan, jenis tanah, kemiringan lereng/topografi, bentuk lahan dan penggunaan lahannya. DAS Comal memiliki potensi bencana banjir dan longsorlahan, berikut adalah kondisi kerentanan fisik lingkungan DAS Comal terhadap potensi kedua bencana tersebut. Klasifikasi kerentanan fisik lingkungan untuk masing-masing subdas di DAS Comal ditentukan berdasarkan penghitungan Z-Score. Hasil Z-Score yang diperoleh dapat dibuat rentang untuk menentukan klasifikasi Tinggi, Sedang, atau Rendah. 1) Jenis batuan
Tabel 20. Luasan berdasarkan Kondisi Geologi DAS Comal
No Sub DAS Kondisi Geologi (Ha) Jumlah
(Ha) Alluvium Andesit/ Basal Sandstone, Mudstone
1 Comal Hilir 13.152,68 638,14 7.919,22 21.710,04
2 Genteng 2.435,06 7.568,29 8.637,70 18.641,05
3 Lomeneng 656,52 - 6.058,38 6.714,89
4 Pulaga Sringseng - 735,28 8.705,46 9.440,74
5 Wakung/Comal Hulu 8.914,48 7.001,08 9.013,31 24.928,87
Jumlah 25.158,74 15.942,79 40.334,06 81.435,58
Sumber : http://www.bpdas-pemalijratun.net/
Batuan aluvial merupakan batuan yang terdapat pada sekitar sungai. Batuan ini rentan pada bencana banjir. Sedangkan batuan pasir dan batuan lempung, memilki porositas yang besar serta materialnya tidak padu sehingga rentan terhadap bencana longsorlahan.
Tabel 21. Kerentanan DAS Comal terhadap bencana banjir dan longsor lahan berdasarkan jenis batuan
No Sub DAS Batuan Aluvial, sandstone
dan mudstone Z-Score Klasifikasi
1 Comal Hilir 21.071,90 1,30 TINGGI
Jenis tanah yang ada pada DAS Comal adalah alluvial, grumusol, dan latosol. Tanah alluvium recent terbatas pada daerah-daerah endapan bahan-bahan alluvial yang aktif maupun baru (recent), bekas banjir. Tanah alluvial agak tua tersebar meliputi daerah dataran alluvial (alluvial cover plain) yang sangat luas dan merupakan bentang lahan antara alluvium recent dan teras-teras atau dataran-dataran tinggi yang lebih tua. Tanah yang terdapat di daerah dataran banjir kebanyakan terbentuk oleh endapan alluvial holocene.
Tabel 22. Luasan berdasarkan Jenis Tanah DAS Comal
No Sub DAS Jenis Tanah Luas (Ha)
No Sub DAS Jenis Tanah Luas (Ha)
Aluvial Grumusol Latosol
1 Comal Hilir 10.027,96 6.002,49 5.679,58 21.710,04
2 Genteng 2.444,41 1.784,57 14.412,07 18.641,05
3 Lomeneng - 5.610,91 1.103,98 6.714,89
4 Pulaga Sringseng - 6.597,80 2.842,93 9.440,74
5 Wakung/Comal Hulu - 5.516,79 19.412,08 24.928,87 Jumlah 12.472,37 25.512,56 43.450,65 81.435,58
Sumber : http://www.bpdas-pemalijratun.net/
Tanah aluvial berada pada sekitar sungai sehingga disebut dataran banjir karena rentan terhadap bencana banjir. Tanah grumusol merupakan tanah yang mengandung liat berwarna kecoklatan dan terbentuk didaerah bergelombang sehingga rawan terhadap bencana longsorlahan.
Tabel 23. Kerentanan DAS Comal terhadapbencana banjir dan longsorlahan berdasarkan jenis tanah
No Sub DAS Tanah Alluvial dan Grumusol Z-Score Klasifikasi
1 Comal Hilir 16.030,45 1,76 TINGGI 3) Kemiringan Lereng atau Topografi
DAS Comal memiliki topografi berbukit pada bagian hulu dan datar pada bagian hilirnya. Berikut adalah data rinci luasan DAS Comal berdasarkan kemiringan lereng atau topografinya :
Tabel 24. Luasan berdasarkan Kemiringan Lereng Tanah DAS Comal
No Sub DAS
6.006,91 5.945,84 5.811,22 3.589,50 3.575,39 24.928,87
Jumlah 28.877,7
Kondisi kemiringan lereng atau topografi merupakan kerentanan suatu wilayah akan bencana tanah longsor. Topografi >40% sangat rentan terjadi longsor, 15% - 40% rentan terhadap longsor, dan 0 – 15% kurang rentan terhadap longsor (Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor). Berdasarkan pedoman tersebut dan kondisi di lapangan DAS Comal, maka berikut adalah tabel kerentanan DAS Comal berdasarkan kemiringan lereng atau topografinya :
Tabel 25. Kerentanan DAS Comal terhadapbencana longsorlahan berdasarkan kemiringan lereng atau topografi
Sistem lahan di DAS Comal didominasi oleh dataran yang tidak lebih dari 500 mdpl dengan kemiringan berkisar antara 0 - >40 %. Bentuk lahan di DAS Comal merupakan ciri dari sungai-sungai besar di Jawa dengan Comalkaian vulkano yang terjal membentuk dataran teringgi dari DAS bagian hulu, bukit-bukit sedimentary dan dataran alluvial yang luas dan dataran pantai alluviomarine yang membentuk sebagian DAS bagian hilir.
sungai dari anak-anak sungai Comal yang terletak pada perbukitan sedimentary. Lembah-lembah tersebut berbentuk rata atau lembah yang
berbentuk “V” dan memotong lembah.
Diantara bukit-bukit sedimentari terletak dataran alluvial sungai Comal beserta anak-anak sungai utama, dataran banjir merupakan bentuk tampungan alluvial (alluvial basin) yang luas yang menyusun dataran rendah dan tergolong baru serta agak lama (recent and subrecent). Daerah peralihan antara dataran banjir dan dataran tinggi dicirikan oleh beberapa
tingkat teras sub recent sampai teras alluvial tua. Teras ini dicerminkan oleh relief yang rendah dan topografi yang datar dengan kemiringan < 2 %.
Tabel 26. Luasan berdasarkan Sistem Lahan Tanah DAS Comal
No Sub DAS
Jumlah 18.942,40 11.383,68 49.995,84 1.113,66 81.435,59 Sumber : http://www.bpdas-pemalijratun.net/
Dataran penutup alluvial merupakan unit terrain utama dari dataran banjir dicirikan oleh wilayah agak rata dengan kemiringan topografinya jarang melebihi 1 – 2%. Pada bagian-bagian hamparan yang rendah dari penutupan biasanya terletak berdekatan dengan sungai Comal dan merupakan daerah banjir tahunan serta pengendapan. Berikut adalah kerentanan fisik lingkungan DAS Comal terhadap bencana banjir yang ditunjukkan dengan luasan dataran banjirnya (dataran dan dataran aluvial yang sering tergenang banjir).
Tabel 27. Kerentanan DAS Comal terhadap bencana banjir berdasarkan luasan dataran
banjir
No Sub DAS Dataran Banjir Z-Score Klasifikasi
1 Comal Hilir 14.536,22 1,29 TINGGI
2 Genteng 3.674,03 -0,36 RENDAH
3 Lomeneng 656,52 -0,82 RENDAH
No Sub DAS Dataran Banjir Z-Score Klasifikasi vegetasi penutup yang dominan. Penutupan lahan pada wilayah DAS Comal terbagi menjadi hutan lahan kering, hutan tanaman, pemukiman, pertanian lahan kering, sawah serta tubuh air. Wilayah DAS Comal sebagian besar merupakan pertanian lahan kering. Hutan Tanaman di wilayah DAS Comal sebagian besar merupakan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani. Penutupan lahan pemukiman termasuk pekarangan tersebar pada semua wilayah Sub DAS, mulai dari wilayah hulu hingga hilir.
Wilayah DAS Comal bagian hilir dicirikan oleh penutupan lahan pemukiman/pekarangan yang hampir semuanya berada pada pusat-pusat pertumbuhan yang ditandai oleh adanya kondisi ruang terbuka hijaunya semakin sempit atau hampir tidak ada. Pada wilayah ini sebagian besar bentuk drainage-nya sangat buruk sehingga sangat besar kemungkinannya terjadi air menggenang pada areal-areal tertentu. Penutupan pertanian lahan kering dan semak merupakan bentuk tegalan yang tidak dipelihara secara intensif sedangkan pertanian lahan kering merupakan bentuk tegalan yang dipelihara secara intensif.
Tabel 28. Luasan berdasarkan Penutupan Lahan Tanah DAS Comal
No Sub DAS
Penutupan lahan pada permukiman mempunyai ruang terbuka hijau atau vegetasi penutup lahan yang sangat kurang. Hal ini disebabkan oleh kondisi pemukiman yang sangat padat sehingga sangat kecil kemungkinan tersedianya areal vegetasi penutup lahan. Kondisi pemukiman yang ada pada Sub DAS Comal Hilir dan Comal Hulu sungguh terdapat pusat-pusat pertumbuhan penduduk yang berdampak terhadap konsentrasi-konsentrasi pemukiman yang sulit terkendali. Kondisi permukiman ini merupakan kerentanan fisik lingkungan DAS Comal terhadap bencana banjir maupun longsorlahan.
Tabel 29. Kerentanan DAS Comal terhadap bencana banjir dan longsor berdasarkan luasan permukiman
No Sub DAS Permukiman Z-Score Klasifikasi
1 Comal Hilir 2.590,45 1,77 TINGGI
Tabel 30. Kerentanan Fisik Lingkungan DAS Comal
4 Pulaga Sringseng RENDAH RENDAH TINGGI RENDAH RENDAH
5 Wakung/Comal Hulu TINGGI RENDAH TINGGI TINGGI RENDAH Sumber : Penulis
Tabel 31. Klasifikasi Kerentanan Fisik Lingkungan DAS Comal
No Sub DAS Jenis
Kerentanan gabungan merupakan tingkat kerentanan sosial-ekonomi dan fisik lingkungan yang telah diintegrasi dan menghasilkan klasifikasi tingkat kerentanan DAS Comal.
Tabel 32. Kerentanan DAS Comal
SUBDAS Tingkat Kerawanan
Sosial Ekonomi Fisik Lingkungan Comal Hilir Tinggi Tinggi
Genteng Rendah Sedang
Pulaga Sringseng Rendah Rendah
Lomeneng Rendah Sedang
Tabel 33. Klasifikasi Kerentanan DAS Comal
SUBDAS Tingkat Kerawanana Jumlah Klasifikasi
Sosial Ekonomi Fisik Lingkungan
Comal Hilir 3 3 6 TINGGI
Genteng 1 2 3 RENDAH
Pulaga Sringseng 1 1 2 RENDAH
Lomeneng 1 2 3 RENDAH
Wakung/Comal Hulu 1 2 3 RENDAH
Sumber : Penulis
Klasifikasi: TINGGI = 6 SEDANG = 4 – 5
RENDAH = 2 – 3
2. Coping Capacity (Kapasitas)
Kapasitas atau kemampuan yaitu kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh perorangan, keluarga dan masyarakat yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi, siap siaga, menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu kedaruratan dan bencana.
1) Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Pemalang 2) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai PEMALI-JRATUN
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Pemali Jratun merupakan Unit Pelaksana teknis (UPT) dari Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial (BPDAS PS) Kementerian Kehutanan. BPDAS Pemali Jratun bertugas melaksanakan pembangunan sektor kehutanan khususnya yeng berkaitan dengan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Balai Pengelolaan DAS Pemali Jratun menangani wilayah DAS yang berada di Jawa Tengah dengan muara sungai Laut Jawa (Pantai Utara Jawa Tengah) yang berkedudukan di Semarang.
V. RISK ASSESSMENT
Dalam kajian risiko bencana ada faktor kerentanan rendahnya daya tangkal masyarakat dalam menerima ancaman, yang mempengaruhi tingkat risiko bencana. Besarnya resiko dapat dikurangi oleh adanya kemampuan (capacity) adalah kondisi masyarakat yang memiliki kekuatan dan kemampuan dalam mengkaji dan menilai ancaman serta bagaimana masyarakat dapat mengelola lingkungan dan sumberdaya yang ada, dimana dalam kondisi ini masyarakat sebagai penerima manfaat dan penerima risiko bencana menjadi bagian penting dan sebagai aktor kunci dalam pengelolaan lingkungan untuk mengurangi risiko bencana.
Dalam DAS Comal, kapasitas yang dimiliki adalah kelembagaan pengelolaan DAS Comal, dimana dilakukan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali Jratun.
Tabel 34. Klasifikasi Risiko Bencana DAS Comal
SUBDAS POTENSI
BENCANA
KERENTANAN Risiko Bencana
Klasifikasi
Klasifikasi Score Klasifikasi Score
Comal Hilir Sedang 2 Tinggi 3 6 TINGGI
Genteng Tinggi 3 Rendah 1 3 SEDANG
Pulaga Sringseng Rendah 1 Rendah 1 1 RENDAH
Lomeneng Rendah 1 Rendah 1 1 RENDAH
Wakung/Comal Hulu
Sedang 2 Rendah 1 2 RENDAH
Sumber : Penulis
Klasifikasi:
TINGGI = 5 - 6 SEDANG = 3 - 4 RENDAH = 1 - 2
VI. PLANNING AND MITIGATION MEASURES 1. Mitigasi Banjir
a. Upaya Mitigasi Non Struktural (Bakornas PB, 2007)
o Pembentukan Kelompok Kerja yang beranggotakan dinas‐instansi
o Merekomendasikan upaya perbaikan atas prasarana dan sarana
pengendalian banjir sehingga dapat berfungsi sebagaimana direnca nakan.
o Memonitor dan mengevaluasi data curah hujan, banjir, daerah
genangan dan informasi lain yang diperlukan untuk meramalkan kejadian banjir, daerah yang diidentifikasi terkena banjir serta daerah yang rawan banjir.
o Menyiapkan peta daerah rawan banjir dilengkapi dengan rute
pengungsian, lokasi pengungsian sementara, lokasi POSKO, dan lokasi pos pengamat debit banjir/ketinggian muka air banjir di
sungai penyebab banjir.
o Mengecek dan menguji sarana sistim peringatan dini yang ada dan
mengambil langkah‐langkah untuk memeliharanya dan membentuknya jika belum tersedia dengan sarana yang paling sederhana sekalipun.
o Perencanaan dan penyiapan SOP (Standard Operation
Procedure)/Prosedur Operasi Standar untuk kegiatan/tahap tanggap
o Pelaksanaan Sistem Informasi Banjir, dengan diseminasi langsung
kepada masyarakat
o Membentuk jaringan lintas instansi/sektor dan LSM yang bergerak
dibidang kepedulian terhadap bencana serta dengan media masa baik cetak maupun elektronik
o Melaksanakan pendidikan masyarakat atas pemetaan ancaman
b. Upaya Mitigasi Struktural (Bakornas PB, 2007)
o Pembangunan tembok penahan dan tanggul disepanjang sungai akan
sangat membantu untuk mengurangi bencana banjir pada tingkat debit banjir yang direncanakan.
o Pengaturan kecepatan aliran dan debit air permukaan dari daerah
hulu sangat membantu mengurangi terjadinya bencana banjir. Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mengatur kecepatan
air dan debit aliran air masuk kedalam sistem pengaliran diantaranya adalah dengan reboisasi dan pembangunan system peresapan serta pembangunan bendungan/waduk.
o Pengerukan sungai, pembuatan sudetan sungai baik secara saluran
terbuka maupun tertutup atau terowongan dapat membantu mengurangi terjadinya banjir.
Menurut Dooley (1996) Manajemen resiko banjir meliputi : a) Pengaturan ruang :
o Memetakan daerah rawan banjir, menghindarkan pembangunan dari
daerah rawan banjir (kecuali untuk taman/fasilitas olah raga), dan dilanjutkan dengan control penggunaan lahan.
o Diversifikasi produk pertanian seperti penanaman tanaman pangan yang
tahan banjir atau menyesuaikan musim tanam.
o Menghutankan kembali dan mengatur tanah endapan karena banjir. o Menyediakan rute evakuasi apabila banjir.
b) Sistem informasi dan keteknikan :
o Melengkapi sistem peringatan dan deteksi/ peramalan banjir. Ada
beberapa pilihan dari yang sederhana, yakni melibatkan petugas/relawan
pengamat curah hujan dan batas air sungai, hingga yang canggih dengan alat pengukur curah hujan dan model terkomputerisasi, misalnya
ALERT (evaluasi lokal otomatis saat kejadian).
o Menggunakan radio, televisi, dan sirine untuk menyebarkan peringatan. o Perlindungan vegetasi dari kebakaran dan dari penggembalaan yang
terlalu banyak.
o Relokasi elemen yang menyumbat jalan banjir, termasuk pembersihan
o Pembelokan banjir, meliputi tanggul dan bendungan. Karena
tanggul/bendungan cenderung jebol dan dapat dihancurkan oleh gempa, maka harus direkayasa untuk mengantisipasi tingkat arus air maksimum.
o Menggunakan rancangan bangunan tahan banjir, misalnya menaikan
lantai/ruangan di atas batas banjir (konstruksi rumah panggung), bangunan dimundurkan dari perairan, lahan yang mengelilingi bangunan dilindungi dari erosi. Dasar sungai distabilkan dengan bangunan konstruksi dari batu atau vegetasi, terutama yang berada dekat jembatan.
o Peraturan tentang material bangunan yang menghindari bangunan dari
kayu dan yang berkerangka ringan pada zona tertentu.
o Pembangunan area yang ditinggikan atau bangunan untuk penampungan
jika evakuasi tidak memungkinkan.
c) Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat melalui program peningkatan kesadaran umum, yang memuat substansi berikut :
o Penjelasan fungsi dataran banjir, lokasi dataran banjir lokal, dan pola
drainase.
o Identifikasi bahaya banjir dan tanda-tanda peringatan.
o Mendorong orang untuk membuat barang-barang mereka tahan banjir
dan menyusun rencana penyelamatan diri.
o Penjelasan rencana evakuasi dan system peringatan, serta aktivitas
pascabencana.
o Menumbuhkan tanggung jawab pribadi untuk mencegah banjir dalam
praktik kehidupan sehari-hari (praktik pertanian yang sesuai, pencegahan penggundulan hutan, dan mengelola saluran drainase).
d) Kelembagaan :
Memberikan insentif (subsidi, potongan pajak, pinjaman) untuk
mengarahkan pembangunan ke lokasi yang aman.
Mitigasi yang sesuai dengan kondisi DAS Comal :
sungai yang memadai serta membuat waduk atau tandon air untuk mengurangi banjir puncak. Untuk memenuhi kapasitas tampung palung sungai, upaya lain yang bisa dilakukan seperti menambah saluran pembuangan air dengan saluran sudetan. Disamping itu, pengetatan larangan penggunaan lahan di bantaran sungai untuk bangunan, apalagi di badan sungai juga diperlukan, serta larangan pembuangan sampah ke sungai atau saluran drainase.
Teknik pengendalian banjir di daerah tangkapan air bertumpu pada prinsip penurunan koefisien limpasan (C) melalui teknik konservasi tanah dan air, yakni :
(1) upaya meningkatkan resapan air hujan yang masuk ke dalam tanah, (2) dan mengendalikan limpasan air permukaan pada pola aliran yang aman. Bentuk teknik yang diaplikasikan dapat berupa teknik sipil, vegetatif, kimiawi, maupun kombinasi dari ketiganya, sesuai dengan jenis penggunaan lahan dan karakteristik tapak (site) setempat. Semua upaya tersebut sangat terkait dengan kemampuan tanah/lahan dalam mengendalikan air hujan untuk bisa masuk ke dalam bumi, termasuk vegetasi/hutan yang ada di atasnya. Jenis tanaman hutan yang sama dimana yang satu tumbuh di atas lapisan tanah tebal dan satunya lagi di atas lapisan tanah tipis, akan memiliki dampak yang berbeda dalam mengendalikan limpasan air permukaan atau banjir.
2. Mitigasi Longsor Lahan (Bakornas PB, 2007)
o Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan permukiman dan
fasilitas utama lainnya.
o Mengurangi tingkat keterjalan lereng.
o Meningkatkan/memperbaiki dan memelihara drainase baik air
permukaan maupun air
o Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling. o Terasering dengan system drainase yang tepat
o Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak
tanam yang tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lebi dari 40 derajat atau sekitar 80 % sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta diselingi dengan tanaman – tanaman yang lebih pendek dan ringan, di bagian dasar ditanam rumput).
o Khusus untuk runtuhan batu dapat dibuatkan tanggul penahan baik
berupa bangunan konstruksi, tanaman maupun parit.
o Identifikasi daerah yang aktif bergerak, dapat dikenali dengan adanya
rekahan rekahan berbentuk ladam (tapal kuda).
o Stabilisasi lereng dengan pembuatan teras dan penghijauan. o Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall).
o Penutupan rekahan rekahan diatas lereng untuk mencegah air masuk
secara cepat kedalam tanah.
Menurut Karnawati (2005) Manajemen risiko longsor meliputi : a) Pengaturan ruang :
o Identifikasi daerah rawan longsor, yaitu area yang rawan getaran bumi
dan gempa bumi; area pegunungan, terutama dengan kemiringan lereng yang curam; area dengan degradasi lahan yang parah; area yang tertutup butir-butir pasir yang lembut; dan area dengan curah hujan tinggi.
o Mengarahkan pembangunan pada tanah yang stabil. Daerah yang rawan
longsor diarahkan sebagai ruang terbuka hijau.
o Mengatur vegetasi seperti berikut :
- Vegetasi lokal, dengan sifat berakar dalam, bertajuk ringan, cabangnya mudah tumbuh setelah dipangkas (lamtoro, pete), membatasi sawah dan kolam pada daerah rawan longsor.
- Penanaman dalbergia sp (sonokeling, sono siso), gliricidae, dan kaliandra pada daerah tebing.
- Penanaman swietenia macrophylla atau swietenia microphylla (mahoni), albisia dan bambu pada kaki lereng.
- Gully plug dengan bambu apus yang ditanam pada alur-alur erosi mengikuti kontur dengan jarak 0,3 x 0,3 meter.
b) Keteknikan :
o Melakukan perbaikan drainase tanah, seperti perbaikan sistem drainase, hydroseeding, dan soil nailing. Penentuan pilihan disesuaikan ketersediaan anggaran.
o Melakukan pekerjaan struktural, seperti rock netting, shotcrete, block
pitching, stone pitching, retaining wall, gabion wall, dan installation of geotextile, sesuai ketersediaan anggaran.
o Meningkatan kesiapan masyarakat melalui pendidikan umum untuk
memahami penyebab dan dampak tanah longsor, mengidentifikasi daerah yang tidak stabil, menghindari bermukim di daerah tersebut.
o Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang aktivitas yang diperlukan/
dihindari pada daerah rawan longsor melalui brosur/poster d) Kelembagaan :
o Mengontrol daerah rawan longsor yang dikaitkan dengan peraturan
konservasi, perbaikan sungai, kontrol erosi, perawatan pertanian dan
hutan
o Memonitor daerah rawan longsor, melalui observasi lapangan dan
inklinometer (alat pengukur sudut), meteran getaran, dan dilengkapi media, sirine, atau system informasi yang luas jangkauannya. Sistem monitoring dan peringatan harus memastikan penduduk selalu waspada saat hujan deras dan air tanah meningkat.
Mitigasi yang sesuai dengan kondisi DAS Comal :
Teknik pengendalian tanah longsor metode vegetatif harus dipilahkan antara bagian kaki, bagian tengah, dan bagian atas lereng. Stabilisasi tanah diutamakan pada kaki lereng, baik dengan tanaman maupun bangunan. Persyaratan vegetasi untuk pengendalian tanah longsor antara lain: jenis tanaman memiliki sifat perakaran dalam (mencapai batuan), perakaran rapat dan mengikat agregat tanah, dan bobot biomassanya ringan. Pada lahan yang rawan longsor, kerapatan tanaman beda antara bagian kaki lereng, tengah dan. Kerapatan yang jarang diisi dengan tanaman rumput dan atau tanaman penutup tanah (cover crop) dengan drainase baik, seperti pola agroforestry. Pada bagian tengah dan atas lereng diupayakan perbaikan sistim drainase (internal dan eksternal) yang baik
sehingga air yang masuk ke dalam tanah tidak terlalu besar, agar tingkat kejenuhan air pada tanah yang berada di atas lapisan kedap (bidang gelincir) bisa
dikurangi bebannya.
terowongan air seperti paritan (trench) dan sulingan (pipa perforasi). Arahan teknik pengendalian tanah longsor dalam berbagai tingkatan kelongsoran dan penggunaan lahan. Pendekatan pengendalian tanah longsor berbeda dengan pengendalian erosi permukaan, bahkan bertolak belakang. Pada pengendalian tanah longsor diupayakan agar air tidak terlalu banyak masuk ke dalam tanah yang bisa menjenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan tanah, sedangkan pada pengendalian erosi permukaan air hujan diupayakan masuk ke dalam tanah sebanyak mungkin sehingga energy pengikisan dan pengangkutan partikel tanah
oleh limpasan permukaan dapat diminimalkan. Dengan demikian tindakan mitigasi tanah longsor harus lebih hati-hati apabila pada tempat yang sama juga mengalami degradasi akibat erosi permukaan. Pengendalian erosi permukaan mengupayakan agar air hujan dimasukkan ke dalam tanah sebanyak mungkin, sebaliknya pengendalian tanah longsor dilakukan dengan memperkecil air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga tidak menjenuhi lapisan tanah yang berada di atas batuan kedap air.
3. Planning DAS Comal
Kerangka pendekatan yang akan digunakan dalam pengelolaan DAS terpadu ini adalah menggunakan pendekatan logical framework atau kerangka kerja logis. Dikatakan kerangka logis, karena semua tahap perencanaan ini dibuat secara logis, mempunyai kerangka, dari satu tahap ke tahap yang lain, dan yang lebih menarik dari logframe ini adalah menggunakan indikator yang jelas, terukur dan spesifik. Intinya logframe adalah suatu pendekatan perencanaan program yang disusun secara logis dengan menggunakan indikator yang jelas.
Wilayah DAS yang tidak selalu bisa berhimpitan dengan wilayah administrasi pemerintahan, karena DAS merupakan batas alam punggung bukit, sering dipertentangkan dan menjadi masalah. Padahal masalah tersebut bisa diatasi melului penselarasan batas daerah tangkapan air dengan wilayah administrasi. Penselarasan ini berimplikasi pada system pengelolaan yang harus dibangun, baik perencanaan, kelembagaan, pendekatan implementasi, maupun monitoring dan evaluasi. Secara ringkas dapat di gambarkan seperti berikut :
Gambar 11. Planning Pengelolaan DAS berbasis tata ruang Permasalahan DAS Comal
Sistem Pengelolaan masih Lemah Dinamika politik, sosial, ekoomi, teknologi
Pengelolaan selaras dengan perubahan yang berkaitan dengan tata ruang wilayah
Perencanaan Kelembagaan Implementasi Monev
VII. KESIMPULAN
DAS Comal terdiri dari 5 sub DAS, berdasarkan Integrated Risk Map yang disusun berdasarkan Integrated Hazard Map dan Vulnerability Map bahwa risiko yang tergolong tinggi adalah di sub DAS Comal hilir, risiko tergolong sedang adalah di sub DAS Genteng, sedangkan risiko tergolong rendah adalah di sub DAS Wakung, sub DAS Lomeneng, dan sub DAS Pulaga Srengseng. Indikator yang digunakan dalam identifikasi integrated hazard meliputi factor bencana dari banjir genangan, banjir limpasan, dan longsor lahan. Sedangkan indicator dalam identifikasi
vulnerability meliputi kerentanan sosial ekonomi (kepadatan penduduk, keluarga rentan terhadap bencana) dan kerentanan fisik (jenis batuan, jenis tanah, kemiringan lereng, system lahan, penutup lahan). Berdasarkan Integrated Risk Map dapat digunakan pedoman dalam penyusunan manajemen risiko dan planning pengelolaan DAS dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bakornas PB. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Jakarta:Direktorat Mitigasi, Lakhar BAKORNAS PB.
BPDAS Pemali Jratun. 2013. Laporan Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu DAS Comal. Semarang: Balai Pengelolaan DAS Pemali Jratun.
BPS. 2013. Pemalang Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pemalang.
Dooley, James. 1996. Panduan Pelatihan Analisis dan Pengelolaan Risiko, Terjemahan oleh Roma Chrysta Manurung, Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB, Bandung.
http://www.bpdas-pemalijratun.net/ , diakses tanggal 21 mei 2014.
Karnawati, Dwikorita. 2005. Geology for Regional Development. Modul Pelatihan Jabatan Fungsional Perencana Madya, Teknik Geologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Rahman, Abdur. 2011. Pengenalan Aspek-Aspek Morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS). Banjarbaru: Universitas Lambung Mangkurat.
Seyhan, Ersin. 1977. Dasar-Dasar Hidrologi. Editor Soenardi Prawirohatmojo. Yogyakarta: UGM Press.